Land Use Change, Regional Spatial Plan And Its Implication For Implementation Of Redd+ Initiative At Katingan District, Central Kalimantan Province.

i

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN, RENCANA TATA
RUANG WILAYAH DAN IMPLIKASINYA BAGI
PELAKSANAAN INISIATIF REDD+ DI KABUPATEN
KATINGAN, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

NUGROHO ADI UTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Penggunaan
Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif
REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Nugroho Adi Utomo
NIM A156110111

iii

RINGKASAN
NUGROHO ADI UTOMO. Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang
Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten
Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh SANTUN R. P.
SITORUS dan IDA AJU PRADNJA RESOSUDARMO.
Fenomena Perubahan Iklim yang terjadi saat ini kebanyakan diakibatkan
oleh emisi CO2 dari kegiatan industri dan berkurangnya luasan hutan. Salah satu

upaya mitigasi perubahan iklim adalah melalui pendekatan REDD+ (Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus) yang merupakan
upaya untuk menurunkan emisi dengan menghindari deforestasi dan degradasi
hutan. Menurut CIFOR (2010), ide REDD+ ini berbeda dengan kegiatan
konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial
untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Kabupaten
Katingan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang
saat ini ditunjuk sebagai provinsi pilot percontohan REDD+. Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan merupakan kebijakan payung dalam
penataan ruang di tingkat Kabupaten untuk pembangunan daerah. Inisiatif
REDD+ di Kabupaten Katingan diharapkan dapat sejalan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), di tengah permasalahan berupa menurunnya luasan
hutan dan bertambahnya luasan lahan produksi pertanian (padi, karet dan kelapa
sawit), serta belum tuntasnya RTRW.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis pola perubahan
penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain di Kabupaten Katingan; (2)
Menganalisis inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan pengalokasian
ruang pada RTRW dan Kawasan Hutan; (3) Menganalisis isi kebijakan
perencanaan tata ruang yang mendukung inisiatif REDD+; (4) Menganalisis
pendapat stakeholder atas munculnya inisiatif REDD+; (5) Merumuskan arahan

penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan.
Analisis data yang digunakan adalah : analisis perubahan penggunaan lahan,
analisis inkonsistensi penggunaan lahan, analisis isi, analisis hirarki proses (AHP),
dan analisis deskriptif. Analisis perubahan penggunaan lahan digunakan untuk
mengetahui trend perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan,
khususnya perubahan penggunaan lahan hutan. Analisis inkonsitensi penggunaan
lahan dilakukan untuk melihat konsistensi penggunaan lahan tahun 2012 dengan
RTRW dan juga kawasan hutan. Dua analisis lainnya, Analisis isi dan AHP,
digunakan untuk melihat elemen dasar dan proses REDD+ dalam dokumen
kebijakan rencana pembangunan Kabupaten dan preferensi stakeholder akan
keberlanjutan inisiatif REDD+. Analisis yang terakhir adalah analisis deskriptif,
digunakan untuk menganalisis hasil dari tujuan penelitian 1 – 4 sebagai arahan
penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan untuk keberlanjutan inisiatif
REDD+ di Kabupaten Katingan.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan hutan merupakan yang
dominan di Kabupaten Katingan, sebesar 60,47% (1.242.554 ha). Pola perubahan
penggunaan lahan hutan yang terjadi umumnya dari hutan menjadi semak
belukar/tanah terbuka kemudian terakhir berubah menjadi penggunaan lahan
tanaman tahunan/perkebunan, pertanian pangan dan pemukiman. Analisis


inkonsistensi penggunaan lahan menunjukkan tingkat inkonsistensi yang relatif
kecil, hanya 3,2 % dari pengalokasian ruang pada RTRW dan 2 % di kawasan
hutan.
Hasil analisis isi menunjukkan elemen dasar dan proses REDD+ terkandung
dalam dokumen perencanaan daerah. Dalam dokumen RTRW, secara berurutan
muatan elemen dasar dan proses REDD+ terbesar pada elemen manfaat tambahan,
reduksi emisi dan ekuitas. Sementara dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) secara berurutan muatan elemen dasar dan
proses REDD+ terbesar pada elemen manfaat tambahan, ekuitas dan reduksi emisi.
Preferensi stakeholder (pemerintah daerah, pemerintah pusat, LSM, perusahaan
dan masyarakat) menunjukkan ketertarikannya akan inisiatif REDD+ dengan
harapan bisa memperoleh manfaat langsung, disamping pertimbangan manfaat
tidak langsung, dan kekhawatiran kemungkinan potensi konflik yang akan muncul.
Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, inisiatif REDD+ sangat mungkin
dilaksanakan di Kabupaten Katingan dengan beberapa penyempurnaan pada
wilayah rencana tata ruang wilayah. Arahan dalam penyempurnaan rencana tata
ruang adalah alokasi ruang untuk inisiatif REDD+ sebaiknya direncanakan pada
kawasan lindung, dan sebagian kawasan budidaya (pada kawasan Hutan Produksi
dan kawasan Hutan Produksi Terbatas).


Kata kunci: Penggunaan Lahan, Tata Ruang, Preferensi stakeholder, REDD+,
Katingan

v

SUMMARY
NUGROHO ADI UTOMO. Land Use Change, Regional Spatial Plan and Its
Implication for Implementation of REDD+ Initiative at Katingan District, Central
Kalimantan Province. Under direction of SANTUN R. P. SITORUS and IDA
AJU PRADNJA RESOSUDARMO.
The phenomenon of climate change that occurs today mostly caused by CO2
emissions from industrial activities and forest loss. One of climate change
mitigation is through REDD+ approach (Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation Plus). According to CIFOR (2010), the idea of REDD+ is
different from the previous forest conservation activities as directly linked with
financial incentives for conservation aimed at storing carbon in forests. Katingan
is one of the districts in the province of Central Kalimantan is currently designated
as a REDD+ pilot project provinces. REDD+ initiatives in Katingan should go
hand in hand with the Regional Spatial Plan (RTRW) which is a fundamental
policy of regional development at district level, while facing the problems include

forest area decreased and land area of agricultural production increased (rice,
rubber and palm oil), as well as unfinished of RTRW.
This study aims: (1) to analyze the pattern of changes in the land use of
forest to other land uses in Katingan, (2) to analyze inconsistencies with existing
land use with space allocation on RTRW and Forest Area, (3) to analyze the
contents of spatial plan policies that support the initiative REDD+, (4) to analyze
the opinion of stakeholders on the emergence of REDD+ initiatives; (5) to
formulate improvement direction of Katingan’s RTRW.
Analysis of the data used are: analysis of land use changes, land use
inconsistency analysis, content analysis, analytical hierarchy process (AHP), and
descriptive analysis, respectively, analysis of land use changes are used to
determine the trend of the development of land use in particular Katingan forest
land use. Inconsistency analysis of land use change is made to see the consistency
of land use in 2012 with RTRW and forests status. Two other analysis, content
analysis and AHP, are used to look at basic element and process of REDD+ in
district development plan policy documents and stakeholder preferences for
sustainability of REDD+ initiatives. The last analysis is descriptive analysis, is
used to analyze the results of the research objectives 1 – 4 as Katingan
improvement direction of Katingan’s RTRW for the sustainability of REDD+
initiatives in Katingan.

The study result shows a forest land use is dominant in Katingan, amounting
to 60.47% (1,242,554 ha). Forest land use change patterns that generally occur
were from forest to shrub/open land and finally turned into land use of annual
crops/plantation, food dryland agriculture and settlement. Analysis of land use
inconsistencies indicate a relatively small level of inconsistency, only 3,2 % in the
RTRW and 2% in the forest status.
The results of the content analysis showed the basic element and process
REDD+ contained within the local planning documents. In RTRW documents,
sequentially the biggest basic element and process REDD+ are co-benefit,
emission reduction and equity, while in the document of Long Term Regional
Development Plan (RPJPD), sequentially the biggest basic element and process

REDD+ are co-benefit, equity and emission reduction. The preferences of
stakeholders (local government, central government, NGOs, companies and
communities) showed interest in the REDD+ initiative in the hope of direct
benefit, in addition to consideration of indirect benefits and possible worries of
potential conflicts that will arise.
Based on the overall study results, it is possible REDD+ initiatives
implemented in Katingan with some improvements in Katingan District spatial
plan. Directives consideration improvements of RTRW are the allocation of space

for REDD+ initiatives should be planned on a protected area and litle piece of
productive area (Production Forests area and Limited Production Forests area).
Keywords: Land Use, Spatial Plan, Stakeholder Preferences, REDD+, Katingan

vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN, RENCANA TATA
RUANG WILAYAH DAN IMPLIKASINYA BAGI
PELAKSANAAN INISIATIF REDD+ DI KABUPATEN
KATINGAN, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH


NUGROHO ADI UTOMO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F.

iii

Judul Tesis : Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan
Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten

Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
Nama
: Nugroho Adi Utomo
NIM
: A156110111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ida Aju Pradnja Resosudarmo
Anggota

Prof Dr Ir Santun R. P. Sitorus
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah


Prof Dr Ir Santun R. P. Sitorus

Tanggal Ujian: 30 Juli 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
Lapang yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai Maret 2013 ini
mengambil isu tata ruang di kabupaten yang dikaitkan dengan REDD+. Adapun
judul tesisnya adalah mengenai Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata
Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten
Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan ketua
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas segala motivasi, arahan, dan
bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Ida Aju Pradnja Resosudarmo selaku anggota komisi pembimbing atas
segala dukungan dan motivasi tiada henti, arahan, serta bimbingan yang
diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini.
3. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F. selaku penguji luar komisi atas segala
masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini.
4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB.
5. Dr. William Sunderlin, selaku Project Leader dari Global Comparative Study
on REDD+ (GCS-REDD) Module 2 yang telah memberikan dukungan
finansial bagi kegiatan pengumpulan data di lapangan.
6. Pihak Manajemen CIFOR yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
mengikuti studi pasca sarjana ini.
7. Marco, Aries dan Siraz atas kesediaannya menjadi rekan diskusi untuk mencari
inspirasi-inspirasi baru dalam penelitian.
8. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun reguler angkatan 2011 dan semua
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.
Rasa bangga, gembira dan haru bersamaan dengan ucapan terima kasih
sangat spesial teruntuk isteriku tercinta Yanti Rismayanti, SHut dan putra-putraku
Dzaky Abiyyu Thariq dan Ali Hakim beserta seluruh keluarga, atas segala do’a,
dukungan, kasih sayang dan pengorbanan tanpa kenal lelah yang telah diberikan
selama ini. Innallaha ma’asshabiriin. Semoga pengalaman berharga ini menjadi
isi sekaligus pembungkus kado yang indah di akhirat kelak.
Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga
dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya,
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terimaksih.

Bogor, Agustus 2013
Nugroho Adi Utomo

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
5
5
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan dan Penggunaan Lahan
2.2 Penataan Ruang
2.3 Perubahan Iklim dan REDD+
2.4 Elemen Dasar, Proses dan Prinsip Implementasi REDD+
2.5 Indikator Harapan dan Kekhawatiran REDD+
2.6 Preferensi dan Persepsi Para Pihak

7
7
9
13
16
17
18

3 METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2 Jenis Data dan Alat
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.4 Metode Analisis Data

19
20
21
22
23

4 GAMBARAN UMUM DAN PERENCANAAN WILAYAH KABUPATEN
KATINGAN
31
4.1 Administrasi dan Karakteristik Fisik Wilayah
31
4.2 Aktivitas Perekonomian Daerah
35
4.3 Kebijakan Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang
40
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan
5.2 Inkonsistensi RTRW Kabupaten dan Penunjukkan Kawasan Hutan
Kabupaten Katingan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012
5.3 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam Dokumen Perencanaan di
Kabupaten Katingan
5.4 Perkembangan Inisiatif REDD+, dan Preferensi Stakeholder
5.5 Arahan Kebijakan dalam RTRW Katingan terhadap inisiatif REDD+

45
45

63
72
79

6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran

82
82
83

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT PENULIS

84
96

60

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV
Perkembangan luasan (ha) 3 besar komoditi pertanian di Katingan
Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik
Analisis dan Keluaran
Tabel Responden wawancara dan kuesioner preferensi para pihak
Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2006
Arah perubahan penggunaan lahan
Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW)
dengan Penggunaan Lahan Tahun 2012 di Kabupaten Katingan
Tahapan Prosedur Analisis Isi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Katingan atas
dasar harga berlaku (ADHB) dan harga konstan (ADHK) tahun 2000
periode 2003 – 2011
Kontribusi masing-masing Lapangan Usaha terhadap PDRB Kabupaten
Katingan, Periode 2003 s/d 2011 (Atas Dasar Harga Konstan)
Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Katingan Tahun
2008 – 2011
Potensi dan Produksi Ternak Kabupaten Katingan Tahun 2004 – 2007
Data Luas, dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Katingan
Tahun 2003 – 2007
Target dan Realisasi Produksi Kayu Bulat HPH
Rencana Pola Ruang Kabupaten Katingan 2011 – 2031
Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000, 2006 dan 2012
Luas dan Laju Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan
tahun 2000 – 2012
Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 –
2006
Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006 –
2012
Pola Perubahan Penggunaan Lahan berdasarkan penggunaan lahan
tahun 2000, 2006 dan 2012
Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap RTRW
Kabupaten Katingan
Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap Kawasan
Hutan Kabupaten Katingan menurut SK 529/2012
Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RPJPD
Kabupaten Katingan Tahun 2005 - 2025
Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RPJPD Kabupaten
Katingan tahun 2005 – 2025
Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RPJPD Kabupaten Katingan
tahun 2005 – 2025
Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RTRW
Kabupaten Katingan Tahun 2011 - 2031
Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RTRW Kabupaten
Katingan tahun 2011 – 2031

2
4
21
22
25
26
27
28

36
37
37
38
38
39
44
49
56
57
58
59
61
62
65
67
67
69
71

vii

28 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RTRW Kabupaten Katingan
tahun 2011 - 2031
29 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek
manfaat langsung
30 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek
manfaat tidak langsung
31 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek
biaya sosial - pertimbangan sosial
32 Sintesis Bobot Pertimbangan Seluruh Responden
33 Urutan Prefrensi Gabungan Seluruh Responden

71
74
75
76
77
78

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Kerangka Pemikiran Penelitian
Skema hubungan penataan ruang dan rencana pembangunan
Konsep tahapan Implementasi REDD di Indonesia
Sejumlah peristiwa penting yang berkaitan dengan proses penetapan
keputusan mengenai REDD+ di Indonesia
Peta Lokasi Penelitian
Bagan Alir Tahapan Penelitian
Diagram Alir pengolahan data penginderaan Jauh dengan kombinasi
metode klasifikasi terbimbing dan interpretasi visual
Struktur hirarki preferensi keberlanjutan REDD+ dengan AHP
Peta Kelerengan Kabupaten Katingan
Peta Geologi Kabupaten Katingan
Penduduk Kabupaten Katingan Tahun 2003 - 2011
Grafik kontribusi Sub Sektor dalam sektor Pertanian Kabupaten
Katingan
Penggunaan Lahan Hutan
Penggunaan Lahan Tanaman Tahunan
Penggunaan Lahan Pemukiman
Penggunaan Lahan Pertanian Pangan
Penggunaan Lahan Semak Belukar/Tanah Terbuka
Penutupan Lahan Tubuh Air
Persentase Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000,
2006 dan 2012
Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000
Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006
Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2012
Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 –
2012
Laju Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan periode
2000 - 2006 dan 2000 - 2012
Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Elemen Dasar dan Proses
REDD+ pada RPJPD Kab.Katingan 2005 – 2025.

6
10
14
15
20
23
25
30
33
34
35
36
46
46
47
47
48
48
50
51
52
53
55
56
66

26 Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Prinsip Pembangunan
Berkelanjutan pada RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031.
27 Tampilan user interface dari software expert choice 11
28 Urutan preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di
Katingan
29 Peta Overlay inisiatif REDD+ dengan RTRW Kabupaten Katingan

70
74
78
81

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Tanggal Akuisisi Citra Landsat tahun 2000, 2006 dan 2012
Tabel Nilai Indeks Konsistensi pada analisis hirarki proses (AHP)
Cuplikan Citra Landsat Tahun 2000 Kabupaten Katingan
Cuplikan Citra Landsat Tahun 2006 Kabupaten Katingan
Cuplikan Citra Landsat Tahun 2012 Kabupaten Katingan
Hasil Perhitungan Luas dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun
2000, 2006 dan 2012 di Kabupaten Katingan
Kuesioner untuk input data pada metode AHP
Arahan Pertanyaan Wawancara Semi Terstruktur

87
87
88
89
90
91
92
95

1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Planet bumi yang semakin berumur saat ini mengalami pemanasan global
(global warming). Dampaknya adalah terjadi perubahan iklim yang tidak menentu,
musim hujan yang tidak semestinya dan musim kemarau yang datang terlambat.
Hal tersebut sebetulnya dipicu oleh kompetisi negara-negara maju di seluruh
dunia yang berlomba-lomba mempercepat laju perekonomian melalui industri
yang merupakan penyumbang emisi CO2 bagi planet bumi. Demikian juga dengan
negara-negara berkembang yang memiliki banyak hutan, turut menyumbang emisi
CO2 melalui illegal logging dan kebakaran hutan. Hutan yang seharusnya bisa
menjadi penyerap emisi, saat ini kondisinya begitu kritis dan perlu dipertahankan
bahkan ditingkatkan lebih banyak lagi. Hal inilah yang kemudian digagas oleh
banyak pihak dan salah satunya adalah melalui pendekatan REDD+ (Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation plus). Menurut CIFOR
(2010), ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena
dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan
menyimpan karbon di hutan. Bahkan Pemerintah Norwegia menjanjikan sejumlah
dana pada Indonesia, melalui LOI (Letter of Intent/Nota kesepakatan) Norwegia
tertanggal 26 Mei 2010 dimana pihak Norwegia akan memberikan insentif sebesar
1 milyar US$ jika Indonesia berkomitmen tinggi dan berhasil menurunkan emisi
hingga 26 % sebelum tahun 2020.
Menurut Kementerian Kehutanan (2010) dalam hal implementasi REDD+
di Indonesia , ada 3 tahapan penting yaitu fase persiapan di tahun 2007 – 2008
(identifikasi iptek dan kebijakan), fase kesiapan di tahun 2009 – 2012 (persiapan
metodologi dan pilot project) dan fase implementasi setelah tahun 2012 (sesuai
aturan bila REDD+ masuk dalam skema UNFCCC1- pasca 2012). Pada saat ini
ada beberapa pilot project yang sudah dilakukan, dan Kalimantan Tengah
merupakan salah satu provinsi yang dikembangkan inisiatif REDD+. Dalam
lingkup kabupaten, khususnya di Kabupaten Katingan, pengembangan wilayah
suatu daerah sangat ditentukan oleh proses perencanaan tata ruang di tingkat
kabupaten. Menurut Niin (2010) persentase luasan penggunaan lahan hutan di
Kabupaten Katingan pada tahun 2006 mencapai 69,4%. Luasan ini cukup
potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi REDD+, tentunya dengan
mempertimbangkan penataan ruang di Kabupaten Katingan serta melihat
kebijakan pemerintah pusat berupa program REDD+ yang terintegrasi.
Sejauh ini, secara keruangan, inisiatif REDD+ yang ada di Kabupaten
Katingan dikuatkan melalui SK. 6315/Menhut-VII//IPSDH/2012 tentang
Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) Pemanfaatan
Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
dan Areal Penggunaan Lain (Revisi III). Kawasan hutan dalam area PIPIB ini
sering diistilahkan dengan kawasan moratorium. Moratorium ini dalam
perkembangannya sudah mengalami 4 kali revisi, terakhir pada akhir Mei 2013
lalu (Tabel 1). Skema Inisiatif REDD+ lainnya di Kabupaten Katingan adalah

1

United Nations Framework Convention on Climate Change

2

rencana IUPHHK-RE (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi
Ekosistem) oleh PT. Rimba Makmur Utama.
Menurut Niin (2010), terjadi penurunan luasan penggunaan lahan hutan di
Kabupaten Katingan selama 16 tahun (periode 1990 – 2006) hingga 243.255 ha.
Sampai dengan tahun 2000, produksi kayu melalui perusahaan Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) masih terus terjadi, namun pada tahun selanjutnya dimana HPH
banyak mengalami kerugian dan gulung tikar, peralihan penggunaan lahan hutan
lebih banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian, tanaman tahunan maupun
permukiman. Kecenderungan adanya perubahan penggunaan lahan ini akan terus
berlangsung dalam pembangunan Kabupaten Katingan. Inisiatif REDD+ yang
muncul dari pemerintah pusat merupakan suatu peluang yang baik bagi
pemerintah daerah, meskipun sejauh ini belum menghasilkan sesuatu apapun,
khususnya dalam hal peningkatan perekonomian kabupaten.
Tabel 1 Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV
No.

PIPIB

No. SK Menhut

Tanggal

1

PIPIB

20 Juni 2011

2

PIPIB
Revisi I
PIPIB
Revisi II
PIPIB
Revisi III
PIPIB
Revisi IV

SK.323/MenhutII/2011
SK.7416/MenhutVII/IPSDH/2011
SK.2771/MenhutVII/IPSDH/2012
SK.6315/MenhutVII/IPSDH/2012
SK.2796/MenhutVII/IPSDH/2013

3
4
5

Luas Moratorium (Ha)
69.144.073

Pengurangan
(Ha)
-

22 November
2011
16 Mei 2012

65.374.252

3.769.821

65.281.892

92,36

19 Nov 2012

64.796.237

485.655

16 Mei 2013

64.677.030

119.208

Sumber: Kementerian Kehutanan (2013)
Kabupaten Katingan merupakan salah satu Kabupaten dengan luasan hutan
mencapai sekitar 70 % dari total luas kawasan yang ada. Sebagai Kabupaten yang
relatif baru dimekarkan, sejak tahun 2002, wilayah ini berusaha menata tatanan
pemerintahan melalui kebijakan otonomi daerah. Persoalan di level provinsi pun
persis terjadi di kabupaten, penyelesaian multi dimensi diperlukan untuk dapat
mencari solusi yang optimal guna pembangunan Kabupaten Katingan ke depan
lebih baik lagi. Salah satunya adalah melalui telaah keruangan kabupaten yang
disajikan secara time series untuk kemudian dibandingkan dan bisa menemukan
konsistensi letak maupun posisi suatu wilayah. Sambil menata keruangan REDD+
yang baru akan digulirkan, diharapkan juga dapat memecah kebuntuan sekaligus
mencari solusi untuk menata ruang Kabupaten Katingan secara komprehensif.
Penataan ruang, menurut Rustiadi et al. (2011), memiliki tiga urgensi, yaitu
(a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b)
alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan
keadilan), dan (c) keberlanjutan (sustainability). Urgensi keberlanjutan ini sejalan
dengan inisiatif REDD+, yang mengupayakan untuk tetap melakukan konservasi
suatu wilayah kawasan berhutan sehingga pembangunan di tingkat kabupaten pun
bisa seimbang dalam pemenuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. Penelitian ini
mengkaji inisiatif REDD+ yang muncul serta proses perencanaan tata ruang di
Kabupaten Katingan, sehingga menjadi penting untuk melihat bagaimana
perubahan penggunaan lahan yang terjadi, menyandingkan kebijakan perencanaan

3

tata ruang di Kabupaten Katingan dengan kebijakan inisiatif REDD+ yang sudah
dimulai serta perlu melihat pendapat para pihak atas inisiatif REDD+ dengan
perencanaan tata ruang.

1.2 Perumusan Masalah
Pada dasarnya penataan ruang merupakan instrumen antara kebijakan dan
teknis yang menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan, sehingga
implementasi kegiatan pembangunan seharusnya mengacu pada rencana tata
ruang, yang di dalamnya terdapat strategi optimasi untuk mencapai tujuan dan
memperhatikan kendala-kendala dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan dan
pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Hampir 11 tahun Kabupaten Katingan membangun daerahnya sejak
pemekaran wilayah pada tahun 2002 dan menghadapi beberapa permasalahan
terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam daerah, proses penataan ruang dan
inisiatif REDD+. Permasalahan tersebut antara lain meliputi :
1. Penurunan luasan hutan dan peningkatan luasan areal pertanian
Niin (2010) mengatakan berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit terlihat
bahwa penggunaan lahan hutan mendominasi penggunaan lahan di Kabupaten
Katingan tahun 1990, 2000 dan 2006 dengan penyebaran di seluruh wilayah
Kabupaten. Persentase luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan
berturut-turut adalah 81,6 %, 72,1 % dan 69,4 %. Penggunaan lahan lain yang
dominan di Kabupaten Katingan adalah semak belukar/tanah terbuka dengan
persentase tahun 1990, 2000 dan 2006 berturut-turut di Kabupaten Katingan
12,9 %, 21,5% dan 22,3 %. Luasan Penggunaan lahan jenis lainnya relatif kecil
yaitu kurang dari 5 % dari luasan wilayah. Desakan terhadap luasan hutan di
Kabupaten Katingan menjadi catatan tersendiri di tengah perencanaan
pengembangan wilayah dalam konteks paradigma pembangunan berkelanjutan.
Sampai dengan tahun 2000, peralihan penggunaan lahan hutan lebih banyak
dimanfaatkan untuk lahan pertanian, tanaman tahunan maupun permukiman.
Penggunaan lahan tanaman tahunan dan permukiman mengalami
peningkatan yang cukup besar. Penambahan luasan tanaman tahunan terutama
periode tahun 2000-2006 khususnya setelah otonomi daerah disebabkan
berubahnya sumber pendapatan daerah yang semula lebih banyak mengandalkan
sektor kehutanan terutama hasil hutan kayu dari hutan produksi mengarah pada
hasil perkebunan terutama perkebunan sawit (Niin, 2010).
Pengembangan luasan areal pertanian menurut data statistik pun
menunjukkan peningkatan luasan cukup besar dalam 3 tahun terakhir (Tabel 2).
Kaitannya dengan upaya konservasi hutan dan inisiatif REDD+, perlu dilakukan
upaya pemerintah daerah untuk merencanakan tata ruangnya supaya ke depan
pengembangan luasan pertanian ini tetap memperhatikan dan menjaga kawasan
hutan yang ada. Dengan demikian untuk membuat gambaran secara spasial atas
permasalahan ini perlu dilakukan pemutakhiran data penggunaan lahan di
Kabupaten Katingan setelah terakhir pernah dilakukan Niin (2010) pada tahun
1990, 2000, dan 2006.

4

Tabel 2 Perkembangan luasan (ha) 3 besar komoditi pertanian di Katingan
Komoditi
2009
2010
2011
Kelapa Sawit
35.442
40.891
58.580
Sawah
12.831
20.915
32.064
Karet
15.419
20.947
20.948
Sumber : BPS Katingan (2010, 2011 dan 2012) dan Dinas Perkebunan
(2011)

2. Belum adanya Padu Serasi RTRW (Provinsi dan Kabupaten) dengan
Kawasan Hutan
Permasalahan lain yang menghambat proses penataan ruang khususnya di
Kabupaten Katingan adalah lambatnya proses padu serasi antara Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) dan RTRW Provinsi Kalimantan Tengah. 2 tahun yang lalu
ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.292/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan
Seluas ± 1.168.656 (Satu Juta Seratus Enam Puluh Delapan Ribu Enam Ratus
Lima Puluh Enam) Hektar, Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan Seluas ±
689.666 (Enam Ratus Delapan Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Enam Puluh
Enam) Hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan
Seluas ± 29.672 (Dua Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Tujuh Puluh Dua) Hektar
di Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian SK 292/2011 direvisi kembali oleh
Kementerian Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan no. SK.529/MenhutII/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor
759/KPTS/UM/10/1982 tentang penunjukkan areal hutan di Wilayah Provinsi
Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas ± 15.300.000 ha. Dua SK Menteri
Kehutanan ini punya jarak yang cukup jauh dengan SK Menteri kehutanan yang
paling awal, yaitu setelah 20 tahun baru dilakukan proses padu serasi dengan
menyisakan sedikit wilayah yang belum tuntas dipaduserasikan.
Proses ini juga akan dapat memicu konflik kepentingan antara pemerintah
pusat dan daerah dalam penggunaan ruang. Misalnya dengan munculnya gugatan
dari beberapa bupati di Kalimantan Tengah untuk melakukan uji materi UU
41/1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Ayat 3. Akhirnya pada 21 Februari 2012,
Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2001 tertanggal
22 Februari 2012 mengabulkan gugatan para bupati tersebut bahwasanya kawasan
hutan harus diproses tidak hanya melalui penunjukkan tetapi juga melalui proses
menyeluruh melalui penetapan kawasan hutan (penunjukkan, penataan, pemetaan
dan penetapan). Dengan demikian perlu adanya evaluasi penggunaan lahan
dengan rencana tata ruang yang ada juga dengan status kawasan hutan untuk
melihat sejauh mana ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting dengan
perencanaan ruang yang telah dibuat.
3. Inisiatif REDD+ dan sinkronisasinya dengan RTRW yang masih baru
Dalam kancah dunia internasional, REDD+ sendiri merupakan hal baru
yang masih perlu diuji coba dan diteliti pelaksanaan programnya ke depan.
Bahkan di tingkat Kabupaten Katingan sendiri, program REDD+ merupakan hal
yang sangat baru, meskipun sudah terbentuk Kelompok Kerja REDD+ Kabupaten
Katingan pada tahun 2011, masih belum diketahui apakah inisiatif REDD+
sejalan dengan RTRW Kabupaten. Secara aspek kelembagaan, untuk mengetahui
kesesuaian inisiatif REDD+ dengan RTRW, salah satu upaya yang dapat

5

dilakukan adalah melalui kajian identifikasi elemen dasar dan proses REDD+
dalam suatu kebijakan daerah, diantaranya dalam dokumen kebijakan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan Rencana Jangka Panjang Daerah
(RPJPD). Disamping itu, juga bisa dilakukan kajian untuk melihat preferensi
stakeholder atas inisiatif REDD+.
Beberapa permasalahan tersebut menunjukkan bahwa perencanaan penataan
ruang berusaha memaksimalkan kelola sumberdaya alamnya dalam menjawab
berbagai permasalahan yang terjadi. Inisiatif REDD+ yang juga memaksimalkan
sumberdaya alam, khususnya melalui upaya konservasi hutan perlu disesuaikan
kebijakannya dengan kebijakan pembangunan di Kabupaten, khususnya dengan
RTRW Kabupaten.
Dari beberapa uraian permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian (research question) yang dikaji dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain pada
tahun 2000 – 2012 ?
2. Bagaimana kesesuaian penggunaan lahan eksisting dengan dokumen RTRW
Kabupaten ?
3. Bagaimana kebijakan perencanaan tata ruang dapat mendukung inisiatif
REDD+ di Kabupaten Katingan ?
4. Bagaimana pendapat para pihak di Kabupaten Katingan atas inisiatif REDD+
agar sejalan dengan perencanaan tata ruang ?
5. Apa saja pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam penyusunan
arahan RTRWK atas munculnya inisiatif REDD+ ?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan
lain di Kabupaten Katingan
2. Menganalisis konsistensi penggunaan lahan eksisting dengan pengalokasian
ruang pada RTRW Kabupaten Katingan
3. Menganalisis isi kebijakan terkait perencanaan tata ruang yang mendukung
inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan
4. Menganalisis preferensi para pihak atas munculnya inisiatif REDD+ di
Kabupaten Katingan
5. Merumuskan arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Katingan

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Katingan sebagai
evaluasi atas proses perencanaan tata ruang yang telah berlangsung
2. Memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk keberlanjutan program
REDD+
3. Sebagai acuan bagi pengembangan kegiatan penelitian lanjutan

6

1.5 Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian
Kabupaten Katingan merupakan kabupaten yang belum lama dimekarkan,
yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 2002 tentang
pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara,
Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau,
Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan
Tengah. Permasalahan seperti penurunan luasan hutan, meningkatnya luas lahan
pertanian, lambatnya proses padu serasi TGHK dan RTRWP serta belum
diketahuinya pendapat/preferensi stakeholder, menjadi penting untuk ditelaah
guna menghasilkan pelaksanaan REDD+ yang sejalan dengan perencanaan tata
ruang.
Menurut Koespramoedyo (2009) peranan penataan ruang dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dijabarkan pada rencana pembangunan
sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja membutuhkan ruang sebagai
wadah pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam rencana
tata ruang. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai
kendala dan tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang
serta kelembagaan penataan ruang.
Jika melihat kembali pada 4 (empat) tujuan pertama dalam penelitian ini,
diharapkan dapat membantu membangun sekaligus menciptakan arahan yang
terbaik untuk menyusun RTRW kabupaten sebagai alternatif yang dapat
mengakomodasi kepentingan program nasional, khususnya progam REDD+.
Kerangka pemikiran penelitian disusun seperti dalam Gambar 1.
Ruang lingkup dalam penelitian ini, sebagaimana telah dibahas dalam sub
bab latar belakang, akan membatasi inisiatif REDD+ secara keruangan yang ada
dalam kebijakan dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Inisiatif REDD+ yang ada di
Kabupaten Katingan saat ini adalah area moratorium kawasan hutan dan area
IUPHHK-RE yang akan diusahakan oleh PT. Rimba Makmur Utama.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan dan Penggunaan Lahan
Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan lahan dan penutupan
lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi
sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use)
terkait aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan
(land cover) lebih bernuansa fisik. Sejalan dengan hal tersebut Lillesand dan
Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan
kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih
merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut.
Arsyad (2000) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk
yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas
penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat
di atas lahan tersebut; (2) penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan
lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya. Sebagai wujud
kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik
bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih
penggunaan lahan. Dengan demikian sebagai keputusan manusia untuk
memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu selain disebabkan oleh faktor
permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan
hidup, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan
(suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi
(feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana,
faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy).
Menurut FAO (1976) penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu
(1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land use) adalah penggolongan
penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi,
padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi, (2) penggunaan lahan secara
terinci atau dikenal sebagai Land Utilization Type (LUT) yaitu tipe penggunaan
lahan yang dirinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan
keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Contohnya “Tanaman pangan tadah
hujan dengan padi sebagai tanaman utama, modal kecil, pengolahan lahan dengan
ternak, banyak tenaga kerja dan luas bidang lahan kecil 2 – 5 ha”.
Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari
penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat
permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya
pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat
yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah
menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat
permanen dan tidak dapat kembali (irreversible) tetapi jika beralih guna menjadi
perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian
berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik
masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah
semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan

8

fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena
secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya
dan politik masyarakat (Winoto et al., 1996).
Perubahan Penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari
penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen
maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan
dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002)
memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu system yang sama dengan
ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah sistem dimana
penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan spesies
lainnya.
Bila dicermati secara seksama, faktor utama penyebab terjadinya perubahan
penggunaan lahan adalah peningkatan penduduk sedangkan perkembangan
ekonomi adalah faktor turunannya. Barlowe (1986) menyatakan bahwa
pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan
kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan
terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk.
Demikian pula permintaan terhadap hasil non-pertanian, kebutuhan perumahan
dan sarana prasarana. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan
kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan
lahan.
Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat
dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal yaitu adanya keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Mc Neil et al.
(1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan pengunaan
lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah
adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Pertumbuhan
ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab
perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah
merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri
dan kondisi lingkungannya.
2.1.1 Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan
Menurut Rustiadi et al. (2002) pemahaman dinamika pembangunan lahan
dan analisis pemanfatan ruang suatu wilayah membutuhkan syarat perlu
(necessary condition) pemahaman yang lengkap tentang berbagai aspek dinamis
di wilayah tersebut seperti aspek perkembangan kebijakan penataan ruang, aspek
perubahan kondisi fisik lingkungan dan wilayah, perubahan aktifitas
perekonomian dan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu diperlukan tolak
ukur objektif dalam bentuk peubah-peubah yang akan dikaji untuk mengevaluasi
keseluruhan dari aspek tersebut.
Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa dinamika struktur penggunaan
lahan dapat mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arah
perubahan penggunaan khususnya penggunaan pertanian ke non-pertanian secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,

9

perekonomian wilayah dan tara ruang wilayah. Oleh karena itu, perubahan
penggunaan lahan akan memperlihatkan kecenderungan meningkat atau menurun
dalam tata ruang dengan arah mendekati atau menjauhi pusat aktifitas manusia,
sehingga membentuk suatu pola yang dapat dipelajari dan diprediksi. Dengan
demikian mempelajari dan memprediksi dinamika struktur penggunaan lahan dan
perubahannya terkait dengan analisis spasial karena penggunaan lahan
mempunyai lokasi yang melekat pada posisi geografi.
Analisis spasial merupakan kumpulan teknik untuk mengatur secara
keruangan dari tiap kejadian atas aktivitas manusia pada suatu wilayah. Kejadian
geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis
atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilainilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik
berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek - obyek dimana atribut
melekat di dalamnya (Rustiadi et al. 2002).
Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis,
tujuan analisis spasial adalah :
1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis
(termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.
2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian
atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman
proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian
kejadian-kejadian di dalam ruang geografis.
Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem
Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini
semakin signifikan. Menurut Rustiadi et al. (2002), tujuan utama SIG adalah
pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data
spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi (zoning)
dan network analysis. Kebanyakan ahli geografi menyatakan bahwa yang selama
ini disebut analisis spasial dan permodelan dengan SIG ternyata tidak lebih dari
proses-proses manipulasi data seperti overlay polygon, buffering, dan sebagainya
yang pada dasarnya “tidak cukup pantas” menggunakan terminologi analisis.
Analisis spasial saat ini telah berkembang pesat seiring dengan
perkembangan ilmu geografi kuantitatif dan ilmu pengembangan wilayah
(regional science) yang dimulai sejak tahun 1960-an. Perkembangannya diawali
dengan digunakannya beberapa teknik dan prosedur kuantitatif (melalui statistik)
untuk menganalisis pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data
yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Dalam perkembangannya,
penekanan dilakukan pada fitur spesifik lokal dari ruang geografis pada prosesproses pilihan spasial (spatial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal.

2.2 Penataan Ruang
Menurut Koespramoedyo (2009), UU No. 25 Tahun 2004 (UU 25/2004)
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan menjadi payung hukum bagi
pelaksanaan perencanaan pembangunan didalam menjamin tercapainya tujuan
negara. UU ini digunakan juga untuk mengarahkan sistem perencanaan

10

pembangunan secara nasional. Rencana pembangunan, menurut UU 25/2004,
terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Rencana pembangunan tersebut didalamnya terdapat arahan kebijakan
pembangunan yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD dan RPJMD
yang mengacu pada RPJP dan RPJM Nasional serta membuat program
pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Kementerian/Lembaga.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang
dan turunannya adalah satu hal penting untuk menertibkan penyelenggaraan
penataan ruang di Indonesia dalam beberapa aspek penting, diantaranya
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan
secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang sendiri pada
dasarnya ada 3 (tiga) kegiatan inti, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang tersebut
mempunyai produk dalam rencana tata ruang, dalam hal ini disebut Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga
rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum dalam suatu rencana
pembangunan sebagai acuan dalam implementasi perencanaan pembangunan
berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam
penyelenggaraan penataan ruang, maka UU 26/2007 diharapkan dapat
mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan
berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya
alam maupun sumberdaya buatan. Skema hubungan antara penataan ruang dan
rencana pembangunan ditampilkan dalam Gambar 2.
UU No. 25/2004

RPJPN

RTRWN

UU No. 26/2007

RPJMN

RKP

Keterangan:
 = mengacu dan mengisi

= mengamanatkan

Gambar 2. Skema hubungan penataan ruang dan rencana pembangunan
(Koespramoedyo, 2009)
Penjelasan Skema:
1. RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No. 25/2004,
sedangkan RTRWN disusun berdasarkan amanat yang terdapat pada UU No.
26/2007.
2. Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata Ruang harus
dapat saling mengacu dan mengisi. Berdasarkan pasal 19 UU No. 26/2007

11

tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam penyusunan RTRWN harus
memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa
RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan
pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan kegiatan yang
bersifat
“keruangan”. RPJPN dan RTRWN memiliki batas waktu selama 20 tahun.
Untuk RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun apabila terjadi
perubahan lingkungan strategis seperti terjadi bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, perubahan batas teritorial
negara yang ditetapkan dengan UU, perubahan batas wilayah provinsi yang
ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan batas
wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK).
3. RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu selama 5
tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang dirumuskan setiap
tahun dan disusun melalui Murenbangnas.
Koespramoedyo (2009) menegaskan bahwa peranan penataan ruang sangat
penting dalam melaksanakan kegiatan pembangunan yang dijabarkan pada
rencana pembangunan. Seluruh kegiatan yang memerlukan ruang untuk
mendukung kegi