Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Hama Boktor (Xystrocera festiva) pada Hutan Rakyat Sengon (Falcataria moluccana) di Jawa.

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI
HAMA BOKTOR (Xystrocera festiva) PADA HUTAN RAKYAT
SENGON (Falcataria moluccana) DI JAWA

ARINA NUR FAIDAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur dan Keragaman
Genetik Populasi Hama Boktor (Xystrocera festiva) pada Hutan Rakyat Sengon
(Falcataria moluccana) di Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Arina Nur Faidah
NIM E44100072

ABSTRAK
ARINA NUR FAIDAH. Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Hama Boktor
(Xystrocera festiva) pada Hutan Rakyat Sengon (Falcataria moluccana) di Jawa.
Dibimbing oleh NOOR FARIKHAH HANEDA dan ULFAH JUNIARTI SIREGAR.
Boktor (Xystrocera festiva) merupakan hama sengon yang paling merusak dan
sulit dikendalikan, karena aktivitas makan larva yang menggerek jaringan kayu di dalam
pohon. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari struktur populasi dan keragaman
genetik hama boktor di Jawa menggunakan marka RAPD. Sampel boktor diambil dari 10
pohon terserang di delapan Kabupaten di Jawa, kemudian disensus dengan menghitung
total individu pada setiap pohon dan diukur panjang tubuh serta diameter kepalanya.
Larva yang telah disensus diambil sejumlah 10 larva per pohon dari berbagai ukuran
sebagai sampel untuk analisis DNA. Ektraksi DNA dilakukan dengan metode CTAB
(Cetyl Trimethil Ammonium Bromide), kemudian di PCR (Polimerase Chain Reaction)
menggunakan primer OPP 9, OPP 15 dan OPP 19 untuk mendapatkan fragmen RAPD

(Random Amplified Polymophic DNA). Data hasil skoring dianalisis menggunakan
software POPGENE 32 versi 1.31 dan NTSys versi 2.0. Hasil penelitian menunjukkan
heterogenitas struktur populasi menurut diameter dan panjang tubuh boktor yang berbeda
pada masing – masing populasi. Hasil analisis RAPD menunjukkan nilai He tertinggi
adalah sebesar 0.2525 untuk Tasikmalaya sedangkan nilai He terendah adalah Magelang
sebesar 0.1039. Dendrogram berdasarkan jarak genetik menunjukkan bahwa populasi
Kediri berkerabat dekat dengan populasi Temanggung sedangkan untuk yang terjauh
adalah populasi Ciamis.
Kata kunci: CTAB, RAPD, sengon, struktur populasi, Xystrocera festiva
ABSTRACT
ARINA NUR FAIDAH. Structure and Diversity Population Genetics of boktor pests
(Xystrocera festiva) in Sengon Forest (Falcataria moluccana) in Java. Under direction of
NOOR FARIKHAH HANEDA and ULFAH JUNIARTI SIREGAR.
Boktor (Xystrocera festiva) is the most destructive sengon pests, because the larvae
feeding activity is done by broaching the woody tissue inside sengon trees. The objective
of this research was to study population structure and genetic diversity of boktor pests in
Java using RAPD markers. Boktor larvae were sampled from 10 susceptible trees in eight
districts in Jawa, and then census was done to calculate the total individuals found in each
tree, before taking measurements of body length and diameter of its head. Having been
census a number of 10 larvae per tree of various sizes were picked up as sample for DNA

analysis. DNA extraction was done using CTAB (Cetyl Trimethil Ammonium Bromide)
method, and the PCR (Polymerase Chain Reaction) was done using OPP 9, OPP 15, and
OPP 19 primers to get RAPD (Random Amplified Polymophic DNA) fragment. Scored
fragment data was analyzed using software POPGENE 1.31 version 32 and NTSYS
version 2.0. The results showed the heterogeneity of the population structure according to
the diameter and body length of each population. Result of RAPD analysis showed that
the highest heterozigosity (He) value was from Tasikmalaya (0.2525) and the lowest
heterozigosity (He) was 0.1039 from Magelang. Dendrogram based on genetic distance
showed that Kediri population was closely related with Temanggung while Ciamis
population is farthest.
Key words: CTAB,RAPD, sengon, population structure, Xystrocera festiva

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI
HAMA BOKTOR (Xystrocera festiva) PADA HUTAN RAKYAT
SENGON (Falcataria moluccana) DI JAWA

ARINA NUR FAIDAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah analisis
molekuler, dengan judul Stuktur dan Keragaman Genetik Populasi Hama Boktor
(Xystrocera festiva) pada Hutan Rakyat Sengon (Falcataria moluccana) di Jawa.
Penulis mengucapkan terima kasih penulis kepada Ibu Dr Ir Noor Farikhah
Haneda, MS dan Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, M Agr selaku pembimbing.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis meminta
maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi masukan dan
perbaikan untuk penelitian yang akan datang.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Arina Nur Faidah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

ix

Latar Belakang

ix

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


METODE

3

Waktu dan Tempat Penelitian

3

Alat dan Bahan

4

Prosedur Penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Morfologi Larva


7
7

Kekerabatan Larva Boktor Berdasarkan RAPD

10

Keragaman Genetika dalam Populasi

10

Keragaman Genetika Antar Populasi

11

SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan


13

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan yang digunakan dalam teknik analisis genetik
2 Tahapan PCR
3 Jumlah pohon senon terserang boktor dan jumlah total larva
4 Nilai keragaman genetik dari 8 populasi boktor berdasarkan kabupaten
5 Jarak genetik antar populasi X. festiva

4
7
7
11
11

DAFTAR GAMBAR
1 Peta pengambilan sampel.
2 Prosedur analisis genetik dengan penanda RAPD
3 Sebaran populasi boktor perpohon berdasarkan diameter kepala
4 Sebaran populasi boktor perpohon berdasarkan panjang tubuh
5 Dendrogram larva per pohon pada kabupaten Cianjur
6 Dendrogram larva per pohon pada kabupaten Sukabumi
7 Dendrogram jarak genetik berdasarkan marka RAPD


4
5
9
9
10
10
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Alat- alat atau instrumen penelitian
2 Dendrogram larva boktor perpohon pada populasi X. festiva di delapan
populasi di Jawa.

17
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hama boktor (Xystrocera festiva) adalah hama terpenting pada hutan
rakyat sengon (Falcataria moluccana). Selain sengon hama ini juga menyerang
berbagai jenis pohon dari Famili Fabaceae (polong-polongan) yang lain.
Notoatmodjo (1963) dalam Husaeni (2010) mengatakan selain pohon sengon,
hama ini juga menyerang pohon Albizia chinensis (A. stipulata), A.lebbeck, A.
sumatrana, Acacia auriculiformis jengkol (Pithecellobium lobatum) dan Samanea
saman (trembesi). Husaeni 2001 dan Matsumoto 1994 dalam Husaeni 2010
menyebutkan bahwa X. festiva juga menyerang Calliandra calothyrsus di daerah
Bogor, Matsumoto 1994 menambahkan jenis yang diserang yaitu: Acacia
mangium, hybrid akasia (A.mangium dengan A. auriculiformis), A. vera, A.
arabica, A. cetatu, Parkia speciosa, Pithecellobium delce dan Enterolobium
cyclocapum. Sengon, akasia, jengkol dan petai merupakan jenis pohon yang
umum ditanam di kebun-kebun milik rakyat. Serangan hama boktor dimulai dari
kebun-kebun milik rakyat hingga ke kawasan hutan, karena letak kawasan hutan
yang ada berdekatan dengan tegakan sengon tersebut (Matsumoto 1994 dalam
Husaeni 2010). Hama ini menyerang batang sengon sejak tegakan berumur 3 – 4
tahun yang terjadi di Indonesia baik di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
ataupun di luar Indonesia yaitu Malaysia, Filipina dan Thailand (Ahmadi 2008).
Luasnya cakupan hama boktor dan ketersediaan inang yang melimpah
mengakibatkan populasinya semakin meningkat. Pengendalian hama boktor yang
dilakukan sampai saat ini belumlah efektif dan efisien karena terbatasnya
informasi tentang serangga hama ini. Metode yang sering digunakan adalah
dengan pengendalian secara konvensional yakni dengan cara menyayat kulit
batang sengon dan membuang larva yang ada di dalamnya. Metode lainnya dapat
juga dengan menyebarkan musuh alami hama boktor.
Gen pada setiap individu, pada dasarnya penyusunnya sama, tetapi
susunannya berbeda-beda tergantung pada masing-masing induknya. Susunan
perangkat gen inilah yang menentukan ciri atau sifat suatu individu dalam suatu
spesies. Keanekaragaman genetik memainkan peran yang sangat penting dalam
lintasan dan adaptabilitas suatu spesies, karena ketika suatu lingkungan spesies
berubah, variasi gen yang kecil diperlukan agar spesies dapat bertahan hidup dan
beradaptasi (Restu dan Mukrimin 2007; Olivia 2012). Spesies yang memiliki
derajat keanekaragaman genetik yang tinggi pada populasinya akan memiliki
lebih banyak variasi-variasi alel untuk diseleksi. Informasi yang dihasilkan dari
analisis Deoxyribose Nucleic Acid (DNA) berguna dalam penentuan hubungan
kekerabatan dan filogenetik individu setelah terjadi evolusi karena pengaruh
waktu, tempat dan varietas yang digunakan. Salah satu metode yang banyak
digunakan untuk mempelajari keragaman genetik adalah Random Amplified
Polymorphic (RAPD).
RAPD merupakan salah satu marka molekuler berbasis Polimerase Chain
Reaction (PCR) yang banyak digunakan dalam mengidentifikasi keragaman pada
tingkat interspesies maupun antar spesies (Qian et al. 2001 dalam Pharmawati

2
2009). Teknik RAPD memiliki keunggulan dapat dengan cepat mendeteksi
polimorfisme fragmen DNA, relatif mudah dilakukan dan hanya memerlukan
sejumlah kecil DNA. Penggunaan RAPD diduga dapat mendeteksi polimorfisme
fragmen DNA dalam spesies tertentu. Motode PCR dan RAPD sangat efektif
dipakai sebagai penanda genetik pada serangga hama yang jarak migrasinya
cukup jauh seperti pada belalang (Locusta migratoria), sehingga dengan ini dapat
diketahui sumber asal populasi (Anggereini 2008).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui struktur populasi dan
keragaman genetik hama boktor di beberapa wilayah di Jawa menggunakan
marka RAPD.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau
gambaran mengenai keragaman genetik dan struktur populasi hama pada tegakan
sengon di Jawa. Informasi tersebut diharapkan akan dapat membantu menyusun
strategi yang tepat untuk mengendalikan populasi hama boktor.

.

TINJAUAN PUSTAKA
Hama penggerek batang boktor (Xystrocera festiva)
Daerah Penyebaran dan Pohon Inang
Daerah penyebaran hama boktor antara lain di Myanmar, Indonesia
(Sumatra, Kalimantan dan Jawa) (Husaeni 2000 dalam Prasetya 2007). Di Jawa
misalnya di daerah Banten, Bogor, Bandung Selatan, Bandung Utara,
Tasikmalaya, Purworejo, Magelang, Yogyakarta, Semarang, Kediri, Malang,
Blitar, Probolinggo, Jember, Bondowoso dan Banyuwangi. Persentase serangan
sangat bervariasi mulai dari 1-75% (Notoatmodjo 1963 dalam Suharti et al.
1994). Selain menyerang sengon, hama ini juga menyerang Albizia chinensis, A.
lebbeck, A. sumatrana, Pithecellobium lobaium, P. dulce, Parkia speciosa, S.
saman, A. mangium, A. auriculiformis, A. deccurens dan Calliadra callothyrsus
(Husaeni et al. 2006).
Cara penyerangan dan bentuk kerusakan
Umumya hama boktor menyerang pohon yang telah berumur 3 tahun atau
lebih dengan diameternya mencapai 10 cm atau lebih dan ketinggian bagian yang
terserang 0 hingga 5 m, ada kalanya mencapai ketinggian 15 m dari atas
permukaan tanah (Suratmo 1974 dalam Prasetya 2007). Pohon yang terserang
oleh hama ini biasanya pada permukaan lubang gerek terdapat kotoran berwarna

3
kehitaman serta kambium yang luka akan mengeluarkan cairan, terlihat berwarna
merah kecoklatan. Jika tingkat serangan pohon begitu parah akan ditandai dengan
banyak lubang gerek, lama kelamaan tajuk menguning, dan pohon mati. Bila
sebatang pohon mendapat serangan hanya sekali saja, maka luka bekas serangan
kemungkinan akan bisa sembuh kembali. Biasanya serangan tersebut terjadi
beberapa kali dalam satu pohon, dapat menyebabkan pohon akan mati (Natawiria
1973).
Asam Deoksiribo Nukleat (DNA)
Asam nukleat memiliki peranan yang sangat penting pada penyimpanan
dan ekspresi dari suatu informasi genetik suatu organisme. DNA merupakan
molekul yang amat panjang, terdiri dari ribuan deoksiribonukleotida yang
bergabung dalam satu urutan yang bersifat khas bagi setiap organisme. Molekul
DNA dan RNA (Ribose Nucleic Acid) tersusun atas komponen-komponen
nukleotida yang terdiri dari gula (pentosa), basa nitrogen dan asam fosfat. Basa
nitrogen pada nukleotida bergabung secara kovalen dalam ikatan N-glikosol
dengan atom karbon 1’ pada pentosa sementara residu asam fosfat berikatan
dengan ester dengan atom karbon 5’. Basa nitrogen ini adalah turunan dari
senyawa heterosiklik purin dan pirimidin. Nukleotida-nukleotida penyusun DNA
berikatan satu sama lain melalui ikatan fosfo diester (Lehninger 1994).
Penanda genetik
Saat ini telah banyak dikembangkan penanda DNA yang berdasarkan
pada reaksi polimerase berantai (PCR). Finkeldey (2005) menyatakan PCR adalah
suatu metode untuk menggandakan mengamplifikasi DNA yang diisolasi pada
sebuah tabung reaksi dengan melalui replikasi berulang antara 20-30 kali. Prinsip
terjadinya reaksi ini akibat adanya komplementasi (padanan) rantai DNA dengan
pasangannya.
Konsep mengenai PCR ini ditemukan pada tahun 1985 oleh Kary B Mullis.
Mesin PCR terdiri dari suatu alat pemanas yang dapat memanaskan pada suhu dan
selang waktu yang dikehendaki untuk setiap siklus pada proses PCR, suhu atau
temperatur untuk setiap siklus harus konsisten (Meyer et al. 1995). Pada mesin
PCR tahapan denaturasi, annealing dan elongasi (polimerasi) secara berurutan dan
berulang dapat diprogram sehingga proses amplifikasi berjalan secara otomastis.
Reaksi pada PCR ini haruslah berjalan tanpa adanya pemutusan reaksi sehingga
spsifitas dan sensitifitas proses PCR bertambah baik (Saiki et al. 1988). Tujuan
dari dari PCR adalah untuk membuat sejumlah besar duplikasi suatu gen. Hal ini
diperlukan agar diperoleh jumlah material genetik yang cukup untuk analisis
sekuen DNA atau proses rekayasa DNA (Sari 2007).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Larva boktor diambil pada bulan Maret 2014 pada 8 lokasi di wilayah
Jawa yang banyak ditemukan tegakan sengon. Di wilayah Jawa Timur, larva

4
diambil di Kabupaten Kediri dan Malang. Untuk wilayah Jawa Tengah larva
diambil di Kabupaten Temanggung dan Magelang, sementara wilayah Jawa Barat
larva diambil di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Ciamis dan Tasikmalaya (Gambar
1). Penelitian analisis DNA larva boktor dilakukan di laboratorium Silvikultur,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Juni 2014 – Januari
2015.

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel. (A) Cianjur, (B) Sukabumi, (C) Ciamis,
(D) Tasikmalaya, (E) Temanggung, (F) Magelang, (G) Kediri, (H)
Malang.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis genetik dengan penanda
RAPD dalam penelitian ini meliputi beberapa alat dan bahan untuk tahapan:
ekstraksi DNA, uji kualitas DNA, PCR, visualisasi DNA dan analisis data.
Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada analisis genetik disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam teknik analisis genetik
Tahapan Kegiatan
Ekstraksi DNA

Analisis genetik dengan penanda RAPD
Alat
Bahan
Sarung tangan, masker, gunting, tube 2 Buffer ekstrak, pvp 1 %,
ml, mortar, sudip, mikropipet, rak tube, fenol,
kloroform,
vortex sudip, mikropipet, waterbath, isopropanol dingin, NaCl,
mesin sentrifugasi, freezer, alat tulis
etanol 96 %, buffer TE.

Uji kualitas DNA

Sarung tangan, masker, timbangan
analitik, gelas ukur, erlenmeyer, cetakan
agar, microwave, mikropipet, mesin
elektroforesis, bak EtBr, kamera, mesin
UV, laptop

Agarose, buffer TAE 1x,
DNA hasil ekstraksi, blue
juice 6x, EtBr.

PCR

Sarung tangan, mikropipet, tube 0,2 ml,
spidol permanen, alat tulis, rak tube, tips,
mesin sentrifugasi, mesin PCR.

DNA, primer RAPD green
go taq master mix, Nucleas
free water.

Analisis data

Laptop, software popgene 32 versi 1.31,
dan NTSys versi 2.0

5

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu ekstraksi DNA, reaksi PCR,
interpretasi dan analisis data. Prosedur penelitian secara umum dapat dilihat pada
Gambar 2.
Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel

Ekstraksi DNA

Elektroforesis Agarose 1%, V : 100 Volt

PCR

Elektroforesis Agar 2%, V : 100 Volt

Foto

Interpretasi dan Analisis Data

Deskriptif

POPGEN

NTSYS

Gambar 2 Prosedur analisis genetik dengan penanda RAPD
Pengambilan Sampel Larva
Larva dari setiap pohon yang terserang disensus dengan menghitung total
individu pada setiap pohon serta diukur panjang tubuhnya menggunakan
penggaris dan juga diukur diameter kepalanya menggunakan jangka sorong. Larva
yang telah disensus dari setiap pohon yang terserang diambil sejumlah 10 larva
dari berbagai ukuran sebagai sampel untuk analisis DNA. Larva yang telah
diambil untuk sampel kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi etanol
absolut atau biasa disebut alkohol murni, kemudian dimasukkan ke dalam freezer
sampai digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA merupakan proses untuk mendapatkan pelet DNA. Ekstraksi
DNA dilakukan dengan metode CTAB (Cetyl Trimethil Ammonium Bromide).
Metode ini menggunakan buffer CTAB yang berfungsi untuk me- lysis jaringan

6
larva. Sampel larva digerus dengan mortar. Hasil gerusan kemudian dimasukkan
ke dalam tube yang telah diberi PVP 1% 100 µl dan buffer ekstrak 500 µl lalu
dihomogenkan menggunakan vortex selama 1 menit. Setelah itu dilakukan proses
inkubasi selama 1 jam dengan waterbath. Suhu yang digunakan dalam proses
inkubasi adalah 65ºC. Proses inkubasi berfungsi untuk merusak jaringan tanaman
yang tidak rusak pada saat penggerusan. Selama proses inkubasi, setiap 15 menit
sekali tube dibolak-balik untuk memastikan seluruh jaringan terinkubasi. Setelah
proses inkubasi selesai, tube didiamkan selama 15 menit.
Proses selanjutnya adalah pemurnian DNA. Tube yang telah didinginkan
kemudian diberi kloroform 500 µl dan fenol 100 µl lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali
untuk mendapatkan DNA yang murni. Pada saat disentrifugasi, bahan larva dalam
tube akan terpisah menjadi dua bagian yaitu lapisan aquash dibagian atas atau
biasa disebut supernatan dan lapisan organik atau endapan dibagian bawah.
Bagian yang digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu lapisan aquash.
Lapisan aquash yang telah diambil kemudian diendapkan dengan bantuan
NaCl 300 µl dan isopropanol dingin 500 µl lalu disimpan dalam freezer selama 24
jam. Penyimpanan ini bertujuan untuk pengendapan dan pembentukan benangbenang DNA. Hasil pengendapan kemudian disentrifugasi selama 2 menit dengan
kecepatan 10 000 rpm. Setelah itu, buang fase air secara perlahan-lahan agar pelet
DNA tidak ikut terbuang.
Pelet DNA yang telah diperoleh kemudian dicuci dengan ethanol 300 µl.
Pelet kemudian disentrifugasi dan dibuang cairan ethanolnya. Proses pencucian
ini dilakukan sebanyak 2 kali. Setelah itu pelet dikeringkan di desikator selama 15
menit. Setelah dikeringkan, pelet DNA ditambahkan buffer TE (Tris EDTA)
sebanyak 50 µl lalu disentrifugasi. Penambahan buffer TE ini bertujuan untuk
memekatkan dan melarutkan DNA (Aritonang et al. 2007).
Uji kualitas DNA
Uji kualitas DNA dilakukan terhadap hasil ekstraksi DNA yang berupa
pelet DNA yang telah ditambahkan buffer TE. Uji kualitas DNA ini dilakukan
pada gel Agarose dengan konsentrasi sebesar 1% (b/v), dimana 33 ml buffer TAE
(TrisAcid EDTA) 1x dicampurkan dengan 0. 33 gram agarose (untuk cetakan
17-25 sumur). Campuran agar 1% tersebut dimasukkan ke erlenmeyer dan
dipanaskan di dalam microwave untuk selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan
dan ditunggu sampai menjadi padat dan terbentuk sumur DNA. Gel diletakkan di
dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE. Komposisi yang dimasukkan ke
dalam lubang sumur adalah 3 µl blue juice 6x dan 2 µl DNA. Elektroforesis
dilakukan dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 volt sekitar 45
menit. Proses elektroforesis yang dilakukan secara horizontal, dilihat dari posisi
agar pada bak elektroforesisnya. Pada prinsipnya, proses elektroforesis ini
dilakukan dengan memigrasikan DNA dalam gel agarose dari arus (-) ke arus
(+). Hasil dari elektroforesis ini dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan
pada larutan Ethidium Bromida (EtBr) dengan konsentrasi 0.01% (v/v).

7
PCR
PCR merupakan proses terpenting dalam kegiatan analisis genetik. Pada
proses ini DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan primer. Primer merupakan
potongan rantai DNA antara 18-24 nukleotida yang didesain berkomplemen
dengan rantai DNA template dan menjadi titik batas multiplikasi DNA target
(Aritonang et al. 2007). Komponen bahan-bahan penyusun yang diperlukan untuk
proses PCR meliputi master mix (green go taq) 6 µl, nuclease free water 4 µl,
primer RAPD 0.625 µl, dan DNA template 2 µl. Prinsip dasar proses PCR adalah
adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipulasi
melalui tiga tahapan suhu yaitu denaturasi (pemisahan rantai), annealing
(penempelan primer) serta extension (perpanjangan rantai DNA polymerase)
(Aritonang et al. 2007). Adapun tahapan suhu tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Tahapan dan kondisi PCR yang dilakukan dalam penelitian ini
Tahapan
Pre-denaturation
Denaturation
Annealing
Extension
Final Extension

Suhu
92 ºC
92 ºC
35 ºC
73 ºC
º
73 C

Waktu
5 menit
1 menit
1 menit
1 menit
10 menit

Siklus
1
45
1

Analisis data
Hasil dari PCR selanjutnya difoto dan dianalisis dengan melakukan
skoring pada pola pita yang muncul. Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis
dengan menggunakan software POPGENE32 versi 1.31 dan NTSys versi 2.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Morfologi Larva
Tabel 3 Jumlah sampel pohon sengon dan jumlah total larva yang diperoleh
Lokasi

Jumlah
pohon

Malang
Kediri
Magelang
Temanggung
Cianjur
Sukabumi
Ciamis
Tasikmalaya

3
10
3
4
4
3
3
4

Jumlah
total
larva
344
271
121
133
395
202
226
173

Rata - rata
larva/pohon

∑1 Populasi
Larva/pohon

∑>1 Populasi
Larva/pohon

115
27
40
33
99
67
89
43

2
5
2
2
2
3
1
4

1
5
1
2
1
1
2
0

Dalam perkembangannya larva selalu makan sehingga tubuhnya mengalami
pertumbuhan dari ukurannya yang kecil sampai semakin besar (Husaeni 2001
dalam Prisanda 2006). Hasil pengamatan di delapan Kabupaten menunjukkan

8
jumlah pohon sengon terserang dan jumlah larva pada tiap lokasi berbeda seperti
tertera pada Tabel 3. Jumlah larva pada hutan sengon di Cianjur memiliki tingkat
populasi paling tinggi, yaitu sebesar 395 ekor dari 4 pohon.
Populasi adalah sekelompok individu yang tergolong dalam satu spesies dan
pada waktu tertentu menempati suatu habitat tertentu dimana kelompok lain dapat
melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan sehingga
populasi menjadi relatif berkesinambungan (McCullough 1996 dalam
Bahagiawati et al. 2010).
Boxplot Diameter Kepala Larva

Boxplot Diameter Kepala Larva

0,6

0,7

0,5

0,6
0,5

Data

Data

0,4

0,3

0,4
0,3

0,2
0,2
0,1

0,1

0,0

0,0
TSM TSM TSM TSM CMS CMS CMS CNJ CNJ CNJ CNJ SKB SKB SKB

MGL

MGL

MGL

TMG

TMG

TMG

TMG

Boxplot Diameter Kepala Larva
0,5

Data

0,4

0,3

0,2

0,1
KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

MLG MLG MLG

Gambar 3 Sebaran populasi boktor perpohon berdasarkan diameter kepala a)
Jawa Barat (TSM= Tasikmalaya,CMS= Ciamis, CNJ= Cianjur,
SKB= Sukabumi); b) JawaTengah (MGL= Magelang, TMG=
Temanggung); c) Jawa Timur (MLG= Malang, KDR= Kediri).
Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa berdasarkan pengukuran
diameter kepala larva dan panjang tubuh pada beberapa populasi larva diantaranya
ada yang menyebar rata, seperti pada kabupaten Sukabumi, Cianjur, Temanggung
dan Magelang. Terdapat data pencilan pada kabupaten Tasikmalaya, Ciamis,
Malang dan Kedir. Data pencilan ini mengindikasikan bahwa adanya perbedaan
pertumbuhan larva yang signifikan pada setiap populasi. Kemungkinan larva
boktor yang tumbuh dalam satu pohon berasal dari kumpulan dan induk telur
yang berbeda, ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa lubang gerek pada
satu pohon inang. Menurut Tim Fahutan IPB (1997), jumlah telur yang menetas
pada suatu tegakan sengon yaitu sekitar 59 ekor larva per kelompok telur dan pada
setiap pohon rata – rata hanya ada satu kelompok larva.

9
Matsumoto (1994) dalam Husaeni (2010) menyatakan bahwa seekor
kumbang betina biasanya meletakkan satu, dua, kadang-kadang sampai tiga
kelompok telur selama hidupnya. Kemampuan terbang kumbang boktor setelah
keluar dari lubang gereknya berkisar antara 3- 4 m dengan tinggi terbang 0.5- 1 m
bahkan mencapai 2 m (Natawiria 1973 dalam Husaeni 2010).
Kemampuan terbangnya boktor yang tidak jauh ini menyebabkan satu
pohon sengon dapat terserang hama boktor lebih dari satu kali serangan. Selain itu
perilaku waktu bertelur dan pola pengelompokan telur oleh kumbang betina juga
mempengaruhi pola serangan hama boktor yang berulang. Umumnya waktu
bertelur kumbang betina dapat terjadi dalam satu hari namun ada juga yang
bertelur pada hari kedua bahkan kelima dan keenam setelah kumbang keluar dari
lubang gerek seperti yang disebutkan oleh Matsumoto (1994) dalam Husaeni
(2010). Pada pola pengelompokan telur, kumbang betina menempatkan telur pada
retakan–retakan kulit batang atau cabang atau pada luka yang diakibatkan karena
bacokan golok. Jumlah telur pada kelompok telur yang ketiga umumnya lebih
sedikit dari kelompok pertama dan kedua (Husaeni 2010). Peletakkan telur pada
retakan kulit bertujuan menjauhkan telur dari musuh alaminya, mencegah
kekeringan, serta memudahkan larva muda untuk mendapatkan makanan.
Boxplot Panjang Tubuh Larva

Boxplot Panjang Tubuh Larva

5,0

6

4,5

5

3,5

Data

Data

4,0

4

3,0

3
2,5
2,0

2
TSM TSM TSM TSM CMS CMS CMS CNJ

CNJ CNJ

CNJ SKB SKB SKB

MGL

MGL

MGL

TMG

TMG

TMG

TMG

Boxplot Panjang Tubuh Larva
5

Data

4

3

2

1
KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

KDR

MLG

MLG

MLG

Gambar 4 Sebaran populasi boktor perpohon berdasarkan panjang tubuh a) Jawa
Barat (TSM= Tasikmalaya, CMS= Ciamis, CNJ= Cianjur, SKB=
Sukabumi); b) Jawa Tengah (MGL= Magelang, TMG= Temanggung);
c) Jawa Timur (MLG= Malang, KDR= Kediri).

10
Kekerabatan Larva Boktor Berdasarkan RAPD
Keragaman Genetika dalam Populasi
Peubah yang digunakan untuk menandakan keragaman genetik antar
populasi, yaitu Persentase Lokus Polimorfik (PLP), jumlah alel yang diamati (na),
jumlah alel efektif (ne) dan variasi genetik (He). Umumnya variasi genetik dapat
di ukur dengan dua aspek, yaitu dalam populasi dan antar populasi (Finkeldey
2005). Hasil analisis keragaman genetik dalam populasi, dari tiap pohon per
kabupaten menunjukkan bahwa, larva pada satu pohon yang sama membentuk
satu cluster atau kelompok yang sama, dan berbeda dari pohon lainnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa larva-larva yang berada pada satu pohon berasal dari
induk yang sama dan memiliki kekerabatan yang dekat. Tujuh kabupaten
menunjukkan pola kekerabatan ini seperti contoh pada kabupaten Cianjur
(Gambar 5).

Gambar 5 Dendrogram larva per pohon pada kabupaten Cianjur

Gambar 6 Dendrogram larva per pohon pada kabupaten Sukabumi
Hal yang berbeda ditemukan pada populasi Sukabumi (Gambar 6) dimana
larva pada pohon pertama membentuk satu kelompok dengan pohon ke dua,
mengindikasikan bahwa larva pohon pertama dan pohon kedua berasal dari satu
kelompok telur yang sama. Diduga kumbang yang telah bertelur dan keluar dari
lubang gereknya meletakkan telurnya pada pohon lain yang berdekatan, didukung
oleh kemampuan terbang kumbang boktor yang berkisar antara 3-4 m dengan

11
tinggi terbang 0.5-1 m bahkan mencapai 2 m (Natawiria 1973 dalam Husaeni
2010). Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa larva pada dua pohon berbeda
dalam satu populasi diduga berasal dari kumpulan telur yang berbeda, hal ini
dibuktikan oleh dekatnya kekerabatan genetik pada larva tesebut.
Hasil analisis keragaman genetik antar populasi (Tabel 4) menunjukkan
rata-rata jumlah alel yang diamati pada 8 populasi larva boktor adalah 1.5923 dan
rata-rata jumlah alel efektif adalah 1.3247. Adapun nilai rata-rata keragaman
genetik (He) pada 8 populasi larva boktor 0.1933 dan Persen Lokus Polimorfis
(PLP) pada pada 8 populasi larva boktor dalam penelitian mencapai 78.57%.
Tabel 4 menunjukkan bahwa keragaman tertinggi ada pada populasi
Tasikmalaya (0.2525), sedangkan keragaman genetik terendah ditemukan pada
Kabupaten Magelang (0.1039). Semakin tinggi frekuensi heterogenitas di suatu
populasi maka semakin tinggi keragaman genetiknya. Keragaman genetik yang
tinggi ini mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Jika dilihat
dari hasil keragaman genetik pada masing-masing populasi dapat diketahui bahwa
populasi Tasikmalaya memiliki nilai keragaman yang paling tinggi, yang berarti
populasi larva boktor Tasikmalaya memiliki kemampuan adaptasi yang baik
terhadap lingkungannya.
Tabel 4 Nilai keragaman genetik populasi boktor dari 8 kabupaten yang diteliti
No
Populasi
N
PLP (%)
Na
Ne
He
1
Kediri
100
78.57
1.7857 1.3842
0.2299
2
Malang
30
59.52
1.5952 1.3683
0.2200
3
Temanggung
40
45.24
1.4524 1.2657
0.1583
4
Magelang
30
33.33
1.3333 1.1732
0.1039
5
Cianjur
40
59.52
1.5952 1.3343
0.1983
6
Ciamis
30
52.38
1.5238 1.3470
0.1986
7
Tasikmalaya
40
73.81
1.7381 1.4302
0.2525
8
Sukabumi
40
71.43
1.7143 1.2949
0.1851
Keterangan : N = Jumlah total individu; PLP = Persentase Lokus Polimorfik; Na =
Jumah alel yang diamati; Na = Jumlahalel efektif (Kimura and Crow (1964); He =
Heterozigositas harapan

Keragaman Genetika Antar Populasi
Finkeldey (2005) menyatatakan bahwa perbedaan genetik lebih dari dua
populasi biasanya dianalisa oleh sebuah matrik dengan elemen-elemen berupa
jarak genetik dengan pasangan kombinasinya. Jarak genetik ini digambarkan
dengan suatu angka dengan rentang 0-1 dapat pula diperlihatkan dengan
dendogram atau filogeni. Jika jarak genetik sama dengan 0 maka populasi yang
dibandingkan tidak memiliki perbedaan atau identik. Namun, jika populasi yang
dibandingkan itu berbeda maka nilai jarak genetiknya sama dengan 1. Untuk nilai
jarak genetik X. festiva pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.

12
Tabel 5 Jarak genetik antar populasi X.festiva
Pop ID
KDR
MLG
TMG
MGL
CNJ
CMS
TSM
SKB
KDR
****
MLG
0.0599
****
TMG
0.0328 0.0662
****
MGL
0.1109 0.0658
0.0976
****
CNJ
0.0407 0.0553
0.0725 0.1042 ****
CMS
0.1772 0.2148
0.2343 0.2105 0.1892
****
TSM
0.1150 0.1422
0.1444 0.2272 0.1322 0.1490
****
SKB
0.0640 0.0924
0.1102 0.2212 0.0806 0.2677 0.1471 ****
Keterangan: KDR= Kediri, MLG= Malang, MGL= Magelang, TMG= Temanggung
TSM= Tasikmalaya,CMS= Ciamis, CNJ= Cianjur, SKB= Sukabumi

Tabel 5 memperlihatkan bahwa jarak genetik X. festiva berada pada kirasan
0.0328-0.2677 dapat dilihat pula bahwa populasi Sukabumi dan Ciamis memiliki
jarak genetik terjauh yaitu 0.2677 yang menunjukkan bahwa antara populasi
Sukabumi dan Ciamis memiliki kekerabatan yang jauh. Adapun untuk jarak
genetik yang terdekat ada pada populasi Kediri dan Temanggung yaitu sebesar
0.0328.
Kerabatan genetik dari 8 populasi ditampilkan dalam bentuk dendrogram,
pada Gambar 7. Terdapat 2 kelompok besar populasi, dimana populasi kelompok
pertama terdiri dari Kediri, Temanggung, Magelang, Malang, Cianjur, Sukabumi,
untuk kelompok yang kedua adalah populasi Ciamis dan Tasikmalaya.
Berdasarkan hasil dendogram, secara garis besar pengelompokan tidak
berhubungan dengan posisi geografisnya, jika 8 populasi dikelompokkan menjadi
3 wilayah bagian yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini terbukti
dari dendogram bahwa Jawa Barat khususnya Ciamis memiliki jarak genetik yang
paling jauh. Sedangkan untuk Jawa Timur memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat dengan Jawa Tengah. Begitu juga dengan Jawa Tengah dengan Jawa Barat,
artinya pengelompokan populasi tidak menunjukkan bahwa semakin dekat jarak
geografisnya suatu populasi maka jarak genetik antar populasi tersebut semakin
dekat, akan tetapi populasi-populasi yang berdekatan jarak genetiknya mempunyai
kecenderungan untuk membentuk satu sub kelompok.

13

Gambar 7 Dendrogram jarak genetik berdasarkan marka RAPD
Keragaman genetik dapat terjadi di dalam individu, populasi atau antar
populasi. Terjadinya keragaman atau variasi antar populasi ini dapat disebabkan
dari berbedanya keadaan tempat tumbuh pohon yang merupakan sumber makanan
utama X. festiva dari tiap populasi dan dimungkinkan adanya perbedaan susunan
genetik pohon sengon pada tiap populasi. Menurut Namkoong et al. (1996) yang
diacu dalam Finkeldey (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman di
alam ini adalah seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift), perpindahan gen
(gen flow) dan mutasi. Keragaman atau variasi genetik sangatlah penting bagi
seleksi alam karena keragaman genetik menciptakan kemungkinan–kemungkinan
genetik baru di dalam atau di antara populasi. Seleksi dan mutasi adalah hal yang
menyebabkan evolusi, dalam Hartati et al (2007) menyatakan bahwa proses
evolusi dan adaptasi suatu populasi pada lingkungan spesifik yang merupakan
habitatnya akan menyebabkan masing-masing populasi mengembangkan karakter
dan ciri spesifik secara morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi
lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Struktur populasi menurut diameter dan panjang tubuh boktor heterogen
pada tiap daerah di tiap provinsi berbeda. Berdasarkan analisis RAPD nilai He
tertinggi adalah sebesar 0.2525 untuk Tasikmalaya sedangkan nilai He terendah
Magelang yaitu sebesar 0.1039. Analisis pohon filogeni populasi boktor pada 8
populasi di Jawa menunjukkan terdapat kekerabatan yang jauh antara boktor
populasi Sukabumi dan populasi Ciamis dengan jarak genetik sebesar 0.2677,
sedangkan yang memiliki kekerabatan yang dekat adalah Temanggung dengan
Kediri dengan jarak genetik 0.0328.

14

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh gambaran yang
lebih menyeluruh mengenai keragaman larva X. festiva di Jawa menggunakan
lebih banyak primer atau menggunakan marka selain RAPD untuk mendeteksi
keragaman genetika yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi K. 2008. Intensitas Serangan Boktor (Xystrocera festiva) Pascoe dan
Pengendaliannya dengan Menggunakan Perangkap Lampu pada Areal
Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen) [skripsi].
Jatinangor (ID): Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan.
Universitas Winayamukti.
Anggereini E. 2008. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Suatu
metode analisis DNA dalam menjelaskan berbagai fenomena biologi. J
Biospesies 1(2):73-76
Aritonang KV, Siregar IZ, Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman
Hutan Di Laboratorium Silvikutur Fakultas Kehutanan IPB. Bogor (ID):
Laboratorium Silvikutur Fakultas Kehutanan IPB.
Bahagiawati, Utami DW, Buchori D. 2010. Pengelompokkan dan Struktur
Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoide pada Telur Helicoverpa
armigera pada Jagung Berdasarkan Karakter Molekuler. J Entomol 7(1) :
54-56
Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ,
Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Terjemahan dari: An Indtroduction to
Tropical Forest Genetics.
Hartati D, Rimbawanto A, Taryono, Sulistyaningsih, Widyatmoko. 2007. Pendugaan
keragaman genetik di dalam dan antar provenan Pulai (Alstonia scholaris (L.)
R. Br.) menggunakan penanda RAPD. J Pemuliaan Tanaman Hutan. 2:89-98
Husaeni EA, Kasno, Haneda NF, Rachmatsjah O. 2006. Pengantar Hama Hutan
di Indonesia: Bio Ekologi dan Teknik Pengendalian. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Husaeni EA. 2010. Xystrocera festiva Thoms (Cerambycidae, Coleoptera) Biologi
dan pengendaliannya pada Hutan Tanaman Sengon. Bogor (ID): IPB Press
Lehninger AL. 1994. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 3. Maggy Thenawijaya,
penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Principles of
Biochemistry.
Meyer W, Weising KH, Nybom, Wollt K. 1995. DNA fingerprinting in plants and
fungi. London (UK): CRC Press.

15
Natawiria D. 1973. Hama dan Penyakit Albizia falcataria (L) Forsberg (A Note
Some Pest of Albizia falcataria). J Rimba Indonesia vol.17.
Olivia RD dan Siregar UJ. 2012. Keragaman genetika populasi sengon
(Paraserianthes falcataria l. Nielsen) pada hutan rakyat di Jawa
berdasarkan penanda RAPD. J Silvikultur Tropika. 03(2):130-136.
Pharmawati M. 2009. Optimalisasi ekstraksi DNA dan PCR- RAPD pada Grevilla
spp (Proteaceae). J Biologi. 13(1): 12-16
Prasetya A. 2007. Studi tentang enzim trypsin dan α- amylase pada hama boktor
(Xytrocera festiva Pascoe) serta inhibitor trypsin pada pohon sengon
(Paraserianthes falcataria). [skripsi]. Bogor (ID): IPB
Prisanda A. 2006. Populasi larva dan banyaknya lubang gerek xystrocera festiva
Pascoe pada berbagai umur tegakan sengon. [skripsi] Bogor (ID) : IPB
Restu, Mukrimin. 2007. Keragaman genetik Ebony (Dyospyros celebika Bakh)
Provenansi Amaro Kabupaten Barru. J Hutan dan Masyarakat. 2(3):263267.
Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel S, Scharf SJ, Higuchi R, Horn GT, Mullis KB,
Ehrlich HA. 1998. Primer directed enzymatic amplification of DNA with a
thermostable DNA polymerase. J Science .239:487-491
Sari IP. 2007. Keragaman genetik bakteri endofitik dan filosfer dari tanaman padi
(Oryza sativa). [skripsi]. Bogor (ID): IPB
Suharti M, RSB Irianto dan E. Santoso . 1994. Perilaku Hama Penggerek Batang
Sengon (Xystrocera festiva) dan Teknik Pengandalian secara Terpadu.
Buletin Penelitian Hutan 558:39-53. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
Tim Fahutan IPB. 1997. Laporan Akhir. Studi Pemberantasan Hama Boktor
(Xystrocera festiva) pada Tegakan Sengon. IPB. Bogor. Hal. 14
Widyastuti DE. 2007. Keragaman genetik dengan penanda RAPD, fenotipa
pertumbuhan dan pendugaan heritabilitas pada sengon (Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor: Institut pertanian Bogor.

16

Lampiran

17
Lampiran 1 Alat- alat atau instrumen penelitian

(a)

(b)

(d)

(e)

(g)

(c)

(f)

(h)

(i)

Keterangan : a) microwave, b) cetakan gel agarose, c) alat elektroforesis, d) vortex, e)
mesin water bath fisherbrand, f) mesin sentrifugasi, g) desikator, h) mesin PCR, i)
mortar dan alu (foto: dokumentasi pribadi 2014).

18
Lampiran 2 Dendrogram larva boktor perpohon pada populasi X. festiva di
delapan populasi di Jawa
KEDIRI

TEMANGGUNG

MAGELANG

19
MALANG

CIAMIS

CIANJUR

20
SUKABUMI

TASIKMALAYA

21
Lampiran 3 Pengukuran panjang tubuh dan diameter kepala X. festiva

Diameter kepala (mm)

Panjang tubuh (cm)

22
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Arina Nur Faidah, mahasiswa jurusan Silvikultur Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor angkatan 47, masuk pada tahun 2010. Penulis
lahir di Tasikmalaya 27 Maret 1992. Penulis merupakan anak dari pasangan suami
istri Saepulloh dan Dede Jubaedah. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara.
Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMAN 3 Tasikmalaya
tahun 2007-2010. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan tingginya di IPB
dengan diterima melalui jalur USMI. Ketika memasuki Fakultas Kehutanan,
penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Ciremai dan
Indramayu, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung
Walat, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PERUM Pehutani Madiun, Unit II
Jawa Timur. Selain itu penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan Semarak
Kehutanan sebagai anggota divisi acara pada tahun 2013. Penulis juga aktif di
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Kehutanna IPB periode 20112012, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB periode 2012-2013.
Selain itu penulis juga turut ambil bagian dalam Himpunan Profesi Tree Grower
Community sebagai anggota Enthomology Group.