Potensi Sistem Agroforesrtri Untuk Kegiatan Proyek Karbon Kehutanan Di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat
iii
POTENSI SISTEM AGROFORESTRI UNTUK KEGIATAN
PROYEK KARBON KEHUTANAN DI KABUPATEN
LIMAPULUH KOTA SUMATERA BARAT
DENI SOREL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Potensi Sistem Agroforestri Untuk Kegiatan Proyek Karbon Kehutanan di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat” ini adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2007
(3)
v
ABSTRAK
DENI SOREL. Potensi Sistem Agroforestri Untuk Kegiatan Proyek Karbon Kehutanan di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat. Komisi Pembimbing: NURHENI WIJAYANTO and RIZALDI BOER
Agroforestri merupakan salah satu sistem yang sudah umum dilakukan pada usaha tani lahan kering di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sistem ini berpotensi untuk dilaksanakan dalam program rehabilitasi lahan. Tujuan penelitian ini adalah :1). Menduga potensi mitigasi beberapa sistem agroforestri yang dilakukan petani; 2) menghitung kelayakan finansial dari sistem agroforestri tersebut; 3) menghitung dan memproyeksikan kemampuan mitigasi dari beberapa sistem agroforestri pada 3 skenario mitigasi (baseline, pemerintah, dan mitigasi (proyek karbon); dan 4) menghitung potensi Kabupaten Limapluh Kota dalam memproduksi carbon credit untuk diikutsertakan dalam kegiatan Clean Development Mechanism (CDM). Pengumpulan data dilakukan melalui survei pada 3 kecamatan di Kabupaten Limapuluh Kota. Data yang dikumpulkan meliputi 1) Kondisi Ekonomi Masyarakat (jenis mata pencaharian utama, mata pencaharian tambahan, alokasi waktu bekerja, dan tingkat pendapatan); 2) Kondisi Sosial Budaya Masyarakat (jumlah penduduk, tingkat pendidikan, pola kelembagaan yang digunakan, produktifitas); dan 3) Identifikasi potensi, interaksi, dan persepsi masyarakat terhadap hutan dan kegiatan CDM. Data biomasa diperoleh dengan metode purposive sampling. Analisis kelayakan finansial dan penyerapan karbon dilakukan dengan COMAP (Comprehensive Mitigation Assessment Process). Hasil penelitian menunjukkan potensi mitigasi dalam skenario 5 tahun rehabilitasi untuk periode mitigasi 30 tahun, sebagai berikut: Model IV (karet dan cokelat)/175,05 tC ha-1, Model V (karet dan gambir)/ 170,05 tCha-1,Model I (agroforestri kompleks dengan 3 tanaman pokok: kemiri, durian, jengkol)/189,65 tCha-1, Model III (kelapa dan cokelat)/178,85 tCha-1, Model II (agroforestri kompleks dengan 7 tanaman pokok: kemiri, durian, kayu manis, alpukat, mahoni, cengkeh, nangka)/161,65 tC ha-1. Pada kegiatan rehabilitasi dengan penjualan potensi karbon, nilai Net Present Value (NPV) of benefit dari Model V memperlihatkan hasil tertinggi (US$ 4,251 ha-1yr-1), diikuti oleh Model IV (2,571 US$ ha-1yr-1), Model I (US$ 1,425 ha-1yr-1), Model III (US$ 1,203 ha
-1yr-1) and Model II (US$ 675 ha-1 yr-1). Potensi carbon credit dari Kabupaten
Limapuluh Kota untuk skenario tCER I adalah 43.899.113 tCO2e dan untuk
skenario tCER II adalah 32.730.534 tCO2e.
(4)
ABSTRACT
DENI SOREL. The Potentials of Agroforestry System for Forest Carbon Project in Kabupaten Limapuluh Kota, West Sumatera. Advisory committee: NURHENI WIJAYANTO and RIZALDI BOER
Agroforestry is one of common dry land farming practices in Kabupaten Limapuluh Kota, West Sumatera. This practices may be potential to be implemented for land rehabilitation program. The study aimed :1) to estimate the mitigation potential of several types of agroforestry practiced by farmer; 2) to asses cost effectiveness of the agroforestry system; 3) to estimate C-sequestration of the agroforestry system under three scenarios (baseline, government, mitigation); and 4) to asses the potential of Kabupaten Limapuluh Kota to gain carbon credit from Clean Development Mechanism (CDM) project. Data was colected through survey in three sub-districts of Kabupaten Limapuluh Kota. Data being collected included: 1) Socio-economics of people (main job, side job, working time allocation, and income rate); 2) Socio-cultural aspect (population, education, local institutional, and productivity); 3) Identification of local potency, interaction, and people’s perception about forest and CDM project. Biomass sampling was done using purposive sampling methods. Assessment the cost effectiveness and C sequestration of agroforsetry system was conducted using COMAP modul. The result of the study showed that all models in 5 years forest rehabilitation for 30 years mitigation period programs gave mitigation potentials as follows: Model IV (rubber and cocoa)/175,05 tC ha-1, Model V (rubber and gambir)/ 170,05 tCha-1, Model I (complex agroforestry with 3 main trees: candlenut, durian and jengkol)/189,65 tCha-1, Model III (coconut and cocoa)/178,85 tCha-1, Model II (complex agroforestry with 7 main trees: candlenut, durian, cinnamon, avocado, mahogany, clove, jackfruit)/161,65 tC ha-1. In the rehabilitation program with trading of carbon potential, the Net Present Value (NPV) of Model V gave the highest financial benefits (US$ 4,251 ha-1yr-1), followed by Model IV (2,571 US$ ha-1yr-1), Model I (US$ 1,425 ha-1yr-1), Model III (US$ 1,203 ha-1yr-1) and Model II (US$ 675 ha-1 yr-1). The carbon credit potential of Kabupaten Limapuluh Kota under tCER I scenario is 43.899.113 tCO2e, and tCER II scenario is 32.730.534 tCO2e.
(5)
vii
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007. Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
(6)
POTENSI SISTEM AGROFORESTRI UNTUK KEGIATAN
PROYEK KARBON KEHUTANAN DI KABUPATEN
LIMAPULUH KOTA, SUMATERA BARAT
DENI SOREL
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(7)
ix
Judul Tesis
:
Potensi Sistem Agroforestri Untuk Kegiatan Proyek Karbon Kehutanan di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.Nama Mahasiswa
:
Deni Sorel Nomor Pokok (NRP):
E051020011Program Studi
:
Ilmu Pengetahuan KehutananDisetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. Dr.Ir. Rizaldi Boer, M Sc.
K e t u a Anggota
Diketahui
Plh. Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS.
(8)
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala, atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis penelitian yang berjudul “Potensi Sistem Agroforestri Untuk Kegiatan Proyek Karbon Kehutanan di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat” ini, sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka penyelesaian studi pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir Nurheni Wijayanto MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan kesabarannya telah memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis sejak dari penyusunan usulan rencana penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Pimpinan dan staf Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S2 pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Pimpinan dan staf Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan, arahan dan perhatian kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi ini.
3. Rektor Universitas Andalas yang telah memberikan izin dan rekomendasi untuk dapat mengikuti program Magister Sains (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Direktur Politeknik Pertanian Universitas Andalas yang telah memberikan izin dan rekomendasi untuk dapat mengikuti program S2 pada Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS)
6. Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota, khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Limapuluh Kota, Bappeda Kabupaten Limapuluh Kota, Camat Kecamatan Bulit Barisan, Wali Nagari Banja Loweh, dan masyarakat di lokasi
(9)
ii survei atas bantuan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.
7. Bapanda H. Saukani Sarin dan Ibunda Hj. Djawati Nauman, bapak/ibu mertua H. Djamhoer Djamil BcAn (alm) dan Hj. Anda Himar (alm) serta adik-adik yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan untuk kemajuan dan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
8. Istriku Rini Yulianti AMAE, atas segala dorongan, pengorbanan dan kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.
9. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi IPK yang telah banyak memberikan dukungan dan perhatian untuk kemajuan penulis.
10.Rekan-rekan seperjuangan di Mess Universitas Andalas Bogor atas segala bantuan, perhatian dan dukungannya selama masa pendidikan ini.
11.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan moril kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.
Disadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan tesis ini, untuk itu masukan, saran dan informasi sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, sebagai informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kehutanan.
Bogor, Januari 2007 Penulis
(10)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN... vii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Kerangka Pemikiran Penelitian... 3
Tujuan Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
CDM Pada Sektor Kehutanan ... 6
Opsi Mitigasi... 8
Pilihan Agroforestri dalam Kegiatan Penyerapan Karbon... 10
COMAP (Comprehensive Mitigation Assessment Process) ... 15
METODE PENELITIAN... 18
Tempat dan Waktu Penelitian ... 18
Ruang Lingkup Penelitian... 18
Tahapan Kegiatan dan Analisis... 19
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 23
Deskripsi Geografis Wilayah ... 23
Wilayah Survei... 24
(11)
iv
Model Agroforestri ... 26
Mean Annual Increment (MAI) ... 27
Potensi Mitigasi... 29
Skenario Rehabilitasi dan Potensi Mitigasi... 30
Potensi Carbon Credit………..………...31
Kelayakan Finansial ... 33
Potensi Untuk Implementasi Proyek Karbon Kehutanan... 38
Persepsi Masyarakat Mengenai Kegiatan Perdagangan Karbon... 42
Kendala Penerapan Proyek Karbon Kehutanan ... 43
SIMPULAN DAN SARAN ... 46
Simpulan ... 46
Saran... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 48
(12)
DAFTAR TABEL
1. Potensi dan biaya mitigasi gas rumah kaca di sektor kehutanan ...8
2. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Limapuluh Kota...23
3. Sebaran Lahan Kritis di Kabupaten Limapuluh Kota...24
4. Model agroforestri sampel penelitian ...27
5. Mean Annual Increment (MAI) model agroforestri ...28
6. Potensi mitigasi masing-masing model ...30
7. Distribusi alokasi lahan untuk opsi mitigasi pada 3 skenario rehabilitasi hutan dan lahan... ...30
8. Potensi carbon credit Kabupaten Limapuluh Kota...33
9. NPV, IRR, B/C opsi mitigasi tanpa dan dengan penjualan CER ...33
10.Kegiatan mitigasi dengan penjualan CER berdasarkan skenario rehabilitasi lahan ...36
(13)
vi
DAFTAR GAMBAR
1. Hubungan antar modul COMAP ...16
2. Tahapan Kegiatan Penelitian ...22
3. Annual carbon stocks pada 3 skenario rehabilitasi lahan ...31
4. Potensi carbon stocks terhadap tCER dihitung sebagai additional dari stok karbon skenario baseline ...33
5. Potensi carbon stocks terhadap tCER dihitung sebagai additional dari stok karbon skenario pemerintah...33
6. Grafik pendapatan bersih masing-masing opsi mitigasi dengan dan tanpa CER ...35
7. Grafik Net Present Value (NPV) of Benefit 5 opsi mitigasi dengan dan tanpa CER ……….………...……….………37
8. Grafik Internal Rate of Return (IRR) 5 opsi mitigasi dengan dan tanpa CER ………...………..37
9. Grafik ukuran keluarga………38
10.Grafik luas penguasaan lahan... ………..……….39
11.Grafik tingkat pendapatan (a), dan sebaran pendapatan berdasarkan kelompok sumber pendapatan (b) ………..………...39
12.Grafik gabungan tingkat konsumsi masyarakat ...40
13.Tanaman yang diminati untuk ditanam...42
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data inputs for REFREGN of COMAP Modul ...49 2. Tabel perhitungan Mean Annual Increment berdasarkan persamaan
Ketterings (2001)……...………..51 3. Wood Density………...…...………….54 4. Biaya transaksi (transaction cost) untuk proyek karbon...55 5. Perkiraan harga faktor produksi yang digunakan dalam pengusahaan
agroforestri karet+gambir berdasarkan tingkat inflasi kota Padang.……… ..56 6. Perkiraan kebutuhan faktor produksi dan volume produksi dalam
pengusahaan agroforestri karet + gambir ...58 7. Perkiraan biaya dan nilai produksi dalam pengusahaan agroforestri
karet + gambir ...60 8. Analisis finansial usaha agroforestri karet + gambir per ha pada tingkat suku
(15)
1
PENDAHULUAN
Latar BelakangPembiayaan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia umumnya berasal dari hasil eksploitasi sumberdaya alam, industri dengan teknologi yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam mengakibatkan terjadinya deforestasi, konversi lahan pertanian dan pencemaran lingkungan. Keadaan ini diperparah oleh lemahnya pemahaman etika lingkungan, dan cenderung antroposentris dan eksploitatif. Jika deforestasi dan konversi lahan semakin tidak terkendali dikhawatirkan berdampak luas diantaranya pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan terjadinya hujan asam, peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim global.
Dalam kaitan dengan upaya menekan efek gas rumah kaca, yaitu mengurangi kadar gas CO2 di atmosfir, skema perdagangan karbon merupakan peluang yang perlu mendapat perhatian. Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan sebuah rekomendasi Protokol Kyoto, dalam pelaksanaannya mengacu kepada tiga aspek pembangunan berkelanjutan yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance) (Riyadi, 2005). Dari hasil penelitian National Strategy Study (NSS) tentang CDM untuk sektor kehutanan, diperoleh informasi bahwa pembangunan hutan yang berbasis masyarakat (yang merupakan bagian terbesar dari luasan yang potensial) mempunyai dampak yang positif terhadap aspek-aspek sosial (MoE, 2003).
Konsep agroforestry, suatu sistem pertanian berbasis pepohonan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan kelestarian alam, merupakan satu alternatif yang paling sesuai dalam menjawab tantangan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Roshetko et al. (2002) menyatakan bahwa sistem agroforestri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomasanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat
(16)
terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat.
Di Indonesia terdapat banyak sekali pola agroforestri yang dikembangkan mulai dari bentuk yang sederhana (misalnya budidaya pagar) hingga kompleks (misalnya hutan karet dan hutan damar di Sumatera). Di Sumatera Barat misalnya, dikenal adanya istilah parak, yaitu suatu pola penggunaan lahan multistrata yang mengkombinasikan banyak jenis tanaman tahunan dengan atau tanpa tanaman semusim berupa kebun campuran yang tidak terstruktur atau agroforestri kompleks.
Kabupaten Limapuluh Kota merupakan wilayah dengan sekitar 60 % luas kawasannya berupa hutan dalam berbagai bentuk, sementara 40 % luas areal berupa lahan budidaya. Banyak praktek agroforestri yang sudah dilakukan masyarakat, karena sebagian besar wilayah budidaya merupakan areal perkebunan rakyat dalam bentuk kebun campuran. Penerapan pola campuran pada tingkat petani atau masyarakat sejauh ini lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi daripada aspek konservasi lahan.
Berdasarkan pengamatan, di Kabupaten Limapuluh Kota praktek agroforestri banyak dilakukan masyarakat dengan berbagai komoditi terutama berbasiskan tanaman kopi atau cokelat. Kecenderungan meluasnya areal pertanaman cokelat dengan memanfaatkan lahan yang sudah ada tanaman pohonnya meningkat seiring dengan program pemerintah mulai tahun 2006 untuk menjadikan propinsi Sumatera Barat sebagai sentra produksi komoditi cokelat untuk wilayah Indonesia bagian barat. Komoditi tanaman perkebunan lainnya, gambir yang merupakan komoditi ekspor primadona daerah ini umumnya diusahakan secara monokultur dan cenderung mengalami peningkatan luas pengusahaannya dengan membuka hutan, sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya deforestasi dan degradasi kualitas lahan. Di beberapa tempat sudah terlihat kecenderungan petani gambir untuk mulai melakukan budidaya secara tumpang sari dengan tanaman karet. Sebagian petani masih enggan melakukan pola tumpang sari seperti ini karena dianggap akan menurunkan rendemen getah gambir dan pendapatan mereka.
(17)
3
Kerangka Pemikiran Penelitian
Berkembangnya kebutuhan akan lahan untuk kebutuhan manusia, mengakibatkan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas dan kuantitas lahan hutan. Penggunaan lahan diluar sektor kehutanan, untuk peruntukan pertanian, perkebunan, peternakan, perumahan, industri dan lainnya, lebih dominan sebagai penyebab terjadinya degradasi kualitas dan kuantitas lahan. Upaya rehabilitasi hutan dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui program-program yang sudah atau yang akan dilakukan pemerintah. Disamping itu inisiatif masyarakat untuk ikut dalam membangun kembali hutan untuk meningkatkan fungsi lahan hutan yang telah terdegradasi sangat diharapkan. Berbagai proyek kehutanan yang dilakukan pemerintah selama ini umumnya kurang bahkan tidak menyentuh masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan, sehingga adanya proyek tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahkan kegagalan beberapa proyek-proyek tersebut diantaranya disebabkan benturan langsung dengan kepentingan masyarakat, yang sudah tentu adalah masyarakat pedesaaan dengan mata pencaharian terutama dari sektor pertanian di sekitar kawasan hutan.
Dari beberapa penelitian, ternyata pembangunan kawasan hutan dengan partisipasi masyarakat dan berbasiskan peningkatan kesejahteraan masyarakat dinilai lebih memberikan hasil positif yang nyata baik terhadap upaya peningkatan kualitas lahan hutan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Salah satu bentuk atau sistem yang dinilai berdampak positif langsung terhadap masyarakat adalah sistem agroforestri. yang merupakan sistem atau pola pengelolaan lahan berbasis pohon dengan mengkombinasikan antara bidang kehutanan dan pertanian secara umum. Berbagai bentuk kombinasi dapat dikembangkan antara penanaman pohon dengan tanaman pangan, pohon dengan pemeliharaan ternak, dan lainnya.
Potensi sistem agroforestri tersebut perlu diperhitungkan untuk masa yang akan datang, terkait dengan kemungkinan diikutsertakannya kegiatan agroforestri baik yang dikembangkan melalui program pemerintah maupun atas parakarsa masyarakat ke dalam skema perdagangan karbon internasional. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM), merupakan satu
(18)
bentuk kerjasama antara negara maju dan negara berkembang dalam upaya menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), khususnya CO2 pada masa yang akan
datang (Murdiyarso, 2003). Beberapa skema perdagangan kabon lainnya juga sudah dikembangkan dengan ketentuan masing-masingnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih nyata tentang konsep/model yang akan dikembangkan, dibutuhkan studi pada site yang lebih kecil. Dari studi-studi ini dapat dikembangkan skenario pengembangan pola rehabilitasi hutan dan lahan, dalam hal ini khususnya agroforestri, agar dapat diadopsi ke dalam mekanisme perdagangan karbon tersebut.
Tujuan Penelitian
1.Menghitung kemampuan mitigasi beberapa praktek agroforestri yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Limapuluh Kota.
2.Menganalisa biaya efektif kegiatan agroforestri.
3.Menghitung dan memproyeksikan kemampuan penyerapan karbon sistem agroforestri pada tiga skenario yaitu skenario baseline, skenario pemerintah, dan skenario mitigasi.
4.Menghitung potensi Kabupaten Limapuluh Kota dalam memproduksi Credit Carbon untuk dapat diikutsertakan dalam kegiatan proyek karbon kehutanan.
(19)
5
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam yang berperan penting dalam menunjang kehidupan manusia, memiliki fungsi sebagai penyeimbang dalam konteks ekologis, fungsi hidroorologis dan sumber plasma nutfah, selain mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hutan merupakan salah satu penyerap CO2 yang cukup besar. Pohon-pohon di dalam hutan menggunakan CO2 dalam
fotosintesis yang menghasilkan O2 dan energi. Sebagian energi tersebut disimpan
dalam bentuk biomasa pohon.
Masalah yang timbul dari pengelolaan hutan dewasa ini adalah laju deforestasi yang tinggi. Laporan FAO (1992) memperkirakan bahwa laju deforestasi hutan tropis sekitar 17 juta ha per tahun. Dari angka tersebut sebagian besar dikonversi menjadi lahan pertanian, padang rumput (areal penggembalaan) dan hutan tanaman. Kurang lebih 5.1 juta ha berupa hutan sekunder tanpa pengelolaan dan perlakuan silvikultur yang memadai. Deforestasi hutan tropis tidak hanya berpengaruh pada produksi kayu (timber) tetapi juga lingkungan secara global.
Deforestasi diakibatkan adanya konversi hutan untuk penggunaan lainnya seperti pertanian, transmigrasi, perladangan berpindah, kebakaran hutan, dan terutama akibat eksploitasi hutan untuk produksi kayu. Kaimowitz (1988) dalam MoE (2003), mendefinisikan deforestasi sebagai kegiatan mengubah atau konversi hutan menjadi jenis pemanfaatan lain melalui aktivitas manusia seperti pertanian, pengembangan wilayah untuk transmigrasi dan prasarana, pertanian dengan sistem ladang berpindah, penebangan liar, dan kebakaran hutan, yang pada masa lampau hal ini lebih sebagai fungsi negatif dari kepadatan penduduk.
Berbagai studi untuk mengevaluasi dampak deforestasi serta usaha pengelolaan hutan yang merupakan opsi mitigasi kehutanan terhadap sumber emisi dan efektifitas biaya telah dilakukan. Analisis terhadap aspek ekonomi opsi-opsi mitigasi kehutanan ini nantinya akan memberikan pertimbangan pembangunan dan pengelolaan sektor kehutanan masa mendatang.
(20)
CDM Pada Sektor Kehutanan
Negosiasi internasional mengenai perubahan iklim yang berlangsung di Marakesh akhir tahun 2001 yang lalu telah menyepakati dimasukkannya sektor kehutanan sebagai salah satu aktivitas yang dimungkinkan dalam CDM. Ada dua jenis kegiatan di sektor kehutanan yang masuk ke dalam daftar proyek yang diperbolehkan dalam CDM yaitu aforestasi dan reforestasi (A/R).
Kegiatan Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) yang secara potensial dapat menekan terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi, peningkatan pengambilan karbon dan subtitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomasa (Trexler et al, 2000 dalam Boer, 2003). Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan pengambilan karbon (rosot) dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan bukan hutan (aforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi biomasa akan mengurangi emisi GRK secara langsung akibat dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong untuk memproduksi biomasa.
Emisi karbon tanah yang terjadi pada areal konversi yang mengalami degradasi lahan dapat dikurangi dengan melakukan penanaman kembali (plantation, agroforestry, reforestation, afforestation) yang berarti diperlukan suatu manajemen hutan yang baik. Demikian juga pemulihan kembali atau regenerasi pada areal pemanenen kayu, tanah yang terganggu dan emisi karbon tanah meningkat, dapat ditangkap kembali melalui proses fotosintesa (Brown et al, 1993). Fungsi hutan sebagai penyerap CO2 menyebabkan konservasi hutan
secara global akan mengurangi gas-gas rumah kaca di atmosfir. CO2 tersebut
disimpan dalam biomasa hutan. Hampir 50 % dari biomasa hutan tersusun atas karbon (Brown, 1997). Dengan demikian pendugaan biomasa pohon yang dilakukan dapat digunakan untuk menduga banyaknya karbon yang diserap oleh hutan.
(21)
7 Dari hasil kajian National Strategy Study (NSS) tentang CDM di sektor kehutanan dijelaskan bahwa Indonesia memiiki potensi untuk memasok karbon ke pasar melalui CDM sebesar 36 juta tCO2/th, 28 juta tCO2 diantaranya dapat
dipasok dari sektor kehutanan (MoE, 2003). Potensi besar dari sektor kehutanan ini diidentifikasi berasal dari beberapa tipe proyek yang tersebar di banyak tempat di Indonesia.
Indonesia dengan luas daratan 1,3 % dari luas daratan dunia, memiliki hutan dengan luas sekitar 3,1 % dari luas hutan dunia. Hutan seluas ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam mengendalikan iklim dunia melalui penyerapan karbon . Apabila digunakan acuan angka kandungan karbon menurut Houghton (1993), yaitu untuk hutan basah 250 ton/ha, maka besarnya karbon yang disimpan oleh hutan di Indonesia sekitar 0,50 x 120,4 juta hektar x 250 ton/ha = 15.050 juta ton karbon atau sekitar 15,05 milyar ton karbon, atau 4,6 % dari besarnya karbon yang disimpan pada bagian pohon dan tumbuhan hutan lainnya di seluruh dunia (Gardner dan Engelman, 1999).
Hasil kajian NSS (MoE, 2003) menunjukkan bahwa lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM adalah lahan Kyoto yang terlantar atau lahan kritis yang ada sejak tahun 1990 baik berupa lahan alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan-lahan pertanian yang sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Lahan Kyoto sendiri didefinisikan sebagai lahan bukan hutan dengan kriteria tutupan dibawah 30%, dengan tinggi pohon dibawah 5 m, dan luasan minimal 0,05 ha. Indonesia menggunakan batasan luas minimal 0,25 ha. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto, sehingga diperkirakan lahan yang layak untuk proyek CDM Kehutanan mencapai 30 juta ha.
Di Indonesia studi yang mengevaluasi potensi mitigasi (jumlah karbon bersih yang dapat diserap) di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990-an (DNM Norway 1990-and MSE Indonesia, 1993; Adi et al, 1999; Boer et al, 1999; Fuad, 2000; Boer, 2001). Hasil analisis beberapa studi mengenai potensi mitigasi, biaya dan nilai parameter sensitifitas ekonomi kegiatan CDM untuk beberapa kegiatan kehutanan seperti pada Tabel 1.
(22)
Tabel 1. Potensi dan biaya mitigasi gas rumah kaca di sektor kehutanan.
No Jenis Kegiatan
Potensi mitigasi (tC/ha) Biaya mitigasi per siklus hidup (US $/tC) Keuntungan (NPV of benefit;
US $/tC)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Konservasi dan Pengelolaan Hutan:
Perlindungan Hutan 55-220 1.18 -0.52
Reduced Impact Logging: 49 0.07 -0.01
Pengayaan 70 0.25 -0.19
2 Peningkatan Rosot (Penambatan Karbon):
Reforestasi tanpa pemanenan
- Spesies tumbuh cepat - Spesies tumbuh lambat
49-101 94-336 0.85-13.13 0.48-2.34 (-6.89)-(-0.81) (-0.16)-(-0.04) Reforestasi dengan pemanenan
- Rotasi pendek - Rotasi panjang
56-122 134-334 3.87-33.20 1.04-5.70 2.0-6.57 (-0.14)-(2.99)
Agroforestri 94 4.44 2.02
3 Substitusi Bahan bakar Fosil:
Bioelectricity 50-185 20.81 5.26-6.75
Sumber : Berdasarkan hasil studi Adi et al., 1999; Boer et al.,1999; Fuad, 2000; Boer, 2001. Hasil analisis yang disajikan di atas hanya memepertimbangkan kayu sebagai satu-satunya hasil hutan sementara hasil hutan non-kayu seperti rotan, obat-obatan, madu, jasa lingkungan Carbon dan lain-lain tidak diperhitungkan. Biaya transaksi (biaya untuk validasi, monitoring, verifikasi dan sertifikasi karbon) juga belum disertakan dalam analisis. (Sumber MoE. 2003).
Opsi Mitigasi
Opsi mitigasi kehutanan adalah semua aktivitas atau kebijakan yang mendorong terjadinya reduksi emisi karbon sebagai sumber Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan dengan meningkatkan kemampuan penyerapan dan pengikatan karbon dalam produk kayu rotasi panjang (long rotation) dan rotasi pendek (short rotation), proteksi terhadap kebakaran hutan, program penempatan bagi pelaku perladangan berpindah (shifting cultivation) dan penerapan kompensasi untuk konversi lahan hutan untuk lainnya diwajibkan untuk melakukan penanaman pohon di lahan kosong atau lahan bera di luar kawasan hutan.
Ravindranath dalam Boer (2000) mengklasifikasikan tiga kategori opsi mitigasi yang dapat dilakukan pada sektor kehutanan yaitu: (1) pengelolaan hutan yang berkelanjutan misalnya penerapan RIL (Reduced Impact Logging); (2) peningkatan rosot karbon (carbon sink) melalui kegiatan penanaman; dan (3) konservasi rosot karbon dari hutan misalnya kegiatan konservasi dan perlindungan hutan. Secara mendasar terdapat tiga kategori aktivitas dimana pengelolaan hutan dapat membantu pengurangan kandungan karbon di udara yaitu :
(23)
9
1. Penyerapan karbon, melalui aforestasi, reforestasi, dan restorasi lahan-lahan
terdegradasi, perbaikan teknik silvikultur untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan, dan implementasi sistem agroforestri pada lahan-lahan pertanian.
2. Konservasi karbon, melalui konservasi karbon tanah dan biomasa hutan,
perbaikan pola-pola panen seperti mengurangi dampak pembalakan (reduce impact logging), perbaikan dalam efisiensi pengolahan kayu, proteksi api dan penggunaan metode pembakaran pada sistem pertanian dan kehutanan.
3. Substitusi Karbon, meningkatkan konversi biomasa hutan kepada produk
kayu yang tahan lama, peningkatan pengunaan bio-fuel seperti pengenalan bioenergy, dan penajaman penggunaan limbah panen sebagai makanan ternak seperti limbah gergajian untuk bahan bakar.
Di Indonesia ketiga kategori kegiatan mitigasi disebut di atas sudah dilakukan, diantaranya ialah reforestasi, aforestasi, hutan kemasyarakatan, agroforestri, pengayaan, reduced impact logging, bioelectricity. Ketiga kegiatan mitigasi terakhir tingkat pelaksanaannya masih sangat rendah. Evaluasi terhadap potensi teknologi mitigasi di sektor kehutanan secara global sudah dilakukan. Besarnya potensi mitigasi dan biaya pelaksanaannya beragam menurut lokasi dan jenis kegiatan. Untuk kegiatan mitigasi forestasi (aforestasi dan reforestasi) misalnya, potensi mitigasinya di daerah lintang tinggi lebih rendah dibanding daerah lintang rendah, sedangkan biaya mitigasi relatif hampir sama.
Dalam Protokol Kyoto, aforestasi didefinisikan sebagai penghutanan lahan melalui penanaman dimana secara historis lahan tersebut bukan merupakan hutan. Pengertian historis memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Beberapa usulan menyebutkan angka antara 20-50 tahun. Jadi artinya suatu lahan yang mungkin 20-50 tahun sebelumnya merupakan hutan menjadi bukan hutan dapat dianggap sebagai lahan yang layak untuk pelaksanaan kegiatan aforestasi. Reforestasi ialah penghutanan lahan yang sebelumnya hutan menjadi hutan melalui penanaman. Hutan didefinisikan sebagai suatu kawasan dengan luasan minimal tertentu dan memiliki kerapatan biomasa atau tingkat penutupan tajuk di atas batas minimum yang ditetapkan.
(24)
Salah satu persyaratan paling penting yang harus dipenuhi oleh proyek CDM sebelum mendapat persetujuan Badan Otoritas Nasional/Designated National Authority (DNA) adalah bahwa proyek tersebut harus memenuhi sasaran atau berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Ini merupakan salah satu kriteria utama untuk CDM sebagaimana dinyatakan dalam artikel 12 Protokol Kyoto bahwa CDM dimaksudkan untuk membantu negara Non-Annex I dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi terhadap tujuan akhir Konvensi (MoE, 2003).
Pembangunan berkelanjutan dimaksud harus secara terus menerus dapat meningkatkan kualitas kehidupan saat ini dengan intensitas penggunaan sumber daya yang lebih rendah. Proses tersebut akan mewariskan kepada generasi yang akan datang cadangan kekayaan yakni modal alam dan sosial yang telah ditingkatkan mutunya yang akan menyediakan peluang yang tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat.
Pilihan Agroforestri dalam Kegiatan Penyerapan Karbon
Konsepsi agroforestri muncul berdasarkan kenyataan bahwa pengelolaan hutan secara optimal dan lestari tidak lepas dari peranan masyarakat terutama yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Hutan dan masyarakat saling tergantung. Oleh karena itu pengelolaan kawasan hutan tidak dapat hanya dikonsentrasikan atau diarahkan kepada hasil hutan (kayu) saja, melainkan harus dapat menghasilkan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Oleh karena masyarakat sekitar hutan umumnya adalah petani, maka kebutuhannya adalah menghasilkan produk komoditi pertanian. Untuk merealisasikan dua kepentingan tersebut muncul bentuk pengelolaan hutan yang memadukan produksi kayu dan produksi hasil pertanian .
Pembangunan seharusnya tidak hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga aspek pemerataan, kelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat, memberikan kesempatan dan penyediaan partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan mereka (United Nation Conference on Environment and Development, 1992). Dari hasil penelitian NSS tentang CDM untuk sektor kehutanan, diperoleh informasi bahwa pembangunan hutan yang berbasis masyarakat (yang merupakan bagian terbesar dari luasan
(25)
11 yang potensial) berdampak positif terhadap aspek-aspek sosial. Penciptaan lapangan kerja dan keeratan masyarakat merupakan dua hal yang menonjol yang tidak dijumpai pada proyek-proyek kehutanan “murni” yang terisolasi dari masyarakat di sekitar hutan (MoE, 2003).
Roshetko et al. (2002) menyatakan bahwa sistem agroforestri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomasanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat. Dari studi yang dilakukan NSS mengenai CDM di sektor kehutanan, digambarkan bahwa agroforestri (hutan kemasyarakatan, perhutanan sosial dan multi purposed tree system/MPTS) mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan masyarakat, sehingga melalui kesempatan kerja yang ditimbulkannya, agroforestri berdampak signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Secara ekonomi proyek-proyek hutan kemasyarakatan serta perhutanan sosial (agroforestri dan MPTS) menghasilkan nilai Net Present Value (NPV) dari nilai manfaat sebesar 65 – 5.738 US$/ha dengan B/C 1,2 – 9,1. Nilai ini merupakan yang tertinggi diantara beberapa jenis proyek kehutanan lainnya (MoE, 2003).
Nair (1992) menguraikan ada empat komponen utama yang menjadi ciri sistem agroforestri, yaitu: 1) Menghasilkan beragam keluaran yang dikombinasikan dengan perlindungan terhadap sumberdaya, 2) Menggunakan jenis-jenis lokal, tumbuhan bawah dan pohon serbaguna yang bertujuan agar agroforestri sesuai untuk lingkungan yang rentan, 3) Lebih mengedepankan nilai-nilai sosial-budaya dibanding sistem penggunaan lahan yang lain, dan 4) Praktek yang dilakukan secara struktur maupun fungsional lebih rumit daripada budidaya monokultur.
Penerapan sistem agroforestri dari beberapa penelitian didapatkan mempunyai keuntungan baik secara ekologis, ekonomi, dan juga sosial. Chundawat dan Gautam (1993) menjelaskan keuntungan secara ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari
(26)
kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) sistem ekologis terpelihara dengan baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan/atau hewan, dan g) terpeliharanya struktur tanah akibat adanya siklus bahan organik yang konstan.
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan dengan mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman semusim atau ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan. Pada dasarnya agroforestri mempunyai beberapa komponen penyusun utama yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non pohon, ternak dan manusia (Suprayogo et al, 2003).
Di Indonesia terdapat berbagai macam pola agroforestri yang dikembangkan mulai dari bentuk yang sederhana (misalnya budidaya pagar) hingga kompleks (misalnya hutan karet dan hutan damar di Sumatera) (Widianto et al. 2003). Lebih lanjut dijelaskan, bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan adanya pepohonan yang memiliki biomasa tinggi dan masukan serasah yang bermacam-macam kualitasnya dan terjadi secara terus menerus.
Berkaitan dengan potensi agroforestri dalam proyek karbon, Montagnini dan Nair (2004), menjelaskan estimasi penyerapan karbon dapat didasarkan kepada pandangan menyeluruh tentang potensi penyimpanan karbon jangka panjang dari semua komponen hutan termasuk tanah dan produk-produk hutan. Kesuburan tanah dapat menjadi faktor pembatas potensi penyerapan karbon pada hutan tanaman, sedangkan penyerapan karbon pada hutan campuran dapat lebih efisien daripada monokultur, sehingga potensi positif dari sistem agroforestri dalam peningkatan penyimpanan karbon dinilai lebih efektif. Hal ini khususnya karena terdapatnya efek tidak langsung terhadap karbon dan unsur hara, seperti
(27)
13 misalnya agroforestri dinilai lebih tepat dalam menurunkan kehilangan tanah akibat erosi.
Potensi penyerapan karbon dari sistem agroforestri didasarkan kepada asumsi bahwa komponen-komponen pohon dalam sistem agroforestri dapat menentukan rosot karbon di atmosfir secara signifikan melalui kecepatan pertumbuhan dan produktifitas. Dengan memperhitungkan pohon dalam produksi pertanian, agroforestri dapat meningkatkan penyimpanan karbon pada lahan untuk kebutuhan tanaman pertanian. Konsep agroforestri dinilai mempunyai nilai lebih pada komponen-komponen kesuburan tanah, variasi spesies dan konsepnya yang menyeluruh. Dua alasan utama yang mendasari potensi agroforestri dalam mengurangi emisi karbon dikemukakan Dixon (1985) yaitu: (1) banyaknya lahan di daerah tropis yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan meningkatnya penerapan sistem agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan potensi yang nyata sebagai sumber biotik karbon, dan (2) meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam dan hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai sebagai kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri untuk kayu bakar akan mengurangi tekanan terhadap penebangan hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak dapat diperbaharui.
Rusolono (2006) dalam penelitiannya tentang model pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri mendapatkan bahwa tegakan agroforestri dengan komposisi pohon yang dominan, seperti pada kebun campuran atau kombinasi pohon penaung (kopi-sengon) memiliki kemampuan penyimpan persediaan karbon bagian atas permukaan tanah hingga lebih dari 70 ton C/ha dalam waktu yang relatif lama yaitu lebih dari 10 tahun. Lebih lanjut dari penelitian tersebut didapatkan bahwa komponen biomasa karbon di atas permukaan tanah dalam praktek agroforestri tegakan murni maupun kebun campuran sebesar 80,7% berasal dari karbon tegakan pohon utama, 12,8 % dari pohon kopi (bawah naungan), 5,9 % dari serasah dan kayu mati (nekromasa) dan hanya 0,6 % yang berasal dari biomasa tumbuhan bawah.
Henri (2001) dalam penelitiannya di Wilayah Perum perhutani KPH Cepu, yang membandingkan antara pola tanaman jati yang dirotasikan (TR), jati yang
(28)
tidak dirotasikan (TWR), dan agroforestri (AF). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dari perhitungan potensi mitigasi opsi TWR lebih baik daripada TR dan AF, masing-masing sebesar 429.450 tC/ha; 200.888 tC/ha; dan 48.000 tC/ha.
Opsi TR memiliki keuntungan negatif karena bersifat long rotation yaitu pemanenan dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Untuk meningkatkan keuntungan pada opsi ini dilakukan penanaman campuran dengan sistem perhutanan sosial dan penanaman tanaman bawah. Opsi TWR juga mengindikasikan nilai keuntungan negatif, lebih besar daripada TR karena sama sekali tidak ada pemanenan kayu. Opsi ini ditujukan untuk konservasi tanah dan air serta biodiversitynya. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari opsi AF bernilai positif karena dipanen dalam jangka pendek (short rotation) dan menerapkan sistem pertanaman campuran. Keuntungan pada opsi AF sebesar 515.280 US $/ha/rotasi, dapat diberikan Perum Perhutani KPH Cepu kepada masyarakat setempat dari aktivitas mitigasi yang dilakukan.
Boer dan Hendri (2002) juga melakukan penelitian tentang Potensi Sistem Agroforestry untuk Proyek CDM, untuk mengetahui potensi mitigasi karbon, dan biaya efektif dari beberapa sistem agroforestry di pulau Jawa dengan mengambil site penelitian di Meru Betiri, Jawa Timur. Sistem agroforestri yang lazim dilaksanakan masyarakat di lokasi penelitian adalah agroforestri berbasis tanaman obat, dimana dilihat enam sistem agroforestri dengan masing-masing berbasis kepada tanaman kedawung (Parkia timoriana ), trembesi (Enterolobium saman), pakem (Pangium edule) , dan kemiri (Aleurites moluccana). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa seluruh sistem memberikan keuntungan positif antara 1,078 US$ sampai 4,396 US$ per ha dan keuntungan finansial ini jauh melebihi keuntungan finansial pada opsi penanaman tanaman hutan.
Di pihak lain, agroforestri sebagai satu opsi dalam kegiatan penyerapan karbon kehutanan masih mengandung sisi yang kurang menarik bagi petani atau pelaksana agroforestri, yaitu biaya transaksi yang masih tinggi. Rusolono (2006) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa kegiatan agroforestri yang mengacu pada skema perdagangan karbon menghasilkan tambahan manfaat finansial yang cukup
(29)
15 nyata jika biaya transaksi tidak lebih dari 20% dari total biaya pengelolaan, pada tingkat harga karbon yang berlaku saat ini.
COMAP (Comprehensive Mitigation Assessment Process)
Model COMAP (Comprehensive Mitigation Assesment Process) digunakan sebagai pedoman untuk melakukan analisis penilaian komprehensif dari mitigasi sektor kehutanan. Penilaian tersebut terdiri dari beberapa langkah. Langkah pertama adalah mengidentifikasi kategori opsi mitigasi yang ditetapkan pada lokasi penelitian, penafsiran ketersediaan areal untuk masa mendatang dari penggunaan lahan hutan dan lainnya, serta permintaan produk kayu. Langkah selanjutnya adalah membatasi lahan penggunaan lainnya dan produk kayu sesuai dengan ketersediaan lahan dengan penerapan skenario dari pemerintah ataupun skenario mitigasi. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui potensi mitigasi dalam mereduksi karbon, efektifitas biaya, dan keuntungan yang didapatkan dari opsi mitigasi yang dilaksanakan.
Informasi karbon dan keuntungan biaya yang diperlukan dalam penyusunan efektifitas biaya untuk setiap opsi mitigasi sehingga dapat ditetapkan opsi mitigasi yang perlu mendapat prioritas. Tambahan lain dari informasi tersebut yang dikombinasikan dengan skenario penggunaan lahan diperlukan dalam perhitungan rata-rata dan total biaya untuk setiap opsi mitigasi. Pada akhirnya ditemukan kendala, kebijakan dan insentif untuk penerapan setiap opsi. Kendala yang ditemukan dalam aktifitas ini menurut Ravindranath dalam Boer (2000) dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu : keuangan, teknis, infrastruktur, dan institusi.
Model COMAP ini meliputi 6 modul yaitu REFROTN, REFREGN, FORPROT, BIOEN, RIL, ENR, dan BIOMASA. (Sathaye et al.,1995). REFROTN digunakan untuk opsi mitigasi yang meliputi penanaman pohon di areal lahan yang terlantar (wastelands) dan area hutan yang menerapkan sistem rotasi. REFREGN adalah opsi reboisasi tanpa adanya pemanenan kayu. FORPROT adalah modul untuk menduga hutan yang diproteksi dari konversi ke penggunaan lainnya. BIOEN adalah opsi yang digunakan untuk pananaman dan penggunaan biomasa pohon untuk membangkit tenaga listrik. RIL dan ENR adalah opsi untuk mereduksi akibat pemanenan dan pengayaan. BIOMASA
(30)
adalah modul yang digunakan untuk menjembatani keseimbangan biomasa antara skenario baseline dan mitigasi.
Gambar 1. Hubungan antara modul COMAP (Boer, 2000)
Reforestasi (REFROTN), adalah modul COMAP yang digunakan untuk
mengevaluasi potensi mitigasi dan efektifitas biaya dari penanaman pohon di area lahan terlantar dan area hutan yang menerapkan sistem rotasi. Tahapan analisisnya meliputi :
1. Mendefinisikan kategori lahan yang digunakan untuk opsi ini, misalnya lahan kosong, padang rumput, lahan tidak produktif,
2. Mendefinisikan area baseline dari kategori lahan yang digunakan dari tahun 2007 – 2036 yang batas penggunaan areanya dapat dilihat pada pola trend data atau kebijakan pemerintah,
3. Mendefinisikan area mitigasi pada kategori lahan yang digunakan, 4. Perhitungan sumber karbon (Carbon Pool) dan penyerapannya:
a.Perhitungan penyerapan karbon pada skenario baseline (tC/Ha). Langkah ini menghitung jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah pada skenario baseline. Input yang dibutuhkan adalah jumlah karbon yang tersimpan pada tanaman (kerapatan biomasa) dan tanah untuk setiap kategori lahan. b.Perhitungan penyerapan, stock, dan penyimpanan karbon pada skenario
mitigasi (tC/ha). Input yang dibutuhkan adalah :
- Periode rotasi dan laju riap tahunan (Mean Annual Increment/MAI)
pohon yang digunakan untuk opsi mitigasi,
- Laju penyimpanan karbon tahunan di dalam tanah,
- Fraksi biomasa yang terdekomposisi dan tersimpan dalam produk, - Periode dekomposisi biomasa dan umur produk.
REFROTN
REFREGN
BIOEN
FORPROT
RIL
ENR BIOMASA
(31)
17 5. Perhitungan biaya dan keuntungan
a. Perhitungan biaya reboisasi dalam NPV (US $/ha). Input yang dibutuhkan adalah biaya awal (initial cost), perawatan (Operational and maintenance/O/M) dan, monitoring.
b. Perhitungan total keuntungan.
Input yang diperlukan adalah fraksi biomasa pemanenan untuk kayu bakar dan kayu bulat, harga kayu bakar dan kayu bulat, jumlah dan harga produk non-kayu seperti resin, terpentin, madu atau buah-buahan. Harga kayu sudah termasuk dalam pengurangan biaya pemanenan kayu yang meliputi biaya teresan, babat trowong, pembuatan tanda batas, klem dan penomoran pohon, prasarana tebangan, sarana tebangan, penerimaan kayu, pengangkutan kayu, upah pekerja harian, dan upah pekerja kontrak.
Input lain yang dibutuhkan adalah laju diskonto/tingkat suku bunga (discount rate). Data ini diperlukan untuk mengkonversi biaya dan keuntungan untuk nilai saat ini. Hal ini disebabkan adanya perbedaan periode rotasi tanaman, dimana untuk tanaman yang mempunyai rotasi pendek (7 – 10 tahun) dan tanaman berotasi panjang (30 – 100 tahun). Output yang dihasilkan dari modul ini :
- Potensi Mitigasi (Mitigation Potential) (tC/Ha),
- Perubahan Stok Karbon dan Biomasa Tahunan (Annual Carbon Stock
dan Annual Biomasa Stock) (tC/year dan tB/year),
- Net Present Value (NPV) dari opsi yang diambil, - Cost Effectiveness (US $/tC danUS $/Ha).
Regenerasi Alami (REFREGN), modul ini digunakan untuk mengevaluasi
potensi mitigasi dan efektifitas biaya dari penanaman area lahan terlantar dan area hutan atau regenerasi alami tanpa rotasi. Langkah analisis yang dilakukan sama dengan modul REFROTN tetapi tidak diperlukan input data tentang fraksi biomasa yang terdekomposisi dan yang tersimpan dalam produk, periode dekomposisi biomasa dan umur produk. Hal ini disebabkan opsi-opsi tersebut tidak dilibatkan untuk pemanenan.
(32)
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilaksanakan melalui pengambilan data lapangan dan data sekunder Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sebagai daerah sampel tegakan agroforestri, pelaksanaan penelitian berlangsung pada Kecamatan Bukit Barisan, Kecamatan Guguak dan Kecamatan Kapur IX, sedangkan untuk mendapatkan data sosial ekonomi dilakukan survei di Kecamatan Bukit Barisan.
Wilayah penelitian untuk data tegakan agroforestri diambil dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut praktek agroforestri sudah banyak dilakukan masyarakat dalam usaha taninya. Wilayah yang dijadikan sampel untuk memperoleh data lapangan agroforestri dan sosial ekonomi berada di Nagari Banja Lowe Kecamatan Bukit Barisan dengan pertimbangan wilayah ini merupakan Kecamatan dengan sebaran lahan kritis terluas di Kabupaten Limapuluh Kota. Data lapangan juga diperoleh dari lahan perkebunan karet-gambir rakyat di Nagari Lubuak Alai Kecamatan Kapur IX, dan lahan perkebunan rakyat di Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak. Pemilihan ketiga lokasi ini didasarkan kepada bentuk sistem agroforestri yang dilaksanakan masyarakat, dimana Kecamatan Bukit Barisan mewakili bentuk kebun campuran berbentuk agroforestri kompleks, Kecamatan Guguak untuk pola kebun campuran kelapa dan cokelat di daerah datar, serta di Kecamatan Kapur IX untuk kebun campuran antara tanaman karet dengan gambir. Tanaman cokelat dan gambir dijadikan sebagai dasar pemilihan bentuk agroforestri yang diamati pada penelitian ini.
Penelitian berlangsung dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2006.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian untuk menentukan lahan potensial dibatasi pada lahan kritis yang terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota dan lahan kritis yang sudah direhabilitasi pemerintah melalui proyek kehutanan. Sementara alokasi penggunaan lahan untuk peningkatan dibatasi pada opsi agroforestri yang dikembangkan pada hutan rakyat dengan berbagai alternatif sistem berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kesesuaian lahan, dimana dari studi-studi terdahulu yang sebagian besar menunjukkan bahwa opsi agroforestri selain
(33)
19 memberikan keuntungan yang lebih baik secara finansial, juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan rosot karbon yang baik. Tingkat efektifitas kegiatan agroforestri yang dilakukan pada lahan tersebut meliputi pendugaan kelayakan ekonomi, potensi carbon sink. Penyusunan skenario potensi pelaksanaan proyek CDM pada masa yang akan datang didasarkan kepada skenario baseline, pemerintah, dan mitigasi
Tahapan kegiatan dan analisis
Secara umum beberapa tahapan kegiatan dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Analisis luas lahan yang layak untuk kegiatan CDM Kehutanan. Analisis dilakukan dengan menggunakan data sekunder mengenai sebaran luas lahan kritis (Statistik Kehutanan Kabupaten Limapuluh Kota, 2005), Data Profil Calon Lokasi Kegiatan RHL Kabupaten Limapuluh Kota (2005) serta data Luas Indikasi Kawasan Hutan dan Lahan Yang Perlu Dilakukan Kegiatan Rehabilitasi Di Kabupaten Limapuluh Kota (Badan Planologi Kehutanan, 2004).
2. Penentuan lokasi penelitian dan bentuk agroforestri yang akan dijadikan model pengembangan. Penelitian dilaksanakan pada lokasi-lokasi yang secara umum menerapkan agroforestri dalam berbagai bentuk. Penentuan dilakukan secara purposive berdasarkan pengamatan lapangan yang terkait dengan pengembangan pola agroforestri. Dalam penelitian ini digunakan 5 (lima) bentuk agroforestri sevagai opsi mitigasi yang dlaksanakan masyarakat di tiga Kecamatan di Kabupaten Limapuluh Kota, yaitu Kecamatan Bukit Barisan (Model I, Model II, dan Model IV), Kecamatan Guguak (Model III), dan Kecamatan Kapur IX (Model V).
3. Penghitungan biomasa lima model yang diteliti dilakukan dengan pengukuran diameter batang pada ketinggian ± 1,3 m (dbh). Penghitungan pengikatan karbon pada model COMAP berupa penambahan pengikatan karbon pada skenario baseline, dimana yang dibutuhkan adalah informasi mengenai kandungan karbon pada suatu hamparan lahan bila tidak ada aktifitas mitigasi. Untuk mendapatkan perhitungan tersebut dibutuhkan :
(34)
a. Pendugaan volume total kering dapat menggunakan persamaan yang dikembangkan Ketterings (1997), dengan rumus dasar seperti berikut :
W = ρ D 2 + c………..…………...……...………..(1) Keterangan :
W = kerapatan kayu (wood density) dalam kg/m3
D = diameter batang pada pengukuran lingkar setinggi dada/dbh (m)
ρ = 0,11
c = 0,62
b. Riap (Mean Annual Increment/MAI) (ton/ha/thn)
MAI = Bio. total/T...(2)
Keterangan :
Bio.total = AGB*BEF...(3)
AGB = BK*jumlah pohon/ha...(4)
AGB = Above Ground Biomass BEF = Biomass Expansion Factor T = umur pohon (tahun)
Data biomasa yang diperlukan untuk input COMAP terdiri dari data ; (1) Laju pertambahan biomasa tahunan (MAI/Mean Annual Increment); (2) proporsi biomasa yang dijadikan produk dan yang mengalami pelapukan insitu; serta (3) umur dari kedua produk tersebut.
Penghitungan komposisi biomasa untuk penghitungan biomasa total didasarkan pada hasil penelitian Rusolono (2006) dimana untuk tanaman pokok pada agroforestri dengan tegakan murni dan kebun campuran persentase biomasanya 80,7 % dan sisanya masing-masing berasal dari tanaman pohon bawah (12,9%), tumbuhan bawah (0,6%), dan nekromasa (5,9%). Dari hasil perhitungan didapatkan Mean Annual Increment (MAI) dari masing-masing opsi mitigasi sebagai terlihat pada Tabel 5. Penentuan nilai karbon tanah dilakukan dengan menggunakan metoda IPCC Soil Carbon Tool pada sheet Calculate Soil Carbon Stocks.
5. Penentuan potensi dan kelayakan finansial mitigasi karbon pada beberapa sistem agroforestri yang ditentukan dengan menggunakan modul COMAP. Pada penelitian ini modul yang digunakan adalah REFREGN untuk opsi
(35)
21 agroforestri dengan asumsi bahwa tidak ada pendapatan dari produksi kayu yang diperoleh selama periode mitigasi. Semua pendapatan berasal dari penjualan produk non kayu seperti buah, lateks, getah gambir dll. Harga produk yang dijadikan acuan penghitungan biaya berdasarkan harga berlaku pada tingkat petani per Desember 2006 di Payakumbuh. Discount rate pada tingkat 17%, kurs Rp. 9.100, per US$, dan estimasi harga karbon US$ 4 /ton CO2 (setara dengan 15 US$/tC).
6. Penentuan potensi Carbon Stocks opsi mitigasi menurut 3 skenario : baseline, pemerintah dan mitigasi (CDM). Skenario baseline disusun berdasarkan data historis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, skenario pemerintah merupakan proyeksi program pemerintah dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, sedangkan skenario mitigasi dirancang dengan mengasumsikan seluruh lahan kritis yang tersedia dijadikan proyek mitigasi.
7. Untuk memperoleh data sosial ekonomi dilakukan survei tidak terstruktur terhadap 45 responden pada daerah yang terkait dengan kegiatan rehabilitasi lahan, dimana pada penelitian ini dipilih Kecamatan Bukit Barisan yang merupakan daerah dengan sebaran lahan kritis terluas di Kabupaten Limapuluh Kota. Parameter yang diamati meliputi tiga hal pokok yaitu: 1) Kondisi Ekonomi Masyarakat (jenis mata pencaharian utama, mata pencaharian tambahan, alokasi waktu bekerja, dan tingkat pendapatan); 2) Kondisi Sosial Budaya Masyarakat (jumlah penduduk, tingkat pendidikan, pola kelembagaan yang dipakai, produktifitas); dan 3) Identifikasi potensi, interaksi, dan persepsi masyarakat terhadap hutan dan kegiatan CDM. Analisis terhadap faktor sosio-ekonomi serta persepsi masyarakat terhadap proyek CDM, dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif maupun kuantitatif dari data primer yang diperoleh dari hasil survei. Deskripsi kualitatif dilakukan dengan cara mengelompokkan data, sesuai standar yang berlaku dalam kategori-kategori tertentu. Deskripsi kuantitatif dilakukan dengan memberikan nilai, pembobotan ataupun proporsi terhadap kategori yang dihasilkan.
(36)
8. Analisis kendala pengembangan sistem agroforestri sebagai opsi proyek karbon yang dilakukan masyarakat. Masing-masing sistem dirangking berdasarkan skor akumulasi dari elemen-elemen kendala. Analisis kendala menggunakan form kuisioner dari Executive Board of CDM. Untuk memperoleh data tentang persepsi masyarakat tentang kemungkinan-kemungkinan kendala dalam pelaksanaan proyek CDM ini, dilakukan juga wawancara dengan instansi terkait dalam hal ini Dinas Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Tokoh Masyarakat lainnya.
Tahapan kegiatan penelitian diatas secara sistematis dapat diikuti menurut bagan pada Gambar 2.
Gambar 2. Tahapan Kegiatan Penelitian
Data historis pengembangan agroforestri oleh masyarakat
Data historis pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan oleh
pemerintah
Data luas lahan kritis di
Kabupaten Limapuluh Kota
Analisis kendala pelaksanaan kegiatan proyek
karbon
Penyusunan skenario kegiatan rehabilitasi lahan menurut Baseline dan Pemerintah
Pendugaan luas lahan yang potensial untuk pelaksanaan proyek karbon
Identifikasi program/kegiatan
untuk mengatasi kendala pelaksanaan proyek karbon
Analisa potensi Agroforestri untuk pelaksanaan proyek karbon kehutanan
Pendugaan perobahan stok karbon pada skenario
baseline, pemerintah, proyek karbon
Perhitungan potensi kredit karbon proyek kehutanan di Kabupaten Limapuluh Kota
(37)
23
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Deskripsi Geografis WilayahKabupaten Limapuluh Kota secara geografis terletak antara 0°22' LU dan 0°23' LS serta antara 100°16' dan 100°51' BT, menempati sekitar 7,94 % luas daratan Propinsi Sumatera Barat atau 3.354,30 Km² (335.430 Ha). Kabupaten Limapuluh Kota yang terletak dibagian timur Propinsi Sumatera Barat, di bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar Propinsi Riau, di bagian Selatan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, dengan Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung dan Kabupaten Agam di bagian Barat, dan Kabupaten Kampar Propinsi Riau di bagian Timur.
Topografi daerah bervariasi antara datar, bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian antara 110 m sampai 791 m di atas permukaan laut. Daerah ini termasuk ke dalam wilayah DAS Kuantan dan DAS Kampar. Berdasarkan data BPS Kabupaten Limapuluh Kota (2006), wilayah Kabupaten ini 43 % adalah berupa Hutan Lindung, 9 % Hutan Produksi, 8% berupa Hutan Suaka Alam dan Wisata, serta 40 % merupakan areal untuk penggunaan lainnya. Lebih rinci bentuk penggunaan lahan seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Limapuluh Kota
No. Jenis Penggunaan Luas (Ha)
1 Hutan Lindung 143.938,00
2 Hutan Suaka Alam dan Wisata 27.060,00
3 Hutan Produksi : a. Hutan Produksi Tetap b. Hutan Produksi Terbatas c. Hutan Yang Dapat Dikonversi
6.200,00 8.915,00 15.185,00 4 Areal Penggunaan Lain :
a. Lahan Basah:
Sawah Irigasi Produktif Sawah Irigasi Tak Produktif Sawah Non Irigasi
Rawa Kolam/Embung Waduk/Danau 14.090,00 6.641,00 1.555,00 221,00 1.320,00 18,14,00 b. Lahan Kering :
Perkebunan
Pemukiman/Pekarangan Industri
Pertambangan
Lahan terlantar/semak belukar Penggunaan lainnya.
38.250,00 7.689,80 171,00 395,00 36.648,00 25.337,00
(38)
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten Limapuluh Kota (2005), luas lahan kritis di Kabupaten ini terdistribusi sebagaimana terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Lahan Kritis di Kabupaten Limapuluh Kota
No. DAS Kecamatan HL(ha) HP(ha) HK(ha) APL(ha) Jml (ha)
1 Kampar Bukit Barisan 2.200 6.450 8.650
Pangkalan Koto Baru 2.900 500 2.200 5.600
Kapur IX 550 250 800
2 Kuantan Suliki 400 1.550 1.950
Gunuang Omeh 100 2.000 2.100
Guguak 100 3.725 3.825
Akabiluru 225 1.300 1.525
Harau 600 650 1.550 2.800
Luak 200 850 1.050
Lareh Sago Halaban 100 2.025 2.125
Situjuah Limo Nagari 75 75
Payakumbuh 875 875
Total 6.525 1.050 950 22.850 31.375
Sumber : Profil Calon Lokasi Kegiatan RHL Kabupaten Limapuluh Kota , Dinas Kehutanan Kabupaten Limapuluh Kota (2005)
Kabupaten Limapuluh Kota dengan ibukota kabupaten Payakumbuh, terdiri dari 13 Kecamatan yang terdiri dari 76 Nagari dan 384 Jorong. Jumlah penduduk tercatat sebanyak 327.652 jiwa yang terdiri dari 161.467 jiwa laki-laki dan 166.185 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk tahun 2005 mencapai 98 jiwa per km2. Jumlah rumah tangga tercatat sebanyak 84.433, dengan kepadatan rata-rata adalah 4 jiwa per rumah tangga. Pada tahun 2005 tercatat jumlah angkatan kerja sebanyak 161.240 jiwa dengan 150.817 jiwa diantaranya sudah bekerja dan sisanya sebanyak 10.423 jiwa sedang mencari kerja (BPS, 2006)
Wilayah Survei
Wilayah yang dijadikan lokasi sampel untuk memperoleh data lapangan agroforestri dan sosial ekonomi berada di Kecamatan Bukit Barisan. Daerah penelitian di Kecamatan Bukit Barisan mempunyai topografi berbukit dengan klasifikasi lereng miring sampai curam. Curah hujan rata-rata tahunan 3000 mm dengan suhu rata-rata 26 °C. Jenis tanah didominasi oleh tanah inceptisol dan tingkat kesuburan tanah di wilayah ini umumnya baik, dimana hampir 70 % dari luas wilayahnya dikategorikan ke dalam kategori subur (Noveri, 2002).
Data lapangan juga diperoleh dari lahan perkebunan karet-gambir rakyat di Nagari Lubuak Alai Kecamatan Kapur IX, dan lahan pekarangan masyarakat di nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak. Pemilihan ketiga lokasi ini
(39)
25 didasarkan kepada bentuk sistem agroforestri yang dilaksanakan masyarakat, dimana Kecamatan Bukit Barisan mewakili kebun campuran berbentuk agroforestri kompleks, Kecamatan Guguak untuk pola kebun campuran kelapa dan cokelat di daerah datar, serta di Kecamatan Kapur IX untuk kebun campuran antara tanaman karet dengan gambir.
(40)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model AgroforestriHasil inventarisasi dan pengamatan lapangan tentang praktek agroforestri di Kabupaten Limapuluh Kota menunjukkan adanya kecenderungan-kecenderungan yang kemudian digunakan sebagai asumsi dasar dalam penetapan model agroforestri untuk penelitian ini, yaitu :
1. Permasalahan yang selalu timbul akibat adanya invasi usaha tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.) ke lahan-lahan hutan, terutama di daerah lereng. Kebiasaan petani menanam gambir secara monokultur pada daerah lereng, mengakibatkan berkurangnya lahan hutan baik dari kuantitas maupun kemampuan daya dukung lingkungan kumulatif dari kawasan hutan tersebut. Pembukaan hutan tidak hanya ditujukan untuk lahan penanaman, tetapi juga kebutuhan kayu bakar untuk proses perebusan daun gambir dalam proses pasca panen, yang pada umumnya dilakukan di dekat areal pertanaman gambir. Pertimbangan ini diambil petani karena daun gambir harus diolah dalam waktu relatif singkat sejak pemetikannya agar tidak terjadi penurunan rendemen secara tajam. Pada beberapa lokasi, petani sudah mulai menerapkan pola tumpang sari gambir dengan tanaman lain, terutama dengan tanaman karet (Hevea brasiliensis).
2. Terlihatnya adanya peningkatan preferensi masyarakat untuk membudidayakan tanaman cokelat (Theoroma cacao L) di Sumatera Barat, seiring dengan stabilnya harga komoditi cokelat akhir-akhir ini. Pada tahun 2006 yang lalu, pemerintah daerah Sumatera Barat dan Departemen Pertanian Republik Indonesia telah mencanangkan Revitalisasi Sektor Pertanian termasuk sub-sektor perkebunan dan dalam hal ini propinsi Sumatera Barat diproyeksikan sebagai sentra produksi cokelat di wilayah Indonesia bagian barat pada masa yang akan datang. Sebagai tanaman yang memerlukan naungan, tanaman cokelat banyak ditanam pada lahan-lahan yang sudah ada tanaman pohonnya, sehingga tidak memerlukan penanaman tanaman penaung lagi.
Atas dasar kondisi riil seperti diatas, cokelat dan gambir dijadikan sebagai inti pertimbangan untuk menetapkan bentuk agroforestri yang diamati dalam
(41)
27 penelitian ini. Dari peninjauan lapangan, data, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya ditetapkan 5 model agroforestri sebagai sampel pada penelitian ini, seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Model agroforestri sampel penelitian
Opsi Kelompok Komponen Nama latin Lokasi
Kemiri Aleurites moluccana Durian Durio zibethinus
- Tanaman pohon
utama
(diameter>5m) Jengkol Phitecellobium jiringa Cokelat Theobroma cacao L.
- Tanaman pohon
(diameter <5m) Kopi Coffea robusta Pisang Musa paradisiaca Jahe Zingiber officinalle Model I
- Tanaman semusim
Cabe rawit Capsicum frutescens L.
Kecamatan Bukit Barisan
Kemiri Aleurites moluccana Durian Durio zibethinus Cengkeh Eugenia aromatica Kayu manis Cinnamomum burmanii Alpukat Persea americana Mahoni Swietenia macrophylla Model II - Tanaman pohon
utama (diameter>5m)
Nangka Artocarpus heterophyllus
- Tanaman pohon
(diameter <5m)
Cokelat Theobroma cacao L.
- Tanaman semusim Pisang Musa paradisiaca
Cabe rawit
Kecamatan Bukit Barisan
Model III
- Tanaman pohon
utama (diameter>5m)
Kelapa Cocos nucifera
- Tanaman pohon
(diameter <5m)
Cokelat Theobroma cacao L.
- Tanaman semusim Pisang Musa paradisiaca
Kecamatan Guguak
Model IV
- Tanaman pohon
utama (diameter>5m)
Karet Hevea brasiliensis
- Tanaman pohon
(diameter <5m)
Cokelat Theobroma cacao
Kecamatan Bukit Barisan
Model V
- Tanaman pohon
utama (diameter>5m)
Karet Hevea brasiliensis
- Tanaman pohon
(diameter <5m)
Gambir Uncaria gambir Roxb.
Kecamatan Kapur IX
Mean Annual Increment (MAI)
Hasil pengukuran di lapangan tentang potensi biomasa dari masing-masing model agroforestri dengan menggunakan persamaan dari Ketterings (2001), dihasilkan sebagaimana tercantum pada Tabel 5.
(1)
Lampiran 7 (lanjutan 1). Perkiraan biaya dan nilai produksi per tahun dalam pengusahaan agroforestri karet+gambir
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
A. Biaya Tenaga Kerja
1. Land Clearing
- - --2. Penanaman Pohon Pelindung
- - --3. Pengolahan Tanah
- - --4. Pembuatan Lobang dan Ajir
- - --5. Penanaman Bibit Kopi
- - --6. Pemangkasan
847.604 891.948 938.612 987.717 1.039.391 1.093.769 1.150.991 1.211.207 1.274.573 1.341.255 1.411.425 1.485.266 1.562.970 1.644.7397. Memperbaiki Naungan
- - --8. Menutup Lobang Tanam
- - --9. Menyulam
- - --10. Rorak
565.070 594.632 625.741 658.478 692.927 729.179 767.327 807.471 849.716 894.170 940.950 990.177 1.041.980 1.096.49311. Pemberantasan Hama Penyakit
847.604 891.948 938.612 987.717 1.039.391 1.093.769 1.150.991 1.211.207 1.274.573 1.341.255 1.411.425 1.485.266 1.562.970 1.644.73912. Perwatan jalan/drainase
847.604 891.948 938.612 987.717 1.039.391 1.093.769 1.150.991 1.211.207 1.274.573 1.341.255 1.411.425 1.485.266 1.562.970 1.644.73913. Jamret
- - - - -14. Mulching
- - - - -15. Wiwilan
- - - - -16. Pembentukan Hibitus
- - - - -17. Pemupukan
1.695.209 1.783.897 1.877.224 1.975.434 2.078.782 2.187.537 2.301.982 2.422.414 2.549.147 2.682.510 2.822.850 2.970.532 3.125.940 3.289.47918. Paculan larikan
- - - - -19. Panen
1.356.167 1.427.117 1.501.779 1.580.347 1.663.026 1.750.030 1.841.586 1.937.931 2.039.317 2.146.008 2.258.280 2.376.425 2.500.752 2.631.58320. Pengangkutan
169.521 178.390 187.722 197.543 207.878 218.754 230.198 242.241 254.915 268.251 282.285 297.053 312.594 328.94821. Penjemuran
847.604 891.948 938.612 987.717 1.039.391 1.093.769 1.150.991 1.211.207 1.274.573 1.341.255 1.411.425 1.485.266 1.562.970 1.644.73922. Peyadapan
2.260.278 2.378.529 2.502.966 2.633.912 2.771.710 2.916.717 3.069.309 3.229.885 2.549.147 1.788.340 940.950 990.177 1.041.980 1.096.493Tahun Ke
(2)
Lampiran 7 (lanjutan 2). Perkiraan biaya dan nilai produksi per tahun dalam pengusahaan agroforestri karet+gambir
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
1. Bibit
150.000 - - -2. Bibit Karet
1.280.000 - - -3. Pupuk organik
125.000 131.468 138.356 145.614 153.214 161.235 169.673 178.546 187.889 197.719 208.062 218.947 230.402 242.456 255.140 268.4884. ZA
1.875.000 1.546.064 1.494.245 1.572.628 1.654.716 1.741.339 1.832.471 1.928.298 2.029.198 2.135.362 2.247.069 2.364.633 2.488.342 2.618.522 2.755.516 2.899.6755. SP36
1.125.000 788.808 830.136 873.682 919.287 967.411 1.018.040 1.071.277 1.127.332 1.186.312 1.248.371 1.313.685 1.382.412 1.454.735 1.530.842 1.610.9316. KCl
900.000 631.047 664.109 698.946 735.429 773.928 814.432 857.022 901.866 949.050 998.697 1.050.948 1.105.930 1.163.788 1.224.674 1.288.7447. Antracol
20.500 21.561 22.690 23.881 25.127 26.443 27.826 29.282 30.814 32.426 34.122 35.907 37.786 39.763 41.843 44.0328. Dithane 45
12.500 13.147 13.836 14.561 15.321 16.124 16.967 17.855 18.789 19.772 20.806 21.895 23.040 24.246 25.514 26.8499. Polaris
60.000 63.105 66.411 69.895 73.543 77.393 81.443 85.702 90.187 94.905 99.870 105.095 110.593 116.379 122.467 128.87410. Cangkul
1.500 - 1.660 - 1.839 - 2.036 - 2.255 - 2.497 - 2.765 - 3.06211. Karung
- - 442.739 582.455 735.429 773.928 814.432 857.022 901.866 949.050 998.697 1.050.948 1.105.930 1.163.788 1.224.674 1.288.74412. Parang
15.000 - 16.603 - 18.386 - 20.361 - 22.547 - 24.967 - 27.648 - 30.617 -13. Plastik jemuran
- - 885.478 1.397.892 1.961.145 2.063.809 2.171.818 2.285.391 2.404.976 2.530.800 2.663.192 2.802.528 2.949.146 3.103.434 3.265.796 3.436.65214. Sprayer
200.000 - - 232.982 - - 271.477 - - 316.350 - - 368.643 - - 429.58115. Sewa lahan
- - - - -16. Mangkok sadap
- - - 232.982 - - 271.477 - - 316.350 - - 368.643 - - 429.58117. Pisau sadap
- - - 29.123 30.643 32.247 33.935 35.709 37.578 39.544 41.612 43.789 46.080 48.491 51.028 53.69818. Talang
- - - 139.789 - - 162.886 - - 189.810 - - 221.186 - - 257.74919. Ember
- - - 17.474 18.386 19.348 20.361 21.426 22.547 23.726 24.967 26.274 27.648 29.095 30.617 32.219C. Biaya Lain-Lain
350.000 368.111 387.397 407.718 429.000 451.458 475.085 499.929 526.088 553.612 582.573 613.053 645.126 678.876 714.393 751.768D. Transaction Cost
653.683 7.583 7.583 7.583 2.377.330 7.583 7.583 7.583 7.583 2.996.357 7.583 7.583 7.583 7.583 3.597.903 7.583Total Biaya Produksi
11.168.184 6.410.606 8.900.557 11.310.707 14.266.163 12.497.505 13.879.398 13.838.490 14.587.006 19.134.960 16.152.366 16.968.142 18.844.346 18.789.190 23.395.789 21.922.758Produksi/Manfaat
- 8.692.668 9.148.099 21.304.289 31.345.533 23.589.804 24.824.367 26.122.530 27.489.414 40.206.604 30.440.888 32.033.521 33.709.404 35.472.945 50.863.583 39.281.703(3)
-Lampiran 7 (lanjutan 3). Perkiraan biaya dan nilai produksi per tahun dalam pengusahaan agroforestri karet+gambir
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
1. Bibit
- - -2. Bibit Karet
- - -3. Pupuk organik
282.535 297.316 312.871 329.239 346.464 364.590 383.664 403.736 424.858 223.542 164.666 99.018 52.0994. ZA
3.051.376 3.211.014 3.379.004 3.555.782 3.741.808 3.937.567 4.143.568 4.360.345 4.588.464 2.146.008 1.411.425 891.159 468.8915. SP36
1.695.209 1.783.897 1.877.224 1.975.434 2.078.782 2.187.537 2.301.982 2.422.414 2.549.147 1.341.255 940.950 742.633 520.9906. KCl
1.356.167 1.427.117 1.501.779 1.580.347 1.663.026 1.750.030 1.841.586 1.937.931 2.039.317 1.073.004 752.760 594.106 416.7927. Antracol
46.336 48.760 51.311 53.995 56.820 59.793 62.921 66.213 69.677 - - - -8. Dithane 45
28.253 29.732 31.287 32.924 34.646 36.459 38.366 40.374 42.486 - - - -9. Polaris
135.617 142.712 150.178 158.035 166.303 175.003 184.159 193.793 203.932 - - - -10. Cangkul
- - -11. Karung
1.356.167 1.427.117 1.501.779 1.580.347 1.663.026 1.750.030 1.841.586 1.937.931 2.039.317 715.336 752.760 792.142 833.584 877.19412. Parang
- - - - -13. Plastik jemuran
3.616.446 3.805.646 4.004.745 4.214.260 4.434.736 4.666.746 4.910.895 5.167.817 5.438.180 1.430.672 1.505.520 1.584.284 1.667.168 1.754.38914. Sprayer
- - 500.593 - - 583.343 - - 679.772 - - 792.142 - -15. Sewa lahan
- - - - -16. Mangkok sadap
- - 500.593 - - 583.343 - - 679.772 - - 158.428 - -17. Pisau sadap
56.507 59.463 62.574 65.848 69.293 72.918 76.733 80.747 84.972 - 94.095 - 104.198 -18. Talang
- - 300.356 - - 350.006 - - 407.863 - - 118.821 - -19. Ember
33.904 35.678 37.544 39.509 41.576 43.751 46.040 48.448 50.983 17.883 18.819 19.804 20.840 21.930C. Biaya Lain-Lain
791.097 832.485 876.038 921.869 970.098 1.020.851 1.074.258 1.130.460 1.189.602 1.251.838 1.317.330 1.386.248 1.458.772 1.535.090D. Transaction Cost
7.583 7.583 7.583 3.748.290 7.583 7.583 7.583 7.583 3.748.290 7.583 7.583 7.583 7.583 3.748.290Total Biaya Produksi
21.893.877 23.038.897 25.545.360 29.252.483 26.846.072 29.766.864 29.727.729 31.282.588 37.577.191 21.351.444 19.856.947 20.751.824 19.826.071 22.958.937Produksi/Manfaat
41.336.787 43.499.394 45.775.135 62.268.681 50.690.029 53.341.962 56.132.635 59.069.308 76.258.361 40.935.096 40.682.908 40.292.291 41.074.851 57.322.494Tahun Ke
-U R A I A N
(4)
DF DF 17% DF 22% 17% Biaya (Rp) Manfaat (Rp) Manfaat Bersih (Rp) 22% Manfaat bersih
(Rp)
1 11.168.184,33 - -11.168.184,33 0,8547 9.545.456,70 0,00 -9.545.456,70 0,8197 -9.154.249,45 2 6.410.605,51 7.978.999,80 1.568.394,29 0,7305 4.683.034,20 5.828.767,48 1.145.733,28 0,6719 1.053.745,16 3 8.900.557,09 8.397.040,29 -503.516,80 0,6244 5.557.245,78 5.242.864,72 -314.381,07 0,5507 -277.290,17 4 11.310.706,73 19.555.206,91 8.244.500,19 0,5337 6.035.959,19 10.435.637,11 4.399.677,92 0,4514 3.721.559,87 5 14.266.163,46 28.772.065,17 14.505.901,71 0,4561 6.506.956,26 13.123.259,80 6.616.303,54 0,3700 5.367.172,79 6 12.497.504,86 21.653.081,03 9.155.576,17 0,3898 4.872.009,69 8.441.206,62 3.569.196,92 0,3033 2.776.685,52 7 13.879.398,45 22.786.286,66 8.906.888,21 0,3332 4.624.551,41 7.592.285,39 2.967.733,98 0,2486 2.214.150,75 8 13.838.490,16 23.977.870,19 10.139.380,02 0,2848 3.940.958,08 6.828.474,80 2.887.516,71 0,2038 2.066.011,60 9 14.587.006,29 25.232.533,11 10.645.526,82 0,2434 3.550.531,86 6.141.692,89 2.591.161,02 0,1670 1.777.987,41 10 19.134.959,54 36.905.641,41 17.770.681,88 0,2080 3.980.786,91 7.677.753,07 3.696.966,16 0,1369 2.432.796,52 11 16.152.365,70 27.941.690,89 11.789.325,18 0,1778 2.872.047,77 4.968.304,49 2.096.256,72 0,1122 1.322.911,55 12 16.968.141,89 29.403.568,68 12.435.426,79 0,1520 2.578.718,56 4.468.581,70 1.889.863,14 0,0920 1.143.780,60 13 18.844.345,60 30.941.861,71 12.097.516,12 0,1299 2.447.737,59 4.019.113,20 1.571.375,61 0,0754 912.049,50 14 18.789.190,13 32.560.616,59 13.771.426,46 0,1110 2.085.960,10 3.614.852,29 1.528.892,19 0,0618 851.023,00 15 23.395.789,00 46.687.682,45 23.291.893,44 0,0949 2.219.983,62 4.430.108,78 2.210.125,16 0,0507 1.179.797,13 16 21.922.757,89 36.056.674,84 14.133.916,95 0,0811 1.777.957,60 2.924.232,40 1.146.274,81 0,0415 586.820,46 17 21.893.876,96 37.943.036,56 16.049.159,59 0,0693 1.517.619,94 2.630.101,05 1.112.481,11 0,0340 546.179,22 18 23.038.897,08 39.928.093,35 16.889.196,27 0,0592 1.364.948,21 2.365.555,06 1.000.606,85 0,0279 471.120,53 19 25.545.360,05 42.016.996,80 16.471.636,75 0,0506 1.293.542,36 2.127.617,90 834.075,54 0,0229 376.617,05 20 29.252.483,39 57.156.422,49 27.903.939,10 0,0433 1.266.034,40 2.473.704,41 1.207.670,01 0,0187 522.960,52 21 26.846.071,51 46.528.377,50 19.682.305,99 0,0370 993.064,93 1.721.134,51 728.069,57 0,0154 302.356,66 22 29.766.864,02 48.962.586,73 19.195.722,71 0,0316 941.118,10 1.548.015,82 606.897,72 0,0126 241.706,42 23 29.727.729,33 51.524.146,04 21.796.416,71 0,0270 803.316,93 1.392.310,13 588.993,20 0,0103 224.961,91 24 31.282.588,19 54.219.717,77 22.937.129,58 0,0231 722.506,89 1.252.265,95 529.759,05 0,0085 194.045,30 25 37.577.191,36 69.997.549,46 32.420.358,09 0,0197 741.784,53 1.381.771,70 639.987,16 0,0069 224.813,32 26 21.351.443,86 37.574.324,75 16.222.880,88 0,0169 360.242,41 633.955,51 273.713,09 0,0057 92.208,80 27 19.856.947,33 37.342.840,82 17.485.893,49 0,0144 286.348,04 538.504,19 252.156,15 0,0047 81.465,25 28 20.751.823,77 36.984.293,74 16.232.469,97 0,0123 255.771,49 455.840,81 200.069,31 0,0038 61.988,25 29 19.826.071,47 37.766.853,56 17.940.782,09 0,0105 208.855,87 397.851,33 188.995,46 0,0031 56.157,31 30 22.958.936,52 52.616.316,93 29.657.380,42 0,0090 206.716,87 473.744,95 267.028,08 0,0026 76.091,80
78.241.766,30 115.129.508,02 36.887.741,73 21.447.624,58 Biaya (Rp)
Lampiran 8. Analisis Finansial usaha agroforestri karet+gambir per ha pada tingkat suku bunga berlaku 17% per tahun.
Tahun Manfaat (Rp) Manfaat Bersih (Rp)
(5)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
Kabupaten Limapuluh Kota memiliki lahan yang potensial untuk dijadikan
areal kegiatan karbon kehutanan, mengingat lahan yang tersedia serta sistem
agroforestri yang sudah dilaksanakan masyarakat yang secara fisik dan
finansial dinilai layak untuk dijadikan areal kegiatan proyek karbon. Untuk
implementasinya masih terdapat potensi kendala terutama yang berkaitan
dengan aspek sosial budaya setempat.
2.
Potensi mitigasi dari Model IV dan Model V merupakan yang tertinggi
diantara semua model agroforestri yang diamati yaitu 113,85 tC/ha dan 109,95
tC/ha, sedangkan Model II mempunyai nilai potensi mitigasi terendah yaitu 99
tC/ha karena dominasi tanaman kayu manis (36%) dengan karakter biomasa
rendah (MAI 1,64 tB/ha/th) serta cokelat sebagai tanaman bawah (12,9%)
3.
Model V memiliki nilai kelayakan finansial tertinggi pada kegiatan rehabilitasi
dengan penjualan
CER
dengan memberikan nilai NPV sebesar 4.251 US$ /ha
dengan IRR 29%; dan B/C 1,51, sedangkan Model II memiliki nilai NPV
terendah sebesar 675 US$ /ha dengan IRR 22% dan B/C 1,2). Nilai tambah
terhadap pendapatan bersih dari seluruh opsi bila dilaksanakan pada satu
skema proyek adalah 211-290 US$/ha/th sedangkan bila dilaksanakan terpisah
rata-rata nilai tambah 679-1070 US$/ha/th.
4.
Potensi
carbon credit
Kabupaten Limapuluh Kota untuk skenario penjualan
tCER berdasarkan
additionally
dari skenario rehabilitasi lahan
baseline
adalah
44.899.113 tCO
2
e sedangkan bila tCER didasarkan kepada skenario
pemerintah maka potensi carbon credit adalah 32.730.534 tCO
2
e.
Saran
1.
Untuk implementasi CDM diperkirakan masih akan menemui kendala terkait
dengan belum tersosialisasikannya kegiatan ini, namun potensi
pelaksanaannya cukup besar mengingat mulai tumbuhnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi, serta aspek sosial
ekonomi yang dinilai cukup menunjang. Untuk itu sosialisasi dan peningkatan
(6)