Tatalaksana Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Trauma Kepala Berat pada Anak dengan Metode Hipotermia

TINJAUAN PUSTAKA

Yunnie Trisnawati, Munar Lubis
Divisi PGD/PICU Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RS H. Adam Malik Medan

Abstrak: Tekanan intrakranial (TIK) merupakan jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam
rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal
(CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan TIK, akan
terjadi kompensasi berupa pengurangan volume otak. Peningkatan TIK pada anak penderita
trauma kepala berat berhubungan dengan kesembuhannya, dimana dipengaruhi oleh nilai puncak
TIK dan lama terjadinya peningkatan TIK. Metode hipotermia, sebagai salah satu tatalaksana
lanjutan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif anak, memberikan efek neuroprotektif pada
mekanisme dasar dari trauma kepala, seperti iskemia pasca trauma, eksitoksisitas, kaskade
apoptosis dan edema serebral.
Kata kunci: hipotermia, peningkatan tekanan intrakranial, trauma kepala berat
Abstract: Intracranial pressure can be measured as a total amount of pressure of brain, blood and
its vessels and also the cerebrospinal fluid intracranially. To maintain a normal constant pressure,
due to the increase of intracranial pressure, a reduction of brain volume will happen. Increased of
intracranial pressure in severe pediatric traumatic brain injury associated with recovery,
influenced by the intracranial pressure’s value and duration of the increased of intracranial
pressure. Hypothermia, as a second tier therapy of intracranial hypertension in Pediatric Intensive

Care Unit, could give neuroprotective effect to the basic mechanisms of traumatic brain injury,
such as posttraumatic ischemia, excitoxicity, apoptosis cascade and cerebral edema.
Keywords: hypothermia, intracranial hypertension, severe traumatic brain injury

PENDAHULUAN
Diagnosis dan tatalaksana peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) pada anak
merupakan suatu hal yang sangat penting.
Tekanan intrakranial merupakan jumlah
tekanan dari struktur - struktur di dalam
rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah
dan pembuluh darahnya serta cairan
serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan
tekanan yang konstan, akibat adanya
peningkatan tekanan CSS, seperti pada
hidrosefalus, akan terjadi kompensasi dengan
1
terjadinya pengurangan volume otak.
Sulit menentukan nilai normal TIK,
tergantung pada usia, postur tubuh, dan

keadaan klinis. Pada posisi horizontal, nilai

normal TIK orang dewasa berkisar 7-15
mmHg. Tekanan intrakranial mencapai nilai
negatif pada posisi setengah duduk, yaitu
berkisar -10 mmHg namun tidak melebihi -15
mmHg. Nilai normal TIK pada bayi dan anak,
biasanya dinilai saat punksi lumbal tidak
memberikan nilai diagnostik, lebih rendah dari
nilai TIK pada orang dewasa yaitu berkisar 52
10 mmHg.
Apapun jenis cedera otak, baik traumatik
ataupun non traumatik, dapat menimbulkan
edema otak, dan akhirnya meningkatkan TIK,
yang jika tidak teratasi dapat menimbulkan
cedera otak tambahan. Selama jalur cairan
serebrospinal baik, awalnya edema otak
biasanya menyebabkan pergeseran cairan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008


248

Yunnie Trisnawati dkk.

Tatalaksana Peningkatan Tekanan...

serebrospinal, yang dapat dilihat dari CT scan
dan MRI kepala. Gejala awal peningkatan TIK
dapat ditandai dengan adanya iritabilitas,
perubahan perilaku atau sakit kepala yang
dapat mendahului timbulnya penurunan
3
kesadaran.
Peninggian TIK juga dapat terjadi pada
trauma kepala berat. Trauma kepala berat bila
dijumpai tingkat kesadaran yang dinilai
4,5
dengan skala koma Glasgow bernilai ≤8.
Cedera kepala merupakan cedera yang

utamanya disebabkan gangguan mekanik yang
sifatnya langsung terhadap jaringan otak dan
merupakan sekunder dari berbagai macam
proses serebral dan sistemik yang terjadi di
4
masa pasca trauma.
Di negara barat, kecelakaan merupakan
penyebab kematian terbanyak pada anak usia
5 dan 19 tahun. Di Amerika Serikat, cedera
kepala dan cedera muka dijumpai 3,6% di
IGD dan 3,3% diantaranya membutuhkan
perawatan rawat inap di rumah sakit. Saat ini,
cedera kepala merupakan penyebab kematian
terbanyak yaitu berkisar 7000 anak tiap
5
tahunnya.
Tujuan
utama
dalam
tatalaksana

peningkatan tekanan intrakranial adalah
menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi
jaringan dan mencegah kerusakan sekunder
dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan
6
tekanan perfusi ke otak. Pengobatan dimulai
bila tekanan intrakranial mencapai 20 – 25
7,8
diantaranya dengan melakukan
mmHg,
hipotermia.
Hipotermia telah digunakan sebagai salah
satu metoda proteksi otak pada beberapa
keadaan
klinis
peningkatan
tekanan
intrakranial selama beberapa tahun ini.
Hipotermia sedang (temperatur 32-34°C)
pada hewan percobaan yang mengalami

iskemik ataupun trauma kepala yang fokal
maupun
luas
telah
menunjukkan
berkurangnya cedera otak dan memperbaiki
9
perilaku.
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Peningkatan TIK dapat terjadi pada
beberapa penyakit neurologik. Hal ini dapat
terjadi secara akut dalam beberapa jam, atau
secara subakut atau kronis selama beberapa
hari
atau
berbulan-bulan.
Manisfestasi
klinisnya bervariasi tergantung usia anak,

249


penyakit yang mendasari, dan progresivitas
6
penyakitnya.
1

Patofisiologi Peningkatan TIK
Keadaan patologi jaringan otak yang
berhubungan dengan TIK adalah edema
serebri dan proses ruang desak. Edema serebri
adalah pengumpulan cairan di dalam jaringan
otak, baik intraselular atau ekstraselular.
Edema serebri dapat terjadi lokal atau umum.
Edema serebri umum dapat menyebabkan
peninggian tekanan intrakranial. Proses ruang
desak disebabkan tumor, abses, hematoma
dan malformasi arteriovena. Peningkatan TIK
terjadi karena proses desak ruang: a. secara
fisis menempati ruang intrakranial, b.
menimbulkan edema serebri, c. membendung

sirkulasi dan absorpsi CSS, d. meningkatkan
aliran darah ke otak, dan e. menyumbat
pembuluh darah balik vena.
Untuk memahami tekanan intrakranial
perlu pemahaman mengenai apa yang disebut
tekanan intrakranial normal dan peningkatan
tekanan intrakranial.
1. Tekanan intrakranial normal
Tekanan intrakranial normal berkisar
antara 0-10 mmHg atau 0-136 mmH2O
pada orang dewasa. Tekanan intrakranial
bayi adalah 40-100 mmH2O (3,0-7,5
mmHg). Pada keadaan normal TIK ratarata tidak boleh melebihi 10 mmHg. TIK
yang melebihi 15 mmHg harus dicari
penyebabnya dan perlu diawasi lebih
lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial 20-40 mmHg
dianggap sebagai TIK yang tinggi dan bila
mencapai 40 mmHg atau lebih disebut

sebagai hipertensi intrakranial yang berat.
Para ahli menyetujui bahwa TIK melebihi
25 mmHg memerlukan tindakan segera
untuk mengatasinya.
Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat
Trauma Kepala Berat
Klasifikasi trauma kepala bervariasi
berdasarkan etiologinya. Klasifikasi yang
rasional untuk digunakan adalah berdasarkan
Skala Koma Glasgow (SKG), dimana jika skor
SKG 14-15 disebut trauma kepala ringan, skor
SKG 9-13 disebut trauma kepala sedang dan
10
skor SKG 3-8 disebut trauma kepala berat.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Peningkatan TIK pada anak penderita

trauma kepala berat berhubungan dengan
kesembuhannya, dimana dipengaruhi oleh
nilai puncak TIK dan lama terjadinya
10
peningkatan TIK. Studi yang dilakukan oleh
Esparza (1985) mendapati bahwa peningkatan
TIK yang berkepanjangan atau terlalu
tingginya nilai TIK akan memberikan hasil
akhir yang buruk, dimana pada studi ini
didapati angka mortalitas mencapai 28% pada
kelompok anak penderita trauma kepala berat
dengan nilai TIK 20-40 mmHg, sedangkan
pada kelompok dengan nilai TIK > 40 mmHg
11
mencapai 100%.
Pemantauan TIK perlu dilakukan pada
bayi dan anak yang menderita cedera kepala
berat.
Hal
ini

bertujuan
untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral,
oksigenasi dan hantaran substrat metabolik
dan mencegah terjadinya herniasi. Tekanan
intrakranial dimonitor dan diterapi dengan
pemasangan kateter serat optik ventrikel atau
strain gauge transducer.10
Tujuan
utama
dalam
tatalaksana
peningkatan tekanan intrakranial adalah
menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi
jaringan dan mencegah kerusakan sekunder
dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan
6
tekanan perfusi ke otak. Bila didapati
berulangnya peningkatan tekanan intrakranial
setelah intervensi pertama, terapi yang lebih
intensif harus dipertimbangkan. Prinsip yang
digunakan adalah menurunkan metabolisme
dan aktivitas dari otak (barbiturat dan
hipotermi) serta membuka rongga intrakranial
6,10
untuk menurunkan tekanan (kraniotomi).

melebihi 1°C per jam, dan harus dilakukan
pemantauan tanda vital yang ketat serta atasi
hipotensi yang dapat terjadi saat dilakukan
16
penghangatan kembali. Salah satu hal yang
harus dicegah adalah menggigil karena dapat
6
menghambat proses pendinginan.

HIPOTERMIA
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu
tubuh

35°C.
Beberapa
literatur
mengklasifikasikan hipotermia menjadi 3,
yaitu hipotermia ringan (suhu tubuh berkisar
12,13
32°C - 35°C),
hipotermia sedang (suhu
14
tubuh berkisar 28°C - 32°C) dan hipotermia
15
berat (suhu tubuh berkisar 15°C - 22°C).
Prosedur pelaksanaan hipotermia pada
umumnya
adalah
dengan
melakukan
pendinginan dengan cara mengalirkan cairan
NaCl 0,9% dingin ke dalam lambung atau
dengan spon yang berisi air atau memakai
6
selimut pendingin. Lama proses ini bervariasi.
Rewarming (penghangatan kembali) harus
dilakukan secara hati-hati, kecepatannya tidak

Peranan Hipotermia pada Trauma Kepala
Berat
Pertimbangan
dalam
melakukan
hipotermia di ruang perawatan intensif, ada
satu hal yang harus dipikirkan adalah
menentukan antara hipotermia yang tidak
accidental)
dan
dikontrol
(spontan,
hipotermia yang terkontrol (ditimbulkan
dengan melakukan pendinginan secara buatan)
yang digunakan untuk mencegah atau
mengurangi berbagai bentuk kerusakan
15
Menginduksi hipotermia dapat
neuron.
memberikan efek neuroprotektif pada pasien16
pasien dengan kerusakan neuron.
Cedera otak akibat trauma kepala
menimbulkan cedera primer dan cedera

15

Sejarah Hipotermia
Metode hipotermia telah lama digunakan
untuk keperluan pengobatan. Sebagai contoh,
Hippokrates menggunakan membungkus luka
pasien dengan menggunakan salju dan es
untuk mengurangi perdarahan. Di awal abad
ke-19, ahli bedah umum Napoleon, Baron
Larrey mendapati bahwa prajurit terluka yang
mengalami hipotermia dan diletakkan segera
dekat perapian meninggal lebih cepat
dibandingkan dengan prajurit yang tetap
mengalami
hipotermia.
Laporan
kasus
pertama mengenai penggunaan hipotermia
pada penderita trauma kepala berat
dipublikasikan pada tahun 1945.
Pada
tahun
1950-an,
Rosomoff
mendapati bahwa hipotermia memberikan
efek yang menguntungkan pada anjing yang
menderita iskemia otak fokal dan trauma
kepala eksperimental yang diterapi dengan
hipotermia sedang. Beberapa uji klinis
hipotermia pada sejumlah kecil sampel
penderita dilakukan pertama kali di tahun
1960-an oleh Rosomof dan Safar, dimana
hampir semua penelitian ini menggunakan
hipotermia berat. Namun penelitian ini tidak
diteruskan karena efek samping, keuntungannya meragukan dan penatalaksanaannya
belum jelas.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

250

Yunnie Trisnawati dkk.

Tatalaksana Peningkatan Tekanan...

sekunder. Cedera primer berupa kerusakan
langsung di parenkim otak, sedangkan cedera
sekunder meliputi perubahan endogen di otak
dan efek sekunder kejadian di luar otak (misal:
hipotensi, hipoksemia). Berikut ini mekanisme
kerja hipotermia yang memberikan efek
neuroprotektif pada mekanisme dasar dari
15,17
trauma kepala, yaitu:
1. Iskemia pasca trauma
Beberapa studi pada orang dewasa
mendapati adanya penurunan aliran darah
ke otak segera setelah terjadi cedera yang
menimbulkan terjadinya iskemia pasca
18,19
Hipoperfusi dini pasca trauma
trauma.
adalah hal yang lazim dijumpai, dan aliran
darah ke otak kurang dari 20 mL/100
g/menit berhubungan dengan buruknya
prognosis. Setelah 24 jam, aliran darah ini
17
seringkali kembali normal.
Pada keadaan normotermia, infark
biasanya terjadi dalam 24 jam. Namun,
efek hipotermia dari beberapa studi pada
hewan-hewan percobaan menunjukkan
cedera otak berupa infark yang luas
maupun lokal tidak dijumpai jika terapi
18
hipotermia segera dilakukan.
2. Eksitoksisitas
Eksitotoksisitas merupakan proses dimana
glutamate dan excitatory amino acid
lainnya menimbulkan kerusakan neuron.
Glutamat adalah neurotransmitter yang
sangat banyak dijumpai di otak, namun
jika mencapai kadar toksik akan
17
menimbulkan kematian neuron. Pada
keadaan normal, produksi glutamate yang
berlebihan ini akan segera diabsorbsi oleh
terminal presinaps dan sel glial. Namun,
proses re-uptake ini terganggu saat
iskemia, sehingga terjadi peningkatan
15
glutamate ekstraselular yang berlebihan.
Hipotermia
terbukti
memperbaiki
homeostasis ion dan menghambat proses
eksitoksisitas yang terjadi saat iskemia dan
19
reperfusi. Kaskade ini diawali dengan
+
gangguan
homeostasis
Ca
yang
berlangsung
beberapa
jam
sampai
beberapa hari setelah iskemia. Hal ini
menunjukkan adanya batas waktu (48-72
jam terjadinya iskemia) untuk dilakukan
15
intervensi seperti hipotermia.
3. Kaskade apoptosis
Sel yang mengalami iskemia dapat
menjadi nekrosis, sembuh (total atau
251

4.

parsial), atau memasuki jalur “kematian
20
sel” yang dikenal dengan apoptosis.
Apoptosis didefinisikan sebagai bentuk sel
yang sudah mati, ditandai dengan sel yang
mengkerut
dan
kondensasi
inti,
fragmentasi DNA internukleosomal, dan
17
formasi badan apoptosis.
Hipotermia dapat mencegah kerusakan
sel yang berakhir pada apoptosis sel dan
21
mencegah disfungsi mitokondria. Proses
ini terjadi dalam waktu 48 jam pertama,
sehingga hipotermia dapat berfungsi
sebagai neuroprotektif bila dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi trauma
15
kepala.
Edema serebral
Iskemia menginduksi gangguan di sawar
darah otak (blood brain barrier), yang
15
menyebabkan
terjadinya
edema.
Gangguan ini membutuhkan intervensi
22
terapeutik seperti pemberian mannitol.
Selama di ruang perawatan intensif anak
(PICU), pembengkakan serebral terjadi
dan mencapai puncak dalam waktu 24
sampai 72 jam setelah terjadi trauma,
namun peningkatan TIK tetap dipantau
17
selama 1 minggu atau lebih. Hipotermia
mengurangi terjadinya gangguan pada
sawar
darah
otak,
memperbaiki
permeabilitas
vaskular
sehingga
23
mengurangi edema.

Efek Terapeutik Hipotermia
Hipotermia ringan (suhu tubuh 33°C)
yang dilakukan selama 8 jam pada orang
dewasa penderita trauma kepala akut, tidak
menunjukkan perbaikan Skala Koma Glasgow
24
(SKG). Studi yang membandingkan anak
penderita
trauma
kepala
berat
yang
mendapatkan hipotermia sedang dengan
kelompok yang mendapatkan normotermia,
menunjukkan hasil tidak ada perbedaan dalam
hal perbaikan fungsi neurologik dan dapat
25
Hasil
meningkatkan
angka
kematian.
sebaliknya pada studi yang dilakukan Marion,
dkk (1997) didapati adanya perbaikan SKG
pada pasien trauma kepala berat setelah
dilakukan hipotermia (suhu tubuh 32°C 26
33°C) selama 24 jam. Namun pada suatu
studi systematic review didapati hipotermia
sedang
memberikan
efek
yang
menguntungkan jika diberikan lebih dari 48
27
jam dibandingkan 24 jam.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Studi yang memasukkan peningkatan TIK
(TIK > 20 mmHg atau > 25 mmHg; nilai
normal < 15 mmGg) ke dalam kriteria inklusi,
dan penurunan TIK sebagai salah satu
penilaian keefektifannya, studi yang dilakukan
Marion, dkk (1997) dan Jiang JY, dkk (2000)
menunjukkan hipotermia dapat menurunkan
26,28
TIK.
Lama
pemberian
hipotermia
dan
kecepatan ideal penghangatan kembali masih
kontroversial. Namun pada studi yang
melakukan
hipotermia
sedang
dan
penghangatan kembali dalam 24 jam setelah
penghentian hipotermia berhubungan dengan
penurunan risiko yang buruk terhadap fungsi
27
neurologik.
Metode
hipotermia
ini
dapat
menimbulkan efek samping. Efek samping
yang dapat timbul berupa hipovolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit, aritmia dan
hipotensi. Clifton, dkk (2001) mendapati
hipotensi sering terjadi pada kelompok yang
mendapat hipotermia dibandingkan kelompok
24
kontrol. Hipomagnesemia dapat terjadi pada
29
keadaan hipotermia.
RINGKASAN
Peningkatan TIK sering didapati trauma
kepala berat. Peningkatan TIK > 20 mmHg
telah
mengindikasikan
dibutuhkannya
penanganan segera untuk menurunkan TIK
tersebut. Salah satunya adalah dengan
melakukan metode hipotermia. Beberapa
studi menunjukkan bahwa metode hipotermia
dapat menurunkan TIK, namun suhu, lama
pemberian dan kecepatan dilakukannya
penghangatan kembali yang ideal masih
kontroversial.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ismael S. Peninggian tekanan intrakranial.
Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi
ke-2. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 60-77.
2. Tasker RC, Czosnyka M. Intracranial
hypertension and brain monitoring.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ,
penyunting. Pediatric critical care. Edisi
ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.
h. 828-45.

3. Cohen BH, Andrefsky JC. Altered states
of consciousness. Dalam: Maria BL,
penyunting. Current management child
neurology. Edisi ke-3. London:BC Decker
Inc; 2005. h. 551-61.
4. Dicarlo JV, Frankel LR. Neurologic
stabilization. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke17. Philadelphia: WB Saunders Company;
2004. h. 308-9.
5. Menkes JH, Ellenbogen RG. Postnatal
trauma and injuries by physical agent.
Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL,
penyunting. Child neurology. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. h. 659-702.
6. Kotagal S, Giza CC. Increased intracranial
pressure dan traumatic brain injury in
children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
penyunting. Pediatric neurology principles
& practice. Edisi ke-3. Volume ke-2. St.
Louis: Mosby; 1999. h. 945-52.
7. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J
Neurol
Neurosurg
Psychiatry
2002;73(suppl 1):i23-7.
8. Guha A. Management of traumatic brain
injury: some current evidence and
applications. Postgrad Med J 2004;
80:650-3.
9. Mimisawa H, Smith ML, Siesjo BJ. The
effect of mild hyperthermia and
hypothermia on brain damage. NEJM
1999; 32:234-9.
10. Adelson PD, Bratton LS, Carney NA,
dkk. Guidelines for the acute medical
management of severe traumatic brain
injury in infants, children and adolescents.
Pediatr Crit Care Med 2003; 4:1-76
11. Esparza J, Portillo JM, Sarabia M.
Outcome in children with severe head
injuries. Childs Nerv Syst 1985; 1:109114.
12. Bell TE, Kongable GL, Steinberg GK.
Mild hypothermia: an alternative to deep
hypothermia
for
achieving
neuroprotection. J Cardiovasc Nurs 1998;
13(1):34-44.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

252

Yunnie Trisnawati dkk.

Tatalaksana Peningkatan Tekanan...

13. Harris OA, Colford JM, Good MC, Matz
PG. The role of hypothermia in the
management of severe brain injury, a
meta-analysis.
Arch
Neurol
2002;
59:1077-83

21. Ning XH, Chen SH, Xu CS, Li L, Yao
LY, Qian K, et al. Hypothermic
protection of ischemic heart via
alterations in apoptotic pathways as
assessed by gene array analysis. J Appl
Physiol 2002; 92:2200-7.

14. Gupta AK, Al-Rawi PG, Hutchinson PJ,
Kirkpatrick PJ. Effect of hypothermia on
brain tissue oxygenation with severe head
injury. Br J Anaesth 2002; 88:188-92.

22. Chi OZ, Liu X, Weiss HR. Effects of mild
hypothermia on blood brain barrier
disruption
during
isoflurane
or
pentobarbital anesthesia. Anesthesiology
2001; 95:933-8.

15. Polderman
KH.
Application
of
therapeutic hypothermia in the ICU:
oppurtunities and pitfall of a promising
treatment modality, part 1: indications
and evidence. Intensive Care Med 2004;
30:556-75.
16. Kochanek MP, Forbes ML, Ruppel R,
Bayir H, Adelson PD, Clark RSB. Severe
traumatic brain injury in infants and
children.
Dalam:
Fuhrman
BP,
Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric
critical care. Edisi ke-3. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2006. h. 1595-1617.
17. Marion DW, Darby J, Yonas H. Acute
regional cerebral blood flow changes
caused by severe head injuries. J
Neurosurg 1991; 74:407-14.
18. Auer
RN.
Non-pharmacologic
(physiologic) neuroprotection in the
treatment of brain ischemia. Ann NY
Acad Sci 2001; 939:271-82.
19. Globus MY, Alonso O, Dietrich WD,
Busto R, Ginsberg MD. Glutamate release
and free radical production following
brain injury: effects of post-traumatic
hypothermia.
J
Neurochem
1995;
65:1704-11.
20. Bouma GJ, Muizelaar JP, Stringer WA.
Ultra-early evaluation of regional cerebral
blood flow in severely head-injured
patients
using
xenon-enhanced
computerized tomography. J Neurosurg
1992; 77:360-8.

253

23. Lavinio A, Timofeev L, Nortje J, Outtrim
J, Smielewski P, Gupta A, et al.
Cerebrovascular
reactivity
during
hypothermia and rewarming. Br J Anesth
2007; 99:237-44.
24. Clifton GL, Miller AR, Choi SC, Levin
HS, McCauley S, Smith KR, et al. Lack of
effect of induction of hypothermia after
acute brain injury. NEJM 2001;
334(8):556-62.
25. Hutchinson JS, Ward RE, Lacroix J,
Hebert CP, Barnes MA, Bohn DJ, et al.
Hypothermia therapy after traumatic
brain injury in children. NEJM 2008;
358:2447-56.
26. Marion DW, Penrod LE, Kelsey SF,
Obrist WD, Kochanek PM, Palmer AM,
et al. Treatment of traumatic brain injury
with moderate hypothermia. NEJM 1997;
336(8):540-6.
27. McIntyre LA, Fergusson DA, Hebert PC.
Prolonged therapeutic hypothermia after
traumatic brain injury in adults: a
systematic
review.
JAMA
2003;
289:2992-99.
28. Jiang JY, Yu MK, Zhu C. Effect of
longterm mild hypothermia therapy in
patients with severe traumatic brain
injury: 1- year follow up review of 87
cases. J Neurosurg 2000; 93:546-9.
29. Polderman KH, Peerdeman SM, Girbes
ARJ.
Hypophosphatemia
and
hypomagnesemia induced by cooling in
patients with severe head injury. J
Neurosurg 2001; 94:697-705.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008