Analisis Fragmentasi Lanskap Hutan di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan, Sumatera Utara
Hasil Analisis Separabilitas Klasifikasi Citra Landsar TM 5 Tahun 2015 DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan
Kelas Awan Bayangan Awan Area Terbuka Tubuh Air Hutan Pemukiman PLK Perkebunan
Awan 0
Bayangan Awan 2000 0
Area Terbuka 2000 2000 0
Hutan 2000 2000 2000 0
Tubuh Air 2000 1999,89 2000 2000 0
Pemukiman 2000 2000 1974,56 2000 2000 0
Pertanian Lahan Kering 2000 2000 2000 2000 2000 1995,81 0
Perkebunan 2000 2000 2000 2000 2000 2000 1993,07 0
Hasil Analisis Separabilitas Klasifikasi Citra Landsat TM 5 Tahun 2005 DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan
Kelas Awan Bayangan Awan Area Terbuka Tubuh Air Hutan Pemukiman PLK Perkebunan
Awan 0
Bayangan Awan 2000 0
Area Terbuka 2000 2000 0
Hutan 2000 2000 2000 0
Tubuh Air 2000 2000 2000 1998,45 0
Pemukiman 2000 2000 2000 1879,72 1992,35 0
Pertanian Lahan Kering 2000 2000 2000 2000 1998,59 2000 0
(2)
Hasil Analisis Separabilitas Klasifikasi Citra Landsat TM 5 Tahun 1995 DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan
Kelas Awan Bayangan Awan Area Terbuka Tubuh Air Hutan Pemukiman Kebun Campuran Perkebunan
Awan 0
Bayangan Awan 2000 0
Area Terbuka 2000 2000 0
Hutan 2000 2000 2000 0
Tubuh Air 2000 1999,89 2000 2000 0
Pemukiman 2000 2000 1974,56 2000 1992,35 0
Kebun Campuran 2000 2000 2000 2000 1998,59 1995,81 0
(3)
Kelas Awan Bayangan Awan Tubuh Air hutan Kebun CampuranPerkebunan Pemukiman Area Terbuka Jumlah Baris Producers Accuracy
Awan 277 0 0 0 0 0 0 0 277 100
Bayangan Awan 0 329 0 0 0 0 0 0 329 100
Tubuh Air 0 0 378 0 0 0 0 0 378 100
Hutan 0 1 2 630 6 47 0 0 686 91,83
Kebun Campuran 0 0 0 3 813 11 0 6 833 97,59
Perkebunan 0 0 0 28 25 419 0 0 472 88,77
Pemukiman 0 0 0 0 6 0 591 53 650 90,92
Area Terbuka 0 0 1 0 13 0 23 570 607 93,90
Jumlah Kolom 277 330 381 661 863 477 614 629 4232
User Accuracy 100 99,69 99,21 95,31 94,20 87,84 96,25 90,62
Overall Accuracy 94,68
Kelas Awan Bayangan Awan Tubuh Air Area Terbuka Pemukiman Pertanian Lahan Kering Hutan Perkebunan Jumlah Baris Producers Accuracy
Awan 351 0 0 0 0 0 0 0 351 100
Bayangan Awan 0 269 0 0 0 0 0 0 269 100
Tubuh Air 0 0 238 0 0 0 0 0 238 100
Area Terbuka 0 0 0 25 2 0 0 0 27 92,59
Pemukiman 0 0 0 3 25 0 0 0 28 89,28
Pertanian Lahan Kering 0 0 0 1 0 21 0 0 22 95,45
Hutan 0 1 0 0 0 0 132 0 133 99,24
Perkebunan 0 0 0 0 0 0 0 47 47 100
Jumlah Kolom 351 270 238 29 27 21 132 47 1115
User Accuracy 100 99,62 100 86,20 92,59 100 100 100 Overall Accuracy 99,37
Kappa Accuracy 99,19
Hasil Analisis Akurasi Klasifikasi Citra Landsat TM 7 Tahun 2015 DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan
(4)
Kelas Awan Bayangan Awan Area Terbuka Tubuh Air Hutan Pemukiman Kebun Campuran Perkebunan Jumlah Baris Producer Accuracy
Awan 297 0 0 0 0 0 0 0 297 100
Bayangan Awan 0 232 0 0 15 0 0 0 247 93,92
Area Terbuka 0 0 321 0 0 4 5 0 330 97,27
Tubuh Air 0 0 0 234 0 0 0 0 234 100
Hutan 0 0 0 0 522 0 3 2 527 99,05
Pemukiman 0 0 13 0 0 510 5 0 528 96,59
Kebun Campuran 0 0 8 0 0 6 577 7 598 96,48
Perkebunan 0 0 0 0 37 0 7 271 315 86,03
Jumlah Kolom 297 232 342 234 574 520 597 280 3076
User Accuracy 100 100 93,85 100 90,94 98,07 96,64 96,78
Overall Accuracy 96,35 Kappa Accuracy 95,76
(5)
Titik koordinat survey lapangan (ground check) dengan GPS (Global Positioning System)
No. Latitude Longitude Tutupan Lahan
1 3.97101 98.17033 Perkebunan
2 3.99116 98.13639 Perkebunan
3 3.99756 98.13844 Pemukiman
4 4.01210 98.14910 Kebun Campuran
5 4.01930 98.20747 Perkebunan
6 4.02687 98.18966 Kebun Campuran
7 4.03052 98.05866 Hutan
8 4.03274 98.05907 Hutan
9 4.03539 98.06250 Hutan
10 4.03691 98.17636 Badan Air
11 4.03739 98.16767 Pemukiman
12 4.03776 98.16835 Kebun Campuran
13 4.04896 98.14127 Badan Air
14 4.04912 98.13856 Hutan
15 4.07264 98.19256 Pemukiman
16 4.07780 98.20445 Perkebunan
17 4.08103 98.20833 Perkebunan
18 4.08195 98.11770 Hutan
19 4.09210 98.21741 Perkebunan
20 4.09894 98.21588 Lahan Terbuka
21 4.10402 98.20960 Hutan
22 4.10724 98.26561 Pemukiman
23 4.10745 98.27574 Lahan Terbuka
24 4.11249 98.08296 Perkebunan
25 4.11329 98.07348 Pemukiman
26 4.11402 98.22168 Pemukiman
27 4.11579 98.07118 Perkebunan
28 4.12007 98.09168 Pemukiman
29 4.12534 98.09839 Lahan Terbuka
30 4.12540 98.09926 Kebun Campuran
31 4.13045 98.10448 Perkebunan
32 4.13947 98.10725 Lahan Terbuka
33 4.14058 98.10907 Kebun Campuran
34 4.14077 98.10211 Pemukiman
35 4.14259 98.11454 Hutan
36 4.14306 98.11535 Badan Air
(6)
Monogram citra landsat tutupan lahan DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan band 5 4 3 (Landsat 5 TM) dan band 6 5 4 (Landsat 8 OLI)
No. Tipe Tutupan Lahan
Kunci Penafsiran Monogram 1. Hutan - Rona agak gelap
- Warna hijau tua - Tekstur agak kasar s/d
kasar
- Pola tidak teratur
2. Perkebunan - Rona agak terang
- Warna hijau muda sampai hijau tua
- Bentuk beraturan - Pola seragam, terdapat
pemukiman, jaringan jalan dan bangunan 3. Kebun
Campuran
- Rona agak terang - Warna merah muda
bercak-bercak hijau - Tekstur agak kasar
sampai kasar
- Pola tidak teratur, dekat dengan pemukiman
4. Bayangan Awan - Rona agak hitam sampai gelap
- Tekstur halus - Pola seragam - Dekat dengan awan
(7)
5. Pemukiman - Rona terang
- Warna merah muda - Tekstur agak kasar - Pola seragam
6. Lahan Terbuka - Rona agak terang - Warna kemerahan - Tekstur halus - Pola tidak teratur
7. Badan Air - Rona gelap
- Warna biru kehitaman - Tekstur halus
- Pola tidak teratur
8. Awan - Rona terang
- Warna putih seperti asap - Tekstur halus
(8)
Gambaran kondisi tutupan lahan di lapangan tahun 2015
No. Kelas Tutupan Lahan Gambar di Lapangan 1. Hutan
2. Perkebunan
(9)
4. Pemukiman
5. Lahan Terbuka
(10)
DAFTAR PUSTAKA
Arifin S, Carolita I dan Ghatot W. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital. Vol. 3. No.1. LAPAN.
Aronoff, S. (1989) Geographic Information System: A Management Perspective. WDL, Ottawa
Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat “Iklim dan Wilayah” Diakses dari
Barlow, R. 1978. Land Resources Economic. 3rd Edition. Prentice Hall, Inc., Engelwood Cliffs: New Jersey.
Bernhardsen, T. 1998. Geographic Information System. Arendal Press. Washington .
Fahrig L. 2003. Effect of habitat fragmentation on biodiversity. Annual review of Ecology, Evolution, and Systematics. 34(1):487-515.doi:
10.1146/annurev.ecolsys.34.011802.132419
Forman RTT, Godron M. 1986. Landscape Ecology. New York (US): Wiley. Haila, Y. 1999. Island and Fragments, Pages 234-246 in M.L J. Hunter Editor.
Maintaining biodiversity in forest ecosystem. Camridge University Press, Camridge UK.
Harjadi, B., D. Prakosa, A. Wuryanta. 2007. Analisis Karakteristik Kondisi Fisik Lahan DAS DENGAN PJ dan SIG di DAS Benain-Noelmina, NTT. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.2 (2007) p: 74-79
Horning, N., Robinson, J.A., Sterling, E.J., Turner, W., Spector, S., 2010. Remote Sensing for Ecology and Conservation. Oxford University Press, New York.
Howard, J.A. 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hurvitz, P. 2003. The GIS Spatial Data Mode. The University of Washington Spatial Technology.
ITTO/IUCN] International Timber Trade Organization International Union Conservation Nature. 2005. Restoring Forest Landscapes. An introduction to the art and science of forest landscape restoration. ITTO Technical Jaya INS, Boer R, Samsuri. 2007. Developing fire risk index in Central Kalimantan. International Research Institute and Bogor Agricultural
(11)
University [research repport]. Bogor (ID): Bogor Agricultural University. Laurance WF. 2005. Forest-climate Interactions in Fragmented Tropical
Landscapes. Di dalam : Malhi Y, Phillips O, editor. Tropical forests and global atmospheric change. [diunduh 3 Juli 2016] Tersedia pada:http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1693331&blo btype=pdf.
Lo, C.P, 1995. Penginderan Jauh Terapan. UI- Press, Jakarta
Nikolakaki P. 2004. A GIS Site Selection process for habitat creation: estimating connectivity of habitat patches. Landscape and Urban Planing 68: 77-94 Puspaningsih N. 2011. Pemodelan spasial dalam monitoring reforestasi Kawasan
Pertambangan Nikel Pt. Inco di Sorowako Sulawesi Selatan. Sekolah Pascasarjana IPB.
Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika, Bandung
Primack, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Bandung Rohyani IS. 2012. Pemodelan spasial kelimpahan collembola tanah pada area
revegetasi tambang PT Newmont Nusa Tenggara. PhD thesis. Post graduated Programme of Institut Pertanian Bogor; 2012
Rusak, H. and C. Dobson. 2007. Forest Fragmentation. www.ontarionature .org. Diakses tanggal 18 Juni 2016
Samsuri, Jaya INS, Kusmana C, dan Murtilaksono K. 2014a. Fragmentation of tropical forest landscape on Batang Toru Watershed - North Sumatra. Journal Tropical Forest Management 20(2):77-85
Syarifi MA, Herwijnen M, van Toorn WH van deen. 2007. Spatial decision support system. Ensdhede (NL): International Institut for Aerospace Survey and Earth Science (ITC)..
Turner WR, Wilcove DS, Swain HM. 2006. Assessing the effectiveness of reserve acquisition programs in protecting rare and threatened species. Conservation Biology. 20(6):1657-1669.doi:10.1111/j.1523-1739.2006.00536.x
Wiens, J.A. 1989a. Spatial scaling inecology. Functional Ecology 3: 385-397. Wolf, P. R. 1993. Elemen Fotogrametri. Gadja Mada University Press.Yogyakarta
(12)
METODE PENELITIAN
Waktu dan TempatPenelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2015 - Agustus 2016. Penelitian ini dilakukan di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Analisis data dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
DAS Wampu, DAS Besitang, dan DAS Lepan, Sumatera Utara yang secara geografis terletak pada koordinat 3°14'-4°13' LU dan 95°52'-98°45' BT dengan batas –batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tanah Alas (NAD), serta sebelah
(13)
Timur Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai. Hampir sebagian besar ketiga DAS mengaliri Kabupaten Langkat, dan sebagian DAS Wampu mengaliri Kota Binjai dan Kabupaten Karo.
Alat dan Data Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat pengambilan data dan alat analisis data. Alat pengambilan data yang digunakan adalah GPS, kompas, kamera, talley sheet dan alat analisis data yang digunakan adalah Excel, ERDAS Imagine 8.5, ArcMap 10.3, Envi 4.7, dan Fragstat 3.3. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit tahun rekaman 1995, 2005 dan 2015 serta beberapa data spasial lainnya yaitu peta batas daerah aliran sungai, jaringan sungai, peta administrasi dan peta batas kawasan hutan.
Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit landsat tahun 1995, 2005 dan 2015. Citra satelit Landsat diperoleh secara gratis dengan mendownloadnya melalui USGS (United State Geological Survey). Gambar citra satelit Landsat permukaan bumi dibagi kedalam beberapa scene yang dibedakan berdasarkan path dan row. Setelah melakukan pengecekan, lokasi penelitian (DAS Besitang, DAS Lepan dan DAS Wampu) terdapat pada Path 129 dan row 57, 58.
2. Pengambilan Data lapangan
Data lapangan diambil di kawasan DAS Besitang, DAS Lepan dan DAS Wampu yang sudah ditentukan titik koordinat nya terlebih dahulu secara sistematis.
(14)
3. Pengolahan Citra
A. Koreksi Citra
Citra yang diperoleh adalah citra rekaman tahun 1995, 2005, dan 2015. Sebelum diolah lebih lanjut yang diperoleh terlebih dahulu diperbaiki dengan tujuan untuk mendapatkan kenampakan objek yang jelas yang ada pada citra. Sehingga dapat memudahkan kegiatan interpretasi citra secara visual. Kegiatan koreksi citra dilakukan dengan software Erdas 8.5. Koreksi ini terdiri atas :
a) Koreksi Radiometrik
Sistem ini menggunakan jajaran detektor jamak untuk mengindera beberapa garis citra secara bersama-sama pada tiap satuan cermin. Karena sifat keluaran detektor tidak tepat sama dan keluaran berubah sesuai dengan tingkat perubahan waktu maka diperlukan kalibrasi keluarannya. Nilai kalibrasi ini digunakan untuk mengembangkan fungsi koreksi bagi tiap detektor
b) Koreksi Geometrik
Prosedur yang diterapkan pada koreksi geometrik biasanya memperlakukan distorsi ke dalam dua kelompok yaitu distorsi yang dipandang sistematik atau dapat diperkirakan sebelumnya dan distorsi pada dasarnya dirancang secara acak atau tidak dapat diperlukan sebelumnya. Distorsi sistematik dikoreksi dengan menerapkan rumus yang diturunkan dengan membuat model matematik atas sumber distorsi
c) Penajaman Citra (Image Enhacement)
Teknik penajaman ini dilakukan dengan untuk menonjolkan kontras yang jelas kelihatan diantara objek di permukaan bumi. Histogram adalah suatu tampilan
(15)
grafik dari distribusi frekuensi relatif dalam suatu data set. Pada umumnya kegiatan ini meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasi secara visual.
B. Clip Citra dengan Batas Kawasan
Citra satelit Landsat yang diperlukan diperoleh bukan hanya mencakup areal DAS, tetapi mencakup Kabupaten Langkat sehingga clip/pemotongan citra dilakukan. Kawasan yang dilakukan pemotongan adalah kawasan DAS yang ada pada citra. Pemotongan dilakukan dengan dengan menggunakan software ArcMap 10.3 dapat dilakukan dengan menggunakan perintah pengaturan data atau tools Data managemen.
C. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)
Citra tahun rekaman 1995, 2005 dan 2015 diolah secara digital dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode interpretasi secara visual. Pada metode ini terdapat pertimbangan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel ataupun kenampakan pada citra untuk dikelaskan kedalam kelas atau kategori tertentu. Seperti pengelompokan pemukiman dikelompokan sebagai tutupan lahan yang memiliki pola rapat pada kenampakan citra. Pada penelitian ini diambil 3 DAS yang dijadikan daerah penelitian. Penentuan dilakukan secara purposive sampling yaitu dengan melihat sebaran kawasan tutupan lahan hutan di sekitar DAS untuk menentukan indeks fragmentasi hutan yang terjadi di kawasan tersebut.
D. Pengecekan lapangan
Kegiatan ini bertujuan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi penggunaan lahan dan mengetahui bentuk-bentuk perubahan fungsi kawasan.
(16)
Pengecekan dilakukan dengan bantuan Global Positioning System (GPS). Titik pengamatan ditentukan dengan metode purposive sampling. Masing-masing kelas tutupan lahan diwakili dengan minimal 3 (tiga) titik observasi. Setiap titik didatangi kemudian dilakukan pendataan, pengamatan serta pencatatan informasi penting. Data yang diambil adalah data rekam koordinat titik pengamatan lapangan dari GPS, kondisi tutupan lahan sekitar titik lapangan yang dilengkapi gambar.
E. Analisis Akurasi
Uji ketelitian dimaksudkan untuk mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Akurasi sering dianalisis menggunakan matrik kontingensi, yaitu suatu matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi. Matrik ini sering juga disebut dengan “error matrix” atau “confusion matrix”. Matrik kesalahan membandingkan informasi dari area referensi dengan informasi dari citra hasil klasifikasi pada sejumlah area yang terpilih. Matrik kesalahan berbentuk bujur sangkar dengan elemen pada baris matrik mewakili area pada citra hasil klasifikasi, sedangkan elemen pada kolom matrik mewakili area pada data yang dijadikan referensi.
Dijelaskan juga bahwa yang dimaksud dengan data referensi adalah sejumlah piksel pada citra yang telah diidentifikasi sebelumnya melalui kegiatan pengecekan lapangan atau interpretasi foto dan diasumsikan benar. Matrik kesalahan sangat efektif untuk mengetahui tingkat akurasi citra hasil klasifikasi beserta kesalahan yang terjadi dalam tahapan klasifikasi. Akurasi ini biasanya diukur berdasarkan pembagian titik yang dikelaskan secara benar dengan total titik yang digunakan (jumlah titik yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan
(17)
jumlah seluruh titik yang digunakan). Perhitungan akurasi dengan menggunakan matrik kontingensi ini juga dapat menghitung besarnya akurasi pembuat (producer’s accuracy) dan akurasi pengguna (user’s accuracy). Secara sistematis skema perhitungan akurasi (producer’s accuracy, user’s accuracy,overall accuracy dan kappa accurasy) adalah sebagai berikut:
a. Prosedur menghitung User Accurasy
Z 100 %
������
Keterangan:
N fakta = Jumlah koordinat validasi
Z = Jumlah koordinat yang terbukti pada validasi b. Prosedur menghitung Prosedur Accuracy
�
������
100%
Keterangan:
N fakta = Jumlah koordinat validasi
X = Jumlah koordinat yang terbukti pada validasi c. Prosedur menghitung Overal Accuracy
�
�
100%
Keterangan:
N = Jumlah total validasi
M = Jumlah total yang terbukti pada validasi d. Prosedur menghitung Kappa Accurasy
100% N
X
X
N
X
X
X
i i 2 r i r i i i ii∑
∑
∑
+ + + + − − r i(18)
Keterangan:
Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X+i = jumlah titik dalam kolom ke-i
Xi+ = jumlah titik dalam baris ke-i N = banyaknya titik
4. Analisis Fragmentasi
Tipe penutupan lahan hutan dianalisis menggunakan Fragstat 3.3, untuk mendapatkan metrik lanskap hutan (McGarigal 1995). Salah satu format data yang dapat diolah Fragstat 3.3 adalah data dalam format ArcGrid. Oleh karena itu, data vektor penutupan lahan hutan dikonversi ke dalam format ArcGrid dengan ukuran 100 m x 100 m (1 ha). Unit analisis yang digunakan dalam analisis metrik lanskap adalah batas sub daerah aliran sungai (sub DAS), sehingga metrik lanskap yang dihasilkan merupakan metrik lanskap sub DAS. Metrik lanskap yang digunakan untuk menentukan indeks fragmentasi adalah luas patch, jumlah patch, kepadatan patch, indeks contiguity, dan indeks proximity (McGarigal 1995; Fahrig 2003).
Metrik lanskap yang digunakan dalam menentukan tingkat fragmentasi lanskap hutan adalah area (AREA), patch density (PD), proximity (PROX), dan contiguity index (CONTIG). Adapun masing-masing metrik lanskap dirumuskan sebagai berikut :
a. Luas patch
Luas setiap patch dirumuskan: Area
=
�
�� 1(19)
Keterangan:
AREA = Luas area patch (�2), dibagi dengan 10.000 (dikonversi menjadi hektar);
�
�� = area (�2) patch ��b. Kepadatan patch (patch density)
Kepadatan patch adalah banyaknya jumlah patch pada setiap luasan 100 ha unit lanskap.
PD = �� (10000)(100) Keterangan:
PD = jumlah patch hutan per 100 ha; N = jumlah patch hutan, dan
A = luas lanskap hutan c. Contiguity index
Contiguity index (CONTIG) adalah ukuran spasial keterhubungan patch hutan secara individu dengan patch hutan lainnya. Semakin tinggi nilai semakin besar keterhubungannya.
CONTIG =
∑��=1���
��� −1
�−1 Keterangan:
��� = nilai contiguity pixel r dalam patch ke-ij; V = jumlah nilai dalam piksel 3 x 3;
(20)
d. Proximity index (PROX)
Proximity index merupakan kecenderungan patch menjadi relatif terisolasi (misalnya jarak) dari patch lain pada kelas ekologi yang berdekatan atau serupa;
PROX =
∑
��������2
�
�=1
Keterangan:
�
��� = area (m2) patch��� dalam lingkungan sekitar (m) patch ij;�
��� = jarak (m) antara patch ��� dan patch ijs, berdasarkan pada jarak tepian ke tepian patch, dihitung dari pusat sel ke pusat sel lainnya Skoring fragmentasiSelanjutnya masing-masing matrik lanskap hutan dikelompokan menjadi 5 (lima) kelas dan diberi skor menggunakan basis skala Likert. Skor dijumlahkan secara aljabar (Tabel 2). Total skor fragmentasi hutan dihitung berdasarkan skor masing-masing sub faktor fragmentasi (proximity, density, isolation dan area). Untuk membuat standar tingkat fragmentasi maka skor total fragmentasi di rescaling. Skor masing-masing sub faktor menggunakan skala Likert (Syarifi 2007). Total skor diformulasikan sebagai berikut :
∑
==
ni
i i
ffg
wfg
Wfg
1
.
Keterangan :Wfg = total skor fragmentasi,
wfgi = skor sub faktor fragmentasi ke-I,
(21)
Tabel 2. Skor masing-masing kelas sub faktor indeks fragmentasi
No Metriks Kode Nilai Skor
1 Area CA < 314
314- 628 628- 943 943– 1258 > 1258 1 2 3 4 5
3 Patch density PD >325
285-325 245- 285 205 –245 < 205 5 4 3 2 1
4 Proximity PROX <554
555-1233 1234-2551 2551-3270 >3270 5 4 3 2 1
5 Contiguity CONTIG <0.2
0.2-0.4 0.4-0.6 0.6-0.8 >0.8 5 4 3 2 1 Rescaling skor
Untuk menentukan standar tingkat fragmentasi maka skor total fragmentasi ditransformasikan (rescaling) menggunakan persamaan (Jaya et al. 2007).
������ =������������� −������� ���_���� − �������_��� �
(���������� − ���������)
Keterangan :
Ind_FLH = nilai indeks fragmentasi Skortotal = skor total sebagai input
Skortot- min = total skor minimum
Skortot-maks = total skor maksimum
Ind_FLF maks = indeks fragmentasi maksimum
(22)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Tutupan lahan
Identifikasi tutupan lahan dilakukan dengan cara mengambil sampel penggunaan lahan pada tiap-tiap tutupan lahan di DAS Wampu, DAS Besitang, dan DAS Lepan. Identifikasi tutupan lahan dilakukan untuk menyesuaikan kondisi serta keadaan lapangan yang sebenarnya dengan peta tutupan lahan. Lokasi identifikasi tutupan lahan yang ada di lapangan didokumentasikan dengan kamera digital. Citra satelit Landsat TM 5 dan landsat TM 8 dibuat pada tahun yang berbeda. Namun setelah dilakukan pengecekan lapangan pada tahun 2015 situasi dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan keadaan pada citra.
Hasil identifikasi tutupan lahan di lapangan diperoleh beberapa tipe tutupan lahan antara lain adalah: area terbuka, hutan, kebun campuran, pemukiman, perkebunan, dan tubuh air. Oleh karena itu, klasifikasi tutupan lahan didasarkan pada tutupan lahan yang sebenarnya dari hasil pengecekan lapangan.
Klasifikasi Tutupan Lahan
Klasifikasi citra Landsat TM telah menghasilkan peta tutupan lahan DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan. Hasil klasifikasi citra Landsat TM 5 tahun 1995 dan tahun 2005 dengan kombinasi saluran (band) 5,4,3, yang mana saluran 5,4 dan 3 sangat sesuai untuk merefleksikan kondisi vegetasi, sedangkan hasil klasifikasi citra landsat tahun 2015 dengan menggunakan band 6,5,4.
Klasifikasi tutupan lahan dilkukan dengan pengelompokan kelas penutupan lahan. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification).
(23)
Pengukuran saparabilitas dilakukan untuk memperoleh kualitas ketelitian dari proses klasifikasi. Metode yang dipilih yaitu Transformed Divergence (TD) karena baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar kelas, juga memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas (Jaya, 2002).
Kriteria yang digunakan dalam memisahkan individu-individu dalam pasangan kelasnya menurut Jaya (2002) adalah:
1. Tidak terpisah: ≤ 1600
2. Jelek keterpisahannya: 1601 – 1699 3. Sedang keterpisahannya: 1700 – 1899 4. Baik keterpisahannya: 1900 – 1999, dan 5. Sangat baik keterpisahannya: 2000
Secara umum hasil analisis separabilitas menunjukkan kisaran dari baik sampai sangat baik. Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix) yang disebut juga matrik contingency. Akurasi dihitung dengan menggunakan rumus Kappa Accuracy.
Kappa Accuracy dipergunakan karena memperhitungkan semua elemen dalam matrik contingency. Kappa Accuracy juga digunakan untuk menguji kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari metode yang berbeda atau kombinasi band yang berbeda (Jaya, 2002). Untuk akurasi yang lain, pengklasifikasian harus diulang jika Overall Accuracy besarnya kurang dari 85%. Semakin tinggi akurasinya, baik Overall Accuracy maupun Kappa Accuracy maka pengklasifikasian yang dilakukan akan semakin baik.
Hasil akurasi (terdapat pada lampiran) dari pengklasifikasian citra berbeda tahun ini termasuk baik karena Overall Accuray-nya untuk tahun 2015 sebesar
(24)
99,37; tahun 2005 sebesar 94,68%; dan untuk tahun 1995 sebesar 96,35% (lebih dari 85%) dan nilai rata-rata dari Producers Accuracy untuk tahun 2015 adalah sebesar 97,07%; tahun 2005 sebesar 95,37%; dan untuk tahun 1995 sebesar 96,17%; nilai rata-rata User Accuracy pada klasifikasi citra tahun 2015 adalah sebesar 97,30%; kemudian untuk tahun 2005 adalah sebesar 95,39%; dan untuk tahun 1995 adalah sebesar 97,03%; dan nilai Kappa Accuracy pada tahun 2015 adalah sebesar 99,19%,; tahun 2005 sebesar 93,81%; dan terakhir tahun 1995 sebesar 95,76% sehingga tidak perlu dilakukan pengklasifikasian ulang.
Berdasarkan nilai matrik separabilitasnya maka interpretasi citra satelit tahun tipe tutupan dikoreksi menjadi 6 kelas tipe tutupan lahan (Tabel 3) yaitu, area terbuka, hutan, kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan tubuh air dan ditambah 2 tipe tutupan tidak teridentifikasi yaitu awan beserta bayangan awan. Tabel 3. Distribusi luas tipe tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 2015, 2005, 1995
Tipe Tutupan Lahan 2015 2005 1995
Area (Ha) (%) Area (Ha) (%) Area (Ha) (%)
Area Terbuka 104307,0 18,3 59574,2 10,5 60019,1 10,5
Awan 46284,4 8,1 21530,7 3,8 2065,0 3,6
Bayangan Awan 2802,6 0,5 13186,2 2,3 32233,6 5,7
Hutan 238994,0 41,9 242451,1 42,6 296641,2 52,1
Kebun Campuran 35250,9 6,2 157309,2 27,6 95501,1 16,8
Pemukiman 45412,8 8,0 14187,3 2,5 22688,0 4,0
Perkebunan 94013,0 16,5 59005,1 10,4 39166,6 6,9
Tubuh air 2729,0 0,5 2549,9 0,4 2894,6 0,5
(25)
(26)
(27)
(28)
Fragmentasi Lanskap Hutan
Area menunjukkan luas area patch pada masing-masing DAS. Pada lokasi penelitian diindikasikan adanya aktivitas manusia yang tinggi. Kondisi ini dapat mendorong terjadinya penyempitan kawasan hutan yang berasosiasi pada fragmentasi hutan. Berdasarkan grafik (Gambar 6) terlihat bahwa luas patch mengalami penurunan dan peningkatan pada tahun 1995, 2005 dan 2015. Kondisi ini terjadi di kawasan hutan DAS Wampu yaitu penurunan seluas 45,062 ha dan di DAS Besitang seluas 1,308 ha sedangkan pada kawasan DAS Lepan terjadi peningkatan luas patch dari 2005 ke 2015 seluas 4627 ha, hal ini menandakan bahwa setiap kawasan pada masing-masing DAS mengalami fragmentasi hutan.
Gambar 6.Grafik Luas Area Patch Hutan
Luas area patch hutan yang berubah pada setiap tahun mengakibatkan fungsi hutan menjadi terganggu. Dan luas patch hutan yang semakin kecil mengakibatkan kondisi hutan alam yang tersisa mengalami kerusakan dan terfragmentasi. Hal ini sesuai dengan (Laurance 2005) Konfigurasi struktur landskap hutan berubah seiring dengan hutan yang tersisa terfragmentasi menjadi beberupa fragment (patch) hutan yang lebih kecil. Kondisi hutan alam yang
0 50000 100000 150000 200000 250000
1995 2005 2015
lua s a re a pa tc h ( ha ) Tahun besitang lepan wampu
(29)
tersisa mengalami kerusakan dan terfragmentasi dalam luasan yang kecil sehingga tidak akan mampu lagi menghasilkan fungsi yang optimal.
Patch density (Kepadatan Patch) yang merupakan jumlah patch hutan per 100 ha dilihat dari nilai matrik lanskap yang didapat menunjukkan bahwa patch density cenderung mengalami kenaikan pada periode 2005 – 2015 (Gambar 7). Sesuai dengan total area yang dimiliki patch, patch density yang tertinggi peningkatannya terjadi pada DAS Wampu dan yang terendah ada di kawasan hutan DAS Lepan. Terjadinya peningkatan patch density di tiap periode sesuai dengan (Samsuri et al. 2014) Fragmentasi hutan tropis memicu penurunan fungsi konservasi biodiversitas. Hutan terpisah menjadi bagian-bagian hutan yang luasannya kecil dan cenderung meningkat jumlah patch hutannya.
Gambar 7.Grafik Kepadatan Patch (Patch Density)
Proximity index yang merupakan kecendrungan patch menjadi relatif terisolasi dari patch lainnya hampir di tiap-tiap DAS mengalami penurunan selama 1995-2005 (Gambar 8). Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap kekayaan spesies dari komunitas, tren populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0
1995 2005 2015
K e ra p a ta n p a ct h Tahun besitang lepan wampu
(30)
Fragmentasi yang merupakan proses pemecahan habitat, ekosistem atau tipe landuse menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong-kantong (patches) habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies yang ada. Hal ini sesuai dengan (haila 2002: Fahrig 2003) jika hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secarah terpisah, maka hilangnya habitat memiliki dampak lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies daripada fragmentasi.
Gambar 8. Grafik Proximity Index
Selain itu, contiguity index yang merupakan ukuran spasial keterhubungan patch hutan secara individu dengan patch hutan lainnya yang terjadi pada area tiap DAS hampir keselurahannya cenderung mengalami penurunan pada periode 1995-2015 (Gambar 9). Sedangkan pada kenyataanya semakin tinggi nilai contiguity index nya semakin besar keterhubungannya. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan populasi dan kebutuhan lahan untuk dialihfungsikan kegunaanya. Hal ini menyebabkan struktur lanskap berubah seiring hutan sering
0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000
1995 2005 2015
P ro x im it y I n d e x Tahun besitang lepan wampu
(31)
ditebang dan digantikan oleh tanaman pertanian atau untuk penggunaan lain. Fragmentasi hutan terjadi karena adanya penghilangan bagian besar dari vegetasi dengan meninggalkan bagian kecil yang terpisah satu dengan lainnya.
Fragmentasi menjadi ancaman terbesar bagi ekosistem hutan tropis karena fragmentasi memicu penurunan fungsi-fungsi ekosistem termasuk fungsi hidroorologi dan konservasi biodiversitas.
Gambar 9. Grafik Ukuran Spasial Keterhubungan Patch Hutan secara Individu dengan Patch Hutan Lainnya (Contiguity Index)
Fragmentasi yang terjadi di daerah aliran sungai sangat berpengaruh terhadap ekosistem yang ada di dalamnya. Bentuk dari terjadinya fragmentasi hutan adalah terjadinya erosi dan banjir serta pendangkalan sungai. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS yang telah terfragmentasi hal ini sesuai (Asdak,1995) kerusakan sumberdaya hutan yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan hidup daerah aliran sungai (DAS) seperti tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai dan waduk serta saluran irigasi.
Berdasarkan nilai hasil rescaling skor fragmentasi, tingkat fragmentasi dibagi menjadi 5 kelas (Gambar 10). Tingkat fragmentasi sangat tinggi berada di
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45
1995 2005 2015
C o n ti g u it y I n d e x Tahun besitang lepan wampu
(32)
kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) Lepan. Hulu DAS Lepan merupakan salah satu daerah aliran sungai yang kawasan hutannya semakin berkurang. Daerah Aliran Sungai bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, tetapi pada kenyataan yang ada, bagian hulu DAS Lepan mengalami tingkat fragmentasi hutan yang tinggi. Fragmentasi yang terjadi di hulu DAS Lepan ini sangat mempengaruhi kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan yang apabila terganggu akan dapat merusak kestabilan ekosistem yang ada.
Dan tingkat fragmentasi terendah berada pada kawasan DAS Wampu. Luas area patch DAS Wampu yang masih tinggi mengindikasikan bahwa kawasan hutannya masih rapat. Keterhubungan antar patch juga masih tinggi, sehingga tingkat fragmentasi yang terjadi juga masih sangat rendah. Topografi kawasan hutan DAS Wampu yang cenderung rapat di daerah punggung bukit menyebabkan kawasan hutan ini sulit diakses oleh masyarakat sehingga tidak terjadi alih fungsi lahan. Perubahan lahan menjadi area terbuka serta meningkatnya pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab meningkatnya fragmentasi hutan.
Perubahan struktur dari lanskap hutan di DAS Wampu, DAS Lepan dan DAS Besitang menyebabkan peningkatan fragmentasi. Perlu adanya upaya serius untuk menanggulanginya. Hal ini sesuai (Lamb et al. 2005) pengendalian fragmentasi lanskap hutan memerlukan strategi pengelolaan lanskap hutan yang tersisa. ITTO pada tahun 2005 menyatakan bahwa lanskap hutan dunia tinggal 45 % dimana sebanyak 18 persen diantaranya merupakan lanskap hutan alami.
(33)
Lanskap hutan yang tersisa umumnya terpisah dalam blok-blok kecil dan dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan terutama hutan hujan tropis telah mengurangi sumber daya global biologi, dan berdampak pada terjadinya kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kerusakan hutan.
Fragmentasi hutan yang terjadi di kawasan hutan DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan, mengakibatkan kawasan ini telah kehilangan hutan alamnya seluas 57,647 ha. Hal ini cukup mengkhawatirkan, bukan saja karena akibatnya yang semakin luas bagi sendi-sendi kehidupan manusia, yaitu meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir serta kekeringan tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati yang juga merupakan penyangga kehidupan manusia.
Ketika hutan alam hilang dan digantikan oleh tanaman, mungkin masih dapat berfungsi sebagai habitat satwaliar dan biodiversitas hutan lainnya, meskipun kualitasnya sudah pasti menurun. Perkebunan atau pertanian tanaman keras mungkin masih dapar berfungsi sebagai koridor penghubung dua habitat yang terfragmentasi, tetapi alih fungsi lahan sebagai lahan pertanian, perkebunan ataupun sawah akan menjadi penghalang penjelajahan satwa. Pemukiman atau jalan raya yang ramai dengan lalu lalang kendaraan mungkin tidak dapat dilewati sama sekali oleh satwaliar untuk menyeberang ke kantong habitat di sekitarnya.
Penurunan luas patch hutan dari tahun ke tahun dan meningkatnya isolasi habitat, dapat mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi satwa liar. Home range atau daerah jelajah merupakan unsur yang paling utama untuk satwa liar. Hal ini sesuai (Primack et al. 1998) yang berbahaya oleh adanya fragmentasi habitat adalah pengurangan daerah jelajah hewan asli atau dikenal dengan home
(34)
range kebanyakan satwa liar, baik secara individu atau kelompok, harus memiliki daerah jelajah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan memperhatikan pentingnya keutuhan dan kesinambungan habitat bagi konservasi hutan, maka para pengambil keputusan dalam penataan ruang khususnya dan pembangunan pada umumnya harus mempertimbangkan dampak dari fragmentasi hutan, yang mungkin tidak tampak dalam jangka pendek tetapi memberikan pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang ini yang sering tidak disadari oleh para pengambil keputusan dalam penataan ruang.
Kegiatan dalam pembangunan yang melibatkan kawasan hutan harus benar-benar mempertimbangkan aspek ekologi dalam skala lanskap yang luas dengan memperhatikan kekompakkan dan kesinambungan habitat. Dengan perkataan lain, jika ada kegiatan pembangunan yang akan mengakibatkan pemecahan habitat besar menjadi beberapa habitat yang lebih kecil, maka harus dibuat koridor yang menjadi penghubung antar habitat-habitat kecil tersebut dan habitat asal.
Hutan yang memiliki peranan paling besar dalam proses terjadinya fragmentasi, salah satunya adalah sebagai tempat alternatif atau penyangga habitat satwa liar dan jenis jenis vegetasi yang ada di dalamnya, maka upaya yang harus dilakukan adalah menjaga hutan tetap lestari dan tetap memperhatikan nilai ekologi didalamnya. Dalam rangka konservasi, sangat diperlukan untuk merestorasi fungsi lanskap hutan DAS Besitang, DAS Lepan dan DAS Wampu untuk menurunkan tingkat fragmentasi. Lanskap hutan dengan indeks fragmentasi tinggi umumnya mendapatkan gangguan lebih tinggi sehingga harus mendapatkan prioritas dalam restorasi lanskap hutan.
(35)
(36)
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil skor matriks lanskap, fragmentasi hutan mengalami peningkatan pada tahun 1995 sampai 2015 di DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan. Fragmentasi tertinggi terjadi di kawasan hulu DAS Lepan dan terendah berada di kawasan DAS Wampu.
Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan dalam kebijakan penentuan tapak restorasi dan memberikan kemudahan dalam perencanaan tapak restorasi.
(37)
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi LanskapEkologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh kelimpahan dan distribusi organisme. Ekologi lanskap juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh pola (pattern) dan proses, dimana pola di sini khususnya mengacu pada struktur lanskap. Dengan demikian secara lengkap ekologi lanskap dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruhi (memproses dan membentuk) kelimpahan dan distribusi organisme. Definisi lain menyebutkan, ekologi lanskap merupakan sub disiplin ekologi dan geografi yang khusus mempelajari variasi spasial dalam lanskap yang mempengaruhi proses-proses ekologi seperti distribusi, aliran energi, materi dan individu dalam lingkungannya (yang pada gilirannya mungkin mempengaruhi ditribusi elemen-elemen lanskap itu sendiri) (Forman, 1995).
Heterogenitas merupakan ukuran bagaimana bagian-bagian suatu lanskap berbeda satu sama lain. Ekologi lanskap melihat pada bagaimana struktur spasial mempengaruhi kelimpahan organisme pada skala lanskap, serta perilaku dan fungsi lanskap secara keseluruhan. Hal ini berarti juga mempelajari pola, atau keteraturan internal lanskap, proses atau operasi kontinu dari fungsi organisme (Turner, 1989).
Fragmentasi Hutan
Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi fragmen-fragmen (patches) habitat yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari fragmen habitat yang satu ke habitat yang lainnya. Fragmentasi
(38)
hutan terjadi jika hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok lebih kecil karena pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Fragmentasi menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar. Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adaptasinya telah terbentuk selama ribuan tahun. Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi kantong-kantong (patches) habitat yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari kantong habitat yang satu ke yang lainnya. Fragmentasi dapat disebabkan oleh penghilangan vegetasi pada areal yang luas atau oleh jalan yang memisahkan habitat bahkan oleh jaringan kabel listrik (Rusak & Dobson, 2007).
Fragmentasi hutan telah memicu terjadinya kerusakan hutan tropis dunia. Kerusakan hutan menjadi isu global karena pengaruhnya yang signifikan terhadap perubahan iklim dunia. Kerusakan hutan juga telah menurunkan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan sumber kehidupan masyarakat. Pencegahan kerusakan hutan lebih luas akan menurunkan dampak lingkungan terhadap kehidupan manusia. Penataan kembali ekosistem hutan berpotensi mengembalikan fungsi ekosistem yang telah rusak. Pengembalian fungsi ekosistem hutan melalui restorasi mutlak diperlukan sebagai upaya untuk menata kembali ekosistem yang rusak. Manusia dalam pengembangan budidaya pertanian, penebangan hutan alam dan konversi lahan telah mengarah ke terjadinya fragmentasi hutan alam, memperkecil kekompakan luas kekompakan hutan alam dan meningkatkan keterpisahan suatu patches terhadap kelompok hutannya. Kondisi ini menghasilkan perubahan lanskap, dan mengancam
(39)
komunitas di dalamnya yang sensitif terhadap semakin mengecilnya habitat yang kompak (Nikolakaki 2004).
Seiring dengan itu, perkembangan teknologi GIS (Geographical Information Systems) menyediakan berbagai metode analisis untuk pengelolaan lanskap. Meningkatnya perhatian pada kepunahan keanekaragaman hayati telah mendorong para pengelola lahan untuk mencari cara terbaik untuk mengelola lanskap pada berbagai skala spasial dan temporal. Para ahli ekologi satwaliar menjadi semakin menyadari bahwa variasi habitat dan pengaruhnya pada proses-proses ekologi dan populasi satwa vertebrata terjadi pada banyak skala spasial (Wiens, 1989a).
Kerusakan hutan di seluruh dunia merupakan faktor utama perubahan struktur lanskap. Kedua komponen lanskap dipengaruhi oleh penggundulan hutan. Komposisi lanskap berubah seiring hutan ditebang dan digantikan oleh tanaman pertanian atau untuk penggunaan lain. Konfigurasi berubah seiring dengan hutan yang tersisa terfragmentasi menjadi beberupa fragmen (patch) hutan yang lebih kecil. Kondisi hutan alam yang tersisa mengalami kerusakan dan terfragmentasi dalam luasan yang kecil sehingga tidak akan mampu lagi menghasilkan fungsi yang optimal. Fungsi hutan dapat dikembalikan melalui kegiatan restorasi pada tapak-tapak hutan yang mengalami kerusakan. Upaya pengembalian fungsi hutan telah dilakukan untuk mengkonservasi dan mengelola kembali hutan yang telah terdegradasi namun belum mempertimbangkan fungsi ekosistem lanskap hutan. Fragmentasi hutan terjadi karena adanya penghilangan bagian besar dari vegetasi dengan meninggalkan bagian kecil yang terpisah satu dengan yang lainnya. Fragmentasi habitat menjadi ancaman terbesar bagi ekosistem hutan tropis.
(40)
Bagian hutan terpisah di lanskap yang didominasi oleh kehidupan manusia cenderung dibawah satu hektar luasannya (Laurance 2005).
Hal ini berdampak utama pada biodiversitas, meningkatkan isolasi habitat, spesies tumbuhan dan fauna dalam bahaya, serta merubah dinamika populasi spesies. Fragmentasi hutan tropis memicu penurunan fungsi-fungsi ekosistem termasuk fungsi hirdroorologi dan fungsi konservasi biodiversitas. Hutan terpisah menjadi bagian-bagian hutan yang luasannya kecil dan cenderung meningkat jumlah patch hutannya. Keterpisahan hutan menghambat aliran material dan pergerakan hidupan liar di dalamnya, sehingga memicu penurunan biodiversitas. Pengurangan fragmentasi dan peningkatan konektivitas dapat mencegah kehilangan keanekaragaman hayati. Pengendalian fragmentasi lanskap hutan
memerlukan strategi pengelolaan lanskap hutan yang tersisa (Samsuri et al. 2014a).
Tipe penutupan lahan hutan dianalisis menggunakan Fragstat 3.3, untuk mendapatkan matrik lanskap hutan (McGarigal 1995). Matrik lanskap untuk menentukan indeks konektivitas lanskap hutan adalah keterhubungan antara patch hutan (connectan) dan luas serta kekompakan patch hutan (radius of gyration), sedangkan matrik lanskap yang digunakan untuk menentukan indeks fragmentasi adalah luas patch, jumlah patch, kepadatan patch, indeks contiguity, dan indeks proximity (Tabel 2) (McGarigal 1995; Fahrig 2003).
Matrik lanskap yang digunakan dalam menentukan tingkat fragmentasi lanskap hutan adalah area (AREA), patch density (PD), proximity (PROX), dan indeks contiguity (CONTIG). Area merupakan luas area patch (m2), dibagi dengan 10.000 (dikonversi hektar). Patch density adalah jumlah patch hutan per
(41)
100 ha. Indeks contiguity (CONTIG) adalah ukuran spasial keterhubungan patch hutan secara individu dengan patch hutan lainnya. Semakin tinggi nilai semakin besar keterhubungannya. Proximity index kecenderungan patch menjadi relatif terisolasi (misalnya jarak) dari patch lain pada kelas ekologi yang berdekatan atau serupa.
Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe landuse menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil dan fragmentasi juga merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap yang ada. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong-kantong (patches) habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies yang ada (Wiens 1990).
Fragmentasi penting mendapat perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies dari komunitas, trend populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Morrison et al. 1992).
Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies dapat mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya
(42)
spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).
Proses Fragmentasi
Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat (habitatloss), sebaliknya hilangnya habitat dapat dipandang sebagai akibat fragmentasi. Tetapi fragmentasi dapat disertai hilangnya habitat (berkurangnya jumlah) seiring dengan pemecahan atau pembagian kantong habitat besar menjadi kantong-kantong habitat berukuran kecil dan lebih. Jika hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah, maka hilangnya habitat memiliki dampak lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies daripada fragmentasi. Namun, karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi bersamaan maka sangat sulit untuk menentukan mana yang lebih penting bagi perubahan habitat (Haila 1999).
Fragmentasi bekerja dalam empat cara ketika hilangnya habitat dan fragmentasi digabung untuk menggambarkan dan mengkategorikan prosesnya (Franklin et al. 2002; Fahrig 2003) : (1) habitat hilang tanpa fragmentasi; (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil; (3) pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil tanpa kehilangan habitat; dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil serta penurunan kualitas habitat. Fragmentasi habitat merupakan satu aspek dari tahapan proses yang secara spasial dan temporal mengubah habitat dan lanskap yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami maupun antropogenik. Tetapi, perubahan habitat tidak dapat dihindari karena tidak ada habitat atau lanskap yang tetap (Forman, 1995).
(43)
Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Keberadaan DAS (Daerah Aliran Sungai) sangat penting untuk terus dipantau keadaannya dengan maksud untuk menjaga keberlangsungan kawasan tersebut sebagai daerah penyangga bagi debit sungai yang melaluinya. Sumberdaya alam berupa lahan bersifat terbatas dan cenderung akan mengalami penurunan. Karena sifatnya yang langka dan terbatas ini, maka pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat perorangan sebagai stakeholder, akan mengalami kendala dalam mengambil keputusan tentang pemanfaatan lahan secara optimal. Pengambilan keputusan dalam pemanfaatan penggunaan lahan di DAS harus dilakukan secara teliti dan hati-hati berdasarkan data yang akurat dan teknik yang tepat agar pola penggunaan lahan yang dilakukan bersifat optimal dan efisien (Sulistiyono, 2008).
Daerah Aliran Sungai bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Daerah aliran sungai bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada
(44)
prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau (Effendi, 2008).
Teknologi Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Penginderaan jarak jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Tujuan penginderaan jauh ialah untuk mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Informasi tentang objek disampaikan pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasaranya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh (Wolf, 1993).
Penginderaan jauh dapat digunakan untuk analisis perhitungan beberapa sifat fisik antara lain arah lereng dan kemiringan lereng dari peta Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) atau dari interpolasi kontur menjadi peta Digital Elevation Model (DEM). Dengan data DEM juga dapat dianalisis topografi di suatu DAS dan kelas kemiringan lereng masing-masing satuan lahan. Karakteristik kondisi fisik suatu lahan DAS didominasi oleh faktor topografi di suatu wilayah dan kelas kemiringan lereng. Dimana DAS yang didominasi kemiringan lereng yang curam dan topografi perbukitan atau pegunungan maka akan berpotensi terhadap kekritisan suatu DAS. Parameter tersebut dari
(45)
kemiringan lereng, topografi dan ketinggian tempat suatu wilayah dapat dihitung atau dianalisis dengan penginderaan jauh (Harjadi et al, 2007).
Sistem Informasi Geografis merupakan suatu sistem yang berorientasi operasi berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi geografis secara konvesional. Operasi ini melibatkan (a) perangkat komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang mampu menangani data mencakup (input), (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) manipulasi dan analisis, (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronoff, 1989).
Sistem informasi geografis mempunyai kemampuan analisis terhadap data spasial untuk keperluan manipulasi maupun permodelan. Fungsi analisis ini dijalankan memakai data spasial dan data atribut. Sistem ini menjawab berbagai pertanyaan yang dikembangkan dari data yang ada menjadi suatu persoalan yang relevan. Data spasial dan sistem informasi geografis hanya merupakan model penyajian yang merefleksikan berbagai aspek realitas dunia nyata, sedangkan untuk meningkatkan peran data dalam pengambilan keputusan mengenai kenyataan tersebut, suatu model harus ditampilkan untuk menggambarkan obyek –obyek termasuk manyajikan hubungan antar obyek (Arifin et al, 2006).
Teknologi yang digunakan dalam sistem informasi geografis memperluas penggunaan peta, model-model kartografi dan statistik spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk pengembangan model medan kompleks dan pengujian masalah bentang lahan serta masalah penggunaan lahan. Saat ini penggunaan SIG yang paling umum adalah untuk
(46)
pembuatan peta tematik kota dan memberikan revisi peta-peta tersebut (Howard, 1996).
Sistem Satelit Landsat
Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumberdaya bumi yang dikembangkan NASA dan Departemen dalam Negeri Amerika Serikat. Satelit ini terbagi dalam dua generasi yakni generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai 3. Satelit generasi kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MMS dan sensor Thematic Mapper (TM). Kelebihan sensor TM (Tabel 1) adalah menggunakan tujuh saluran, enam saluran terutama dititik beratkan untuk studi vegetasi dan satu saluran untuk studi geologi dengan 7 band di dalamnya.Citra pengindraan jauh ini sangat bermanfaat untuk pemetaan tutupan lahan karena selain mempemudah pengklasifikasian lahan juga mempermudah dalam suatu lahan atau areal tertentu.
Tepatnya tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit Landsat Data continuity Missioan (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan produk citra open acces sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa. NASA lalu menyerahkan satelit LDCM kepada USGS tersebut. Satelit ini kemudian dikenal sebagai Landsat 8. Pengelolaan arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and Science (EROS) Center.
Sebenarnya Landsat 8 lebih cocok sebagai satelit dengan misi melanjutkan landsat 7 daripada disebut sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru pula. Ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip dengan Landsat 7, baik resolusinya (spasial, temporal, spectral), metode korelasi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa. Hanya saja ada beberapa tambahan yang
(47)
menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7 seperti jumlah band, rentang spectrum gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit (rentang nilai digital number) dari tiap piksel citra. Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermel Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1- 9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan landsat 7 (Campell,2013) Tabel 1. Saluran Citra Landsat TM ( Lillesand dan Kiefer, 1979)
Saluran
Kisaran
Gelombang (µm) Kegunaan Utama
1
0,45 – 0,52
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.
2 0,52 – 0,60
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat
3 0,63 – 0,69
Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil
4 0,76 – 0,90
Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air.
5 1,55 – 1,75
Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah.
6 2,08 – 2,35
Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.
7 10,40 – 12,50
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal.
8 Pankromatik
Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang
(48)
PENDAHULUAN
Latar BelakangDeforestasi diduga sebagai penyebab terjadinya fragmentasi hutan dan kerusakan hutan. Fragmentasi dan kerusakan hutan tersebut telah mengurangi luas hutan, menimbulkan edge forest dan meningkatkan isolasi hutan. Hal ini berdampak pada penurunan populasi dan produktivitas hutan dalam menghasilkan jasa ekosistem serta menyebabkan perubahan proses-proses dalam ekosistem hutan, yang memicu penurunan populasi dan produktivitas ekosistem itu sendiri.
Perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan yang baik terutama melakukan analisis tingkat kerawanan maupun kekritisan suatu lahan, khususnya hutan diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Untuk itu, diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai oleh pengambil keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Akurasi tinggi, kebutuhan akan data terkini, dan cakupan areal yang luas mengenai suatu kondisi lahan dapat direalisasikan dengan analisis Sistem Informasi Geografis, Penginderaan Jarak Jauh dan Global Positioning System (GPS) yang merupakan tiga teknologi spasial yang sangat berguna untuk memantau tingkat kerawanan kerusakan hutan.
Kawasan hutan DAS Wampu, DAS Besitang dan DAS Lepan merupakan salah satu kawasan hutan tropis yang tersisa di Sumatera Utara. Ekosistem hutan ini merupakan habitat dari berbagai jenis satwa dan flora tropis asli Sumatera. Selain itu sebagai pengatur siklus hidrologi di bagian timur Sumatera Utara. Daerah Aliran Sungai sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai
(49)
dan keluar pada suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu DAS secara rasioanal untuk mencapai tujuan menjaga stabilitas siklus hidrologi, disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin, sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun.
Kerusakan sumberdaya hutan yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai (DAS) seperti tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai dan waduk serta saluran irigasi. Tekanan yang besar terhadap sumber daya alam oleh aktivitas manusia, salah satunya dapat ditunjukkan adanya perubahan penutupan lahan begitu cepat
Ekosistem hutan tersisa mengalami tekanan baik konversi hutan, fragmentasi hutan maupun akibat kerusakan hutan. Diperlukan usaha untuk memperbaiki fungsi ekosistem hutan restorasi lanskap. Perencanaan tapak rehabilitasi dan restorasi sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan aktivitas perbaikan ekosistem.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat fragmentasi lanskap hutan di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan, Sumatera Utara.
(50)
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan dalam kebijakan penentuan tapak restorasi dan memberikan kemudahan dalam perencanaan tapak restorasi.
(51)
Kerangka Garis Besar Penelitian
Alur kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Garis Besar penelitian
Citra Satelit tahun 2005 Citra Satelit tahun
1995
Citra Satelit tahun 2015
Peta Tutupan Lahan 2015 Peta Tutupan Lahan
2005 PetaTutupan Lahan
1995
Klasifikasi
Analisis Landskap
Matriks Lanskap
Analisis Tingkat Fragmentasi
(52)
ABSTRACT
PRADIPTA WIJAYA:“FRAGMENTATION ANALYSIS OF FOREST LANDSCAPE IN WAMPU WATERSHED, BESITANG WATERSHED, LEPAN WATERSHED, NORTH SUMATERA” Guided By SAMSURI and ANITA ZAITUNAH
Deforestation has caused forest fragmentation and degradation. Fragmentation and degradation of the forest have reduced the forest area and edge forest but increasead the isolation of the forest. The damaged of the forest resources that occurs has led to the disturb of watershed environmental balance. This research aims to determine the level of fragmentation in Wampu Watershed, Besitang Watershed, Lepan Watershed, North Sumatera that is calculated based on the value of the score landscape metrics. The research is used Landsat image 5 of 1995 and 2005 and Landsat 8 of 2015 with supervised classification.
The research shows that there are 6 clases of land cover in Wampu Watershed, Besitang Watershed, Lepan Watershed such as the bare land, forest, mixed garden, settlements, plantation estate and water body. Based on the scored for the landscape metrics areas, patches density, proximity and contiguity, forest fragmentation has increased of 1995 to 2015. The highest level of fragmentation occurs in Lepan Watershed and the very low level of fragmentation occurs in Wampu Watershed.
Keyword: watershed, Landsat image, land cover, fragmentation, landscape metrics
(53)
ABSTRAK
PRADIPTA WIJAYA: “ANALISIS FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN DI DAS WAMPU, DAS BESITANG, DAS LEPAN, SUMATERA UTARA” Dibimbing oleh SAMSURI dan ANITA ZAITUNAH.
Deforestasi diduga sebagai penyebab terjadinya fragmentasi hutan dan kerusakan hutan. Fragmentasi dan kerusakan hutan tersebut telah mengurangi luas hutan, menimbulkan edge forest dan meningkatkan isolasi hutan. Kerusakan sumberdaya hutan yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai (DAS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat fragmentasi hutan yang ada di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan, Sumatera Utara yang dihitung berdasarkan nilai matriks lanskap. Penelitian menggunakan Citra Landsat 5 tahun 1995 dan 2005, dan Landsat 8 tahun 2015 dengan menggunakan klasifikasi terbimbing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 kelas tutupan lahan yang ada di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan yaitu area terbuka, hutan, kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan badan air. Berdasarkan hasil skoring nilai matriks lanskap area, patch density, proximity dan contiguity, fragmentasi hutan meningkat dari periode 1995 sampai 2015. Tingkat fragmentasi tertinggi terjadi di hulu DAS Lepan, dan tingkat fragmentasi sangat rendah terjadi di DAS Wampu. Kata Kunci : Daerah Aliran Sungai, citra Landsat, tutupan lahan, fragmentasi,
(54)
ANALISIS FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN
DI DAS WAMPU, DAS BESITANG, DAS LEPAN,
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh :
PRADIPTA WIJAYA 121201142
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(55)
ANALISIS FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN
DI DAS WAMPU, DAS BESITANG, DAS LEPAN,
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh :
PRADIPTA WIJAYA
121201142/MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(56)
(57)
ABSTRACT
PRADIPTA WIJAYA:“FRAGMENTATION ANALYSIS OF FOREST LANDSCAPE IN WAMPU WATERSHED, BESITANG WATERSHED, LEPAN WATERSHED, NORTH SUMATERA” Guided By SAMSURI and ANITA ZAITUNAH
Deforestation has caused forest fragmentation and degradation. Fragmentation and degradation of the forest have reduced the forest area and edge forest but increasead the isolation of the forest. The damaged of the forest resources that occurs has led to the disturb of watershed environmental balance. This research aims to determine the level of fragmentation in Wampu Watershed, Besitang Watershed, Lepan Watershed, North Sumatera that is calculated based on the value of the score landscape metrics. The research is used Landsat image 5 of 1995 and 2005 and Landsat 8 of 2015 with supervised classification.
The research shows that there are 6 clases of land cover in Wampu Watershed, Besitang Watershed, Lepan Watershed such as the bare land, forest, mixed garden, settlements, plantation estate and water body. Based on the scored for the landscape metrics areas, patches density, proximity and contiguity, forest fragmentation has increased of 1995 to 2015. The highest level of fragmentation occurs in Lepan Watershed and the very low level of fragmentation occurs in Wampu Watershed.
Keyword: watershed, Landsat image, land cover, fragmentation, landscape metrics
(58)
ABSTRAK
PRADIPTA WIJAYA: “ANALISIS FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN DI DAS WAMPU, DAS BESITANG, DAS LEPAN, SUMATERA UTARA” Dibimbing oleh SAMSURI dan ANITA ZAITUNAH.
Deforestasi diduga sebagai penyebab terjadinya fragmentasi hutan dan kerusakan hutan. Fragmentasi dan kerusakan hutan tersebut telah mengurangi luas hutan, menimbulkan edge forest dan meningkatkan isolasi hutan. Kerusakan sumberdaya hutan yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai (DAS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat fragmentasi hutan yang ada di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan, Sumatera Utara yang dihitung berdasarkan nilai matriks lanskap. Penelitian menggunakan Citra Landsat 5 tahun 1995 dan 2005, dan Landsat 8 tahun 2015 dengan menggunakan klasifikasi terbimbing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 kelas tutupan lahan yang ada di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan yaitu area terbuka, hutan, kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan badan air. Berdasarkan hasil skoring nilai matriks lanskap area, patch density, proximity dan contiguity, fragmentasi hutan meningkat dari periode 1995 sampai 2015. Tingkat fragmentasi tertinggi terjadi di hulu DAS Lepan, dan tingkat fragmentasi sangat rendah terjadi di DAS Wampu. Kata Kunci : Daerah Aliran Sungai, citra Landsat, tutupan lahan, fragmentasi,
(59)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 25 Juni 1994 dari pasangan Bapak Syafri Wijaya dan Ibu Parni Nasution. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pembelajaran formal penulis dimulai dari SD Budisatria Medan dan lulus tahun 2006. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 17 Medan sampai lulus pada tahun 2009. Pendidikan SMA di tempuh penulis di SMA Negeri 3 Medan hingga lulus pada tahun 2012. Universitas Sumatera Utara menjadi tujuan penulis menyelesaikan pendidikan tinggi. Melalui jalur Ujian Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMBPTN) 2012 penulis diterima menjadi mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan.
Penulis selama studinya aktif dalam kegiatan organisasi Rain Forest Community Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara dengan menjabat sebagai Sekretaris Umum dalam satu periode (2014-2015). Penulis juga aktif dalam Organisasi lainnya seperti Koalisi Pemuda Hijau (KOPHI) Sumatera Utara dan Organisasi Ketimbang Ngemis Medan (KNM). Prestasi yang pernah diraih adalah menjadi asisten Praktikum Silvika, asisten Praktikum Ekologi Hutan, asisten Praktikum Hidrologi Hutan, dan asisten Praktik pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) tahun 2015. Penulis melakukan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat pada tahun 2014 serta kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Balai Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara tahun 2016.
(60)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Judul dari skripsi ini adalah “Analisis Fragmentasi Lanskap Hutan di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan, Sumatera Utara”.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah.
Medan, Agustus 2016
Pradipta Wijaya
(61)
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang diberikan berupa doa, dukungan dan bimbingan, sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Syafri Wijaya dan Ibu Parni Nasution, Abang Cipta Wijaya serta Adik Sukma Wijaya yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang sangat besar serta turut mendoakan untuk keberhasilan penulis. 2. Bapak Dr. Samsuri, S.Hut., M,Si selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu
Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengoreksi, memberikan saran, arahan dan kritik kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian skripsi.
3. Teman-teman (TIM DAS 2012) Rizky Ayu, Warren Meliala, Amaliyah Putri, Edra Septian, Fachry Anggawinoto, Reza Azroi, Ananda Ichlasul atas kerjasamanya selama penelitian dilapangan hingga skripsi ini selesai. Support dan dorongan dari Mora Harahap, Ervi Ginting, Juang Siregar, Sani Nasution, dan Chyntya Lestari yang selalu menemani selama merampungkan skripsi ini. Dan seluruh teman-teman MNH, BDH dan THH 2012 lainnya atas bantuannya dalam bentuk apapun.
(62)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 3
Kerangka Garis Besar Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Lanskap ... 5
Fragmentasi Hutan ... 5
Proses Fragmentasi ... 10
Ekosistem Daerah Aliran Sungai ... 11
Teknologi Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis . 12 Sistem Satelit Landsat ... 14
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
Alat dan Bahan Penelitian ... 17
Prosedur Penelitian ... 17
Pengumpulan Data ... 17
Pengambilan Data Lapangan ... 17
Pengelolaan Citra ... 18
Analisis Fragmentasi ... 22
Skoring Fragmentasi ... 24
Rescaling Skor ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tutupan Lahan ... 26
(63)
Klasifikasi Tutupan Lahan ... 26 Fragmentasi Lanskap Hutan... 32 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 40 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA
(64)
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Saluran Citra Landsat TM. ... 15 2. Skor masing-masing sub Faktor Indeks Fragmentasi. ... 25 3. Distribusi luas tipe tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra ... 28
(65)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Garis Besar Penelitian ... 4
2. Peta Lokasi Penelitian ... 16
3. Peta Tutupan Lahan Tahun 1995 ... 29
4. Peta Tutupan Lahan Tahun 2005 ... 30
5. Peta Tutupan Lahan Tahun 2015 ... 31
6. Grafik Luas Area Patch Hutan... 32
7. Grafik Kepadatan Patch (Patch Density)... 33
8. Grafik Proximity Index... 34
9. Grafik Contiguity Index ... 35
(1)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Judul dari skripsi ini adalah “Analisis Fragmentasi Lanskap Hutan di DAS Wampu, DAS Besitang, DAS Lepan, Sumatera Utara”.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah.
Medan, Agustus 2016
Pradipta Wijaya
(2)
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang diberikan berupa doa, dukungan dan bimbingan, sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Syafri Wijaya dan Ibu Parni Nasution, Abang Cipta Wijaya serta Adik Sukma Wijaya yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang sangat besar serta turut mendoakan untuk keberhasilan penulis. 2. Bapak Dr. Samsuri, S.Hut., M,Si selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu
Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengoreksi, memberikan saran, arahan dan kritik kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian skripsi.
3. Teman-teman (TIM DAS 2012) Rizky Ayu, Warren Meliala, Amaliyah Putri, Edra Septian, Fachry Anggawinoto, Reza Azroi, Ananda Ichlasul atas kerjasamanya selama penelitian dilapangan hingga skripsi ini selesai. Support dan dorongan dari Mora Harahap, Ervi Ginting, Juang Siregar, Sani Nasution, dan Chyntya Lestari yang selalu menemani selama merampungkan skripsi ini. Dan seluruh teman-teman MNH, BDH dan THH 2012 lainnya atas bantuannya dalam bentuk apapun.
(3)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 3
Kerangka Garis Besar Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Lanskap ... 5
Fragmentasi Hutan ... 5
Proses Fragmentasi ... 10
Ekosistem Daerah Aliran Sungai ... 11
Teknologi Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis . 12 Sistem Satelit Landsat ... 14
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
Alat dan Bahan Penelitian ... 17
Prosedur Penelitian ... 17
Pengumpulan Data ... 17
Pengambilan Data Lapangan ... 17
Pengelolaan Citra ... 18
Analisis Fragmentasi ... 22
Skoring Fragmentasi ... 24
Rescaling Skor ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tutupan Lahan ... 26
(4)
Klasifikasi Tutupan Lahan ... 26 Fragmentasi Lanskap Hutan... 32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 40 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(5)
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Saluran Citra Landsat TM. ... 15 2. Skor masing-masing sub Faktor Indeks Fragmentasi. ... 25 3. Distribusi luas tipe tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra ... 28
(6)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Garis Besar Penelitian ... 4
2. Peta Lokasi Penelitian ... 16
3. Peta Tutupan Lahan Tahun 1995 ... 29
4. Peta Tutupan Lahan Tahun 2005 ... 30
5. Peta Tutupan Lahan Tahun 2015 ... 31
6. Grafik Luas Area Patch Hutan... 32
7. Grafik Kepadatan Patch (Patch Density)... 33
8. Grafik Proximity Index... 34
9. Grafik Contiguity Index ... 35