Pola Kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema

(1)

POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN DARI EMPIEMA DI RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

TESIS

OLEH

SETIA PUTRA TARIGAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 . LATAR BELAKANG

Empiema masih merupakan masalah penting dalam bidang penyakit paru karena secara signifikan masih menyebabkan kecacatan dan kematian walaupun sudah ditunjang dengan kemajuan terapi antibiotik dan drainase rongga pleura maupun dengan tindakan operasi dekortikasi.1 Mense GPL pernah meneliti tingkat keberhasilan dari beberapa prosedur penatalaksanaan empiema dan mendapatkan hasil bahwa dengan tindakan dekortikasi sekalipun, angka keberhasilannya tidak mencapai 100 %. Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa dengan penggunaan selang dada, angka keberhasilannya hanya 11 %.1 Mengetahui jenis kuman penyebab empiema dan memberikan antibiotik yang tepat merupakan salah satu hal yang sangat membantu dalam penatalaksanaan empiema disamping drainase yang baik dari rongga pleura. Untuk mengetahui jenis kuman tersebut dapat dilakukan dengan cara pewarnaan langsung ataupun dengan mengkultur cairan empiema tersebut. Untuk mengetahui antibiotik yang tepat untuk kuman penyebab empiema tersebut, dilakukan pemeriksaan uji kepekaan. Semua pemeriksaan ini memerlukan waktu yang kadang kadang cukup lama sementara pemberian antibiotik tidak mungkin ditunda menunggu hasil pemeriksaan tersebut. Lalu dasar apa yang kita pakai untuk memilih antibiotik yang kira kira tepat sebelum hasil pemeriksaan kita dapatkan. Disinilah perlunya kita mempunyai pola kuman penyebab empiema dan uji kepekaan


(3)

terhadap antibiotik agar antibiotik yang kita berikan dapat lebih tepat. Disamping itu dari pola tersebut dapat dibuat suatu hubungan antara penyakit yang mendasari dan kuman yang didapat. Seperti pada penelitian retrospektif yang dilakukan Chen dari tahun 1989 sampai 1998 di National Taiwan University

Hospital didapat hasil kuman yang paling banyak didapat dari kultur adalah

bakteri aerob Gram negatif (49,6 %) dengan jenis terbanyak adalah Klebsiella

pneumoniae (24,4 %). Didapati juga hasil bahwa penyakit yang mendasari paling

banyak adalah diabetes mellitus. Peneliti juga menduga adanya hubungan yang kuat antara diabetes mellitus dan bakteri Klebsiella pneumoniae, sebab dijumpai 44 % Klebsiella pneumoniae dengan penyakit dasar diabetes mellitus dan hanya 15 % non Klebsiella pneumoniae mempunyai diabetes mellitus.1,2

Selain dari penyakit yang mendasari, penyebab dari empiema juga biasanya mempunyai hubungan dengan kuman yang akan didapatkan di cairan empiema. Seperti pada penelitian retrospektif yang dilakukan Nunley selama 13 tahun pada 14 pasien yang mendapat empiema setelah menjalani operasi transplantasi paru, kuman yang didapatkan yaitu bakteri enterik Gram negatif, Staphylococcus dan Candida. Kuman kuman ini biasanya sering menyebabkan infeksi nosokomial.3

Dengan kemajuan penemuan antibiotik baru dapat dimungkinkan pola kuman bisa berubah dari waktu ke waktu. Pola kuman dari cairan empiema sebelum ditemukannya antibiotik lebih banyak didapati bakteri Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus haemolyticus. Pada tahun 1955 – 1965, kuman yang paling banyak didapat yaitu bakteri Staphylococcus aureus. Pada awal 70 an bakteri


(4)

anaerob lebih banyak didapat. Pada 80 an dan 90 an bakteri aerob kembali lagi menjadi bakteri yang paling banyak didapat dari cairan empiema.2,4

Pada penelitian retrospektif yang dilakukan Brook pada tahun 1973 s/d1985 di Walter Reed Army Medical Center, Washington DC dan Naval Hospital, Bethesda, Amerika , dijumpai hasil paling banyak ditemukan bakteri aerob saja (64 %), kemudian campuran aerob dan aerob (23 %), kemudian bakteri anaerob saja (13%). Bakteri aerob yang paling banyak adalah Streptococcus

pneumoniae, Staphylococcus aureus dan Escheria coli. Bakteri anaerob yang

paling banyak adalah Bacteroides sp, Prevotella dan anaerob cocci.5

Pada penelitian prospektif yang dilakukan De A di LTM Medical College and

Hospital, Sion, Mumbai, India dijumpai yang paling banyak adalah campuran

aerob dan anaerob (56,2 %), bakteri aerob saja (34,4 %), bakteri anaerob saja (9,4 %). Bakteri anaerob terbanyak adalah Prevotella melaninogenicus

,Peptostreptococcus asaccharolyticus , Peptostreptococcus sp.6

Pada penelitian retrospektif yang dilakukan Jerng JS dkk pada tahun 1984 s/d 1996 di National Taiwan University Hospital, didapatkan hasil kuman yang terbanyak adalah bakteri aerob Streptococcus viridans (32 % ). Pada penelitian ini didapati juga bahwa Streptococcus viridans sering dijumpai bersama kuman lain seperti bakteri aerob, anaerob dan jamur.7

Dari penelitian retrospektif yang dilakukan Alfageme, selama 6 tahun di

Valme University Hospital, Seville, Spanyol didapatkan hasil kultur positif pada

92 % sampel. Kuman paling banyak yaitu bakteri aerob saja (62%), kemudian campuran bakteri aerob dan anaerob (16%) dan bakteri anaerob saja (15%).


(5)

Bakteri aerob yang paling banyak ditemukan yaitu Staphylococcus aureus , kemudian Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus intermedius. Bakteri anaerob yang paling banyak ditemukan yaitu Bacteroides fragilis. Dijumpai juga hasil kultur Mycobacterium tuberculosis pada 3 sampel.8

Dari penelitian retrospektif yang dilakukan Snider GL dkk dari tahun 1952 sampai 1967 di Wood Veterans Center, Wisconsin, Amerika, didapatkan hasil kuman yang paling banyak didapat yaitu bakteri aerob, diantaranya

Streptococcus spp, Pseudomonas spp , Klebsiella pneumoniae. Bakteri anaerob

yang paling banyak didapat adalah Proteus dan Bacteroides.9

Dari penelitian retrospektif yang dilakukan Cheng dkk dari tahun 1992 sampai 2004 di Rumah Sakit Pendidikan di Los Angeles Amerika, didapatkan hasil kuman yang paling banyak didapat adalah bakteri aerob Streptococcus viridans dan Streptococcus pneumoniae.10

Dari banyak penelitian mengenai empiema hanya sedikit yang meneliti mengenai kepekaan kuman yang didapat terhadap antibiotik, padahal hal tersebut sebenarnya penting untuk diteliti mengingat keberhasilan pengobatan sangat tergantung kepada antibiotik yang tepat. Penatalaksanaan empiema memang tidak hanya dengan pemberian antibiotik saja, namun kadang-kadang hanya dengan pemberian antibiotik yang tepat atau sesuai hasil uji kepekaan bisa didapat perbaikan yang signifikan sehingga tindakan lain seperti torakostomi atau bahkan dekortikasi tidak atau belum diperlukan.

Soeroso melaporkan mengenai seorang pasien dengan loculated empyema. Pasien tersebut pada awalnya di diagnosis dengan pneumonia dan diberi


(6)

antibiotik, namun setelah 10 hari tampak perselubungan bertambah luas. Dari CT scan dijumpai loculated effusion. Kemudian dilakukan punksi percobaan dan didapat cairan pus kental serta dinding dada yang sudah tebal. Hasil kultur pus dijumpai Klebsiella spp. Pasien kemudian dianjurkan untuk dilakukan tindakan operasi (dekortikasi), namun pasien menolak. Akhirnya pasien hanya diberikan antibiotik yang sesuai dengan uji kepekaan. Setelah 2 minggu, perselubungan berkurang dan klinis membaik dan setelah 1 bulan, perselubungan hanya tampak di lapangan bawah dan tampak juga penebalan pleura.11

Di institusi paru ini telah pernah diteliti mengenai pola kuman ini, uji kepekaan dan juga penatalaksanaannya. Hal ini dilakukan oleh Helmi pada bulan Desember 1986 s/d September 1988, di RS Pirngadi dan Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru, Medan. Dari 50 pasien empiema yang diteliti, dijumpai kuman hanya dari 18 pasien. Dari 18 pasien tersebut seluruhnya dijumpai bakteri aerob (100 %), dengan jenis terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa , kemudian Streptococcus viridans, dan Staphylococcus aureus. Pemeriksaan terhadap bakteri anaerob tidak dilakukan pada penelitian ini.12

Dari data-data yang tertera diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sangat sedikit yang meneliti dan melaporkan uji kepekaan terhadap antibiotika dari kuman yang dijumpai pada cairan empiema. Disamping itu juga, penelitian mengenai pola kuman dan uji kepekaan dari cairan empiema, masih sedikit dilakukan di Indonesia. Hal ini menjadi latar belakang penulis untuk meneliti kembali mengenai pola kuman dan uji kepekaan dari cairan empiema.


(7)

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah a. Bagaimana gambaran pola kuman dari empiema di Bagian Paru RSUP H

Adam Malik Medan

b. Bagaimana gambaran hasil uji kepekaan terhadap beberapa jenis antibiotika dari kuman yang ditemukan.

c. Bagaimana hubungan antara penyakit dasar dengan jenis kuman yang ditemukan.

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum

a. Mengetahui pola kuman dari empiema di Bagian Paru RSUP H Adam Malik Medan

b. Mengetahui kepekaan terhadap beberapa jenis antibiotika dari kuman yang ditemukan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui hubungan antara penyakit dasar dengan jenis kuman yang ditemukan

1.4. MANFAAT PENELITIAN

a. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui gambaran pola kuman dari empiema di Bagian Paru RSUP H Adam Malik Medan.


(8)

b. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui kepekaan kuman terhadap antibiotika, yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk pemberian antibiotika secara empiris sebelum hasil pemeriksaan yang sesungguhnya didapatkan.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI EMPIEMA

Empiema dapat didefenisikan sebagai pus atau nanah di rongga pleura dengan karakteristik Bj >1,018, lekosit > 500/mm3 atau protein > 2,5 gr/dl. Pendapat lain mendefenisikan empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri positif atau lekosit > 15000/mm3 dengan protein > 3 gr/dl.4 Mense mendefenisikan empiema sebagai cairan pleura dengan memenuhi salah satu kriteria dibawah ini yaitu :

1. Didapat organisme/kuman pada kultur cairan pleura atau pada pewarnaan Gram.

2. Cairan berbentuk pus.

3. Analisa cairan pleura didapat pH < 7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan glukosa < 40 mg/dl.1

2.2. EPIDEMIOLOGI EMPIEMA

Empiema telah dikenal sejak lebih kurang 500 tahun sebelum Masehi, dan pada zaman itu Hippocrates merekomendasikan penanganan empiema dengan

open drainage. Pada tahun 1876, Hewitt memperkenalkan closed drainage untuk

penanganan empiema dengan menggunakan selang karet yang dimasukkan ke rongga dada dengan menggunakan kanul. Selang karet tersebut dihubungkan dengan water seal. Pada masa inilah pertama sekali diperkenalkan water seal.


(10)

Pada tahun 1890, diperkenalkan tindakan torakoplasti dan dekortikasi. Kemudian pada tahun 1950 diperkenalkan penggunaan Streptokinase dan Streptodornase. Dan pada dekade terakhir ini penggunaan VATS telah luas digunakan pada penanganan empiema.4 Suzuki pernah meneliti efikasi dari VATS untuk penanganan empiema yang kronis dan hasilnya menunjukkan bahwa VATS sebagai tindakan invasif yang minimal sangat baik untuk mengatasi pasien dengan empiema kronis terutama pada pasien usia tua dan dengan debilitas.13 Prevalensi efusi parapneumonik dan empiema berkisar 40 % dari pasien pneumonia bakterial yang dirawat inap di rumah sakit di Amerika.4 Ada juga yang mendapatkan angka 57 % dari pneumonia yang dirawat inap14. Sementara Brook mendapati dari 197 pasien empiema yang diteliti, 40 % diantaranya disebabkan pneumonia. Selain pneumonia, faktor penyebab lain yaitu aspirasi pneumonia (21 %), abses paru (6,5%), pasca torakotomi (6,5%), esofagus (3,5 %), abses sub diafragma (4 %), metastasis jauh (4,5 %), metastasis dekat (8 %)5. Jenis kuman penyebab pneumonia juga mempengaruhi terjadinya empiema. Pneumonia akibat bakteri aerob Gram positif jenis Bacillus anthracis bisa mengakibatkan empiema pada 90 – 100 % kasus, sedangkan jenis

Streptococcus pyogenes bisa mengakibatkan empiema pada 55 – 95 % kasus.4

2.3. PATOFISIOLOGI EMPIEMA

Terjadinya empiema merupakan sekunder dari suatu proses infeksi di tempat lain yang meluas ke pleura atau karena masuknya kuman ke rongga pleura. Penyebab yang paling banyak berasal dari infeksi paru. Penyebab lain


(11)

diantaranya akibat perluasan langsung dari infeksi mulut, retrofaring, paravertebra, abses kulit, atau akibat masuknya kuman ke rongga pleura oleh karena trauma atau pembedahan. Tindakan torasintesis atau torakotomi pada pneumotoraks yang tidak steril, perforasi esofagus, pneumotoraks spontan, infeksi subdiafragma juga dapat menimbulkan empiema. Snider dan Saleh pernah meneliti penyebab empiema dari 105 kasus dengan hasil terbanyak adalah infeksi paru dan pasca operasi (Tabel 1).9

Tabel 1. Patogenesis dari 105 kasus empiema.9

Jumlah Persentase

Infeksi Paru 58 55,2

Pasca operasi 23 21,9

Pasca trauma 4 3,8

Fistula esophagus 4 3,8

Pneumotoraks spontan 4 3,8

Pasca torasintesis 4 3,8

Proses subdiafragma 2 1,9

Etiologi tidak diketahui 6 5,7

Mekanisme penyebaran infeksi sehingga mencapai rongga pleura dapat dibagi kepada 4 yaitu :

1. Infeksi paru. Infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumonia atau adanya abses yang ruptur ke rongga pleura.


(12)

2. Mediastinum. Kuman kuman dapat masuk ke rongga pleura melalui tracheal

fistula, esophageal fistula, adanya abses di kelenjar mediastinum atau

adanya osteomyelitis vertebra.

3. Subdiafragma. Adanya proses di peritoneal atau di visceral dapat juga menyebar ke rongga pleura.

4. Inokulasi langsung. Inokulasi langsung dapat terjadi akibat trauma, iatrogenik, pasca operasi. Pasca operasi dapat terjadi infeksi dari hemotoraks atau adanya leak dari bronkus.9

Proses infeksi di paru seperti pneumonia , abses paru, bronkiektasis, sering mengakibatkan efusi parapneumonik yang merupakan awal terjadinya empiema. Ada tiga fase perjalanan efusi parapneumonik. Fase pertama yaitu fase eksudatif yang ditandai dengan penumpukan cairan pleura yang steril dengan cepat di rongga pleura. Penumpukan cairan tersebut akibat peninggian permeabilitas kapiler di pleura visceralis yang disebabkan pneumonitis. Cairan ini mempunyai karakteristik rendah lekosit, rendah LDH, normal glukosa, dan normal pH. Bila diberikan antibiotik yang tepat pada fase ini, maka efusi pleura tidak akan berlanjut.

Bila pemberian antibiotik tidak tepat, bakteri yang berasal dari proses pneumonitis tersebut akan menginvasi cairan pleura yang akan mengawali terjadinya fase kedua yaitu fase fibropurulent. Pada fase ini cairan pleura mempunyai karakteristik PMN lekosit tinggi, dijumpai bakteri dan debris selular, pH dan glukosa rendah dan LDH tinggi. Pada fase ini, penanganan tidak cukup


(13)

hanya dengan antibiotik tetapi memerlukan tindakan lain seperti pemasangan selang dada.

Bila penanganan juga kurang baik, penyakit akan berlanjut memasuki fase akhir yaitu fase organization. Pada fase ini fibroblas akan berkembang ke eksudat dari permukaan pleura visceralis dan parietalis dan membentuk membran yang tidak elastis yang dinamakan pleural peel. Pleural peel akan menyelubungi paru dan menghalangi paru untuk mengembang. Pada fase ini eksudat sangat kental dan bila penanganan tetap tidak baik, penyakit dapat berlanjut menjadi empiema nesesitas akibat cairan pleura mengalir sendiri menuju ke dinding toraks atau sebaliknya terjadi bronchopleural fistula akibat cairan pleura mengalir menuju paru. Secara lebih rinci, Light membagi cairan efusi parapneumonik dan empiema ini menjadi 7 kelas (tingkatan) berdasarkan radiologis, analisa cairan, pewarnaan Gram maupun kultur cairan (Tabel 2).4

2.4. BAKTERIOLOGI EMPIEMA

Secara garis besar bakteri yang didapat pada manusia dibagi kepada 4 bagian besar (Tabel 3).15 Dari banyak penelitian, bakteri aerob lebih banyak ditemukan pada cairan empiema dibandingkan anaerob. Jenis bakteri aerob yang paling banyak ditemukan adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus

pneumoniae, Streptococcus pyogenes. Bakteri aerob Gram positif ditemukan

lebih banyak dari bakteri aerob Gram negatif. Bakteri aerob Gram negatif yang paling banyak ditemukan adalah Klebsiella spp, Pseudomonas spp, dan


(14)

Tabel 2.Pembagian Kelas (Tingkatan) Efusi Parapneumonik dan Empiema dan skema terapi.4 Kelas 1

Nonsignificant pleural effusion

Kecil.Kurang dari 10 mm pada foto toraks posisi dekubitus.

Tidak diperlukan torasintesis Kelas 2

Typical parapneumonic pleural effusion

Lebih dari 10 mm.Glukosa > 40 mg/dl, pH >7,2,LDH < 3 x batas atas normal,pewarnaan Gram dan kultur negatif.

Antibiotik saja Kelas 3

Borderline complicated pleural effusion

7 < pH <7,2 dan/atau LDH > 3 x batas atas normal,glukosa > 40 mg/dl,pewarnaan Gram dan kultur negatif.

Antibiotik dan torasintesis berulang Kelas 4

Simple complicated pleural effusion

pH < 7 atau glukosa < 40 mg/dl atau pewarnaan Gram positif atau kultur positif,tidak loculated,tidak pus (nanah)

Tube thoracostomy ditambah antibiotic Kelas 5

Complex complicated pleural effusion

PH < 7 dan/atau glukosa < 40 mg/dl atau pewarnaan Gram positif atau kultur positif, multiloculated

Tube thoracostomy ditambah fibrinolitik Kelas 6

Simple empyema

Pus (nanah),cairan bebas bergerak

Tube thoracostomy,bisa dilakukan dekortikasi. Kelas 7

Complex empyema

Pus (nanah),multiloculated

Tube thoracostomy,bisa ditambah fibrinolitik.Sering diperlukan tindakan torakoskopi dan dekortikasi.


(15)

Tabel 3.Prinsip pembagian kelompok bakteri pada manusia.15 Genera

I.Fleksibel,dinding sel tipis,pergerakan dengan gliding

mechanism : Gliding Bacteria

II.Fleksibel,dinding sel tipis,pergerakan dengan axial

filament : Spirochetes

Treponema,Borrelia,Leptospira

III.Kaku,dinding sel tebal,tidak bergerak atau bergerak dengan flagella: Eubacteria

A.Mycelial(actinomycetes)

B.Simple unicellular

1.Obligate intracellular parasites 2.Free –living a.Gram positif (1)Cocci (2)Nonsporulating rods (3)Sporulating rods Obligate aerobes Obligate anaerobes b.Gram negatif (1)Cocci (2)Nonenteric rods Spiral forms

Straight,very small rods

(3)Enteric rods Facultative anaerobes Obligate aerobes Obligate anaerobes Mycobacterium,Actinomyces,Nocardia Streptomyces Rickettsia,Coxiella,Chlamydia Streptococcus,Staphylococcus Corynebacterium,Listeria Bacillus Clostridium Neisseria Spirillum Pasteurella,Brucella,Yersinia, Haemophilus,Bordetella

Escherichia (coliform bacteria) Salmonella,Shigella,Klebsiella,Proteus Vibrio

Pseudomonas

Bacteroides,Fusobacterium IV.Dinding sel tidak ada Mycoplasma


(16)

Bakteri anaerob yang paling banyak ditemukan adalah Bacteroides spp dan

Peptostreptococcus. Bakteri anaerob sering dijumpai bersama bakteri lain dan

jarang dijumpai tunggal pada cairan empiema.1,4,6,9,11

Banyaknya bakteri anaerob yang didapat dari kultur sangat tergantung pada cara mengkultur bakteri tersebut yang sangat berbeda dengan cara mengkultur bakteri aerob. Cara pengambilan dan transport spesimen juga harus dilakukan dengan benar bebas oksigen disamping media yang digunakan juga berbeda dengan yang biasa dipakai untuk bakteri aerob. Perlu juga dilihat populasi pasien yang diteliti. Pada populasi dengan banyaknya pasien usia tua , aspirasi sering terjadi dan menjadi penyebab dari pneumonia. Bakteri yang paling banyak dijumpai pada aspirasi adalah bakteri anaerob karena bakteri anaerob banyak terdapat di rongga mulut. Pada pasien usia muda biasanya banyak dijumpai

Streptococcus pneumoniae dan pada anak umumnya dijumpai Haemophylus

influenzae.4

Streptococcus pneumoniae atau Diplococcus pneumoniae atau

Pneumococcus merupakan penyebab terbanyak dari pneumonia.4 Bakteri ini termasuk golongan Streptococcus Non Beta Hemolyticus.16 Pneumonia akibat bakteri ini bisa mengakibatkan efusi pleura pada 40-60 % kasus tetapi hanya didapatkan hasil kultur yang positif pada 1-5 % kasus.4 Dari pneumonia dapat terjadi komplikasi berupa empiema, septikemia, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan artritis. Selain pneumonia, bakteri ini dapat menimbulkan sinusitis, otitis media, osteomielitis, artritis, peritonitis, ulserasi kornea dan meningitis.17 Bakteri ini bisa didapat pada 40-70 % individu normal yang


(17)

merupakan carrier bakteri ini.16 Bakteri ini menjadi patogen bila terjadi abnormalitas saluran nafas seperti pada infeksi virus, obstruksi bronkus, atau penumpukan mukus. Juga bisa terjadi akibat ketergantungan obat atau alkohol, dan malnutrisi.16 Pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan yang diwarnai dengan Gram, bakteri ini tampak berbentuk lanset, Gram positif dan berkapsul. Bakteri ini sukar tumbuh dalam medium sederhana mudah melarut dalam larutan garam empedu dan sensitif terhadap optochin (ethyl-hydrocuprein).17 Gejala klinis pneumonia akibat bakteri ini sifatnya akut dengan demam, menggigil, nyeri dada, sputum bloody atau rusty.16 Pemilihan antibiotika yang tepat bakteri ini adalah penicillin.16

Berbeda dengan Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes lebih jarang menjadi penyebab pneumonia, tetapi lebih tinggi persentasenya dijumpai di cairan pleura yaitu sekitar 30-40 %.4 Bakteri ini termasuk golongan

Streptococcus Beta Hemolyticus Group A.16

Streptococcus viridans yang termasuk kelompok Streptococcus Non Beta

Hemolyticus, juga sering ditemukan pada cairan pleura atau empiema. Pada

pemeriksaan mikroskopik dari sediaan usap yang diwarnai dengan Gram terlihat bakteri ini berbentuk bola, Gram positif, tersusun seperti rantai panjang, tidak ada spora . Koloninya di agar darah biasanya tidak berpigmen. Hemolisanya tidak sempurna dimana tampak warna kehijau - hijauan disekeliling koloni (green

hemolysis). Koloni Streptococcus pneumoniae di lempeng agar darah sukar

dibedakan dengan Streptococcus viridans, karena keduanya memberikan hemolisa yang tidak sempurna (alphahaemolisa) (tabel 4).17 Pemilihan antibiotik


(18)

yang tepat dari Streptococcus adalah Penicillin dengan alternatif lain yaitu

Eythromycin atau Cephalosporin .16

Tabel 4.Perbedaan antara S pneumoniae dan S viridans.17 Perbedaan S pneumoniae S viridans

1. Morfologi Koloni Haemolytic, draughtman coloni Haemolytic,koloni convex

2.Morfologi Mikroskopis Oval, lanset dua dua rantai pendek

Spheris, ovoid berantai panjang

3. Optochin disc Peka Tidak peka

4. Bile solubility Larut Tidak larut 5. Kapsul Bisa berkapsul Tidak ada kapsul

6. Virulensi terhadap Manusia

Tinggi Sangat rendah

Staphylococcus aureus juga merupakan bakteri Gram positif yang sering menyebabkan pneumonia.4 Staphylococcus aureus merupakan persistent carrier

pada 20 % individu sehat.18

Bakteri ini adalah bakteri Gram positif dengan sifatnya yang dapat menghemolisa darah dan mengkoagulasi plasma. Bakteri ini tumbuh pada keadaan aerob atau microaerophilic. Koloninya pada media padat berbentuk bulat, licin, dan membentuk pigmen yang berwarna kuning keemasan. Bakteri ini dapat memproduksi Eksotoksin yang dapat menghemolisis eritrosit, kemudian Leukocidin yang dapat membunuh leukosit. Bakteri ini juga memproduksi Enterotoksin dan Koagulase.16,17 Persentase terjadinya efusi pleura juga tinggi akibat infeksi bakteri ini yaitu sekitar 40 % pada dewasa dan 70 % pada anak anak. Hasil kultur yang positif bisa dijumpai pada 80 % kasus pada anak dan 20


(19)

% kasus pada dewasa.4 S. aureus dibagi 2 strain yaitu strain MSSA (Methcillin Susceptible Staphylococcus Aureus) dan MRSA (Methcillin Resistence

Staphylococcus Aureus ). Antibiotik yang direkomendasikan untuk pengobatan

pneumonia karena S. aureus strain MSSA yaitu Nafcillin dengan alternatif lain yaitu Vancomycin dan Clindamycin. Untuk strain MRSA direkomendasikan penggunaan Vancomycin dan Linezolid.18

Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu bakteri aerob Gram negatif yang juga sering mengakibatkan pneumonia.4 P. aeruginosa masuk kelompok

bakteri enterik Gram negatif dari famili Pseudomonadaceae. P. aeruginosa sering muncul sebagai flora normal di saluran intestinal dalam jumlah yang sedikit. P. aeruginosa menjadi patogen hanya bila pertahanan tubuh menurun atau bila ada infeksi yang disebabkan kuman lain. P aeruginosa dapat memproduksi endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin akan mengakibatkan demam, leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, shock, mengganggu perfusi ke jaringan, intravascular coagulation dan kematian. Eksotoksin dapat menginhibisi sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan. Koloni bakteri ini pada media berbentuk bulat, licin, mengeluarkan pigmen berwarna kehijauan dan berbau sweetish (harum).19 Sekitar 25-50 % pneumonia ini berkembang menjadi efusi pleura dan sekitar 40-50 % kasus bisa didapatkan kultur yang positif dari cairan pleura.4 Infeksi Pseudomonas sering merupakan infeksi nosokomial dan juga sering pada pasien pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah seperti pasien yang mendapat antibiotik atau steroid atau yang sedang terinfeksi oleh bakteri lain. Gluck pernah melaporkan kasus empiema akibat infeksi


(20)

Pseudomonas yang didapat selama perawatan. Kondisi pasien pada awal

perawatan membaik tetapi setelah 15 hari perawatan kondisi pasien memburuk kembali dan akhirnya mengakibatkan pasien meninggal setelah 30 hari perawatan. Dari hasil uji kepekaan dari aspirasi trakea, dahak dan cairan pleura yang dilakukan sebanyak 7 kali didapatkan bahwa pola kepekaan antibiotik terhadap Pseudomonas berubah dari awal pemeriksaan sampai akhir pemeriksaan. Pada awalnya chloramphenicol, tetracycline, kanamycin masih sensitif, tetapi menjelang pasien meninggal ketiga antibiotik tersebut sudah resisten terhadap pseudomonas.20 Pemilihan antiobiotik yang tepat pada

Pseudomonas adalah Gentamicin ditambah Carbenicillin dengan alternatif

Polymyxin atau Amikacin.21

Klebsiella pneumoniae juga merupakan salah satu bakteri aerob Gram negatif yang sering didapat.4 Sepuluh persen dari pneumonia karena K.pneumoniae, bisa disertai dengan efusi pleura, dan sekitar 20% dari efusi tersebut bisa dijumpai hasil yang positif dari kultur.4 K.pneumoniae masuk famili escherichiae

yang biasanya bukan flora normal pada manusia. K. pneumoniae merupakan bakteri nonmotile, tidak membentuk spora, berkapsul, batang Gram negatif dan memproduksi mukus. Koloni bakteri ini pada media berbentuk sangat kental,

mucoid growth, nonmotile.19,22 Bakteri ini bisa mengakibatkan konsolidasi dan nekrosis yang luas pada paru. Lobus atas paru merupakan bagian yang sering terlibat akibat bakteri ini. Bila penyembuhan atau resolusi pneumonia memakan jangka waktu yang lama dapat dipikirkan bahwa hal itu mungkin disebabkan oleh infeksi K. pneumoniae. Gambaran foto toraks pneumonia akibat K.pneumoniae


(21)

dapat mirip dengan gambaran foto toraks TB Paru karena gambaran lesi pada kedua penyakit sering berada pada lobus atas paru, kemudian kedua penyakit ini juga bisa menyebabkan kavitas, penebalan pleura, fibrosis, kontraksi dan distorsi dari fisura. Bisa juga dijumpai kedua kuman tersebut bersamaan. Untuk membedakannya harus dipastikan dengan pemeriksaan sputum BTA DS (Basil Tahan Asam Direct Smear) 3 x, kultur sputum dan Mantoux Test.22 Walaupun

K.pneumoniae bukan flora normal, tetapi pada 2 – 25 % populasi bisa

merupakan carrier. Biasanya pasien yang carrier ini menderita penyakit lain seperti otitis media kronis, sinusitis kronis, tonsilitis berulang, penyakit gigi dan gusi. Tidak ada drug of choice terhadap bakteri ini, tetapi pada satu penelitian didapati nilai kepekaan K.pneumoniae paling tinggi pada Streptomycin dan

Chloramphenicol.22 Ada juga yang menyatakan Cephalosporin atau Gentamycin sebagai drug of choice.21

Haemophylus influenzae adalah bakteri aerob Gram negatif yang sering ditemukan pada anak. Tujuh puluh lima persen dari pneumonia karena bakteri ini bisa dijumpai efusi pleura dan 80 % dari efusi pleura ini bisa dijumpai kultur yang positif.4

Mycobacterium tuberculosis juga dapat pada cairan pleura. Bakteri ini bisa didapat pada kurang lebih 40 % kasus efusi pleura akibat bakteri ini (tuberculous

pleuritis).23 Bakteri ini masuk famili Mycobacteriaceae, berbentuk batang, lurus, tidak membentuk spora. Bakteri ini tidak bisa diwarnai dengan pewarnaan biasa karena dinding selnya mengandung lemak sampai hampir 60 %, sehingga sangat sukar diwarnai.24 Diperlukan pewarnaan khusus agar terjadi penetrasi


(22)

zat warna. Ada beberapa pengecatan tahan asam untuk mewarnai bakteri ini, yang lazim digunakan adalah pengecatan Ziehl Nielsen. Cara lain adalah pengecatan Kinyoun Gabett atau pengecatan Than Thiam Hok. Pada pengecatan tersebut kuman tampak berwarna merah dengan latar belakang biru. Pada pewarnaan fluorochrom, kuman berfluoresensi dengan warna kuning oranye. Kuman ini tumbuh secara obligat aerob. Kandungan lemak pada dinding sel yang tinggi menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam dan basa dan juga tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika. Ada beberapa medium yang bisa digunakan untuk mengisolasi kuman ini, tetapi yang sering digunakan adalah media Lowenstein Jensen.24,25 Tuberculous empyema biasanya muncul

pada jaringan paru yang fibrotik. Gejala klinis biasanya subakut dengan demam subfebril, lemah dan penurunan berat badan. Empiema yang terjadi bisa juga akibat terjadinya bronchopleural fistula dengan masuknya kuman yang lain dari bronkus menuju pleura sehingga terjadi superinfection.23 Dapat dijumpai kuman

M. tuberculosis dari pewarnaan langsung (direct smear) atau dari kultur, tetapi

bisa juga tidak dijumpai. Seperti pada penelitian yang dilakukan Goyal, dari 53 pasien tuberculous empyema,15 pasien tidak dijumpai kuman M tuberculosis, baik dari pewarnaan langsung atau dari kultur. Pada penelitian ini juga dijumpai kuman kuman lain selain kuman M tuberculosis pada 41 pasien. Pengobatan sangat sulit akibat selain pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) juga harus diberikan antibiotik untuk kuman yang lain. Disamping itu, dinding pleura yang tebal menyulitkan penetrasi antibiotik ke rongga pleura. Pada penelitian tersebut


(23)

dijumpai juga pada 19 pasien harus dilakukan tindakan dekortikasi, torakoplasti, dan pleuropneumonektomi.26

Pada penelitian De A, bakteri anaerob lebih banyak didapat pada cairan empiema dibandingkan bakteri aerob walaupun bakteri anaerob yang dijumpai tersebut bersamaan dengan bakteri aerob. Bakteri anaerob yang paling banyak didapat adalah Prevotella melaninogenicus, Peptostreptococcus asaccharolyticus, Peptostreptococcus spp.6 Pada penelitian Bartlett dijumpai hasil dari 193 pasien dengan infeksi anaerob pada paru dan pleura, bakteri anaerob yang paling banyak ditemukan yaitu Peptostreptococcus, Bacteroides,

Fusobacterium.27 Peptostreptococcus merupakan strain dari Streptococcus yang

hanya tumbuh pada kondisi anaerob atau microaerophilic. Bacteroides dan

Fusobacterium merupakan flora normal pada mulut dan saluran pernafasan atas.

Media yang biasa dipakai untuk pembiakan bakteri anaerob adalah Agar

Brucella.16 Dapat dijumpai efusi pleura pada 35 % kasus pneumonia yang disebabkan bakteri anaerob. Persentase kultur yang positif pada cairan pleura tersebut juga tinggi yaitu sekitar 90 %.4

Untuk membedakan bakteri aerob dan anaerob secara cepat bisa digunakan tehnik direct gas-liquid chromatography, seperti yang dilakukan Thadepalli terhadap 52 pasien empiema. Thadepalli mendapatkan 14 pasien dengan bakteri anaerob, 22 pasien dengan bakteri aerob dan 16 pasien tidak didapatkan kuman.28

Jamur juga bisa dijumpai pada cairan empiema. Pada penelitian retrospektif yang dilakukan Ko SC, dari tahun 1990 –1997 di National Taiwan University


(24)

Hospital, didapatkan 73 sampel dengan kultur positif jamur. Spesies terbanyak

adalah Candida (47 %), dengan strain terbanyak adalah Candida albicans (28 %). Dari penelitian itu didapatkan penyebab terbanyak terjadinya empiema adalah penyakit abdominal (30 %), infeksi bronkopulmonal (22 %), torakostomi (18 %), torasintesis berulang (7 %).29 Pemilihan antibiotik yang tepat adalah

Amphotericin B yang dapat diberikan sistemik atau intra pleura.21

Kuman kuman lain yang pernah dilaporkan didapat di cairan empiema antara lain Trichomonas 30, Actinomycoses naeslund i31, Histoplasma capsulatum 32,

Cryptococcus neoformans 33, Clostridium perfringens 34, Legionella pneumophila.35

2.5. DIAGNOSIS EMPIEMA

Diagnosis empiema ditegakkan dari gejala klinis, fisis diagnosis, foto toraks, darah rutin dan pungsi percobaan. Gejala klinis pasien empiema yang disebabkan kuman aerob biasanya bersifat akut dengan keluhan demam, sesak nafas, nyeri dada, produksi sputum dan lekositosis, sementara yang disebabkan kuman anaerob biasanya menunjukkan gejala yang subakut. Pada satu penelitian dengan empiema anaerob didapatkan rata - rata pasien sudah mengalami gejala lebih kurang 15 hari sebelum masuk rumah sakit. Gejala lain dijumpai juga seperti penurunan berat badan.4,27

Pada fisis diagnosis dijumpai hemitoraks bulging, sela iga melebar pada sisi efusi bila tekanan pleura meningkat. Bila pada sisi efusi tekanan pleura menurun yang diakibatkan obstruksi bronkus atau trapped lung, hemitoraks akan


(25)

mengecil, sela iga menyempit. Pada palpasi dijumpai stem fremitus yang melemah pada sisi efusi. Pada perkusi dijumpai suara beda pada sisi efusi. Pada auskultasi dijumpai suara pernafasan melemah atau menghilang pada sisi efusi.36

Dari foto toraks lateral dapat dilihat bayangan cairan di rongga pleura. Bila bayangan tersebut dikaburkan dengan bayangan infiltrat, sebaiknya dilakukan foto lateral dekubitus untuk membedakannya. Bila ada cairan di rongga pleura, maka cairan akan bergerak menuju tempat yang terendah, dan jumlah cairan tersebut dapat diperkirakan dengan mengukur jarak dinding dada bagian dalam dengan bagian bawah paru. Bila jarak tersebut < 1 cm, efusi tersebut tidak signifikan dan tindakan torasintesis tidak dianjurkan. Bila jarak tersebut > 1 cm perlu dilakukan torasintesis untuk evakuasi cairan, pemeriksaan cairan dan untuk membedakan efusi tersebut apakah complicated effusions atau uncomplicated

effusions atau telah masuk kelas yang mana dari klasifikasi Light. Cairan pleura

itu secara makroskopis dilihat warna, kekentalan dan bau. Selanjutnya cairan pleura dikirim ke laboratorium untuk dilakukan analisa cairan pleura yang meliputi berat jenis, pH, protein, lekosit, Diff Tell, LDH dan glukosa. Juga dilakukan pewarnaan Gram, kultur untuk kuman aerob dan anaerob, sitologi, dan pewarnaan serta kultur untuk jamur dan Basil Tahan Asam (BTA) bila terdapat indikasi secara klinis.4

Warna cairan pleura pada efusi parapneumonik bervariasi sesuai dengan kelasnya, mulai dari jernih, kuning sampai kuning kental. Bila cairan pleura berbau busuk seperti bau kotoran, kemungkinan kuman penyebabnya yaitu


(26)

bakteri anaerob. Bila pada cairan dijumpai sisa makanan, mungkin penyebabnya adalah esophageal pleural fistula.4

2.6. PENATALAKSANAAN EMPIEMA

Penatalaksanaan empiema dibagi kepada 2 hal penting yaitu pemilihan antibiotik yang tepat dan penatalaksanaan terhadap cairan empiema tersebut. 2.6.1. Antibiotik

Antibiotik yang pertama kali ditemukan yaitu Quinine untuk malaria dan

Emetine untuk amebiasis yang ditemukan pada abad ke 17. Kemudian pada

tahun 1929 ditemukan Penicillin, tahun 1935 ditemukan Sulfonamides, kemudian diikuti penemuan streptomycin, tetracycline, chloramphenicol, dan banyak lagi antibiotik yang baru. Mekanisme kerja antibiotik dibagi kepada 4 jenis, yaitu :

1. Menginhibisi pembentukan dinding sel. Yang termasuk jenis ini yaitu

Bacitracin, Cephalosporins, Cycloserine, Penicillins, Ristocetin,

Vancomycin.

2. Menginhibisi fungsi membran sel. Yang termasuk jenis ini yaitu :

Amphotericin B, Colistin, Nystatin, Polymyxins.

3. Menginhibisi sintesis protein. Yang termasuk jenis ini yaitu :

Chloramphenicol, Erythromycins, Lincomycins, Tetracyclines, golongan

Aminoglycosides seperti Amikacin, Gentamicin, Kanamycin, Neomycin,


(27)

4. Menginhibisi sintesis dari asam nukleat. Yang termasuk jenis ini yaitu :

Nalidixic Acid, Novobiocin, Pyrimethamine, Sulfonamides, Trimethoprim,

Rifampin.

Resistensi terhadap antimikroba/antibiotik dapat terjadi melalui 5 mekanisme yaitu :

1. Mikroorganisme memproduksi enzim yang dapat menghancurkan zat aktif dari obat tersebut. Contohnya adalah Staphylococcus yang resisten terhadap Penicillin karena memproduksi betalaktamase. Kemudian bakteri Gram negatif yang resisten terhadap aminoglikosida karena memproduksi

acetylating enzym, bakteri Gram negatif yang resisten terhadap

chloramphenicol acetyltransferase.

2. Mikroorganisme merubah permeabilitasnya terhadap obat. Contohnya adalah bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida karena terganggunya transport aktif melewati membran sel.

3. Mikroorganisme merubah struktur target dari antibiotik. Contohnya adalah bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida karena bakteri merubah 30s sub unit dari ribosom bakteri yang menjadi tempat melekat antibiotik.

4, Mikroorganisme merubah jalur metabolisme sehingga melewati reaksi yang diinhibisi oleh antibiotik. Contohnya adalah bakteri yang resisten terhadap Sulfonamide tidak memerlukan ekstra selular PABA, tetapi dapat menggunakan asam folat


(28)

5. Mikroorganisme merubah pembentukan enzim tetapi masih bisa berfungsi dalam metabolisme.

Resistensi mikroorganisme ini terhadap antibiotik bisa didapat secara genetik atau non genetik.21

Pemilihan antibiotik yang tepat baru bisa dilakukan setelah hasil pemeriksaan tes kepekaan didapatkan. Sebelum hasil itu didapat, pedoman untuk memberikan antibiotik yang tepat bisa berdasarkan penyebab dari empiema tersebut. Bila empiema disebabkan oleh pneumonia komuniti yang kuman penyebabnya biasanya bakteri Gram positif, dianjurkan pemberian antibiotik jenis

fluoroquinolone saja seperti levofloxacin, sparfloxacin, atau grepafloxacin. Bila

keadaan lebih berat dapat dikombinasi dengan cefotaxime atau ceftriaxone atau dengan betalaktam dan betalaktamase inhibitor seperti ampicillin/sulbactam,

ticarcillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam. Pilihan lain dapat diberikan

betalaktam dan betalaktamase inhibitor saja atau bila keadaan lebih berat dapat dikombinasi dengan macrolide seperti erythromycin, azithromycin, atau

clarithromycin selain dengan fluoroquinolone. Bila diduga kuman penyebabnya

adalah bakteri anaerob, dianjurkan pemberian fluoroquinolone kombinasi dengan

clindamycin atau metronidazole atau betalaktam dan betalaktamase inhibitor.4

Bila empiema disebabkan pneumonia nosokomial yang didapat di rumah sakit, kuman penyebabnya biasanya bakteri enterik Gram negatif seperti

Pseudomonas aeruginosa atau oleh bakteri Gram positif seperti Staphylococcus

aureus.4 Bila diduga penyebabnya adalah S.aureus, dianjurkan pemberian


(29)

dianjurkan pemberian cephalosporine generasi ke 3 saja atau betalaktam -betalaktamase inhibitor dikombinasi dengan aminoglikosida.18

BTS mempunyai guidelines untuk pemberian antibiotik pada infeksi pleura dengan hasil kultur yang negatif (Tabel 5).14

Tabel 5. Regimen pemberian antibiotik pada infeksi pleura dengan kultur negatif.14

Sumber infeksi Pengobatan antibiotik intravena Pengobatan antibiotik oral

Komuniti ♦Cefuroxime1,5 gr, 3x/hari,iv +

Metronidazole 400 mg, 3x/hari,

oral atau 500 mg, 3x/hari,iv

Benzyl penicillin 1,2 gr, 4x/hari, iv

+ Ciprofloxacin 400 mg,

2x/hari, iv

Meropenem 1 gr,3x/hari,iv + Metronidazole 400 mg, 3x/hari,

oral atau 500mg, 3x/hari,iv

Amoxycillin 1 gr,3x/hari + Clavulanic acid 125 mg,

3x/hari

Amoxycillin 1 gr, 3x/hari + Metronidazole 400 mg,

3x/hari

Clindamycin 300 mg,

4x/hari

Rumah sakit ♦Piperacillin + Tazobactam 4,5 gr

,4x/hari,iv

Ceftazidime 2 gr,3x/hari,iv

Meropenem 1 gr,3x/hari,iv + Metronidazole 400 mg, 3x/hari,

oral atau 500 mg,3x/hari,iv


(30)

Penetrasi antibiotik ke rongga pleura berbeda beda dari tiap antibiotik. Pada penelitian Teixeira terhadap kelinci yang diberikan injeksi bakteri Pasteurella

multocida ke rongga pleura, akhirnya terjadi empiema yang dipastikan dengan

torasintesis. Kemudian diberikan antibiotik yang berbeda - beda pada tiap kelinci secara intravena. Setelah itu diukur dan dibandingkan kadar antibiotik pada serum dengan cairan pleura. Hasilnya Penicillin berpenetrasi sangat mudah ke rongga pleura, diikuti oleh metronidazole, ceftriaxone, clindamycin, vancomycin dan gentamicin.37

Pemberian antibiotik ke rongga pleura pertama sekali hanya dilakukan terhadap pasien empiema yang disebabkan oleh infeksi paska operasi pneumonektomi.Tetapi sekarang ini pemberian antibiotik ke rongga pleura telah dilakukan pada empiema yang disebabkan oleh pneumonia juga.3

2.6.2. Penatalaksanaan Cairan Empiema

Penatalaksanaan terhadap cairan efusi parapneumonik atau yang sudah berkembang menjadi empiema bergantung kepada kelas dari cairan efusi tersebut. Pada cairan efusi kelas 1 atau nonsignificant pleural effusion yang didapat hanya dari foto toraks posisi dekubitus, tidak diindikasikan untuk dilakukan torasintesis. Tetapi pada kelas 3 atau borderline complicated pleural

effusion, diindikasikan untuk dilakukan torasintesis secara serial. Pada kelas 4


(31)

thoracostomy sedangkan pada kelas 7, selain thoracostomy kadang - kadang

diperlukan fibrinolitik atau torakoskopi dan bahkan dekortikasi.3

2.7. UJI KEPEKAAN

Uji kepekaan (tes resistensi) dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri penyebab infeksi peka (sensitif) atau tidak peka (resisten) terhadap antimikroba sehingga dapat dipilih antimikroba yang tepat untuk mengatasi infeksi tersebut. Pada uji kepekaan dapat pula ditentukan KHM (Kadar Hambatan Minimum) dan KBM (Kadar Bakterisidal Minimum) untuk mengetahui apakah suatu antimikroba itu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut (bacteriostatic) atau mematikannya (bacteriocidal).

Tergantung dari maksud dan tujuannya itu dipilih cara uji kepekaan yang cocok, karena ada beberapa cara uji kepekaan yang dapat di lakukan. Disamping cara pemeriksaan yang rutin, masih terdapat cara cara uji kepekaan lainnya yang khusus seperti uji kepekaan menggunakan alat - alat yang serba otomatis (radiometry, micro calorimetry bioluminescence, electrical impedance seperti Autobac System cara deteksi betalaktamase, rapid acidommetric, rapid

iodometri, rapid chromogenic cephalosporin methode).

Cara Cara Uji Kepekaan

1. Cara Pengenceran (dilution methode) : a. Memakai media cair (broth)

b. Memakai media padat


(32)

a. Memakai kertas cakram b. Memakai tablet

2.7.1. Uji Kepekaan Cara Difusi

Dibandingkan dengan cara pengenceran maka cara difusi pelaksanaannya jauh lebih mudah dan murah. Karena itu secara rutin dipakai cara ini. Kalau cara pengenceran merupakan cara kuantitatif, cara difusi merupakan cara kualitatif. Hasil pemeriksaan dinyatakan dengan peka, kurang peka atau hampir resisten dan tidak peka (resisten). Walaupun cara ini mudah dan murah akan tetapi untuk mendapatkan hasil yang akurat, pelaksanaannya harus menurut prosedur yang telah ditetapkan yaitu ketebalan medianya, jumlah bakteri yang disemai, jarak antara cakram antimikroba dan hal lain yang patut diperhatikan pada uji kepekaan pada umumnya.

Daerah di sekitar cakram yang tidak ditumbuhi bakteri terlihat bersih (daerah inhibisi). Daerah inhibisi ini diukur dengan alat kaliper (jangka sorong atau dengan millimeter). Untuk menentukan peka, kurang peka atau tidak peka (resisten) ditetapkan berdasarkan luas daerah inhibisi menurut Metode Kirby Bauer.38


(33)

Tabel 6.Ukuran Inhibisi Metode Kirby Bauer(dalam mm)38

ANTIMIKROBA STRAIN T. PEKA K. PEKA PEKA

AMPICILLIN (10 ug) Enterobacteriac <=11 12-13 =>14 eae ,

Staphyl.sp. dan

bakteri yang peka dengan PNC

<=10 21-28 =>29

PENICILLIN (10 ug) Staphylococcus <=20 21-28 =>29

sp.

Bakteri lainnya

<=11 12-21 =>22

METHICILLIN (5ug) <=9 10-13 =>14

KANAMYCIN (30ug) <=13 14-17 =>18

STREPTOMYCIN (10ug) <=11 12-14 =>15

GENTAMYCIN (10ug) <=12 - =>13

CEPHALOTHIN (30ug) <=14 15-17 =>18

ERYTHROMYCIN (15ug) <=13 14-17 =>18

LYNCOMYCIN (2ug) <=9 10-14 =>15

TETRACYCLIN (30ug) <=14 15-18 =>19

CHLORAMPHENICOL (30ug) <=12 13-17 =>18

NALIDIXIC ACID (30ug) <=13 13-18 =>19

NITROFURANTOIN (300ug) <=14 15-16 =>17

SULPHONAMIDE (300ug) <=12 13-16 =>17


(34)

ANTIMIKROBA STRAIN T PEKA K PEKA PEKA

Amikacin (AN-30), 30ug <14 15-16 >17

Staphylo <19 >20

Amoxillin / Clav. Acid (AMC-30)

Lain lain <13 14-17 >18

Enterobact <13 14-16 >17

Staphylo <28 >29

Ampicillin (AM-1), 10ug

Enterococ <16 >17

Bacitracin (B-10), 10 units

Cefotaxime (CTX-30), 30 ug < 14 15-22 >23

Cefotiam (CTM) 30 ug

Ceftazidime (CAZ-30), 30ug <14 15-17 >18

Cefuroxime (CXM-30), 30ug <14 15-22 >23

Cephalexin (CI), 30 ug <14 15-17 >18

Cephalothin (KF), 30 ug <14 15-17 >18

Chloramphenicol ©, 30 ug <12 13-17 >18

Ciprofloxacin (CIP-5), 5ug <15 16-20 >21

Doxicycline (D-30), 30 ug <12 13-15 >16

Erythromycin (E-15), 15 ug <13 14-22 >23

Fosfomycin (FOS) 50 ug <13 14-19 >20

Fusidic Acid

Gentamycin (GM-10), 10 ug

Kecuali high

resistant

enterococcus

<12 13-14 >15

Imipenem (IPM-10), 10ug <13 14-15 >16


(35)

Methicillin (met), 5ug Staphylo <9 10-13 >14

Nalidixic Acid (NA-30), 30ug <13 14-18 >19

Nitrofurantoin (F/M), 300 ug <14 15-16 >17

Norfloxacin (NOR), 10ug <12 13-15 >16

S aureus <10 11-12 >13

Oxacillin (OX-1), 1 ug Staph coag negative

<17 >18

Staphylococcu s

<28 >29

Penicillin (P-10), 10 units

Enterococcus <14 >15

Pseudomonas <17 >18

Piperacillin (PIP), 100ug and Tazobactam +Piperacillin (TZP)

100 ug

Other Gram (-)

<17 15-19 >20

Rifampin <16 17-19 >20

Tetracyline (TE-30), 30 ug <14 15-18 >19

Timentin

Trimetthoprim (TMP-5) 5 ug <10 11-15 >16

Vancomycin (Va-30), 30 ug

Tabel 7.Ukuran Inhibisi menurut Metode Modifikasi Kirby Bauer (dalam mm)38


(36)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Penyakit Paru RSUP H.Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan selama 6 bulan ( Januari 2007 - Juni 2007 ).

3.2. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif 3.2.1. Populasi

Semua penderita empiema yang datang berobat ke Departemen Ilmu Penyakit Paru di RSUP H.Adam Malik Medan selama 6 bulan (Januari 2007 - Juni 2007)

3.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria pasien diterima dan tidak terdapat kriteria pasien ditolak yang didapat selama penelitian ini 3.2.2.1. Kriteria Pasien Diterima

1. Pasien empiema dengan cairan pleura memenuhi salah satu kriteria dibawah ini yaitu :

a. Didapat organisme/kuman pada pewarnaan langsung atau pada kultur cairan pleura


(37)

c. Analisa cairan pleura didapat pH < 7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan Glukosa < 40 mg/dl.1

2. Pasien empiema yang baru pertama kali berobat atau yang mendapat Empiema setelah dirawat di bangsal Departemen Ilmu Penyakit Paru di RSUP H.Adam Malik Medan dan BP4 Medan

3. Umur pasien di atas 15 tahun

4. Pasien koperatif dan bersedia untuk mengikuti penelitian dengan benar . 3.2.2.2. Kriteria Pasien Ditolak

1. Pasien Empiema yang disebabkan oleh karena trauma 3.2.3. Jumlah Sampel

Jumlah sampel dihitung berdasarkan estimasi populasi : Z α2 P ( 1 – p ) 3,84 . 0,21 n = =

d2 0,01

n = 28 sampel

Keterangan :

n = besar sampel Z α = batas kepercayaan

P = prevalensi empiema sebesar 92 % 1- p = ( 1 – prevalensi )


(38)

3.3. KERANGKA KONSEP

EMPIEMA POLA KUMAN

UJI KEPEKAAN

3.4. DEFINISI OPERASIONAL:

1. Empiema adalah cairan pleura berbentuk pus (nanah) atau didapat organisme(kuman) pada pewarnaan langsung atau pada kultur cairan pleura atau dari analisa cairan pleura didapat pH < 7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan Glukosa < 40 mg/dl.1

2. Pola kuman adalah gambaran dari kuman kuman yang didapat di cairan empiema yang didapat dari pewarnaan Gram, pewarnaan Ziehl Nielsen, pewarnaan jamur, kultur bakteri aerob, kultur bakteri anaerob, kultur jamur.

3. Pewarnaan Gram adalah pewarnaan cairan pleura dengan zat warna ungu kristal untuk melihat bakteri Gram negatif atau bakteri Gram positif. Dijumpai bakteri Gram positif bila dengan mikroskop dijumpai bakteri bakteri yang berwarna ungu. Dijumpai bakteri Gram negatif bila dengan mikroskop dijumpai bakteri bakteri yang berwarna merah.39

4. Pewarnaan Ziehl Nielsen adalah pewarnaan cairan pleura dengan zat warna Carbol-Fuchsin untuk melihat Basil Tahan Asam (BTA). Dijumpai BTA bila dengan mikroskop dijumpai bakteri berwarna merah, berbentuk


(39)

batang tipis, ada granule, lurus atau agak bengkok, susunan tidak teratur.39

5. Pewarnaan jamur adalah pewarnaan cairan pleura dengan tehnik Wet

Mount. Sediaan kering bisa di warnai dengan pewarnaan Gram atau bisa

juga dengan simple staining dengan Methylene blue.40

6. Kultur Bakteri Aerob adalah penanaman cairan pleura pada media pembiakan Blood Agar untuk melihat pertumbuhan bakteri aerob. Dikatakan kultur positif bila dijumpai koloni kuman pada media pembiakan setelah 24 jam di eramkan di inkubator. Identifikasi kuman berdasarkan identifikasi bentuk koloni yang pedomannya telah ditetapkan sebelumnya.41

7. Kultur Bakteri Anaerob adalah penanaman cairan pleura pada media pembiakan Agar Brucella diperkaya dengan darah domba defibrinated 55, Vitamin K, Hemin , untuk melihat pertumbuhan bakteri anaerob. Media pembiakan diletakkan di bejana anaerob terlebih dahulu baru kemudian dieramkan di inkubator. Dikatakan kultur positif bila dijumpai koloni kuman pada media pembiakan setelah 24 jam. Identifikasi kuman berdasarkan identifikasi bentuk koloni yang pedomannya telah ditetapkan sebelumnya.42

8. Kultur Jamur adalah penanaman cairan pleura pada media pembiakan

Saborauds glukose agar untuk melihat pertumbuhan jamur. Dikatakan


(40)

jam. Identifikasi kuman berdasarkan identifikasi bentuk koloni yang pedomannya telah ditetapkan sebelumnya.40

9. Uji kepekaan adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri penyebab infeksi, peka (sensitif) atau tidak peka (resisten) terhadap antimikroba. Hal ini dilakukan dengan metode Kirby Bauer.38

3.5. PELAKSANAAN PENELITIAN

Semua pasien yang memenuhi kriteria pasien diterima dan tidak terdapat kriteria pasien ditolak diambil data dasarnya. Data dasar berupa nama, umur, jenis kelamin, gejala klinis, BTA sputum, kultur sputum bakteri, jamur & uji kepekaan, darah rutin, kadar gula darah, penyebab empiema.

Pasien yang memenuhi kriteria kemudian dilakukan pewarnaan Gram, pewarnaan Ziehl Nielsen, pewarnaan Jamur dan kultur cairan pleura. Pengambilan cairan pleura dilakukan dengan steril dengan menggunakan 2 buah

disposible syringe 10 cc. Disposible syringe yang pertama untuk pemeriksaan

analisa cairan pleura dan disposible syringe yang kedua untuk pewarnaan Gram dan kultur. Pemeriksaan analisa cairan pleura dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RS HAM , sedangkan pewarnaan Gram dan kultur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK USU. Kedua spesimen harus segera dikirim ke laboratorium atau bila didapat diluar jam kerja dapat disimpan pada suhu 4 °C.


(41)

3.5.1. Pewarnaan Gram

Secara tehnis pewarnaan Gram di Laboratorium Mikrobiologi FK USU dilakukan dengan cara :

1. Fiksasi

2. Tuang zat warna ungu kristal menggenangi sediaan : 1 menit 3. Cuci dengan air kran ... 5-10 detik 4. Genangi dengan larutan lugol ... 1 menit 5. Cuci dengan air kran ... 5-10 detik 6. Celup dan digoyang goyang dalam bak berisi alkohol

96% selama ... 30 detik 7. Segera cuci dengan air kran

8. Genangi dengan Fuchsin-air (atau Safranin)

selama ………. 1-2 menit 9. Cuci kembali dengan air kran, lalu keringkan. Siap untuk diperiksa.39

3.5.2. Pewarnaan Ziehl Nielsen.

Secara tehnis pewarnaan Ziehl Nielsen dilakukan dengan cara : 1. Buatlah sediaan bakteri, lakukan fiksasi.

2. Genangi dengan larutan Carbol-Fuchsin.

3. Panaskan di atas nyala api sampai menguap (jangan mendidih atau kering) ….. 5 menit (atau dengan beberapa tetes tergitol ditambahkan kepada Carbol-Fuchsin).


(42)

5. Lunturkan dengan H2SO4 20% atau asam alkohol sehingga tak ada lagi zat warna yang luntur.

6. Cuci dengan air kran……….. 5 detik 7. Genangi dengan Methylene blue………. ……….. 30 detik

(atau dengan Malachit green) 8. Cuci dengan air kran dan keringkan

Preparat siap untuk diperiksa di bawah mikroskop.39

3.5.3. Pewarnaan Jamur

Pewarnaan untuk melihat jamur secara tehnis dilakukan dengan tehnik Wet

Mount. Sediaan basah yaitu mengenai spesimen dengan cairan seperti KOH

atau NaOH 10-20%, larutan Ecosin, Larutan Lactophenol cotton blue, aquadest bisa juga digunakan. Sediaan kering bisa di warnai dengan pewarnaan Gram atau bisa juga dengan simple staining dengan Methylene Blue.40

3.5.4. Kultur Cairan Pleura

Kultur cairan pleura secara tehnis dilakukan dengan cara sebagai berikut

1. Cairan empiema di disposible syringe diteteskan ke media pembiakan

blood agar

2. Ose atau kapas lidi dipakai untuk menyemai bakteri dalam cairan empiema tersebut pada permukaan medium padat dengan goresan secara berulang – ulang.


(43)

Disamping tehnik goresan diatas ada lagi dikenal goresan radian dan goresan sinambung.

3. Penyentuhan tersebut dilakukan berulang ulang sedemikian sehingga dapat diperoleh koloni yang terpisah pada proses penyentuhan terakhir yaitu :

a. Pada proses penyentuhan pertama kali bakteri disemai masih rapat satu sama lainnya.

b. Pada penyentuhan ke-2 bakteri semai semakin renggang

c. Pada penyentuhan ke-3 bakteri yang disemai semakin renggang

d. Dan pada penyentuhan terakhir penyemaian bakteri sudah demikian renggang sehingga di harapkan bakteri dapat tumbuh dengan membentuk koloni terpisah (isolated colony).41

Untuk kuman aerob digunakan media blood agar dan setelah disemai langsung dimasukkan ke inkubator. Untuk kuman anaerob digunakan media

Agar Brucella diperkaya dengan Darah domba defibrinated 55, Vitamin K,

Hemin. Sebelum dimasukkan ke inkubator, terhadap media yang telah disemai dilakukan isolasi terlebih dahulu dengan memasukkan media tersebut ke bejana anaerob yang menggunakan gas-pak sebagai generator H2 dan CO2 dan palladium sebagai katalisator. Pembacaan koloni dilakukan 24 jam kemudian dan bila pertumbuhan kurang baik pengeraman ulang dilakukan untuk 24 jam berikutnya.42


(44)

3.5.5. Kultur Jamur

Untuk mengkultur jamur dilakukan dengan tehnik Slide Culture yaitu dengan cara :

1. Letakkan kertas filter steril menutupi seluruh dasar suatu petri yang steril. 2. Sterilkan sebuah gelas objek dengan cara mencelupkannya ke dalam

alkohol lalu membakarnya sehingga seluruh alkohol menguap. Lalu gelas objek ini di letakkan di atas kertas filter tersebut secara aseptis lalu biarkan dingin.

3. Dengan pipet steril, secara aseptis tuangkan selapis tipis Sabaroud’s

Glucose Agar panas di atas permukaan gelas objek tadi dan biarkan dingin

menjadi padat.

4. Iris salah satu segmen Agar itu dengan sengkelit steril, sehingga diperoleh suatu pinggir yang rata.

5. Dengan sengkelit tanamlah permukaan yang rata itu jamur yang akan diperiksa.

6. Tutuplah dengan dek gelas steril.

7. Rekatlah 3 sisi dek glass itu dengan parafin atau vaselin, sedangkan permukaan yang rata tidak di tutup.

8. Tutup piring petri dan eramkan dalam inkubator 250C beberapa hari. 9. Tiap hari aquadest ditambah agar kertas saring selalu basah.

Amati pertumbuhan koloni pada slide culture tersebut. Dengan cara itu struktur jamur yang tumbuh dapat di amati tanpa harus mengganggu susunan dan letaknya pada slide culture itu.40


(45)

3.5.6. Uji Kepekaan

Secara tehnis uji kepekaan dilakukan dengan cara 1. Lempeng Agar

Tebal lempeng Agar kira kira 4 mm bisa disimpan pada suhu 40C, bila permukaannya basah, keringkan dulu dengan memasukkannya ke dalam inkubator pada suhu 370C selama setengah jam.

2. Bakteri yang diuji

Dengan Ose (sengkelit) diambil bakteri dari koloninya dan masukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium cair dan eramkan selama 2-5 jam pada suhu 360-370C.

3. Cara penyemaian bakteri

Kapas lidi steril dicelupkan ke dalam medium cair berisi bakteri yang telah di eramkan secukupnya (kapas lidi itu di tekan pada dinding tabung reaksi) lalu disemaikan pada permukaan medium hingga rata (dioleskan 3 arah). Bisa juga permukaan medium Agar digenangi dengan medium cair berisi bakteri di atas lalu medium cair yang berlebihan diisap dengan pipet steril, lempeng itu dibiarkan mengering selama 3-5 menit (jangan lebih dari 15 menit).

4. Cakram Antimikroba

Cakram Antimikroba diletakkan di atas permukaan lempeng agar dengan bantuan pinset steril atau dengan alat / dispenser khusus untuk itu. Cakram yang sudah di letakkan itu di tekan sedikit agar melekat cukup baik pada permukaan medium Agar. Eramkan pada suhu 370C selama 18-24 jam.


(46)

5. Mengatur daerah inhibisi

Daerah di sekitar cakram yang tidak ditumbuhi bakteri terlihat bersih itu di ukur dengan alat kaliper (jangka sorong atau dengan millimeter). Untuk menentukan peka kurang peka atau resisten, diukur lebar daerah inhibisi disekitar cakram dan disesuaikan dengan Tabel Ukuran Inhibisi Metode Kirby Bauer.38

3.6. ANALISIS DATA

Analisis data untuk menentukan distribusi frekuensi


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini jumlah penderita empiema yang masuk dalam penelitian sebanyak 28 orang. Seluruh pasien / subjek penelitian setelah menandatangani surat persetujuan sebagai subjek penelitian, diambil data dasarnya. Data dasar berupa nama, umur, jenis kelamin, gejala klinis, BTA sputum, kultur sputum, Lekosit, LED, KGD, penyakit dasar.

Kemudian diambil cairan pus dari rongga pleura dengan menggunakan

dispossible syringe 10 cc. Cairan kemudian diperiksa di laboratorium

Mikrobiologi FK USU. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan kultur cairan pus. Bila ditemukan kuman baik dari pemeriksaan langsung maupun dari kultur cairan pus , maka akan dilakukan kemudian pemeriksaan uji kepekaan dengan metode cakram antibiotika.

4.1.1. Karakteristik Demografi dan Data Dasar

Dari 28 orang subjek penelitian, laki laki berjumlah 22 orang (78,6%), perempuan berjumlah 6 orang (21,4 %), dengan umur < 20 tahun berjumlah 1 orang (3,6 %), 21- 30 tahun 5 orang (17,9 %), 31- 40 tahun 7 orang (25 %), 41-50 tahun 6 orang (21,4 %), 51-60 tahun 4 orang (14,3 %), 61-70 tahun 3 orang (10,7 %), 71-80 tahun 2 orang (7,1 %).


(48)

Tabel 4.1.Karakteristik Demografi

n % Jenis Kelamin

Laki laki 22 78,6

Perempuan 6 21,4

Umur

< 20 1 3,6

21-30 5 17,9

31-40 7 25

41-50 6 21,4

51-60 4 14,3

61-70 3 10,7

> 70 2 7,1

Total 28 100

Data hasil pemeriksaan BTA Direct Smear sputum yang didapat menunjukkan bahwa yang paling banyak adalah BTA negatif (21 pasien), sedangkan BTA positif hanya pada 7 pasien.

Dari data kultur sputum yang didapat menunjukkan bahwa kultur positif pada 15 pasien. Yang paling banyak adalah bakteri aerob Gram negatif Pseudomonas

aeruginosa (14,3 %), kemudian bakteri aerob Gram negatif Klebsiella

pneumoniae (7,1 %), bakteri aerob Gram positif Staphylococcus aureus (7,1 %),

bakteri aerob Gram positif Streptococcus haemolyticus (7,1 %), jamur Candida


(49)

aerob Gram positif Streptococcus pneumoniae (3,6 %), bakteri aerob Gram negatif Klebsiella oxytoca (3,6 %), dan gabungan 2 jenis kuman yaitu

Pseudomonas aeruginosa dengan Candida albicans (3,6 %). Tidak dijumpai

bakteri anaerob dari kultur sputum tersebut. Kultur negatif / tidak ada pertumbuhan kuman (TAPB) pada 13 pasien. Dijumpai juga 5 pasien dengan BTA sputum positif disertai kultur sputum positif.

Tabel 4.2. Karakteristik BTA DS Sputum

n %

Negatif 21 75

Positif 7 25

Total 28 100

Tabel 4.3. Karakteristik Kultur Sputum

n %

TAPB 13 46,4

Klebsiella pneumoniae 2 7,1

Pseudomonas aeruginosa 4 14,3

Staphylococcus aureus 2 7,1

Streptococcus pneumoniae 1 3,6

Streptococcus haemolyticus 2 7,1


(50)

Klebsiella oxytoca 1 3,6

Candida albicans 1 3,6

Pseudomonas aeruginosa & Candida

albicans

1 3,6

Total 28 100

Dari hasil pemeriksaan darah rutin didapat hasil nilai rata rata leukosit 15.495, nilai rata-rata laju endap darah 39. Dari hasil pemeriksaan kadar gula darah, nilai rata-rata 136.

Penyakit dasar penyebab empiema yang terbanyak adalah pneumonia (n = 14 ), kemudian TB paru (n = 11 ), tumor paru (n = 2 ) dan gabungan antara tumor paru dengan TB paru (n = 1).

Tabel 4.4. Karakteristik Penyakit Dasar

n %

TB paru 11 39,3

Pneumonia 14 50

Tumor paru 2 7,1

TB paru & tumor paru 1 3,6 Total 28 100


(51)

4.1.2. Kultur dan BTA Direct Smear Empiema

Dari penelitian ini didapatkan hasil kultur empiema yang positif pada 16 pasien (57,1 %), kultur positif dengan BTA DS (Direct Smear) positif pada 7 pasien (25 %), kultur negatif / Tidak ada pertumbuhan kuman (TAPB) dengan BTA DS positif pada 1 pasien (3,6 %), TAPB dengan BTA DS negatif pada 11 pasien (39,3 %).

Kuman yang terbanyak didapat dari kultur adalah bakteri anaerob Clostridium

perfringens (10,7 %), kemudian jamur Candida albicans (10,7 %), bakteri aerob

Gram positif Staphylococcus aureus (7,1 %), bakteri aerob Gram negatif

Escheria coli (7,1 %), bakteri aerob Gram negatif Klebsiella oxytoca (3,6 %),

bakteri aerob Gram negatif Klebsiella pneumoniae (3,6 %), bakteri aerob Gram negatif Proteus mirabilis (3,6 %), bakteri aerob Gram negatif Pseudomonas

aeruginosa (3,6 %), bakteri anaerob Actinomyces (3,6 %), dan gabungan 2 jenis

kuman yang berbeda yaitu gabungan bakteri aerob Klebsiella oxytoca dengan bakteri anaerob Clostridium perfringens (3,6 %).

Pada kelompok bakteri aerob, bakteri yang banyak didapat adalah

Staphylococcus aureus (22,2 %), kemudian Escheria coli (22,2 %), kemudian

Klebsiella oxytoca (22,2 %). Pada kelompok bakteri anaerob, bakteri yang

banyak didapat adalah Clostridium perfringens (80 %). Pada kelompok jamur hanya dijumpai Candida albicans (100 %). Gabungan BTA positif dengan kultur positif ,terbanyak terdapat pada gabungan BTA positif dengan Candida albicans (7,1 %).


(52)

Tabel 4.5. Kultur Empiema

Golongan n %

TAPB 12 42,9

Clostridium perfringens Anaerob 3 10,7

Candida albicans Jamur 3 10,7

Staphylococcus aureus Aerob Gram positif 2 7,1

Escheria coli Aerob Gram negatif 2 7,1

Klebsiella oxytoca Aerob Gram negatif 1 3,6

Klebsiella pneumoniae Aerob Gram negatif 1 3,6

Proteus mirabilis Aerob Gram negatif 1 3,6

Pseudomonas aeruginosa Aerob Gram negatif 1 3,6

Actinomyces Anaerob 1 3,6

Clostridium perfringens &

Klebsiella oxytoca

Anaerob & Aerob Gram negatif

1 3,6

Total 28 100

Tabel 4.6. Bakteri Aerob

n %

Staphylococcus aureus 2 22,2

Escheria coli 2 22,2

Klebsiella oxytoca 2 22,2

Klebsiella pneumoniae 1 11,1


(53)

Pseudomonas

aeruginosa

1 11,1

Total 9 100

Tabel 4.7. Bakteri Anaerob

n %

Clostridium perfringens 4 80

Actinomyces 1 20

Total 5 100

Tabel 4.8. Jamur

n %

Candida albicans 3 100

Total 3 100

Tabel 4.9. BTA Direct Smear Empiema

n % BTA Positif & Klebsiella oxytoca 1 3,6

BTA Positif & Actinomyces 1 3,6

BTS Positif & Klebsiella pneumoniae 1 3,6

BTA Positif & Pseudomonas aeruginosa 1 3,6

BTA Positif & Clostridium perfringens 1 3,6


(54)

BTA Positif & Kultur Negatif 1 3,6

BTA Negatif 20 71,4

Total 28 100

4.1.3. Uji Kepekaan

Dari hasil uji kepekaan terhadap antibiotika diperoleh hasil,

Sulbactam/Cefoperazone merupakan antibiotik yang peka (sensitif) untuk

seluruh bakteri yang didapat dari hasil kultur (100 %). Ciprofloxacin didapati peka terhadap 92,9 % bakteri, Cefepime peka terhadap 85,7 % bakteri, Amikacin peka terhadap 78,6% bakteri, Gatifloxacin peka terhadap 71,4 % bakteri, Gentamicin peka terhadap 50 % bakteri, Ceftriaxone peka terhadap 28,6 % bakteri,

Cefuroxime peka terhadap 21,4 % bakteri, Chloramphenicol peka terhadap 21,4

% bakteri, Cefotaxime peka terhadap 14,3 % bakteri, Metronidazole peka terhadap 14,3 % bakteri. Tetracycline, Amoxicillin, Ampicillin, Sulfamethoxazole,

Vancomycin, dan Oxacycline sudah hampir resisten maupun sudah resisten

terhadap bakteri yang didapat. Terhadap jamur Candida albicans tidak dilakukan uji kepekaan pada penelitian ini.


(55)

Tabel 4.10. Uji kepekaan C perfringens, S aureus, E coli, K oxytoca

Clostridium

perfringens

S. aureus E. coli K.oxytoca

S H R T S H R T S H R T S H R T

Ciprofloxacin 4 - - - 2 - - - 2 - - - 2 - - -

Sulbactam/Cefoperazone 4 - - - 2 - - - 2 - - - 2 - - -

Amikacin 3 1 - - 2 - - - 2 - - - 2 - - -

Ceftriaxone - 3 1 - 1 - 1 - - 2 - - 1 - 1 -

Tetracycline - 2 2 - - 1 1 - - 1 1 - - - 2 -

Chloramphenicol 1 - 3 - 1 - 1 - 1 - 1 - - 1 1 -

Gentamicine 2 1 1 - 1 1 - - 2 - - - 1 1 - -

Amoxicillin - - 4 - - - 2 - - - 2 - - - 2 -

Ampicillin - - 4 - - - 2 - - - 2 - - - 2 -

Cefuroxime - 1 2 1 1 - 1 - 1 - 1 - - 1 - 1

Sulfamethoxazole - - - 4 - 1 1 - - 1 1 - - 1 - 1

Gatifloxacin 3 - - 1 1 - 1 - 2 - - - 2 - - -

Cefepime 4 - - - 1 - 1 - 2 - - - 2 - - -

Cefotaxime - 1 3 - 1 - 1 - - - 2 - - 2 - -

Vancomycin - - 1 3 - - - 2 - - - 2 - - - 2

Oxacycline - - 4 - - - 1 1 - - - 2 - 1 1 -

Metronidazole 2 - - 2 - - - 2 - - - 2 - - - 2

Carbenicillin - - 1 3 - - 1 1 - - 1 1 - - 1 1

S = Sensitif , H = Hampir resisten , R = Resisten , T = Tidak diuji


(56)

Tabel 4.11.Uji kepekaan K. pneumoniae, P.mirabilis, P.aeruginosa, Actinomyces Klebsiella .

pneumonia

P mirabilis P.

aeruginosa

Actinomyces

S H R T S H R T S H R T S H R T

Ciprofloxacin - 1 - - 1 - - - 1 - - - 1 - - -

Sulbactam/Cefoperazone 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - -

Amikacin 1 - - - - 1 - - 1 - - - - 1 - -

Ceftriaxone 1 - - - - 1 - - - - 1 - 1 - - -

Tetracycline - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 -

Chloramphenicol - - 1 - - 1 - - - - 1 - - - 1 -

Gentamicine 1 - - - - 1 - - - - 1 - - - 1 -

Amoxicillin - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 -

Ampicillin - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 -

Cefuroxime 1 - - - - 1 - - - - 1 - - 1 - -

Sulfamethoxazole - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - - 1

Gatifloxacin - 1 - - 1 - - - 1 - 1 - - -

Cefepime 1 - - - 1 - - - 1 - 1 - - -

Cefotaxime 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 -

Vancomycin - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1

Oxacycline - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - 1 -

Metronidazole - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1

Carbenicillin - - - 1 - - - 1 - - 1 - - - - 1

S = Sensitif , H = Hampir resisten , R = Resisten , T = Tidak diuji


(57)

Tabel 4.12. Uji kepekaan terhadap bakteri aerob dan anaerob

Sensitif Hampir

resisten

Resisten Tidak diuji Total

Ciprofloxacin 13 (92,9 %) 1 (7,1 %) - - 14 (100 %)

Sulbactam/ Cefoperazone

14 (100 %) - - - 14 (100 %)

Amikacin 11 (78,6 %) 3 (21,4 %) - - 14 (100 %)

Ceftriaxone 4 (28,6%) 6 (42,9 %) 4 (28,6 %) - 14 (100 %)

Tetracycline - 4 (28,6 %) 10 (71,4 %) - 14 (100 %)

Chloramphenicol 3 (21,4 %) 2 (14,3 %) 9 (64,3 %) - 14 (100 %)

Gentamicin 7 (50 %) 4 (28,6 %) 3 (21,4 %) - 14 (100 %)

Amoxicillin - - 14 (100 %) - 14 (100 %)

Ampicillin - - 14 (100 %) - 14 (100 %)

Cefuroxime 3 (21,4 %) 4 (28,6 %) 5 (35,7 %) 2 (14,3 %) 14 (100 %)

Sulfamethoxazole - 3 (21,4 %) 5 (35,7 %) 6 (42,9 %) 14 (100 %)

Gatifloxacin 10 (71,4 %) 1 (7,1 %) 2 (14,3 %) 1 (7,1 %) 14 (100 %)

Cefepime 12 (85,7 %) - 2 (14,3 %) - 14 (100 %)

Cefotaxime 2 (14,3 %) 3 (21,4 %) 9 (64,3 %) - 14 (100 %)

Vancomycin - - 1 (7,1 %) 13 (92,9 %) 14 (100 %)

Oxacycline - 1 (7,1 %) 7 (50 %) 6 (42,9 %) 14 (100 %)

Metronidazole 2 (14,3 %) - - 12 (85,7 %) 14 (100 %)


(58)

0 2 4 6 8 10 12 14 Sensitif

Gambar 1. Perbandingan Kepekaan/Sensitifitas Bakteri Aerob dan Anaerob Terhadap Antibiotika

Ciprofloxacin Sulbactam/Cefoperazone Amikacin Ceftriaxone Tetracycline Chloramphenicol Gentamicin Amoxicillin Ampicillin Cefuroxime Sulfamethoxazole Gatifloxacin Cefepime Cefotaxime Vancomycin Oxacycline Metronidazole Carbenicillin 0 2 4 6 8 10 12 14 Resisten

Gambar 2. Perbandingan Resistensi Bakteri Aerob dan Anaerob Terhadap Antibiotika

Ciprofloxacin Sulbactam/Cefoperazone Amikacin Ceftriaxone Tetracycline Chloramphenicol Gentamicin Amoxicillin Ampicillin Cefuroxime Sulfamethoxazole Gatifloxacin Cefepime Cefotaxime Vancomycin Oxacycline Metronidazole Carbenicillin


(59)

4.1.4. Kultur Empiema dan Penyakit Dasar

Pada pasien dengan penyakit dasar TB kuman yang terbanyak didapat adalah Candida albicans (18,2 %), kemudian Clostridium perfringens (9,1 %),

Actinomyces (9,1 %), Klebsiella oxytoca (9,1 %), Klebsiella pneumoniae (9,1 %),

Pseudomonas aeruginosa (9,1 %). Pada pneumonia, kuman yang terbanyak

adalah Clostridium perfringens (21,4 %), kemudian Staphylococcus aureus (14,3 %), Escheria coli (7,1 %), Proteus mirabilis (7,1 %), Klebsiella oxytoca (7,1 %). Pada tumor paru hanya didapatkan 1 jenis kuman yaitu Escheria coli (50 %) sedangkan sisanya TAPB. Pada gabungan TB dan tumor paru hanya dijumpai 1 pasien dengan jenis kuman yaitu Candida albicans (100 %)

Tabel 4.13. Kultur Empiema dan Penyakit Dasar

TB Pneumonia Tumor paru TB & tumor

paru

TAPB 36,4 % 50 % 50 % 0 %

Clostridium perfringens 9,1 % 14,3 % 0 % 0 %

Candida albicans 18,2 % 0 % 0 % 100 %

Staphylococcus aureus 0 % 14,3 % 0 % 0 %

Escheria coli 0 % 7,1 % 50 % 0 %

Klebsiella oxytoca 9,1 % 0 % 0 % 0 %

Klebsiella pneumoniae 9,1 % 0 % 0 % 0 %

Proteus mirabilis 0 % 7,1 % 0 % 0%

Pseudomonas aeruginosa 9,1 % 0 % 0 % 0 %


(60)

Clostridium perfringens & Klebsiella oxytoca

0 % 7,1 % 0 % 0 %

Total 100 % 100 % 100 % 100 %

4.2. Pembahasan Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan kuman (BTA, bakteri aerob, bakteri anaerob, jamur) pada 17 pasien dari 28 pasien (60,7 %) yang masuk dalam penelitian. Kuman tersebut terdiri dari bakteri aerob saja (n = 5 [29,4 %] ), bakteri anaerob saja (n = 2 [11,8 %]), bakteri aerob dengan anaerob (n = 1[5,9 %]), bakteri aerob dengan BTA (n = 3 [17,6 %]), bakteri anaerob dengan BTA (n = 2[11,8 %]), ,jamur dengan BTA (n = 2 [11,8 %]), BTA saja (n = 1[5,9 %]), jamur saja (n = 1[5,9 %]).

Pada penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Bagian Paru oleh Helmi pada tahun 1986 s/d 1988, didapatkan kuman hanya pada 18 pasien dari 50 pasien yang diteliti (36 %). Kuman yang didapat hanya dari golongan bakteri aerob, dan tidak didapat dari golongan bakteri anaerob, golongan jamur maupun BTA. Golongan terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa , kemudian

Streptococcus viridans, dan Staphylococcus aureus. Pada penelitian ini persentase kuman yang didapatkan lebih tinggi dari penelitian Helmi yang mungkin dikarenakan pemeriksaan yang sekarang dilakukan lebih lengkap dengan menambah pemeriksaan anaerob, jamur dan juga BTA DS.(12)

Bila dibandingkan pada penelitian di luar negeri seperti penelitian yang dilakukan Brook pada tahun 1973 s/d 1985 di Amerika , dijumpai hasil paling banyak ditemukan bakteri aerob saja (64 %), kemudian campuran aerob dan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Pada penelitian ini jumlah pasien atau subjek penelitian sebanyak 28 pasien yang terdiri dari laki-laki 22 orang dan perempuan 6 orang. Kelompok umur terbanyak adalah pada usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 7 orang. Didapatkan kuman (BTA, bakteri aerob, bakteri anaerob, jamur) pada 17 pasien (60,7 %). Kuman tersebut didapatkan baik dari pewarnaan langsung maupun kultur. Kultur BTA tidak dilakukan pada penelitian ini. Kuman yang terbanyak didapat baik dari pewarnaan langsung maupun dari kultur adalah BTA yaitu pada 8 pasien. Kuman yang terbanyak didapat hanya dari kultur adalah bakteri anaerob Clostridium perfringens yaitu pada 4 pasien. Bakteri aerob lebih banyak didapat dari anaerob. Bakteri aerob terbanyak adalah Staphylococcus aureus, Escheria coli, Klebsiella oxytoca. Bakteri anaerob terbanyak adalah Clostridium perfringens. Jenis jamur yang didapat hanya jenis Candida albicans. Campuran bakteri aerob dan anaerob terdapat pada 1 pasien. Campuran BTA dengan bakteri maupun jamur terdapat pada 7 pasien dari 8 pasien dengan BTA positif. Sulbactam/Cefoperazone merupakan antibiotik yang sensitif (peka) terhadap seluruh bakteri aerob dan anaerob (100 %), diikuti oleh Ciprofloxacin (92,9 %) dan Amikacin (78,6 %). Amoxicillin dan Ampicillin merupakan antibiotik yang resisten terhadap seluruh bakteri aerob dan anaerob (100 %), diikuti oleh Tetracycline (71,4 %), Chloramphenicol (64,3 %) dan Cefotaxime (64,3 %).


(2)

Pada pasien dengan penyakit dasar TB, kuman yang terbanyak didapat adalah Candida albicans (18,2 %). Pada pneumonia, kuman terbanyak adalah Clostridium perfringens (21,4 %). Pada tumor paru hanya didapatkan 1 jenis kuman yaitu Escheria coli (50 %) sedangkan sisanya TAPB. Pada gabungan TB dan tumor paru hanya dijumpai 1 pasien dengan jenis kuman yaitu Candida albicans (100 %). Tidak bisa dibuat hubungan antara kuman yang didapat pada empiema dengan penyakit dasar penyebab empiema karena kuman yang dominan pada setiap penyakit persentasenya hanya sedikit. Hal ini disebabkan sampel yang didapat pada penelitian ini kurang homogen.

5.2. SARAN

Pemeriksaan kultur empiema terutama untuk mendapatkan bakteri anaerob harus diperhatikan dengan cermat mengenai teknik pengambilan dan transport sampel yang harus benar benar anaerob atau bebas oksigen.

Pemberian antibiotik Sulbactam/Cefoperazone dapat diberikan secara empiris sebelum antibiotik yang sensitif diperoleh dari hasil kultur dan uji kepekaan. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mencari hubungan antara kuman yang didapat pada empiema dengan penyakit dasar penyebab empiema, dengan menggunakan sampel yang lebih homogen.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mense GPL, Strange C, Sahn SA. Empyema thoracis. Therapeutic management and outcome. Chest 1995 ; 107 ; 1532-1537

2. Chen KY, Hsueh PR, Liaw YS, Yang PC, Luh KT. A 10-year experience with bacteriology of acute thoracic empyema : Emphasis on Klebsiella pneumoniae in patients with diabetes mellitus. Chest 2000 ; 117 ; 1685-1689

3. Nunley DR, Grgurich WF, Keenan RJ, Dauber JH. Empyema complicating successful lung transplantation. Chest 1999 ; 115 ; 1312-1315

4. Light RW. Parapneumonic effusions and empyema. Pleural Diseases. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, 2001 (4) : 151-81.

5. Brook I, Frazier EH. Aerobic and anaerobic microbiology of empyema. A retrospective review in two military hospitals. Chest 1993 ; 103 ; 1502-1507 6. De A, Varaiya A, Mathur M. Anaerobes in pleuropulmonary infections. Indian

Journal of Medical Microbiology, (2002) 20 (3) : 150-152

7. Jerng JS, Hsueh PR, Teng LJ, Lee LN, Yang PC, Luh KT. Empyema thoracis and lung abscess caused by viridans streptococci. Am J Respir Crit Care Med 1997 ; 156 : 1508–1514.

8. Alfageme I, Munoz F, Pena N, Umbria S. Empyema of the thorax in adults. Etiology, microbiologic findings, and management. Chest 1993 ; 103 ; 839-843

9. Snider GL, Saleh SS. Empyema of the thorax in adults: Review of 105 Cases. Chest 1968 ; 54 ; 410-415

10. Cheng G, Vintch JRE. A retrospective analysis of the management of parapneumonic empyemas in a county teaching facility from 1992 to 2004. Chest 2005 ; 128 ; 3284-3290

11. Soeroso LS. Loculated empyema. Mutiara Paru. Atlas Radiologi dan Ilustrasi Kasus. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005 : 86-90

12. Helmi L. Empiema di UPF Paru Rumah Sakit Pirngadi Medan/BP4 Pusat Medan/Fakultas Kedokteran USU Medan. Penelitian prospektif dari 50


(4)

penderita dari bulan Desember 1986 – September 1988. Medan. Laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran USU-Rumah Sakit DR Pirngadi, 1990.

13. Suzuki T, Kitami A, Suzuki S, Kamio Y, Michiaki, Narushima et al. Video-assisted thoracoscopic sterilization for exacerbation of chronic empyema thoracis. Chest 2001 ; 119 ; 277-280.

14. Davies CWH, Gleeson FV, Davies RJO. BTS guidelines for the management of pleural infection. Thorax 2003 ; 58 ; 18-28

15. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. The major groups of bacteria. Review of Medical Microbiology. California. Lange Medical Publications , 1982 (15) : 29-35.

16. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA . Pyogenic cocci. Review of Medical Microbiology. California. Lange Medical Publications,1982 (15) : 189-206. 17. Zuleiha S. Praktikum IV. Coccus penyebab infeksi bernanah (pyogenic

cocci). Dalam : Utama ED, Siregar N, Sjah R, Lubis S. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Medik. Buku B. Medan. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU, 2006 : 9-18.

18. Bamberger DM, Boyd SE. Management of Staphylococcus aureus infections. Am Fam Physician 2005 ; 72 : 2474-81.

19. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Enteric gram negative microorganisms. Review of Medical Microbiology. California. Lange Medical Publications,1982 (15) : 226-41

20. Gluck MC, Ernest C, Levister, Katz S. Pseudomonas abscess and empyema of the lung. Chest 1968 ; 54 ; 387-390

21. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Antimicrobial chemotherapy. Review of Medical Microbiology . California. Lange Medical Publications, 1982 (15) :117-45

22. William T, Lampe II. Klebsiella Pneumonia: A review of forty-five cases and re-evalution of the incidence and antibiotic sensitivities. Chest 1964 ; 46 ; 599-606

23. Light RW. Tuberculous pleural effusions. Pleural Diseases. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, 2001 (4) : 182-95.


(5)

24. Budiarti LY. Mirobiologi tuberkulosis. Dalam : Isa M, Soesyani A, Juwono O, Budiarti LY. Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Banjarmasin. Pusat Studi Tuberkulosis FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin. 2001 : 40-51

25. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mycobacteria. Review of Medical Microbiology . California. Lange Medical Publications, 1982 (15) : 219-25 26. Goyal SP, Tandon RK, Patney NL, Misra OP. Management of tubercular

empyema thoracis — a review of 53 cases. Ind. J.Tub, vol. xxiii, No. 3 : 103-09

27. Bartlett JG. Anaerobic bacterial infections of the lung. Chest 1987 ; 91 ; 901-909

28. Thadepalli H and Gangopadhyay PK. Rapid diagnosis of anaerobic empyema by direct gas-liquid chromatography of pleural fluid. Chest 1980 ; 77 ; 507-513

29. Ko SC,Chen KY, Hsueh PR, Luh KT, Yang PC. Fungal empyema thoracis : an emerging clinical entity. Chest 2000 ;117 ; 1672-1678

30. Lewis KL, Doherty DE, Ribes J, Seabolt JP, Bensadoun ES. Empyema caused by trichomonas. Chest 2003 ; 123 ; 291-292.

31. Karetzky MS, Garvey JW. Empyema due to Actinomycoses naeslundi. Chest 1974 ; 65 ; 229-230

32. Richardson JV and George RB. Bronchopleural fistula and lymphocytic empyema due to Histoplasma capsulatum. Chest 1997 ; 112 ; 1130-1132 33. Tenholder MF, Ewald FW, Khankhanian NK, Crosby JH. Complex

cryptococcal empyema. Chest 1992 ; 101 ; 586-88

34. Spagnuolo PJ, Payne VD. Clostridial pleuropulmonary infection. Chest 1980 ; 78 ; 622-625

35. Muder RR, Stout JE and Yee YC . Isolation of Legionella pneumophila serogroup 5, from empyema following esophageal perforation. Source of the organism and mode of transmission Chest 1992 ; 102 ; 1601-1603

36. Light RW. Clinical Manifestations and Useful Tests. Pleural Diseases. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins, 2001 (4) : 42-86


(6)

37. Teixeira LR, Sasse SA, Villarino MA, Nguyen T, E Maury, Mulligan. Antibiotic levels in empyemic pleural fluid. Chest 2000 ; 117 ; 1734-1739 38. Utama ED. Uji kepekaan bakteri terhadap antimikroba. Dalam : Utama ED,

Siregar N, Sjah R, Lubis S. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Medik. Buku B. Medan. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU, 2006 : 29-35.

39. Hutabarat GF. Pewarnaan (Staining). Dalam : Utama ED, Siregar N, Sjah R, Lubis S. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Medik. Buku B. Medan. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU, 2006 : 1-7.

40. Siregar N. Jamur kontaminan. Dalam : Utama ED, Siregar N, Sjah R, Lubis S. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Medik. Buku A. Medan. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU, 2006 : 31-33.

41. Hutabarat GF. Pembiakan, flora normal, dan kontaminan. Dalam : Utama ED, Siregar N, Sjah R, Lubis S. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Medik. Buku A.Medan. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU, 2006 : 5-10.

42. Sjah R. Pertumbuhan kuman anaerob. Dalam : Utama ED, Siregar N, Sjah R, Lubis S. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Medik. Buku A. Medan. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU , 2006 : 25-29.