An analysis of Suitability and Optimalisation of Dry Land Utilization Based on Agroforestry. Case Study: Sloping Dry Land on Upland area of Cikapundung Sub Watershed, North Bandung

ANALISIS KESESUAIAN DAN OPTIMALISASI
PENGGUNAAN LAHAN KERING
BEaBASIS AGROFORESTRI
Studi Kasus: Lahan Kering Berlereng di Hulu Sub DAS
Cikapundung, Bandung Utara

SAHARIN SEHE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFOBMAS1
Dengan ini saya menyaaakan, bahwa tesis Analisis Kesesuaian dan
Optimalisasi Fenggunaan Lahan Kering Berbasis Agroforestri. Studi Kasus:

Lahan Kering Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Bandung Utara adalah
karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal ahu dikutip dari k q a yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicmtumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2007

Saharin Sehe
PO5203009 1

ABSTRACT
SAHARIN SEHE. An analysis of Suitability and Optimalisation of Dry Land
Utilization Based on Agroforestry. Case Study: Sloping Dry Land on Upland area
of Cikapundung Sub Watershed, North Bandung. Under Supervision of SANTm
R.P. SITORUS and NURHENI WIJAYANTO.
Sloping dry land is a marginal land, inappropriate utilization with its land
suitability causes land degradation. This research was conducted using survey
method. Purposes of this research were to analyze suitability of land utilization
comparing its land suitability of slope 1 5 -30 % namely the first land unit (SLH1) to 30-45 % namely the second land unit (SLH-2), to analyze farm of several
Land Utilization Types (LUT), to predict erosion and to compose optimal LUT.
Results of this research showed that 8 prominent LUT,s i.e. LUT (cabbage).
(chili), (orange), (avocado), (jackfruit), (orange + chili + cabbage), (mocado cabbage) and (avocado + jackfruit - orange + chili + cabbage) in SLH-1 belongs

to marginally suitable (S3) with limiting factors were slope, rainfall, pH, base
saturation and erosion. The eight light LUT,s in SLH-2 were considerent not
suitable (N) with limiting factors are slope and erosion. Result of farming analysis
of all LUT show that all LUT are feasible to carry on (BC-ratio = 1,38 - 3,41).
The farmer income in SLH-1 ranged from Rp 3.478.500,- to Rp. 47.632.500,- / ha
/ year and in SLH-2 ranged from Rp.2.905.900,- to Rp 37.539.300,- / ha / year.
The highest erosion were in LUT (cabbage), in SLH-1 = 107,7 ton / ha / year and
in SLH-2 = 254,5 ton / ha / year. The lowest erosion were in LUT (avocado +
jackfruit - orange + chili + cabbage), in SLH-I = 43,9 ton /ha / year and in SLH-2
= 95,5 ton / ha / year. Optimum LUT based on the second scenario were LUT
(avocado - cabbage) with income Rp. 71.826.156,- / ha / year. (in SLH-1
comprises cabbage = 0,43 ha and avocado 0,57 ha, in SLH-2 comprises avocado
0,83 ha and cabbage 0,17 ha). Optimum solasion could reduce erosion in SLH-1
from average 71,8 ton 1 ha 1 year become 43,9 ton 1 ha / year and in SLH-2 from
156.9 ton / ha / year become 95,5 top / ha / year.

B Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalarn

bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.

Judul Tesis

: Analisis Kesesuaian dan Optimalisasi Penggunaan Lahan

&ring Berbasis Agroforestri. Studi Kasus: Lahan Kering
Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Bandung Utara
Nama M d ~ s i s w a: Sakmin Sehe
Nomor Pokok
: P.052030091
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Stidi

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus
Ketua


AWZota

Ketua Program Studi
Pengelolaan Smberdaya Alam
Dan Lingkungan

r

Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo

Tanggal Ujian: 14 Maret 2007

Tanggal Lulus:

1 8 APR 2007

Euya kecilliu' d~penembahkanbuat ayahanda (aLmarhum),ibunda
(dmarhumab), bapak clan ibu mertua serta ismtn
dan and-anak tercinh.


PRAKATA
Puji dm syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atss segala rahrnat

dan karunia Nya sehingga karya ilrniah (tesis) ini berhasil di selesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga
Desember 2005 adalah Pengelolaan lahan kering dengan judul Analisis
Kesesuaian dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Kering Berbasis Agroforestri.
Kasus: Lahan Kering Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Bandung Utara
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Prof.
Dr. Ir. Santun R.P Sitorus sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir.
Nurheni Wijayanto, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak
memberi bimbingan serta arahan mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai
pada penulisan tesis serta Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.sebagai
penguji luar komisi yang telah ikut memberikan masukan untuk perbaikan tesis.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah memberikan bantuan dalam proses penyelesaian studi, khususnya kepada:
o Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. selaku Ketua progam Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alarn dan Lingkungan yang selalu memberikan
arahan dan motivasi untik segera menyelesaikan pendidikan S2 di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

o Pemerintah Daerah Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara yang telah
memberikan izin dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2
di IPB Bogor
o. Kepala Wilayah Kecamatan Lembang yang telah memberikan izin kepada
penulis melakukan penelitian di wilayahnya.
o Kepala Desa Suntenjaya, Wangunharja dan Cikidang dan PPL WKPP Cibodas
Kecarnatan Lembang, yang telah memfasilitasi pertemuan antara peneliti
dengan petani yang berusahatani di lahan berlereng.
o Saudaraku Asep (Cikidang) yang selalu mendampingi dan membantu penulis
melaksanakan survei di daerah penelitian.
o Masyarakat Desa Suntenjaya, Wangunharja dan Cikidang yang telah ikut
membantu memberikan informasi usahatani dengan menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan penulis berkaitan dengan tujuan penelitian.

DAFTAR IS1
Halarnan
DAFTAR TABEL ..................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvii
Latar Belakang .......................................................................... 1
6

...................................................
Kerangka Pemikiran
. . Teoritis
6
Manfaat Penelltran..................................................................... 10

1.1
1.
1.3
1.4

T u j u Penelitian .......................................................................

I1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sw-nberdaya Lahan ...................................................................
2.2 Penggunaan Lahan dan Perubahannya.....................................
2.3 Lahm Kering / Tegalan ............................................................
2.4 Konsep Pembangunm Berkelanjutan.......................................
2.5 Agroforestri ..............................................................................
2.5.1 M d m f Agrsforestd ......................................................

2.5.2 Beberstpa Contoh Rekonstruksi Apforestrl
di Indonesia ....................................................................
2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS)....................................................
2.7 Kesesuaian Lahm .....................................................................
2.8 Sosial Ekonomi Masyarakat di Pedesaan .................................
2.8.1 Kemiskinan dan Kebutuhan Hidup Layak .....................
2.8.2 Potensi Tenaga Kerja Keluarga Tani .............................
2.8.3 Biaya clan Pendapatan Usahatani ...................................
2.9 Erosi..........................................................................................
2.10 Persepsi dan Preferensi .............................................................
2.1 1 Optimasi ...................................................................................
. .

-

I11 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
3.1 Lee& dm L w Hulu Sub DAS Cikqmdutlg .......................... 35

Iklim dan Tanah ........................................................................
Topografi ..................................................................................

Penggunaan Lahan ....................................................................
Jenis T m m a n clan Tipe Penggunan Lahan (LUT) Kering
Berlereng .............................................................................
3.6 Kependudukan ........................................................................

3.2
3.3
3.4
3.5

36
38
38

42
45

IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Tempat d..m Waktu Penelitian..................................................
4.2 Alat dan Bahan.........................................................................

4.3 hletode Pengurnpulan Data .....................................................
4.3.1 Pemilihan Lokasi Penelitian.........................................
4.3.2 Teknik Pengambilan Sampel.......................................
-

-

47
47
48
48
50

4.3.3 Jenis. Tujuan. Teknik Pengumpulan dan Analisis
Data ...............................................................................
4.3.3.1 Data untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Secara
Fisik ................................................................
4 .3. 3.2 Data Analisis Usahatani ..................................
4.3.3.3 Data untuk Memprediksi Erosi (ET) dan
Erosi yang Dapat Ditolerir .............................

4.3.3.4 Data yang Diperlukan untuk Analisis
Preferensi P e m i ............................................
4.3.3.5 Data unhk Kepentingan Optimasi ................
4.3.4 Pelaksanaan Pengumpulan Data ..................................
4.4 Analisis Data ............................................................................
4.4.1 Andisis Kesesuaian Lahan Secara Fisik ......................
4.4.2 Analisis Usahatani........................................................
4.4.3 Pendugaan Erosi ...........................................................
4.4.4 Analisis Preferensi Komoditi Terbaik Menggunakan
AHP ..............................................................................
4.4.5 Prosedur Analisis Optimasi Penggunaan Lahan
Dengan Program Linier Tujuan Ganda ........................
V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan Kering (Tegalan)
A
k
m di hiilii di Dua Kelas Lereng ........................................
5.1 .1 Tipe Penggunaan Lahan (LUT) Utama ........................
5.1.2 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kesesuaian
Lahannya .....................................................................
5.2 Analisis Usahatani ....................................................................
5.3 Pendugaan Erosi Beberapa LUT Utarna Eksisting..................
5.3.1 Pendugaan Faktor Erosivitas Hujan (R) ........................
5.3.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K) .......................................
5.3.3 Faktor Lereng (LS) ........................................................
5.3.4 Faktor Pengelolaan Lahan dan Tanaman (C) ................
5.3.5 Faktor Tindakan Konservasi (P) ...................................
5.3.6 Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi Beberapa LUT
Utama ............................................................................
5.4 Menyusun LUT Optimal Berbasis Agroforestri ......................
5.4.1 Komoditi Prioritas .........................................................
5.4.2 Potensi Tenaga Kerja Keluarga dan Kebutuhan Hidup
Layak .............................................................................
5.4.3 Produksi I Produktifitas Beberapa Komoditi Utama .....
5.4.4 Kebutuhan Tenaga Kerja Untuk Pengembangan
Beberapa Komoditi Utama ............................................
5.4.5 Kebutuhan Sarana Produksi Pengembangan
Beberapa Komoditi Utama ............................................
5.4.6 Analisis Optimasi Penggunaan Lahan Kering ..............

I PENDAHULUAN

Wilayah Indonesia luasnya sekitar 190.944.000 hektar dan terdapat lahan
kering dengan kemiringan lebih dari 15 % di empat pulau utama (Sumatera,
Kalirnantan, Sulawesi dan Irian Jaya) seluas 88,3 juta hektar (Sitorus, 1989).
Sementara menurut Adimiharja (2002) dalam Darsiharjo (2004) terdapat sekitar
98 juta hektar lahan yang berpotensi untuk tanaman pangan, dari luasan tersebut
57 juta hektar untuk pertanian lahan kering dengan kemiringan lebih dari 16 %.
Luas lahan pertanian (lahan kering) di Indonesia tahun 1986 sekitar 11,27 juta
hektar dan pada tahun 1999 luasnya menjadi 12,23 juta hektar atau rata-rata
bertambah 68.571,43 hektar / tahun. Bila laju perkembangan sistem pertanian
lahan kering enam tahun terakhir sama dengan perkembangan tahun sebelumnya,
maka saat ini (tahun 2006) pertanian lahan kering telah mencapai 12,64 juta
hektar atau masih tersisa lahan kering berlereng > 16 % seluas lebih dari 44,36
juta hektar.
Sebaliknya fakta lain menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
saja telah terjadi alih fungsi lahan pertanian produktif s e l w 735.000 hektar ke
non pertanian, seperti : pusat-pusat perkantoran, perdagangan, rekreasi, industri
perurnahan, sarana dan prasarana urnurn. 50 % dari luasan tersebut atau 367.000
hektar merupakan lahan sawah beririgasi (BPS, 1997 dan 2002)
Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian terutama di Pulau
Jawa menyebabkan makin menyempitnya lahan yang digarap petani. Selain lahan
yang sempit, umumnya petani memiliki pengetahuan yang minim terutama karena
tingkat pendidikan yang rendah sehinga tidak dapat mengelola lahannya secara
baik dan pada akhirnya hasil yang diperolehpun rendah. Di lain pihak tuntutan
kebutuhan hidup makin meningkat sehingga tidak ada pilihan bagi petani atau
anggota keluarganya kecuali memanfaatkan lahan di sekitar dan di kawasan hutan,
bahkan saat ini di berbagai tempat telah mencapai lereng yang curam, pada ha1
kawasan yang lerengnya curam sampai sangat curam hamsnya digunakan sebagai
kawasan lindung d m kawasan resapan air (kawasan konservasi).

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang alam atau landscape mencakup
pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi, hidrologi dan keadaan
vegetasi alami (natural vegetation) yang secara potensial berpengaruh terhadap
penggunaan lahan (FAO, 1976).
Sumberdaya lahan (land resources) adalah lingkungan fisik yang terdiri
dari: iklim, vegetasi, relief, tanah, air serta benda benda yang ada di atasnya
sepanjang ada pengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Sumberdaya
lahan terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut: 1. iklim, 2. air, 3. tanah,
4.vegetasi, 5.formasi geologi, 6.organisme (bewan), 7.bentuk lahan clan topografi
dan 8. manusia serta 9. produk budaya manusia.
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia, karena sumberdaya lahan diperlukan dalarn setiap
kegiatan manusia Oleh karena itu, sumberdaya lahan h a m dikelola secara baik,
benar dan berkelanjutan.
2.2 Penggunaan Lahan dan Perubahannya
Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan merupakan istilah-istilah
yang sering disarnaartikan padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian
berbeda. Lillesand dan Kiefer (1987) dalam Mahmudi (2002) menjelaskan, bahwa
penggunaan lahan erat hubungannya dengan kegiatan manusia pada sebidang
lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan penvujudan fisik obyekobyek yang menutup lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyekobyek tersebut. Selanjutnya Vink (1975), FA0 (1983) dalam Mahmudi (2002)
memberi pengertian bahwa penggunaan lahan adalah campur tangan (intewensi)
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
material maupun spiritual. Sitorus (2004) mengelompokkan penggunaan lahan ke
dalam 2 (dm) kelompok besar yaitu :
(1). Penggunaan lahan untuk pertanian.
(2). Penggunaan lahan untuk non pertanian.
Penggunaan lahan dipengaruhi oleh :

(a).

Faktor fisik clan hiologi, mencakup kesesuaian sifat fisik dan biologi, seperti

keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuhan dan kependudukan.
(b). Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan
transportasi.
(c). Faktsr institusi yang dicirikan oleh h&um pertanahan, keadaan politik dm
secara administrasi dapat dilaksanakan.

FA0 (1983) dalam Mahrnudi (2002) membedakan penggunaan lahan atas
dua kelompok yaitu:
(1). Penggunaan Lahan mum (major kinds ofland use)
(2). Penggunaan lahan lebih detil dinamakan land utilization types (LUT)
Penggunaan lahan untuk kehutanan, persawahan, pertanian tadah hujan,
rekreasi dan sebagainya merupakan contoh-contoh penggunaan lahan umum dan
evaluasi lahan untuk tujuan tersebut dilakukan secara kditatif (kemampuan
lahan) sedangkan tipe penggunaan lahan merupakan penggunaan lahan yang lebih
spesifik dan mengandung aspek fisik, ekonomi dan sosial. Evaluasi lahan untuk
tipe penggunaan lahan (LUT) dilakukan secara kuantitatif mencakup tanaman dan
pengelolaan suatu lahan seperti input konservasi dan manejemen .
Sitorus (2004) menjelaskan bahwa menurut sistem dan model penggunaan
atau tipe penggunaan lahan (LUT) dibedakan atas d m macam yaitu:l. Multiple
(ganda) dan 2. Compound (majemuk). Penggunaan lahan yang tergolong multiple
terdiri dari lebih satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara
serentak pada satu area yang sama pada sebidang lahan dirnana masing-masing
komoditas (jenis penggunaan) yang diusahakan memerlukan input, persyaratan
dan produksi yang berbeda. Sebagai contoh: kakao atau kopi ditanam dengan
kelapa pada areal yang sama, sedangkan LUT Compound (majemuk) merupakan
penggunaan lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada
areal yang berbeda dari sebidang lahan yang untuk tujuan evaluasi diperlakukan
sebagai satu unit tunggal. Perbedaan jenis bisa terjadi pada sekuen atau urutan
waktu, ditanam secara rotasi atau secara serentak (bersamaan), tetapi pada areal
yang berbeda pada sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama,
misalnya mixedfarming.

Pola tanam dalam suatu LUT dapat berupa sistem tanaman tunggal, sistem
tanaman ganda, atau sistem tanaman campuran. Sistem tanaman ganda dapat
berupa tumpang sari beberapa komoditas, tumpang gilir atau tumpangsari dan
turnpang gilir.
Setiap jenis penggunaan lahan mempunyai nilai teknis yang mencerminkan
fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi disamping fungsi sosial. Umumnya tujuan
ekonomi lebih diutamakan dari tujuan ekologi. Penggunaan lahan dengan sistem
agroforestri diharapkan dapat memberikan solusi tercapainya tujuan ekonomi dan
ekologi yaitu dengan merumuskan komposisi komponen penyusun agroforestri
yang mampu menekan erosi hingga mencapai tingkat minimal dan pendapat pada
level maksimal atau menyusun LUT berbasis agroforestri yang optimal.
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan
dari satu sisi penggunaan ke sisi penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya

tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya (perubahan
fungsi suatu lahan pada k m waktu yang berbeda), (Wahyanto et al, 2001 dalam
Rosnila, 2004).
Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor
alami dan faktor manusia. Faktor alami yaitu: 1. tanah, 2. air, 3. iklim 4. land form
(erosi dan kemiringan lereng). Faktor manusia, dipengaruhi oleh keadaan sosial
ekonomi dan pengaruh dari l u x seperti kebijakan nasional dan internasional.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang makin meningkat
jumlahnya dan kebutuhan akan mutu kehidupan yang lebih baik, maka perubahan
penggunaan lahan tidak dapat dihindari terutama perubahan lahan pertanian ke
non pertanian dan lahan hutan dirubah menjadi lahan pertanian. Hal ini dilakukan
petani karena lahan pertanian produktif telah berubah h g s i n y a menjadi kawasan
pemukiman, tempat rekreasi, pusat pertokoan, perkantoran, jalan dan sebagainya
2.3 Lahan Kering I Tegalan
Lahan kering 1 tegalan adalah sebidang lahan yang digunakan untuk usaha
pertanian dengan memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung pada
air hujan (Rukmana, 1995). Selanjutnya Hidayat et al. (2000) mendefinisikan,

hahwa lahan kering adalah h a m p a n lahan yang tidak tergenang air pada
sebagian besar waktu dalam setahun.
Ciri-ciri lahan kering (Rukmana, 1995)
(a). Peka terhadap erosi terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak
tertutupi tumbuh-tumbuhan
(b). Tingkat kesuburan tanahnya rendah (unsur hara, bahan organik, reaksi tanah,
dan kapasitas tukar kation).
(c). Sifat fisik tanahnya kurang baik, (struktur padat lapisan tanah atas dan
lapisan tanah bawah memiliki kelembaban, rendah sirkulasi udara agak
terlambat dan kemampuan menyimpan air rendah).
Lahan kering dibedakan berdasarkan curah hujan yaitu (Rukmana, 1995) :
(a). Lahan kering beriklim basah, terdapat pada wilayah yang mempunyai curah
hujannya lebih besar dari 200 mm/ bulan selama 6-7 bulan dan bulan
kering curah hujan kurang dari 100 rnm/bulan selama 3-4 bulan atau curah
hujan minimal lebih dari 2000 mm/tahun.
(b). Lahan kering beriklim kering terdapat di daerah yang memiliki bulan kering
selama 7-9 bulan dan bulan basah 3-4 bulan.
Lahan kering di wilayah beriklim basah umumnya terdiri atas tanah masam,
miskin unsur hara, peka terhadap erosi, lereng curam dan pola tanam yang
diterapkan kurang baik hal ini menyebabkan menurunnya produktifitas pertanian
sehingga pendapatan petani menjadi rendah dan akhirnya petani tidak punya
modal yang cukup untuk mengelola usahataninya dengan semestinya. Lebih jauh
di jelaskan oleh Nugroho (1999), bahwa kerusakan fimgsi tanah sebagai media
turnbuh akibat erosi, miskin unsur hara dan terbatasnya kandungan bahan organik
merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan permasalahan biofisik, sedangkan
kondisi petani yang termasuk marjinal / pendapatan dan pendidikan rendah,
keterampilan teknik budidaya pertanian terbatas, belurn diterapkan teknik
konservasi tanah dengan baik merupakan faktor sosial ekonomi yang menonjol.

2.4 Koneeg Pembangunan Berkelanjutan
Istilah pembangunan berkelanjutan pertarnakali diperkenalkan oleh WCED
dalam Our Common Future yang didefinisikan sebagai berikut :

" Sustainable development is defined as development that meets the need of
the present without compromising that ability of the future generation to meet
their own needs ". Artinya, pembangunan berkelanjuatan adalah pembangunan
yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia atau penduduk saat ini
tanpa mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi di masa mendatang.
(Santoso. 2001; Sitorus, 2004). Selanjutnya dijelaskan oleh Sitorus (2004), dari
batasan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan
mengandung 3 pengertian yaitu:
(1). Dapat memenuhi kebutuhan penduduk saat ini tanpa mengorbankan
kebutuhan penduduk di masa mendatang.
(2). Tidak melampaui daya dukung lingkungan (ekosistem).
(3). Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia melalui
upaya menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam.
Daya dukung ekosistem yang lestari merupakan prasyarat dari tercapainya
kualitas hidup generasi sekarang dan yang akan datang. Selanjutnya menurut
Santoso (2001) ada 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan yaitu :
(1). Keadilan antar generasi (intergenerational equity). Prinsip ini bertolak dari
gagasan, bahwa sumberdaya dam (SDA) yang ada di bumi ini sebagai
titipan untuk digunakan generasi yang akan datang, setiap generasi
merupakan penjaga untuk kernanfaatan generasi berikutnya dan juga sebagai
penerima manfaat dari generasi sebelumnya. Prinsip ini menuntut tanggung
jawab dalam pemeliharaan peninggalan (warisan) dari generasi sebelumnya
dan tidak memberikan beban eksternalitas kepada generasi berikutnya.
(2). Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). Prinsip ini
didasarkan atas ketidakberhasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar
lingkungan dan sosial serta adanya kesenjangan antara individu dan
kelompok-kelompok. Biasanya beban dari masalah lingkungan dipikul oleh
ekonomi lemah, kerniskinan dapat menyebabkan terjadinya degradasi
lingkungan, perlindungan lingkungan akan berdampak pada sektor tertentu
sebaliknya sektor

lain

memperoleh

keuntungan,

banyak

praktek

pembangunan yang menimbulkan kerusakan sumberdaya alam yang
dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak dan lain-lain.
(3). Prinsip pencegahan dini (Precautionary principle) untuk merespon pada

kebijakan lingkungan konvensional dimana upaya pencegahan atau
penanggulangan baru dapat dilakukan bila resiko benar-benar telah diketahui
dan dapat dibuktikan. Kebijakan lingkungan konvensional sering kali
terlambat mencegah dan menanggulangi resiko yang terjadi.
(4). Perlindungan keanekaragaman hayati atau Conservation of biological

diversity. Prinsip ini didasarkan bahwa sumberdaya ekologis dengan
keanekaragaman hayatinya menyediakan makanan, air bersih, zat pewarna,
obat-obatan, produk industri, sebagai tempat dan sumber inspirasi, rekreasi,
menjaga kesuburan dan kelestarian tanah. Perlindungan keanekaragaman
hayati menyangkut persoalan moral, etika dan hidup matinya manusia.

(5). Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (Internalisation of
environment cost and insentive mechanism). Prinsip ini berangkat dari suatu
keadaan dimana penggunaan sumberdaya alam merupakan kecenderungan
atau reaksi dari dorongan pasar, sementara masyarakat yang menjadi korban
dari kerusakan lingkungan akibat pengguna SDA dianggap sebagai
komponen eksternal (tidak masuk dalam hitungan) sehingga tidak punya
akses dalam memaksa kelompok-kelompok yang menimbulkan kerusakan
untuk membayar kerugian tersebut.
Sejalan dengan pengertian dan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut
maka upaya pengelolaan sumberdaya lahan kering berlereng yang bijak adalah
dengan menerapkan rekomendasi konservasi teknik vegetatif optimal dengan
sistem agroforestri. Sebuah rekomendasi yang dihasilkan melalui studi mendalam
tidak hanya memfokuskan pada aspek konservasi sumberdaya lahan melainkan
juga mempertirnbangkan dengan cermat aspek ekonomi dan sosial petani selaku
pengguna lahan. Diharapkan dengan penerapan usahatani konservasi teknik
vegetatif yang sesuai dengan kesesuaian lahannya dan keinginan petani serta
secara ekonomi menguntungkan maka usahatani tersebut akan dikembangkan
secara berkelanjutan karena telah memberikan manfaat ekonomi sosial dan
lingkungan dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan memenuhi

Sistem agrnforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana
pepohonan ditanam secara turnpangsari dengan satu afau lebih tanaman semusim.
Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan,
secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam
larikan sehingga membentudc lorong. Baerah yang berlereng &pat menggunakan
teknologi SALT (Sloping Agricultural Land Technology). Sistem SALT
diselenggarakan dalam satu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Centre Davao
Del Sur Philipina (Dephut, 1992). Sistem pertanian yang memadukan pepohonan
dengan tanaman semusim juga ditemui di daerah berpenduduk padat dengan
kendala keterbatasan surnberdaya lahan yang dapat diolah untuk pertanian. Teknik
/ cara bercocok tanam dan pengaturan let& tanaman terutarna di daerah berlereng

sangat berperan dalam konservasi tanah dan air serta produksi dan hasil pertanian.
Sistem agroforestri kompleks adalah: Suatu sistem pertanian menetap yang
terdiri dari banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam
maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani
mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan.
Menurut Hairiah, et al. (2004) agroforestri pada dasarnya mempunyai tiga
komponen dasar yaitu komponen kehutanan, pertanian dan peternakan, setiap
komponen berdiri sendiri-sendiri sebagai bentuk penggunaan lahan. Umurnnya
ditujukan pada produksi 1 (satu) komoditi khas. Penggabungan tiga komponen
tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi diantaranya :

(1). Agrisilvikultur yaitu penggunaan lahan dengan pertimbangan mas& untuk
memproduksi sekaligus hasil hasil pertanian dan kehutanan.

(2). Sylvopastoral system yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk dapatkan
hasil kayu dan memelihara temak.

(3). Agrosylvo-pastoral system yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus
untuk memelihara hewan ternak.
(4). Mulripurpose Forest yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai
jenis kayu yang tidak hanya untuk hasil kayunya akan tetapi juga daundaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan
manusia ataupun pakan ternak.

2.5.1 Manfaat Agroforestri

Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk
memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun menurut Wijayanto, et al. (2004) bahwa petani agroforestri senantiasa
menghadapi hambatan dan tantangan dalam menjalankan sistem usahataninya,
baik yang berasal dari dalam maupun dari l w sistem. Hambatan dari dalam
misalnya terkait dengan sistem produksi seperti kesuburan tanah, ketersediaan
tenaga kerja dan modal. Hambatan dari l w misalnya fluktuasi harga produk
(harga yang rendah). Tantangan dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan
sistem agroforestri. Oleh karena itu perlu ada inovasi teknologi yang bisa
mengatasi berbagai harnbatan yang dihadapi oleh petani agroforestri, supaya
agroforestri bisa menjadi salah satu prioritas pilihan petani.
Selanjutnya ditambahkan bahwa agroforestri memiliki keunikan dibanding
dengan sistem pertanian monokultur, dan keunikan itu hams dimunculkan dalam
model yang membedakan antara model agroforestri dengan model sistem lain.
Berdasarkan ciri spesifik yang dimiliki sistem agroforestri maka model-model
dalam sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula,
antara lain yang menekankan pada : pertumbuhan (menghubungkan faktor
ketersediaan air hujan dengan pertumbuhan tanaman), tanah (model simulasi
proses yang tedadi dalam tanah) 3. ekonomi (model dari nilai ekonomi dari sistem
agroforestri, urnurnnya didasarkan pada biaya dan analisis manfaat dan yang
terakhir penggabungan yaitu model yang menggabungkan biofisik dan aspek
ekonomi dari sistem agroforestri.
Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil
suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan
memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan
antara lain oleh tidak adanya p e n m a n produksi tanaman dari waktu ke waktu
dan tidak ada pencemaran lingkungan. Diharapkan keberadaan agroforestri dapat
memecahkan masalah-masalah sebagai berikut:
(1). Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan.
a. Meningkatkan persediaan pangan baik secara tahunan atau tiap musirn

b. Perbaikan mutu nutrisi, pemasaran dan proses-proses dalam agroindustri.

c. Diversifikasi produk dan pengurangan resiko gaga1 panen.
d. Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.

(2). Memperbaiki penyediaan energi lokal khususnya produk untuk kayu bakar
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rurnah di daerah
pegunungan atau daerah berhawa dingin.

(3). Meningkatkan, memperbaiki secara

kualitatif dan diversifikasi produk

bahan mentah kehutanan maupun pertanian.
a. Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya produk-produk
yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar seperti : zat pewarna,
serat, obat-obatan dan zat perekat atau mungkin dapat dijual untuk
memperoleh pendapatan tunai.
b. Diversifikasi produk.
(4). Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya daerah dengan
persyaratan hidup yang sulit, dimana masyarakat miskin banyak dijumpai.
a. Mengusahakan peningkatan pendapatan clan ketersediaan pekerjaan yang
menarik.
b. Memelihara nilai-nilai budaya.

(5). Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi serta jasa
lingkungan setempat.
a. Mencegah terjadi erosi tanah dan degradasi lingkungan.
b. Perlindungan keanekaragaman hayati.
c. Perbaikan tanah melalui h g s i "pompa" pohon dan perdu, mulsa dan
perdu
d. Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life
fence).
e. Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Hal-hal sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat tercapai dengan cara
mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusun agroforestri
(pohon, produksi tanaman pertanian, ternak atau hewan) atau interaksi komponenkomponen itu dengan lingkungan. Selain itu ada beberapa keunggulan sistem
pertanaman agroforestri dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya :

(1). Produktifitas (Productivity) Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk
total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan
pada monokultur, disebabkan bukan saja keluaran (out put) sebidang lahan
yang beragam akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya
tanaman campuran memberi keuntungan, karena kegagalan satu komponen 1
jenis tanaman dapat ditutupi oleh keberhasilan komponen / jenis tanaman
lainnya.
(2). Diversitas (Diversity). Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih
pada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik
menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat
mengurangi resiko kerugian akiba? fluktuasi harga pasar, dari segi ekologi
dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi
pada budidaya monukultur.

(3). Kemandirian (Self-Regulation). Diversifikasi yang tinggi dalam sistem
agroforestri

diharapkan dapat marnpu memenuhi kebutuhan pokok

masyarakat dan petani kecil dan melepaskannya dari ketergantungan
terhadap produk-produk dari luar. Kemandirian sistem produksi akan
berfungsi lebih baik karena tidak memerlukan banyak input dari luar (pupuk
dan pestisida) dibandingkan dengan sistem monokultur

(4). Stabilitas (stability). Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan
produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang
sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas dan
kesinambungan pendapatan.
2.5.2 Beberapa Contoh Rekonstruksi Agroforestri di Indonesia.

Banyak praktek pengelolaan sumberdaya alam oleh penduduk di berbagai
daerah sebenarnya untuk pengelolaan hutan alam menjadi cikal bakal agroforestri
sebagai contoh (De Foresta, et al. 2000) :

(1). Orang kubu di Sumatera merawat areal di tengah hutan kemudian diperkaya
dengan tanaman yang bermanfaat berupa pohon buah durian, mangga,
tanaman pengikat hewan buruan dan pucuk liana, sementara tumbuhan
pengganggu dibabat. Manipulasi yang bersifat melindungi sumberdaya alam
tersebut biasanya dilakukan mengiringi praktek perladangan gilir balik.

Akan tetapi pada saat membuka lad-,

tanaman yang dianggap bermanfaat

dibiarkan, pohon pohon tertentu ditanam bersama tanaman pangan di ladang
dan setelah ldang d i t i d k a n , pertumbuhan terus berlangsung dan ladang
menjadi padat dengdn buah-buahan (agoforestri buah-buahan).
(2). Kebun-kebun pekahngan di Pulau Jawa. Usaha-usaha rekonstruksi hutan
dapat ditemukan di sekitar pemukiman penduduk di pulau Jawa disebut
kebun pekarangan. Kebun kebun pekarangan (homegarden) mamadukan
berbagai sumberdaya tanaman dari hutan yang paling bermanfaat bagi
kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, tanaman obat, sayur-sayuran

dan umbi-umbian. Kehadiran kebun pekarangan dan campur tangan manusia
secara terus-menerus membuat kebun itu menjadi sistem yang benar-benar
buatan (artijicial), meskipun masih tetap bisa ditemukan sifat khas vegetasi
hutan. Kekayaan jenisnya sangat menakjubkan, pada lahan seluas 400 m2
terdapat lebih dari 50 jenis, sementara kurang lebih 300 jenis tanaman dapat
ditemukan di lingkungan desa di sekitar Bogor, Jawa Barat.
(3). Rekonstruksi kebun damar menjadi agroforestri damar di Pesisir h i ,

Lampung sebagai berikut:
a. Tahun pertama pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan (bisa
hutan rimba, belukar atau alang-alang) dan penanaman padi pertarna,
sayuran dan buah-buahan seperti pisang dan pepaya.
b. Tahun ke 2, penanaman padi kedua dan tanam kopi di antara padi.
c. Tahun ke 3 sampai ke 7 atau ke 8, penanaman padi tidak dilakukan lagi.
Bibit damar diambil dari petak pembibitan lalu ditanam di sela-sela
tanaman kopi yang produksi pertamanya mencapai 600 kg / ha, ladang
juga ditanami tanaman pohon buah-buahan penghasil kayu dan lain-lain.
Produksi kopi menurun setelah 3 atau 4 tahun kemudian hingga
mencapai 100 kglha. Setelah itu kebun-kebun ditinggalkan.
d. Tahun ke-8 sampai tahun ke 25 pohon berkembang di antara kopi yang
mulai rusak, vegetasi sekunder mulai tumbuh, petani mulai menyiangi
secara berkala, buah buahan (nangka, durian, duku, dan lain-lain), kayu
bakar, kayu perkakas dan kayu bangunan mulai dipanen seperlunya.

e. Tahun ke- 20 ke atas penyadapan getah pohon damar. Kebun damar

dikembangkan terus menerus melalui penanaman kembali rumpang dan
penganekaragaman alami.

2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) dalam beberapa literam mengunakan istilah
yang berbeda dalam arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah : watershed,
river basin, catchment atau drainage basin. Istilah watershed karena
hubungannya dengan batas aliran, sedangkan istilah river basin, catchment atau
drainage basin digunakan karena hubungannya dengan aliran (Wijayaratna, 2000)

Manan (1977) berpendapat, bahwa daerah aliran sungai adalah sebuah
kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi, menampung, menyimpan dan
mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, ke sungai utama yang bermuara ke
danau atau lautan. Daerah aliran sungai (DAS) dapat terdiri dari beberapa sub
DAS dan Sub DAS dibagi menajadi Sub-sub DAS atau daerah tangapan air
(DTA). Sejalan pengertian tersebut Salim (1981) merinci ada empat kriteria yang
harus dimiliki oleh sebuah DAS yaitu : ada wilayah daratan, terjadi penampungan
dan penyimpanan air hujan, terdapat pengaliran air hujan melalui anak-anak
sungai dan sungai sungai utama yang dipisahkan oleh wilayah lain oleh pemisah
topografis.
Berdasarkan karakteristik, morfologi dan aliran sungainya, DAS dapat
dibagi atas dua bagian yaitu bagian hulu dan bagian hilir. Daerah hulu sungai aim
upland catchment mempunyai ciri-ciri : berlereng curam, batasnya jelas, tanahnya
tipis, curah hujannya tinggi dan evapotranspirasi rendah. Daerahnya bergradien
tajam, alirannya cepat hingga sangat cepat. Sering terjadi hujan lebat sehingga
tanah selalu lembab, serta air lebih cepat masuk ke dalam jaringan sungai dan di
beberapa tempat jarang ditemukan dataran banjir, sedangkan hilir sungai (lowland
catchment) dicirikan oleh banjir pada saat hujan lebat (Knop, 1979 dalam
Darsiharjo 2004).
Daerah hulu sungai awalnya merupakan daerah yang terpelihara dengan
hutan d m tumbuh-tumbuhan lebat dan rindang, berfbngsi sebagai daerah resapan
dan surnber air, bahan makanan dan obat-obatan untuk kehidupan rnahluk hidup.

Dalam perkembangannya akibat pertambahan penduduk dan kebutuhan hidup
yang semakin meningkat maka hutan di daerah ini menjadi sasaran perambahan,
lahannya dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai komoditi tanpa adanya
tindakan konservasi tanah yang memadai akibatnya terjadi kerusakan bahkan di
beberapa tempat di daerah hulu sungai sudah mengalami kerusakan yang parah,
lahm menjadi gundul clan kritis.
Di Indonesia kerusakan tanah dan air terus meningkat terutama di daerah
hulu sungai yang dijadikan pertanian (Nugroho, 1999). Hal ini akibat masih
rendahnya peran serta masyarakat untuk memelihara dan mencegah terjadinya
kerusakan tanah. Rendahnya peran serta masyarakat karena rendahnya pendapatan
yang diperoleh dari hasil usahatani. Rendahnya pendapatan yang diterima petani
lebih disebabkan produktifitas lahan yang rendah disamping luas kepemilikan
lahan yang sempit. Petani-petani seperti ini memiliki modal relatif rendah, pada
hal untuk menggarap lahan yang produktifitas rendah diperlukan agroinput yang
tinggi termasuk biaya untuk konservasi tanah d m air. Kondisi usahatani lahan
kering yang demikian menyebabkan tejadinya proses saling memiskinkan antara
petani dan lahan garapannya. Hal itu talc boleh dibiarkan terus-menerus terjadi,
oleh karenanya diperlukan intervensi pemerintah dan atau lembaga-lembaga non
pemerintah guna mengatasi masalah yang dihadapi petani lahan kering berlereng.
Hal ini sesuai pendapat Sinukaban (2002), bahwa petani rniskin tidak dapat
memecahkan masalahnya sendiri.
2.7 Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang
lahan untuk penggunaan tertentu (Sitorus, 1998). Tingkat kecocokan sebidang
lahan atau kelas kesesuaian lahan dapat berbeda tergantung pada tipe penggunaan
lahan yang sedang dipertimbangkan, baik kesesuaian lahan sekarang (curent
suitability) maupun kesesuaian lahan potensial.
Kesesuaian lahan sekarang menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan
berdasarkan kondisi saat ini tanpa ada perbaikan berarti, sedangkan kesesuaian
lahan potensial menunjukkan kesesuaian penggunaan lahan setelah perbaikan
utama yang diperlukan.

Untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan suatu areal lahan diperlukan
evaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan
untuk penggunaan suatu komoditi pada dasarnya merupakan penilaian untuk
menemukan sifat-sifat positif dalam hubungannya dengan keberhasilan produk
yang dipertirnbangkan.
Ada dua tahap untuk memilih lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu.
Tahap pertama adalah untuk memilih persyaratan tumbuh tanaman (land use

requirement

=

LUR) yang akan diusahakan atau menilai sifat-sifat tanah yang

pengaruhnya bersifat positif terhadap tanaman. Tahap kedua, mengidentifikasi
dan membatasi lahan yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan tetapi tanpa
sifat lain yang tidak diinginkan.
Tujuan utama evaluasi lahan adalah untuk mengetahui potensi atau nilai dari
suatu areal untuk penggunaan tertentu. Evaluasi tidak terbatas hanya pada
penilaian karakteristik lingkungan tetapi dapat juga mencakup analisis-analisis
ekonomi, konsekwensi sosial dan dampak lingkungannya ( Sitorus, 1998 ).
Sifat-sifat tanah dan lokasinya atau karakteristik tanah ( l a d characteristic)
adalah sifat-sifat tanah yang dapat diukur atau diestimasi, misalnya panjang
lereng, tekstur, bahan organik, kedalaman tanah dan sebagainya.
Proses akhir dari evaluasi lahan adalah tahapan dimana persyaratan yang
dibutuhkan suatu penggunaan lahan (land use requirement = LUR) dibandingkan

(matching) dengan kualitas lahan (land quality = LQ) atau land characteristic dari
tiap tipe penggunaan lahan (LUT) dalam satuan lahan homogen (SLH). Proses
membandingkan antara kualitas lahan dan persyaratan turnbuh tanaman dalam
suatu evaluasi lahan diharapkan dapat menjawab (FAO, 1976) :
(1). Bagaimana lahan eksisting dikelola petani. Apa yang akan terjadi bila

pengelolaan seperti itu terus dilakukan.

(2). Perbaikan apa yang mungkin dilakukan.
(3). Apa bentuk penggunaan lain yang sesuai.

(4). Bentuk penggunaan lain yang bagaimana yang dapat menghasilkan produk
yang berkelanjutan dan menguntungkan.

(5). Efek negatif apa yang mungkin muncul secara fisik, ekonomi atau sosial

terhadap masing masing penggunaan lahan tersebut.
(6). Masukan apa yang diperlukan untuk dapatkan produksi yang diinginkan dan

untuk menekan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
(7). Apa keuntungan dari tiap penggunaan lahan tersebut.

(8). Bila penggunaan lahan dirubah maka perubahan lingkungan fisik apa yang
diperlukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan.
Dalarn penelitian ini selain menganalisis kesesuaian lahan secara fisik, akan
dianalisis kesesuaian lahan secara ekonomi. Kesesuaian lahan secara ekonomi
akan memberikan gambaran yang lebih realistis tentang keputusan pilihan
penggunaan lahan aktual..

2.8 Sosial Ekonomi Masyarakat di Pedesaan
Sekitar 83 persen rumah tangga di Indonesia tinggal di pedesaan dan
kondisinya memerlukan bmtuan dan pemikiran guna memecahkan masalah yang
dihadapinya (Sajogyo, 1982). Selanjutnya dijelaskan, bahwa masalah umum yang
dihadapi oleh rumah tangga di pedesaan adalah rendahnya pendapatan, sulitnya
mencari pekerjaan, sempitnya penguasaan lahan dm rendahnya pendidikan.
Rendahnya pendidikan dan sulitnya mencari pekerjaan lain menghanrskan
anggota rumah tangga petani tetap menggantungkan diri pada sektor pertanian
walaupun hanya dengan memanfaatkan lahan yang marjinal baik secara kualitas
maupun kuantitas. Balkan di beberapa daerah sebagian petani yang karena
lahannya yang sangat sempit sehingga usahatani tidak mencukupi kebutuhan
hidup keluarga hams rela menjadi buruh tani.
Pemanfaatan lahan yang marjinal oleh petani yang memiliki modal yang
rendah (akibat pendapatan rendah) akan sulit meningkatkan pendapatannya, untuk
itu perlu dicari solusinya. Solusi yang terbaik adalah memanfaatkan sumberdaya
yang dimiliki secara optimal seperti tenaga kerja keluarga (laki-laki, perempuan
dan anak-anak), modal tunai dan lahan serta tanaman potensial yang tersedia.
2.8.1 Kemiskinan dan Kebutuhan Hidug Layak

Kemiskinan dapat bersifat mutlak atau nisbi. Kemiskinan mutlak yaitu orang
miskin tidak dapat mencukupi kebutuhan fisiknya seperti pangan, pakaian dan

2.8.2 Potensi Tenaga Kerja Keluarga Tani

Menurut, Young (1955) dalam Hernanto (1989), potensi tenaga kerja di
sektor partanian tradisional dalam kelwga tani yang digunakan sebagai tenaga
kerja dapat dihitung dengan cara membandingkan tenaga kerja pria sebagai
ukuran baku dan jenis tenaga kerja lain dikonversikan atau disetarakan dengan
pria yaitu pria bekerja 1 hari atau pria = 1 hari kerja (HK) pria, 1 wanita dewasa
0,7 hari kerja pria, hewan ternak 2 hari kerja pria, anak 0,5 hari kerja pria. Potensi
tenaga kerja menurut Rukasah (1974) dalam Wernanto (1989) hams
dilipatgandakan atau dikalikan pencurahannya dalam satu tahun. Seorang tenaga
kerja pria akan bekerja 300 hari kerja 1 tahun, tenaga kerja wanita dewasa 226 hari
kerja 1 tahun dan anak anak 140 hari kerja 1 tahun. Potensi tenaga kerja yang
cukup besar tersebut bila dikelola dengan baik dapat memberikan input tenaga
kerja dalam proses produksi dan dalam kegiatan kegiatan lain yang menghasilkan
pendapatan.
Selain tenaga kerja petani di daerah Hulu Sub DAS Cikapundung memiliki
lahan walaupun luasan yang sangat terbatas serta modal usahatani yang terbatas
namun bila digunakan secara optimal clan penerapannya menggunakan prinsip
ekonomi clan pertimbangan keberlanjutan usaha, akan dapat memberikan nilai
tarnbah tersendiri.
2.8.3 Biaya dan Pendapatan Usahatani

Setiap petani dalam kegiatan usahataninya akan selalu memperhitungkan
biaya dan pendapatan. Dengan cara demikian petani akan menemukan berbagai
macam upaya untuk memecahkan masalah dan mengetahui kekurangan pada
faktor mana saja yang perlu ditingkatka. agar usahatani yang dilaksanakan dapat
mencapai hasil yang diharapkan (Mosher, 1975). Untuk menghitung biaya dan
pendapatan usahatani dapat dibedakan dari tiga cara, yaitu (Hadisaputro, 1986) :
(1). Dengan memperhitungkan keadaan keuangan usahatani petani pada suatu
waktu tertentu.

(2). Dengan memperhitungkan besarnya biaya dan pendapatan usahatani selama
1 (satu) tahun.

(3). Dengan mempertimbangkan hubungan antara biaya dan pendapatan dalam
usahatani selama setahun.
Pendapatan merupakan pedoman untuk menilai keberhasilan usahatani. Bagi
petani, pendapatan merupakan hasil kombinasi tenaga, modal dan jasa di bidang
tatalaksana. Pendapatan merupakan selisih dari pendapatan kotor dengan selunrh
biaya yang dikeluarkan. Pendapatan kotor adalah hasil kali produksi dengan harga
perkesatuan (Hadisaputro, 1986) sedangkan menurut Suproyo (1979), pendapatan
petani dapat dihitung dengan mengurangi nilai penerimaan hasil yang dikonsumsi
sendiri dengan seluruh pengeluaran.
Dalam kegiatan usahatani, yang dimaksudkan biaya produksi adalah scmua
pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sejurnlah produksi tertentu.
Biaya produksi dibedakan atas dua, yaitu (Mubyarto, 1986) :
(1). Biaya tetap yaitu dana yang dikeluarkan baik besar maupun kecilnya ti&
berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan, terdiri atas : sewa lahan,
pajak tanah, bunga modal pinjaman dan penyusutan alat-alat tahan lama.

(2). Biaya tidak tetap, besar kecilnya mempengaruhi besarnya produksi yang
dihasilkan yang terdiri atas : biaya sarana produksi dan upah tenaga kerja.
Sedangkan menurut Suproyo (1979), yang termasuk biaya produksi adalah:

(a). Pengeluaran untuk sarana produksi yang terdiri atas: benih, pupuk dan obatobatan.
(b). Pengeluaran upah tenaga kerja.
(c). Pengeluaran untuk pajak tanah, iuran pengairan dan lain-lain.

2.9 Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat terkikis dan terangkut lalu
diendapkan di tempat lain. Pengangkutan dan pernindahan bagian-bagian tanah
tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin (Arsyad, 2000).
Erosi timbul sebagai hasil aksi dispersi dan tenaga pengangkutan oleh air
hujan yang mengalir di permukaan dan atau di dalam tanah. Jadi erosi dapat
terjadi minimal dengan satu tahapan yakni dispersi oleh butir hujan sebagai energi

kinetik pada permukaan tanah yang dapat menyebabkan terurainya agregat tanah.
Menurut Rahim (2000), tahapan erosi tanah meliputi :
(1). Benturan butir butir hujan dengan tanah.
(2). Percikan tanah oleh butiran hujan ke semua arah.
(3). Penghancuran bongkah tanah oleh butiran hujan.
(4). Pemadatan tanah (soil compaction).
(5). Penggenangan air di permukaan tanah.
(6). Pelimpasan air akibat adanya penggenangan dan kemiringan lahan.
(7). Pengangkutan partikel partikel yang terpercik dan atau massa tanah yang
terdispesi oleh air permukaan
Selanjutnya ditarnbahkan bahwa pada dasarnya erosi tanah dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu :
(1). E