Etos Ber-Muhammadiyah

Etos Ber-Muhammadiyah
Senin, 05 Juli 2010 01:46
Oleh: Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
(Sumber: http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1491-etos-ber-muhammadiyah-.html)
Di tengah banyak orang kebingungan mencegah tindak kejahatan korupsi,
kiranya tepat menengok Muhammadiyah dalam mengelola lembaga-lembaga
sosialnya. Hal itu kiranya relevan, Lebih-lebih ketika organisasi Islam
modernis ini sedang melaksanakan hajat besar, yaitu muktamar satu abad
yang dilaksanakan di Yogyakarta pada pagi hari ini.
Muhammadiyah selama ini telah teruji dalam mengelola berbagai lembaga,
seperti pendidikan, rumah sakit atau klinik kesehatan, panti asuhan dan juga
tempat ibadah. Selama ini belum terdengar ada penyimpangan atau korupsi
yang dianggap serius. Jika pun ada persoalan, terkait dengan organisasi dan
kepengurusan lembaganya. Misalnya, konflik yang muncul karena persaingan
calon kepala sekolah, rektor, pimpinan rumah sakit dan sejenisnya. Tetapi
biasanya persoalan seperti itu segera bisa diatasi.
Keberhasilan Muhammadiyah hingga dapat mengatasi penyimpangan
tersebut adalah merupakan prestasi tersendiri. Selama ini orang percaya
terhadap kemampuan Muhammadiyah dalam mengelola organisasi,
kelembagaan dan tidak terkecuali dalam pengelolaan dana. Hal seperti itu
sekaligus membantah anggapan yang selama ini dipercaya, bahwa korupsi

merupakan karakter bangsa ini. Sementara Muhammadiyah, ----- yang juga
menjadi bagian bangsa ini, ternyata berhasil menjaga trust yang tinggi.
Sehingga anggapan yang kurang menyenangkan itu tidak benar.
Ujian terhadap Muhammadiyah cukup meyakinkan, sebab organisasi Islam
modernis ini mengelola ribuan sekolah, madrasah, rumah sakit, klinik
kesehatan dan bahkan juga ratusan perguruan tinggi. Proyek-proyek yang
dibangun oleh Muhammadiyah,----- umpama dihitung, amat besar jumlahnya.
Bisa dibayangkan satu PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) ada yang
mengelola puluhan ribu mahasiswa dan mempekerjakan ratusan dosen dan
karyawan. Pada setiap saat, lembaga ini membangun fasilitas fisik dan
akademik dengan dana yang tidak kecil. Namun sekalipun tidak
mengetrapkan manajemen sebagaimana yang dikembangkan oleh
pemerintah, ternyata penyimpangan keuangan dan fasilitas lain tidak pernah
terjadi yang menyebabkan seseorang masuk ke penjara.
Prestasi seperti itu tentu perlu dikaji, mengapa Muhammadiyah relatif bisa
membangun kejujuran hingga berhasil membangun fasilitas pendidikan,
kesehatan dan lainnya seperti itu. Padahal dalam organisasi Islam ini,
pengawasan yang dilakukan oleh organisasi di tingkat pusat maupun pada
level lebih bawah, tidak terlalu ketat, dan bahkan hampir-hampir tidak ada.
Saya pernah hadir di sebuah lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah,


sekalipun sudah beberapa kali mewisuda sarjana tetapi belum pernah
sekalipun dihadiri oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Akan tetapi PTM
tersebut cukup dinamis, pembangunan fisiknya mantap, dan jumlah
mahasiswanya cukup banyak. Artinya tanpa pengawasan pun
Muhammadiyah akan berjalan dan tidak akan diselewengkan.
Mengamati dan bahkan sekaligus ikut mengalami dalam mengelola lembaga
pendidikan tinggi Muhammadiyah, saya menemukan beberapa kesimpulan,
mengapa penyimpangan atau korupsi tidak terjadi di kalangan
Muhammadiyah. Pertama, ada rasa senang dan cinta terhadap organisasi
Muhammadiyah. Perasaan mencintai organisasi itu melahirkan semangat
berjuang untuk kemajuan Muhammadiyah. Di lingkungan Muhammadiyah
dikenal pesan KH Ahmad Dahlan, -----pendiri Muhammadiyah, yang
kemudian dijadikan semangat beramal, yaitu “Hidup-hidupilah
Muhammadiyah dan jangan Mencari Kehidupan di Muhammadiyah”.

Kedua, Tanpa dikomando atau disuruh di kalangan organisasi ini tumbuh
semangat memberi atau beramal. Menjadi Muhammadiyah diartikan sama
dengan menjadi orang yang akan beramal, menyumbang, memberi, dan
juga berkorban. Maka menjadi hal biasa, tatkala akan membangun lembaga

pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, orang-orang Muhammadiyah
mengadakan patungan, atau urunan mengumpulkan dana. Gerakan
mengumpulkan dana itu jumlahnya tidak ditentukan secara sama. Masingmasing orang diberi keleluasan memberikan bantuan seikhlasnya,
menyesuaikan dengan kemampuanya. Menyumbang pada kegiatan
organisasi dianggap sebagai bagian dari ibadah, berbakti memenuhi
tuntutan agamanya.
Ketiga, gerakan memberi dilakukan oleh semua, yang biasanya dipelopori
oleh pimpinannya dan kemudian diikuti oleh yang lain. Dengan cara itu maka
tumbuh di antara warga Muhammadiyah semangat beramal dan sebaliknya
tidak ada perasaan dipermainkan oleh pihak lain, apalagi oleh pimpinannya.
Semua pihak berusaha bisa memberi. Pendekatan seperti ini melahirkan
trust antar sesama, sehingga sekalipun tidak dilakukan pencatatan misalnya,
tidak akan ada dana yang diselewengkan. Pengelolaan aset dan dana yang
diliputi oleh nuansa transendental seperti itu melahirkan saling percaya dan
saling ingin menjadi dipercaya.
Keempat, rasa memiliki bersama. Perasaan memiliki atau organisasi
sebagai rumahnya sendiri tertanam di kalangan pengurus dan bahkan
anggota Muhammadiyah. Hal itu mungkin terjadi karena di Muhammadiyah
tidak ada pengurus yang digaji atau diberi imbalan. Mereka menduduki posisi
sebagai pimpinan tidak akan mendapatkan fasilitas, kecuali ruang kantor

untuk bekerja. Umpama imbalan itu diterima, hanyalah sebatas untuk
mendukung jalannya organisasi, misalnya dana transport tatkala meninjau
amal usaha di daerah. Hal itu bisa dimengerti, karena Muhammadiyah juga
tidak memungut dana dari lembaga pendidikan dan sosial yang berada di

bawah pembinaannya.
Dari uraian tersebut di muka, maka ber-Muhammadiyah sesungguhnya lebih
dimotivasi untuk mengabdi, beribadah atau beramal, dan bukan untuk
mendapatkan sesuatu. Sehingga dengan semangat seperti itu maka korupsi
atau penyimpangan-penyimpangan sehingga menjadikan organisasi stagnan
atau mundur dan bahkan mati, dalam batas-batas tertentu, tidak terjadi.
Memang akhir-akhir ini dengan semakin berkembangnya berbagai lembaga
yang ada, maka mulai muncul isu agar pengelolaan organisasi dilakukan
secara profesional. Sedangkan profesional dimaknai di antaranya diberikan
imbalan bagi mereka yang berjasa atau berprestasi. Pemikiran seperti itu,
kiranya wajar tatkala masyarakat semakin sadar terhadap hal
itu . Namun masih dengan catatan, bahwa hal itu tidak boleh mengurangi
semangat atau nilai beramal dan berjuang pada wadah organisasi
Muhammadiyah. Sebab organisasi ini sejak awal didisain hanya sebagai
tempat mengabdi atau beribadah. Wallahu a’lam.