bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah
pemindahbukuan. Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 02DSN-MUIIV2000 mengatur ketentuan
umum tabungan yang berdasarkan akad wadiah, yaitu: 1.
Bersifat simpanan. 2.
Simpanan bisa diambil kapan saja on call atau berdasarkan kesepakatan. 3.
Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ‘athaya yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Dalam fatwa yang sama juga ditentukan ketentuan umum tabungan yang berdasarkan akad mudharabah, yaitu:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan
bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. 2.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk
di dalamnya mudharabah dengan pihak lain. 3.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. 4.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya. 6.
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Fatwa DSN No.: 01DSN-MUIIV2000 tentang Giro pada prinsipnya isinya sama dengan Fatwa DSN No.: 02DSN-MUIIV2000, yaitu giro dapat dilaksanakan dengan
menggunakan akad wadiah dan akad mudharabah. Giro Wadiah ketentuannya sama dengan tabungan wadiah dan giro mudharabah ketentuannya sama dengan tabungan mudharabah.
Selanjutnya, Fatwa DSN No.: 03DSN-MUIIV2000 menentukan bahwa deposito hanya dapat dilakukan oleh Bank Syariah dengan menggunakan akad mudharabah yang
ketentuannya sama dengan ketentuan tabungan mudharabah.
2.2.4. Akad Wadiah dan Akad Mudharabah
2.2.4.1. Akad Wadi’ah
Akad yang berpola titipan wadi’ah ada dua, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah
tangan amanah, yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah tangan penanggung. Akad wadi’ah yadh-dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan
dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk penghimpunan dana.
Secara umum, wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip muwaddi’ yang mempunyai
barangaset kepada
pihak yang
dititipi mustawda’
yang diberi
amanahkepercayaan, baik individu maupun badan hukum. Tempat barang yang dititipkan disimpan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan dan keutuhannya, dan
dikembalikan kapan saja penitip menghendaki. Barangaset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang,
barang, dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada dasarnya pihak penitip custodian sebagai penerima kepercayaan trustee adalah yad al-
amanah tangan amanah yang berarti bahwa ia tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan pada barangaset titipan, selama
hal itu bukan akibat dari kelalaikan atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang aset tersebut. Pihak yang dititipi baru akan bertanggung jawab jika kerusakan atau
kehilangan tersebut karena kelalaian atau kecerobohannya. Oleh karena itu, pihak yang dititipi diperkenankan untuk mendapatkan kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan
dari pihak penitip Ascarya, 2008 : 42.
Lain halnya dengan wadi’ah yadh-dhamanah tangan penanggung, yang berarti pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada
barangaset titipan. Hal ini berarti, pihak penyimpan custodian adalah trustee yang sekaligus bertindak sebagai guarantor penjamin keamanan barangaset yang dititipkan.
Kedudukan penyimpan sebagai guarantor penjamin tersebut tidak lepas karena pihak yang dititipi telah diberi izin oleh pihak penitip untuk memanfaatkan atau menggunkan barangaset
titipan tersebut untuk kepentingan pihak yang dititipi. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi hak dari pihak penitip untuk meminta kembali barangaset tersebut sewaktu-waktu. Artinya,
pihak yang dititipi tetap mempunyai kewajiban untuk mengembalikan barangaset tersebut dalam keadaan utuh, apabila pihak penitip sewaktu-waktu memintanya kembali.
Hal tersebut di atas sesuai dengan konsep dalam Islam, apalagi apabila barangaset tersebut berupa uang. Konsep uang dalam Islam adalah uang adalah uang. Uang bukan lah
modal. Uang merupakan public good dan mempunyai sifat flow consept. Artinya, uang adalah barang milik publik yang diharapkan selalu mengalir di masyarakat, sehingga uang
selalu dapat difungsikan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai alat tukar Adiwarman A. Karim, 2007 : 88-89.
Dalam wadi’ah yadh-dhamanah ini, pihak yang dititipi diperkenankan mencampur barangaset titipan dengan barangaset miliknya, atau dengan barangaset titipan yang lain,
dan kemudian dipergunakan untuk tujuan produktif mencari keuntungan Ascarya, 2008 : 44.