MEMPERTAHANKAN PERS DENGAN ETIKA JURNALISME
1
Oleh: Bambang Suteng Sulasmono
2
1. Pengantar : PersMedia Cetak Diprediksi Mati
Prediksi tentang akhir dari persmedia cetak bergema luas di Amerika Serikat pada akhir dekade pertama abad 21. Mengawali artikelnya tentang belum jadi matinya
surat kabar di Amerika Serikat, Marc Edge 2012 menyatakan:
“Predictions that newspapers as a medium would soon go extinct grew in frequency in 2009 after several newspaper companies declared
bankruptcy and a number of U.S. dailies closed. Such predictions had
been made before, dating to the advent of radio in the 1920s, and they increased in frequency and certainty after the Internet emerged in the
1990s. Circulation declines that began in the mid-1990s at many dailies
and began to accelerate in 2005 gave increased credibility to such predictions. More ominously for newspapers, their print advertising
revenues also started to decline precipitously that year. From 2006 to 2011, U.S. print advertising revenues fell by 55 percent. The growth of
online advertising revenue, which had been rapid, slowed with the
recession and came nowhere near to making up the difference ”
.
3
Kutipan di atas menunjukkan bahwa prediksi tentang akan matinya perssurat kabar sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1920an ketika radio muncul sebagai wahana
komunikasi massa, dan semakin meningkat kekhawatiran itu dengan munculnya internet di tahun 1990an. Penurunan sirkulasi yang dialami oleh beberapa surat kabar
1
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Program Studi Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana bekerjasama
dengan Monumen Pers Nasional, dengan tema: Eksistensi Pers Sampai Kapan? Kamis 12 Maret 2015.
2
Dosen Program S2Magister Manajemen Pendidikan dan S1 PPKn-FKIP UKSW
3
Untuk meyakinkan pembaca Edge mengacu berbagai pandangan yang dibuat oleh berbagai pihak seperti: Eric
Alterman, “Out of Print: The death and life of the Americ
an Newspaper,” The New Yorker 847, March 31, 2008, 48-59; James Fallows. “How to Save the News,” Atlantic Monthly 3055, June 2010, 44-56; Bob
Garfield, The Chaos Scenario, Nashville: Stielstra , 2009; Walter Isaacson, “How to
Save Your Newspaper,” Time, February 5, 2009, 30-33; Howard Kurtz, “Underweight of Its Mistakes, Newspaper Industry Staggers,” Washington Post, March 1, 2009; Bree
Nordenson, “The Uncle Sam Solution: Can the govenrment help the press? Should it?” Columbia Journalism Review 463, SeptemberOctober 2007, 37-41; Barb Palser,
“Stopping the Presses,” American Journalism Review 343, JuneJuly 2009 44; Rem Rieder, „Fears for the Future,” American Journalism Review 313, JuneJuly 2009 4;
Richard Rodriguez, “Twilight of the American newspaper,” Harper’s 319, November 2009, 30; Gabriel Sherman, “Post Apocalypse,” The New Republic 2411, February 4,
2010, 16- 21; Rachel Smolkin, “Cities Without Newspapers,” American Journalism
Review 313, AprilMay 2009 16- 25; Paul Starr, “Goodbye to the Age of Newspapers
Hello to a New Era of Corruption,” The New Republic 2403, February 3, 2009, 28- 35.
harian mulai pertengahan tahun 1990an dan mengalami percepatan yang di tahun 2005 semakin meningkatkan kredibilitas dari prediksi semacam itu. Lebih buruk lagi
keuntungan media cetak dari iklan juga mulai menurun tajam pada tahun-tahun itu. Dari tahun 2006 sd 2011 keuntungan iklan cetak di AS turun sebesar 55.
Di Indonesia, wacana dan praktik “matinya media cetak” juga terjadi. Kompas
22 Juni 2006, misalnya memuat perbedaan pendapat -tentang apakah media cetak akan mati 20 tahun lagi- antara Asto Subroto Direktur Eksekutif MARS yang mengatakan
bahwa “koran sebagai media cetak akan mati”, dengan Suryopratomo waktu itu masih Pimred Kompas
yang menyatakan bahwa “media cetak format kertas saya kira masih akan tetap bertahan
”. Kegalauan tentang masa depan media cetak terus berlanjut. Global Future Institute misalnya, pada tanggal 28 Agustus 2014 mengadakan seminar yang
diberi tajuk “Prospek Media Massa RI 2015: Peluang dan Hambatan”, yang menurut catatan Adji Subela 2014 dimaksudkan untuk meraba dan memetakan apa dan
bagaimana pers kita tahun depan, apalagi di masa mendatang. Sementara itu ketika mengulas berhenti terbitnya sebuah majalah Ibukota Dian Lestari Ningsih 2014 juga
mengajukan pertanyaan senada: “bagaimana kelangsungan hidup majalah di masa
depan? Mati atau akankah masih tetap hidup? ”
Wacana tentang matinya media cetak mendapat pembenaran jika kita menyimak data yang diajukan oleh Tabrani Yunis 2014, sebagai berikut:
“Banyak media cetak yang tumbuh, bermunculan, terutama setelah bencana tsunami 26 Desember 2004i, misalnya Serambi Indonesia yang
terbit pada tahun 1989 itu memunculkan Pro haba, Harian Rakyat Aceh- Metro Aceh, Aceh Independent, harian Aceh, Pikiran Merdeka,
Media NAD, Mingguan Raja Post, Atjeh Times dan lain-lain. Saat ini hanya Serambi Indonesia dan Pro Haba yang bisa bernafas lega dan
menjadi pilihan mayasarakat Aceh. Selainnya hanya terbit beberapa saat, lalu mati. Nasib serupa juga dialami oleh beberapa tabloid yang
terbit di Aceh, misalnya seperti Aceh Kita, Suwa, Kontras, Beujroh, Modus dan lain-lain, namun yang geliatnya masih terasa dengan
menggigit, hanyalah tabloid Modus. Sementara yang lain mengalami nasib yang mengenaskan, harus mati sebelum berkembang. Selain nasib
surat kabar dan tabloid yang kembang kempis dan tak menentu, nasib serupa juga dialami oleh majalah-majalah yang terbit di Aceh. Ada
banyak majalah yang mewarnai Aceh, misalnya Aceh Magazine, Aceh Kini, Aceh Poin dan lain-lain. Namun semua majalah itu mati dan tidak
pernah muncul lagi hingga kini. Kini hanya ada dua majalah yang terbit di Aceh yang beredar nasional yakni majalah POTRET yang terbit sejak
tahun 2003 dan majalah Anak Cerdas, The Children Magazine yang baru terbit sejak tahun 2013
”.
Sedang untuk wilayah Jateng dan DIY, Supadiyanto 2014 menyajikan data yang kurang lebih sama ketika mengisahkan kasus “gulung tikarnya” Harian Pagi Jogja Raya
milik Jawa Pos Group pada tahun 2011, pergantian nama KR Bisnis menjadi Koran Merapi dan kemudian menjadi Koran Merapi Pembaruan tahun 2012, serta bermetamor-
fosisnya “koran kuning” Meteor menjadi Jateng Pos dan dan Jogyakarta Pos serta Warta Jateng milik Kompas Group menjadi Tribun Jateng pada tahun 2013. Data itu menurut
Supadiyanto 2014 menunjukkan betapa bisnis media cetak di kawasan DIY dan Jateng cukup riskan mengalami fluktuasi tinggi.
Apakah data data di atas, bersama fakta tentang bangkrutnya The New York Times, Newsweek, The Rocky Mountain News, The Seattle Post Intelegencer dan Lee
Enterprises di AS, dan Finacial Times Deutschland FTD dan Berliner Zeitung di Jerman, serta penurunan oplah sebesar 1
– 2 juta eksemplar selama beberapa tahun terakhir yang dialami oleh Yomiuri Shimbun dan Asahi Newspaper di Jepang
Supadiyanto 2014 membenarkan prediksi tentang matinya persmedia cetak sebagaimana tersebut di atas? Ternyata tidak demikian.
2. PersMedia Cetak Tidak Jadi Mati