Perkembangan program fortifikasi pangan dan identifikasi pangan yang difortifikasi

PERKEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN DAN
IDENTIFIKASI PANGAN YANG DIFORTIFIKASI

ALDI EL GUSTIAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan
Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang difortifikasi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Aldi El Gustian
NIM I14080088

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK
ALDI EL GUSTIAN. Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi
Pangan yang Difortifikasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO.

Penelitian ini bertujuan mempelajari perkembangan fortifikasi pangan
global dan Indonesia, serta identifikasi pangan yang telah difortifikasi sampai
akhir tahun 2012. Sejak awal abad 20, program fortifikasi pangan telah digunakan
sebagai strategi mengatasi kekurangan zat gizi mikro. Metode yang digunakan
berupa kajian pustaka dan survei produk pangan yang difortifikasi diberbagai
jenis pasar di Bogor. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan

fortifikasi pangan di dunia telah dimulai sejak tahun 1920 dan terus mengalami
perkembangan mengikuti masalah kekurangan zat gizi mikro. Sejalan dengan
perkembangan teknologi pangan, ilmu pertanian dan teknologi juga menunjukkan
kemajuan yang positif dalam mendukung penghapusan defisiensi zat gizi mikro
melalui biofortifikasi. Dari hasil survey di pasar modern dan pasar tradisional
Bogor ditemukan bahwa terdapat 227 produk yang telah difortifikasi, diantaranya
garam dan tepung terigu termasuk dalam daftar produk fortifikasi wajib, dan
selebihnya fortifikasi sukarela.
Kata kunci: fortifikasi pangan, kebijakan, biofortifikasi, produk

ABSTRACT
ALDI EL GUSTIAN: Food fortification program development and identification
of fortified food. Supervised by DRAJAT MARTIANTO.
The study aimed to identify the food fortification program development in
the world and Indonesia, and to identify various food that has been fortified until
the end of 2012. Since early 20th century, food fortification program has been used
as strategy to solve micronutrient deficiencies. The method used were literature
review and survey of fortified food products in various type of market around
Bogor. The results of this study were, the fortification policy began in 1920 and
continues to develop following the problem of micronutrient deficiencies. In line

with the food technology development, agricultural science and technology also
show the positive progress in supporting the elimination of micronutrient
deficiencies through biofortification. Results of fortified survey in various modern
and traditional market in Bogor found that were 227 items of food have been
fortified such as salt and flour which include in mandatory fortification, while the
rest are voluntary fortification.
Key words: food fortification, policies, biofortification, product

RINGKASAN
ALDI EL GUSTIAN. Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi
Pangan yang Difortifikasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO.
Masalah kekurangan zat gizi mikro yang masih cukup tinggi prevalensinya
saat ini merupakan indikasi rendahnya asupan pangan sumber vitamin dan mineral
dari menu sehari-hari. Untuk itu intervensi gizi yang mampu menjamin
pemenuhan kecukupan zat gizi mikro perlu dikembangkan khususnya untuk
daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman
makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat (Soekirman 2008).
Diversifikasi pangan merupakan solusi jangka panjang untuk menanggulangi
masalah kurang zat gizi mikro. Dalam jangka pendek dan menengah para
ilmuwan di bidang gizi dan teknologi pangan sejak awal abad ke-20 telah berhasil

melakukan terobosan untuk membantu mereka yang menderita kurang gizi mikro
melalui terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata,
diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan yaitu fortifikasi pangan.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari perkembangan
program fortifikasi pangan global dan di Indonesia serta mengidentifikasi jenisjenis pangan yang telah difortifikasi sampai akhir tahun 2012. Tujuan khusus
penelitian adalah 1) mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan
termasuk biofortifikasi global dan di Indonesia, 2) melakukan inventarisasi
produk-produk pangan yang difortifikasi di Indonesia sampai kondisi akhir tahun
2012.
Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Metode yang digunakan adalah
kajian pustaka dan survei lapang. Kajian pustaka dilakukan dengan mencari
informasi dari berbagai referensi antara lain sejarah perkembangan fortifikasi
pangan global dan Indonesia serta biofortifikasi dan peraturan atau kebijakan yang
terkait dengan fortifikasi mandatory atau voluntary. Survei lapang dilakukan
secara langsung melalui pengamatan pada produk pangan fortifikasi di pasaran
dan pengamatan pada label produk pangan yang dibagi kedalam dua belas jenis
kategori pangan mengikuti pembagian kelompok pangan Badan Pengelolaan Obat
dan Makanan (BPOM). Kategori pangan yang dilakukan inventarisasi adalah
produk-produk susu, minyak goreng, margarin, kembang gula/permen dan coklat,
tepung terigu, mi instan, biskuit, garam, makanan pendamping air susu ibu (MP

ASI), minuman, makanan ringan siap santap serta produk yang tidak termasuk
dalam 11 kategori pangan. Lokasi yang digunakan adalah Kota Bogor dan
sekitarnya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September-Desember 2012.
Fortifikasi telah diperkenalkan di Swiss pada tahun 1920 untuk
mengendalikan kekurangan zat gizi mikro iodium dengan menambahkan iodium
pada garam. Pada tahun 1940 fortifikasi menjadi ketentuan umum industri pangan
dengan penambahan thiamin, riboflavin, dan niasin pada produk sereal yang
bertujuan meningkatkan status gizi penduduk. Peraturan fortifikasi pertama kali
diterbitkan oleh Food And Drug Administration United States of America (FDA
USA) pada tahun 1960. Pada tahun 1992 diadakan konferensi International
Conference on Nurtrition (ICN) di Roma untuk menentukan kebijakan fortifikasi
dalam menyikapi permasalahan zat gizi mikro. Berdasarkan konferensi tersebut

maka fortifikasi menjadi suatu ketentuan di seluruh negara dan tahun 2006
ditetapkan standar penentuan zat gizi mikro yang dapat difortifikasikan.
Fortifikasi di Indonesia sudah dimulai pada jaman pemerintah Belanda pada
tahun 1927 dengan menambahkan iodium pada garam untuk menanggulangi
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Pada tahun 1970-an diwacanakan
untuk memberlakukan fortifikasi pada garam dan tepung terigu. Pada 1994
pemerintah memberlakukan fortifikasi pada garam dengan difortifikan iodium

berdasarkan Surat Keputusan Bersaman (SKB) empat Menteri. Pada tahun 1994
Presiden menerbitkan Keputusan Presiden no 69 tahun 1994 tentang wajib
iodisasi garam dan pada tahun 2001 tepung terigu juga diwajibkan untuk
difortifikasi berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
153 tahun 2001.
Dalam hal kebijakan fortifikasi, pemerintah Indonesia telah menerbitkan 26
peraturan yang bersifat umum dan khusus serta dasar pemberlakuannya untuk
fortifikasi wajib. Peraturan untuk fortifikasi sukarela diatur dalam PP no 69 tahun
1999 tentang iklan dan label pangan yang merupakan awal dikembangkannya
peraturan fortifikasi sukarela di Indonesia. Peraturan tersebut diperkuat dengan
PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan
BPOM Nomor HK.03.1.23.11.11.09605 tahun 2011 tentang Pedoman
Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan dan Nomor
HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan
Iklan Pangan Olahan.
Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi masalah gizi
dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan mineral) produk
pertanian melalui proses persilangan intra dan atau interspesies tanaman secara
konvensional maupun inkonvensional. Tanaman biofortifikasi fokus pada
penambahan vitamin A, seng (Zn) dan besi (Fe). Program biofortifikasi global

dilakukan oleh HarvestPlus dan telah berhasil melepas tanaman biofortifikasi
seperti kacang, singkong, jagung, jewawut, beras, ubi jalar dan gandum di negara
Asia dan Afrika. Saat ini program biofortifikasi di Indonesia baru pada tahap
penelitian pada beras dengan penambahan besi namun belum dilakukan secara
massal.
Pelaksanaan fortifikasi pangan telah menghasilkan berbagai jenis produk
sehingga perlu informasi secara luas tentang jenis produk yang difortifikasi dan
memenuhi standar peraturan yang berlaku. Hasil inventarisasi menunjukkan
bahwa saat ini terdapat 227 jenis produk yang telah difortifikasi dengan zat gizi
mikro baik vitamin maupun mineral. Hasil dari inventarisasi produk yang
difortifikasikan dibandingkan dengan jumlah produk pada setiap jenis kategori
pangan menunjukkan bahwa produk-produk susu telah difortifikasi sebanyak
28.6% dengan rincian produk susu ibu hamil dan menyusui sebanyak 13 merek,
susu bayi dan balita 37 merek, susu pertumbuhan 9 merek dan produk susu
lainnya 42 merek, minyak goreng 60%, margarin 100%, kembang gula/permen
dan coklat 2.4%, tepung terigu 100%, mi instan 23.1%, biskuit 10.8%, garam
100%, MP ASI 22.8%, minuman 26.6%, makanan ringan siap santap 0.9% serta
produk makanan jadi lainnya sebanyak 17 produk.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang menguntip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memeperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERKEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN DAN
IDENTIFIKASI PANGAN YANG DIFORTIFIKASI

ALDI EL GUSTIAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat


DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi :Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi
Pangan yang Difortifikasi
Nama
: Aldi El Gustian
NIM
: I14080088

Disetujui oleh

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah
Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang
Difortifikasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Drajat Martianto selaku
pembimbing, serta Bapak Dr Rimbawan yang telah banyak memberi saran.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI)
yang telah mendukung pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih bagi Devi, Euis, Andra,
Rayhanah, Siti, Riza, teman-teman BEM KM, ISPC, SABIL, AQSHO dan kepada
semua pihak membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini yang

tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013
Aldi El Gustian

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Tujuan Umum

2

Tujuan Khusus

2

Kegunaan Penelitian

3

Kelemahan Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Fortifikasi Pangan

3

Biofortifikasi

5

Makanan yang dapat Difortifikasi

5

KERANGKA PEMIKIRAN

7

METODE PENELITIAN

9

Desain, Tempat, dan Waktu

9

Jenis dan Cara Pengambilan Data

9

Definisi Operasional
HASIL DAN PEMBAHASAN

12

13

Perkembangan Program Fortifikasi Di Dunia

13

Perkembangan Program Fortifikasi Di Indonesia

20

Perkembangan Program Biofortifikasi

30

Inventarisasi Produk yang Difortifikasi

33

Produk-Produk Susu

34

Minyak Goreng

34

Kembang Gula/Permen dan Coklat

35

Tepung Terigu

35

Mi instan

35

Biskuit

36

Garam

36

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI)

36

Minuman

36

Makanan Ringan siap santap

37

Produk makanan jadi lainnya

37

SIMPULAN DAN SARAN

37

Simpulan

37

Saran

38

DAFTAR PUSTAKA

39

DAFTAR TABEL
1 Makanan yang difortifikasi dibeberapa negara Asia
2 Jenis kategori pangan produk inventarisasi
3 Program fortifikasi wajib dibeberapa negara berkembang
4 Asumsi efektifitas program dan biaya fortifikasi
5 Undang-undang dan peraturan pangan fortifikasi pangan di Indonesia
6 Tipe klaim produk pangan fortifikasi
7 Target tanaman dan negara program biofortifikasi
8 Inventarisasi produk pangan fortifikasi

6
10
15
20
25
28
31
33

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran mengindentifikasi program fortifikasi dan biofirtifikasi 8
2 Teknik pengambilan data sekunder
10

DAFTAR LAMPIRAN
1 Produk susu ibu hamil dan menyusui yang difortifikasi
2 Produk susu bayi dan balita yang difortifikasi
3 Produk susu pertumbuhan yang difortifikasi
4 Prosuk susu lainnya yang difortifikasi
5 Produk minyak goreng yang difortifikasi
6 Produk margarin yang difortifikasi
7 Produk kembang gula/permen dan coklat yang difortifikasi
8 Produk tepung terogu yang difortifikasi
9 Produk mi instan yang difortifikasi
10 Produk biskuit yang difortifikasi
11 Produk garam yang difortifikasi
12 Produk MP ASI yang difortifikasi
13 Produk minuman yang difortifikasi
14 Produk makanan ringan siap santap
15 Produk makanan jadi lainnya yang difortifikasi

42
52
78
83
104
105
106
106
107
113
118
119
127
132
133

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak
dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu,
usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan
yang mendasar. Beberapa ahli bahkan menyatakan kebutuhan atas pangan
merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.
Bentuk tidak terpenuhinya hak asasi atas pangan dan gizi yang paling umum
adalah kekurangan pangan alias kelaparan. Namun demikian, harus disadari
bahwa kelaparan mempunyai beberapa tingkatan, yang jika terjadi secara cukup
lama dan terus-menerus, akan berkontribusi pada terjadinya kemunduran atau
penurunan status kesehatan, produktivitas, dan akhirnya ikut pula mempengaruhi
tingkat intelektualitas dan status sosial. Tingkat-tingkat kelaparan itu sendiri
antara lain dipengaruhi oleh (i) jumlah konsumsi bahan pangan, (ii) jenis dan
kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, atau (iii) kombinasi antara kedua
faktor tersebut.
Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) iodium, besi, dan
vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi
serius dari kekurangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk
ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan,
dan bahkan kematian.
Masalah kekurangan zat gizi mikro yang masih cukup tinggi prevalensinya
saat ini merupakan indikasi rendahnya asupan pangan sumber vitamin dan
mineral dari menu sehari-hari. Untuk itu intervensi gizi yang mampu menjamin
pemenuhan kecukupan zat gizi mikro perlu dikembangkan khususnya untuk
daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman
makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat (Soekirman 2008).
Idealnya perbaikan gizi ditempuh dengan memperbaiki konsumsi makanan
keluarga sehari-hari berdasarkan gizi seimbang. Namun, tidak semua anggota
keluarga dapat memenuhi gizi seimbang karena ketidakmampuan ekonomi dan
atau kurangnya pengetahuan.
Diversifikasi pangan merupakan solusi jangka panjang untuk
menanggulangi masalah kurang zat gizi mikro. Dalam jangka pendek dan
menengah, para imuwan di bidang gizi dan teknologi pangan sejak awal abad ke20 telah berhasil melakukan fortifikasi pangan sebagai terobosan teknologi baru
yang lebih murah guna membantu mereka yang menderita kurang gizi mikro.
Terobosan baru ini dapat memberikan dampak yang nyata dan diterima oleh
masyarakat.
Pada awal perkembangannya, fortifikasi digunakan untuk mengatasi
penyakit yang disebabkan oleh kekurangan zat gizi tertentu. Kekurangan zat gizi
tidak hanya terjadi di negara berkembang, yang antara lain disebabkan oleh
kekurangan pangan, rendahnya daya beli masyarakat dan keterbatasan
pengetahuan gizi. Namun, defisiensi juga terjadi di negara maju, yang antara lain
disebabkan oleh kecenderungan konsumsi produk olahan komersial dengan
komposisi zat gizi terbatas. Oleh karena itu, istilah fortifikasi hanya diberikan

2

untuk proses penambahan vitamin, mineral dan asam-asam amino pada produk
pangan. Sekarang banyak sekali “senyawa” selain vitamin, mineral dan asamasam amino yang “ditambahkan” (difortifikasikan) pada produk pangan, dan tidak
terbatas pada zat-zat gizi, tetapi juga senyawa-senyawa non gizi seperti
antosianin, polifenol, antioksidan dan lain-lain.
Fortifikasi terbagi menjadi dua, yakni fortifikasi sukarela dan fortifikasi
wajib. Fortifikasi sukarela (voluntary) merupakan program fortifikasi yang
dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produsen pangan tanpa diwajibkan oleh
undang-undang atau peraturan pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan untuk memperbaiki
gizi masyarakat. Fortifikasi wajib (mandatory) adalah fortifikasi yang diatur oleh
undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan utama mengatasi
masalah KGM (kekurangan zat gizi mikro). Sasaran utama program ini adalah
masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini merupakan
tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri pangan yang
terkait dengan jenis pangan yang difortifikasi.
Ada beberapa produk pangan fortifikasi yang dilakukan hanya untuk alasan
komersil. Dengan adanya fortifikasi diharapkan, harga jual produk pangan
tersebut harus tetap terjangkau oleh masyarakat dan tidak menambah biaya
produksi secara signifikan. Hal ini penting karena sasaran utama fortifikasi adalah
masyarakat miskin. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai produk apa
saja yang sudah difortifikasi secara voluntary. Oleh karena itu pada penelitian ini
akan dilakukan identifikasi perkembangan program fortifikasi secara global
umumnya dan Indonesia khususnya baik secara wajib (mandatory) maupun
seacara sukarela (voluntary). Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu
sumber informasi jenis pangan apa saja yang difortifikasi dan manfaat ketika
dikonsumsi.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini antara lain mempelajari perkembangan
program fortifikasi pangan global dan di Indonesia serta mengidentifikasi jenisjenis pangan yang telah difortifikasi sampai kondisi akhir tahun 2012.
Tujuan Khusus
1. Mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan termasuk
biofortifikasi global dan di Indonesia.
2. Melakukan inventarisasi produk-produk pangan yang difortifikasi di
Indonesia sampai kondisi akhir tahun 2012.

3

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Bagi ilmu pengetahuan, menghasilkan informasi dapat memberikan data dan
perkembangan kebijakan dan program fortifikasi serta informasi mengenai
aneka pangan yang difortifikasi sampai akhir tahun 2012.
2. Bagi pemerintah dapat memberikan informasi tambahan dalam
mengembangkan peraturan dan pendidikan/penyuluhan produk fortifikasi
yang beredar di pasaran.
3. Bagi masyarakat dapat memberikan informasi dalam menentukan produk
pangan yang akan dikonsumsi terutama produk yang difortifikasi.

Kelemahan Penelitian
Kelemahan dari penelitian ini yaitu kajian pustaka terbatas dalam referensi
yang digunakan karena begitu luasnya cakupan program fortifikasi global dan di
Indonesia, dan hanya dilakukan inventarisasi di Kota Bogor dan sekitarnya serta
tidak dilakukan inventarisasi pada produk pangan impor. Pada saat melakukan
penelitian terbatas pada tanggal 17 dan 23 Desember 2012 dalam melakukan
inventarisasi, memungkinkan produk pangan fortifikasi tidak terdata disebakan
tidak tersedia dalam rak display produk. Selain itu terdapat kategori pangan
lainnya yang tidak ditemukan dalam inventarisasi di Kota Bogor seperti pasta,
mayonaise, saus dan kecap menurut literatur difortifikasi dan memungkinkan
tersedia di wilayah lain. Berikutnya terdapat beberapa produk yang tidak
memenuhi kriteria pencantuman label pangan seperti tidak terteranya informasi
nilai gizi pada kemasan.

TINJAUAN PUSTAKA
Fortifikasi Pangan
Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan
pangan. Fortifikasi terhadap suatu bahan pangan bertujuan meningkatkan nilai
gizi bahan pangan dan juga untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu
oleh masyarakat (Muchtadi et al. 1993).
Berikut ini pengertian beberapa istilah yang berhubungan dengan
penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan menurut Codex Alimentarius
(1983):
1. Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi
tertentu ke dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di
dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi
sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat
tertentu.
2. Restorasi adalah penambahan zat-zat gizi yang hilang selama proses
pengolahan pangan yang sesuai dengan GMP (Good Manufacturing

4

Practice), atau selama penyimpanan normal dan pada tahap penanganan,
jumlah yang ditambahkan akan menghasilkan komposisi zat gizi seperti
sebelum bahan pangan mengalami proses pengolahan, penyimpanan, atau
penanganan.
3. Standardisasi adalah penambahan sejumlah zat gizi ke dalam bahan pangan
yang bertujuan untuk mengganti kehilangan zat gizi ke dalam variasi
alaminya pada tingkatan zat gizi tertentu.
The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization
(FAO/WHO) Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification
paling tepat menggambarkan proses di mana zat gizi makro dan zat gizi mikro
ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Istilah double
fortification dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi,
masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan. Pangan
pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle', sementara zat gizi yang
ditambahkan disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971).
Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan, yaitu:
1) memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi
akan zat gizi yang ditambahkan); 2) mengembalikan zat-zat yang awalnya
terdapat dalam jumlah yang signifikan dalam pangan akan tetapi mengalami
kehilangan selama pengolahan; 3) meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan
olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan, bergizi misal: susu
formula bayi; 4) menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang
menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai
pengganti mentega (Siagian A 2003).
Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain
adalah (Siagian A 2003): 1) menentukan prevalensi defisiensi zat gizi mikro; 2)
segmen populasi (menentukan segmen); 3) tentukan asupan zat gizi mikro dari
survei makanan; 4) dapatkan data konsumsi untuk pangan pembawa (vehicle)
yang potensial; 5) tentukan availabilitas zat gizi mikro dari jenis pangan; 6)
mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan); 7) mencari
dukungan industri pangan; 8) mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial
dan cabang industri pengolahan (termasuk suplai bahan baku dan penjualan
produk); 9) memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya; 10)
kembangkan teknologi fortifikasi; 11) lakukan studi pada interaksi, potensi
stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi; 12)
tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi; 13) lakukan pengujian
lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan; 14) kembangkan standarstandar untuk pangan hasil fortifikasi; 15) defenisikan produk akhir dan
keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan; 16) kembangkan peraturanperaturan untuk mandatory compliance; 17) promosikan (kembangkan) untuk
meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.
Penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
1) zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa makanan; 2)
dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak menyebabkan
timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang ditambahkan atau yang ada
dalam bahan pangan; 5) jumlah yang ditambahkan harus memperhitungkan
kebutuhan individu (Muchtadi et al. 1993). Ada pula beberapa pertimbangan yang

5

perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin, antara lain sebagai berikut:
1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas; 3) harga; dan 4) toksisitas.
Titik penambahan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap stabilitas
fortifikan. Mineral dapat ditambahkan ke dalam adonan yang akan diekstrusi,
sedangkan vitamin tidak dapat. Biasanya vitamin ditambahkan sebelum
pengemasan untuk memaksimalkan retensinya.
Cara penanganan bahan pangan sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi
kandungan zat gizi mikro yang secara alami ada atau yang ditambahkan di dalam
bahan pangan. Bahkan dengan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan untuk
menjamin stabilitas zat gizi mikro dalam bahan pangan, beberapa kehilangan zatzat gizi tersebut masih terjadi selama proses pengolahan, distribusi, dan
penyimpanan.
Oleh
karena
itu,
dibutuhkan
perhatian
khusus
untukmengidentifikasi teknologi fortifikasi terbaik sebanding dengan overage
yang bersesuaian (OMNI 2005). Overage merupakan jumlah tambahan fortifikan
yang ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mengkompensasikan kehilangan
yang terjadi, yang akan memastikan bahwa pangan yang telah difortifikasi
tersebut memiliki level gizi sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan
tersebut dikonsumsi (OMNI 2005).
Biofortifikasi
White dan Broadley (2005) dan Nestel et al. (2006) mendefinisikan
biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan elemen
esensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui teknik pemuliaan
konvensional maupun bioteknologi modern. Biofortifikasi untuk peningkatan gizi
mikro pada makanan pokok, dilakukan baik melalui persilangan tanaman secara
tradisional maupun dengan teknik molekuler (Welch dan Grahara 2004).
Hasil penelitian dari The Consultative Group on International Agricultural
Research (CGIAR-2002), menyatakan makanan pokok yang mempunyai potensi
genetik untuk ditingkatkan kandungan Fe dan Zn di antaranya adalah beras
(Oryza sativa), gandum (Triticum aesticum), jagung (Zea mays), buncis
(Phaseolus vulgaris) dan singkong (Manihot esculenta).
Secara teori biofortifikasi dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah
kandungan mikro gizi pada bagian tanaman yang dapat dimakan pada tanaman
pokok. Di sisi lain, peningkatan konsentrasi kandungan dengan meningkatkan
penyerapan senyawa promoter (asam askorbat, β-karoten), mengurangi
konsentrasi penyerapan senyawa inhibitor (asam fitat, tannin, senyawa fenolik,
dan logam berat) (White dan Broadley 2005).

Persyaratan Makanan yang dapat Difortifikasi
Terdapat dua macam fortifikasi, pertama fortifikasi sukarela oleh industri
pangan kemasaan untuk meningkatkan nilai tambah. Kedua fortifikasi wajib yang
bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi masyarakat, khususnya
masyarakat miskin. Syarat untuk fortifikasi wajib, pertama, makanan yang
umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara teratur dan terusmenerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin. Kedua, makanan itu

6

diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah
diawasi proses fortifikasinya. Ketiga, tersedianya teknologi fortifikasi untuk
makanan yang dipilih. Keempat, makanan tidak berubah rasa, warna dan
konsistensi setelah difortifikasi. Kelima, tetap aman dalam arti tidak
membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, program fortifikasi harus diatur oleh
undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi
secara teratur dan terus menerus. Dan keenam, harga makanan setelah difortifikasi
tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran (Soekirman 2008).
Atas dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi
(wajib) terbatas pada jenis makanan pokok (terigu, jagung, beras), makanan
penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedele, kecap
ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan
kedalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah
kekurangan gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap dalam
sistem pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya terhadap
rasa, penampilan, dan keamanan makanan, dan harga (Soekirman 2008). Setiap
negara menentukan jenis makanan yang akan difortifikasi, yang selanjutnya
disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai dengan pola makan
setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan jenis dan dosis
fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan pembawa, peraturan
pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan tubuh, serta masalah
kekurangan gizi setempat (Soekirman 2008).
Tabel 1 Makanan yang difortifikasi dibeberapa negara Asia
Cina

Negara

Makanan yang difortifikasi
Kecap kedele dan ikan
Tepung terigu

India

Tepung terigu

Philipina

Gula
Minyak
The
Susu
Tepung terigu

Thailand

Mie
Beras

Vietnam
Indonesia

Sumber: (Soekirman 2008).

Kecap ikan
Gula
Garam
Tepung terigu

Fortifikan
Zat besi
Zat besi, asam folat
dan vitamin A
Zat besi, asam folat
dan vitamin B
Vitamin A
Vitamin A
Vitamin A
Vitamin A
Zat besi, asam folat
dan vitamin A
Zat besi, iodium dan
vitamin A
Zat besi, vitamin B1,
B3, B6, dan niacin
Zat besi
Vitamin A
Iodium
Zat besi, seng, asam
folat, vitamin B1 dan
B2

7

KERANGKA PEMIKIRAN
Masalah kekurangan zat gizi mikro menjadi suatu fenomena di seluruh
dunia baik di negara miskin sampai negara maju. Langkah strategis harus
dilakukan oleh semua negara dengan memberlakukan kebijakan pangan. Hal ini
dilakukan agar semua elemen dalam negara tersebut fokus dalam mengatasi
kekurangan zat gizi mikro. Dari kebijakan pangan tersebut akan dilakukan
program mengatasi kekurangan zat gizi mikro diantaranya fortifikasi,
biofortifikasi, suplementasi dan diversifikasi pangan.
Pemberlakuan program perlu analisa mendalam dengan karakteristik negara
yang bersangkutan supaya kebermanfaatan dan indikator keberhasilanya bisa
tercapai. Berbagai negara yang terlibat dalam program fortifikasi pangan, belum
memiliki data dan dokumentasi yang lengkap mengenai perkembangan program
pangan fortifikasi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sistem informasi
yang terpadu mengenai program fortifikasi pangan global dan Indonesia.
Masyarakat sebagai konsumen sudah selayaknya mengetahui mengenai
produk pangan apa saja yang telah difortifikasi dan beredar di pasaran. Dengan
mengetahui produk tersebut harapan masyarakat bisa cerdas dalam menentukan
produk pangan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan dan daya beli
masyarakat. Dengan disusunnya informasi terperinci mengenai jenis dan produk
fortifikasi yang beredar dimasyarakat mampu memberikan pengetahuan kepada
masyarakat dalam menentukan produk yang akan dikonsumsi terutama yang
produk pangan fortifikasi.

8

Masalah Kekurangan Zat Gizi
Mikro
Kebijakan Pangan

Program

Fortifikasi

Sukarela

Biofortifikasi

Suplementasi

Diversifikasi Pangan

Wajib

Informasi Bagi Konsumen
Gambar 1 Kerangka pemikiran mengindentifikasi program fortifikasi dan
biofirtifikasi
Keterangan:
=

=Variabel yang tidak diteliti

9

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Metode yang digunakan adalah
kajian pustaka dan survei lapang. Penelitian dilakukan dengan pengamatan
langsung di beberapa pasar dan minimarket dan hypermart dan mencari informasi
dari Badan Pengolahan Obat dan Makanan (BPOM). Pengumpulan data di lapang
dilakukan pada bulan September-Oktober 2012.

Jenis dan Cara Pengambilan Data
Data yang akan dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder.
Data primer dilakukan dengan melakukan survei produk pangan fortifikasi di
pasaran dan melakukan pengamatan pada label produk. Menurut Abdullah (2003)
terdapat 4 skala bisnis eceran yang menjual produk industri pangan diantaranya
kecil/minimarket, sedang/supermarket, besar/hypermarket dan pasar. Dari empat
skala bisnis eceran tersebut maka Kota Bogor dijadikan lokasi penelitian yang
terdiri dari; a) kecil/minimarket (Indomaret, Alfamart, Al-amin, Alfamidi), b)
besar/hypermarket (Giant), c) pasar (pasar merdeka). Skala bisnis
sedang/supermarket tidak dijadikan lokasi penelitian karena tidak terdapat di Kota
Bogor. Pemilihan ketiga skala bisnis eceran tersebut sudah mewakili produk
pangan industri yang dijual dan pasti akan sama di seluruh Indonesia. Data
sekunder merupakan kajian pustaka dari berbagai referensi antara lain sejarah
perkembangan fortifikasi pangan global dan Indonesia serta biofortifikasi dan
peraturan atau kebijakan yang terkait fortifikasi wajib (mandatory) atau sukarela
(voluntary).
Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai data kajian pustaka yang
dilakukan dalam penelitian:
- Searching: mencari informasi dengan memasukan kata kunci pada mesin
pencari (google) dan membaca referensi ilmiah yang tersedia
diperpustakaan tentang fortifikasi.
- Screening: membaca/mempelajari, menandai kata-kata kunci dan gagasan
yang ada dari informasi dan referensi tentang fortifikasi.
- Removing: memilah-memilah hasil screening menjadi satuan informasi
dan referensi yang dapat dikelola.
- Sintesis: berpikir, dengan jalan membuat agar informasi dan referensi
mempunyai makna dan memiliki hubungan-hubungan tehadap apa yang
diteliti.
- Evaluating: melakukan pengecekan ulang terhadap hasil sintesis agar
sesuai dengan tujuan penelitian.

10

Searching
- Perpustakaan
- Informasi mesin pencari (google)

Screening
- Mempelajari informasi
- Menandai kata-kata kunci dan gagasan

- Memilah
screening

Removing
memilah informasi

Sintesis
- Membuat informasi
mempunyai makna

dan

hasil

referensi

Evaluating
- Melakukan pengecekan ulang hasil
sintesis
Gambar 2 Teknik pengambilan data sekunder
Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai data primer yang
dikumpulkan dalam penelitian:
- Melakukan pengamatan terhadap produk yang berada di minimarket,
hypermat serta pasar, dengan rincian produk terdapat pada Tabel 1.
Tabel 2 Jenis kategori pangan produk inventarisasi
No

Jenis Produk

1

Produk-produk
susu

2

Minyak
Goreng

Karakteristik/Spesifikasi Produk

Sumber
Data
Susu adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, Survei
kuda, kambing, domba, dan hewan ternak
penghasil susu lainnya baik segar maupun
yang dipanaskan melalui proses pasteurisasi,
Ultra High Temperature (UHT) atau
sterilisasi. Produk susu adalah produk olahan
dengan bahan dasar susu dengan atau
campuran bahan pangan lain
Minyak goreng (frying oil atau frying fat) Survei
adalah minyak dan lemak yang digunakan
untuk menggoreng yang diperoleh dari proses
rafinasi/pemurnian
(refining/purifying)

11

No

Jenis Produk

3

Margarin

4

5

Kembang
gula/permen
dan coklat
Tepung terigu

6

Mi instan

7

Biskuit

8

Garam
beriodium

9

Makanan
Pendamping
Air Susu Ibu
(MP ASI)

10

Minuman
kemasan

Karakteristik/Spesifikasi Produk
minyak nabati, dalam bentuk tunggal atau
campuran.
Margarin terbuat dari minyak tumbuhtumbuhan
dimana
di
vegetablesoil
terkandung jumlah monounsaturated dan
polyunsaturated fats yang lebih banyak
dibandingkan saturated fats-nya (13-15%
saturated dan 85-87% unsaturated fats).
Semua produk kakao dan coklat, produk
kembang gula, permen yang lain, permen
karet (chewing gum) dan dekorasi serta icing.
Tepung terigu adalah tepung yang diperoleh
dari hasil penggilingan atau penumbukan
endosperma biji gandum Triticum aestivum
(club wheat) dan atau Triticum compactum
Host. Kulit ari dan lembaganya sudah
dibuang sebagian.
Mi instan adalah produk yang diperoleh dari
tepung terigu dengan atau tanpa campuran
bahan pangan lain, dikukus, digoreng atau
dikeringkan, dan matang setelah dimasak atau
diseduh dengan air mendidih dalam waktu 4
menit.
Biskuit adalah sejenis roti soda atau
shortened bread atau quickbread yang
adonannya terbuat dari tepung terigu,
mentega/margarin, telur, susu dan sedikit
gula pasir.
Garam yang telah diperkaya atau telah
mengalami fortifikasi dengan KIO3 (Kalium
Iodat) sebanyak 30 – 80 ppm
Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah
makanan bergizi yang diberikan disamping
ASI kepada bayi berusia 6 (enam) bulan ke
atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai
anak berusia 24 (dua puluh empat) bulan
untuk mencapai kecukupan gizi. Produk ini
terdapat dalam bentuk bubuk instan yang
dapat direkonstitusi dengan air, susu atau
cairan lain; siap santap; siap masak; serta
biskuit.
Minuman kemasan adalah minuman yang
dikemas dengan berbagai kemasan (seperti
botol plastik, botol kaca, dan kaleng), dapat
diminum secara langsung atau harus melalui
proses terlebih dahulu, misalnya serbuk

Sumber
Data

Survei

Survei

Survei

Survei

Survei

Survei

Survei

Survei

12

No

Jenis Produk

11

Makanan
ringan siap
santap

12

Produk yang
tidak termasuk
dalam 11
kategori
pangan

Karakteristik/Spesifikasi Produk
minuman dan mempunyai label kandungan
zat gizi.
semua jenis makanan ringan asin/gurih
(savoury) atau rasa lainnya yang siap santap
dengan bahan dasar olahan serealia atau
kacang.
Semua produk yang tidak termasuk dalam 9
kategori diatas, merupakan produk yang
dapat dikonsumsi dan terdapat dipasaran

Sumber
Data

Survei

Survei

- Mengamati label kemasan dengan kategori peningkatan (increased), lebih

dari/ lebih (more than), ekstra (extra), diperkaya (enriched), plus,
ditambahkan (added) dan difortifikasikan.
- Selanjutnya dilakukan inventarisasi berupa nama produk, produsen atau
perusahaan, dan zat gizi yang ditambahkan (fortifikasi).
- Selanjutnya data inventarisasi dilakukan perhitungan perkiraan kandungan
zat gizi mikro dengan rumus,
Perkiraan kandungan = Persentase (%) AKG X AKG
Keterangan:
AKG : Angka Kecukupan Gizi tahun 2004

Definisi Operasional
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia.
Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke
dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan
pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi
di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat tertentu.
Biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan
elemen essensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui
teknik pemuliaan konvensional maupun bioteknologi modern.
Label Pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian
kemasan pangan.
Efektivitas adalah dampak intervensi yang dibandingkan dengan uji khasiat.
Efektivitas dari program fortifikasi dibatasi oleh faktor konsumsi makanan
yang difortifikasi.
Efikasi atau uji khasiat adalah kapasitas intervensi seperti fortifikasi untuk
mencapai dampak yang diinginkan dibawah kondisi ideal. Hal ini biasanya
dilakukan dengan metode eksperimen.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Program Fortifikasi Di Dunia
Fortifikasi pangan memiliki sejarah panjang yang digunakan di negara
industri untuk mengendalikan kekurangan vitamin A dan D, beberapa vitamin B
(thiamin, riboflavin dan niasin), iodium dan zat besi. Pada tahun 1917 dalam
perekrutan tentara Angkatan Darat AS ditemukan beberapa tentara yang
menderita penyakit gondok, hal ini mendasari penelitian lebih mendalam
mengenai fortifikasi garam. Iodisasi garam diperkenalkan pada awal tahun 1920
di Swiss (Burgi H et al. 1990) dan Amerika Serikat (Marine D dan Kimball OP
1920) dan mulai sejak itu garam beriodium dikenal di seluruh negara dan
digunakan di banyak negara. Upaya fortifikasi awal diikuti pada tahun 1933 pada
fortifikasi susu dengan vitamin D. Penambahan vitamin D untuk susu pada
awalnya dilakukan dengan penyinaran susu atau dengan memberi makan sapi
dengan pakan yang dicampur dengan ragi. Teknik ini diganti pada tahun 1940
dengan metode sederhana dan lebih efektif yaitu dengan menambahkan vitamin D
berkonsentrasi untuk susu, seperti yang dipraktekkan saat ini (Quick dan Murphy
1982).
Pada tahun 1930-an dan 1940-an sindrom defisiensi penyakit yang spesifik
pertama kali diidentifikasi dan didokumentasikan di Amerika Serikat (Foltz et al.
1944). Hal ini menyebabkan, pada tahun 1940 Committee on Food and Nutrition
(sekarang Food and Nutrition Board (FNB) merekomendasikan penambahan
thiamin, niacin, riboflavin, dan besi untuk tepung (NRC 1974). Pada tahun 1940
juga lembaga Food and Drug Administration (FDA) pertama kali didirikan untuk
menetapkan standar tepung fortifikasi dan diberi cap "enriched" dalam rangka
meningkatkan status gizi penduduk (FNB 2004).
Dari tahun 1940 dan seterusnya, produk sereal difortifikasi dengan
penambahan thiamin, riboflavin dan niasin menjadi ketentuan umum industri
pangan. Pada tahun berikutnya fortifikasi dilakukan pada margarin yang
diperkaya dengan vitamin A di Denmark dan susu dengan vitamin D di Amerika
Serikat. Setelah beberapa tahun berlalu, fortifikasi asam folat gandum telah
menyebar luas di Amerika. Hal serupa juga menjadi strategi yang diterapkan oleh
Kanada dan Amerika Serikat dan sekitar 20 negara Amerika Latin (FNB 2004).
Pada tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mengadakan konferensi
mengenai gizi di White House dan menyimpulkan fortifikasi pangan adalah cara
terbaik untuk mencegah kekurangan zat gizi mikro. Hasil konferensi tersebut
diimplementasikan di seluruh Amerika Serikat serta Inggris dan Canada. Pasca
perang dunia, Inggris dan Kanada tidak memberlakukan fortifikasi dikarenakan
dampak kekurangan zat gizi mikro dinilai telah hilang (Backstrand JR 2002).
Pada tahun 1960 FDA mengusulkan pendekatan regulasi yang lebih ketat
dalam menanggapi peningkatan fortifikasi makanan yang ditakutkan mungkin
menyebabkan overfortification. Pada tahun 1962 FDA mengusulkan untuk
membatasi fortifikasi zat gizi yang penting terhadap kesehatan manusia dan sesuai
untuk suplementasi. Dalam rangka usaha untuk mengurangi fortifikasi makanan
dan penyalahan pengunaaan produk suplemen makanan, pada tahun 1966 FDA
mengusulkan untuk membatasi jumlah produk makanan yang dapat difortifikasi

14

hingga delapan kelas dan menentukan gizi yang dapat digunakan pada masing
masing kelas. Regulasi yang diusulkan dalam standar di antaranya: vitamin dan
mineral untuk suplemen diet dan jumlah produk makanan yang difortifikasi.
Peraturan yang diusulkan dan selanjutnya ditetapkan pada tahun 1974 oleh FDA
mengenai peraturan gizi untuk makanan dan ketentuannya (FNB 2004).
Selama tahun 1970-an fortifikasi gula dengan vitamin A pertama kali
diimplementasikan di Guatemala, diikuti oleh negara Amerika Tengah termasuk
Kosta Rika, Honduras dan El Salvador. Rumah tangga yang mengkonsumsi gula
yang difortifikasi dengan vitamin A di El Salvador dan Guatemala sekitar 95%
dan lebih dari 80% di Honduras. Keberhasilan program fortifikasi gula
memberikan dorongan untuk negara lain memberlakukan intervensi yang sama.
Pada tahun 1998 di Zambia memberlakukan fortifikasi gula dengan vitamin A
(Mora et al. 2000)
Pada tahun 1980 FDA menetapkan kebijakan 21 C.F.R.104.20 tentang
pedoman penambahan gizi untuk makanan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan
produk pangan yang difortifkasi harus menyertakan label gizi pada kemasan. Pada
tahun 1982 tinjauan dari U.S. Departement of Agriculture’s Food Safety and
Inspection Service (FSIS) menyimpulkan kebijakan penambahan gizi makanan
akan terus mengikuti pedoman kebijakan FDA (Quick dan Murphy 1982).
Beragamnya produk fortifikasi pangan yang berada di pasaran, FSIS menemukan
produk tersebut tidak terdapat dalam pedoman 21 C.F.R.104.20. FSIS akhirnya
membuat beberapa peraturan untuk produk-produk pangan tersebut dengan
menyertakan label gizi yang difortifikasikan (FNB 2004). Fortifikasi pangan terus
menjadi mekanisme yang banyak digunakan di negara maju. Dalam konteks ini,
terjadi perubahan yang begitu cepat terutama dalam hal gaya hidup dan kebutuhan
diet.
Pada tahun 1990-an, UK Medical Research Council melaporkan bahwa
konsumsi asam folat ketika ibu hamil dapat mencegah neural tube defects (NTDcacat bawaan pada syaraf tulang belakang). Pemberian suplemen asam folat pada
ibu hamil mampu menurunkan sepertiga populasi berisiko NTD. Akibatnya FDA
mewajibkan fortifikasi asam folat dan banyak negara lain yang mengikuti, hal ini
sudah dilakukan oleh Negara Kanada sejak tahun 1979 (MRC 1991).
Pada tahun 1992 diadakan konferensi International Conference on
Nurtrition (ICN) di Roma, menekankan pentingnya kegiatan berbasis pangan
dalam rangka untuk penanganan masalah gizi buruk terutama zat gizi mikro
(FAO/WHO 1992). Pembahasan dalam konferensi tersebut lebih menekan
pemberian solusi berupa fortifikasi pangan karena dianggap paling relevan. Hal
ini dilandasi oleh beberapa penelitian bahwa fortifikasi merupakan program yang
dapat mengatasi kekurangan zat gizi mikro terutama vitamin A, iodium dan zat
besi dalam waktu singkat dan dapat diimplementasikan. (Austin et al. 1981;
Arroyave 1987; INACG 1990).
Pada tahun 1994 UNICEF dan WHO merekomendasikan fortifikasi garam
dengan iodium secara universal sebagai pendekatan utama dalam mengoreksi
masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada tahun 1992 diadakan 7th
World Salt Symposium di Kyoto (Jepang), tujuan dari simposium ini adalah
pengendalian gangguan akibat kekurangan iodium. Akhirnya, pada 8th Session of
the World Salt Symposium di Den Haag pada tahun 2000, industri garam memiliki
peran khusus dan bertanggung jawab dalam fortifikasi garam dengan iodium.

15

Pada tahun 2001, hampir 126 negara berkembang memberlakukan fortifikasi
garam iodium (Mason et al. 2001).
Program fortifikasi pangan telah berhasil diterapkan di negara-negara
berkembang (Darnton-Hill dan Nalubola R 2002). Pada tabel 2, negara-negara
berkembang telah mempraktikan fortifikasi wajib pada produk pangan yang
sering dikonsumsi.
Tabel 3 Program fortifikasi wajib dibeberapa negara berkembang
Negara

Pangan Pembawa
(vehicle)

Bolivia

Tepung terigu

Brazil

Susu Skim

Colombia

Tepung terigu

Margarin
Costa Rica

Republik
Dominika

Ekuador

Tepung terigu

Gula
Tepung terigu

Tepung terigu

Margarin

Zat gizi yang
ditambahkan
(fortificant)
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam Folat
Besi
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A
Vitamin D

El Salvador

Tepung terigu

Vitamin B1

Batasan yang
ditambahkan
4.0 mg/kg
2.4 mg/kg
35.6 mg/kg
1.5 mg/kg
60 mg/kg
15000-25000
IU/kg
2000-2400/kg
6.0 mg/kg
4.0 mg/kg
55 mg/kg
1.54 mg/kg
44 mg/kg
30000 IU/kg
3000 IU/kg
6.0 mg/kg
4.0 mg/kg
55 mg/kg
1.5 mg/kg
60 mg/kg
50000 IU/kg
6.0 mg/kg
4.0 mg/kg
55 mg/kg
1.5 mg/kg
60 mg/kg
4.0 mg/kg
7.0 mg/kg
40 mg/kg
0.6 mg/kg
55 mg/kg
20000-30000
IU/kg
2000-4000
IU/kg
4.0 mg/kg

16

Negara

Guatemala

Pangan Pembawa
(vehicle)

Margarin
Gula
Tepung terigu

Pasta

Zat gizi yang
ditambahkan
(fortificant)
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Kalsium
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Besi

Honduras

Susu Skim

Vitamin A

Magarin

Vitamin D
Vitamin A

Gula
Tepung terigu

Susu
Margarin

Mexico

Gula
Susu
Margarin

Nicaragua

Tepung terigu

Gula

Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin A
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A

Batasan yang
ditambahkan
2.5 mg/kg
45 mg/kg
1.3 mg/kg
55 mg/kg
15000 IU/kg
50000 IU/kg
4.0-6.0 mg/kg
2.5-3.5 mg/kg
35-40 mg/kg
0.35-0.45
mg/kg
55-65 mg/kg
1.0-1.1g/kg
8.8-11.0 mg/kg
3.7-4.8 mg/kg
59.5-74.9
mg/kg
26.8-36.8
mg/kg
2000-3000
IU/L
400-600 IU/L
15000-50000
IU/kg
50000 IU/kg
4.4 mg/kg
2.6 mg/kg
35.6 mg/kg
1.5 mg/kg
60 mg/kg
2000/L
400/L
35000 IU/kg
1500 IU/kg
50000 IU/kg
4000 IU/L
400 IU/L
20000 IU/kg
2000 IU/kg
6.0 mg/kg
3.5 mg/kg
40 mg/kg
1.3 mg/kg
60 mg/kg
50000 IU/kg

17

Negara

Pangan Pembawa
(vehicle)

Panama

Tepung terigu

Paraguay

Gula
Tepung terigu

Peru

Tepung terigu
Margarin

Venezuela

Tepung terigu

Tepung Jagung

Susu bubuk
Nigeria

Tepung terigu

Zat gizi yang
ditambahkan
(fortificant)
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Asam folat
Besi
Besi
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Besi
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Vitamin A
Iron
Vitamin A
Vitamin D
Vitamin B1
Vitamin B2
Niacin
Besi

Afrika Selatan

Zambia
India
Indonesia
Malaysia

Margarin

Kalsium
Vitamin B2
Niacin
Vitamin A

Gula
Margarin
Tepung terigu
Garam
Susu
Margarin

Vitamin D
Vitamin A
Vitamin A
Besi
Iodium
Vitamin A
Vitamin A

Tepung Jagung

Vitamin D

Batasan yang
ditambahkan
6.0 mg/kg
4.0 mg/kg
55 mg/kg
1.5 mg/kg
60 mg/kg
50000 IU/kg
4.5 mg/kg
2.5 mg/kg
35 mg/kg
3.0 mg/kg
45 mg/kg
300 mg/kg
30000 IU/kg
3000 IU/kg
1.5 mg/kg
2.0 mg/kg
20.0 mg/kg
20.0 mg/kg
3.1 mg/kg
2.5 mg/kg
51.0 mg/kg
9500