Model Kemitraan Dan Dampaknya Terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler Di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat

MODEL KEMITRAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
EFISIENSI TEKNIS USAHA TERNAK AYAM BROILER
DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA SUMATERA BARAT

DIRA ASRI PRAMITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Kemitraan dan
Dampaknya terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten
Limapuluh Kota Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Dira Asri Pramita
NRP : H453130341

RINGKASAN
DIRA ASRI PRAMITA. Model Kemitraan dan Dampaknya terhadap Efisiensi
Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera
Barat. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan HARIANTO.
Peternakan ayam broiler di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan
rakyat sehingga diperlukan sistem pengembangan yang efisien. Salah satunya
dengan melakukan integrasi vertikal antara perusahaan dengan peternak yaitu
kemitraan. Pola kemitraan antara perusahaan dan peternak mempunyai bentuk
kerja sama yang bervariasi yaitu pola kemitraan sistem kontrak dan pola
kemitraan sistem bagi hasil. Perbedaan kedua pola kemitraan ini terdapat pada
perjanjian kerja samanya sehingga berdampak pada produksi dan pada akhirnya
tingkat efisiensi.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis tingkat efisiensi teknis
usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem
bagi hasil, dan (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi

usaha ternak ayam broiler. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Limapuluh
Kota, Sumatera Barat. Sampel terdiri atas dua kelompok sistem kemitraan, yaitu
peternak kemitraan sistem kontrak dan peternak kemitraan sistem bagi hasil.
Proses pengambilan sampel peternak ayam broiler sistem kontrak dan bagi hasil
diperoleh secara purposive. Sampel untuk peternak kemitraan sistem kontrak
berjumlah 50 orang, sedangkan peternak kemitraan sistem bagi hasil berjumlah 37
orang. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 87 orang. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai bulan September 2015. Metode
analisis tingkat efisiensi menggunakan fungsi produksi stochastic frontier CobbDouglas dan faktor sosial ekonomi menggunakan regresi biasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan pada peternak dengan
sistem kontrak lebih efisien dibandingkan pola kemitraan sistem bagi hasil. Ratarata tingkat efisiensi teknis peternak kemitraan sistem kontrak sebesar 95% lebih
tinggi dari rata-rata tingkat efisiensi teknis peternak kemitraan sistem bagi hasil
sebesar 79%. Adanya kemitraan sistem kontrak memberikan peternak pada
kepastian pasokan input, akses pasar, pembagian risiko, akses teknologi, dan
akses manajerial. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi peternak
ayam broiler adalah umur dan pengalaman beternak. Umur berpengaruh negatif
terhadap efisiensi, sebaliknya pengalaman beternak berpengaruh positif terhadap
efisiensi. Pada hasil tersebut diperoleh bahwa kemitraan sistem kontrak dapat
mengurangi inefisiensi dan disarankan dapat mengurangi efek negatif dari
pertambahan umur peternak.

Kata kunci : broiler, efisiensi teknis, kemitraan, stochastic frontier.

SUMMARY
DIRA ASRI PRAMITA.Lease Arrangement Model and Its Impact on Technical
Efficiency of Broiler Production in Limapuluh Kota District of West Sumatera.
Supervised by NUNUNG KUSNADI and HARIANTO.
Broiler production in Indonesia is a major farm of small and medium scale
animal production and this necessitates the development of an efficient system.
One of such system involves the vertical integration between large companies and
farmers known as lease arrangement. A lease arrangement between companies
and farmers have varying forms of cooperation that is lease arrangement the
contract system and the profit sharing system. The difference in this types of lease
arrangement is in the forms of agreement which in turn influence production and
the level of efficiency.
This study aims to: (1) analyze the level of technical efficiency of broiler
farms with the contract system and the profit sharing system, and (2) to identify
the basic determinants of the technical efficiency, as well as the socio-ecomic
variables that affect business performance. Cross section data was collected from
Limapuluh Kota district in West Sumatera between July to September 2015. The
purposive sampling technique was used to identify 87 farmers of which 50 were

involved in the contract system arrangement while 37 were involved in the profit
sharing arrangement. The data was analyzed using the Cobb-Douglas Stochastic
Production Frontier.
The results showed that a lease arrangement with the contract system is
more efficient than the profit sharing system. The average level of technical
efficiency of farmers in contract system lease arrangement was 95% which was
higher than the average level of technical efficiency of farmers in profit sharing
system lease arrangement at 79%. With the contract system farmers have the
certainty of input supply, market access, risk sharing, access to technology, and
access to extension services. Factors that affect the level of efficiency of broiler
producers are age and experience. While age has negative effect on efficiency,
experience positively affects efficiency. This implies from the results, the contract
system is recommended as it has the potential to reduce the inefficiency or
negative effect of farmer age.
Keywords : broiler, lease arrangement, stochastic frontier, technical efficiency.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL KEMITRAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
EFISIENSI TEKNIS USAHA TERNAK AYAM BROILER DI
KABUPATEN LIMAPULUH KOTA SUMATERA BARAT

DIRA ASRI PRAMITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini adalah mengenai Model Kemitraan dan Dampaknya terhadap Efisiensi Teknis
Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat. Tesis
ini disusun sebagai tugas akhir dari tugas belajar pada Program Magister Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena
bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi
pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir
Harianto, MS sebagai Anggota Pembimbing yang selalu meluangkan
waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber
inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku penguji Luar Komisi dan Dr Meti
Ekayani, S.Hut, MSc., selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas
semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan
kepada penulis.
3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh
pendidikan.
4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang
telah diberikan selama masa perkuliahan.
5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan
Program Magister di IPB.
6. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada keluarga yaitu orang tua
penulis Ayahanda Asrul dan Ibunda Yuneti, Adinda Danar Pratama, Delvi
Asrul dan Annisa Asri atas doa dan dorongan serta semangat yang diberikan
selama studi.
7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang
telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah.
8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan tesis ini.

Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan
tanggung jawab penulis. Semoga tesis ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya
untuk kepentingan yang lebih baik.

Bogor, November 2016
Dira Asri Pramita

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

vii
vii

vii
1
1
2
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
4
Teori Integrasi Vertikal
4
Efisiensi Usahatani
7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Usahatani dan Faktor yang
Mempengaruhi Produksi Usahatani
10
3 KERANGKA TEORITIS
Kerangka Teori
Tipologi Integrasi Usaha
Kemitraan Usaha Ayam Broiler

Faktor –Faktor Produksi Peternakan Ayam Broiler
Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier
Konsep Efisiensi
Konsep Teori Efisiensi Teknis Orientasi Input-Output
Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis Penelitian

12
12
12
16
18
19
22
23
24
25

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode dan Analisis Data

25
25
26
26
26

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum dan Geografis
Karakteristik Peternak Ayam Broiler
Deskripsi Usaha Ternak Ayam Broiler Kemitraan Sistem Kontrak dan
Kemitraan Sistem Bagi Hasil

28
28
29

6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemitraan Usaha Ternak Ayam Broiler
Perbandingan Penggunaan Faktor Produksi dan Analisis Usaha Ternak
Ayam Broiler
Analisis Fungsi Produksi Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten
Limapuluh Kota

35
35

33

46
49

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

55
55
55

DAFTAR PUSTAKA

56

RIWAYAT HIDUP

71

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

12

13
14

15
16

Karakteristik peternak kemitraan sistem kontrak dan kemitraan
sistem bagi hasil di Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2015
Keaktifan peternak responden kemitraan sistem kontrak dan
kemitraan sistem bagi hasil dalam mengikuti penyuluhan
Usaha ternak ayam broiler kemitraan sistem kontrak dan
kemitraan sistem bagi hasil
Kesepakatan harga sapronak PT. Multi Sentosa
Harga kesepakatan ayam hidup PT. Multi Sentosa
Harga jual sapronak kepada plasma PT. Menara Pratama
Harga beli ayam hidup dari plasma (standard)
Harga beli berdasarkan selisih FCR PT. Menara Pratama
Hak dan kewajiban pelaku kemitraan
Manajemen usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem
kotrak dibanding sistem bagi hasil
Rata-rata penggunaan faktor produksi per 100 ekor pada usaha
ternak ayam broiler kemitraan sistem kontrak dan bagi hasil di
Kabupaten Limapuluh Kota
Analisis usaha ternak ayam broiler kemitraan sistem kontrak dan
usaha ternak ayam broiler sistem bagi hasil (1000 ekor ayam) di
Kabupaten Limapuluh Kota
Hasil pendugaan stochastic frontier production function usaha
ternak ayam broiler di Kabupaten Limapuluh Kota
Sebaran nilai efisiensi teknis usaha ternak ayam broiler di
Kabupaten Limapuluh Kota antara peternak kemitraan kontrak
dan peternak kemitraan bagi hasil
Hasil dugaan efek inefisiensi teknis usaha ternak ayam broiler
dengan model stochastic frontier di Kabupaten Limapuluh Kota
Sebaran responden berdasarkan tingkat efisiensi teknis usaha
ternak ayam broiler menurut umur peternak

30
32
33
39
39
41
41
41
43
45

46

48
49

51
52
54

DAFTAR GAMBAR
1 Kurva Model Marshallian
2 Kondisi efisiensi teknis integrasi vertikal sempurna dan tidak
sempurna
3 Pengukuran efisiensi teknis orientasi input-output
4 Kerangka pemikiran
5 Hubungan antara efisiensi teknis dengan umur peternak
responden

14
15
23
25
54

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil pengujian asumsi klasik pada data penelitian

62

2

Uji statistik perbandingan penggunaan input rata-rata antara
peternak kontrak dan peternak bagi hasil usaha ternak ayam
broiler di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
3 Pendugaan efisiensi teknis peternak ayam broiler di Kabupaten
Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

63
65

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha peternakan ayam broiler banyak berkembang di masyarakat.
Kelebihan yang dimiliki di antaranya perputaran modal yang cepat, (Azizah et al.
2013). Ayam broiler dapat tumbuh dengan cepat dan dipanen dalam waktu yang
singkat serta memiliki keunggulan genetik yang mampu menampilkan performa
produksi yang optimal. Selain itu, daging ayam broiler lebih disukai masyarakat
dibandingkan ternak unggas lainnya, karena harganya relatif murah. Kelebihankelebihan tersebut merupakan daya tarik peternak untuk melakukan usaha
peternakan ayam broiler.
Peternakan ayam broiler di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan
rakyat (Burhani 2014). Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pengembangan
yang efisien. Salah satunya pengelolaan usaha ayam brolier dengan melakukan
integrasi vertikal antara perusahaan dengan peternak yaitu kemitraan. Sistem
kemitraan menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan bisnis dalam budi
daya ayam ras saat ini. Key dan Runsten (1999) menjelaskan manfaat dengan
sistem kemitraan yaitu pengembangan akses pasar, kredit dan teknologi,
manajemen resiko yang lebih baik, memberikan kesempatan kerja yang lebih
baik. Di lain pihak, perusahaan yang bermitra dapat mengurangi biaya investasi
perusahaan dan dapat memfokuskan diri pada usaha menembus pasar modern dan
pasar global.
Kemitraan di Indonesia diatur dalam Keppres No. 22 tahun 1990 berisi
tentang kebijaksanaan pembinaan usaha peternakan ayam ras dengan mengatur
bahwa usaha ayam ras diutamakan untuk usaha peternakan rakyat yaitu
perorangan, kelompok dan koperasi, sedangkan untuk swasta nasional dalam
usaha budi daya peternakan ayam ras harus bekerja sama dengan peternakan
rakyat. Hal ini mengindikasikan sistem kemitraan menjadi salah satu solusi dalam
menjawab tantangan bisnis dalam budi daya ayam ras saat ini. Apalagi sebagian
besar peternak ayam ras adalah peternak rakyat kecil. Mereka memiliki
keterbatasan dalam banyak hal seperti modal, teknologi, maupun sumber daya. Di
lain pihak, perusahaan memiliki kelebihan di bidang tersebut. Kemitraan dalam
usaha budi daya ayam broiler mempunyai tujuan utama untuk saling berbagi
sumber daya dalam mengoptimalkan nilai tambah dari input, proses produksi,
maupun output.
Kemitraan usaha peternakan di Indonesia dikembangkan sejak tahun 1984
melalui pola Perusahaan Inti Rakyat dalam perunggasan. Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 472/1996 menyebutkan bahwa perusahaan inti adalah perusahaan
peternakan yang berkewajiban menyediakan lahan, penyedia sarana produksi
ternak (sapronak), bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah,
memasarkan hasil produksi, serta mengusahakan permodalan. Melalui aturan ini,
maka peternak yang berperan sebagai plasma hanya berkewajiban melakukan budi
daya ternak sebaik-baiknya sehingga hasil produksi mencapai target (Suharno
2002).
Kemitraan usaha ayam broiler merupakan salah satu sistem kerja sama yang
mengacu pada terciptanya suasana keseimbangan dan keselarasan serta didasari

2
saling mempercayai antara pihak yang bermitra. Hafsah (2000) berpendapat
bahwa dengan adanya pola kemitraan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sekaligus mendorong pemerataan kesejahteraan serta pertumbuhan ekonomi di
suatu wilayah. Kehadiran kemitraan sangat membantu peternak dalam penyediaan
input, peningkatan akses terhadap produksi dan pemasaran serta adanya kepastian
harga. Dengan demikian, kemitraan diharapkan mampu meningkatkan efisiensi
usaha ternak ayam broiler. Sebagaimana penelitian Ramaswami et al. (2005)
mengemukakan bahwa kontrak produksi adalah lebih efisien dibandingkan
produksi non kontrak.
Pola kemitraan antara perusahaan dan peternak mempunyai bentuk kerja
sama yang bervariasi, di antaranya pola kemitraan sistem kontrak dan pola
kemitraan sistem bagi hasil. Hal ini dapat dilihat dari salah satu daerah sentra
produksi ayam broiler di Indonesia yaitu Provinsi Sumatera Barat (Kementerian
Pertanian 2013). Pelaksanaan kemitraan di Provinsi Sumatera Barat khususnya
Kabupaten Limapuluh Kota terjadi dalam dua pola kemitraan yaitu kemitraan
sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil. Kedua pola kemitraan ini terdapat
perjanjian kerja sama yang berbeda.
Perbedaan kedua pola kemitraan ini terdapat pada perjanjian kerja samanya.
Implementasi kerja sama diduga dapat meningkatkan efisiensi melalui bimbingan
penyuluhan serta manfaat baik berupa peningkatan pendapatan, meningkatkan
kualitas sumberdaya peternak, adanya kemudahan atau aksessibilitas yang
diperoleh peternak, serta peningkatan skala usaha bagi pihak perusahaan dan
pihak peternak. Disamping itu, menurut Murthy dan Madhuri (2013) sistem kerja
sama pola kemitraan juga mempunyai kelemahan bagi peternak, di antaranya
penentuan perjanjian kontrak, manipulasi input, kontrak yang tidak
menguntungkan peternak. Dengan demikian, perbedaan pola kemitraan yang ada
dilapangan juga mempengaruhi efisiensi produksi pada pola kemitraan tersebut.
Perumusan Masalah
Kemitraan yang dilakukan peternak terkait kondisi di lapangan, dimana
peternak ayam broiler belum mampu melakukan usaha yang optimal karena
tingginya biaya operasional (DOC, pakan, vaksin, vitamin dan obat-obatan) serta
teknologi budi daya yang makin modern. Kurang baiknya manajemen
pemeliharaan (budi daya) ayam broiler di tingkat peternak, sehingga
menyebabkan kerugian bagi peternak. Permasalahan tersebut berdampak pada
produksi ayam boiler kurang efisien, karena biaya produksi yang tinggi dan
terbatasnya teknologi yang dimiliki peternak.
Sistem kemitraan yang terjadi dilapangan terdiri atas dua pola yaitu
kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil. Kemitraan sistem
kontrak dengan sistem bagi hasil secara umum merupakan kemitraan antara
pemilik modal (perusahaan) dengan peternak. Peternak yang ingin bermitra
dengan perusahaan sistem kontrak harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh
perusahaan, di antaranya populasi minimum ayam broiler yang akan diusahakan
minimal 3000 ekor, dengan manajemen bentuk kandang yang sesuai serta lokasi
usaha yang aksesnya mudah dicapai. Sedangkan peternak yang ingin bermitra

3
dengan sistem bagi hasil, tidak ada kriteria yang harus dipenuhi secara mutlak
oleh peternak.
Kemitraan sistem kontrak merupakan kerja sama perusahaan dengan
peternak yang memiliki ikatan kerja sama tertulis berupa perjanjian kontrak kerja
sama. Sedangkan kemitraan sistem bagi hasil merupakan kerja sama poultry shop
ataupun pemilik modal dengan peternak yang tidak memiliki ikatan kerja sama
tertulis. Perjanjian tertulis pada kemitraan sistem kontrak berisi tentang
kesepakatan harga sapronak, harga jual ayam hidup dan bonus pasar yang telah
ditetapkan oleh pihak perusahaan. Kemitraan sistem bagi hasil dalam hal harga
sapronak dan ayam hidup mengikuti harga pasar.
Secara ringkas, terdapat perbedaan perjanjian pada kedua pola kemitraan
yaitu input produksi dan harga jual. Kemitraan kontrak dengan kepastian input
dan harga pasar akan memberikan jaminan terhadap akses input dan mengurangi
risiko pasar sebaliknya kemitraan bagi hasil di mana input dan harga jualnya
mengikuti harga pasar memberikan kerugian bagi peternak terkait risiko harga
input maupun output. Implikasi dari pelaksanaan pola kemitraan yang berbeda
berdampak pada produksi dan pada akhirnya tingkat efisiensi. Penelitian ini akan
mengkaji apakah benar kemitraan kontrak lebih efisien dibandingkan bagi hasil.
Masalah lain dalam penerapan kemitraan adalah apakah peternak telah
mampu mengalokasikan input produksinya secara efisien. Kemampuan
mengalokasikan input secara efisien selain ditentukan oleh kondisi internal
(kemampuan manajerial) juga ditentukan faktor ekternal peternak. Untuk itu perlu
dikaji faktor-faktor apa saja yang memengaruhi efisiensi usaha ayam broiler
dengan pola kemitraan. Penelusuran faktor ini menjadi penting terkait
pelaksanaan kemitraan di tingkat peternak. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai efisiensi usaha peternakan ayam broiler pada pola kemitraan, dimana
pola kemitraan yang diteliti dilokasi penelitian yaitu pola kemitraan sistem
kontrak dan pola kemitraan sistem bagi hasil serta faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi efisiensi usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Limapuluh Kota.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian
ini sebagai berikut :
1. Apakah usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak lebih efisien
dari kemitraan sistem bagi hasil?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pada usaha ternak
ayam broiler pola kemitraan?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha teknis ayam broiler pola kemitraan
sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usaha ternak
ayam broiler.

4
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu wilayah yang mengembangkan
usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak dan sistem bagi hasil,
yaitu di Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini
menggunakan data cross section yang mencakup faktor-faktor produksi dan
output usaha peternakan ayam broiler yang dihitung dalam jangka waktu satu kali
periode usaha yaitu 35-40 hari.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Integrasi Vertikal
Melihat perkembangan industri ayam ras (broiler) di Indonesia, kegiatan
ekonomi dalam bisnis ini diselenggarakan oleh dua golongan penguasaan yaitu
peternak rakyat dan perusahaan ayam ras. Dalam perkembangan usahanya kedua
golongan tersebut sering mengalami masalah. Peternak rakyat biasanya memiliki
usaha berskala kecil sering mengahadapi permasalahan seperti rendahnya
kepemilikan modal, peralatan yang masih sederhana dan teknologi terbatas serta
sulitnya aspek pemasaran. Bagi perusahaan besar, investasi yang dibutuhkan
sangat besar dan resiko yang dihadapi juga besar. Oleh sebab itu, untuk menjaga
kuantitas, kualitas, waktu penyaluran yang tepat dan kontinuitas, perusahaan besar
umumnya membina suatu kerja sama dengan peternak rakyat melalui sistem
kontrak (contract farming) (Daryanto 2011).
Kontrak dalam pengertian umum dan lengkap ditemukan pada pertanian
dimana dalam bentuk yang sangat heterogen (Wright 1989 dalam Rehber 2007).
Contract farming atau kontrak produksi, bagaimanapun harus dibedakan dari
keragaman pemasaran sederhana atau kontrak tenaga kerja. Secara khusus
contract farming memerlukan hubungan antara petani keluarga dan suatu
pengolahan, ekspor atau unit pembelian (Rehber 2007). Dalam suatu proses
produksi ada beberapa tahap yang harus dilalui mulai dari pengumpulan bahan
baku sampai memprosesnya menjadi barang setengah jadi dan kemudian menjadi
barang jadi. Kemudian proses produksi dilanjutkan dengan distribusi barang atau
jasa dari distributor sampai pada konsumen akhir. Tahapan yang dilalui tersebut
adalah suatu rangkaian produksi yang meliputi unit usaha di hulu sampai dengan
hilir. Setiap tahap yang dilalui dalam proses produksi dan distribusi mengandung
margin antara harga dengan biaya produksi.
Hubungan contract farming dilakukan secara integrasi vertikal atau
koordinasi vertikal. Menurut Trifon (1959) dalam Rehber (2007), koordinasi
vertikal (integrasi) terjadi ketika sebuah perusahaan menggabungkan kegiatan
pemasaran dan produksi yang terkait dengan teknologi daripada pengembangan
kelembagaan. Integrasi berarti menyatukan dua atau lebih menjadi satu. Integrasi
vertikal terbaik dimana dua atau lebih tahap dalam proses produksi dan pemasaran
secara efektif dikendalikan oleh manajemen tunggal. Allen (1972) menyatakan
suatu produksi pertanian dan sistem pemasaran termasuk tahap atau sektor yang
berbeda : pemasok barang input, operator pertanian, distributor dan konsumen

5
akhir. Di negara-negara maju, hubungan dan transaksi antara sektor ini dapat
diwujudkan dengan cara yang berbeda.
Integrasi vertikal adalah terbaik dilindungi untuk integrasi kepemilikan
dimana dua atau lebih tahap dalam proses produksi dan pemasaran yang efektif
dikendalikan oleh manajemen tunggal. Sebuah perusahaan dapat digambarkan
sebagai terintegrasi secara vertikal jika mencakup dua single-output proses
produksi dimana seluruh output dari proses pertama digunakan sebagai bagian
atau seluruh kuantitas satu input antara atau dalam proses kedua atau seluruh yang
kuantitas input antara dalam tahap kedua diperoleh dari sebagian atau seluruh
output dari tahap pertama (Rehber 2007). Integrasi vertikal merupakan perjanjian
yang terjadi antara beberapa pelaku usaha yang berada pada tahapan
produksi/operasi dan atau distribusi yang berbeda namun saling terkait. Bentuk
perjanjian yang terjadi dapat berupa penggabungan beberapa atau seluruh kegiatan
operasi yang berurutan dalam sebuah rangkaian produksi/operasi.
Integrasi vertikal diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam pasal 14
sebagai berikut : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam
satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
Mekanisme hubungan kegiatan usaha yang bersifat integrasi vertikal dapat
dilihat pada skema produksi yang menggambarkan hubungan dari atas ke bawah,
yang sering disebut juga dengan istilah dari hulu (upstream) ke hilir
(downstream). Suatu kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai integrasi vertikal
ke belakang atau ke hulu yaitu apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan
beberapa kegiatan yang mengarah pada penyediaan bahan baku dari produk
utama. Sedangkan kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai integrasi vertikal ke
hilir adalah apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa kegiatan yang
mengarah pada penyediaan produk akhir.
Beberapa alasan mengapa pelaku usaha memutuskan untuk melakukan
integrasi vertikal, yaitu (1) efisiensi, (2) kepastian bahan baku dan peningkatan
akses ke konsumen, (3) pelaku usaha dapat melakukan transfer pricing, (4)
mengurangi atau menghilangkan pesaing pasar. Tujuan pelaku usaha melakukan
efisiensi melalui integrasi vertikal adalah mencapai harga yang bersaing dari
produk atau jasa yang dipasarkan. Efisiensi pada integrasi vertikal akan dicapai
melalui pengurangan penggunaan suatu proses/peralatan teknis (technical
efficiency), penghematan biaya transaksi (transaction cost) dan pengurangan
marjin ganda (double marginalization) atau secara keseluruhan meniadakan
biaya-biaya yang tidak perlu yang sebenarnya dapat dihindari. Keunggulan teknis
dapat dicapai melalui perbaikan atau peningkatan teknologi sehingga proses
manufaktur atau proses operasi berjalan lebih efisien (penggunaan input yang
lebih kecil dengan hasil yang sama) atau lebih produktif (menghasilkan output
yang lebih besar dengan input yang sama). Coase (1988) dalam Rehber (2007)
berpendapat bahwa biaya transaksi meliputi biaya penulisan, pelaksanaan, dan
penyiapan kontrak. Williamson (1973) dalam Rehber (2007) juga berpendapat
bahwa biaya transaksi untuk menggabungkan asumsi perilaku opportunity dan
bounded rationality artinya tidak ada kecenderungan dari pemasok untuk

6
menyesatkan (meminimalkan bahaya dengan mengendalikan pemasok secara
langsung) dan mengendalikan produksi sehingga dapat menghindari biaya
tambahan dari pemasok. Hal ini sesuai dengan gagasan “lembaga organisasi
ekonomi memiliki sumber biaya transaksi”. Dengan melakukan integrasi vertikal,
biaya transaksi tersebut dapat diminimalisir sehingga perusahaan dapat melakukan
penghematan biaya. Penghematan biaya transaksi muncul dari penghematan biaya
ekonomi dalam mencari pasokan bahan baku, melakukan negosiasi, kontrak dan
pengawasan terhadap pemasok atau distributor.
Efisiensi juga bisa muncul dari pengurangan marjin ganda yang dilakukan
oleh pelaku-pelaku usaha berada pada tingkatan produksi atau distribusi yang
saling terkait. Margin ganda muncul ketika perusahaan pada tiap tingkatan
produksi dan distribusi yang berbeda menerapkan marjin untuk memkasimumkan
keuntungan. Dengan adanya integrasi vertikal margin ganda dapat dihilangkan
dimana marjin hanya diterapkan oleh satu unit bisnis yang telah melakukan
integrasi vertikal. Efisiensi yang dihasilkan dari kegiatan integrasi vertikal ini
berdampak pada biaya produksi dan biaya organisasi yang lebih rendah, sehingga
pelaku usaha dapat memproduksi barang dan jasa dengan kualitas yang lebih baik
dan biaya yang ditanggung menjadi lebih rendah.
Alasan yang kedua adalah kepastian bahan baku dan peningkatan akses ke
konsumen. Pelaku usaha memutuskan untuk melakukan integrasi vertikal ke hulu
dengan maksud untuk mengontrol kepastian pasokan bahan baku. Alasan ketiga
yaitu pelaku usaha dapat melakukan transfer pricing. Transfer pricing adalah saat
pelaku usaha memberikan harga yang lebih rendah kepada perusahaan yang
terintegrasi dibawahnya dengan tujuan membuat biaya produksi lebih rendah
sehingga akan mengakibatkan harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya
karena biaya produksi yang relatif lebih rendah. Alasan keempat adalah
mengurangi atau menghilangkan pesaing di pasar. Integrasi vertikal ditujukan
untuk menghasilkan penghematan biaya maupun upaya untuk meminimalkan
ketidakpastian. Dalam persaingan, perusahaan yang melakukan integrasi vertikal
akan lebih mudah mendapatkan kekuatan pasar (market power) karena lebih
efisien serta dapat menjadikan harga barang/jasa lebih murah dan adanya jaminan
distribusi.
Menurut Koch (1980), integrasi vertikal memiliki dampak positif yang
dihasilkan dari efisiensi dan dampak negatif yang dihasilkan dari perilaku anti
persaingan. Dampak anti persaingan yang muncul dari integrasi vertikal dapat
dibedakan atas tiga dampak yaitu (1) dampak yang berasal dari tindakan yang
dilakukan perusahaan yang terintegrasi vertikal untuk membatasi kemampuan
pesaing untuk bersaing melalui penutupan akses di pasar hulu (upstream market)
ataupun di pasar hilir (downstream market), (2) dampak yang terjadi karena
perusahaan yang terintegrasi vertikal memfasilitasi koordinasi harga atau output
sebagai bagian dari upaya kerja sama baik di pasar hulu bersangkutan maupun di
pasar hilir bersangkutan, dan (3) dengan adanya integrasi vertikal risiko produksi
yang dihadapi perusahaan dapat diminimalisirkan.
Saragih (1998), mengemukakan bahwa syarat yang perlu dipenuhi dalam
pola kemitraan adalah syarat keharusan yang dimanifestasikan dalam wujud
kebersamaan yang kuat antara mereka yang bermitra dan syarat kecukupan berupa
adanya peluang yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang bermitra
melalui pelaksanaan kemitraan. Untuk meningkatkan daya saing produk

7
perunggasan nasional perlu dikembangkan kemitraan melalui integrasi vertikal,
melihat kondisi struktur peternakan nasional masih didominasi oleh peternakan
rakyat berskala kecil bahwa koordinasi vertikal lebih sesuai untuk dijalankan
karena dapat mengurangi biaya, meningkatkan keuntungan serta memberikan arus
keuntungan yang lebih stabil, pertumbuhan tetap, pemasokan bahan mentah secara
tetap atau salah satu kemungkinan memperoleh keuntungan ekonomis lainnya.
Integrasi dibidang pertanian yang mengaitkan antara perusahaan pengadaan
input dan perusahaan pemakai inputberdampak positif bagi peningkatan efisiensi
produksi. Dengan adanya integrasi, perusahaan pemakai input dapat memperoleh
input yang dibutuhkan dengan tepat waktu, tepat jumlah, maupun tepat
kualitasnya. Dalam penelitian ini kemitraan antara perusahaan inti dan peternak
dapat dikategorikan sebagai bentuk integrasi vertikal, sehingga aspek-aspek
positif dari integrasi juga diharapkan muncul dalam bentuk peningkatan efisiensi
usaha.
Efisiensi Usahatani
Efisiensi merupakan pengalokasian sejumlah barang dalam jumlah tertentu
dalam suatu ekonomi pertukaran disebut efisien apabila lewat realokasi barangbarang tidak ada seorang individu pun dapat memperoleh kesejahteraan tanpa
mengurangi kesejahteraan individu lain. Suatu pengalokasian disebut efisien jika
kondisi-kondisi secara jelas dan pasti tidak dapat dibuat lebih baik lagi (Nicholson
1990). Efisiensi sesuai dengan prinsip ilmu ekonomi bahwa dengan input
produksi tertentu akan dapat dihasilkan output semaksimal mungkin atau untuk
memproduksi output tertentu dengan input dan biaya seminimal mungkin. Jika
efisiensi tersebut diterapkan dalam suatu produksi komoditas pertanian maka
petani akan berupaya mencapai suatu efisiensi dalam menggunakan input
produksi (Weesink et al. 1990 dalam Lubis 2014). Dalam usahatani, peranan
hubungan input atau faktor produksi dengan output merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan. Peranan input bukan saja dapat dilihat dari segi macamnya
atau tersedianya dalam waktu yang tepat, tetapi juga dapat ditinjau dari segi
efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut. Petani yang rasional akan bersedia
menambah input tertentu selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan
input tersebut sama atau lebih besar dibandingkan dengan tambahan biaya yang
diakibatkan oleh penambahan sejumlah input tersebut (Puspitasari 2013).
Penelitian mengenai efisiensi juga dilakukan karena beberapa hal yaitu
produktivitas yang rendah padahal komoditas tersebut bernilai ekonomis tinggi
dan berpotensi untuk dikembangkan, oleh karena itu penelitian tentang efisiensi
sebagian besar bertujuan untuk mengupayakan peningkatan produksi dan
produktivitas (Hikmasari et al. 2013, Ratih dan Harmini 2012, Tinaprilla et al.
2013). Penelitian efisiensi telah banyak dilakukan oleh para peneliti, namun untuk
pengukuran atau alat analisis yang digunakan berbeda-beda, sehingga terdapat
beberapa pendekatan yang dilakukan. Pengukuran efisiensi produksi menurut
Coelli et al. (1998) ditinjau dari karakteristik yaitu pengukuran nonparametrik dan
parametrik. Kedua konsep tersebut selain untuk mengukur efisiensi produksi juga
mengestimasi fungsi batas (frontier). Salah satu pendekatan nonparametrik yang
telah dikembangkan dan banyak digunakan yaitu metode Data Envelopment
Analysis (DEA) yang menggunakan metode linear programming dan dalam

8
aplikasinya juga banyak menggunakan metode linear goal programming.
Pendekatan parametrik mengacu pada setiap metode frontier yang dikonstruksi
adalah parametrik, misalnya fungsi produksi frontier Cobb-Douglas atau translog.
Beberapa hasil penelitian kisaran tingkat efisiensi relatif beragam pada
berbagai komoditi. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2014)
dengan komoditas nanas di Kabupaten Subang dengan tujuan mengkaji efisiensi
produksi nanas menggunakan Stochastic Frontier Analysis (SFA) memiliki ratarata efisiensi teknis sebesar 0.34. Selanjutnya dengan metoda Data Envelopment
Analysis (DEA) untuk estimasi efisiensi teknis sebesar 0.55 (Constant Return to
Scale) serta 0.62 (Variable Return to Scale), hal ini menunjukkan petani nanas
masih inefisien secara teknis. Sedangkan nilai efisiensi alokatif cukup rendah
yaitu 0.74 dan efisiensi ekonomi sebesar 0.41. Kusnadi et al. (2011), menganalisis
tingkat efisiensi teknis produksi padi di beberapa provinsi sentra produksi padi
nasional telah efisien dengan hasil rata-rata efisiensi teknis sebesar 91.86 persen.
Peningkatan efisiensi akan memberikan hasil lebih baik jika diarahkan ke luar
Jawa. Penelitian Susanti (2014), yang bertujuan untuk menduga tingkat efisiensi
teknis usahatani cabai merah keriting di Kabupaten Bogor dengan pendekatan
Stochastic Production Frontier, didapatkan bahwa petani cabai belum efisien
secara teknis dengan rata-rata efisien teknis sebesar 0.483. Berdasarkan analisis
hubungan efisiensi teknis dengan produktivitas, diketahui bahwa semakin tinggi
tingkat efisiensi teknis yang dicapai, produktivitas yang dihasilkan juga semakin
tinggi.
Selain komoditi pertanian, penelitian efisiensi juga bisa dilakukan pada
komoditi peternakan. Yunus (2014), dengan pendekatan Stochastic Frontier
Analysis (SFA) mengukur tingkat efisiensi teknis, alokasi dan ekonomi usaha
penggemukan ternak domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha
penggemukan ternak domba sudah efisien secara teknis baik pada peternak mitra
maupun peternak nonmitra, dengan nilai rata-rata masing-masing yaitu 0.79 dan
0.86. Akan tetapi belum efisien secara alokasi dan ekonomi yaitu kurang dari 0.70
baik pada peternak mitra maupun non mitra. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
peternak nonmitra lebih efisien dalam menjalankan usahanya dibandingkan
peternak mitra. Berbeda dengan penelitian Ningsih (2014), dengan menggunakan
model fungsi produksi Cobb-Douglas pada usaha ternak ayam ras petelur, hasil
penilaian efisiensi harga untuk penggunaan setiap input (faktor produksi)
menunjukkan bahwa alokasi penggunaan input di Desa Bettet Kecamatan Kota
Pamekasan masih belum efisien. Hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung masingmasing input yang lebih besar dari t tabel dengan α = 0.05 dan derajat bebas 19
(df = 19). Penelitian Ojo (2003) mengenai produktivitas dan efisiensi teknis
produksi telur unggas di Nigeria dengan pendekatan stochastic frontier
production function didapatkan nilai efisiensi teknis rata-rata sebesar 0.763. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa produksi telur unggas berada pada daerah rasional
produksi (tahap II).
Secara spesifik penelitian pada usaha peternakan ayam broiler dapat dilihat
pada Dziwornu et al. (2014); Ali et al. (2014); Yunus (2009); Vukelic et al.
(2013), dengan meneliti mengenai efisiensi usaha peternakan ayam broiler baik
efisiensi teknis, alokatif maupun ekonomis. Dziwornu et al. (2014) menggunakan
metode Stochastic Frontier Analysis (SFA) dengan pengukuran efisiensi ekonomi
rata-rata sebesar 69 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produsen ayam broiler

9
tidak sepenuhnya efisien secara ekonomi sehingga masih ada peluang untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi produsen broiler sebesar 31 persen tanpa
mengubah batas keuntungan. Selain itu pada penelitian Ali et al. (2014) terhadap
komoditas ayam broiler di Punjab Pakistan, bahwa tingkat efisiensi teknis (TE)
ayam broiler tergolong tinggi dengan tingkat efisiensi teknis sebesar 0.880 dengan
rata-rata antara 0.440 – 0.985. Yunus (2009) menganalisis efisiensi produksi
usaha peternakan ayam ras pedaging pola kemitraan dan mandiri di Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah dengan melihat perbedaan pendapatan rata-rata
peternak, dimana peternak ayam ras pedaging mandiri memiliki nilai R/C ratio
sebesar 1.26 lebih tinggi dibanding peternak pola kemitraan yang hanya sebesar
1.06. Analisis efisiensi teknis yang dicapai peternak ayam ras pedaging secara
keseluruhan adalah sebesar 0.868. Efisiensi alokatif dan ekonomis pada peternak
pola kemitraan sebesar 1.816 dan 1.587, sedangkan efisiensi alokatif peternak
mandiri adalah sebesar 1.838 dan efisiensi ekonomis sebesar 1.593. Secara
keseluruhan masih perlu adanya upaya-upaya peternak untuk mengalokasikan
faktor-faktor produksi lebih efisien agar bisa mencapai hasil produksi yang
optimum. Penelitian Vukelic et al. (2013) mengukur efisiensi ekonomi peternakan
ayam broiler di wilayah Vojvodina dengan menggunakan pendekatan
nonparametrik Data Envelpoment Analysis (DEA). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa efisiensi rata-rata dibawah Constant Return to Scale (CRS) dengan nilai
73.55 persen dan nilai Variable Return to Scale (VRS) sebesar 95.97 persen. Hal
ini berarti peternakan ayam broiler masih belum efisien.
Penelitian Ezeh et al. (2012) pada produksi ayam broiler bahwa nilai
efisiensi teknis di wilayah Umuahia, Abia State, Nigeria relatif tinggi. Tingkat
nilai efisiensi teknisnya antara 80 persen dan 90 persen dengan rata-rata 75
persen. Hal ini menunjukkan bahwa peluang masih ada untuk meningkatkan
produktivitas dan pendapatan petani broiler dalam penelitian. Faktor penentu
sosial ekonomi efisiensi teknis adalah kontak ekstensi, ukuran rumah tangga, usia
dan jenjang pendidikan. Tetapi penelitian Udoh et al. (2009), mengukur tingkat
efisiensi produksi broiler di Uyo, Akwa Ibom State, Nigeria, dimana diperoleh
indeks efisiensi rata-rata sebesar 0.62, menyiratkan output dari produksi broiler
dapat ditingkatkan sebesar 38 persen dengan menggunakan teknologi yang
tersedia. Berbeda dengan penelitian Ningsih et al. (2013), menggunakan
pendekatan regresi berganda untuk melihat kontribusi pendapatan dan efisiensi
ekonomi usaha ayam niaga pedaging, bahwa faktor kepemilikan ternak dan lama
beternak berpengaruh sangat nyata terhadap kontribusi pendapatan usaha ayam
niaga pedaging, sedangkan jumlah anggota keluarga dan pendidikan peternak
tidak berpengaruh terhadap kontribusi pendapatan usaha ayam niaga pedaging.
Untuk faktor sosial ekonomi terhadap efisiensi ekonomi, faktor jumlah
kepemilikan ternak berpengaruh sangat nyata terhadap efisensi ekonomi, faktor
pendidikan berpengaruh nyata terhadap efisiensi ekonomi, namun faktor jumlah
anggota keluarga dan lama beternak berpengaruh tidak nyata terhadap efisiensi
ekonomi.
Todsadee et al. (2012) meneliti mengenai efisiensi produksi peternakan
broiler di Thailand menggunakan pendekatan SFA, hasil penelitian yang diperoleh
dengan nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 79 persen. Hal ini mengindikasikan
bahwa ada kesempatan untuk meningkatkan produksi broiler di wilayah tersebut
dengan mengadopsi praktek manajemen yang tepat. Gusasi et al. (2006) dengan

10
pendekatan tingkat pendapatan usaha ternak dan efisiensi usaha, menelusuri
komponen faktor produksi yang digunakan dalam pengelolaan usaha dan
pendapatan bersih yang dapat diperoleh pada setiap tingkatan skala usaha serta
tingkat efisiensinya. Hasil menunjukkan bahwa manfaat dan keuntungan dapat
diperoleh pada skala usaha yang lebih besar dengan melihat perbedaan
pendapatan pada setiap tingkatan skala usaha. Semakin besar skala usaha yang
dilakukan maka semakin besar pula tingkat efisiensinya.
Merujuk pada penelitian terdahulu, sebagian besar peneliti menggunakan
metode atau pendekatan SFA (Stochastic Frontier Analysis) untuk menganalisis
efisiensi produksi usahatani. Pendekatan ini merupakan pendekatan parametrik
yang dapat menjelaskan efisiensi produksi usahatani dan menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani tersebut sehingga dihasilkan
modelnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penulis melakukan
penelitian dengan mengukur tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usaha
peternakan ayam broiler dengan menggunakan pendekatan SFA yang dilakukan
pada lokasi dan kurun waktu yang berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Usahatani dan Faktor yang
Mempengaruhi Produksi Usahatani
Berbagai studi telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi. Sumaryanto (2003) dalam Lubis (2014) menyatakan bahwa terdapat
faktor internal dan ekternal sehingga petani tidak dapat mencapai efisiensi
tertinggi. Faktor internal merupakan kemampuan teknis dan manajerial petani
dalam usahatani meliputi luas dan penguasaan lahan, pendidikan, umur,
pendapatan, pengalaman, penguasaan teknologi serta kemampuan petani
mengolah informasi untuk meningkatkan produksinya. Faktor eksternal meliputi
hal-hal diluar kendali petani seperti bencana alam, iklim, harga, penyakit dan
hama tumbuhan dan lainnya. Salsinha (2005) dalam Sari (2010) menunjukkan
bahwa produksi dan efisiensi produksi usahatani padi sawah dipengaruhi oleh
faktor luas lahan, benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja. Sama halnya
dengan penelitian Sari (2010) bahwa faktor produksi luas lahan, pupuk urea,
pupuk SP36 dan pupuk KCl berpengaruh nyata terhadap produksi padi ladang,
sedangkan faktor benih, pestisida dan tenaga kerja berpengarug tidak nyata
terhadap produksi padi ladang.
Menurut Todsadee et al. (2012) menggunakan stochastic frontier dimana
efek inefisiensi teknis secara umum pada semua peternak yang melakukan usaha
peternakan ayam pedaging. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
variasi dalam produksi dan inefisiensi teknis peternakan ayam broiler Thailand.
Hasil menunjukkan bahwa pakan, stock DOC, biaya tetap dan total biaya variabel
berkontribusi terhadap output broiler. Hasil lain menunjukkan bahwa total biaya
variabel produksi memiliki tanda negatif yang berarti bahwa listrik, air, pajak dan
lain-lain tidak langsung mempengaruhi output. Namun, usia, pendidikan, jumlah
anggota keluarga, pelatihan dan akses terhadap kredit berpengaruh positif
terhadap efisiensi teknis di tingkat petani. Hampir sama dengan penelitian Ali et
al. (2014) bahwa jumlah DOC (Day Old Chick), pakan dan tenaga kerja
berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi produksi ayam broiler
sedangkan vaksinasi berpengaruh negatif dan kapasitas gudang positif tetapi

11
secara statistik tidak signifikan.Penelitian Yunus (2009) hasil uji terhadap faktor
produksi menunjukkan bahwa variabel bibit ayam (DOC) dan pakan berpengaruh
nyata (significant) pada α = 1 % dan berhubungan positif dengan produksi,
sedangkan variabel vaksin, obat dan vitamin menunjukkan hubungan yang negatif
terhadap produksi. Berbeda dengan penelitian Hapsari (2013) yang menganalisis
efisiensi faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging pola kemitraan
dan mandiri menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS),
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging
pada kedua pola peternak adalah pakan dan pemanas. Faktor-faktor produksi yang
berpengaruh nyata pada peternak kemitraan selain pakan dan pemanas adalah
sekam, kepadatan kandang dan mortalitas. Pada peternak mandiri faktor-faktor
produksi yang berpengaruh nyata hanya pakan dan pemanas. Peternak mandiri
penggunaan pakan lebih responsif dari peternak kemitraan, sedangkan pada
peternak kemitraan penggunaan pemanas lebih responsif dari peternak mandiri.
Ezeh et al. (2012) menyatakan bahwa karakteristik sosial ekonomi rata-rata
peternak ayam broiler pada tingkat pendidikan, pengalaman beternak dan jumlah
anggota keluarga tidak hanya meningkatkan efisiensi dan produktivitas tetapi juga
meningkatkan kemampuannya untuk memahami dan mengevaluasi teknologi
produksi baru. Dibandingkan dengan penelitian Dziwornu et al. (2014) faktorfaktor yang menjelaskan variasi dalam efisiensi ekonomi pada produsen broiler
skala kecil adalah usia, ekstensi kontak layanan (penyuluhan), usia pasar ayam
broiler dan akses kredit. Usia produsen broiler berpengaruh negatif terhadap
efisiensi ekonomi dimana semakin usia peternak maka semakin tidak efisien
secara ekonomi. Sebaliknya koefisien ekstensi kontak layanan (penyuluh)
berpengaruh positif, tetapi usia pasar ayam broiler berpengaruh negatif. Untuk
akses kredit berpengaruh positif terhadap efisiensi ekonomi produsen broiler.
Tetapi pada penelitian Yunus (2014), usia peternak, jumlah tanggungan keluarga,
pendidikan nonformal akses terhadap modal dan penggunaan atap kandang
mempengaruhi efisiensi teknis usaha penggemukan domba secara signifikan.
Sementara itu faktor lainnya seperti pengalaman beternak domba, lama
penggemukan, dan derajat kemitraan tidak berpengaruh signifikan, namun
berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis usaha penggemukan domba.
Selain dari usaha peternakan, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
juga dilakukan pada komoditas cabai merah besar dan cabai merah keriting yang
diteliti oleh Saptana et al. (2011) di Provinsi Jawa Tengah dengan pendekatan
fungsi produksi stochastic frontier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar variabel, baik teknis dan faktor sosial ekonomi memiliki tanda-tanda seperti
yang diharapkan dan yang paling signifikan. Beberapa faktor sosial ekonomi yang
berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis cabai merah besar dan cabai merah
keriting adalah variabel total pendapatan rumah tangga (RT), rasio pendapatan RT
usaha tani cabai merah besar/keriting terhadap pendapatan total, rasio luas
garapan usaha tani cabai merah besar terhadap total garapan, pendidikan Kepala
Keluarga (KK), dan pengalaman KK dalam usaha tani cabai merah. Selanjutnya
penelitian Lubis (2014), umur, pola tanam dan kelompok tani mempengaruhi
secara positif dan signifikan inefisiensi alokatif sedangkan variabel pengalaman
dan kepemilikan lahan berpengartuh negatif dan signifikan terhadap inefisiensi
alokatif. Umur juga mempengaruhi positif dan nyata terhadap efisiensi ekonomi
sedangkan pendidkan formal, kelompok tani dan penggunaan kredit berpengaruh

12
negatif dan signifikan terhadap inefisiensi ekonomi. Variabel penyuluhan tidak
signifikan mempengaruhi inefisensi teknis, alokatif dan ekonomi. Pada penelitian
Susanti (2014), faktor umur, pendidikan, pengalaman usahatani, penyuluhan dan
penggunaan mulsa plastik berpengaruh tidak nyata pada taraf α 15 persen
terhadap efisiensi teknis pada proses produksi cabai merah keriting di Kabupaten
Bogor.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka penulis perlu melakukan
penelitian dengan melihat pengaruh faktor-faktor produksi terhadap hasil produksi
pada usaha peternakan ayam broiler serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
inefisiensi yaitu umur, pendidikan, pengalaman beternak, kegiatan penyuluhan,
status usaha dan kemitraan yang dilakukan pad