Deteksi Bean common mosaic potyvirus Penyebab Penyakit Mosaik pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Berdasarkan Teknik Serologi dan Polymerase Chain Reaction

DETEKSI BEAN COMMON MOSAIC POTYVIRUS PENYEBAB
PENYAKIT MOSAIK PADA KACANG PANJANG (Vigna sinensis L.)
BERDASARKAN TEKNIK SEROLOGI DAN
POLYMERASE CHAIN REACTION

SHERLI ANGGRAINI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRAK
SHERLI ANGGRAINI. Deteksi Bean Common Mosaic Potyvirus Penyebab
Penyakit Mosaik pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Berdasarkan Teknik
Serologi dan Polymerase Chain Reaction. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI
HIDAYAT.
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu
komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam usaha tani. Penyakit
mosaik kacang panjang merupakan penyakit penting karena dapat menurunkan
kualitas dan kuantitas produksi. Penyakit mosaik pada kacang panjang dapat

disebabkan oleh beberapa virus antara lain Bean common mosaic potyvirus
(BCMV). Deteksi BCMV dapat dilakukan berdasarkan metode serologi dan PCR.
Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi terhadap tiga metode deteksi yaitu
Indirect Enzym Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA), Dot Immunobinding
Assay (DIBA), dan RT-PCR untuk menentukan metode deteksi yang dapat
digunakan sebagai metode diagnosis BCMV pada kacang panjang. Sampel yang
digunakan adalah isolat virus (BCMV) asal Cirebon yang diperbanyak di rumah
kaca. Evaluasi metode deteksi ditujukan untuk menentukan batas sensitifitas, yaitu
dengan melakukan pengenceran pada sap tanaman dan antiserum (I-ELISA dan
DIBA) atau cDNA (RT-PCR). Berdasarkan pengukuran nilai absorbans ELISA
diketahui bahwa batas sensitifitas metode I-ELISA adalah pada tingkat
pengenceran sap 1:103 dan pengenceran antiserum 102. Berdasarkan intensitas
warna pada menbran nitroselulosa ditetapkan bahwa batas sensitifitas metode
DIBA adalah pada tingkat pengenceran sap 1:105. Metode RT-PCR memiliki
batas sensitifitas yang lebih tinggi karena pita DNA masih terbentuk pada
pengenceran cDNA 104. Deteksi sampel lapangan yang berasal dari Kabupaten
Bogor (Bubulak, Balebak, Cikabayan, Cibereum, dan Situ gede) dan Kabupaten
Brebes berhasil mendiagnosis BCMV dan Geminivirus sebagai penyebab penyakit
mosaik kacang panjang.
Kata kunci: Kacang panjang, Bean common mosaic potyvirus (BCMV),

I-ELISA, DIBA, RT-PCR

DETEKSI BEAN COMMON MOSAIC POTYVIRUS PENYEBAB
PENYAKIT MOSAIK PADA KACANG PANJANG (Vigna sinensis L.)
BERDASARKAN TEKNIK SEROLOGI DAN POLYMERASE CHAIN
REACTION

SHERLI ANGGRAINI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertnian pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN


Judul Skripsi

:

Deteksi Bean common mosaic potyvirus Penyebab
Penyakit Mosaik pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna
sinensis L.) Berdasarkan Teknik Serologi dan
Polymerase Chain Reaction

Nama

:

Sherli Anggraini

NRP

:


A34070053

Disetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.
NIP : 19610708 198603 2 001

Diketahui,
Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
NIP : 19640204 199002 1 002

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Talang Tinggi, pada tanggal 5 Februari 1989 dari
Ayah Supriyanto dan Ibu Suminar. Penulis merupakan putri kedua dari enam

bersaudara.
Tahun 2007 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum Negeri 1
Pagaralam. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa tingkat
persiapan bersama pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama kuliah penulis pernah bergabung dalam BEM FAPERTA sebagai
pengurus pada periode 2008-2009. Pada tahun 2009 penulis mengikuti program
magang di BALITKABI (Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian),
pada 2010 penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Hama dan
Penyakit Benih dan Pascapanen.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala
berkat dan karunia serta penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Deteksi Bean common mosaic
potyvirus Penyebab Penyakit Mosaik pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)
Berdasarkan Teknik Serologi dan Polymerase Chain Reaction.
Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri
Hendrastuti Hidayat, M.Sc. sebagai pembimbing yang banyak memberikan
masukan, saran, dan pengarahan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. sebagai dosen penguji tamu
pada ujian lisan yang memberikan banyak masukan dan koreksi terhadap skripsi
ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Bonny P.W Soekarno. M.Si selaku Pembimbing
Akademik yang telah memberi pengarahan sejak penulis berada di tingkat awal
hingga tingkat akhir. Terima kasih juga saya ucapkan untuk Dr. Ir. Tri Asmira D,
M.sc atas bimbingnnya. Terimakasih pula kepada seluruh staf pengajar Fakultas
Pertanian yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian Departemen Proteksi Tanaman
IPB.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orang tua, Ayah Supriyanto
dan Ibu Suminar untuk dukungan, doa, kasih sayang, bantuan moril dan materi
yang selalu diberikan hingga penulis menyelesaikan tugas akhir. Terima kasih
kepada kakak dan adik-adikku atas semua doa, dukungan dan perhatian yang
diberikan kepada penulis. Terima kasih pada penanggung jawab Laboratorium
Virologi Tumbuhan yang telah menyediakan alat-bahan penelitian dan kepada
teman-teman seperjuangan di Laboratorium Virologi Tumbuhan (Erika, Harwan,
Rizki, Rita, Vanti, Fitri, Shora, Bundo Rita, Mbak Miftah, Mbak Dama, Mbak
Mel, Mbak Dwi) serta Mbak Tuti atas segala bantuannya selama penelitian.
Terimakasih kepada teman-teman ‘Rempati’s kost’ (Michel, Dede, Ima, Ajeng,
Tami, Hanum, Hesti, Neno, Mbak Arta), ‘Pondok Bidadari’ (Soekma I, Indah P,

Winda, Tika, Listika, Nurul, Fatma, Selvi) serta Mita, Mira neng Inda, dan Bibi
Mariana atas dukungan, persahabatan, kebersamaan dan pengalaman selama ini.
Terimakasih penulis ucapkan juga kepada ‘geng cantik’ (Sista, Anik, Gama, dan
Doli) dan seluruh teman-teman Proteksi Tanaman 44 yang tidak dapat disebutkan
satu per satu atas semangat, persahabatan dan dukungannya selama kuliah hingga
menyelesaikan tugas akhir. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Mei 2011

Sherli Anggraini

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ..............................................................................

ix


DAFTAR GAMBAR ..........................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................

xi

PENDAHULUAN ...............................................................................

1

Latar Belakang ............................................................................

1

Tujuan .........................................................................................

2


Manfaat .......................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

4

Budi Daya Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) .........................

4

Hama dan Penyakit Tanaman Kacang Panjang ..........................

4

Sifat- sifat Penting BCMV..........................................................

5


Metode Deteksi dan Karakteririsasi Virus Tanaman ..................

6

Serologi .............................................................................

7

Polymerase Chain reaction (PCR)....................................

7

Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction
(RT-PCR) ..........................................................................

9

Pemanfaatan Metode Serologi dan PCR untuk
Mendeteksi Virus Tumbuhan ...........................................


9

BAHAN DAN METODE ...................................................................

11

Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................

11

Metode Penelitian .......................................................................

11

Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum ...................

11

Inokulasi Virus secara Mekanis ........................................

11

Metode Indirect Enzyme -Linked Immunosorbent Assay
(I-ELISA) .........................................................................

12

Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) .....................

12

Metode Reverse Transcription-Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR) ...........................................................

13

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)......................

15

Deteksi Virus dari Sampel Kacang Panjang Bergejala .....

16

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................

18

Perbanyakan Sumber Inokulum Virus ......................................

18

Deteksi BCMV dengan Metode I – ELISA ..............................

18

Deteksi BCMV dengan Metode DIBA .....................................

19

Deteksi BCMV dengan RT – PCR ...........................................

21

Deteksi Sampel dari Lapangan .................................................

21

Deteksi BCMV dengan RT-PCR ....................................

22

Deteksi BCMV dengan DIBA.........................................

23

Deteksi Geminivirus dengan PCR ...................................

24

Pembahasan ..............................................................................

24

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................

27

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................

28

LAMPIRAN ......................................................................................

31

DAFTAR TABEL

Nomor
1.

Halaman
Hasil pengujian BCMV menggunakan metode I-ELISA pada
berbagai tingkat pengenceran cairan perasan tanaman dan

2.

antiserum………………………………………………………...

19

Evaluasi metode I-ELISA, DIBA, dan RT-PCR………….….….

26

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Gejala infeksi BCMV pada kacang panjang varietas Parade .........

18

2. Reaksi perubahan warna pada metode DIBA dengan berbaga tingkat
pengenceran

sap dengan

menggunakan membran HybondTM-P

Amersham dan Nitropure science GE…………………………………
3. Hasil

amplifikasi

20

RT-PCR dari tanaman kacang panjang

terinfeksi BCMV ..................................................................................

21

4. Gejala pada daun tanaman kacang panjang dari berbagai lokasi ...........

22

5. Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman kacang panjang yang
terinfeksi BCMV ....................................................................................
6. Reaksi

22

perubahan warna pada membran DIBA dengan

menggunakan 6 isolat BCMV ................................................................

23

7. Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman kacang panjang yang
terinfeksi Geminivirus ............................................................................

24

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi BCMV pada berbagai
tingkat pengenceran

cairan perasan tanaman dan antiserum

menggunakan metode I-ELISA……………………………………….

31

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu komoditas
sayuran yang sudah lama dikenal dan digemari banyak orang. Selain rasanya
enak, kacang panjang sangat penting sebagai sumber vitamin A, vitamin B,
vitamin C, dan mineral terutama pada polong yang muda. Biji kacang panjang
mengandung protein, lemak, dan karbohidrat, sehingga kacang panjang
merupakan sumber protein nabati yang baik bagi manusia ( Haryanto et al. 1999).
Tanaman kacang panjang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai
komoditi usaha tani, karena selain mudah dibudidayakan, pangsa pasarnya juga
cukup tinggi. Salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi kacang
panjang adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Selain hama dan penyakit,
faktor kendala yang dihadapi petani dalam mengembangkan usahatani kacang
panjang adalah harga di pasar yang relatif rendah dan penggunaan benih dengan
mutu yang rendah.
Salah satu penyakit yang sering ditemui pada tanaman kacang panjang
adalah penyakit mosaik. Penyakit mosaik merupakan penyakit penting karena
dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi kacang panjang. Penyakit
mosaik tersebut dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus, diantaranya Bean
common mosaic potyvirus (BCMV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV)
(Damayanti et al. 2009).
Penyakit mosaik pada kacang panjang dapat ditularkan melalui benih,
secara mekanis, dan serangga vektor yaitu kutudaun Aphis craccivora (Hemiptera
: Aphididae). A. craccivora dapat menularkan lebih dari 30 virus tanaman secara
non persisten. Peranan A. craccivora dalam menularkan virus di lapangan sangat
penting, apalagi keberadaan kutudaun dapat terjadi sepanjang tahun (Galvez &
Morales 1989). Selain kacang panjang, virus mosaik dapat menginfeksi tanaman
dari famili leguminosae yang lain seperti Calopogonium mucuniodes, Crotalaria
brevidens, Pisum sativum, Vigna unguiculata, Gliycine max, Trifolium hybridum,
T. pretense, T. repens dan infeksinya bersifat sistemik (CABI 2007).

2

Beberapa tahun terakhir (2008-2011) dilaporkan adanya peningkatan
kejadian penyakit mosaik kacang panjang di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Banten (Mulyaman 2008).

Damayanti et al. (2009) melaporkan

bahwa salah satu virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik tersebut adalah
BCMV dan CMV. Hasil diagnosis lainnya menyimpulkan adanya infeksi
Geminivirus pada tanaman kacang panjang yang menunjukkan gejala mosaik
kuning (S. H Hidayat 11 Juli 2011, komunikasi pribadi). Hasil diagnosis tersebut
menunjukkan pentingnya upaya deteksi dan diagnosis penyebab penyakit yang
akurat dan benar.
Teknik deteksi (virus) yang akurat menjadi persyaratan dalam tahapan
awal diagnosis penyebab penyakit. Teknik dasar yang sejak lama dilakukan untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi virus tanaman adalah melalui pengamatan
partikel virus menggunakan mikroskop elektron, pengamatan gejala pada tanaman
terinfeksi, uji kisaran inang, dan uji penularan virus (Akin 2006). Teknik deteksi
menggunakan uji serologi seperti ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
dan DIBA (Dot Immunobinding Assay) telah dikembangkan sejak tahun 1970-an
(Hull 2002).

Teknik deteksi tersebut didasarkan pada reaksi spesifik antara

antigen dan antibodi. Dilaporkan bahwa teknik serologi tersebut sangat baik
untuk deteksi virus tumbuhan. Teknik deteksi lain yang sering digunakan dewasa
ini adalah teknik deteksi molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction)
yang memanfaatkan sifat spesifk urutan nukleotida virus (Akin 2006). Teknik
PCR telah umum digunakan untuk mendeteksi virus, seperti Virus kerupuk daun
tembakau (Kadir 2002), Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) pada cabai
(Opriana 2011), Tomato chlorosis virus (ToCV) dan Tomato infectious choloris
virus (TiCV) (Nurulita 2011). Pemilihan teknik deteksi yang tepat sangat
menentukan hasil deteksi, karena teknik deteksi yang kurang baik akan
menyebabkan kerancuan pada identifikasi penyebab penyakit.

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap tiga metode
deteksi virus, yaitu ELISA, DIBA dan RT-PCR untuk menentukan metode deteksi
yang dapat digunakan sebagai metode diagnosis BCMV pada kacang panjang.

3

Manfaat Penelitian
Metode deteksi yang diperoleh dalam penelitian ini akan sangat berguna
dalam mendeteksi penyebab penyakit pada tanaman kacang panjang. Ketepatan
identifikasi penyebab penyakit merupakan langkah awal dalam mengembangkan
strategi manajemen dan pengendalian virus.

TINJAUAN PUSTAKA

Budi Daya Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)
Kacang

panjang

termasuk

dalarn

divisi

Spermatophyta,

kelas

Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Leguminosae, genus
Vigna, spesies Vigna sinensis L. (Susila 2005).
Budi daya kacang panjang dapat dilakukan di dataran rendah maupun
dataran tinggi dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl).
Namun demikian tanaman ini tumbuh lebih baik pada ketinggian kurang dari 600
m dpl. Oleh sebab itu, kacang panjang banyak diusahakan di dataran rendah dan
digolongkan dalam sayuran dataran rendah. Sebelum dilakukan penanaman benih
kacang panjang perlu dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu seperti
penggemburan, pembuatan bedengan, dan pengapuran. Tanaman kacang panjang
membutuhkan tanah yang gembur yaitu tanah yang kaya akan bahan organik atau
ditambah pupuk kandang pada saat pengolahan tanah agar tumbuh dengan baik,
Pemeliharaan yang umum dilakukan pada pertanaman kacang panjang adalah
penyulaman, penyiangan, penyiraman, pemangkasan cabang, dan pemupukan.
Tanaman kacang panjang mulai berbunga pada umur 30 hari setelah tanam dan
pemanenan polong kacang panjang dapat dilakukan setelah tanaman berumur 45
hari (Susila 2005).

Hama dan Penyakit Tanaman Kacang Panjang
Produksi rata- rata kacang panjang Indonesia pada tahun 1997 sampai
tahun 2000 adalah 400.66 ton, sedangkan produksi rata-rata pada tahun 2001
sampai tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 313.743 ton. Penurunan
produksi kacang panjang disebabkan karena luasan panen mengalami penurunan
sebanyak 12% (sekitar 70.000 ha), produktivitas tanaman yang rendah yakni
10,09 ton/ha, penggunaan benih dengan mutu yang kurang baik, dan gangguan
hama penyakit tanaman (Statistik Indonesia 2011).
Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang antara lain,
tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutukebul

5

Bemisia tabaci (Hemiptera : Aleyrodidae), penggerek polong Riptortus linearis
(Hemiptera: Alydidae), kutudaun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphididae) dan
ulat penggerek polong Maruca restualis (Lepidoptera : Crambidae). Upaya yang
banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan
melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara biologi dengan
menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp dan laba-laba (Anwar
et al. 2005).
Beberapa penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya
layu cendawan (Fusarium sp.), antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru
akar (Meloidogyne sp), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea
Stunt Virus), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik
yang disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV), Bean yellow
mosaic potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid borne mosaic potyvirus (CABMV)
(Anwar et al. 2005). Penyakit mosaik kuning kacang panjang dilaporkan oleh
Damayanti et al. (2009) disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus
(BCMV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV).

Sifat-sifat Penting BCMV
Bean common mosaic potyvirus (BCMV) termasuk dalam famili
Potyviridae dan genus Potyvirus (Agrios 1997). Potyvirus merupakan kelompok
virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini. Partikel virus ini berbentuk
batang panjang lentur dengan kisaran panjang 720-770 nm dan lebarnya 11-12
nm. Tipe asam nukleatnya adalah RNA utas tunggal.

Berat molekul asam

nukleatnya yaitu 2,3-4,3 juta kDa. Kandungan asam nukleat dalam partikel virus
sebesar 5% dan kandungan protein dalam mantelnya sebesar 95%. Nukleokapsid
merupakan subunit protein yang membentuk mantel protein yang menyelubungi
asam nukleat. Asam nukleat yang diselubungi oleh mantel protein menyebabkan
virus bersifat virulen atau menimbulkan penyakit (Shukla et al. 1994).
Penyakit mosaik yang disebabkan oleh BCMV merupakan penyakit
penting pada tanaman kacang-kacangan. BCMV mempunyai kisaran inang tidak
terbatas pada tanaman Phaseolus spp., tetapi dapat juga menyerang tanaman
leguminosae yang lain (CABI 2007). BCMV bersifat terbawa benih dan dapat

6

ditularkan secara mekanik oleh sap tanaman. Virus ini juga ditularkan oleh
beberapa jenis kutudaun termasuk A. craccivora secara non persisten (Shukla et
al. 1994)
Tipe gejala penyakit yang disebabkan oleh BCMV tergantung dari strain
BCMV, suhu dan genotip inang. Lebih dari 15 strain BCMV yang telah diketahui
diantaranya Blackeye, US1, US5, NL2, NL3, NL4, NL5, NL6, NL7 dan NL8
(Morales & Bos 1988). Gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik berupa
lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, tulang daun menguning, bercak
dan malformasi. Tanaman yang terinfeksi dapat menjadi kerdil dan menghasilkan
hanya sedikit polong dan masak lebih lambat dibandingkan dengan polong yang
tidak terinfeksi (Shukla et al. 1994). Gejala pada tanaman umumnya muncul 7
sampai 10 hari setelah inokulasi (Djikstra & Dejeger 1998)

Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman
Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada tanaman. Beberapa virus dapat menimbulkan gejala
yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala
tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat
mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang
berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga
berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull 2002).
Sangat

diperlukan

metode

yang

tepat

untuk

mendeteksi

dan

mengidentifikasi virus pada suatu tanaman. Deteksi dan identifikasi virus dapat
dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan
karakter biologi dapat dilakukan melalui pengujian kisaran inang dan tanaman
indikator, penularan, dan berdasarkan bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi
menggunakan karakter molekuler umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu
berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan sifat asam nukleat dengan
hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta PCR/RT-PCR (Foster & Taylor
1998; Hull 2002).

7

Serologi
Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai
banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit
tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi
virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan
kekerabatan antar virus (Agrios 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi
sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang
digunakan untuk deteksi serologi antara lain presipitasi dalam tabung, aglutinasi
kloroplas, flokulasilateks, gel double-diffusion test, Dot immunobinding assay
(DIBA),

immunoblotting

atau

western

blotting,

dan

Enzyme

Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) (Harlow & Lane 1999).
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk
melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan
cara in vitro. Metode ini banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan
analisis genetik, misalnya untuk melipatgandakan suatu molekul DNA. Dengan
metode ini, segmen tertentu pada DNA dapat digandakan hingga jutaan kali lipat
dalam waktu relatif singkat. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini
dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit,
misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg, oligonukleotida yang
diperlukan hanya sekitar 1 mM, dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50100 μl (Yuwono 2006). Menurut Muladno (2010), PCR merupakan suatu reaksi in
vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara
mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target
tersebut melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu
thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan
nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum
daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah
target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian
molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase (Muladno 2010).

8

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dengan cara PCR terdiri dari
tiga tahapan atau tiga reaksi, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing),
dan pemanjangan primer (extension).
Denaturasi.

Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi DNA

cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan
terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan
dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-4 menit (Yuwono 2006). Denaturasi
yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA
untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR.
Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas
enzim Taq polymerase (Muladno 2010).
Penempelan Primer (Annealing).

Tahap kedua yaitu penempelan primer

(annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang
dilakukan pada suhu 55ºC selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan
hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen
primer (Yuwono 2006). Pada tahapan ini, primer forward yang runutan
nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel
pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada
untai tunggal lainnya (Muladno 2010).
Pemanjangan Primer (Extension).

Setelah kedua primer menempel pada

posisinya masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul
DNA baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno 2010).
Sintesis DNA ini terjadi pada suhu 72ºC selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA
polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan
informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim Taq DNA
polymerase (Yuwono 2006).
Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk
jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk
dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA
baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu
inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan
berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Ketiga tahapan

9

tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan
didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam
jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang
digunakan (Yuwono 2006).
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap
molekul RNA hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di
dalam sel. Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA
sebagai cetakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse
transcription) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA
(complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai
cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi
ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis,
maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono
2006).

Pemanfaatan Metode Serologi dan PCR untuk Mendeteksi Virus Tumbuhan
Masing-masing

metode

serologi

yang

diuraikan

di

atas

telah

dikembangkan dan berhasil digunakan untuk mendeteksi beberapa jenis virus
penting pada tumbuhan. Metode DIBA dilaporkan digunakan untuk mendeteksi
Tobaco mosaic tobamovirus (TMV) (Somowiyarjo et al. 1997) dan Chilli veinal
mottle potyvirus (ChiVMV) pada cabai (Opriana 2009). Abouzid et al. (2002)
menggunakan ELISA dan western blotting untuk mendeteksi beberapa protein
selubung virus dari genus Begomovirus. Kartiningtyas (2005) mendeteksi Turnip
mosaic

potyvirus

(TuMV)

dengan

ELISA.

Deteksi

dengan

metode

immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al.
(1997) untuk mengetahui dinamika pergerakan Bean dwarf mosaic geminivirus
(BDMV) dari sel ke sel pada Phaseolus vulgaris. Pengujian presipitasi dengan
memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan
oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi wheat streak mosaic tritimovirus
(WSMV).

10

Teknik PCR adalah teknik molekuler yang sangat sensitif dan spesifik
untuk deteksi dan identifikasi patogen penyebab penyakit tanaman (Rojas et al.
1993). Metode PCR/ RT- PCR telah banyak digunakan untuk mendeteksi dan
menentukan variabilitas genetik virus tanaman, termasuk diantaranya Luteovirus
(Robertston et al. 1991) dan Potyvirus (Langeveld et al. 1991). Metode PCR juga
dilaporkan digunakan untuk mendeteksi Banana streak virus (Damayanti 2005),
melihat keragaman genetik geminivirus (Hidayat 1999), dan identifikasi
geminivirus yang menginfeksi tomat (Aidawati et al 2005).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di rumah kaca University Farm IPB di Cikabayan dan
Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret
sampai Juli 2011.

Metode Penelitian
Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum
Tanaman untuk perbanyakan virus yang digunakan adalah bibit tanaman
kacang panjang varietas Parade. Benih kacang panjang ditanam dalam polybag
dengan menggunakan media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang
(1:1) dan ditempatkan di rumah kaca atau pada ruang kedap serangga untuk
menghindari serangan hama terutama serangga vektor. Tanaman kacang panjang
tersebut akan diinokulasi dengan BCMV secara mekanis.

Inokulasi Virus secara Mekanis
Inokulasi dilakukan secara mekanis menggunakan cairan perasan tanaman
(sap) sakit. Sap dibuat dari daun tanaman yang terinfeksi BCMV. Isolat BCMV
yang digunakan adalah BCMV isolat Cirebon yang berasal dari Laboratorium
Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Daun terinfeksi digerus sampai halus didalam mortar setelah
sebelumnya ditambahkan bufer fosfat (0.01M; pH 7.0) dengan perbandingan 1:10
(b:v). Daun tanaman kacang panjang yang akan diinokulasi sebelumnya ditaburi
dengan carborundum (600 mesh). Sap dioleskan pada permukaan daun dengan
menggunakan kapas steril dimulai dari bagian pangkal daun ke ujung secara
searah dengan tidak mengulangi pada daerah yang sama. Setelah pengolesan sap
selesai, daun tanaman disiram dengan air mengalir untuk membersihkan sisa-sisa
sap yang masih melekat. Tanaman yang sudah diinokulasi dipelihara dan dirawat
di rumah kaca sampai muncul gejala.

12

Metode Indirect Enzyme -Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA)
Metode I-ELISA dilakukan dengan menggunakan tanaman yang terinfeksi
BCMV. Sampel tanaman terinfeksi BCMV digerus dalam buffer coating dengan
perbandingan 1:100 (b:v).

Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam

masing-masing sumuran pada plat mikrotiter ELISA sebanyak 100 µl dan
diinkubasi pada suhu 4oC selama semalam. Masing-masing sumuran selanjutnya
dicuci sebanyak 5-7 kali dengan phosphate buffer saline tween-20 (PBST) dan
kemudian diisi dengan 100 µl antiserum BCMV yang telah dilarutkan dalam bufer
ECL (bovine serum albumin 2 g, PVP 20 g, NaN3 0.2 g) (1:200).
Plat ELISA tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selam 2 jam.
Masing-masing sumuran selanjutnya dicuci kembali dan kemudian diisi dengan
100 µl konjugat yang dilarutkan dalam bufer ECL dengan perbandingan 1:1000.
Larutan konjugat terebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selam 2 jam.
Setelah 2 jam plat dicuci 2-7 kali dengan PBST. Sumuran selanjutnya diisi
dengan 100 µl PNP yang dilarutkan dalam bufer PNP. Setelah diinkubasi pada
suhu ruang selama 30 menit dilakukan pengamatan secara kuantitatif dengan
menggunakan ELISA reader (Bio-RAD 550) pada panjang gelombang 405 nm.
Reaksi dihentikan dengan cara menambahkan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 µl
kedalam masing-masing sumuran. Pada setiap pengujian disertakan kontrol
negatif yaitu tanaman sehat dan bufer.
Evaluasi metode I – ELISA dilakukan untuk menentukan batas sensitifitas,
yaitu dengan melakukan pengenceran pada sap tanaman dan antiserum.

Sap

tanaman diencerkan secara berseri sampai 106 dan antiserum diencerkan hingga
pengenceran 105.

Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA)
Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997).
Sebelum digunakan membran nitroselulosa direndam dalam metanol 100%
selama 10 detik dan dikering anginkan. Jaringan daun tanaman terinfeksi BCMV
digerus dalam tris buffer saline (TBS dengan perbandingan 1:10 (b/v) (TBS: TrisHCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7,5). Cairan perasan tanaman tersebut

13

selanjutnya diteteskan ke atas membran nitroselulosa sebanyak 10 μl. Setelah
tetesan sampel kering, membran direndam di dalam 10 ml larutan blocking non fat
milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan konsentrasi akhir
2%. Membran kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang dengan
kecepatan 50 rpm selama 2 jam dengan menggunakan EYELA multi shaker
MMS. Membran kemudian dicuci 5 kali dengan dH2O, tiap pencucian
berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran
selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS yang mengandung antibodi 5 μl ditambah
non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran diinkubasi
semalam pada suhu kamar sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Membran
kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan Tween 0.05% dalam TBS (TBST).
Membran selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS yang mengandung konjugat 5 μl
(goat anti rabbit-IgG, Sigma, USA) ditambah non fat milk dengan konsentrasi
akhir 2% dan kemudian membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang
dengan kecepatan 50 rpm. Membran selanjutnya dicuci kembali dengan TBST
dan direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer substrat (Tris-HCl 0.1 M, NaCl
0.1 M dan MgCl2 5 mM) yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT) 66 μl
dan bromo chloro indolil phosphate (BCIP) 30 μl. Bila reaksi positif akan terjadi
perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah
ditetesi cairan perasan tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam
membran dalam dH2O.
Evalusi metode DIBA dilakukan dengan perlakuan pengenceran sap
tanaman hingga 106 dan penggunaan dua membran yang berbeda yaitu Amersham
HybondTM-P dan Nitropure GE untuk menentukan sensitifitas metode deteksi.

Metode Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Tahapan metode deteksi BCMV menggunakan metode RT-PCR terdiri
atas tahapan ekstraksi RNA total, transkripsi balik, dan amplifikasi cDNA.
Ekstraksi RNA Total. Metode ekstraksi RNA dilakukan dengan menggunakan
NucleoSpin RNA Plant mini kit mengikuti metode Macherey-Nagel (2010). Daun
tanaman kacang panjang yang sakit (0,1 g) digerus menggunakan pistil dan mortar
steril yang didalamnya telah diisi dengan nitrogen cair hingga menjadi bubuk.

14

Sebanyak 350 μl bufer RA1 yang telah ditambahkan 1% merkaptoetanol (3.5 μl)
dimasukkan ke dalam hasil gerusan yang telah menjadi bubuk. Sap yang
dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung mikro1.5 ml kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 11 000 rpm selama 1 menit. Sap tanaman dipindahkan dalam
tabung mikro yang baru tanpa endapannya dan ditambahkan 350 μl etanol 70%.
Sap dipindahkan ke dalam kolom ungu dan disentrifugasi dengan kecepatan
11 000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang terbentuk ditambahkan 350 μl MBD
(Membrane Desalting Buffer) dan kemudian dipindahkan dalam kolom biru. Hal
ini dilakukan dengan tanpa menyentuh pelet di dasar tabung. Sebanyak 95 μl
DNase ditambahkan dalam kolom biru dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15
menit.
Proses selanjutnya adalah pencucian dan pengeringan membran silika.
Proses pencucian dilakukan sebanyak tiga kali dengan bufer pencucian yang
berbeda.

Sebanyak 200 μl RA2 ditambahkan pada kolom biru kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 30 detik. Pencucian kedua
dilakukan dengan menambahkan RA3 sebanyak 600 μl pada kolom biru lalu
disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 30 detik. Pencucian ketiga
dilakukan dengan menambahkan bufer yang sama pada pencucian kedua, tapi
hanya sebanyak 250 μl dan disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selam 2
menit. Setiap proses pencucian kolom biru sebelumnya dipindahkan ke collection
tube baru lalu ditambahkan bufer-bufer pencucian. Untuk memastikan bahwa
kolom biru benar-benar kering, selanjutnya kolom dipindahkan lagi ke collection
tube baru dan disentrifugasi lagi 11 000 rpm selama 1 menit. Kolom dipindahkan
ke tabung mikro 1.5 ml baru dan ditambahkan 60 μl RNase- free water ke
permukaan saringan dalam kolom sehingga pelet tergenang, lalu disentrifugasi
dengan kecepatan 11 000 rpm selama 1 menit. Hasil ekstraksi disimpan pada suhu
-80oC sampai akan digunakan.
Transkripsi Balik (Reverse Transcription). Reaksi transkripsi balik (10 μl)
terdiri atas 2.2 μl water free nuclease, 2 μl bufer RT 10x, 0.35 μl dNTP 10 mM,
0.75 μl oligo d(T) 10 μM, 0.35 μl RNAse Inhibitor, 0.35 μl MmULV RT, dan 2 μl
RNA sampel ditambahkan kedalam tabung mikro. Tabung mikro tersebut
dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700) dengan

15

kondisi RT; 25oC selama 5 menit, 37oC selama 90 menit dan 70oC selama 15
menit. Hasil akhir dari RT adalah produk cDNA yang akan digunakan pada reaksi
selanjutnya yaitu PCR.
Amplifikasi cDNA.

Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan pasangan

primer yaitu BIC-cpF (5’-TCA GGA ACT GGG CAG CCG CAA C-3’) dan BICcpR (5’-CTG CGG GGA ACC CAT GCC AAG-3’). Reaksi amplifikasi (25 μl)
terdiri atas 16.3 μl water free nuclease, 2.5 μl PCR buffer, 0.2 μl dNTP, 2.5 μl
sucrose creasol, 1μl primer BIC-F, 1 μl primer BIC-R, 1 μl taq polymerase, 1 μl
cDNA hasil RT. Semua bahan tersebut diisi ke dalam tabung mikro, selanjutnya
tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR
System 9700). Amplifikasi BCMV dilakukan sebanyak 35 siklus mengikuti
metode Udayashankar et al. (1995) melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan
utas DNA pada suhu 94 oC selama 2 menit, penempelan primer pada DNA 68 oC
selama 1 menit dan sintesis DNA pada suhu 72 oC selama 1 menit. Khusus untuk
siklus terakhir ditambah tahapan sintesis selama 10 menit, kemudian siklus
berakhir dengan suhu 4 oC.
Evaluasi metode RT-PCR dilakukan dengan perlakuan pengenceran
cDNA hingga 105 untuk menentukan batas cDNA yang dapat digunakan untuk
deteksi BCMV.

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR dilakukan melalui tahapan ekstrasi DNA, amplifikasi DNA,
dan visualisasi hasil PCR dengan gel agarosa.
Ekstrasi DNA Total Tanaman. Ekstrasi DNA total dilakukan menggunakan
metode CTAB (Doyle & Doyle, 1990) dengan beberapa modifikasi.

Bufer

ekstraksi (2% CTAB, 100 mM Tris pH 8, 10 mM EDTA, 5 M NaCl, 1% 2-βmakaptoetanol) dipanaskan sebanyak 10 ml dalam penangas air 65oC. Sampel
daun sebanyak 0.1 g digerus dalam 500 µl bufer, setelah itu dimasukkan dalam
tabung mikro berukuran 2 ml. Hasil campuran selanjutnya diinkubasi dalam
penangas air pada suhu 65oC selama 60 menit. Setiap 10 menit tabung dibolakbalik untuk membantu proses lisis. Setelah 60 menit tabung yang berisi campuran
tersebut diambil dari penangas dan didiamkan sebentar (2 menit) pada suhu ruang,

16

kemudian ditambahkan 1 ml campuran Kloroform:Isoamilalkhohol (CI) dengan
perbandingan 24:1 (v : v). Agar tercampur dengan baik tabung divorteks selama 5
menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit dan
diambil supernatannya. Supernatan yang diperoleh diambil secara hati-hati dan
dipindahkan pada tabung baru dan ditambahkan 0.1 volume sodium asetat
(CH3COOH 3M pH 5.2) dicampur dengan rata dan ditambahkan 2.5 volume
etanol absolut dan diinkubasi pada suhu -20oC selama satu malam. setelah itu
disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit.

Pelet hasil

sentrifugasi dicuci dengan menambahkan etanol 70%, kemudian disentrifugasi
kembali selama 10 menit dan dibuang supernatannya, selanjutnya pelet
dikeringkan. Setelah kering, pelet yang diperoleh dilarutkan dengan 60 μl bufer
TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0, 1 mM EDTA).
Amplifikasi DNA. Metode amplifikasi dilakukan mengikuti metode yang
dilakukan oleh Rojas et al. (1993). Reaksi PCR (volume total 25 μl) dilakukan
dengan mencampurkan water free nuclease, 16.3 μl bufer PCR, 2.5 μl sucrose
cresol, 0.5 μl dNTP, 1 μl masing-masing primer pAL1v 1978 (5’GCA TCT GCA
GGC CCA CAT YGT CTT YCC NGT 3’) pAR1c 715 (5’ GAT TTC TGC AGT
TDA TRT TYT CRT CCA TCC A 3’) (Rojas et al. 1993), 0.2 μl unit Taq DNA
polimerase, dan 1 μl DNA template. PCR dilakukan pada reaksi sebagai berikut:
satu siklus optimasi pada suhu 94oC selama 1 menit, 30 siklus yang terdiri dari
tahap denaturasi DNA pada suhu 94oC selama 1 menit, tahap penempelan primer
ke DNA target pada suhu 55oC selama 2 menit, dan tahap pemanjangan DNA
pada suhu 72oC selama 10 menit yang diakhiri pada suhu 4oC untuk
penyimpanan.
Visualisasi Hasil PCR. Hasil PCR divisualisasi pada 1% gel agarosa dalam 0.5x
bufer TBE (Tris-borate EDTA) dengan tegangan 100 volt selama 25 menit. Gel
diamati dengan UV transilluminator setelah diwarnai dengan etidium bromida.

Deteksi Virus dari Sampel Kacang Panjang Bergejala
Sampel daun kacang panjang yang menunjukkan gejala mosaik diperoleh
dari beberapa pertanaman kacang panjang. Pengambilan sampel dilakukan di
Bogor (Balebak, Situ Gede, Bubulak, Cibereum, Cikabayan) dan Brebes.

17

Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan mengumpulkan daun dari
tanaman yang menunjukkan gejala. Gejala pada tanaman diamati dan dicatat.
Sampel tanaman tersebut kemudian digunakan untuk diagnosis BCMV
menggunakan metode serologi (DIBA) dan molekuler (PCR dan RT-PCR).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbanyakan Sumber Inokulum Virus
Tanaman kacang panjang varietas Parade yang diinokulasi BCMV mulai
menunjukkan gejala pada 7 hari setelah inokulasi. Gejala pada daun kacang
panjang diawali dengan lepuhan atau daun mengkerut dan malformasi pada daun
muda dan gejala berkembang mejadi mosaik pada daun tua (Gambar 1). Djikstra
& De Jegger (1998) melaporkan tanaman kacang panjang yang terinfeksi oleh
beberapa strain BCMV menunjukkan gejala yang mirip dengan hasil penelitian
yaitu menunjukkan daun mosaik, klorosis, dan malformasi pada daun-daun muda.

A

B

Gambar 1. Gejala infeksi BCMV pada kacang panjang varietas Parade: (A)
Gejala melepuh pada daun muda, (B) Gejala mosaik.
Deteksi BCMV dengan Metode I – ELISA
Metode ELISA merupakan suatu metode pengujian serologi yang
didasarkan pada terbentuknya kompleks ikatan antara antibodi dengan antigen di
dalam sumuran plat mikrotiter ELISA yang terbuat dari bahan plastik. Jika terjadi
reaksi kompatibel antara antibodi dengan antigen akan ditunjukkan dengan adanya
perubahan warna (Dijkstra et al. 1998). Pengamatan secara visual terhadap
perubahan warna yang terjadi pada plat mikrotiter ELISA menunjukkan
perbedaan warna kuning. Warna kuning terlihat sangat jelas pada pengenceran
sap 1:102 dan warna kuning semakin berkurang dengan semakin tingginya
pengenceran sap tanaman. Begitu juga dengan pengenceran antiserum, semakin
tinggi pengenceran maka warna kuningnya akan semakin berkurang.

Hasil

19

pembacaan nilai absorbansi ELISA (NAE) pada 405 nm menunjukkan bahwa
pada pengenceran sap 1: 102 NAE dapat mencapai lebih dari 6 kali NAE kontrol
negatif bila konsentrasi antiserum yang digunakan adalah 100 dan 101 (Tabel 1
dan Lampiran 1). Nilai absorbansi tersebut menurun mengikuti faktor
pengenceran antiserum. Pada pengenceran sap 1:103 NAE dapat mencapai lebih
dari 2 kali NAE kontrol negatif untuk konsentrasi antiserum 1: 100 dan 1: 10 dan
NAE akan menurun mengikuti faktor pengenceran antiserum. Batas sensitifitas
pengujian dengan metode I-ELISA adalah pada tingkat pengenceran sap tanaman
1:103 dengan pengenceran antiserum 102. Batas sensitifitas yang sama dilaporkan
oleh Opriana (2009) pada pengujian ChiVMV dengan ELISA.
Tabel 1 Hasil pengujian BCMV menggunakan metode I-ELISA pada berbagai
tingkat pengenceran cairan perasan tanaman dan antiserum.
Pengenceran
cairan perasan
tanaman terinfeksi
1: 102
1: 103
1: 104
1: 105
1: 106
+
++
+++
++++

Pengenceran antiserum
100
++++
++
-

101
++++
++
-

102
++
-

103
-

104
-

105
-

: nilai absorban < 2 kali kontrol negatif
: nilai absorban 2 kali kontrol negatif
: nilai absorban > 2 – 4 kali kontrol negatif
: nilai absorban > 4 - 6 kali kontrol negatif
: nilai absorban > 6 kali kontrol negatif.

Deteksi BCMV dengan Metode DIBA
Metode DIBA menggunakan membran HybondTM-P Amersham dan
Nitropure science GE memberikan reaksi positif yang ditandai dengan adanya
perubahan warna ungu pada membran (Gambar 2). Reaksi positif yang
ditunjukkan oleh warna ungu yang sangat tebal terlihat pada tingkat pengenceran
sap 1:102 namun semakin melemah pada tingkat pengenceran berikutnya.
Perubahan reaksi tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya,
konsentrasi virus yang terkandung dalam sap tanaman. Semakin tinggi konsentrasi
virus maka akan memberikan reaksi yang semakin kuat pada membran, begitu

20

juga sebaliknya semakin rendah konsentrasi virus pada sap tanaman maka akan
memberikan reaksi lemah pada membran.
Reaksi positif pada membran

HybondTM-P Amersham dapat terlihat

sampai tingkat pengenceran sap 1: 105 sementara pada membran Nitropure
science GE reaksi positif terlihat sampai tingkat pengenceran sap 1: 104.
Perbedaan sensitifitas kedua membran disebabkan oleh kualitas dan kondisi
membran.
1

2

3

4
5

6

7
A

B

8

Gambar 2 Reaksi perubahan warna pada metode DIBA dengan berbagai tingkat
pengenceran sap dengan menggunakan membran HybondTM-P
Amersham (A) dan Nitropure science GE (B). Sampel pada masingmasing membrane terdiri atas Bufer (1), daun tanaman sehat (2), daun
tanaman terinfeksi (3), daun tanaman bergejala berturut-turut dengan
faktor pengenceran 102, 103, 104, 105, dan 106 (4 sampai 8).

21

Deteksi BCMV dengan RT – PCR
Amplifikasi menggunakan pasangan primer BIC-cpF dan BIC-cpR
menghasilkan produk yang berukuran sekitar 850 pasang basa (bp) (Gambar 3).
Pengenceran bertingkat terhadap cDNA yang digunakan sebagai DNA cetakan
pada tahap amplifikasi menunjukkan bahwa semakin banyak cDNA yang
digunakan maka hasil amplifikasi akan semakin jelas. Produk amplifikasi DNA
berkorelasi positif dengan konsentrasi cDNA. Pita DNA masih terbentuk pada
pengenceran cDNA 104 dan pita tidak terbentuk lagi pada pengenceran 105, 106
dan 107.
100

10-2

10-3

10-4

M

1

2

10-5
3

10-6
4

5

6

7

8

9

1000 bp

850 bp

500 bp

Gambar 3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman kacang panjang terinfeksi
BCMV dengan cDNA yang diencerkan bertingkat menggunakan
primer BIC-F dan BIC-R. (M) Marker 1 kb; (1) tanaman sehat; sampel
cDNA yang diencerkan bertingkat berturut- turut 100, 101, 102, 103,
104, 105, 106, 107 (2 sampai 9).
Deteksi Sampel dari Lapangan
Gejala pada tanaman kacang panjang di lapangan cukup beragam antara
satu tempat dengan tempat lainnya. Gejala mosaik kuning ditemukan pada
tanaman di Bubulak, Balebak, Brebes, dan Situ Gede sedangkan gejala melepuh
ditemukan pada tanaman di Cibereum dan Cikabayan (Gambar 4).

22

1

2

4

5

3

Gambar 4 Gejala pada daun tanaman kacang panjang dari berbagai lokasi. (1)
Bubulak; (2) Balebak; (3) Cibereum; (4) Situ gede; (5) Cikabayan.
Deteksi BCMV dengan RT-PCR. Amplifikasi BCMV menggunkan primer BICcpF dan BIC-cpR menghasilkan pita DNA sekitar 850 bp untuk semua sampel
dari lapangan (Gambar 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa semua sampel positif
terinfeksi BCMV.
M

1

2

3

4

5

6

7

8

1000 bp
500 bp

850 bp

Gambar 5 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman kacang panjang yang terinfeksi
BCMV menggunakan primer BIC-cpF dan BIC-cpR. (M) Marker 1 kb;
(1) tanaman sehat; (2) tanaman terinfeksi; (3) Sampel Cibereum; (4)
Sampel Brebes; (5) Sampel Cikabayan; (6) Sampel Balebak; (7)
Sampel Situ gede; (8) Sampel Bubulak.

23

Deteksi BCMV dengan DIBA.

Membran HybondTM-P Amersham digunakan

untuk deteksi virus dengan metode DIBA untuk sampel lapangan, karena
sensitifitasnya lebih tinggi saat digunakan untuk menguji sampel dari rumah kaca.
Pada deteksi BCMV sampel lapangan

dengan menggunakan metode DIBA,

diperoleh reaksi positif pada semua isolat BCMV pada tingkat pengenceran 1 :
102. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada membran
(Gambar 6). Semua sampel menunjukkan reaksi positif dengan signal kuat pada
tingkat pengenceran 1: 102 namun semakin melemah pada tingkat pengenceran
berikutnya. Secara umum, sampel yang diuji sudah tidak lagi menunjukkan signal
positif pada tingkat pengenceran 1 : 104 kecuali pada sampel Brebes dan Situ
Gede yang menunjukkan signal positif hanya sampai pengenceran 1: 102.
Tingkat
pengenceran

1

2

2

3

Isolat
4

5

6

Tanaman
sehat
Tanaman
terinfeksi
1:102
1:103
1:104
1:105
1:106
Bufer
Gambar 6 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai tingkat
pengenceran sap menggunakan 6 isolat BCMV (1) Cibereum, (2)
Brebes, (3) Cikabayan, (4) Balebak, (5) Situ gede, (6) Bubulak.

24

Deteksi Geminivirus dengan PCR. Deteksi Geminivirus dilakukan karena sampel
yang diambil dari lapangan menunjukkan gejala yang diduga berasosiasi dengan
infeksi Geminivirus yaitu gejala kuning pada daun. Dari enam sampel yang diuji
terdapat empat sampel (Cirebon, Cikabayan, Balebak, dan Bubulak) yang
menghasilkan pita DNA berukuran 1600 bp sesuai yang dilaporkan Aidawati
(2000) (Gambar 7).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa gejala kuning yang

disertai mosaik pada tanaman kacang panjang merupakan gejala infeksi
Geminivirus. Perbedaan ketebalan pita DNA dapat disebabkan oleh konsentrasi
virus dalam jaringan tanaman.
M

1

2

3

4

5

6

7

8

2000 bp
1600 bp
1000 bp

Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR dari tanaman kacang panjang yang terinfeksi
Geminivirus menggunakan primer pAL1v 1978 dan pAR1c 718. (M)
Marker 100 base pairs (bp); (1) tanaman sehat; (2-8) sampel berturutturut berasal dari Cirebon, Cibereum, Brebes, Cikabayan, Balebak,
Situ gede, Bubu