Etos Feodal.
tgEPUTARINDONESIA
'
.~
.
~.
i):
1".-.
._-''''
0
~"
i~
.
,.
1
17
'., :~,OJan
2
18
0
Senin
3
19
OPeb
Se/asa
4
5
20
o Mar
6
.
21
OApr
~
Rebu
7
22
0
8
23
OMel
0
Kamis
9
10
24
OJun
.~.
11
2
OJuJ
o Sabtu
Jumat
12
26
13
27
0 Ags OSep
EtosFeodal
PEKAN lalu,
Tim Delapan
telah menyelesaikan tugasnya dan
menyampaikan beberapa
rekomendasi
kepada Presiden SBY.Salah satu rekomendasinya adalah melanjutkan reformasi
institusional dan reposisipersonel
pada tubuh Polri, Kejaksaan
Agung,KPK, dan lembaga penegak
hukum lainnya. Rekomendasi ini
dipandang perlu untuk mengikis
etos feodal yang melekat pada
kinerjaalat-alatkekuasaannegara.
Etos feodal memang telah mendarah daging pada sebagian besar
masyarakat Indonesia sejak zaman
dahulu. Pada masa akhir pemerin.
tahan Raja MataramAmangkurat I
(1645-1677), tertulis perilaku para
pembesaryang turut meruntuhkan
Kerajaan Mataram dalam Babad
Tanah Jawi. "Para bupati, menteri,
dan kerabat istana bertindak sekehendak hati dalam kedudukan
mereka. Tata aturan kehidupan negara menjadi berantakan." Pernyataaninimenyatakan bahwaKerajaan Mataram jatuh bukan terutama
karena alat-alat kekuasaan yang
tradisional dan sakral, melainkan
oleh etos feodal para pembesar.
Di zaman Orde Baru, etos feodal
pun mewamai penanganan korupsi
oleh pemerintah kala itu. Akhmad
ZainiAbar dalam 1966-1974Kisah
Perslndonesiamencatat
bahwakritik
dan keprihatinan masyarakat terhadapkorupsidimasa OrdeBarumulai disuarakan oleh mahasiswa dan
perssejak 1967.Kritik ini ditujukan
langsung kepada pejabat-pejabat
tinggi negara yang berada di sekelilingPresidenSoeharto.Masyarakat menuntut agar tindakan korupsi
segera diberantas sehingga kewiba.
waan penguasabarutidakmerosotdi
mata masyarakat pendukungnya,
Kllplng
Humas
termasuk pers danmahasiswa.
Pemerintah masa itu menanggapi seeara positif tuntutan dari
masyarakat dengan membentuk
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
pada bulan Desember 1967 dan
Komisi 4 pada bulan Februari 1970.
Namun, usaha TPK dan Komisi 4
tidak efektif karena niat pemerintah untukmemberantaskorupsihanya menjadi retorika belaka. Bahkan, Mohammad Hatta yang berperan sebagai penasihat Komisi 4
menyatakan, "Orang yang memahami eara kerjaKomisi 4 akan meneatat bahwa padasuatusaatdimasa
Orde Baru, pernah diniatkan suatu
usaha pemberantasankorupsiyang
tidak sampai pada pelaksanaan"
(Deliar Noer, 1990: 683).
Dari dua pengalaman tersebut,
kita berharap agar pemerintah dapat mengambil tindakan.tegas dan
tepat untuk menyelesaikan perkara yang menyangkut alat-alat
kekuasaannegara.Reformasi tidak
hanya menyangkut sistem dan tata
eara pelaksanaan alat-alat negara,
tetapi terutama pada watak, jiwa,
dan elan pelayan rakyat yang adil
dan tidak beretos feodal. Hal ini
sesuai dengan tesis Alain Badiou,
filsuf asal Prancis yang mengajak
kita untuk berpikir bahwa politik
bukanlah rutinitas manajemen
alat-alat kekuasaan negara. Namun, pada hakikatnya politik ada-
lahsebuah pemikiran (Metapolitics,
2006:24).
Masyarakat perlu setia pada
emansipasi kolektif yang telah diperjuangkan bersama. Kemurnian
gerakan perlu dijaga seeara kritis
dari beragam kepentingan politik
praktis. Kita berharap melalui pengalaman ini pemerintah mereformasi institusi penegak hukum agar
keadilan berpihak pada kebenaran.
Jangansampai bangsainikianrusak
karena etos kepemimpinannya seperti para pembesar di akhir masa
KerajaanMataram.(*)
Unpad
2009
28
OOkt
'
.~
.
~.
i):
1".-.
._-''''
0
~"
i~
.
,.
1
17
'., :~,OJan
2
18
0
Senin
3
19
OPeb
Se/asa
4
5
20
o Mar
6
.
21
OApr
~
Rebu
7
22
0
8
23
OMel
0
Kamis
9
10
24
OJun
.~.
11
2
OJuJ
o Sabtu
Jumat
12
26
13
27
0 Ags OSep
EtosFeodal
PEKAN lalu,
Tim Delapan
telah menyelesaikan tugasnya dan
menyampaikan beberapa
rekomendasi
kepada Presiden SBY.Salah satu rekomendasinya adalah melanjutkan reformasi
institusional dan reposisipersonel
pada tubuh Polri, Kejaksaan
Agung,KPK, dan lembaga penegak
hukum lainnya. Rekomendasi ini
dipandang perlu untuk mengikis
etos feodal yang melekat pada
kinerjaalat-alatkekuasaannegara.
Etos feodal memang telah mendarah daging pada sebagian besar
masyarakat Indonesia sejak zaman
dahulu. Pada masa akhir pemerin.
tahan Raja MataramAmangkurat I
(1645-1677), tertulis perilaku para
pembesaryang turut meruntuhkan
Kerajaan Mataram dalam Babad
Tanah Jawi. "Para bupati, menteri,
dan kerabat istana bertindak sekehendak hati dalam kedudukan
mereka. Tata aturan kehidupan negara menjadi berantakan." Pernyataaninimenyatakan bahwaKerajaan Mataram jatuh bukan terutama
karena alat-alat kekuasaan yang
tradisional dan sakral, melainkan
oleh etos feodal para pembesar.
Di zaman Orde Baru, etos feodal
pun mewamai penanganan korupsi
oleh pemerintah kala itu. Akhmad
ZainiAbar dalam 1966-1974Kisah
Perslndonesiamencatat
bahwakritik
dan keprihatinan masyarakat terhadapkorupsidimasa OrdeBarumulai disuarakan oleh mahasiswa dan
perssejak 1967.Kritik ini ditujukan
langsung kepada pejabat-pejabat
tinggi negara yang berada di sekelilingPresidenSoeharto.Masyarakat menuntut agar tindakan korupsi
segera diberantas sehingga kewiba.
waan penguasabarutidakmerosotdi
mata masyarakat pendukungnya,
Kllplng
Humas
termasuk pers danmahasiswa.
Pemerintah masa itu menanggapi seeara positif tuntutan dari
masyarakat dengan membentuk
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
pada bulan Desember 1967 dan
Komisi 4 pada bulan Februari 1970.
Namun, usaha TPK dan Komisi 4
tidak efektif karena niat pemerintah untukmemberantaskorupsihanya menjadi retorika belaka. Bahkan, Mohammad Hatta yang berperan sebagai penasihat Komisi 4
menyatakan, "Orang yang memahami eara kerjaKomisi 4 akan meneatat bahwa padasuatusaatdimasa
Orde Baru, pernah diniatkan suatu
usaha pemberantasankorupsiyang
tidak sampai pada pelaksanaan"
(Deliar Noer, 1990: 683).
Dari dua pengalaman tersebut,
kita berharap agar pemerintah dapat mengambil tindakan.tegas dan
tepat untuk menyelesaikan perkara yang menyangkut alat-alat
kekuasaannegara.Reformasi tidak
hanya menyangkut sistem dan tata
eara pelaksanaan alat-alat negara,
tetapi terutama pada watak, jiwa,
dan elan pelayan rakyat yang adil
dan tidak beretos feodal. Hal ini
sesuai dengan tesis Alain Badiou,
filsuf asal Prancis yang mengajak
kita untuk berpikir bahwa politik
bukanlah rutinitas manajemen
alat-alat kekuasaan negara. Namun, pada hakikatnya politik ada-
lahsebuah pemikiran (Metapolitics,
2006:24).
Masyarakat perlu setia pada
emansipasi kolektif yang telah diperjuangkan bersama. Kemurnian
gerakan perlu dijaga seeara kritis
dari beragam kepentingan politik
praktis. Kita berharap melalui pengalaman ini pemerintah mereformasi institusi penegak hukum agar
keadilan berpihak pada kebenaran.
Jangansampai bangsainikianrusak
karena etos kepemimpinannya seperti para pembesar di akhir masa
KerajaanMataram.(*)
Unpad
2009
28
OOkt