Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn)

PENGARUH PENGOLAHAN DAN PENAMBAHAN Na2EDTA
PADA TERIGU FORTIFIKASI TERHADAP KETERSEDIAAN
BIOLOGIS SENG (Zn)

ESTU NUGROHO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh
Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu Fortifikasi terhadap
Ketersediaan Biologis Seng (Zn) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Estu Nugroho
NIM I14090069

ii

ABSTRAK
ESTU NUGROHO. Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada
Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn). Dibimbing oleh
IKEU TANZIHA dan LEILY AMALIA FURKON.
Na2EDTA merupakan senyawa yang tahan panas dan dapat secara mudah
mengkelat atau mengikat mineral yang terlarut dalam lambung dan usus. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui perubahan ketersediaan biologis seng (Zn) yang
terjadi akibat penambahan Na2EDTA dan pengolahan terigu yang difortifikasi. Uji

ketersediaan biologis seng (Zn) dilakukan secara in vitro dengan mensimulaskan
pencernaan manusia menggunakan enzim pepsin dan larutan pankreatin-bile.
Hasil uji ketersediaan biologis seng (Zn) menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata (p>0.05) pada terigu yang
diolah dengan cara digoreng (donat), dikukus (bakpau), ataupun dipanggang
(roti). Namun, terdapat kecenderungan peningkatan ketersediaan biologis pada
terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) dan dipanggang (roti) bila
dibandingkan dengan adonan mentah, walaupun secara statistik peningkatan yang
terjadi tidak signifikan. Adonan mentah memiliki nilai ketersediaan biologis seng
(Zn) sebesar 13.29%, setelah digoreng (donat) memiliki nilai ketersediaan
biologis seng (Zn) sebesar 14.72% dan setelah dipanggang (roti) memiliki nilai
ketersediaan biologis seng (Zn) sebesar 17.06%. Penambahan Na2EDTA juga
tidak memberikan peningkatan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata
(p>0.05) pada ketiga jenis pengolahan yang digunakan walaupun terjadi
peningkatan ketersediaan biologis seng (Zn) pada donat sebesar 4.67%.
Kata kunci: terigu, ketersediaan biologis, seng (Zn), Na2EDTA, in vitro

ABSTRACT
ESTU NUGROHO. Effect of Processing and Addition of Na2EDTA on Wheat
Flour That Have Been Fortificated Toward Bioavailability of Zinc (Zn).

Dibimbing oleh IKEU TANZIHA dan LEILY AMALIA FURKON.
Na2EDTA is a heat resistant compound and can be easily binding minerals
dissolved in the stomach and intestines. The objectives of this research was to
assess changes in bioavailability of zinc (Zn) caused by the addition of Na2EDTA
and fortified wheat flour processing. Bioavailability of zinc (Zn) was tested by
using in vitro method that made a simulation of human digestion using pepsin and
pancreatin-bile. Test results of bioavailability of zinc (Zn) showed that there were
no significant differences (p> 0.05) in the bioavailability of zinc (Zn) on wheat
flour processed by frying (donuts), steaming (Steamed Bun), or baking (bread).
However, there was a tendency to increase the bioavailability of wheat flour
processed by frying (donuts) and baking (bread) when compared to the raw
dough. Raw dough had bioavailability of zinc (Zn) by 13.29%, after frying (donut)
increase to 14.72%, and after baking (bread) increase to 17.06%. The addition of
Na2EDTA also did not increase bioavailability of zinc (Zn) significantly (p> 0.05)
for the three types of processing, despite increased bioavailability of zinc (Zn) on
the donuts by 4.67%.
Keywords: wheat flour, bioavailability, zinc (Zn), Na2EDTA, in vitro
iii

PENGARUH PENGOLAHAN DAN PENAMBAHAN Na2EDTA

PADA TERIGU FORTIFIKASI TERHADAP KETERSEDIAAN
BIOLOGIS SENG (Zn)

ESTU NUGROHO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iv

Judul Skripsi : Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu

Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn)
Nama
: Estu Nugroho
NIM
: I14090069

Disetujui oleh

Dr Ir Ikeu Tanziha, MS
Pembimbing I

Leily Amalia Furkon, STP, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


v

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
bioavailabilitas, dengan judul Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA
pada Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn). Penelitian ini
merupakan salah satu bagian dari penelitian PKM yang didanai oleh DIKTI
dengan judul, ―Peningkatan Ketersediaan Biologis Besi dan Seng pada Produk
Olahan Terigu dengan Penambahan Na2EDTA sebagai Upaya untuk Menurunkan
Prevalensi Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia‖.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS. dan
Leily Amalia Furkon, MSi. selaku pembimbing serta kepada Ibu Dr. Ir. Sri Anna
Marliyati, MS. selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan
selama ujian sidang. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Mashudi yang telah banyak membantu selama penelitian ini dilakukan,
Yohanes, Rujito, Engkun Rokhimah, dan Hayu Ning Dewi selaku teman-teman
rekan PKMP serta teman-teman Gizi 46 yang banyak memberi saran. Ungkapan

terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Estu Nugroho

vi

DAFTAR ISI
ABSTRAK

iii

PRAKATA

vi

DAFTAR ISI


vii

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Bahan


3

Alat

4

Tahapan Penelitian

4

Rancangan Percobaan

7

Pengolahan dan Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air, Lemak, Abu, Protein, dan Karbohidrat


8
8

Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA terhadap Kadar Seng

13

Ketersediaan Biologis Seng

14

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

32

vii

DAFTAR TABEL
1 Kadar Air, Lemak, Abu, Protein, dan Karbohidrat Sampel pada Berbagai
Pengolahan
2 Kadar Seng (Zn) Sampel pada Berbagai Pengolahan dan Penambahan
Na2EDTA
3 Ketersediaan Biologis Seng (Zn) Sampel pada Berbagai Pengolahan dan
Penambahan Na2EDTA

8
13
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Diagram Alir Penelitian
Diagrama Alir Pembuatan Donat, Bakpao, dan Roti
Proses Analisis Ketersediaan Biologis Zn (Roig et al. 1999)
Proses Analisis Total Zn
Grafik Perubahan Ketersediaan Biologis Seng Akibat Pengolahan
Grafik Ketersediaan Biologis Seng dengan Penambahan Na2EDTA

4
5
6
7
16
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Hasil Pembacaan AAS
Perhitungan Hasil Pembacaan AAS
Hasil uji Statistik
Dokumentasi Penelitian

25
27
28
30

viii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penambahan zat gizi terhadap pangan atau fortifikasi pangan merupakan
elemen penting dalam program kebijakan pangan nasional yang ditujukan untuk
menjamin ketahanan pangan dan gizi penduduk. Fortifikasi pada terigu
merupakan kebijakan nasional pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk
menanggulangi masalah kekurangan atau defisiensi zat gizi mikro.
Salah satu zat gizi mikro yang ditambahkan ke dalam terigu adalah seng
(Zn). Seng merupakan zat gizi mikro esensial yang memiliki peran penting dalam
perkembangan dan pertumbuhan manusia (Ikeda & Yamashita 1994). Beberapa
fungsi dari seng (Zn) terhadap tubuh manusia adalah sebagai kofaktor atau bagian
dari enzim untuk menjalankan metabolisme tubuh, pengembangan fungsi
reproduksi laki-laki, detoksifikasi alkohol, metabolisme vitamin A, dan berperan
dalam fungsi kekebalan. Kekurangan seng (Zn) dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan sehingga karakteristik tubuh pendek, keterlambatan pematangan
seksual pada laki-laki, ganguan metabolisme vitamin A, penurunan fungsi
kekebalan tubuh, nafsu makan, dan penurunan ketajaman indra rasa (Almatsier
2001). Hal-hal tersebut dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang dan dalam
jangka panjang dapat memengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 menunjukkan
bahwa prevalensi zat gizi mikro masih cukup tinggi. Berdasarkan Riskesdas 2007,
prevalensi anemia secara nasional sebesar 14,8%, sementara berdasarkan
Riskesdas 2010 prevalensi balita pendek nasional sebesar 35,6% dan balita kurus
sebesar 13,3%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekurangan zat gizi mikro,
terutama seng masih menjadi masalah gizi yang cukup tinggi di Indonesia.
Pemerintah dan industri pangan memainkan peranan penting dalam
mendukung keberhasilan fortifikasi terigu. Sejak tahun 1998, pemerintah dan
industri sudah bekerjasama dalam mengemban SK menteri kesehatan No.
632/MENKES/SK/VI/1998 tentang kewajiban fortifikasi terigu di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 49/M-IND/PER/&/2008, terigu
wajib difortifikasi oleh zat gizi mikro, seperti zat besi (Fe) dengan dosis minimal
50 ppm, 30 ppm untuk seng (Zn), 2,5 ppm untuk tiamin (B1), 4 ppm untuk
riboflavin (B2), dan 2 ppm untuk asam folat (B11).
Kekurangan seng masih menjadi masalah di Indonesia dan salah satu
kebijakan pemerintah dalam mengatasi defisiensi seng tersebut adalah dengan
cara fortifikasi seng pada terigu. Namun demikian, terdapat beberapa masalah
dalam pelaksanaan program fortifikasi tersebut, yaitu pengetahuan konsumen
dalam proses pengolahan pangan fortifikasi dan efektivitas senyawa tersebut
untuk dicerna. Proses pengolahan dapat memengaruhi zat gizi mikro yang
terkandung dalam pangan fortifikasi, dan mengakibatkan kandungan serta
ketersediaan biologis zat gizi mikro produk hasil olahan menjadi berubah.
Jenis senyawa seng yang umum digunakan sebagai fortifikan saat ini adalah
ZnSO4. Namun demikian, hasil penelitian Hettiarachchi et al. (2004)
menunjukkan bahwa fortifikan dalam bentuk tersebut memiliki ketersediaan
biologis yang lebih rendah dibandingkan dengan fortifikasi senyawa tersebut pada

2

tepung beras yang ditambah Na2EDTA. Hal tersebut didukung dengan kondisi
serealia sebagai sumber seng (Zn) tetapi memiliki ketersediaan biologis yang
rendah karena adanya serat dan fitat yang menghambat absorbsi seng. Penelitian
Halberg et al. (1987) menunjukkan bahwa fitat merupakan penyebab utama dalam
terhambatnya penyerapan mineral, namun bukan merupakan satu-satunya faktor
penghambat. Jackson (1997) mengatakan ada banyak faktor yang memengaruhi
persentase zat gizi yang diserap, yang tidak berhubungan dengan karakteristik
bahan pangan, antara lain efisiensi pencernaan, konsumsi zat gizi sebelumnya,
status gizi, adanya kerusakan organ pencernaan atau penyakit, makanan lain yang
dikonsumsi, serta perlakuan pemasakan dan pengolahan.
Na2EDTA merupakan senyawa yang tahan panas dan sering digunakan
sebagai bahan tambahan pangan untuk mencegah ketengikan dan pengawet bahan
pangan. Selain itu, Na2EDTA (disodium etilendiamin tetraasetat) dapat secara
mudah mengkelat atau mengikat mineral yang terlarut dalam lambung dan usus
(Palupi 2008).
Terigu merupakan bahan mentah yang harus diolah terlebih dahulu sebelum
dapat dikonsumsi oleh manusia. Beberapa jenis pangan berbahan dasar terigu
yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia umumnya diolah dengan cara
digoreng, dikukus, dan dipanggang. Perbedaan cara pengolahan tersebut diduga
akan menyebabkan tingkat absorpsi yang berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya
penelitian untuk menentukan pengaruh penambahan senyawa Na2EDTA dan
pengolahan pada terigu fortifikasi terhadap penyerapan atau ketersediaan biologis
seng yang telah difortifikasi ke dalamnya.

Perumusan Masalah
Makanan merupakan sumber utama manusia untuk memenuhi kebutuhan
akan zat gizi. Selama hidup, manusia membutuhkan berbagai macam mineral.
Lebih dari 20 jenis mineral telah diketahui bersifat esesnsial Seng (Zn) merupakan
trace mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat kecil. Namun,
peran seng (Zn) sangat besar bagi tubuh. Di Indonesia, tercatat prevalensi balita
pendek nasional sebesar 35,6% dan balita kurus sebesar 13,3% yang merupakan
beberapa tanda dan gejala defisiensi seng (Zn) (Riskesdas 2010).
Pemerintah membuat kebijakan dengan mewajibkan produsen terigu untuk
menambahkan seng (Zn) minimal 30 ppm pada produknya sebagai upaya
meningkatkan intik seng di Masyarakat. Penambahan ini berupa fortifikasi di
terigu yang sudah dijalankan dari tahun 1998. Berbeda dengan konsumsi
suplemen, fortifikasi tergolong lebih aman dan murah sehingga baik untuk
diterapkan pada masyarakat luas dalam jumlah yang besar.
Namun, perlu dicermati bahwa ketersediaan biologis atau penyerapan seng
oleh tubuh relatif kecil, sekitar 15 – 55 persen (Whitney & Rolfes 2007). Selain
itu, adanya faktor pengolahan bahan pangan yang dapat memengaruhi mutu zat
gizi juga menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan sehingga kandungan
seng dalam makanan tidak terbuang percuma. Pengolahan dapat mengubah mutu
zat gizi menjadi lebih baik atau lebih buruk tergantung pada jenis pengolahan dan
kandungan gizi bahan pangan yang diolah. Di Indonesia, terigu umum diolah

3
dengan cara digoreng menjadi donat, dikukus menjadi bakpau, dan dipanggang
menjadi roti.
Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa Na2EDTA
dapat meningkatkan ketersediaan biologis seng. Oleh karena itu perlu diketahui
pengaruh penambahan Na2EDTA pada terigu fortifikasi yang diolah dengan
pengolahan yang umum di masyarakat sehingga dapat diketahui apakah
Na2EDTA dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat menjadi
alternatif untuk menurunkan prevalensi defisiensi seng di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan
ketersediaan biologis seng yang terjadi akibat penambahan Na2EDTA dan
pengolahan terigu yang difortifikasi. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, dan kadar
karbohidrat pada terigu fortifikasi yang diolah dengan tiga metode
pengolahan, yaitu digoreng (donat), dikukus (bakpau), dan dipanggang
(roti).
2. Menganalisis perbedaan kadar seng (Zn) pada tiga jenis produk olahan
terigu fortifikasi dengan tidak dan ditambahkan Na2EDTA.
3. Menganalisis perubahan ketersediaan biologis seng pada terigu fortifikasi
akibat penambahan Na2EDTA.
4. Membandingkan ketersediaan biologis seng pada produk olahan terigu
hasil penggorengan, pengukusan, dan pemanggangan dengan dan tanpa
ditambahkan Na2EDTA.
Manfaat Penelitian
1.
2.

3.
4.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
Sebagai sumbangsih dalam khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi
terutama mengenai pengolahan terigu fortifikasi.
Menambah pengetahuan masyarakat mengenai pengolahan pangan
berbahan dasar terigu fortifikasi yang baik, guna menjaga ketersediaan
biologis seng yang efektif.
Rekomendasi jenis pengolahan terigu fortifikasi yang tepat untuk
optimalisasi ketersediaan biologis seng.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan
kebijakan pangan khususnya pangan fortifikasi.

METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah terigu yang
banyak dikonsumsi masyarakat dengan kadar protein tinggi dan telah difortifikasi.

4

Bahan kedua yang digunakan adalah Na2EDTA. Bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk analisis ketersediaan biologis dan zat besi adalah HCl teknis 3%,
HCl 1N, air bebas ion, HCl 0,1N, pepsin (Sigma P-7000), pankreatin (sigma P1750), ekstrak bile (Sigma B-8631), NaHCO3, hidroksil amonium hidroklorida,
HCl pekat 98%, dan natrium asetat 2M.

Alat
Alat-alat yang digunakan untuk analisis ketersediaan biologis adalah
wadah untuk merendam peralatan gelas, labu ukur (25 ml, 250 ml, 500ml), pipet
mohr, pipet volumetrik, gelas ukur (100 ml, 250 ml), timbangan, cawan
pengabuan, blender, pH meter, botol gelas, erlenmeyer, tabung reaksi, botol
semprot, buret, gelas pengaduk, plastik, karet hisap, karet gelas, benang, kantung
dialisis (Spectrapor I, MWCO 6000-8000 Da (Fisher No. 08-670C)), freezer,
gunting, penangas air, magnetic stirer.

Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari penambahan Na2EDTA
dan pengolahan/pembuatan donat, bakpau, dan roti. Sementara penelitian lanjutan
terdiri dari analisis proksimat, analisis kadar Zn, dan analisis ketersediaan biologis
Zn. Berikut adalah diagram alir penelitian ini (Gambar 1).
Terigu

Tanpa Na2EDTA (Kontrol)

Ditambah Na2EDTA

Adonan

Adonan

Digoreng

Dikukus

Dipanggang

Digoreng

Dikukus

Dipanggang

Donat

Bakpau

Roti

Donat

Bakpau

Roti

Analisis proksimat

Analisis kadar seng (Zn), ketersediaan biologis seng (Zn)
Gambar 1. Diagram alir penelitian
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan bahan utama
(donat, bakpao, roti) sehingga dapat dianalisis lebih lanjut pada penelitian ini.
Penelitian pendahuluan terdiri penetapan jumlah Na2EDTA yang ditambahkan
dan pengolahan terigu (donat, bakpao, roti).

5
Penetapan jumlah Na2EDTA yang ditambahkan
Penambahan Na2EDTA dilakukan pada adoanan masing-masing pangan
olahan terigu fortifikasi. Menurut Hurrell et al. (2000), penambahan Na2EDTA
yang aman ada pada perbandingan rasio molar Fe:Na2EDTA 1:1, sehingga jumlah
Na2EDTA yang digunakan per 1 Kg terigu :
Kandungan Fe / Kg terigu (Nutrition Fact)
= 0.052 gram
Molaritas Fe
=
= 0.00093/L
Molaritas Na2EDTA =
M Na2EDTA : M Fe = 1:1
Jumlah Na2EDTA
= 0.00093 x 336 = 0.31312 g = 313.12 mg/Kg terigu
Pengolahan terigu
Pengolahan terigu pada penelitian ini menggunakan satu adonan dengan
bahan dasar yang sama, yaitu terigu, gula, telur, air, margarin, ragi, dan garam.
Adonan tersebut kemudian diolah dengan tiga cara pengolahan yang berbeda,
yaitu goreng (donat), kukus (bakpao), dan panggang (roti). Proses pembuatan
donat, bakpao, dan roti disajikan pada Gambar 2.
Na2EDTA
Gula, telur, ragi,
dilarutkan dalam air
margarin, dan garam
Dicampurkan hingga homogen
Ditambahkan terigu secara bertahap dan diaduk hingga terbentuk adonan yang kalis
Adonan dibiarkan mengembang selama ± 50 menit
Adonan dibagi-bagi, dibentuk, dan dibiarkan memgembang selama ± 40
menit
Digoreng 200 - 205oC
selama 60 detik

Donat

Dikukus 96 – 98oC
selama 15 menit

Bakpau

Dipanggang dengan
oven 160oC selama 17
menit
Roti

Gambar 2 Diagram alir pembuatan donat, bakpao, dan roti
Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan bertujuan untuk menganalisis proksimat dan kadar seng
serta ketersediaan biologis seng pada produk olahan. Analisis proksimat dilakukan
pada produk olahan dengan terigu tanpa penambahan Na2EDTA, sementara
analisis kadar seng (Zn) dan ketersediaan biologis seng (Zn) dilakukan pada
adonan dan produk olahan terigu (donat, bakpao, roti) baik yang ditambahkan
Na2EDTA maupun tanpa penambahan Na2EDTA (kontrol). Analisis proksimat
hanya dilakukan pada produk olahan dengan terigu tanpa penambahan Na2EDTA

6

dikarenakan Na2EDTA tidak akan memengaruhi nilai proksimat dari suatu bahan
(Hettiarachchi et al. 2004).
Analisis Proksimat
Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air (AOAC 1995), kadar abu
(AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar protein (AOAC 1995), kadar
karbohidrat (by difference).
Analisis Kadar dan Ketersediaan biologis Zn (Roig et al. 1999)
Analisis ketersediaan biologis seng (Zn) diawali dengan perendaman alatalat yang digunakan dengan HCl teknis 3% untuk menghilangkan kontaminan,
serta pembuatan larutan enzim yang ditujukan untuk mensimulasikan proses
pencernaan oleh enzim pada tubuh manusia. Proses analisis ketersediaan biologis
menggunakan sampel yang ditempatkan pada tiga gelas piala yang berbeda. Gelas
piala pertama (T1) digunakan untuk mengetahui jumlah NaHCO3 yang
dibutuhkan setiap sampel, gelas piala kedua (T2) digunakan untuk melakukan
proses dialisis, dan gelas piala ketiga (T3) digunakan untuk menghitung kadar
seng total. Berikut diagram analisis ketersediaan biologis seng (Zn) (Gambar 3).
Sampel setara 2 g protein
Ditambahkan H2O bebas ion 100 mL
pH diatur menjadi 2.0 dengan HCl 4 N
Larutan sampel dibagi kedalam dua gelas piala T1 dan T2 masing-masing 20 g
20 g larutan sampel (T2)

20 g larutan sampel (T1)

Ditambahkan suspensi pepsin

Ditambahkan suspensi pepsin

o

Diinkubasi dalam shaker 37 C
120 menit
Dimasukan ke dalam freezer

Diinkubasi dalam shaker 37oC
120 menit
Dimasukan ke dalam freezer

o

Dithawing dalam shaker 37 C
Dithawing dalam shaker 37oC
Kantung dialisis yang telah diisi 20
mL larutan NaHCO3 dimasukan ke
dalam larutan sampel
Diinkubasi dalam shaker 37oC 30
menit
Ditambahkan 5 mL pankreatin-bile
Diinkubasi 37oC 2 jam
Kantung dialisis diangkat
Dicuci dengan air bebas ion
Ditimbang dialisatnya

Dititrasi dengan NaOH sampai pH
7
Dihitung kebutuhan NaHCO3
NaHCO3 sejumlah hasil
perhitungan dilarutkan sampai
100 mL menggunakan air bebas
ion
20 mL larutan NaHCO3
dimasukkan ke dalam kantung
dialisis yang sebelumnya telah
direndam dengan air bebas ion.

Gambar 3. Proses analisis ketersediaan biologis Zn (Roig et al. 1999)

7
Larutan pepsin dibuat dengan melarutkan 1.6 g pepsin ke dalam 10 mL
HCl 0.1 N, sementara pembuatan pankreatin-bile dilakukan dengan melarutkan 1
g pankreatin (sigma p 170) yang mengandung amilase, protease, dan lipase + 6.23
ekstrak bile (sigma B-8631) ke dalam 250 mL larutan NaHCO3 0.1 N.
Kandungan (%) seng (Zn) yang tersedia kemudian diukur menggunakan
AAS. Gelas piala ketiga (T3) yang diisi dengan 0.5 g sampel sampel ditambahkan
10 ml HNO3 pekat dan H2SO4 pekat dan dipanaskan hingga larut dan tidak
berwarna gelap lagi dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml serta diencerkan
hingga tanda tera. Larutan lalu disaring dengan kertas whatman No. 42 dan kadar
seng (Zn) tersedia diukur dengan AAS (Atomic Absorbtion Spectroscopy). Berikut
diagram analisis kadar Zn (Gambar 4).
Ditimbang ± 0,5 gr sampel
Ditambah 10 mL H2SO4 pekat
Ditambahkan 10 mL HNO3 pekat
Didiamkan semalam
Ditambahkan H2O bebas ion
Dipanaskan sampai jernih
Diencerkan dalam labu takar 100 mL
Disaring dengan kertas whatman No. 42

Dibaca absorban dengan AAS pada = 213,86 nm
Gambar 4. Proses analisis total Zn
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
Tersarang (nested) dengan dua kali pengulangan. Model yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Yij= + Ai + Bj(i) + Ɛijk
Dimana:
Yij = pengamatan penambahan Na2EDTA taraf ke-i, pengolahan
taraf ke-j dan ulangan ke-k
i
= banyaknya perlakuan penambahan Na2EDTA (i = 2)
j
= banyaknya pengolahan (j=3)
k
= banyaknya ulangan (k=2)
= rataan umum
Ai = pengaruh penambahan Na2EDTA pada taraf ke-i
Bj(i) = pengaruh pengolahan pada taraf ke-j pada Ai
Ɛijk = pengaruh galat pada penambahan Na2EDTA taraf ke-i,
pengolahan taraf ke-j dan ulangan ke-k.

8

Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil analisis ditabulasi menggunakan program Ms. Excel 2010 dan
diuji statistik menggunakan SPSS ver.16 for Windows dengan nested ANOVA
untuk mengetahui pengaruh pengolahan terigu pada setiap perlakuan. Jika hasil
yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Galat
yang digunakan adalah 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air, Lemak, Abu, Protein, dan Karbohidrat
Di Indonesia, terigu pada umumnya diolah dan dibuat produk dengan cara
dikukus (steamed), digoreng (fryed), dan dipanggang (baked), termasuk produk
bakery. Meskipun demikian, sebagian besar hasil produk bakery di Indonesia
diolah dengan cara dipanggang. Menurut Winarno (2008), waktu dan suhu
pemanasan saat pengolahan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
tingkat kerusakan zat gizi pada pengolahan dengan panas. Suhu dan waktu yang
digunakan dalam penelitian disesuaikan dengan suhu dan waktu yang sering
digunakan oleh masyarakat untuk mengolah terigu menjadi pangan olahan, donat,
bakpau, dan roti. Hasil analisis kadar air, protein, abu, lemak, dan karbohidrat
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kadar air, lemak, abu, protein, dan karbohidrat sampel pada berbagai
pengolahan

Digoreng
(Donat)

Dikukus
(Bakpau)

Dipanggang
(Roti)

Ulangan I (1)
Ulangan I (2)
Ulangan II (1)
Ulangan II (2)
Rata-rata
Ulangan I (1)
Ulangan I (2)
Ulangan II (1)
Ulangan II (2)
Rata-rata
Ulangan I (1)
Ulangan I (2)
Ulangan II (1)
Ulangan II (2)
Rata-rata

Kadar
Air
(%)
30.64
30.48
24.60
24.46
27.54b
35.99
36.81
34.22
34.38
35.35a
29.86
30.20
26.50
26.81
28.34b

Kadar
Lemak
(%)
6.71
7.03
7.26
7.64
7.16a
1.56
1.52
1.64
1.62
1.58b
2.97
2.69
2.70
2.96
2.83c

Kadar
Abu
(%)
0.51
0.49
0.46
0.48
0.48 a
0.52
0.46
0.40
0.51
0.47 a
0.47
0.51
0.62
0.65
0.56 a

Kadar
Protein
(%)
8.36
8.34
7.94
8.23
8.21 a
8.50
8.09
8.05
8.39
8.26 a
8.39
8.33
8.71
8.54
8.49 a

Kadar
karbohidrat
(%)
53.79
53.66
59.75
59.18
56.59ab
53.44
53.10
55.69
55.10
54.33a
58.31
58.27
61.46
61.03
59.77b

*Tanda yang berbeda menunjukkan hasil uji berbeda signifikan dengan selang kepercayaan 95%

9
Analisis kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat pada penelitian ini
menerapkan sistem duplo pada setiap sampel dengan dua kali ulangan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05) untuk
kadar protein dan kadar abu pada terigu yang diolah dengan cara digoreng,
dikukus, ataupun dipanggang. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan (p >
0.05) untuk kadar air, lemak, dan karbohidrat pada terigu yang diolah dengan cara
digoreng, dikukus, ataupun dipanggang.
Kadar Air
Air dalam tubuh manusia diperoleh dari tiga sumber, yaitu dari minuman,
makanan, dan hasil metabolisme (air metabolik) (Santoso et al. 2011). Kandungan
air yang terdapat dalam makanan dapat memengaruhi penampakan, tekstur, serta
cita rasa dari makanan yang dihasilkan (Winarno 2008). Hasil penelitian
Menunjukkan bahwa bakpau (kukus) memiliki kadar air yang lebih tinggi
dibandingkan dengan donat (goreng) ataupun roti (panggang). Rata-rata kadar air
bakpau adalah 35.35% sementara kadar air donat dan roti berturut-turut adalah
27.54% dan 28.34%.
Setelah dilakukan uji sidik ragam, diketahui terdapat perbedaan kadar air
yang nyata pada donat, bakpau, dan roti dengan (p < 0.05). Setelah dilakukan uji
lanjut Duncan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kadar air yang nyata
pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) dan dipanggang (roti),
namun keduanya berbeda nyata dengan terigu yang diolah dengan cara di kukus
(bakpau). Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan penelitian Sumiati
(2008) yang menunjukkan bahwa bahan pangan yang diolah dengan cara dikukus
memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan yang
diolah dengan cara digoreng ataupun dipanggang.
Pemanggangan dan penggorengan termasuk dalam pengolahan kering (dry
heat), sementara pengukusan merupakan pengolahan basah (moist heat) yang
menggunakan uap air sebagai media untuk menghantarkan panas. Hal tersebut
menyebabkan penurunan kadar air pada terigu yang diolah dengan cara digoreng
(donat) ataupun dipanggang (roti) lebih tinggi dibandingkan dengan cara dikukus
(bakpau). Hasil penelitian Sumiati (2008) juga menunjukkan bahwa kadar air pada
bahan pangan yang diolah dengan cara pengolahan basah (kukus atau rebus) lebih
tinggi dibandingkan dengan bahan pangan yang diolah dengan pengolahan kering
(panggang atau goreng). Selain itu, perbedaan penggunaan suhu juga diduga
memengaruhi kadar air. Pada pengolahan terigu dengan cara dikukus, suhu yang
digunakan berkisar antara 96-98oC, sementara pemanggangan dan penggorengan
dilakukan pada suhu masing-masing 160oC dan 200oC, sehingga kehilangan air
lebih besar dibandingkan pengukusan. Selain itu, pada waktu pengukusan juga
terjadi penyerapan air atau uap air oleh bahan. Bahan yang dikukus dalam waktu
yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk
kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan
kadar air bahan (Lukman 1992 dalam Nisviaty 2006).
Kadar Lemak
Dalam jumlah yang memadai, lemak merupakan zat makanan yang penting
untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak juga merupakan sumber energi
yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak memberi
cita rasa dan memperbaiki tekstur pada makanan dan merupakan pelarut bagi

10

vitamin A, D, E, K (Winarno 2008). Pada umumnya setelah proses pengolahan
bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya.
Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta
lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka
kerusakan lemak akan semakin tinggi. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika
dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen.
Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan
bahkan dapat bersifat toksik. Pada proses pemanggangan yang ekstrim, asam
linoleat dan kemungkinan juga asam lemak yang lain akan dikonversi menjadi
hidroperoksida yang tidak stabil oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase.
Perubahan tersebut akan berpengaruh pada nilai gizi lemak dan vitamin (oksidasi
vitamin larut-lemak) produk (Palupi et al. 2007). Hasil penelitian Prabandari et al.
(2005) tentang pengaruh waktu perebusan dari dua jenis udang yang berbeda
menunjukkan bahwa lemak akan mencair menjadi senyawa volatil seperti aldehid,
keton, alkohol, asam dan hidrokarbon yang akan menguap saat pemanasan.
Pemanasan akan mempercepat gerakan-gerakan molekul lemak, sehingga jarak
antara molekul lemak menjadi besar dan akan mempermudah proses pengeluaran
lemak (Winarno 2008). Proses tersebut dipengaruhi oleh suhu pengolahan dan
lama pemanasan (Gurr 1992 dalam Mulyaningtyas 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai kadar lemak
yang cukup besar dari ketiga jenis pangan olahan yang dihasilkan. Donat
(digoreng) memiliki rata-rata kadar lemak tertinggi, yaitu 7.16% dibandingkan
dengan bakpau (dikukus) sebesar 1.59% ataupun roti (dipanggang) sebesar 2.83%.
Perbedaan kadar lemak yang signifikan (p < 0.05) terjadi pada ketiga pengolahan
tersebut. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa ketiga jenis
pengolahan menghasilkan kadar lemak yang berbeda nyata. Penggorengan
menghasilkan kadar lemak yang berbeda dengan pengukusan dan pemanggangan,
pengukusan menghasilkan kadar lemak yang berbeda dengan penggorengan dan
pemanggan, dan pemanggangan menghasilkan kadar lemak yang berbeda dengan
pengukusan dan penggorengan. Dapat disimpulkan bahwa pengolahan terigu
dengan cara dikukus akan menghasilkan kadar lemak yang lebih rendah
dibandingkan dengan cara dipanggang ataupun digoreng, dan pengolahan terigu
dengan cara digoreng akan menghasilkan kadar lemak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cara dipanggang ataupun dikukus.
Penggorengan dilakukan dengan cara deep fat frying yaitu proses
penggorengan seluruh adonan terendam dalam minyak goreng pada suhu 200 –
205oC. Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan
pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air (Ketaren
1986). Saat akhir tahap penggorengan, sejumlah minyak tambahan akan diserap
oleh aksi kapiler saat ruang hampa terbentuk di dalam bahan. Selama pendinginan
setelah penggorengan, uap air di dalam, makanan akan terkondensasi sehingga
terbentuk ruang vakum yang mempercepat penyerapan minyak dari permukaan ke
bagian dalam produk (Thomas 2007). Hal tersebut yang membuat kadar lemak
donat lebih tinggi dibandingkan bakpau ataupun roti yang sumber lemak hanya
berasal dari bahan adonan.
Kadar Abu
Kadar abu merupakan salah satu penentu dari mutu pangan. Menurut SNI
01-3751-2006, batas maksimum kadar abu pada terigu yang merupakan bahan

11
dasar pembuatan sampel pada penelitian ini adalah 0.6%. Rata-rata kadar abu
pada donat, bakpau, dan roti berturut-turut adalah 0.48%, 0.47%, dan 0.56%.
Berbeda dengan kadar air, lemak, dan karbohidrat, tidak terlihat adanya perbedaan
yang nyata pada kadar abu (p > 0.05) dari ketiga jenis pengolahan.
Abu merupakan residu anorganik yang tersisa setelah dilakukan pembakaran
ataupun oksidasi penuh senyawa organik pada bahan pangan (Nielsen 2010).
Kadar abu juga dapat dikatakan sebagai kadar mineral total dari suatu bahan
pangan (Berdanier 2002). Ketiga jenis pengolahan yang dilakukan tidak
menyebabkan perbedaan kadar abu yang nyata diduga karena pengolahan dengan
panas tidak memengaruhi total mineral yang ada pada sampel. Menurut Palupi et
al. (2007), pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara
sigifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Adanya oksigen
dapat menyebabkan kemungkinan beberapa mineral teroksidasi menjadi mineral
bervalensi lebih tinggi, namun tidak memengaruhi nilai gizinya. Meskipun
beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan pangan,
proses tersebut tidak memengaruhi kandungan mineral dalam bahan pangan.
Kadar Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Pengolahan yang paling banyak
dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi,
pemasakan dan pengeringan (Palupi et al. 2007). Pemanasan merupakan salah
satu proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi. Pada suhu 100oC, protein
akan terkoagulasi dan air akan keluar. Keluarnya cairan disebabkan karena protein
kehilangan daya ikat terhadap air sewaktu terjadi penggumpalan. Semakin tinggi
suhu, protein akan terhidrolisis dan terdenaturasi, sehingga terjadi peningkatan
kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam
daging (Zaitsev et al. 1969 dalam Sumiati 2008).
Sementara itu telah diketahui bahwa protein merupakan senyawa reaktif
yang tersusun atas beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif yang
dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak
dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali,
belerang dioksida atau hidrogen peroksida. Reaksi dengan senyawa-senyawa
tersebut dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya
penurunan daya cerna protein dan ketersediaan asam-asam amino esensial. Selain
itu reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang dikenal dengan reaksi
Maillard, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan protein selama
pengolahan dan penyimpanan (Palupi et al. 2007). Reaksi maillard adalah reaksi
antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Gula
nonreduksi tidak dapat melakukan reaksi Mailard selama tidak terjadi pemecahan
ikatan glikosida yang dapat membebaskan monosakarida dengan gugus
peredeuksi. Hasil reaksi Maillard berupa produk berwarna cokelat yang sering kali
dikehendaki untuk muncul. Namun demikian, hal tersebut juga dapat menjadi
tanda penurunan mutu (Makfoeld et al. 2002). Protein yang telah mengalami
reaksi Maillar daya cernanya akan menurun, sehingga dikeluarkan melalui feses
(Palupi et al. 2007).
Menurut Winarno (2008), suhu dan waktu merupakan faktor yang
menentukan dalam terjadinya kerusakan zat gizi selama pengolahan, tidak
terkecuali protein. Protein merupakan zat gizi yang paling penting pada

12

penyerapan seng (Zn). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar
protein terigu yang digoreng (donat), dikukus (bakpau), dan dipanggang (roti)
secara berturut-turut adalah 8.22%, 8.26%, dan 8.49%. Setelah dilakukan uji sidik
ragam, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kadar protein yang nyata (p >
0.05) antara terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat), dikukus (bakpau),
ataupun dipanggang (roti). Menurut hasil penelitian Sumiati (2008), terdapat
perbedaan yang nyata dalam hal kadar protein pada pengolahan digoreng
dibandingkan pada pengolahan dikukus ataupun dipanggang. Namun, pada
penelitian ini, tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal tersebut diduga karena
metode yang digunakan dalam analisis kadar protein adalah metode kjeldahl yang
mengukur kadar protein secara kasar (crude protein content) dengan mengukur
kadar protein berdasarkan hasil pengukuran nitrogen di dalam protein tersebut.
Oleh karena itu, walaupun pengolahan dapat merusak protein, nitogen di
dalamnya tetap terukur setelah melalui proses pengolahan dan dijadikan sebagai
dasar penentuan kadar protein sampel yang digoreng (donat), dikukus (bakpau),
dan dipangggang (roti).
Kadar Karbohidrat
Karbohidrat atau Hidrat Arang adalah suatu zat gizi yang fungsi utamanya
sebagai penghasil energi, dimana setiap gramnya menghasilkan 4 Kalori. Secara
umum definisi karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom
Karbon, Hidrogen dan Oksigen, dan pada umumnya unsur hidrogen dan oksigen
dalam komposisi menghasilkan H2O (Hutagalung 2004). Ditinjau dari nilai
gizinya, karbohidrat dalam 1 bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu: (1) karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu monosakarida (glukosa, fruktosa,
galaktosa dsb), disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa) serta pati, dan (2)
karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida penyebab flatulensi
(stakiosa, rafinosa dan verbaskosa) serta serat pangan (dietary fiber) yang terdiri
dari selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan lignin (Palupi et al. 2007).
Pengaruh pemanggangan terhadap karbohidrat umumnya terkait dengan
terjadinya hidrolisis. Sebagai contoh, pemanasan akan menyebabkan gelatinisasi
pati yang akan meningkatkan nilai cernanya. Sebaliknya, peranan karbohidrat
sederhana dan kompleks dalam reaksi Maillard dapat menurunkan ketersediaan
karbohidrat dalam produk-produk hasil pemanggangan. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pengolahan hanya sedikit
memengaruhi kandungan serat dalam bahan pangan yang diuji (Palupi et al. 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar karbohidrat dari ketiga
pengolahan memiliki perbedaan yang nyata (p < 0.05). Setelah dilakukan uji
lanjut Duncan, diketahui bahwa kadar karbohidrat donat dengan roti dan donat
dengan bakpau tidak berbeda, tetapi kadar karbohidrat bakpau dengan roti
berbeda. Donat (goreng), bakpau (kukus), dan roti (panggang) secara berturutturut memiliki rata-rata kadar karbohidrat sebesar 56.60%, 54.33%, dan 59.77%.
Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference, yaitu dengan melihat
sisa persentase kandungan zat gizi setelah dikurangi kadar air, protein, abu, dan
lemak. Roti memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, melihat bahwa bakpau
memiliki kandungan air yang tinggi sementara donat memiliki kandungan lemak
yang tinggi sehingga mengurangi persentase kadar karbohidrat.

13
Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA terhadap Kadar Seng
Analisis total seng (Zn) pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) atau
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)
atau Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu metoda analisis untuk
penentuan konsentrasi suatu unsur dalam suatu cuplikan. AAS pertama kali
digunakan oleh Gustav Kirch-hoff dan Robert Bunsen pada tahun 1859 dan 1860
untuk melakukan uji kualitatif atom. Absorbsi atom, baik menggunakan api
ataupun elektrotermal secara luas digunakan untuk menganalisis trace mineral,
termasuk seng. Penggunaan AAS dalam analisis mineral, contohnya seng telah
banyak digunakan dalam penentuan berbagai sampel seperti, air, air limbah, udara,
darah, urin, jaringan otot, rambut, makanan, shampoo, bensin, minyak, sedimen,
bebatuan, dll. AAS dapat mendeteksi mineral seng (Zn) sampai 0.8 ppb (part per
billion) (Harvey 2000). Prinsip kerja AAS didasarkan pada proses penyerapan
energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat dasar (ground state),
untuk mengeksitasi elektron terluar. Proses penyerapan energi terjadi pada
panjang gelombang yang spesifik dan karakteristik untuk tiap unsur. Intensitas
radiasi yang diserap sebanding dengan jumlah atom dalam contoh sehingga
dengan mengukur intensitas radiasi yang diserap (absorbansi) atau mengukur
intensitas radiasi yang diteruskan (transmitansi), maka konsentrasi unsur di dalam
cuplikan dapat ditentukan (Asminar & Dahlan 2000).
Hasil analisis kadar Seng (Zn) untuk setiap sampel disajikan pada Tabel 2.
Sampel terdiri dari adonan (mentah) serta adonan yang diolah dengan cara
digoreng, dikukus, dan dipanggang. Analisis dilakukan terhadap terigu yang
ditambahkan Na2EDTA dan tanpa penambahan Na2EDTA.
Tabel 2 Kadar seng (Zn) sampel pada berbagai pengolahan dan penambahan
Na2EDTA

Ulangan I
Ulangan II
Rata-rata
Ulangan I
Digoreng
Ulangan II
(Donat)
Rata-rata
Ulangan I
Dikukus
Ulangan II
(Bakpau)
Rata-rata
Ulangan I
Dipanggang
Ulangan II
(Roti)
Rata-rata
Adonan

Kadar Zn (mg/100g)
Tanpa Na2EDTA
Ditambah Na2EDTA
2.98
2.23
4.08
4.88
a
3.53
3.56 a
5.32
4.01
4.92
3.61
5.12 a
3.81 a
5.77
5.52
5.40
5.72
a
5.59
5.62 a
4.66
6.25
3.62
3.26
4.14 a
4.75 a

*Tanda yang berbeda menunjukkan hasil uji berbeda signifikan dengan selang kepercayaan 95%

Hasil analisis kadar seng (Zn) menunjukkan bahwa rata-rata kadar seng
pada adonan lebih kecil daripada pangan olahan. Meskipun demikian, setelah
dilakukan uji sidik ragam (ANOVA) tersarang, diketahui bahwa tidak terdapat
perbedaan kadar seng (Zn) yang nyata (p > 0.05) pada pangan yang belum diolah

14

(adonan), dengan pangan yang telah diolah (donat, bakpau, atau roti). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pengolahan terigu baik dengan cara digoreng, dikukus,
ataupun dipanggang tidak akan memengaruhi kadar seng (Zn) dari bahan yang
digunakan.
Menurut Palupi et al. (2007), pada umumnya garam-garam mineral tidak
terpengaruh secara sigifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan.
Dengan adanya oksigen, beberapa mineral kemungkinan teroksidasi menjadi
mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak memengaruhi nilai gizinya.
Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan
pangan, proses tersebut tidak memengaruhi kandungan mineral dalam bahan
pangan.
Penambahan Na2EDTA juga tidak memengaruhi kadar seng. Hasil Uji
sidik ragam tersarang menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar seng (Zn)
yang nyata (p >0.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa baik
pengolahan (penggorengan, pengukusan, atau pemanggangan) dan penambahan
Na2EDTA pada terigu tidak akan memengaruhi kadar seng secara nyata.

Ketersediaan Biologis Seng
Ketersediaan biologis didefinisikan sebagai persentase kandungan total zat
gizi pada suatu pangan yang masuk ke dalam sistem sirkulasi darah dari saluran
pencernaan. Secara umum ketersediaan biologis mineral untuk diserap
berhubungan dengan kelarutannya di dalam saluran pencernaan (Ikeda dan
Murakami 1995). Jackson (1997) mengatakan ada banyak faktor yang
memengaruhi persentase zat gizi yang diserap, yang tidak berhubungan dengan
karakteristik bahan pangan, antara lain efisiensi pencernaan, konsumsi zat gizi
sebelumnya, status gizi, adanya kerusakan organ pencernaan atau penyakit,
makanan lain yang dikonsumsi, serta perlakuan pemasakan dan pengolahan.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan selang penyerapan seng
(Zn) yang cukup besar. Menurut Whitney dan Rolfes (2007), banyaknya seng
yang diabsorbsi berkisar 15-40%. Sementara pada penelitian Hettiarachchi et al.
(2004) disimpulkan bahwa penyerapan seng berada pada 6.4-55% dan pada
penelitian Herman et al. (2002) 10-40%. Penelitian Lonnerdal (2000)
menunjukkan bahwa konsumsi pitat dan kalsium dapat menghambat penyerapan
seng, sementara konsumsi protein dapat meningkatkan penyerapan seng.
Ketersediaan biologis seng dalam suatu bahan pangan dapat diperkirakan dengan
melihat rasio antara kadar pitat dengan kadar seng dalam bahan pangan tersebut
(IZiNC 2004 dalam Good 2009). Bila rasio molar antara pitat dengan seng diatas
15, maka ketersediaan biologisnya tergolong rendah, antara 5 sampai 15 tergolong
sedang, dan dibawah 5 tergolong tinggi (WHO 2004 dalam Good 2009).
Ketersediaan biologis seng pada bahan pangan berbahan dasar serealia tergolong
rendah dilihat dari rasio molaritas antara pitat dengan kadar seng >15 (Good
2009). Seperti halnya besi, absorbsi seng dipengaruhi oleh status seng tubuh. Bila
lebih banyak seng yang dibutuhkan, lebih banyak pula jumlah seng yang
diabsorbsi (Whitney & Rolfes 2007).
Penelitian ini menguji kadar biologis seng secara in vitro. Banyak
pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan ketersediaan biologis dari

15
trace element. Pertama melalui metode in vivo yaitu mengukur penyerapan pada
manusia dengan menggunakan metode keseimbangan kimia dan teknik
radioisotop. Metode kedua dengan menggunakan hewan percobaan. Ketiga
dengan menggunakan metode in vitro yang mensimulasikan proses pencernaan
dengan menggunakan enzim pencernaan sehingga menyerupai pencernaan pada
tubuh manusia (Rao 1994).
Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang
memengaruhi penyerapan seng dalam usus, namun tidak dapat mengukur
bioavailabilitas secara tepat dibandingkan dengan metode in vivo. Tetapi metode
in vitro memungkinkan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian dan
mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Gueguen et
al. 2000). Selain itu, saat menggunakan metode in vivo, faktor fisiologis individu
akan sangat memengaruhi penyerapan atau absorbsi zat gizi, sementara pada
metode in vitro faktor fisiologis individu diasumsikan sama (Astuti 1986 dalam
Elnovriza 2001). Walaupun terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan uji
secara in vitro, uji secara in vitro tidak dapat digunakan untuk pengembangan
produk industri. Bukti uji pada manusia tetap harus dilakukan untuk penentuan
segala kebijakan (Fairweather-Tait et al. 2005). Namun demikian, studi-studi
sebelumnya telah menunjukkan bahwa uji ketersediaan biologis mineral dapat
dilakukan secara in vitro. Studi yang dilakukan Schricker et al. (1981)
menunjukkan bahwa metode in vitro untuk mengukur persentase besi yang
terserap menghasilkan nilai yang menyerupai besaran pada uji in vivo pada
manusia. Selain itu metode in vitro juga lebih murah dan cepat dibanding metode
in vivo. Berdaraskan uraian di atas, maka pada penelitian ini digunakan metode in
vitro untuk melakukan uji ketersediaan biologis Zn. Hasil analisis ketersediaan
biologis seng (Zn) disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Ketersediaan biologis seng (Zn) sampel pada berbagai pengolahan dan
penambahan Na2EDTA

Ulangan I
Adonan
Ulangan II
Rata-rata
Ulangan I
Digoreng
Ulangan II
(Donat)
Rata-rata
Ulangan I
Dikukus
Ulangan II
(Bakpau)
Rata-rata
Ulangan I
Dipanggang
Ulangan II
(Roti)
Rata-rata

Bioavailabilitas (%)
Tanpa Na2EDTA (Kontrol)
Ditambah Na2EDTA
9.57
5.15
17.01
19.99
13.29a
12.57 a
12.79
18.97
16.65
19.82
a
14.72
19.39 a
13.85
12.48
11.90
9.90
12.88 a
11.19 a
16.40
14.45
17.72
20.05
a
17.06
17.25 a

*Tanda yang berbeda menunjukkan hasil uji berbeda signifikan dengan selang kepercayaan 95%

16

Pengaruh Pengolahan terhadap Ketersediaan Biologis Seng
Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan: (1) untuk
pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan (misalnya
pengalengan); (2) untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (misalnya
pemanggangan); serta (3) untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap
dihidangkan. Semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak,
sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan
mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan
kerusakan sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat
(Palupi et al. 2007).
Hasil uji sidik ragam tersarang menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata (p > 0.05) antara pangan
yang belum diolah (adonan) ataupun pangan yang telah diolah (donat, bakpau, dan
roti). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa baik penggorengan,
pengukusan, ataupun pemanggangan tidak akan memengaruhi ketersediaan
biologis seng (Zn) pada terigu secara nyata. Menurut Whitney dan Rolfes (2007),
ketersediaan biologis seng sangat dipengaruhi oleh kadar protein sampel. Kadar
protein pada ketiga jenis pengolahan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
sehingga ketersediaan biologis seng pada ketiga jenis pengolahan tidak berbeda
nyata..
Menurut Muchtadi dan Palupi (1992), ketersediaan seng secara biologis
ditentukan berdasarkan kekuatan seng yang terikat pada protein. Protein berperan
sebagai carrier seng untuk dapat diserap oleh tubuh. Protein utama dalam
penyerapan seng adalah albumin. Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu
utama penyerapan seng. Albumin merupakan alat transport utama seng. Absorbsi
seng menurun bila albumin darah menurun, misalnya dalam keadaan gizi kurang
atau kehamilan (Almatsier 2001). Namun, seng juga dapat berikatan dengan
transferin seperti pada penyerapan besi. Pada manusia normal, transferin biasanya
disaturasi oleh besi kurang dari 50%, tetapi pada konsumsi besi berlebih
transferrin dapat lebih tersaturasi oleh besi sehingga transferrin yang tersedia
untuk penyerapan seng berkurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan
penyerapan seng di dalam tubuh, yang terjadi bila konsumsi besi lebih dari dua
kali konsumsi seng (Whitney & Rolfes 2007).
Uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa pengolahan tidak
menyebabkan perubahan ketersediaan biologis seng (Zn) secara nyata. Namun,
bila dilihat dari nilai ketersediaan biologisnya, terdapat perbedaan akibat
pengolahan yang dilakukan. Berikut Grafik perubahan ketersediaan biologis seng
akibat pengolahan (Gambar 5)
20
15

%

17,06
13,29

14,72

13,29 12,88

13,29
Adonan

10
5

Olahan

0
Donat

Bakpau

Roti

Gambar 5. Grafik perubahan ketersediaan biologis seng akibat pengolahan

17
Grafik di atas menunjukkan b