Pengaruh Pemberian Pangan Yang Difortifikasi Zat Multigizi Mikro Pada Ibu Hamil Dan Pengasuhan Terhadap Pertumbuhan Linier, Perkembangan Motorik Dan Status Anemia Bayi

(1)

YANG BERKELANJUTAN

(KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI

KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

BUDI SANTOSO

C 25102021.1

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

(KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI

KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

BUDI SANTOSO

C 25102021.1

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

Dosen Penguji:

1. Dr. Ir. Luky Adrianto


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Pola Pengelolaan Tambak Inti Rakyat (TIR) Yang Berkelanjutan (Kasus TIR Transmigrasi Jawai Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 17 Juli 2007

Budi Santoso


(5)

Berkelanjutan (Kasus TIR Transmigrasi Jawai Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan KADARWAN SOEWARDI.

Proyek TIR Transmigrasi Jawai adalah proyek pemerintah yang merupakan program transmigrasi umum dengan pola perikanan usaha tambak yang pertama dilakukan di Indonesia. Proyek ini dimulai pada tahun 1990 namun sejak tahun 1996 proyek ini mengalami stagnasi. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang tepat tentang kondisi proyek saat ini dan memberikan arahan dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali proyek TIR transmigrasi Jawai. Hasil penelitian ini dari analisis bioteknis didapatkan kesesuaian lahan lokasi proyek TIR tansmigrasi Jawai adalah layak untuk budidaya udang dan dari daya dukung kawasan diperoleh luas tambak lestari adalah 93.23 ha atau setara dengan 207 petak tambak. Hasil analisis finansial untuk komoditas udang Vaname dengan kepadatan tebar 80 ekor/m2 dengan menggunakan analisis biaya dan manfaat (cost benefit analysis) dengan kriteria

net present value, net benefit cost ratio dan internal rate of return menunjukkan layak usaha. Hasil analisis kelembagaan menunjukan perlu dibentuk lembaga yang dinamakan forum komunikasi yang merupakan wadah sebagai tempat bermusyawarah untuk membuat peraturan, kesepakatan, sanksi dan lain-lain. Output dari forum komunikasi ini digunakan sebagai pedoman baku bagi semua pihak dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan proyek. Langkah-langkah yang dapat diambil dalam upaya untuk mengoperasikan kembali proyek TIR transmigrasi Jawai adalah dikelola oleh pemerintah daerah, kerjasama operasional (KSO), dan disewakan.


(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

Salah satu pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dalam rangka meningkatkan perekonomian wilayah pesisir dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah melalui kegiatan budidaya udang di tambak. Sampai saat ini usaha tambak udang masih merupakan salah satu komoditas unggulan dari sektor perikanan, hal terbukti dengan dipilihnya komoditas udang oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dalam mewujudkan program revitalisasi perikanan. Proyek Perintis Tambak Inti Rakyat Transmigrasi Jawai (TIR Trans. Jawai) adalah proyek transmigrasi umum berskala nasional yang pertama kali dilakukan dengan usaha utama (main project) yaitu tambak udang. Proyek ini didisain dengan pola Tambak Inti Rakyat yang melibatkan swasta sebagai perusahaan inti dan transmigran sebagai plasma. Penelitian ini berjudul Evaluasi Pola Pengelolaan Tambak Inti Rakyat (TIR) Yang Berkelanjutan (Kasus TIR Transmigrasi Jawai Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat). Ulasan didalam penelitian ini adalah 1) memberikan gambaran yang tepat tentang kondisi proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai dan 2) memberikan arahan dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali kegiatan usaha budidaya tambak di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan sehingga diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam rangka pengembangan pola TIR Transmigrasi dalam upaya pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir.

Bogor, 17 Juli 2007


(8)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Perumusan masalah... 2

1.2.1. Bioteknis... 2

1.2.2. Finansial... 2

1.2.3. Kelembagaan... 3

1.3. Maksud dan tujuan penelitian... 3

1.4. Kegunaan penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis bioteknis... 5

2.1.1. Kesesuaian lahan ... 5

2.2.2. Daya dukung kawasan ... 7

2.2. Analisis finansial... 8

2.3. Analisis kelembagaan... 9

2.3.1. Konsep kelembagaan ... 9

2.3.2. Spatial autocorrelation ... 11

2.3.3. Konsep kemitraan... 11

2.3.4. Konsep tambak inti rakyat (TIR) ... 14

2.3.5. Konsep bagi hasil (contract farming)... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan batasan penelitian... 19

3.2. Kerangka pemikiran ... 19

3.3. Metode pengumpulan data ... 20

3.3.1. Pengumpulan data sekunder ... 20

3.3.2. Pengumpulan data primer ... 21

3.4. Analisis bioteknis... 21

3.4.1. Kesesuaian lahan ... 21

3.4.2. Daya dukung kawasan ... 21

3.5. Analisis kelayakan usaha... 22

3.5.1. Net present value (NPV)... 23

3.5.2. Net benefit cost ratio ( Net B/C)... 24

3.5.3. Internal rate of return (IRR)... 25

3.6. Analisis kelembagaan... 25

3.6.1. Kelembagaan... 25

3.6.2. Karakteristik produktifitas plasma ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran umum lokasi ... 29


(9)

4.2.2. Pelaksanaan proyek ... 32

4.2.3. Pembinaan plasma ... 33

4.3. Gambaran fisik proyek ... 34

4.3.1. Sarana/prasarana pendukung... 34

4.3.2. Fisik tambak ... 35

4.4. Model Pengelolaan ... 41

4.4.1. Aspek bioteknis ... 41

4.4.2. Analisis finansial ... 44

4.4.3. Analisis kelembagaan ... 46

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan... 72

5.2. Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(10)

Halaman

1. Parameter kualitas air untuk budidaya udang ... 6

2. Parameter kualitas tanah untuk budidaya udang ... 7

3. Metoda pengukuran dimensi konstruksi tambak ... 23

4. Dimensi saat awal pembangunan konstruksi tambak ... 38

5. Dimensi konstruksi tambak pada saat pengamatan ... 39

6. Hasil inventarisasi barang di lokasi proyek ... 40

7. Parameter kesesuaian lahan dari data lapangan ... 42

8. Perencanaan pola tanam budidaya udang dalam satu tahun ... 43

9. Realisasi hasil panen terhadap pencapaian target produksi ... 46

10.Hasil panen plasma berdasarkan daerah asal transmigran ... 47


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema kerangka pemikiran ... 20

2. Peta lokasi penelitian ... 30

3. Sistematika pembinaan teknis budidaya ... 34

4. Tata air tambak untuk satu blok ... 36

5. Elevasi tata air tambak saluran pemasukan (supply canal) ... 36

6. Elevasi tata air tambak saluran pembuangan (drainage canal) ... 37

7. Skema alur pelaksanaan proses pencairan kredit ... 57

8. Skema alur pencairan kredit yang direkomendasikan ... 58

9. Mekanisme pelaksanaan pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai ... 59

10.Mekanisme pengelolaan proyek sebelum lunas kredit ... 61

11.Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi ... 62

12.Prosedur pengesahan anggaran... 63

13.Mekanisme pengelolaan pasca lunas kredit ... 64

14.Struktur organisasi badan pengelola ... 65


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data hasil panen proyek perintis TIR transmigrasi Jawai ... 77

2. Analisis daya dukung kawasan ... 86

3. Sketsa lay out design tambak ... 87

4. Sketsa rencana rehabilitasi lay out design tambak ... 88

5. Analisis harga satuan pekerjaan mekanis ... 89

6. Analisis harga satuan pembangunan saluran tersier pemasukan ... 90

7. Total biaya investasi pembangunan proyek TIR transmigrasi Jawai ... 91

8. Perhitungan laba/rugi udang Vaname intensif per petak ... 92

9. Jadwal depresiasi dan amortisasi ... 93

10.Dasar perhitungan produksi dan penjualan ... 94

11.Dasar perhitungan biaya produksi tambak ... 95

12.Dasar perhitungan overhead tambak ... 96

13.Dasar perhitungan biaya utilitas (solar dan oli) per petak per musim tanam ... 97

14.Total biaya overhead tambak ... 98

15.Total biaya produksi tambak ... 99

16.Proyeksi modal kerja ... 100

17.Total biaya proyek ... 101

18.Jadwal pengembalian pokok dan pembayaran bunga ... 102

19.Proyeksi laba/rugi ... 103

20.Proyeksi cash flow ... 104

21.Proyeksi nilai NPV, B/C Ratio dan IRR ... 105

22.Grafik rata-rata panen per petak tambak ... 106

23.Surat kontrak kerjasama antara perusahaaan inti dengan plasma ... 107

24.Surat perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dengan KUD ... 110

25.Surat perjanjian tentang kesepakatan pembelian sarana produksi dan hasil tambak udang ... 114

26.Tata tertib persidangan forum musyawarah petani tambak udang ... 118

27.Peta lokasi proyek ... 121


(13)

Penulis dilahirkan di Purworejo, pada tanggal 14 Oktober 1963 dari ayah Sri Hartono Tirtoprodjo (Almarhum) dan ibu Wantiyah. Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 1987. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.

Sebelum menjadi pegawai negeri sipil, penulis bekerja pada tambak udang perorangan di Eretan Kabupaten Indramayu Jawa Barat pada tahun 1987 sampai 1990. Penulis ikut terlibat dalam pengelolaan proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai dari tahun 1990 sampai 1995. Penulis bekerja sebagai Kepala Sub Seksi Pengolahan dan Bina Mutu sejak tahun 1995 dan sebagai Kepala Seksi Pengawas Sumberdaya Ikan sejak tahun 2001 di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.


(14)

1.1. Latar belakang

Proyek Perintis Tambak Inti Rakyat (TIR) Transmigrasi Jawai yang berlokasi di Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat dengan PT. Ciptawindu Khatulistiwa sebagai perusahaan inti adalah merupakan proyek transmigrasi umum dengan pola perikanan usaha tambak yang pertama dilakukan di Indonesia. Embrio pelaksanaan proyek ini diawali dari survey untuk pemilihan lokasi pada Tahun 1988 yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, sedangkan pelaksanaan pembangunan fisik proyek dimulai pada Tahun Anggaran 1990/1991. Pada awalnya proyek ini adalah proyek percontohan transmigrasi, namun menjelang dimulai pelaksanaan pembangunan fisik proyek, nama proyek diubah menjadi Proyek Perintis. Substansi dari kebijakan perubahan nama tersebut mengandung makna bahwa proyek ini adalah merupakan proyek rintisan yang harus diupayakan dan didukung secara optimal agar berhasil sehingga diharapkan dapat menjadi contoh model pola kemitraan transmigrasi tambak udang dalam rangka untuk dapat diterapkan di daerah lain di Indonesia.

Keberadaan proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai ini sebenarnya akan memberikan dampak positif terhadap pihak-pihak yang terlibat (stakeholder). Beberapa keuntungan dari keberadaan proyek tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut; 1) swasta sebagai perusahaan inti tidak perlu mengeluarkan biaya investasi dan modal kerja; dan 2) petani / plasma tanpa agunan bisa mendapatkan fasilitas kredit dari bank dan dengan cara mencicil mempunyai prospek untuk memiliki tambak sendiri; serta 3) untuk pemerintah daerah yaitu merupakan peluang untuk mendapatkan pendapatan asli daerah, merupakan pengembangan

wilayah dan membuka kesempatan lapangan kerja baru dengan adanya multiplier

effects. Sebagai proyek perintis, TIR Transmigrasi Jawai belum mempunyai pola yang baku sehingga dalam perjalanannya proyek ini banyak mengalami perubahan secara bertahap dalam upaya untuk mencari model yang terbaik. Namun dalam perjalanannya proyek perintis ini juga banyak menghadapi kendala dan permasalahan, misalnya seperti adanya serangan wabah penyakit white spot yang


(15)

akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1996 yang mengakibatkan proyek ini mengalami stagnasi.

Berdasarkan uraian diatas dan dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali kegiatan operasional budidaya udang khususnya di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai, maka kiranya perlu dilakukan suatu kajian untuk mencari solusi tentang model pengelolaan Tambak Inti Rakyat yang dapat diterapkan sehingga usaha budidaya tambak udang tersebut diharapkan dapat berkelanjutan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan suatu pengkajian mengenai : (1) tinjauan ulang (review) tentang pelaksanaan pengelolaan proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai dari tahun 1990 sampai 1995; (2) model pengelolaan tambak inti rakyat yang berkelanjutan.

1.2. Perumusan masalah 1.2.1. Bioteknis

Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan dalam budidaya udang adalah faktor bioteknis. Menurut Widigdo (2002), terdapat dua kemungkinan besar yang terkait dengan kesalahan ekologis, yaitu kesalahan kesesuaian lahan (penentuan lokasi) dan kesalahan pengaturan kawasan yang terkait erat dengan daya dukung kawasan. Selain tata letak tambak yang tidak teratur juga sering dijumpai jumlah tambak sudah melebihi daya dukung perairan pantai yang semua itu akan bermuara pada meningkatnya resiko wabah penyakit secara alami.

Berangkat dari pemikiran tersebut diatas dan dengan adanya kasus serangan wabah penyakit udang bercak putih (white spot) di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai pada tahun 1995 yang mengakibatkan proyek menjadi stagnan (terbengkalai ), maka dalam penelitian ini dilakukan pengkajian kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan di lokasi Proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.

1.2.2. Finansial

Sejak tidak beroperasinya proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai pada tahun 1996, praktis tidak ada perawatan (maintenance) infrastruktur seperti fisik tambak, saluran irigasi tambak, infrastruktur dan peralatan yang ada. Sampai sejauh mana kerusakan akibat adanya abrasi, seberapa besar penyusutan tanggul


(16)

tambak, seberapa besar pendangkalan saluran dan seberapa banyak peralatan yang hilang atau yang masih tersisa adalah merupakan ekses dari keadaan terbengkalainya proyek ini. Oleh karena itu untuk mengetahui kondisi terkini di lokasi proyek diperlukan adanya pengukuran, pengamatan dan inventarisasi barang di lapangan. Dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali keberadaan proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai, maka dalam penelitian ini akan dikaji mengenai kondisi terakhir fisik tambak, saluran, infrastruktur dan peralatan sebagai bahan dasar untuk menghitung biaya investasi yang dibutuhkan untuk menganalisis kelayakan usaha.

1.2.3. Kelembagaan

Seperti diketahui dalam Proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai terdapat unsur inti dan plasma, tetapi dalam perjalanannya interaksi antar keduanya sering terlibat konflik. Analisis kelembagaan dilakukan untuk menentukan bentuk mekanisme pengelolaan yang paling sesuai berdasarkan pengalaman yang terjadi pada pelaksanaan proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji mengenai mekanisme pengelolaan dengan pola inti plasma dan pihak-pihak yang berperan pada masa sebelum dan pasca kredit lunas serta upaya mengoperasikan kembali proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai.

1.3. Maksud dan tujuan penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang tepat tentang kondisi proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai saat ini, serta untuk memberikan arahan dalam rangka upaya untuk menghidupkan kembali kegiatan usaha budidaya tambak udang di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai.

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kelayakan bioteknis

2. Untuk mengetahui kelayakan finansial dan menentukan teknologi budidaya udang yang tepat untuk diterapkan di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai. 3. Untuk mendapatkan konsep tentang mekanisme pengelolaan proyek perintis


(17)

1.4. Kegunaan penelitian

Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dalam rangka penyusunan konsep perencanaan pembangunan dengan Pola Tambak Inti Rakyat yang merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir sehingga dalam pengelolaannya diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan.


(18)

2.1. Analisis bioteknis 2.1.1. Kesesuaian lahan

Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno 2001). Selanjutnya dijelaskan bahwa pengembangan lahan untuk budidaya tambak perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut 1) Sumber air, debit dan kualitasnya, yaitu : oksigen terlarut, salinitas, suhu, kecerahan, pH air, ammonia, hidrogen sulfide dan lain-lain, 2) Amplitudo pasang surut, 3) Topografi dan ketinggian tempat, 4) Iklim, dan 5) Sifat tanah, yaitu : lapisan pirit, tekstur tanah, drainase tanah dan gambut.

Poernomo (1992) menyatakan bahwa dalam memilih lokasi untuk pertambakan, faktor yang perlu diperhatikan antara lain : sumber air, amplitudo pasang surut dan ketinggian elevasi, topografi, kualitas tanah, vegetasi, jalur hijau dan kawasan penyangga, kondisi klimat, keragaan (eksposur), kelengkapan fasilitas, pasok bahan dan kemudahan pemasaran, sebaran pertambakan, tata guna lahan dan kebijakan pemerintah serta keamanan dan sarana sosial. Budidaya udang di tambak memerlukan air yang memenuhi persyaratan baik jumlah maupun mutu. Unsur-unsur kimiawi, fisik dan biologik yang menentukan mutu air tambak antara lain : kadar garam, pH, ammonia dan nitrit, nitrogen sulfide, oksigen terlarut, kekeruhan, kandungan plankton, dan sebagainya.

Untuk keperluan pengairan tambak udang akan sangat ideal apabila lahan pertambakan dibuat di kawasan pantai dekat dengan sungai yang dapat memasok air tawar sepanjang tahun agar dapat mengendalikan salinitas yang diperlukan. Selain itu kesempurnaan pengeluaran air buangan dan air limbah ke perairan umum serta pengeringan dasar tambak secara sempurna akan lebih baik dibandingkan dengan yang jauh dari laut dengan syarat lokasi sepanjang pantai tersebut tidak berlumpur yang disebabkan oleh siltasi.


(19)

Persyaratan mutu air tambak yang diperlukan untuk budidaya tambak udang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter kualitas air untuk budidaya udang

No Parameter Satuan Nilai

1 Fisika

- Suhu ºC 26 - 30

- Salinitas Permil 10 - 30

- Kecerahan Cm 25 - 50

- Turbidity mg/l < 2.000

2 Kimia

- pH - 7,5 - 8,5

- BOD mg/l < 10

-COD mg/l < 50

- Alkalinitas mg/l 50 - 200

- Amonia (NH3) mg/l < 0,1

- H2S mg/l < 0,1

- Nitrat mg/l 200

- Nitrit mg/l 0,3

- Fe mg/l < 0,5

- PO4 mg/l 0,26

- Mercuri (Hg) mg/l < 0,002

- Tembaga (Cu) mg/l < 0,02

Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan (1996)

Tektur tanah adalah sifat fisik tanah yang menyatakan kasar – halusnya tanah atau yang menunjukkan perbandingan fraksi-fraksi liat, debu dan pasir (Jamulya dalam acuan Hamid 2003). Menurut Poernomo (1992), tanah yang ideal untuk kegiatan pertambakan adalah yang bertekstur liat berpasir. Poernomo dalam acuan Hamid (2003) membagi persyaratan tekstur tanah menurut tingkat teknologi budidaya yang akan diterapkan. Dalam budidaya ekstensif yang tergantung pada jasad benthos sebagai makanan alami bagi udang, maka harus dipilih dasar tambak lempung sampai liat berpasir. Sedangkan untuk budidaya semi intensif dan intensif karena menggunakan pakan buatan sebagai sumber pakannya maka harus dipilih tekstur tanah lempung liat berpasir hingga lempung berpasir.

Parameter kimia dan fisika tanah yang biasa digunakan sebagai syarat minimal adalah tekstur tanah, pH, kandungan bahan organik, unsur hara, kandungan pirit dan tekstur tanah. Kondisi parameter ini menentukan pola penyiapan konstruksi dan sistem budidaya. Tekstur tanah akan berpengaruh pada


(20)

konstruksi. Semakin tinggi kadar liat dan semakin sedikit kadar pasir akan semakin stabil dan semakin kedap air. Nilai pH tanah akan berpengaruh pada kesuburan perairan karena kelarutan unsur hara dalam air ditentukan pula oleh derajat keasaman tanah dan air. Sementara kandungan pirit adalah termasuk unsur yang tidak dikehendaki karena mengakibatkan turunnya pH air. Secara ringkas persyaratan kualitas tanah untuk tambak udang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter kualitas tanah untuk budidaya udang

No Parameter Nilai

1 Tekstur Liat s/d liat berpasir

2 pH 6,0 - 7,0

3 Bahan organik 1,6 - 7,0 %

4 Karbon 3 - 5 %

5 Nitrogen 0,40 - 0,75 %

6 Kalsium 5,0 -20,0 me/100 g

7 Magnesium 1,5 - 8,0 me/100 g

8 Kalium 0,5 - 1,0 me/100 g

9 Natrium 0,7 - 1,0 me/100 g

10 Fosfor 30 - 60 ppm

11 Pirit < 2%

Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan (1996)

2.1.2. Daya dukung kawasan

Scones dalam acuan Prasetyawati (2001) membagi daya dukung lingkungan menjadi dua yaitu daya dukung ekologis (ecological carrying

capacity) dan daya dukung ekonomi (economic carrying capacity). Daya dukung

ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan (tambak) yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas dan sebagainya. Sedangkan daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha seperti net present value (NPV), benefit cost ratio (Net B/C) dan internal rate of return (IRR).


(21)

adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut, artinya daya dukung lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi semua unsur komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem.

Daya dukung suatu perairan untuk budidaya udang di tambak merupakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dalam merencanakan pembukaan lahan. Menurut Widigdo (2001), limbah cair tambak biasanya dibuang ke sungai, perairan pantai atau langsung ke laut. Limbah tersebut akan diencerkan oleh perairan penerimanya dan akan diasimilasi (didegradasi) menjadi unsur hara oleh mikroba yang ada di perairan penerima. Kapasitas dan daya tampung perairan penerima limbah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas perairan. Dengan asumsi bahwa perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya telah memenuhi persyaratan kualitatif, maka kuantitas air penerima akan merupakan faktor penentu berapa banyak limbah yang akan diterima oleh suatu badan perairan agar kualitasnya masih layak untuk digunakan kegiatan budidaya yang berkelanjutan. Menurut Allison dalam acuan Widigdo (2001), menyatakan bahwa untuk menjaga agar kualitas perairan umum masih tetap layak untuk budidaya maka perairan penerima limbah cair dari kegiatan budidaya harus memiliki volume antara 60 – 100 kali lipat dari volume limbah cair yang dibuang ke perairan umum. Daya dukung ini dihitung berdasarkan volume air laut yang masuk ke aliran pantai dengan rumus sebagai berikut :

− =

tg h 2x hy 0,5 V0

V0 adalah volume air laut yang masuk ke perairan pantai, h adalah kisaran pasut

(tidal range) setempat, x adalah jarak dari garis surut ke arah laut sampai ke suatu titik dengan kedalaman minimal 2 meter, y adalah lebar areal tambak yang sejajar garis pantai dan θ adalah kemiringan dasar laut.

2.2. Analisis finansial

Usaha tambak merupakan suatu kegiatan usaha tani yang memerlukan modal besar dengan tingkat resiko yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan


(22)

suatu analisis kelayakan usaha yang dimaksudkan untuk melakukan evaluasi apakah usaha tersebut layak atau tidak. Untuk melakukan evaluasi kelayakan usaha, maka perlu diketahui besar manfaat dan besar biaya dari setiapunit yang di analisis.

Kadariah (1978) menyatakan bahwa keuntungan adalah total penerimaan atau total revenue dikurangi total biaya atau total cost, sedangkan yang dimaksud dengan penerimaan adalah total produksi dikalikan dengan harga per satuan produk. Selanjutnya dijelaskan bahwa komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha terdiri dari biaya investasi, biaya cicilan modal dan biaya bunga modal. Yang dimaksud dengan analisis finansial adalah suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modal atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut. Dalam melakukan analisis finansial keuntungan usaha diperlukan dua keterangan pokok yaitu pengeluaran (cost) dan penerimaan (benefit) selama jangka waktu yang telah ditetapkan. Penerimaan dalam suatu usaha yang diperoleh dari penjualan dari penjumlahan nilai produksi dan kenaikan nilai barang investasi. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya adalah ongkos yang dikeluarkan untuk sarana produksi lain yang diperlukan pada proses produksi. Biaya tersebut dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variable (variable cost).

Metode yang biasa digunakan untuk menganalisis proyek dalam jangka waktu lama atau proyek yang mempunyai arus biaya dan manfaat yang berbeda-beda di masa yang akan datang adalah dengan peramalan melalui perhitungan berdiskonto antara lain : net present value (NPV),benefit cost ratio (Net B/C) dan

internal rate of return (IRR).

2.3. Analisis kelembagaan 2.3.1. Konsep kelembagaan

Menurut Pakpahan (1989) pada prinsipnya terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu kelembagaan sebagai aturan main (rule of the games) dan kelembagaan sebagai organisasi. Kelembagaan sebagai suatu organisasi dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha untuk memberikan sumbangsih mereka ke arah pencapaian tujuan. Kelembagaan


(23)

sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank dan sebagainya. Kelembagaan sebagai aturan main menurut Schmid (1972) dalam acuan Pakpahan (1990), adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilege, dan tanggung jawab. Berdasarkan hal tersebut, pengertian kelembagaan terdiri atas aturan main dan organisasi. Organisasi menyangkut hierarki kedudukan, status posisi dalam ruang lingkup serta wewenang yang sesuai dengan posisinya,

sedangkan aturan main menyangkut pembatasan (constraint) kepada pelaksanaan

tugas kegiatan atau aktifitas.

Suatu kelembagaan menurut Shaffer dan Schmid dalam acuan Pakpahan (1990) dapat dilihat dari tiga hal utama, yaitu 1) Batas kewenangan (jurisdictional boundary). Konsep batas jurisdiksi atau batas kewenangan dapat diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Dalam suatu organisasi, batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi tersebut. Batas kewenangan tersebut ditentukan a)

sense of community, b) ekternalitas, c) homogenitas dan d) skala ekonomi. 2) Hak dan kewajiban (property right). Konsep property right selalu mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Konsep property right atau hak kepemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) dari semua lapisan peserta, yang didefinisikan atau diatur oleh suatu peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat mengatakan hak milik atau hak penguasaan jika tanpa pengesahan masyarakat sekitarnya dimana dia berada. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti melalui pembelian, pemberian atau bonus sebagai kelas jasa, pengaturan administrasi seperti subsidi pemerintah terhadap sekelompok masyarakat. 3) Aturan representasi (rule of representation). Aturan representation mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh besarnya


(24)

uang rupiah yang dibagikan, melainkan ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat anggota yang terlibat.

2.3.2. Spatial autocorrelation

Spatial autocorrelation adalah suatu metode analisis statistika spasial yang digunakan untuk mengetahui pengaruh hubungan hasil produksi berdasarkan pola sebaran spasial lahan dalam suatu kawasan. Menurut John Odland (1988), deskripsi dari hasil perhitungan analisis autocorrelation tersebut dibagi dalam 3 (tiga) kemungkinan, yaitu apabila 1) I > I (random) disebut auto correlation positif, yaitu suatu hubungan yang mencerminkan pola sebaran searah, 2) I = Random, yaitu suatu hubungan yang tidak mencerminkan suatu pola sebaran tertentu (acak), 3) I < I (random) disebut auto correlation negatif, yaitu hubungan yang mencerminkan pola sebaran dengan pengaruh yang saling berkebalikan.

2.3.3. Konsep kemitraan

Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan bisnisnya. Kemitraan adalah suatu set kelembagaan dan rencana-rencana organisasi yang menentukan bagaimana pihak-pihak yang terlibat (stake holder) bekerjasama. Sebuah rencana kemitraan bukanlah struktur hukum tentang hak-hak dan peraturan-peraturan yang statis, tetapi ia merupakan proses yang dinamis untuk menciptakan struktur-struktur kelembagaan baru. Dengan demikian kelembagaan kemitraan dapat didisain sebagai kelembagaan yang sama sekali baru atau yang berdasarkan pada struktur kelembagaan yang telah ada.

Di Indonesia, kemitraan diartikan sebagai hubungan bapak-anak angkat

(foster father partnerships). Pola kemitraan semacam ini dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu 1) Pola Perkebunan Inti rakyat (PIR), di mana bapak angkat sebagai inti sedangkan petani kecil sebagai plasma, 2) Pola dagang, di mana bapak angkat bertindak sebagai pemasar produk yang dihasilkan oleh mitra usahanya, 3) Pola vendor, di mana produk yang dihasilkan oleh anak angkat tidak


(25)

memiliki hubungan kaitan ke depan maupun ke belakang dengan produk yang dihasilkan oleh bapak angkatnya, 4) Pola subkontrak, di mana produk yang dihasilkan oleh anak angkat merupakan bagian dari proses produksi usaha yang dilakukan oleh bapak angkat, selain itu terdapat interaksi antara anak dan bapak angkat dalam bentuk keterkaitan teknis, keuangan dan atau informasi.

Pola kemitraan dalam bentuk kontrak produksi umumnya dapat dibentuk dengan pola semacam Perikanan Inti Rakyat (PIR), yaitu bentuk kemitraan antara perusahaan inti dan plasma, dimana perusahaan inti berkewajiban menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi serta mengusahakan permodalan. Pola kemitraan kegiatan produksi perikanan yang dapat dilakukan adalah; 1) Pola kemitraan dengan kesepakatan jaminan sarana produksi dan pemasaran hasil, kontrak harga sarana produksi dan harga output, jaminan pendapatan pada plasma, sistem bonus kenaikan harga output dan sistem bonus/pinalti jika terdapat mortalitas, 2) Pola kemitraan dengan kesepakatan penyediaan sarana produksi dan pemasaran output, kontrak harga, jaminan pendapatan plasma dan sistem bonus kenaikan harga output, 3) Pola kemitraan dengan kesepakatan jaminan penyediaan sarana produksi dan pemasaran output dan kontrak harga, 4) Pola kemitraan yang hanya memiliki kesepakatan jaminan penyediaan produksi dan pemasaran output.

Menurut Siregar et all (2004), kelembagaan dalam usaha budidaya udang berkembang secara alami karena bertemunya kepentingan yang saling melengkapi antara petani pemilik tambak dan pedagang/pengusaha lokal. Selanjutnya disebutkan bahwa, bentuk organisasi pertambakan udang secara garis besar dibagi menjadi 3 jenis yakni; usaha tani tambak, perusahaan tambak, pola hubungan perusahaan dan petani. Pada pola hubungan perusahaan dan petani terdapat pola bapak angkat langsung, pola bapak angkat tidak langsung dan pola tambak inti rakyat (TIR). Pola bapak angkat dapat berlangsung secara alamiah karena pertimbangan keuntungan teknis dan ekonomis yang saling mengisi antara petani dan pengusaha. Sementara pola tambak inti rakyat (TIR) muncul belakangan berdasarkan kebijakan pemerintah. Ketiga pola ini terjadi karena latar belakang yang sama, yakni minimnya kemampuan keuangan dan keahlian petani dalam hal budidaya maupun akses pasar.


(26)

Secara teoritis, suatu kemitraan akan terjadi dan berjalan langgeng bila memenuhi dua syarat, yaitu; 1) Syarat keharusan (necessary condition) yaitu ada peluang saling menguntungkan atau win-win situation melalui pelaksanaan kemitraan. Artinya, melalui kemitraan ada manfaat ekonomi yang dapat dinikmati bersama melalui aksi bersama (collective action), dimana manfaat tersebut tidak dapat dinikmati bila bertindak secara individu (individual action), 2) Syarat kecukupan (sufficient condition) yaitu kebersamaan (cohesiveness). Artinya, suatu kemitraan akan berjalan langgeng dan berhasil meraih posisi yang paling menguntungkan bila pihak-pihak yang bermitra bersedia dan disiplin untuk melakukan aksi bersama dalam upaya pencapaian kondisi yang saling menguntungkan.

Suatu kemitraan akan berjalan langgeng bila memenuhi kedua syarat tersebut. Kemitraan yang tidak menghasilkan kondisi yang saling menguntungkan meskipun ada aksi bersama (kebersamaan) sulit bertahan dalam jangka panjang. Demikian juga kemitraan yang saling menguntungkan tanpa didasari oleh kebersamaan juga akan diragukan kelanggengannya, karena kemitraan akan dirongrong oleh free rider. Bila kedua syarat tersebut dipenuhi maka kemitraan akan secara otomatis terlaksana dan kelanggengannya juga dapat terjamin tanpa campur tangan dari pihak lain. Bila kedua syarat tersebut dipenuhi maka kemitraan akan secara otomatis terlaksana dan kelanggengannya juga dapat terjamin tanpa campur tangan dari pihak lain. Dengan demikian, pola kemitraan yang memenuhi kedua syarat tersebut merupakan kemitraan the first best.

Suatu kemitraan dapat juga terjadi bila dikondisikan atau ada peraturan yang memaksa (law enforcement). Dengan asumsi pelaku bisnis adalah rasional, dimana keuntungan merupakan insentif bagi kegiatan bisnis, maka karena win-loose situation, secara otomatis kebersamaan juga sulit dicapai. Kelanggengan kemitraan yang bersifat win-loose situation ini ditentukan oleh pengawasan yang ketat dan pelaksanaan sangsi pelanggaran. Karena itu, kemitraan yang demikian cenderung menciptakan distorsi ekonomi (high cost economics) dan cenderung mengarah pada konflik yang berkepanjangan. Meskipun demikian, kemitraan yang dipaksakan ini masih dapat bertahan sebagai kemitraan second best bila disertai dengan kebijaksanaan kompensasi, yaitu mengkompensasi pihak yang


(27)

worse off, sehingga paling sedikit tidak ada pihak yang dirugikan untuk membuat pihak lain better off.

2.3.4. Konsep tambak inti rakyat (TIR)

- Tambak Inti Rakyat (TIR), adalah proyek / pembangunan transmigrasi yang pelaksanaannya dikaitkan dengan pembangunan perikanan usaha tambak.

- Transmigran Plasma, adalah transmigran petani tambak peserta TIR.

- Perusahaan Inti, adalah Perusahaan Perikanan baik berupa Badan Usaha Milik

Negara (BUMN), Perusahaan Swasta atau Koperasi yang telah mempunyai Badan Hukum dan memenuhi persyaratan bermitra dengan transmigran sebagai Plasma yang selanjutnya ditetapkan sebagai pelaksana TIR.

- Kemitraan, adalah kerjasama usaha antara Plasma dengan Perusahaan Inti melalui pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan serta berkesinambungan.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tahun 2004, konsep Inti Plasma dalam pertambakan atau disebut juga Tambak Inti Rakyat di Indonesia mulai diperkenalkan pada awal tahun 90-an. SK Menteri Pertanian No. 509/ Tahun 1995 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Perikanan mensyaratkan pertambakan yang melebihi 100 hektar di luar Pulau Jawa dijalankan dalam bentuk hubungan Inti – Plasma. Pada Konsep Inti Plasma, yaitu petani plasma menyepakati bekerjasama dengan perusahaan inti dalam hal pemasaran hasil panen. Perusahaan mendapat jaminan penjualan hasil panen dari plasma dan sebagai imbalannya perusahaan inti berperan memberikan bimbingan teknis operasional dan dukungan finansial.

Petani mulai bergabung sebagai plasma setelah menandatangani perjanjian terlebih dahulu, yakni kesepakatan kredit dan hubungan kemitraan. Kesepakatan kredit menyebutkan Plasma mengajukan kredit kepada Bank Pelaksana melalui Perusahaan Inti dalam wadah Koperasi. Perusahaan Inti disini bertindak sebagai Penjamin kepada Bank untuk mendapatkan kredit. Kredit yang diajukan adalah berupa kredit Investasi dan kredit Modal Kerja. Kredit Investasi berupa petak tambak yang sebelumnya telah dibangun oleh Perusahaan Inti berikut komponen peralatan tambak. Sedangkan kredit Modal Kerja adalah komponen sarana


(28)

produksi tambak seperti benur, pakan, obat-obatan, biaya hidup dan lain-lain. Perjanjian kredit menyebutkan bahwa plasma membayar cicilan kredit setelah musim panen udang. Plasma dapat memiliki petak tambak tersebut apabila dalam beberapa musim tanam telah berhasil melunasi cicilan kreditnya.

Kredit dapat dipergunakan antara lain untuk memungkinkan terjadinya investasi modal. Sedangkan menurut Anwar (1993) dalam acuan Yulianto (1997), kredit yang dipergunakan untuk membeli input pada waktu yang dibutuhkan disebut sebagi modal kerja. Menurut Sinungan (1989) dalam acuan Yulianto (1997) menyebutkan bahwa unsur-unsur kredit meliputi 1) kepercayaan yaitu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi (uang, jasa atau barang) yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali di masa tertentu yang akan datang, 2) waktu yaitu bahwa antara pemberian dan pengembaliannya dibatasi oleh suatu masa atau waktu tertentu, 3) degree of risk yaitu pemberian kredit menimbulkan suatu tingkat resiko. Resiko timbul bagi pemberi kredit karena uang / barang / jasa yang berupa prestasi telah lepas kepada orang lain, 4) prestasi yaitu yang diberikan adalah suatu prestasi yang dapat berupa uang, barang atau jasa. Dalam perkembangan perkreditan masa modern yang dimaksudkan dengan prestasi dalam pemberian kredit adalah uang.

Jenis-jenis kredit dapat dibedakan menurut ada atau tidaknya jaminan dan legalitasnya. Jenis kredit menurut ada atau tidaknya jaminan dibedakan atas kredit terbuka dan kredit tertutup. Kredit terbuka adalah jenis kredit yang tidak disertai jaminan barang tertentu, sedangkan kredit tertutup adalah kredit yang harus disertai jaminan barang tertentu. Selanjutnya kredit tertutup juga dapat dibagi dua yaitu pertama kredit yang mempergunakan barang jaminan yang tak bergerak sebagai jaminan disebut hipotik, dan kedua jenis kredit yang mempergunakan barang bergerak sebagai jaminan disebut gadai. Jenis kredit menurut legalitasnya dapat digolongkan ke dalam kredit yang bersifat formal dan informal. Saluran kredit yang bersifat informal adalah mereka yang melakukan aktifitas meminjamkan uangnya biasanya didasarkan hubungan personal bagi setiap proses transaksi yang dilakukan. Lembaga perkreditan formal menyalurkan kreditnya kepada para peminjam uang yang diatur oleh undang-undang dan diatur juga oleh


(29)

peraturan pemerintah. Lembaga formal tersebut antara lain bank swasta, bank pemerintah, koperasi yang terdaftar dan lembaga keuangan lainnya.

2.3.5. Konsep bagi hasil (contract farming)

Menurut Glover dan Kusterer (1989) dalam acuan Yulianto (1997) di dalam suatu rangkaian aktifitas agribisnis melibatkan bentuk hubungan yang kompleks dan langsung antara perusahaan besar dan petani kecil dalam bentuk

contract farming. Didalam sistem ini perusahaan yang mendapatkan produk dengan membeli dari petani lokal melalui kontrak, mengkhususkan pada bebrapa kondisi penjualan dan tanggung jawab perusahaan untuk menyediakan bantuan teknik dan jasa pelayanan. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga pertimbangan dilakukannya contract farming, yaitu:

1. Kontrak mendapatkan beberapa keuntungan baik bagi perusahaan maupun

petani khususnya berkenaan dengan resiko dan ketidak pastian. Faktor harga, kuantitas, kuantitas dan standar kualitas sering tidak pasti, sehingga kontrak menyebabkan petani dapat memperoleh pasar yang pasti untuk penjualan outputnya, sedangkan bagi perusahaan menginginkan tersedianya kuantitas dan kualitas produk secara konsisten.

2. Kontrak menimbulkan pengaruh sosial yang luas dan sering berkembang ke arah kontrak yang dapat melibatkan tenaga kerja, anggota-anggota rumah tangga dan masyarakat wilayah secara umum manakala dalam proses pengoperasiannya sering memperkenalkan produk dan teknik baru yang

umumnya menyangkut system pengolahan (processing) dan system

pengepakan (packing).

3. Di dalam sistem pengoperasiannya melibatkan ukuran-ukuran substansi

perusahaan yang kadang-kadang berhubungan dengan institusi pemerintah dan agen pemberi kredit. Koalisi dari berbagai kepentingan dalam agribisnis yang banyak mengandung risiko seringkali menjadi kompleks dan sarat bila dipandang dari sudut petani dan kenyataannya terdapat celah konflik kepentingan, eksploitasi dan perundingan dengan perubahan dinamika internal yang berlangsung setiap saat.

Anwar (1993) dalam acuan Yulianto (1997) menyatakan bahwa hubungan antara pedagang atau pengusaha agro-processing dengan para petani dapat terjalin


(30)

dalam suatu kontraktual (aturan main yang disetujui bersama) sistem agribisnis. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam keadaan dunia nyata sistem ekonomi yang berlaku mempunyai beberapa variant yang dapat dikelompokan sebagai berikut; a) bentuk integrasi vertikal, b) bentuk hubungan di luar sistem pasar seperti KUD, PIR dan c) campur tangan pemerintah sepenuhnya (central planning).

Menurut Yulianto (1997), adanya kegagalan dalam mencapai target hasil produksi menyebabkan dilakukannya perubahan (penyesuaian) kelembagaan agribisnis. Kelembagaan tersebut menekankan pada hubungan principal agent

yang pada taraf operasional ditetapkan melalui system kontrak baiksecara formal dan informal. Dengan adanya kegagalan produksi tersebut secara implisit menyatakan bahwa keputusan dalam mengalokasikan sumberdaya mengandung unsur resiko, baik karena resiko alam (natural risk) ataupun resiko yang bersumber dari aktifitas keputusan manusia (man-made risk). Kondisi ini menyebabkan principal mau mendistribusikan resiko danmanfaat kepada agent. Dari hal tersebut pelaku usaha membangun sistem kelembagaan (institutional building) dalam bentuk hubungan principal-agent yang mampu menampung dan memungkinkan terjadinya pertukaran secara simultan dengan maksud mereduksi risiko kegagalan. Melalui hubungan tersebut selanjutnya ditetapkan model-model kontrak yang mengatur hak dan kewajiban serta sanksi.

Untuk menilai keberhasilan kelembagaan kontrak dari suatu kerjasama akan berjalan dengan baik atau tidak, menurut Anwar (1993) dalam acuan Yulianto (1997) perlu didasarkan atas empat kriteria, yaitu 1) efficiency (efisiensi) dalam arti bahwa dibentuknya kelembagaan adalah untuk menghindari

pemborosan, 2) equity (pemerataan) yaitu kondisi yang memuaskan semua pihak

yang terlibat sesuai dengan posisi dan harkatnya, 3) sustainability (keberlanjutan) yaitu pertumbuhan usaha dapat berlangsung secara terus menerus saling menguntungkan dan 4) interactive decision making yang melibatkan berbagai pihak.

Model kontrak usaha tambak (contract farming) menurut Yulianto (1997) dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu; 1) kontrak menurut model TIR, yaitu kerjasama antara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma, 2) kontrak menurut hubungan sistem bagi hasil formal yang selanjutnya disebut


(31)

sebagai kerjasama operasional (KSO) yaitu kerjasama antara petambak dengan perusahaan menurut perjanjian tertentu, dan 3) kontrak menurut hubungan tradisional yaitu kerjasama antara petambak dengan pedagang / tengkulak yang berlangsung secara informal. Selain kontrak yang telah disebutkan diatas, masih ada kontrak usaha tambak sewa lahan yaitu kerjasama yang dilakukan oleh petambak dengan jalan menyewakan lahan tambak miliknya kepada perusahaan atau perorangan.


(32)

3.1. Lokasi dan batasan penelitian

Penelitian ini berlokasi di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai di Dusun Kalangbahu Desa Jawai Laut Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Ruang lingkup periode pengkajian proyek adalah dalam kurun waktu sejak dimulainya pembangunan fisik proyek pada tahun 1990 sampai dengan kondisi stagnasi tahun 1996. Waktu pengamatan dan inventarisasi tentang kondisi terakhir fisik tambak dilakukan pada bulan Maret 2006.

3.2. Kerangka pemikiran

Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai sejak tahun 1996 dalam keadaan stagnan dan selain itu dari segi fisik tambak mengalami abrasi yang mengakibatkan tambak di sepanjang pantai mengalami kerusakan. Dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali TIR Transmigrasi Jawai secara berkelanjutan, maka dalam penelitian ini akan dikaji mengenai kelayakan bioteknis, finansial dan kelembagaan. Aspek bioteknis akan mengkaji kelayakan kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan dan dari aspek finansial akan dihitung biaya investasi yang dibutuhkan untuk merehabilitasi infrastruktur dan fisik tambak. Hasil analisis bioteknis dan finansial tersebut yang akan menentukan teknologi budidaya yang tepat untuk diterapkan pada lokasi proyek. Sedangkan dari aspek kelembagaan dan pengelolaan akan dibahas pelaksanaan pengelolaan proyek periode sebelum dan pasca pelunasan kredit tambak yang mencakup karakteristik produktifitas plasma dan organisasi tata laksana. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh model pengelolaan TIR yang berkelanjutan dan menjadi rekomendasi dalam rangka untuk mengoperasikan kembali proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(33)

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

3.3. Metode pengumpulan data 3.3.1. Pengumpulan data sekunder

Dalam penelitian ini lebih banyak menggunakan data sekunder, hal ini disebabkan karena obyek yang diteliti adalah kejadian masa lampau yaitu pelaksanaan Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1996. Untuk memperoleh data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan laporan, hasil penelitian, publikasi ilmiah, publikasi daerah, studi kelayakan (feasibility study), dan peta yang dipublikasikan. Data tersebut diperoleh dari instansi pemerintah dan swasta antara lain : PT. Ciptawindu Khatulistiwa, KUD. Cipta Bina Sejahtera, Konsultan PT. Lenggogeni, Bank Kalbar, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Bakosurtanal, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi

Permasalahan (Stagnasi & Abrasi)

Bioteknis Finansial Kelembagaan

- Kesesuaian lahan - Daya Dukung kawasan

- Biaya Investasi - Kelayakan Usaha

Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai

Pelaksanaan sebelum dan pasca kredit lunas

Menentukan teknologi budidaya udang yang tepat

Mendapatkan model pengelolaan TIR yang berkelanjutan

- Karakteristik Produktifitas Plasma - Organisasi Tata laksana

Rekomendasi dalam rangka upaya mengoperasikan kembali TIR


(34)

Kalimantan Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas. Data Sekunder yang dikumpulkan adalah Kondisi bio-fisik, Kebijakan Pemerintah Pusat, Laporan Pelaksanaan Proyek, Data Hasil Panen Plasma, Studi Kelayakan Proyek, Surat Perjanjian Kerjasama Inti Plasma.

3.3.2. Pengumpulan data primer

Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran di lapang. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui dampak abrasi terhadap kondisi petak tambak dan menginventarisir keadaan barang yang tersisa di lokasi proyek, sedangkan pengukuran dilakukan untuk mengetahui dimensi konstruksi saluran irigasi dan tanggul tambak.

3.4. Analisis bioteknis 3.4.1. Kesesuaian lahan

Parameter kesesuaian lahan dalam penelitian ini meliputi parameter air dan tanah pada lokasi proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai yang bersumber dari data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari laporan akhir teknis drainase dan penyajian evaluasi lingkungan (1992). Analisis kesesuaian lahan dilakukan secara deskriptif dengan mengacu kepada batas toleransi persyaratan mutu yang baik untuk budidaya udang dan kesesuaian lahan untuk lokasi pertambakan berdasarkan kandungan unsur hara dan fisika tanah. Data sekunder tersebut masih dianggap relevan untuk kondisi saat ini karena 1) data tersebut diperoleh pada saat pelaksanaan operasional budidaya berlangsung, dan 2) proyek ini praktis tidak beroperasi (stagnasi) sejak tahun 1996.

3.4.2. Daya dukung kawasan

Daya dukung kawasan dalam penelitian adalah berdasarkan pasokan air laut yang masuk keperairan pantai dimana pasokan air laut tersebut menurut Widigdo (2003) dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

− =

tg h 2x hy 0,5 V0


(35)

h = kisaran pasang surut (tidal range) setempat

x = jarak dari garis pantai (pada waktu pasang) hingga lokasi

intake air laut untuk keperluan tambak y = lebar areal tambak yang sejajar garis pantai tang = kemiringan (kelandaian) dasar laut.

Perhitungan volume air yang masuk ke perairan pantai tersebut (Vo) adalah volume air dalam satu kali pasang yaitu untuk daerah dengan tipe pasut diurnal, jadi jika tipe pasut semi diurnal dimana terjadi dua kali pasang pasang surut dalam sehari, maka volume air yang masuk ke perairan pantai tersebut adalah 2 kali Vo.

Jika tinggi air tambak rata-rata adalah 1,0 m, dan pergantian air harian rata-rata 10 % maka kebutuhan air tambak 1,0 ha per hari adalah = 10.000 m2 x 0,1 x 1,0 m = 1.000 m3. Allison (1981) dalam Widigdo (2001) menyatakan bahwa agar kualitas perairan umum masih tetap layak untuk budidaya, maka perairan penerima limbah cair dari kegiatan budidaya harus memiliki volume 60 – 100 kali lipat dari volume limbah cair yang dibuang ke perairan umum. Jadi luas tambak (ha) yang dapat dibangun berdasarkan volume air laut yang masuk ke aliran pantai adalah = Vo / 100.000.

3.5. Analisis kelayakan usaha

Dengan adanya abrasi yang menyebabkan kerusakan tambak , maka diperlukan kegiatan pengamatan mengenai kondisi tambak di sepanjang pantai. Selain itu akibat proyek ini tidak beroperasi sejak tahun 1996 dilakukan kegiatan mengenai 1) pengukuran dimensi konstruksi tambak seperti pendangkalan yang terjadi pada saluran irigasi tambak dan penyusutan tanggul tambak, serta 2) inventarisir infrastruktur seperti barang-barang dan bangunan yang masih tersisa dilokasi proyek. Metoda pengukuran yang dilakukan meliputi panjang saluran, panjang tanggul, lebar atas, lebar bawah, kedalaman saluran, dan ketinggian tanggul, sedangkan pengamatan dilakukan untuk inventarisir barang dilokasi proyek. Kegiatan tersebut diatas dimaksudkan untuk menghitung rincian kebutuhan biaya investasi dalam rangka rencana pelaksanaan re-design akibat adanya abrasi dan pekerjaan rehabilitasi tambak akibat proyek ini sudah tidak


(36)

beroperasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada Tabel 3 dapat dilihat metoda pengukuran dimensi konstruksi tambak.

Tabel 3. Metoda pengukuran dimensi konstruksi tambak

Jarak Jumlah

Jenis Konstruksi Satuan Volume Pengukuran Pengukuran

(m) (kali)

Saluran Pemasukan

1. Saluran Intake Laut m 1,500.00 100.00 16.00

2. Saluran Primer Ruas I m 885.00 100.00 10.00

3. Saluran Primer Ruas II m 1,650.00 100.00 18.00

3. Saluran Primer Ruas III m 1,225.00 100.00 13.00

4. Saluran Sekunder I m 385.05 100.00 5.00

5. Saluran Sekunder II m 375.05 100.00 5.00

6. Saluran Sekunder III m 41.90 25.00 3.00

7. STP Beton Semen m 5,950.00 100.00 61.00

8. STP Gravitasi (Tanah) m 450.00 100.00 6.00

J u m l a h 12,462.00 137.00

Saluran Pembuangan

1. Saluran Sekunder I m 2,098.30 100.00 22.00

2. Saluran Sekunder II m 1,419.70 100.00 16.00

3. Saluran Sekunder III m 1,216.80 100.00 13.00

3. Sal. Tersier Pembuangan m 6,146.65 100.00 124.00

J u m l a h 10,881.45 175.00

Petak Tambak petak 247.00

1. Tanggul STD petak 247.00 - 50.00

2. Tanggul Antara Tambak petak 228.00 - 50.00

3. Tanggul STP petak 247.00 - 50.00

J u m l a h 150.00

Untuk mengetahui prospek kelayakan usaha tambak dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan usaha yang dalam penelitian ini digunakan analisis biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis). Adapun kriteria yang digunakan dalam analisis ini antara lain :

3.5.1. Net present value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa mendatang, merupakan selisih nilai kini dari benefit dengan nilai kini dari biaya. Secara matematis NPV dapat dirumuskan sebagai berikut :

(

)

(

)

= + = n 1 t t i 1 Ct -Bt NPV


(37)

Dimana :

Bt = Benefit kotor tahunan (annual gross benefit)

Ct = Biaya kotor tahunan (annual gross cost), tidak dilihat apakah biaya tersebut merupakan modal atau rutin.

1/(1+i)t = Discount Factor (DF) Dengan Kriteria Usaha :

NPV > 0, berarti usaha tambak tersebut layak diusahakan

NPV = 0, berarti usaha tambak tersebut menghasilkan nilai sama besarnya dengan modal

yang ditanam

NPV < 0, berarti usaha tambak tidak layak diusahakan.

3.5.2. Net benefit cost ratio ( Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan jumlah nilai kini (present value total) dari keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif dengan keuntungan bersih bernilai negatif. Secara matematis Net B/C dapat dirumuskan sebagai berikut :

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

Bt -Ct 0

)

0 Ct -Bt i 1 Ct -Bt i 1 Ct -Bt B/C

Net n

1 t t n 1 t t > > + + = = = Dimana :

Bt = Benefit kotor sehubungan dengan adanya investasi pada tahun t

Ct = Biaya kotor sehubungan dengan adanya investasi pada tahun t, tidak dilihat apakah biaya dianggap sebagai modal atau rutin

n = Umur ekonomis dari usaha tambak i = Tingkat suku bunga bank.

Dengan kriteria usaha :

Net B/C > 1, berarti usaha tambak tersebut menguntungkan sehingga layak diusahakan

Net B/C < 1, berarti usaha tambak tidak menguntungkan sehingga tidak layak diusahakan


(38)

3.5.3. Internal rate of return(IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskonto dimana nilai kini dari biaya total sama dengan nilai kini dari penerimaan total. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

(

NPV'-NPV"

)

(

i" i'

)

NPV' i'

IRR= +

-Dimana :

i’ = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif ii” = Tingkat suku bunga yang menghsilkan NPV negatif NPV’ = NPV pada tingkat suku bunga i’

NPV” = NPV pada tingkat suku bunga i” Dengan kriteria usaha :

IRR > i, berarti usaha tambak ini bisa dilanjutkan

IRR < i, berarti usaha tambak ini tidak layak, dimana i = suku bunga.

Dengan kriteria tersebut diatas, maka usaha tambak dikatakan layak untuk diusahakan adalah apabila : NPV > 0, Net B/C > 1, IRR > i.

3.6. Analisis kelembagaan 3.6.1. Kelembagaan

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu berdasarkan 1) Pembahasan dalam konteks pola TIR yaitu pada saat pelaksanaan pengelolaan Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai yaitu masa sebelum lunas dan gambaran pasca lunas kredit tambak, 2) Pembahasan mengenai alternatif yang dapat diambil dalam konteks upaya untuk mengoperasikan kembali

proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai. Pembahasan dalam konteks pola TIR

dilakukan berdasarkan gambaran keadaan nyata yang terjadi di lapangan, sehingga dari gambaran tersebut akan didapatkan solusi terbaik tentang mekanisme managemet pengelolaan tambak yang tepat untuk dapat diterapkan di lokasi. Pembahasan tersebut dilakukan pada saat sebelum lunas kredit tambak yaitu dari mulai awal proyek yaitu pada proses pencairan kredit untuk tambak


(39)

sampai dengan proyek ini stagnasi pada tahun 1996. Pembahasan pada masa pasca lunas kredit tambak dilakukan berdasarkan hasil kajian dari solusi yang didapatkan pada masa pelaksanaan proyek. Kajian ini bertujuan untuk mempersiapkan KUD dan Plasma dalam mengelola proyek pasca lunas kredit tambak. Pembahasan mengenai alternatif dalam upaya untuk mengoperasikan kembali proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah berdasarkan model kontrak usaha tambak (contract farming) yang bertujuan untuk memberikan beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil oleh Pemda/Bank Kalbar.

3.6.2. Karakteristik produktifitas plasma Target Produksi

Data laporan hasil panen proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai diolah menjadi data hasil panen yang disusun berdasarkan : petak tambak, nama plasma, daerah asal plasma, hasil panen per petak tambak (kg) dan pola kepadatan penebaran benur yaitu untuk 4, 20 dan 15 ekor/m2. Dari data hasil panen tersebut akan dianalisis menjadi tabel realisasi hasil panen terhadap target produksi yang memberikan gambaran mengenai besaran dan prosentase hasil panen dalam pencapaian target produksi dari masing-masing pola tebar 4, 20 dan 15 ekor/m2 serta periode I, II, III, IV dan V pada padat penebaran 15 ekor/m2. Deskriptif hasil panen dilakukan terhadap daerah asal plasma, pola tebar (4, 20 dan 15 ekor/m2), periode musim tanam (I, II, III, IV dan V) pada pola kepadatan tebar 15 ekor/m2.

Spatial autocorrelation

Spatial autocorrelation adalah suatu metode analisis statistika spasial yang dalam penelitiaan ini digunakan untuk mengetahui pengaruh hubungan hasil produksi antar petak tambak berdasarkan pola sebaran spasial lahan tambak dalam suatu kawasan.

Menurut John Odland (1988), deskripsi dari hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation tersebut dibagi dalam 3 (tiga) kemungkinan, yaitu apabila : - I > I (random) disebut Auto Correlation Positif, yaitu suatu hubungan yang

mencerminkan pola sebaran searah yaitu pengaruh yang saling meningkatkan antar petak tambak yang berdampingan.


(40)

- I = Random, yaitu suatu hubungan yang tidak mencerminkan suatu pola sebaran tertentu (acak) antar petak tambak yang berdampingan.

- I < I (random) disebut Auto correlation Negatif, yaitu hubungan yang mencerminkan pola sebaran dengan pengaruh yang saling berkebalikan yaitu apabila salah satu petak tambak hasil produksinya meningkat maka tambak yang berdampingan akan cenderung turun produksinya.

Rumus yang digunakan untuk perhitungan auto correlation adalah sebagai berikut:

(

)(

)

(

)

(

)

(

)

= Σ ΣΣ ΣΣ = 1 -n 1 -random I Z -Zi Z -Zj Z -Zi Wij Wij n I 2

I adalah Indeks Moran, n adalah jumlah petak tambak, Z adalah hasil produksi (kg), dan Z adalah hasil produksi rata-rata (kg), i = j adalah petak tambak dan Wij adalah matriks spatial autocorrelation.

Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam melakukan perhitungan dalam penelitian ini adalah menentukan pola sebaran spasial dengan membuat matrik spatial autocorrelation, dimana matrik tersebut diisi dengan notasi angka 0 (nol) dan 1 (satu) sesuai dengan pola sebaran yang ingin ditetapkan. Angka 0 berarti mengindikasikan tidak ada korelasi antara petak tambak yang berpasangan, sedangkan angka 1 mengindikasikan adanya korelasi antara petak tambak yang berpasangan. Pola sebaran spatial yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menetapkan notasi angka 1 (satu) untuk petak tambak yang saling berdampingan, sedangkan angka 0 (nol) untuk petak tambak yang tidak saling berdampingan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa operasional pelaksanaan budidaya udang dilapangan yaitu hubungan antara petak tambak yang saling berdampingan adalah lebih erat dibandingkan dengan petak tambak yang tidak berdampingan. Penetapan pola sebaran spasial tersebut dimaksudkan agar analisis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran korelasi spasial produksi tambak yang berada dalam satu kawasan hamparan tambak.

Dalam penelitian ini perhitungan auto correlation hanya dilakukan pada pola tebar kepadatan benur 15 ekor per m2. Hal ini disebabkan karena pada


(41)

pelaksanaan pola tebar 15 ekor/m2 ininberlangsung sebanyak 5 (lima) periode musim tanam sehingga semua petak tambak dapat terwakili, sedangkan pada pola tebar kepadatan benur 4 dan 20 ekor/m2 hanya dilakukan dalam 1 (satu) periode musim tanam saja sehingga pada pelaksanaannya tidak semua petak pernah (terwakili) melaksanakan penebaran benur. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu berdasarkan periode musim tanam dan tahun dengan rincian 1) periode musim tanam yaitu : I; II; III; IV dan V dan 2) tahun yaitu : 1993; 1994; 1995 dan total (tahun 1993 sampai 1995).


(42)

4.1. Gambaran umum lokasi

Secara administratif lokasi Proyek Perintis Tambak Inti Rakyat (TIR) Transmigrasi Jawai termasuk dalam wilayah Dusun Kalangbahu, Desa Jawai Laut , Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Ditinjau dari posisi geografis terletak diantara 1°12’13” - 1°16’13” Lintang Utara dan 108°58’03” - 109°00’10” Bujur Timur.

Batas batas wilayah lokasi proyek : - Sebelah Utara : Dusun Ramayadi. - Sebelah Timur : Sungai Batang. - Sebelah Barat : Laut Cina Selatan - Sebelah Selatan : Sungai Sambas Besar.

Lokasi Tambak Inti Rakyat (TIR) Transmigrasi Jawai terletak di pantai Barat Kalimantan Barat bagian Utara disekitar muara sungai Sambas yang berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan. Untuk mencapai lokasi dari kota Pontianak dapat ditempuh dengan menggunakan jalan darat sejauh ± 185 Km sampai ke kota Pemangkat. Dari kota Pemangkat perjalanan dilanjutkan

menyeberangi muara sungai Sambas yang mempunyai lebar cukup besar yaitu ±

1,8 km dengan menggunakan perahu bermotor yang memakan waktu sekitar 0,5 jam untuk sampai ke lokasi. Mata pencaharian masyarakat setempat pada umumnya adalah sebagai petani dengan usaha kebun kelapa. Mata pencaharian lain dari sebagian masyarakat setempat adalah sebagai nelayan dan pedagang kecil. Untuk mengetahui gambaran mengenai lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.


(43)

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

4.2. Gambaran umum proyek

Proyek perintis TIR transmigrasi Jawai adalah merupakan proyek transmigrasi umum

dengan pola perikanan usaha tambak yang pertama dilakukan di Indonesia. Proyek ini dimulai pada tahun 1990, namun proyek ini stagnan sejak tahun 1996. Pendanaan proyek ini dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Kredit Koperasi yaitu Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Dana APBN dipergunakan untuk biaya pembangunan saluran irigasi tambak, perumahan dan fasilitas umum transmigran, sedangkan dana Kredit Koperasi dipergunakan untuk biaya pembangunan pencetakan petak tambak dan operasional budidaya udang yang selanjutnya menjadi beban kredit plasma.

4.2.1. Profil stakeholder

Perusahaan inti pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah PT. Ciptawindu Khatulistiwa (PT. CWK) yaitu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat Nomor 212 Tahun

Lokasi Penelitian


(44)

1990. PT. Ciptawindu Khatulistiwa adalah perusahaan lokal yang sebelumnya sudah bergerak dibidang pertambakan udang dan berkantor pusat di Pontianak Kalimantan Barat. PT. Ciptawindu Khatulistiwa sebagai perusahaan inti dalam mendukung pengelolaan proyek perintis TIR transmigrasi Jawai telah

membangun pembibitan udang (hatchery) di Desa Pasir Panjang Singkawang dan

cold storage untuk menampung hasil panen plasma di Desa Wajok Mempawah. Namun setelah proyek ini mengalami stagnasi, keberadaan dari perusahaan inti sekarang tidak jelas.

Petani plasma pada proyek TIR transmigrasi Jawai adalah transmigran yang berasal dari Pulau Jawa dan penduduk lokal, yaitu; 1) transmigran dari Jawa Barat, 2) transmigran dari Jawa Tengah, 3) transmigran dari Jawa Timur dan 4) penduduk lokal atau biasa disebut APPDT (Alokasi Pemukiman Penduduk Daerah Terpencil). Alokasi lahan yang disediakan bagi plasma pada TIR Transmigrasi Jawai untuk setiap kepala keluarga (KK) adalah sebagai berikut a) lahan tambak = 0,50 ha, b) lahan pekarangan = 0,25 ha. Keberadaan plasma proyek TIR transmigrasi Jawai berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Bulan Maret 2006 didapatkan bahwa jumlah plasma yang berasal dari Pulau Jawa yang masih bertempat tinggal di lokasi permukiman transmigrasi sebanyak 4 (empat) kepala keluarga (KK) dengan mata pencaharian sebagai petambak tradisional, sedangkan plasma lokal (APPDT) telah kembali ke rumahnya masing-masing dan tidak bertempat tinggal lagi di lokasi permukiman transmigrasi.

Kelembagaan plasma pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai terhimpun dalam satu wadah Koperasi Unit Desa yang dinamakan KUD. Cipta Bina Sejahtera. KUD Cipta Bina Sejahtera adalah salah satu contoh lembaga dalam proyek ini yang dibentuk secara instant karena didasarkan pada suatu keadaan yang mendesak dalam rangka untuk memenuhi persyaratan dalam proses pencairan kredit.

Bank BPD Kalbar yang sekarang ini bernama Bank Kalbar adalah merupakan bank pelaksana yang bertindak menyalurkan kredit untuk proyek perintis TIR transmigrasi Jawai. Pemerintah Daerah adalah merupakan pembina dalam proyek TIR transmigrasi jawai. Institusi pemerintah (pada saat itu) yang yang terlibat langsung pada pelaksanaan pengelolaan proyek perintis TIR


(45)

Transmigrasi Jawai adalah sebagai berikut 1) Departemen Transmigrasi & PPH, 2) Direktorat Jenderal Perikanan, 3) Departemen Koperasi, 4) Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat, 5) Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas.

4.2.2. Pelaksanaan proyek

Pelaksanaan pembangunan fisik pencetakan tambak pada proyek TIR transmigrasi Jawai adalah sebanyak 376 petak tambak dengan rincian sebagai berikut 1) Tahun Anggaran 1990/1991 sebanyak 150 petak tambak, 2) Tahun Anggaran 1991/1992 sebanyak 150 petak tambak, 3) Tahun Anggaran 1992/1993 sebanyak 76 petak tambak. Pelaksanaan pembangunan permukiman transmigrasi yang diperuntukan bagi Plasma adalah sebanyak 400 unit rumah dengan rincian sebagai berikut 1) Tahun Anggaran 1990/1991 sebanyak 150 unit rumah, 2) Tahun Anggaran 1991/1992 sebanyak 150 unit rumah, 3) Tahun Anggaran 1992/1993 sebanyak 100 unit rumah. Pelaksanaan penempatan transmigran adalah sebanyak 367 KK (Kepala Keluarga) dengan perbandingan 58 % adalah transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa dan 42 % dari APPDT. Adapun perincian penempatan transmigran adalah sebagai berikut 1) Tahun Anggaran 1990/1991, penempatan transmigrasi sebanyak 150 KK yang terdiri 98 KK berasal dari pulau Jawa dan 52 KK dari APPDT, 2) Tahun Anggaran 1991/1992, penempatan transmigrasi sebanyak 150 KK yang terdiri 97 KK berasal dari pulau Jawa dan 53 KK dari APPDT, 3) Tahun Anggaran 1993/1994, penempatan Transmigrasi sebanyak 67 KK yang terdiri 17 KK berasal dari pulau Jawa dan 50 KK dari APPDT. Sampai dengan kondisi terakhir jumlah tambak yang dapat dikerjakan adalah sebanyak 376 petak tambak, sedangkan rumah yang tersedia yang dibangun melalui Daftar Isian Proyek (DIP) Departemen Transmigrasi untuk plasma adalah sebanyak 400 unit rumah yang berarti target penempatan transmigrasi sebanyak 400 KK petani plasma tidak dapat dipenuhi, hal ini disebabkan karena adanya kendala dalam pembebasan lahan.

Komoditas udang yang dibudidayakan adalah udang windu (Pennaeus monodon). Tingkat teknologi budidaya yang diterapkan pada awalnya adalah diprogramkan untuk pola tebar dengan tingkat kepadatan benur sebanyak 4


(46)

ekor/m2. Namun dalam perjalanannya terjadi perubahan pola padat tebar benur yaitu 1) Pola 4 – 6 ekor/m2, penebaran benur dimulai bulan Mei 1991, dan 2) Pola 20 ekor/m2, penebaran benur dimulai bulan September 1992, serta 3) Pola 15 ekor/m2, penebaran benur dimulai bulan Pebruari 1993. Pengambilan air laut

(intake) sebagai sumber air untuk budidaya udang pada awal pembangunan proyek dilakukan melalui Sungai Pasir yang merupakan anak sungai di dekat muara Sungai Sambas Besar. Karena adanya faktor kendala penebaran benur akibat rendahnya kadar garam (salinitas) perairan pada periode tertentu saat musim penghujan, maka dilakukan pekerjaan pembuatan saluran (sudetan) langsung ke Laut Cina Selatan yang bersifat sementara melalui tambak Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Barat dengan tujuan untuk meningkatkan kadar salinitas yang dibutuhkan pada saat penebaran benur. Sudetan saluran tersebut mengandung kelemahan dari segi teknis budidaya karena letaknya yang memperpendek jarak antara saluran pemasukan (intake) dengan saluran sekunder pembuang (secondary drainage canal). Berdasarkan pengalaman tersebut, maka dilakukan pekerjaan pembuatan saluran permanen yang berlokasi tepat di antara muara Sungai Sambas Besar dan Laut Cina Selatan sebagai sumber untuk pengambilan air laut.

4.2.3. Pembinaan plasma

Pembinaan plasma dari aspek sosial dilakukan oleh Departemen Transmigrasi, yang pelaksanaannya di lokasi permukiman transmigrasi dibawah koordinasi kepala unit permukiman transmigrasi (KUPT), sedangkan pembinaan plasma dari aspek teknis budidaya udang dilakukan oleh perusahaan inti yang pada tingkat operasional di lapangan dilakukan oleh badan pengelola. Sistematika pelaksanaan pembinaan plasma oleh badan pengelola untuk teknis budidaya udang pada proyek TIR transmigrasi Jawai dapat dijabarkan pada Gambar 3.


(47)

Gambar 3. Sistematika pembinaan teknis budidaya

4.3. Gambaran fisik proyek

4.3.1. Sarana/prasarana pendukung

Lokasi proyek TIR transmigrasi Jawai yang dapat dikatakan terpencil yaitu di sebelah utara Propinsi Kalimantan Barat tentunya memberikan dampak positif dan negatif dalam pengelolaan proyek. Aspek positif dari keberadaan lokasi proyek yang terpencil diantaranya adalah lingkungan terutama perairan yang belum tercemar, sedangkan aspek negatif adalah akses menuju lokasi proyek terutama transportasi yang selain harus ditempuh melalui jalan darat juga melalui sungai . Gambaran mengenai sarana/prasarana dalam mendukung kegiatan operasional budidaya udang di lokasi proyek perintis TIR transmigrasi Jawai dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Pengadaan sarana produksi tambak (saprotam).

Pengadaan pakan masih merupakan faktor pembatas karena harus didatangkan dari Pulau Jawa karena belum ada pabrik pakan di Kalimantan Barat, demikian juga untuk pengadaan kapur dan obat-batan. Pengadaan benur dapat berasal dari benur lokal karena di Kalimantan Barat sudah terdapat perusahaan pembibitan udang (hatchery), namun hatchery tersebut selama ini hanya memproduksi benur udang windu (Pennaeus monodon). Pengadaan bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar dapat diakses melalui SPBU terdekat yaitu dari kota Pemangkat melalui jalan sungai dengan menggunakan perahu

Site Manager

Kepala Divisi

Kepala Unit

Kepala Blok

Ketua Kelompok Plasma


(48)

motor milik SPBU yang sudah dilengkapi dengan tanki solar yang membutuhkan waktu perjalanan sampai ke lokasi proyek ± 20 menit.

2) Pemasaran

Perusahaan cold storage untuk menampung hasil produksi udang sudah terdapat di kota Pontianak. Hal umum yang biasa dilakukan oleh cold storage

untuk pelaksanaan sizing dan penimbangan hasil panen biasanya dilakukan di lokasi tambak, tetapi untuk hasil panen yang relatif sedikit biasanya dilakukan oleh para pengumpul udang lokal yang tersebar di beberapa tempat kota kecamatan.

3) Transportasi

Akses menuju lokasi proyek dari Kota Pemangkat dilakukan melalui transportasi air yaitu menyeberangi muara Sungai Sambas Besar. Sarana transportasi air dalam menunjang operasional proyek dapat dilakukan dengan menggunakan perahu motor air milik masyarakat setempat, sedangkan untuk kegiatan bongkar muat barang dilakukan oleh buruh setempat.

4.3.2. Fisik tambak

Kondisi fisik tambak pada saat awal pembangunan proyek

Luas bersih setiap petak tambak adalah 4.500 m2, sedangkan luas kotor tambak yang dihitung berdasarkan dari as ke as adalah 5.000 m2.Satu deret petak tambak yang berdampingan disebut Jalur, sedangkan diantara dua jalur tambak yang ditengahnya terdapat saluran tersier pemasukan (STP) disebut Blok. Kumpulan beberapa Blok disebut Unit. Berikut ini adalah tata letak tambak yang terdapat pada Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai, yaitu a) Unit I terdiri dari Jalur A, B, C, D, E dan F atau Blok AB, CD dan EF, b) Unit II terdiri dari Jalur G, H, I, J, K, L dan LL atau Blok GH, IJ, KL dan LL, c) Unit III terdiri dari Jalur M, N, O, P, Q dan R atau Blok MN,OP dan QR, d) Unit IV terdiri dari Jalur S, T, U, V dan W atau Blok ST, UV dan W, e) Unit V terdiri dari Jalur X dan Y atau Blok XY. Sebagai gambaran mengenai tata letak (lay out design), sarana dan prasarana tambak dapat dilihat pada Lampiran 3.

Sistim irigasi pertambakan pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai sudah sesuai dengan persyaratan teknis budidaya karena sudah terpisah antara


(49)

saluran pemasukan (supply) dengan saluran pembuangan (drainage). Gambaran mengenai sistem tata air dalam satu blok dapat dilihat pada Gambar 4.

Laut

Sal. Saluran tersier pembuang (drainage) Sek. Suplai Sal.

Pump Saluran tersier pemasukan (supply) Sek.

Drain Saluran tersier pembuang (drainage)

Dari Saluran Primer Suplai

Gambar 4. Tata air tambak untuk satu blok

Menurut PT. Lenggogeni (1990), berdasarkan hasil pengukuran topografi diperoleh elevasi lahan rata-rata adalah + 1,50 m sedangkan untuk kisaran pasang rata-rata air laut (tidal range) adalah 1,42 m sehingga tidak terjadi genangan selama pasang tinggi. Hal ini berarti energi pasang surut tidak dapat digunakan untuk pengairan budidaya udang. Oleh karena itu untuk mengalirkan air ke petak tambak harus menggunakan alat bantu pompa. Untuk lebih jelasnya tentang mekanisme dan gambaran elevasi tata air saluran pemasukan (supply canal) dapat dilihat pada Gambar 5.

Sal. Tersier Pemasukan Pompa + 3.15

Keterangan : Amplitudo Pasang Surut

+ 1.50 1.40 (HHWL)

+ 1.15 Tanah Dasar Asli

Berm

Dasar Tambak 0.00 (LLWL)

- 1.00 Sal. Sekunder Pemasukan

- 2.00 Sal. Primer Pemasukan

Muara Sungai Sambas


(50)

Tata air pada saluran pemasukan (supply canal) dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) muara sungai Sambas Besar yang berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan adalah merupakan sumber air pemasukan untuk budidaya udang. 2) dari muara tersebut pada saat pasang air mengalir melalui saluran intake dari laut kemudian menuju saluran primer sampai ke saluran sekunder pemasukan. 3) dari saluran sekunder pemasukan, karena adanya perbedaan elevasi air dialirkan ke saluran tersier pemasukan yang terbuat dari beton dengan menggunakan pompa. 4) dari saluran tersier pemasukan tersebut air di distribusikan melalui inlet ke masing-masing petak tambak.

Tata air pada saluran pembuangan (drainage canal) dapat dijabarkan sebagai berikut: 1)dari petak tambak air dibuang melalui outlet, kemudian 2) dari

outlet tambak air dialirkan melalui saluran tersier pembuang menuju saluran sekunder pembuang dan 3) dari saluran sekunder pembuang, kemudian air mengalir langsung menuju laut Cina Selatan. Sebagai gambaran tentang elevasi tata air pada saluran pembuangan (drainage canal) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Elevasi tata air tambak saluran pembuangan (drainage canal)

Pembangunan fisik proyek perintis TIR transmigrasi Jawai dimulai pada bulan September 1990 yang meliputi pekerjaan pembangunan saluran irigasi dan pencetakan tambak. Tabel 4 merupakan gambaran dimensi konstruksi pada saat awal pembangunan fisik tambak yang dalam penelitian ini menjadi pedoman dasar perhitungan total biaya investasi pekerjaan rehabilitasi konstruksi tambak dalam rangka untuk mengoperasikan kembali proyek TIR transmigrasi Jawai.

Tanggul Tambak + 2.65 Permukaan air tambak

+ 1.50 + 1.15 Tanah Dasar Asli

Berm Dasar Tambak

0.00 Sal. Tersier Pembuang

- 1.00 Sal. Sekunder Pembuang


(1)

Lampiran 26. Tata tertib persidangan forum musyawarah petani tambak udang

TATA TERTIB PERSIDANGAN

FORUM MUSYAWARAH PETANI TAMBAK UDANG PROYEK TIR TRANSMIGRASI DI JAWAI KALIMANTAN BARAT

PEMBUKAAN

Proyek Tambak Inti Rakyat Transmigrasi di Jawai merupakan proyek kerjasama dalam bidang pertambakan udang antara sejumlah petambak udang di Jawai – Kabupaten sambas – Kalimantan Barat yang bertindak sebagai Plasma dengan PT. Ciptawindu Khatulistiwa sebagai Perusahaan Inti.

Sebagai konsekuensi dari kerjasama dalam proyek TIR ini, maka antara Plasma dengan Perusahaan Inti terikat dalam hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Jika salah satu pihak tidak menepati hak dan kewajibannya, maka kerjasama proyek TIR ini tidak akan terjadi.

Untuk memelihara kerjasama yang baik diantara kedua belah pihak, perlu diadakan suatu pertemuan rutin yang berfungsi sebagai Forum Musyawarah. Musyawarah tersebut harus berjalan secara efektif dan efisien, oleh karena itu sebagai Forum Musyawarah harus memiliki Tata Tertib Musyawarah sebagai berikut :

Pasal I

FUNGSI FORUM MUSYAWARAH

Fungsi Forum Musyawarah Petani Tambak Udang (FMPTU) proyek TIR Transmigrasi di Jawai adalah :

1. Membahas materi perjanjian yang menyangkut Plasma dengan Perusahaan Inti.

2. Menetapkan standar Harga Penyesuaian.

3. Membahas permasalahan yang dianggap tidak sejalan antara Pihak Plasma dengan Pihak Inti.

4. Membahas program peningkatan dan pengembangan proyek TIR Transmigrasi.

5. Menyampaikan dan membahas aspirasi anggota Plasma/Inti. Pasal 2

WAKTU MUSYAWARAH 1. Musyawarah dilakukan setiap satu bulan sekali.

2. Jika sebelum masa musyawarah berikutnya terdapat permasalahan yang harus segera dibahas, maka dapat diselenggarakan persidangan khusus.


(2)

Lampiran 26. Lanjutan

Pasal 3

PESERTA MUSYAWARAH

1. PAN ASIA Research & Communication Service, 1 (satu) orang bertindak sebagai Moderator / Ketua Forum.

2. Badan Pengelola Proyek, 2 (dua) orang, diwakili oleh Manager dan Wakil Manager, bertindak sebagai anggota.

3. Dewan Direksi PT. Ciptawindu khatulistiwa diwakili oleh 1 (satu) orang Direktur sebagai anggota.

4. Kelompok Plasma, 19 kelompok diwakili oleh Ketua dan Sekretaris sebagai anggota.

5. Koperasi Cipta Bina Sejahtera diwakili oleh Ketua dan Sekretaris sebagai anggota.

6. KUPT sebagai anggota.

7. Kandepkop. Singkawang sebagai undangan dan narasumber. 8. Dinas Perikanan Singkawang sebagai undangan dan narasumber. 9. Kandep Transmigrasi sebagai undangan dan narasumber.

Pasal 4

PROSEDUR PENYELENGGARAAN MUSYAWARAH

1. PAN ASIA Research & Communication Service mempersiapkan segala bahan yang akan dibahas dalam persidangan.

2. PAN ASIA Research & Communication Service akan menyampaikan undangan kepada peserta Forum yang dilampiri dengan agenda persidangan beserta bahan yang akan dibahas dalam persidangan tersebut satu hari sebelum pelaksanaan.

3. Persidangan dapat diselenggarakan, hanya jika dihadiri seluruh anggota atau 2/3 dari jumlah anggota.

4. Seseorang anggota dapat mewakilkan kepada yang lain, jika terdapat alasan yang dapat diterima.

Pasal 5

TATA CARA PELAKSANAAN MUSYAWARAH

1. Ketua Forum membuka musyawarah dan menguraikan Rancangan Agenda Musyawarah.

2. Membahas Rancangan Agenda Musyawarah untuk ditetapkan sebagai Agenda Musyawarah.

3. Membahas semua bahan sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan. 4. Keputusan dan ketetapan musyawarah harus dicapai dengan mufakat dan

bukan berdasarkan suara terbanyak.

5. Jika mengalami kemacetan, sidang diskors untuk kemudian masing-masing anggota mengadakan konsultasi.


(3)

Lampiran 26. Lanjutan

6. Semua keputusan dan ketetapan musyawarah harus ditulis dan ditandatangani oleh Ketua Musyawarah dan disyahkan oleh Dewan Direksi PT. Ciptawindu Khatulistiwa.

Pasal 6

KETENTUAN UMUM

1. Tata Tertib Musyawarah ini ditetapkan oleh musyawarah dan hanya dapat diubah oleh musyawarah.

2. Tata Tertib ini berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di : Jawai Kabupaten Sambas

Pada Tanggal : 1 Maret 1992. Ketua Musyawarah

(Drs. Fadhlillah Dj.) Disyahkan pada tanggal : 2 Maret 1992.

Direksi PT. Ciptawindu Khatulistiwa A/n Manager Badan Pengelola,


(4)

Lampiran 27. Peta lokasi proyek

Lokasi Proyek Perintis TIR


(5)

Lampiran 28. Foto lokasi proyek perintis TIR transmigrasi Jawai


(6)

Lampiran 28. Lanjutan