Sintesis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2 dari Abu Layang dan Waterglass serta Uji Adsorpsi dan Fotodegradasinya

SINTESIS ZEOLIT DAN NANOKOMPOSIT ZEOLIT/TiO2
DARI ABU LAYANG DAN WATERGLASS SERTA UJI
ADSORPSI DAN FOTODEGRADASINYA

ADE EVAN ERVIANA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Zeolit dan
Nanokomposit Zeolit/TiO2 dari Abu Layang dan Waterglass serta Uji Adsorpsi
dan Fotodegradasinya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013
Ade Evan Erviana
NIM G44080083

ABSTRAK
ADE EVAN ERVIANA. Sintesis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2 dari Abu Layang
dan Waterglass serta Uji Adsorpsi dan Fotodegradasinya. Dibimbing oleh SRI SUGIARTI
dan ETI ROHAETI.
Abu layang mengandung Si sebesar 20.74% dan Al 4.09%, sehingga
memungkinkan untuk disintesis menjadi zeolit. Zeolit disintesis menggunakan metode
peleburan pada suhu 550 °C, dan dilanjutkan hidrotermal pada suhu 90 °C selama 6 jam.
Abu layang dilebur dengan padatan NaOH, dan waterglass dengan 5 ragam, yaitu 1.0 g
diberi kode ZK1, ZK2 (1.5 g), ZK3 (2.5 g), ZK4 (5.0 g), dan ZK5 (7.5 g) pada suhu 550
°C selama 1 jam. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa zeolit yang dihasilkan adalah
zeolit tipe P1. Zeolit ZK1 memiliki kristalinitas tertinggi (65%), sehingga komposisinya
digunakan untuk menyintesis nanokomposit zeolit/TiO2. Hal ini bertujuan meningkatkan
karakter zeolit, terutama kemampuan adsorpsi-fotodegradasinya. Zeolit dan nanokomposit

hasil sintesis kemudian diuji daya adsorpsinya. Hasil uji menunjukkan bahwa ZK1
memiliki kapasitas adsorpsi tertinggi, yaitu 147 mg/g. Adsorpsi dioptimisasi pada sampel
ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2 untuk membandingkan kemampuan adsorpsi dan
menentukan kondisi optimum. Konsentrasi optimum ZK1 ialah 400 ppm dengan bobot
adsorben 0.02 g, dan waktu adsorpsi 3 jam. Nanokomposit zeolit/TiO2 memiliki
konsentrasi optimum sebesar 250 ppm, bobot adsorben 0.01 g, dan waktu adsorpsi selama
1 jam. Nanokomposit zeolit/TiO2 terbukti mampu mendegradasi biru metilena di bawah
radiasi sinar ultraviolet selama 6 jam pada =365 nm.
Kata kunci : abu layang, fotodegradasi, kapasitas adsorpsi, nanokomposit zeolit/TiO2,
zeolit.

ABSTRACT
ADE EVAN ERVIANA. Synthesis of Zeolite and Zeolite/TiO2 Nanocomposite from Fly
Ash and Waterglass and Their Adsorption and Photodegradation Tests. Supervised by SRI
SUGIARTI and ETI ROHAETI.
Coal fly ash contains 20.74% Si and 4.09% Al, rendering its possibility to be
synthesized to zeolite. Zeolite was synthesized by smelting at 550 °C, and continued with
hydrothermal method at 90 °C for 6 hours. The weighed fly ash was melted with solid
NaOH and various amounts of waterglass at 550 °C for 1 hour, which were coded ZK1 for
1.0 g of waterglass added, ZK2 (1.5 g), ZK3 (2.5 g), ZK4 (5.0 g), and ZK5 (7.5 g). The

results indicated that the zeolite has the character as type P1. ZK1 zeolite had the highest
crystallinity (65%), therefore it was used further to synthesize zeolit/TiO2 nanocomposite.
The nanocomposite was formed to improve the zeolite characters, especially adsorptionphotodegradation capacity. The synthesized zeolite and the nanocomposite were tested for
their adsorption capacities. The results showed that the ZK1 has the highest adsorption
capacity, i.e. 147 mg/g. Optimization was performed on ZK1 and zeolit/TiO2
nanocomposite to compare their adsorption capacity and to determine their optimum
conditions for adsorption. The optimum concentration of adsorbate that can be adsorbed
by ZK1 was obtained at 400 ppm using 0.02 g adsorbent, with the adsorption time of 3
hours. Zeolite/TiO2 nanocomposite has optimum concentration of 250 ppm with the
weight of adsorbent of 0.01 g, and the adsorption time of 1 hour. The nanocomposite
zeolite was able degrade methylene blue under ultraviolet radiation for 6 hours at =365
nm.
Keywords : adsorption capacity, fly ash, nanocomposite zeolite/TiO2, photodegradation,
zeolite.

SINTESIS ZEOLIT DAN NANOKOMPOSIT ZEOLIT/TiO2
DARI ABU LAYANG DAN WATERGLASS SERTA UJI
ADSORPSI DAN FOTODEGRADASINYA

ADE EVAN ERVIANA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Program Studi Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Sintesis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2 dari Abu Layang
dan Waterglass serta Uji Adsorpsi dan Fotodegradasinya
Nama
: Ade Evan Erviana
NIM
: G44080083


Disetujui oleh

Sri Sugiarti, PhD
Pembimbing I

Dr Eti Rohaeti, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Bismillaahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sintesis Zeolit dan Nanokomposit
Zeolit/TiO2 dari Abu Layang dan Waterglass serta Uji Adsorpsi dan
Fotodegradasinya”. Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 23 Mei 2012 sampai 9
Januari 2013 yang bertempat di Laboratorium Kimia Anorganik, Departemen
Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Sugiarti, Ph.D selaku
pembimbing pertama dan Dr. Eti Rohaeti, MS. selaku pembimbing kedua atas
semua bimbingan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada penulis
selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada ayah, ibu, adik,
serta keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Bapak
Syawal, Bapak Sunarsa, Bapak Mulyadi, Bapak Ismail, dan Mbak Nurul yang
telah membantu penulis dengan memfasilitasi penelitian di laboratorium.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kak Randi atas saran dan
bantuannya, Nita Junitasari atas saran dan motivasinya selama ini, serta temanteman kimia 45 yang telah meluangkan waktunya untuk menemani penulis ketika
harus mengerjakan penelitian di malam hari.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bogor, April 2013
Ade Evan Erviana


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

ix
ix
ix
1
1
2
3

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

Alat dan Bahan
Ruang Lingkup Penelitian
Sintesis Zeolit
Sintesis Nanokomposit Zeolit/TiO2
Uji Adsorpsi
Uji Fotodegradasi

3
3
3
3
3
4
5
6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Abu Layang, Sintesis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2
Karakteristik Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2
Adsorpsi Biru Metilena oleh Zeolit dan Nanokomposit

Isoterm Adsorpsi Zeolit dan Nanokomposit
Sifat Fotokatalisis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2

6
6
8
12
15
16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18
19

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

19
21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Kode dan komposisi pembuatan zeolit.
Puncak-puncak utama pada abu layang dan penafsirannya
Puncak-puncak utama pada zeolit hasil sintesis
Nilai linearitas isoterm adsorpsi biru metilena oleh sampel
Nilai konstanta k dan Xm dari persamaan regresi Langmuir

4
7

10
15
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Struktur umum zeolit
Perbandingan difraktogram abu layang awal, kalsinasi, dan aktivasi
Perbandingan difraktogram ZK1, ZK3, dan ZK5
Perbandingan difraktogram ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2
Morfologi permukaan (a) ZK1, (b) nanokomposit zeolit/TiO2 perbesaran
2500x, dan (c) zeolit P1 literatur
6 Perbandingan kapasitas adsorpsi ZK1, ZK3, ZK5, dan nanokomposit
7 Hasil pengujian bobot adsorben optimum ZK1 dan nanokomposit
8 Hasil pengujian waktu adsorpsi optimum ZK1 dan nanokomposit
9 Spektrum uji fotodegradasi tanpa penyinaran: BM (T1), BM+TiO2 (T2),
BM+ZK1 (T3), dan BM+NC (T4)
10 Spektrum uji fotodegradasi dengan penyinaran: BM (U1), BM+TiO2
(U2), BM+ZK1 (U3), dan BM+NC (U4)
11 (a) Endapan hasil fotodegradasi tanpa penyinaran, dan (b) Endapan hasil
fotodegradasi dengan penyinaran

2
7
10
11
12
13
14
14
17
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Bagan alir penelitian
Data SEM-EDX abu layang awal
Data SEM-EDX abu layang kalsinasi
Difraktogram sinar-X dan kristalinitas abu layang
Difraktogram standar Zeolit P1 berdasarkan JCPDS No. 39-0219
Difraktogram sinar-X dan kristalinitas dari zeolit dan nanokomposit
zeolit/TiO2
Data SEM-EDX ZK1
Data SEM-EDX nanokomposit zeolit/TiO2
Difraktogram dan kristalinitas ZK2
Uji adsorpsi zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 hasil sintesis
Optimisasi bobot adsorben ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2
Optimisasi waktu adsorpsi ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2
Isoterm adsorpsi zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 hasil sintesis

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
34
36
38

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Saat ini jumlah limbah abu layang batu bara (fly ash) yang dihasilkan dari
proses pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sangat
besar, termasuk di Indonesia. PLTU penghasil limbah abu layang batu bara di
Indonesia adalah PLTU Paiton (Jawa Timur), PLTU Suralaya (Banten), dan PLTU
Bukit Tinggi (Sumatera). Tahun 1996 PLTU Paiton dan Suralaya menghasilkan
limbah abu layang batu bara sebesar hampir 1 juta ton/tahun (Mufrodi et al. 2010).
Hasil penelitian tersebut menandakan bahwa semakin lama limbah abu layang ini
semakin besar dan akan menimbulkan dampak pencemaran yang cukup berbahaya,
sehingga diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Hasil analisis mineral abu layang dari pembangkit listrik Eddystone
menunjukkan bahwa abu layang mengandung 65.42% SiO2, 28.23% Al2O3, 2.14%
Fe2O3, 0.64% Na2O, 0.26% K2O, 1.72% CaO, dan lainnya (Ti, Mg, P, oksida S)
sebesar 1.59%. Keberadaan komponen silika dan alumina memungkinkan abu
layang untuk dapat disintesis menjadi material yang strukturnya mirip dengan
zeolit (Chang dan Shih 1998). Adanya kemiripan komponen kimia antara abu
layang dengan zeolit telah mendorong para peneliti untuk memanfaatkan abu
layang sebagai bahan dasar sintesis zeolit.
Sintesis zeolit dari abu layang telah dilakukan dengan beberapa metode dan
menghasilkan tipe zeolit yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian Chang
dan Shih (1998), zeolit P akan terbentuk dengan komposisi bobot abu
layang/NaOH sebesar 1/1.2, suhu peleburan 550 °C, waktu penuaan pada suhu 90
°C selama 4 hari. Zeolit P akan terbentuk dengan proses peleburan dengan NaOH
dan dengan perlakuan termal yang tinggi. Perlakuan termal yang rendah (60 °C)
akan menghasilkan zeolit tipe Faujasit. Alasan terbentuknya zeolit P pada suhu
tinggi dan zeolit Faujasit pada suhu rendah diduga berhubungan dengan proses
kinetika reaksi. Zeolit P memiliki termodinamika yang lebih stabil dan memiliki
bentuk yang stabil pada suhu tinggi. Penelitian ini menggunakan metode peleburan
dengan NaOH dan reaksi hidrotermal (90 °C) untuk mendapatkan zeolit dengan
kualitas yang baik. Selain itu, ditambahkan juga waterglass sebagai sumber silika
lain untuk meningkatkan nisbah Si/Al zeolit hasil sintesis, sehingga dapat
mengubah sifat zeolit menjadi kurang bersifat hidrofilik yang akan meningkatkan
kemampuan adsorpsi zeolit terhadap senyawa yang bersifat nonpolar.
Zeolit adalah material kristal silika-alumina yang memiliki struktur penataan
polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit-unit tetrahedral SiO4 dan AlO4 yang
bergabung dengan jalan pemakaian bersama (sharing) oksigen. Struktur zeolit
dapat dilihat pada Gambar 1 (Mufrodi et al. 2010). Zeolit ada dua macam, yaitu
zeolit alam dan zeolit sintetis. Zeolit alam umumnya masih mengandung banyak
pengotor sehingga harus diberi perlakuan secara kimiawi maupun fisik. Untuk
mendapatkan zeolit dengan sifat dan karakteristik tertentu, maka dilakukan sintesis
zeolit dari bahan penyusun utamanya, yaitu abu layang dan waterglass. Zeolit
sintetis dikembangkan untuk mengatasi kelemahan dari zeolit alam, antara lain
dengan mengatur pori-porinya sehingga lebih spesifik pemanfaatannya.

2

Gambar 1 Struktur umum zeolit
Zeolit merupakan adsorben yang sering digunakan untuk menghilangkan zat
warna. Zeolit yang dihasilkan pada penelitian ini diaplikasikan sebagai adsorben
untuk menghilangkan zat warna melalui metode adsorpsi. Zat warna yang
digunakan, yaitu biru metilena. Biru metilena merupakan zat warna tekstil yang
dapat mencemari lingkungan. Metode adsorpsi ternyata kurang efektif karena zat
warna yang diadsorpsi tersebut akan terakumulasi di dalam adsorben yang pada
akhirnya akan menimbulkan persoalan baru, seperti dihasilkannya fase baru yang
mengandung polutan yang lebih terkonsentrasi, sehingga perlu dicari alternatif
yang lebih efektif. Adsorpsi-fotodegradasi merupakan metode alternatif yang dapat
digunakan untuk penanggulangan sebagian besar polutan zat warna.
Hediana (2011) telah berhasil menyintesis nanokomposit sodalit/TiO2 yang
memiliki kemampuan adsorpsi-fotodegradasi. Selain itu, nanokomposit
sodalit/TiO2 yang dihasilkan ternyata memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar
dibandingkan dengan sodalit. Nanokomposit adalah suatu bahan yang dibuat dari
penggabungan antara dua komponen berbeda yang salah satu atau keduanya
berskala ≤ 10-9 m atau setara dengan ukuran atom dan molekul. Titanium dioksida
(TiO2) diketahui dapat mendegradasi limbah organik menjadi senyawa-senyawa
yang lebih ramah lingkungan, seperti H2O dan CO2 (Hagfeld dan Gratzel 1995).
Dengan demikian, nanokomposit zeolit/TiO2 yang disintesis diharapkan akan
memiliki kemampuan adsorpsi-fotodegradasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan menyintesis zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 dari
abu layang dan waterglass, mempelajari karakteristik dari abu layang, zeolit, dan
nanokomposit zeolit/TiO2 hasil sintesis menggunakan XRD dan SEM-EDX.
Selanjutnya menganalisis kapasitas adsorpsi dan isoterm adsorpsi dari zeolit dan
nanokomposit zeolit/TiO2, serta melihat kemampuan nanokomposit zeolit/TiO2
dalam menguraikan zat warna biru metilena di bawah sinar ultraviolet.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi kemungkinan pemanfaatan limbah abu
layang menjadi lebih bernilai ekonomis, yaitu zeolit dan nanokomposit
zeolit/TiO2.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari tanggal 23 Mei 2012 sampai tanggal 9 Januari
2013 di Laboratorium Kimia Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Analisis produk-produk hasil penelitian ini dilakukan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis UV 1700 Pharmaspec, difraktometer sinar-X Shimadzu
XRD-7000 Maxima, dan SEM-EDX Bruker. Bahan-bahan yang digunakan adalah
abu layang dari PLTU Suralaya-Banten, waterglass, padatan NaOH, HCl 3M,
TiO2, dan biru metilena.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi 5 tahapan percobaan (Lampiran 1), yaitu (1)
penyiapan abu layang sebagai reagen bagi sintesis zeolit, diantaranya kalsinasi dan
aktivasi, (2) sintesis zeolit dengan 5 ragam penambahan waterglass, yaitu 1.0, 1.5,
2.5, 5.0, dan 7.5 g, (3) sintesis nanokomposit zeolit/TiO2 berdasarkan komposisi
pembuatan zeolit yang memiliki kristalinitas tertinggi, (4) uji adsorpsi terhadap
biru metilena dilakukan terhadap zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 hasil sintesis
dan optimisasi adsorpsi 3 parameter adsorpsi, yaitu ragam konsentrasi, ragam
bobot, dan ragam waktu adsorpsi dilakukan terhadap zeolit dengan kristalinitas
tertinggi dan nanokomposit zeolit/TiO2, (5) uji fotodegradasi biru metilena
dilakukan terhadap zeolit dengan kristalinitas tertinggi dan nanokomposit
zeolit/TiO2.

Sintesis Zeolit
Sintesis zeolit dilakukan berdasarkan prosedur Ojha et al. (2004) dengan
beberapa modifikasi. Sampel abu layang ditimbang sebanyak 5.0 g, lalu
dimasukan ke cawan porselen kemudian dikalsinasi pada suhu 800 °C selama 2
jam. Setelah dikalsinasi, sampel abu layang ditambah 100 mL HCl 3M kemudian

4

dipanaskan di ruang asam selama 1 jam. Nisbah NaOH terhadap abu layang
berdasarkan bobotnya adalah 1.2.
Abu layang yang sudah dikalsinasi dan diaktivasi kemudian dicampurkan
dengan padatan NaOH dan waterglass dengan beberapa ragam bobot, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 1. Setiap campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam
tanur pada suhu 550 °C selama 1 jam. Campuran leburan yang dihasilkan
kemudian didinginkan sampai suhu kamar, dimasukan ke dalam gelas piala, dan
ditambah 50 mL aquades, lalu diaduk menggunakan pengaduk magnetik selama 18
jam. Tahap ini disebut proses penuaan. Setelah proses penuaan, campuran
dimasukan ke dalam botol polipropilena dan dilanjutkan dengan proses
hidrotermal pada suhu 90 °C selama 6 jam. Setelah itu, sampel dibilas dengan
aquades hingga filtrat pencucian netral dan dikeringkan pada suhu 60 °C. Produk
padatan yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan XRD dengan kondisi
operasi: atom target Cu, =1.5406, voltase 40 kV, arus 30 mA, dan daerah sudut
difraksi (2θ)μ 5-60°, serta SEM-EDX.
Tabel 1 Kode dan komposisi pembuatan zeolit
Kode

Abu Layang (g)

NaOH (g)

Waterglass (g)

ZK1

5.0

6.0

1.0

ZK2

5.0

6.0

1.5

ZK3

5.0

6.0

2.5

ZK4

5.0

6.0

5.0

ZK5

5.0

6.0

7.5

Keterangan: ZK1 = Zeolit Komposisi 1

Sintesis Nanokomposit Zeolit/TiO2
Nanokomposit zeolit/TiO2 dibuat dengan perbandingan 85% abu layang dan
15% TiO2 dari total bobot 5.0 g. Sampel abu layang ditimbang sebanyak 4.25 g,
lalu dimasukkan ke cawan porselen dan dikalsinasi pada suhu 800 °C selama 2
jam. Setelah dikalsinasi, sampel abu layang ditambah 100 mL HCl 3M kemudian
dipanaskan di ruang asam selama 1 jam, lalu dicampurkan dengan 6.0 g padatan
NaOH dan 1.0 g waterglass. Campuran tersebut kemudian dimasukan ke dalam
tanur pada suhu 550 °C selama 1 jam. Campuran leburan yang dihasilkan
kemudian didinginkan sampai suhu kamar, dimasukan ke dalam gelas piala,
ditambah TiO2 sebanyak 0.75 g, dan ditambah 50 mL aquades, lalu diaduk
menggunakan pengaduk magnetik selama 18 jam. Setelah proses penuaan,
campuran dimasukan ke dalam botol polipropilena dan dilanjutkan dengan proses
hidrotermal pada suhu 90 °C selama 6 jam. Setelah itu, sampel dibilas dengan
aquades hingga filtrat pencucian netral dan dikeringkan pada suhu 60 °C. Produk
padatan yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan XRD dengan kondisi

5

operasi: atom target Cu, =1.5406, voltase 40 kV, arus 30 mA, dan daerah sudut
difraksi (2θ)μ 5-60°, serta SEM-EDX.
Uji Adsorpsi (Modifikasi Hediana 2011)

Pembuatan Kurva Standar Biru Metilena
Larutan biru metilena dibuat pada berbagai konsentrasi, yaitu 0.5, 1.0, 1.5,
2.0, 2.5, dan 3.0 mg/L, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang
664.00 nm. Setelah itu, dibuat kurva hubungan antara konsentrasi dengan
absorbans dan ditentukan persamaan linear. Persamaan linear ini digunakan untuk
menghitung konsentrasi biru metilena pada filtrat setelah pengocokan biru
metilena dalam zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 hasil sintesis.

Penentuan Kapasitas Adsorpsi Biru Metilena
Larutan biru metilena dengan konsentrasi 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400,
450, dan 500 mg/L sebanyak 15 mL disiapkan pada sembilan botol vial yang
masing-masing telah diisi 20 mg zeolit atau nanokomposit zeolit/TiO2, kemudian
dikocok dengan shaker selama 2 jam. Setelah itu, campuran dipisahkan dengan
sentrifusa, kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi filtrat biru metilena pada
panjang gelombang 664.00 nm. Kapasitas adsorpsi dihitung dengan persamaan
berikut:

Keterangan:
Q = Kapasitas adsorpsi (mg/g)
V = Volume larutan (L)
Co = Konsentrasi awal (ppm)
Ca = Konsentrasi akhir (ppm)
m = Massa adsorben (g)

Penentuan Bobot Optimum untuk Adsorpsi
Sampel zeolit dengan kristalinitas tertinggi atau nanokomposit zeolit/TiO2
dengan bobot 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 mg masing-masing ditambah 15 mL
larutan biru metilena konsentrasi optimum yang diperoleh. Setelah itu, campuran
dikocok dengan shaker selama 2 jam, kemudian campuran dipisahkan dengan
sentrifusa dan konsentrasi filtrat biru metilena diukur pada panjang gelombang
664.00 nm.

Penentuan Waktu Adsorpsi Optimum untuk Adsorpsi
Sampel zeolit dengan kristalinitas tertinggi atau nanokomposit zeolit/TiO2
ditimbang sesuai dengan bobot optimum yang diperoleh, kemudian ditambah 15
mL larutan biru metilena dengan konsentrasi optimum yang diperoleh. Setelah itu,
campuran dikocok dengan shaker dengan waktu 1, 2, 3, 4, dan 5 jam, kemudian
campuran dipisahkan dengan sentrifusa dan konsentrasi filtrat biru metilena diukur
pada panjang gelombang 664.00 nm.

Uji Fotodegradasi (Hediana 2011)
Sampel zeolit dengan kristalinitas tertinggi, TiO2, dan nanokomposit
zeolit/TiO2 ditimbang sebanyak 100 mg, ditambah 15 mL larutan biru metilena
dengan konsentrasi 12.5 mg/L, kemudian diradiasi lampu UV pada panjang
gelombang 365 nm selama 6 jam. Selain itu, disiapkan juga sampel tanpa diradiasi
lampu UV (sampel disimpan di tempat gelap selama 6 jam) sebagai kontrol.
Sampel tanpa diradiasi lampu UV diasumsikan tidak akan terjadi reaksi fotolisis
pada biru metilena dan hanya berlangsung adsorpsi. Setelah perlakuan selama 6
jam, endapan dan filtratnya dipisahkan. Filtrat kemudian dipayar serapan
maksimumnya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200
sampai 700 nm dan dilakukan pengamatan secara visual terhadap endapan yang
dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Abu Layang, Sintesis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2
Bahan baku sintesis zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 dalam penelitian
ini adalah abu layang dan waterglass. Hasil karakterisasi menggunakan SEM-EDX
menunjukkan bahwa abu layang awal memiliki kadar Si sebesar 20.74% dan Al
sebesar 4.09% (Lampiran 2). Hal ini terlihat dari difraktogram abu layang yang
menunjukkan adanya senyawa silikon dan aluminium, yaitu terlihat puncak
senyawaan kuarsa (SiO2) pada 2θ sekitar 20.831, 26.622, 36.558, 50.111 (Gambar
2) mengacu pada JCPDS No. 46-1045 (Tabel 2) dan mineral mullit
(3Al2O3·2SiO2) ditandai dengan munculnya puncak pada sudut sekitar 33.296,
35.544, 42.964 mengacu pada JCPDS No. 83-1881 (Tabel 2), dan senyawa lain
yang bersifat amorf. Proses kalsinasi abu layang bertujuan menghilangkan
pengotor yang belum terbakar. Proses kalsinasi menyebabkan intensitas puncak
kuarsa (SiO2) dan mullit (3Al2O3·2SiO2) menjadi meningkat (Gambar 2). Hasil
SEM-EDX abu layang kalsinasi menunjukkan kandungan Si sebesar 19.53% dan
Al sebesar 3.31% (Lampiran 3). Kristalinitas abu layang awal, yaitu sebesar
57.69% dan mengalami peningkatan pada abu layang kalsinasi menjadi 62.14%

7

(Lampiran 4). Semakin meningkatnya kristalinitas disebabkan hilangnya pengotorpengotor yang ada pada abu layang setelah proses kalsinasi.
Proses aktivasi abu layang bertujuan untuk melarutkan pengotor serta
mengaktivasi zeolit dan meningkatkan daya jerap zeolit. Proses aktivasi dengan
HCl 3M mengakibatkan terlarutnya komponen-komponen pengotor berupa logam.
Terlarutnya logam pengotor mengakibatkan turunnya kristalinitas abu layang
aktivasi menjadi 55.53% (Lampiran 4). Aktivasi juga menyebabkan semakin
tingginya puncak kuarsa (SiO2) dan berkurangnya puncak mullit (3Al2O3·2SiO2)
(Gambar 2).

Gambar 2 Perbandingan difraktogram abu layang awal, kalsinasi, dan aktivasi

Tabel 2 Puncak-puncak utama abu layang dan penafsirannya
Abu Layang
Awal

Kalsinasi

Aktivasi

Penafsiran



I



I



I

20.831

23

20.824

20

20.808

17

Kuarsa

26.622

100

26.604

100

26.606

100

Kuarsa

33.296

13

33.216

14

33.161

5

Mullit

35.544

14

35.670

14

-

-

Mullit

36.558

13

36.511

10

36.478

8

Kuarsa

42.964

31

42.971

20

42.414

4

Mullit

50.111

10

50.106

12

50.061

8

Kuarsa

Referensi
20.860
(JCPDS 46-1045)
26.272
(JCPDS 46-1045)
33.234
(JCPDS 83-1881)
35.247
(JCPDS 83-1881)
36.544
(JCPDS 46-1045)
42.910
(JCPDS 83-1881)
50.139
(JCPDS 46-1045)

8

Proses peleburan bertujuan memudahkan abu layang, waterglass, dan
padatan NaOH bereaksi. NaOH berperan sebagai aktivator selama peleburan untuk
membentuk larutan silikat dan garam aluminium, serta berperan lebih jauh dalam
pembentukan zeolit selama proses hidrotermal. Kation Na+ berperan penting dalam
menstabilkan muatan pada struktur zeolit (Ojha et al. 2004). Adanya penambahan
NaOH menyebabkan pH lebih dari 6, pada kondisi ini akan terbentuk anion
Al(OH4)- atau AlO2- yang merupakan anion pembentuk zeolit yang berasal dari
sumber alumina. Apabila larutan dalam keadaan asam, maka spesies yang
dominan adalah [Al(H2O)6]3+ yang akan menghambat pembentukan kerangka
aluminosilikat dari zeolit. Kerangka zeolit juga dipengaruhi oleh keberadaan anion
dari silikat. Ketika pH lebih dari 12, maka akan terbentuk ion Si(OH)4- yang
merupakan ion utama dalam pembentukan kerangka zeolit (Hamdan 1992). Reaksi
umum dalam proses sintesis zeolit (Ojha et al. 2004) :
NaOH + xAl2O3·ySiO2

Na2SiO3 + Na2AlO2

NaOH (aq) + Na2Al(OH)4 (aq) + Na2SiO3 (aq)
[Nax(AlO2)y(SiO2)z·NaOH·H2O] (gel)

Nap[(AlO2)p(SiO2)q]·H2O

Proses penuaan berperan dalam proses pembentukan inti kristal zeolit,
sedangkan proses hidrotermal berperan dalam proses kristalisasi zeolit. Pencucian
zeolit hasil hidrotermal dengan aquades hingga pH netral bertujuan menghilangkan
sisa NaOH yang tidak bereaksi serta menghilangkan material pengotor lain selain
zeolit.
Bahan baku pembuatan nanokomposit zeolit/TiO2 menggunakan abu layang
dengan waterglass yang ditambah dengan TiO2. TiO2 dicampurkan pada saat
proses penuaan, sehingga tercampur secara sempurna dengan abu layang dan
waterglass. Tujuan penambahan TiO2, yaitu terbentuknya rongga baru yang
disebabkan adanya molekul TiO2 yang dapat menyelinap diantara struktur zeolit,
sehingga permukaan sisi aktif zeolit lebih besar dan diharapkan nanokomposit
yang terbentuk memiliki kemampuan adsorpsi-fotodegradasi. Titanium oksida
paling banyak digunakan sebagai material fotokatalis karena paling stabil, tahan
terhadap korosi, memiliki sifat ampifilik, dan harganya relatif murah (Fatimah dan
Wijaya 2005). TiO2 mampu mendegradasi limbah berupa zat warna.

Karakteristik Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2
Difraktometer sinar-X merupakan salah satu alat yang dapat
mengidentifikasi tingkat kristalinitas suatu bahan (WL. dan WH. Bragg 1993).
Hasil karakterisasi sampel zeolit sintesis ZK1 menunjukkan bahwa jumlah puncak
yang muncul lebih banyak dibandingkan dengan puncak pada abu layang,
sehingga membuktikan bahwa telah terjadi reaksi pembentukan zeolit (Gambar 3).
Puncak kuarsa (SiO2) masih terlihat pada difraktogram yang ditunjukkan dengan
adanya puncak di sekitar 2θ 20.808, 51.061, dan intensitas kuarsa yang paling
tinggi yaitu pada 2θ 26.606. Masih terlihatnya puncak-puncak kuarsa (SiO2) pada
difraktogram disebabkan kuarsa (SiO2) sulit bereaksi dan struktur kristalinnya
harus diruntuhkan terlebih dahulu agar bisa bereaksi dalam proses sintesis.
Berdasarkan puncak-puncak difraktogram yang muncul, maka sampel ZK1

9

merupakan zeolit tipe P1 (Na6Al6Si10O32·12H2O) berdasarkan JCPDS no 39-0219
yang menunjukkan adanya pola difraktogram yang sama dengan standar Zeolit P1
(Tabel 3, Lampiran 5). Kristalinitas yang dimiliki oleh sampel zeolit ZK1, yaitu
sebesar 64.68% (Lampiran 6).
Sampel zeolit ZK3 menunjukkan difraktogram yang hampir sama dengan
sampel zeolit ZK1. Berdasarkan difraktogram tersebut sampel zeolit ZK3 juga
menunjukkan pola difraksi yang sama dan memiliki karakteristik yang sama, yaitu
zeolit P1 (Na6Al6Si10O32·12H2O) mengacu pada JCPDS no 39-0219 (Tabel 3,
Lampiran 5). Kristalinitas sampel zeolit ZK3, yaitu sebesar 53.59% ditampilkan
pada Lampiran 6. Kristalinitas ZK3 lebih kecil dibandingkan dengan ZK1
disebabkan fase kristalin pada ZK3 lebih sedikit dibandingkan dengan fase amorf
dan diduga penambahan waterglass yang lebih banyak dibandingkan ZK1 juga
mempengaruhi turunnya kristalinitas zeolit ZK3.
Puncak-puncak yang muncul pada difraktogram sampel ZK5 hampir sama
dengan ZK1 dan ZK3, sehingga ketiga sampel tersebut memiliki karakteristik dan
tipe zeolit yang sama, yaitu zeolit tipe P1 (Na6Al6Si10O32·12H2O) berdasarkan
JCPDS no 39-0219 (Tabel 3, Lampiran 5). ZK5 memiliki kristalinitas yang paling
rendah dibandingkan zeolit ZK1 dan ZK3, yaitu sebesar 37.58% (Lampiran 6). Hal
ini menunjukkan bahwa penambahan waterglass dapat mempengaruhi kristalinitas
zeolit, penambahan waterglass yang berlebihan akan menurunkan kristalinitas
zeolit. Adanya pergeseran puncak-puncak utama pada ZK1, ZK3, dan ZK5 jika
dibandingkan terhadap difraktogram standar Zeolit P1 diduga disebabkan masih
adanya pengotor pada zeolit hasil sintesis (Tabel 3). Kristalinitas yang tinggi pada
sampel ZK1 menjadi pertimbangan dalam pemilihan komposisi untuk sintesis
nanokomposit zeolit/TiO2. Kristalinitas yang tinggi diharapkan dapat membentuk
kerangka nanokomposit zeolit/TiO2 yang kuat dan dapat meningkatkan kapasitas
adsorpsi dari nanokomposit zeolit/TiO2.
Zeolit hasil sintesis yang didapatkan ialah Zeolit P1, sedangkan Ojha et al.
(2004) dengan menggunakan metode yang sama mendapatkan zeolit X. Adanya
perbedaan jenis zeolit yang dihasilkan merupakan salah satu hal baru yang
didapatkan pada penelitian ini. Menurut Breck (1974), adanya perbedaan produk
hasil sintesis ini disebakan sifat Zeolit X yang tidak stabil secara termodinamika
dibandingkan dengan Zeolit P. Keunggulan Zeolit P1 yaitu memiliki porositas,
luas permukaan, dan kapasitas tukar kation yang tinggi, sehingga dapat digunakan
sebagai adsorben dalam pengolahan air limbah, penukar ion, dan untuk
menghilangkan unsur-unsur beracun atau logam berat dari pembuangan limbah
tambang (Musyoka et al. 2009).

10

Gambar 3 Perbandingan difraktogram ZK1, ZK3, dan ZK5

Tabel 3 Puncak-puncak utama pada zeolit hasil sintesis
Zeolit
ZK1

ZK3

ZK5

Referensi



I



I



I

11.845

11

11.832

17

11.810

16

12.465 (JCPDS No.39-0219)

15.547

27

15.475

43

15.536

43

17.664 (JCPDS No.39-0219)

18.570

11

18.490

18

18.538

14

17.664 (JCPDS No.39-0219)

20.216

21

20.110

27

20.186

31

21.675 (JCPDS No.39-0219)

23.442

52

23.370

96

23.448

88

25.077 (JCPDS No.39-0219)

30.464

28

30.380

42

30.439

33

30.843 (JCPDS No.39-0219)

31.110

60

31.031

100

31.090

100

30.843 (JCPDS No.39-0219)

32.143

29

32.056

42

32.140

45

33.383 (JCPDS No.39-0219)

33.726

22

33.678

49

33.782

27

33.383 (JCPDS No.39-0219)

Difraktogram hasil XRD nanokomposit zeolit/TiO2 menunjukkan pola
difraksi yang hampir sama dengan ZK1, akan tetapi terdapat puncak TiO2 di
sekitar 2θ 25.345 (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa interkalasi TiO2 pada
struktur zeolit berhasil, serta mengindikasikan bahwa senyawa nanokomposit yang
diinginkan telah terbentuk. Kristalinitas nanokomposit zeolit/TiO2 memiliki nilai
sebesar 55.28% (Lampiran 6). Kristalinitas nanokomposit zeolit/TiO2 lebih kecil

11

dibandingkan dengan ZK1 (64.68%). Hal ini menunjukkan fase amorf dari
nanokomposit zeolit/TiO2 lebih besar dibandingkan dengan fase kristalinnya.

Gambar 4 Perbandingan difraktogram ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2
ZK1 memiliki tekstur permukaan yang sedikit kasar seperti adanya butiranbutiran kecil yang menempel, berbentuk bulat (Gambar 5a). Ukuran partikel
diduga sekitar 3.0 m dan terlihat seragam. Hasil analisis menggunakan SEMEDX menunjukkan bahwa ZK1 memiliki rasio Si/Al sebesar 1.4 (Lampiran 7).
Tekstur permukaan nanokomposit zeolit/TiO2 lebih kasar dibandingkan ZK1,
terlihat butiran-butiran kecil yang menempel lebih banyak (Gambar 5b). Hal ini
diduga disebabkan adanya TiO2 yang membentuk agregat dalam nanokomposit
zeolit/TiO2. Apabila dibandingkan hasil SEM ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2
dengan literatur, maka hasil SEM menunjukkan bahwa ZK1 dan nanokomposit
zeolit/TiO2 adalah zeolit tipe P1 (Na6Al6Si10O32·12H2O) (Gambar 5). Berdasarkan
hasil analisis SEM-EDX, nanokomposit zeolit/TiO2 memiliki rasio Si/Al sebesar
1.4 dengan kadar Titanium sebesar 3.39% (Lampiran 8). Rasio Si/Al yang
didapatkan merupakan rasio total, namun karena yang terbentuk adalah zeolit P1,
seharusnya rasio Si/Al yang didapatkan lebih besar dari rasio Si/Al total. Hal ini
menunjukkan bahwa pada kondisi reaksi ini kuarsa (SiO2) lebih mudah larut
dibandingkan dengan mullit (3Al2O3·2SiO2).

12

(a)

(b)

(c)
Gambar 5 Morfologi permukaan (a) ZK1, (b) nanokomposit zeolit/TiO2
perbesaran 2500x, dan (c) zeolit P1 literatur
Sampel ZK2 memiliki difraktogram yang hampir sama (Lampiran 9) dengan
difraktogram ZK1, dan kristalinitas yang dihasilkan pun tidak berbeda jauh dengan
kristalinitas ZK1, yaitu sebesar 63.63%. Berdasarkan puncak-puncak dengan
intensitas tertinggi pada difraktogram ZK2 dan kemiripan difraktogram dengan
ZK1, maka ZK2 termasuk zeolit tipe P1 mengacu pada JCPDS no 39-0219.
Sampel ZK4 tidak dikarakterisasi menggunakan XRD dengan pertimbangan
bahwa zeolit yang terbentuk diduga akan memiliki difraktogram yang hampir
mirip dengan ZK3 dan ZK5 jika dilihat dari penambahan waterglass yang
digunakan. Data yang diperoleh untuk sampel ZK4 ialah data rendemen sebesar
4.01 g. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka sampel ZK2 dan ZK4 tidak
dilakukan uji adsorpsi.

Adsorpsi Biru Metilena oleh Zeolit dan Nanokomposit
Hasil uji adsorpsi terhadap zeolit hasil sintesis menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi biru metilena tidak selalu diikuti dengan meningkatnya
kapasitas adsorpsi. Sampel ZK3 memiliki konsentrasi optimum 300 ppm dengan
kapasitas adsorpsi sebesar 83.83 mg/g, sedangkan ZK5 memiliki konsentrasi
optimum 450 ppm dengan kapasitas adsorpsi sebesar 78.05 mg/g (Gambar 6,

13

Lampiran 10). Konsentrasi 300 ppm dianggap optimum karena pada konsentrasi
biru metilena 100-250 ppm mengalami kenaikan dan puncaknya pada 300 ppm
memiliki kapasitas adsorpsi yang paling tinggi. Ketika konsentrasi biru metilena
lebih dari 300 ppm diduga telah terjadi desorpsi, sehingga kapasitas adsorpsi
menurun. Begitu juga dengan ZK5, diduga mengalami proses desorpsi biru
metilena yang menyebabkan kapasitas adsorpsinya menurun, sehingga tapak aktif
zeolit baru terisi penuh ketika konsentrasi 450 ppm.
Sampel ZK1 memiliki kapasitas adsorpsi paling tinggi, yaitu 147.13 mg/g
dengan konsentrasi biru metilena optimum 400 ppm (Gambar 6, Lampiran 10).
Kapasitas adsorpsi sampel ZK1 tertinggi jika dibandingkan dengan sampel
lainnya. Kapasitas adsorpsi nanokomposit zeolit/TiO2 lebih kecil dibandingkan
ZK1, yaitu 82.85 mg/g dengan konsentrasi optimum 250 ppm (Gambar 6,
Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa daya jerap ZK1 terhadap biru metilena
lebih besar dibandingkan daya jerap nanokomposit zeolit/TiO2. Kapasitas adsorpsi
nanokomposit zeolit/TiO2 yang lebih kecil disebabkan kurang sempurnanya proses
interkalasi TiO2 diantara struktur zeolit, sehingga tidak membentuk pori yang lebih
besar yang dapat meningkatkan sisi aktif nanokomposit zeolit/TiO2. Selain itu,
diduga bahwa kurang sempurnanya interkalasi TiO2 telah menyebabkan penurunan
luas permukaan karena adanya agregasi TiO2, sehingga menutupi pori-pori
nanokomposit zeolit/TiO2 (Fatimah dan Wijaya 2005).
160
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

140
120
100

ZK1

80

ZK3

60

ZK5

40

NC

20
0
100

150

200

250
300
350
400
Konsentrasi Awal (ppm)

450

500

Gambar 6 Perbandingan kapasitas adsorpsi ZK1, ZK3, ZK5, dan nanokomposit

Hasil pengukuran sampel ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2 menunjukkan
bahwa adsorpsi mencapai optimum dengan bobot masing-masing sebesar 20 mg
dan 10 mg (Gambar 7, Lampiran 11). Kenaikan bobot setelah 20 mg untuk ZK1
dan 10 mg untuk nanokomposit zeolit/TiO2 tidak diikuti kenaikan kapasitas
adsorpsi.

14

100.00
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

90.00
80.00
70.00
60.00
50.00

ZK1

40.00

NC

30.00

20.00
10.00
0.00
0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

Bobot Adsorben (g)

Gambar 7 Hasil pengujian bobot adsorben optimum ZK1 dan nanokomposit
Hasil pengukuran waktu adsorpsi optimum pada ZK1 dan nanokomposit
zeolit/TiO2 menunjukkan bahwa waktu adsorpsi yang berlebih dapat menyebabkan
molekul adsorbat yang terikat pada adsorben terlepas kembali, sehingga bisa
menurunkan efektivitas adsorpsi. Waktu adsorpsi yang lebih lama tidak selalu
diikuti dengan kenaikan kapasitas adsorpsi. Waktu adsorpsi optimum untuk
sampel ZK1, yaitu selama 3 jam dan nanokomposit zeolit/TiO2 selama 1 jam
(Gambar 8, Lampiran 12). Waktu adsorpsi nanokomposit zeolit/TiO2 yang lebih
kecil, menunjukkan bahwa tapak aktif terisi lebih cepat oleh biru metilena,
sehingga diduga pori-pori yang terbentuk lebih kecil dibandingkan dengan poripori ZK1. Menurut Fatimah dan Wijaya (2005), diduga terjadi agregasi TiO2 pada
permukaan padatan, sehingga dapat menutupi pori-pori pada nanokomposit
zeolit/TiO2. Nilai kapasitas adsorpsi dari sampel ZK1 dan nanokomposit
zeolit/TiO2 cenderung fluktuasi seiring dengan bertambahnya waktu adsorpsi.
80.00
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

70.00
60.00
50.00
40.00

ZK1

30.00

NC

20.00
10.00
0.00
1

2

3
Waktu Agitasi (Jam)

4

5

Gambar 8 Hasil pengujian waktu adsorpsi optimum ZK1 dan nanokomposit

15

Isoterm Adsrorpsi Zeolit dan Nanokomposit
Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme
penjerapan. Adsorpsi fase cair-padat pada umumnya mengacu pada jenis isoterm
Langmuir dan Freundlich (Atkins 1999). Isoterm adsorpsi adalah hubungan yang
menunjukkan distribusi adsorben antara fase teradsorpsi pada permukaan adsorben
dengan fase ruah saat kesetimbangan pada temperatur tertentu. Penelitian ini
termasuk jenis adsorpsi fase cair-padat, sehingga adsorpsinya diuji dengan
persamaan isoterm Langmuir dan Freundlich.
Berdasarkan kelinieritasannya, adsorpsi biru metilena oleh sampel zeolit
maupun nanokomposit zeolit/TiO2 mengikuti tipe Isoterm Langmuir yang
ditunjukkan pada Tabel 4 (Lampiran 13). Hal ini berarti permukaan zeolit maupun
nanokomposit zeolit/TiO2 bersifat homogen, sehingga proses adsorpsi terjadi
melalui mekanisme yang sama dan membentuk satu lapisan tunggal (monolayer)
saat adsorpsi maksimum.

Tabel 4 Nilai linearitas isoterm adsorpsi biru metilena oleh sampel
Sampel
ZK1
ZK3
ZK5
Nanokomposit

Isoterm

% Linearitas

Langmuir

91.99

Freundlich

52.79

Langmuir

93.73

Freundlich

0.12

Langmuir

73.66

Freundlich

17.47

Langmuir

84.01

Freundlich

19.10

Berdasarkan tipe adsorpsi yang diperoleh yaitu Isoterm Langmuir, maka
dapat ditentukan nilai Xm dan k dari persamaan regresi Langmuir masing-masing
sampel (Tabel 5). Nilai Xm menggambarkan jumlah adsorbat yang dijerap oleh
permukaan adsorben. Nilai k merupakan konstanta yang bertambah dengan
kenaikan ukuran molekuler yang menunjukkan kekuatan ikatan molekul adsorbat
pada permukaan adsorben. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai Xm yang
paling besar, yaitu ZK1. Hal ini berbanding lurus dengan kapasitas adsorpsinya
yang tinggi. Semakin tinggi nilai Xm, maka kapasitas adsorpsinya semakin tinggi
pula, serta semakin banyak jumlah biru metilena yang dijerap oleh sampel.
Molekul biru metilena lebih kuat terikat pada sampel ZK1 dibandingkan dengan
sampel zeolit lain dan nanokomposit zeolit/TiO2. Apabila dibandingkan dengan
nanokomposit zeolit/TiO2, perbedaan nilai k ini dapat disebabkan adanya TiO2
yang terikat pada nanokomposit zeolit/TiO2, sehingga menyebabkan interaksi
antara biru metilena dengan nanokomposit zeolit/TiO2 berkurang (Widiyanti
2011).

16

Tabel 5 Nilai konstanta k dan Xm dari persamaan regresi Langmuir
Sampel

Xm (mg/g)

k (L/g)

ZK1

105.26

0.0937

ZK3

54.35

0.0292

ZK5

33.00

0.0179

Nanokomposit

34.12

0.0174

Sifat Fotokatalisis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2
Hasil pengukuran spektrum dari larutan biru metilena (T1) dan sisa
pengocokkan dengan TiO2 (T2) (Gambar 9) serta larutan biru metilena setelah
penyinaran (U1) (Gambar 10) menunjukkan karakteristik puncak khas dari biru
metilena, yaitu pada =664 nm. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi proses
adsorpsi dan fotodegradasi karena masih adanya kandungan biru metilena pada
filtrat. Spektrum U2 (filtrat pengocokan biru metilena dengan TiO2 dan penyinaran
UV) memperlihatkan adanya penurunan intensitas puncak serapan pada =664 nm,
artinya telah terjadi proses fotodegradasi biru metilena oleh TiO2 dengan bantuan
sinar ultraviolet.
Mekanisme fotodegradasi diawali dengan adanya loncatan elektron dari pita
valensi ke vita konduksi pada logam semikonduktor, jika dikenai energi foton.
Loncatan elektron ini menyebabkan timbulnya lubang elektron yang dapat
berinteraksi dengan air membentuk radikal hidroksida (•OH) yang merupakan
oksidator kuat. Elektron pada pita konduksi akan bereaksi dengan oksigen di
lingkungan menghasilkan radikal superoksida (•O2-) yang bersifat sebagai
reduktor. Radikal bersifat aktif dan dapat terus terbentuk sehingga bereaksi dan
menguraikan senyawa organik target (Fatimah dan Wijaya 2005). Mekanisme
reaksi yang terjadi pada proses fotodegradasi dengan TiO2 adalah sebagai berikut:
TiO2 + UV
TiO2 (h+) + H2O
TiO2 (e-) + O2
Dye + O2-*






TiO2 (e- + h-)
TiO2 + HO* + H
TiO2 + O2Produk degradasi

Berdasarkan spektrum T3 dan U3 terlihat bahwa puncak khas dari biru
metilena hilang, begitu juga dengan spektrum T4 dan U4. Hilangnya puncak khas
biru metilena pada =664 nm menunjukkan bahwa kandungan biru metilena dalam
filtrat sudah tidak ada. Hilangnya biru metilena pada spektrum tanpa penyinaran
dan dengan penyinaran ultraviolet menunjukkan bahwa proses adsorpsi oleh ZK1
dan nanokomposit zeolit/TiO2 sangat tinggi, sehingga proses terjadinya
fotodegradasi sulit diamati melalui perubahan spekrum UV-Vis. Selanjutnya untuk
mengetahui terjadinya proses fotodegradasi pada sampel ZK1 dan nanokomposit
zeolit/TiO2 dilakukan dengan mengamati endapan yang dihasilkan, seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 11.

17

Gambar 9 Spektrum uji fotodegradasi tanpa penyinaran: BM (T1), BM+TiO2 (T2),
BM+ZK1 (T3), dan BM+NC (T4)

Gambar 10 Spektrum uji fotodegradasi dengan penyinaran: BM (U1), BM+TiO2
(U2), BM+ZK1 (U3), dan BM+NC (U4)
Perubahan warna pada endapan (adsorben) setelah pengocokkan merupakan
salah satu indikator terjadinya fotodegradasi. Endapan berwarna biru menunjukkan
bahwa pada sistem hanya terjadi proses adsorpsi, sedangkan bila endapan
berwarna putih, maka pada sistem tidak terjadi adsorpsi atau terjadi proses
adsorpsi yang diikuti fotodegradasi. Endapan ZK1 dan nanokomposit zeolit/TiO2
tanpa penyinaran ultraviolet terlihat memiliki warna biru yang sangat pekat
(Gambar 11a). Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem hanya terjadi proses
adsorpsi biru metilena. Hasil uji fotodegradasi dengan penyinaran menunjukkan
bahwa endapan TiO2 berwarna putih (Gambar 11b). Hal ini membuktikan bahwa
telah terjadi proses degradasi biru metilena. Endapan ZK1 dengan penyinaran
ultraviolet berwarna biru pekat sama dengan endapan ZK1 tanpa penyinaran

(Gambar 11), sehingga ZK1 dinyatakan hanya mengalami proses adsorpsi tanpa
adanya fotodegradasi. Endapan nanokomposit zeolit/TiO2 dengan penyinaran
ultraviolet (Gambar 11b) berwarna biru lebih pudar dibandingkan endapan
nanokomposit zeolit/TiO2 tanpa penyinaran (Gambar 11a), sehingga diduga
perubahan warna tersebut menunjukkan bahwa nanokomposit zeolit/TiO2 memiliki
kemampuan adsorpsi sekaligus mendegradasi biru metilena menjadi senyawa yang
lebih sederhana.

(a)

(b)
Gambar 11 (a) Endapan hasil fotodegradasi tanpa penyinaran dan (b) Endapan
hasil fotodegradasi dengan penyinaran

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa zeolit hasil sintesis dengan
komposisi abu layang 5.0 g, NaOH 6.0 g, dan penambahan waterglass sebanyak
1.0, 2.5, dan 7.5 g adalah zeolit P1. Zeolit dengan kristalinitas paling tinggi (65%)
diperoleh pada penambahan waterglass sebanyak 1.0 g (ZK1). Nanokomposit
zeolit/TiO2 berhasil disintesis pada komposisi abu layang 4.25 g, NaOH 6.0 g,
waterglass 1.0 g, dan TiO2 0.75 g. Adsorpsi terhadap biru metilena oleh ZK1
diperoleh pada kondisi optimum konsentrasi sebesar 400 ppm, bobot adsorben
0.02 g, dan waktu adsorpsi selama 3 jam, sedangkan nanokomposit zeolit/TiO2
pada konsentrasi sebesar 250 ppm, bobot adsorben 0.01 g, dan waktu adsorpsi

selama 1 jam. Kapasitas adsorpsi terbesar dimiliki oleh sampel ZK1, yaitu sebesar
147 mg/g, sehingga ZK1 memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih baik
dibandingkan nanokomposit. Isoterm adsorpsi sampel zeolit dan nanokomposit
mengikuti Isoterm Langmuir. Nanokomposit zeolit/TiO2 terbukti memiliki
kamampuan mendegradasi biru metilena di bawah radiasi sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang 365 nm selama 6 jam.

Saran
Perlu diragamkan waktu penuaan untuk melihat efek penambahan
waterglass terhadap lamanya waktu penuaan. Optimisasi adsorpsi sebaiknya
menggunakan metode full factorial sehingga didapatkan hasil yang lebih efektif
dan lebih terintegrasi. Selain itu, perlu dilakukan optimisasi konsentrasi, bobot,
dan waktu penyinaran untuk uji fotodegradasi, sehingga hasil yang didapatkan
lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Atkins PW. 1999. Kimia Fisik. Irma IK, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga.
Terjemahan dari: Physical Chemistry.
Bragg WH, Bragg WL. 1993. The reflection of X-rays by crystals. Proc R Soc
Lond. 88:428-438.
Breck DW. 1974. Zeolite Molecular Sieve: Structure Chemistry and Use. New
York (US): Wiley.
Chang HL, Shih WH. 1998. A general methods for the conversion of fly ash into
zeolites as ion exchangers for Cesium. Ind Eng Chem Res. 37(1):71-78.
Fatimah Is, Wijaya K. 2005. Sintesis TiO2/zeolit sebagai fotokatalis pada
pengolahan limbah cair industri tapioka secara adsorpsi-fotodegradasi.
Teknoin 10(4):257-267.
Hamdan H. 1992. Introduction to zeolites: synthesis, characterization, and
modification. Universitas Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur.
Hediana N. 2011. Sintesis, pencirian, dan uji fotodegrgadasi nanokomposit
sodalit/TiO2 terhadap zat warna biru metilena [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Hagfeldt A, Gratzel M. 1995. Light induced redox reactions in nanocrystalline
systems. Chem. Rev. 95:49–68.
Mufrodi Z, Sutrisno B, Hidayat A. 2010. Modifikasi limbah abu layang sebagai
material baru adsorben. Di dalam: Pengembangan Teknologi Kimia untuk
Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia “Kejuangan”; Yogyakarta, 26 Januari 2010.
Musyoka NM, Petrik LF, Balfour G, Natasha M, Gitari W, Marbovu B. 2009.
Removal of toxic element from brine using zeolit Na-P1 made from South
African coal fly ash. Di dalam: Proceedings International Mine Water

20

Conference; Pretoria, 19-23 Oktober 2009. Pretoria: Document
Transformation Technologies cc. hlm 680-687.
Ojha K, Narayan CP, Amar NS. 2004. Zeolite from fly ash: Synthesis and
characterization. Bull Master Sci. 6(27):555-564.
Rongsayamanont C, Sopajaree K. 1997. Modification of synthetic zeolite pellets
from lignite fly ash A: the pelletization. Di dalam: World of Coal Ash
(WOCA), Northern Kentucky, 7-10 Mei 2007. Northern Kentucky (US):
World of Coal Ash (WOCA).
Widiyanti E. 2011. Sintesis nanokomposit alofan/TiO2 dan uji fotodegradasi pada
zat pewarna biru metilena [Skripsi]. Bogor (ID): Program Sarjana Institut
Pertanian Bogor.

21

Lampiran 1 Bagan alir penelitian.
Karakterisasi dengan XRD dan SEM-EDX

Abu Layang
Kalsinasi pada:
T = 800°C
t = 2 jam

Abu Layang
Kalsinasi

Difraktogram, Morfologi Permukaan,
Komposisi Unsur Penyusun Sampel

Karakterisasi dengan XRD dan SEM-EDX

Aktivasi dengan
HCl 3M, t = 1 jam

Karakterisasi dengan XRD

Abu Layang
Aktivasi

Kapasitas
Adsorpsi

Uji Adsorpsi
Terhadap
Biru
Metilena

Sintesis Zeolit
(abu layang 5.0 g, NaOH 6 g,
dan waterglass dengan variasi
2.5, 5.0, 7.5, 1.0, 1.5)

Karakterisasi dengan XRD

Zeolit

Pola
Isoterm
Adsorpsi

Difraktogram

Zeolit dengan
kristalinitas tertinggi

Zeolit ZK1

Sintesis nanokomposit zeolit/TiO2 (85% abu
layang dan 15% TiO2 dari bobot total 5.0 g)

Karakterisasi
dengan XRD dan
SEM-EDX

Difraktogram,
Morfologi
Permukaan,
Komposisi Unsur
Penyusun Sampel

Nanokomposit
Zeolit/TiO2

Karakterisasi
dengan XRD dan
SEM-EDX

Uji Fotodegradasi
Terhadap Biru Metilena

Uji Adsorpsi Terhadap
Biru Metilena
Optimisasi Adsorpsi
Konsentrasi, Bobot, Waktu

Kondisi Optimum
Adsorpsi

Pola Isoterm
Adsorpsi

Data Spektrum
Serapan Sinar
Tampak pada
Filtrat

Hasil
Pengamatan
Visual Warna
Endapan

22

Lampiran 2 Data SEM-EDX abu layang awal.

23

Lampiran 3 Data SEM-EDX abu layang kalsinasi.

24

Lampiran 4 Difraktogram sinar-X dan kristalinitas abu layang.

(a)

(b)

(c)
Keterangan:
(a). Abu layang awal
(b). Abu layang kalsinasi
(c). Abu layang aktivasi

25

Lampiran 5 Difraktogram standar Zeolit P1 berdasarkan JCPDS No. 39-0219

26

Lampiran 6 Difraktogram sinar-X dan kristalinitas dari zeolit dan nanokomposit
zeolit/TiO2.

(a)

(b)

(c)

(d)
Keterangan:
(a). ZK1
(b). ZK3
(c). ZK5
(d). Nanokomposit zeolit/TiO2

27

Lampiran 7 Data SEM-EDX ZK1.

28

Lampiran 8 Data SEM-EDX nanokomposit zeolit/TiO2.

29

Lampiran 9 Difraktogram dan kristalinitas ZK2

Difraktogram ZK2

Kristalinitas ZK2

30

Lampiran 10 Uji adsorpsi zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 hasil sintesis.
a. ZK1
Massa
(gram)
0.0201

0.0360

50

[Awal]
(ppm)
100

69.1272

51.5875

0.0200

0.0520

50

100

38.3008

61.6992

46.2744

0.0200

0.0620

50

150

42.9434

107.0566

80.2925

0.0200

0.0680

50

150

45.7289

104.2711

78.2033

0.0202

0.1150

75

200

101.3231

98.6769

73.2749

0.0201

0.0770

75

200

74.8607

125.1393

93.3875

0.0203

0.1130

75

250

99.9304

150.0696

110.8889

0.0203

0.1680

75

250

138.2312

111.7688

82.5878

0.0200

0.0720

200

300

190.3435

109.6565

82.2424

0.0200

0.0630

200

300

173.6305

126.3695

94.7771

0.0201

0.0700

200

350

186.6295

163.3705

121.9183

0.0200

0.0890

200

350

221.9127

128.0873

96.0655

0.0200

0.0780

200

400

201.4856

198.5144

148.8858

0.0201

0.0800

200

400

205.1996

194.8004

145.3734

0.0201

0.1310

200

450

299.9071

150.0929

112.0096

0.0200

0.1330

200

450

303.6212

146.3788

109.7841

0.0200

0.1650

200

500

363.0455

136.9545

102.7159

0.0200

0.1800

200

500

390.9007

109.0993

81.8245

Absorban

FP

[Akhir]
(ppm)
30.8728

[Terjerap]

Q (mg/g)

Q rata-rata
(mg/g)
48.9310
79.2479
83.3312
96.7