Tugas Mandiri Ilmu Faal

(1)

Tugas Mandiri Ilmu Faal I

SHOCK HIPOVOLEMIK

Oleh :

Muhammad Asyharul Huda 021311133042

ILMU FAAL I – DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL

Fakultas Kedokteran Gigi – UNAIR


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Shock Hipovolemik”

Ungkapan tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Yuliati,drg.,M.Kes selaku Dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Faal 1 yang telah mempercayakan tugas ini kepada penulis.

Penulis sangat berharap makalah ini berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mahasiswa mengenai Shock Hipovolemik. Penulis juga menyadari sepenuhya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan usulan dari pembaca.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi pembaca. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Surabaya, November 2013


(3)

ABSTRAK

Shock adalah suatu keadaan dimana terjadi kegagalan sirkulasi untuk menyediakan oksigen dan substrat yang adekuat untuk kebutuhan metabolisme jaringan. Shock merupakan kegawatdaruratan medis yang membutuhkan pertolongan segera, keterlambatan mengenal dan tatalaksana shock akan menyebabkan kelainan multi organ dan kematian. Shock Hipovolemik merupakan kehilangan cairan intravaskular menyebabkan penurunan preload yang akan menyebabkan penurunan volume sekuncup dan curah jantung serta penyediaan oksigen jaringan. Gejala klinis shock tergantung penyakit primer, jumlah dan kecepatan hilangnya cairan intravaskular serta stadium shock yang terjadi. Tatalaksana shock adalah stabilisasi segera, bebaskan jalan nafas dan oksigen konsentrasi tinggi, pemberian cairan agresif dan koreksi setiap kelainan metabolik yang terjadi.


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... ii... DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

Bab 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

1.3 Manfaat ... 2

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Shock Hipovolemik ... 3

2.1.1 Definisi Shock Hipovolemik ... 3

2.1.2 Etiologi Shock Hipovolemik... 3


(5)

2.1.3 Manifestasi Klinis Shock Hipovolemik ... 5

2.1.4 Patofisiologi Shock Hipovolemik... 5

2.1.5 Penatalaksanaan Shock Hipovolemik ... 8

2.1.6 Komplikasi Shock Hipovolemik ... 16

2.1.7 Prognosis Shock Hipovolemik... 16

Bab 3 KERANGKA KONSEP... 17

Bab 4 PENUTUP

4.1 KESIMPULAN ... 18

4.2 SARAN... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kondisi Pasien Shock Hipovolemik... 4

Tabel 2.2 Patofisiologi Shock Hipovolemik... 8

Tabel 2.3 Penggantian Cairan... 16


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Posisi Shock... 9

Gambar 2.2 Perdarahan dan cara menekan perdarahan... 9


(8)

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Shock didefinisikan sebagai suatu keadaan tidak adekuatnya perfusi jaringan, Keadaan akut yang menyebar secara luas dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dan tidak adekuatnya sirkulasi volume darah intravaskuler yang efektif. Shock merujuk kepada suatu keadaan di mana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat.5

Shock biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak mencukupi. Karena itu setiap faktor yang mengurangi curah jantung akan menyebabkan shock sirkulasi. Pada dasarnya ada dua macam faktor yang sangat mengurangi curah jantung, yaitu :

(1) Kelainan jantung yang menurunkan kemampuan pompa jantung. Meliputi infark miokardium tetapi juga keadaan toksik jantung, disfungsi katup jantung, aritmia jantung dan keadaan lainnya.

(2) Faktor – faktor yang menurunkan darah balik ke vena. Volume darah berkurang, tetapi darah balik ke vena juga dapat berkurang sebagai akibat penurunan tonus vasomotor, atau obtruksi aliran darah disalah satu tempat dari sirkulasi.6

Shock bisa merupakan akibat dari kehilangan cairan tubuh lain selain dari darah dalam jumlah yang banyak. Shock hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan lain ini adalah gastroenteritis refraktrer dan luka bakar hebat.1

1.2 Tujuan

1. Menjelaskan definisi Shock Hipovolemik 2. Menjelaskan etiologi Shock Hipovolemik


(10)

4. Menjelaskan patofisiologi Shock Hipovolemik

5. Mengetahui dan memahami komplikasi dari Shock Hipovolemik

1.4 Manfaat

Sesuai dengan tujuan di atas, diharapkan hasil pembahasan tentang Shock Hipovolemik ini bermanfaat bagi mahasiswa, di antaranya :

1. Mengetahui dan memahami definisi Shock Hipovolemik 2. Mengetahui dan memahami etiologi Shock Hipovolemik

3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari Shock Hipovolemik

4. Mengetahui dan memahami patofisiologi Shock Hipovolemik 5. Mengetahui dan memahami komplikasi dari Shock Hipovolemik


(11)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Shock Hipovolumik

2.1.1 Definisi Shock Hipovolumik

Shock hipovolemik merujuk kepada suatu keadaan di mana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat.5

Shock hipovolemik merupakan shock yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Shock ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus shock hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga shock hipovolemik dikenal juga dengan shock hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.1

Kehilangan cairan cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel sehingga terjadi penurunan curah jantung dan terjadilah penurunan hantaran oksigen ke tubuh. Shock yang terjadi karena perdarahan selain terjadi penurunan cardiac output juga terjadi penurunan hemoglobin sehingga transport oksigen ke jaringan makin berkurang.5

2.1.2 Etiologi Shock Hipovolemik

1. Kehilangan darah karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan shock adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak. Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.


(12)

2. Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.

3. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

4. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan Shock hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory – Weiss tears, dan fistula aortointestinal.5

Tabel 2.1 Kondisi Pasien Shock Hipovolemik.2

1. Kehilangan Cairan dan Elektrolit

2. Perdarahan

- Pendarahan Internal

- Perdarahan Eksternal

3. Kehilangan Plasma

Diare, muntah, diabetes isnsipidus, heat stroke, renal loss, luka bakar Ruptura hepar/ lien, trauma jaringan lunak, fraktura tulang panjang, perdarahan saluran cerna, kelainan hematologis

Trauma

Luka bakar, sindroma nefrotik¸ obstruksi ileus, demam berdarah deangue, peritonitis


(13)

1. Agitasi 2. Akral dingin

3. Penurunan konsentrasi 4. Penurunan kesadaran

5. Penurunan atau tidak ada keluaran urine 6. Lemah

7. Warna kulit pucat 8. Napas cepat 9. Berkeringat


(14)

2.1.4 Patofisiologi Shock Hipovolemik

Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum shock hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian kapiler yang lambat.4

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari (refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, shock hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium shock dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah sama halnya dengan perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium shock hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.3

1. Stadium-I adalah shock hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.

2. Shock hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak


(15)

lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.

3. Shock hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.

4. Stadium-IV adalah shock hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.3

Berdasarkan perjalanan klinis shock seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi dari pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik dan frekuensi nadi dapat meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosoa dan penatalaksanaan (neglected cases).4

Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP) merupakan merupakan tekanan efektif rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara matematis tekanan ini dipadapatkan dari penjumlahan tekanan sistolik dengan dua kali tekanan diastolik.4


(16)

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistim saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer sehingga telah terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan tekanan nadi rata-rata.4

Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap shock hipovolemik dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ. Pada tahapan ini melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin. Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal.3


(17)

2.1.5 Penatalaksanaan Shock Hipovolemik

Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah-olah penderita menderita shock hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan shock disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.2

Primary Survey

Pemeriksaan jasmani diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recording) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.2

A.Airway (+ lindungi tulang servikal) B. Breathing (+ oksigen jika ada) C. Circulation + kendalikan perdarahan

1. Posisi shock

Angkat kedua tungkai dengan menggunakan papan setinggi ± 45o. 300 – 500 cc darah dari kaki pindah ke sirkulasi sentral.


(18)

2. Cari dan hentikan perdarahan

3. Ganti volume

kehilangan darah Menghentikan perdarahan (prioritas utama)

 Tekan sumber perdarahan

 Tekankan jari pada arteri proksimal dari luka  Bebat tekan pada seluruh ekstremitas yang luka  Pasang tampon sub fasia (gauza pack)

 Hindari tourniquet (torniquet = usaha terakhir)

Perdarahan permukaan tubuh ekstremitas lakukan penekanan, gunakan sarung tangan atau plastik sebagai pelindung.

Gambar 2.2 Perdarahan dan cara menekan perdarahan.5

Perdarahan 20 cc/menit = 1200 cc / jam

4. Pemasangan infus dan pergantian volume darah dengan cairan/darah.

5. Cari sumber perdarahan yang tersembunyi

Rongga perut (hati, limpa, arteri), rongga pleura, panggul atau pelvis, tulang paha (femur), kulit kepala (anak) 6. Lokasi dan Estimasi perdarahan

 Fraktur femur tertutup : 1,5-2 liter  Fraktur tibia tertutup : 0,5 liter  Fraktur pelvis : 3 liter

 Hemothorak : 2 liter

 Fraktur iga (tiap satu) : 150 cc  Luka sekepal tangan : 500 cc


(19)

 Bekuan darah sekepal : 500 cc.7

D.Disability – Pemeriksaan neurologi

Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi system syaraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intracranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intracranial.7

E. Exposure – Pemeriksaan lengkap

Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hypothermia.7

F. Folley Catheter

Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Darah pada urethra atau prostat dengan letaktinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter urethra sebelum ada konfirmasi radiografis tentang urethra yang utuh.7

G.Gastric Cholic – Dekompresi

Dilatasi lambung seringkali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak, dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi syaraf vagus yang berlebihan.


(20)

Distensi lambung membuat terapi shock menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung membesarkan resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bias menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan selang/pipa kadalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun walau penempatan pipa sudah baik, masih memungkinkan terjadi aspirasi.7

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan shock hipovolemik antara lain:

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah,

2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan 3. Resusitasi cairan.7

1. Memaksimalkan penghantaran oksigen

 Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami shock hipovolemik dan sebaiknya dihindari.2

 Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik


(21)

Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.2

 Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.2

 Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.2

 Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).2

 Jika pasien kritis dan hipotensi berat (shock derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.2

 Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.2


(22)

 Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.2

2. Kontol perdarahan lanjut

 Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.2

 Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.2

 Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan.2

 Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.2

 Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus,


(23)

asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.2

 Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.2

 PASG dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau ekstremitas bagian bawah, namun tidak boleh mengganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.2

3. Resusitasi Cairan

Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.

 Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru).4

 Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.4

 Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid


(24)

alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.4

 Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Ringer Laktat terlebih dahulu, dan pilihan kedua yaitu Normal Saline 0,9%.

Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.4


(25)

2.1.6 Komplikasi Shock Hipovolemik

Komplikasi yang dapat terjadi saat terjadi Shock Hipovolemik antara lain, 1. Kerusakan ginjal

2. Kerusakan otak

3. Gangren dari lengan atau kaki, kadang-kadang mengarah ke amputasi

4. Serangan jantung.7

2.1.7 Prognosis

Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:


(26)

2. Tingkat kehilangan darah

3. Cedera yang menyebabkan kehilangan

4. Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-paru, dan penyakit ginjal.7

BAB 3 KERANGKA KONSEP S h o c k H i p o v o l u m i k E t i o l o g i M a n i f e s t a s i k l i n i s P a t o f i s i o l o g i P e n a n g a n a n S h o c k H i p o v o l u m i k P r o g n o s i s


(27)

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dan Saran

Berhasil tidaknya penanggulangan shock tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala shock, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab shock serta efektivitas dan efisiensi kerja pada saat-saat pertama pasien mengalami shock.

Shock adalah gangguan sistem sirkulasi dimana sistem kardiovaskuler

(jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Shock Hipovolemik terjadi akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi).

4.2 Saran

Dengan mempelajari materi ini mahasiswa agar dapat lebih peka terhadap tanda dan gejala ketika menemukan pasien yang mengalami shock sehingga dapat melakukan pertolongan segera. Mahasiswa dapat melakukan tindakan-tindakan untuk melakukan pertolongan segera kepada pasien yang mengalami shock.


(28)

BAB 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter 24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 273-84.

2. Tobin JR, Wetzel R. C. Shock in Rogers MC. Ed. Textbook Pediatric Intensive Care. Baltimore: William & Wilkins. 1996. p. 555-580.

3. George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta 2009. p. 16-36.

4. Worthley LIG. Shock: a review of pathophysiology and management: Part I Critical Care and Resuscitation. 2000. p. 55-65.

5. Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart. Jakarta : EGC 2001. p. 322-325.

6. Guyton, A.C.,& Hall, J.E. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 7th ed. Jakarta : EGC 1995. p. 410, 417, 420-1.

7. Zingarelli, Basilia. “Shock and Reperfusion Injury” in Roger’s Textbook Pediatric Intensive Care 4th ed. Philadelpia. 2008. p. 252.


(1)

asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.2

 Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.2

 PASG dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau ekstremitas bagian bawah, namun tidak boleh mengganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.2

3. Resusitasi Cairan

Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.

 Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru).4

 Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.4  Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran


(2)

alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.4

 Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Ringer Laktat terlebih dahulu, dan pilihan kedua yaitu Normal Saline 0,9%.

Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.4


(3)

2.1.6 Komplikasi Shock Hipovolemik

Komplikasi yang dapat terjadi saat terjadi Shock Hipovolemik antara lain, 1. Kerusakan ginjal

2. Kerusakan otak

3. Gangren dari lengan atau kaki, kadang-kadang mengarah ke amputasi

4. Serangan jantung.7

2.1.7 Prognosis

Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:


(4)

2. Tingkat kehilangan darah

3. Cedera yang menyebabkan kehilangan

4. Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-paru, dan penyakit ginjal.7

BAB 3 KERANGKA KONSEP S h o c k H i p o v o l u m i k E t i o l o g i M a n i f e s t a s i k l i n i s P a t o f i s i o l o g i P e n a n g a n a n S h o c k H i p o v o l u m i k P r o g n o s i s


(5)

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dan Saran

Berhasil tidaknya penanggulangan shock tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala shock, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab shock serta efektivitas dan efisiensi kerja pada saat-saat pertama pasien mengalami shock.

Shock adalah gangguan sistem sirkulasi dimana sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Shock Hipovolemik terjadi akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi).

4.2 Saran

Dengan mempelajari materi ini mahasiswa agar dapat lebih peka terhadap tanda dan gejala ketika menemukan pasien yang mengalami shock sehingga dapat melakukan pertolongan segera. Mahasiswa dapat melakukan tindakan-tindakan untuk melakukan pertolongan segera kepada pasien yang mengalami shock.


(6)

BAB 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter 24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 273-84.

2. Tobin JR, Wetzel R. C. Shock in Rogers MC. Ed. Textbook Pediatric Intensive Care. Baltimore: William & Wilkins. 1996. p. 555-580.

3. George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta 2009. p. 16-36.

4. Worthley LIG. Shock: a review of pathophysiology and management: Part I Critical Care and Resuscitation. 2000. p. 55-65.

5. Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart. Jakarta : EGC 2001. p. 322-325.

6. Guyton, A.C.,& Hall, J.E. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 7th ed. Jakarta : EGC 1995. p. 410, 417, 420-1.

7. Zingarelli, Basilia. “Shock and Reperfusion Injury” in Roger’s Textbook Pediatric Intensive Care 4th ed. Philadelpia. 2008. p. 252.