Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) Dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria)

(1)

PERKEMBANGAN LARVA BOKTOR (

Xystrocera festiva

Pascoe)

DI DALAM MAKANAN BUATAN (

Artificial Diet)

DENGAN

MENGGUNAKAN SERBUK SENGON (

Paraserianthes falcataria

)

SRI RAHAYU NUBAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERKEMBANGAN LARVA BOKTOR (

Xystrocera festiva

Pascoe)

DI DALAM MAKANAN BUATAN (

Artificial Diet)

DENGAN

MENGGUNAKAN SERBUK SENGON (

Paraserianthes falcataria

)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SRI RAHAYU NUBAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

RINGKASAN

SRI RAHAYU NUBAN.Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) Dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibimbing oleh NOOR FARIKHAH HANEDA.

Keunggulan yang dimiliki oleh Sengon mempengaruhi pembangunan hutan tanaman dengan sistem monokultur sampai tahun 2010. Namun, hambatan yang saat ini sedang dialami oleh pohon sengon secara monokultur sangat rentan terhadap serangan hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Hal tersebut memerlukan penanganan pengandalian hama yang efektif dan efesien. Belum efesiennya pengendalian hama boktor adalah kurangnya pengetahuan tentang serangga boktor, khususnya dari segi fisiologi dan biologi. Untuk itu, dilakukan penelitian hama boktor yang dibiakkan dan diamati di laboratorium dengan menggunakan makanan buatan (artificial diet). Makanan buatan dibuat dari serbuk sengon dan bahan-bahan kimia lainnya. Bila makanan buatan yang mengandung serbuk kayu dan kulit sengon dari provenan tertentu tidak disukai oleh larva boktor, berarti kemungkinan pohon Sengon dari provenan tersebut resisten terhadap serangan hama boktor. Artificial diet dibuat dari serbuk sengon dan bahan-bahan kimia dengan dosis tertentu yang dibuat untuk mempertahankan hidup larva boktor selama pengamatan. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pengaruh provenan sengon dan pengaruh kondisi terhadap perkembangan larva boktor. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mempelajari dan memperoleh informasi tentang pola perkembangan larva boktor dan teknik pengendalian hama.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kulit dan serbuk batang sengon yang terdiri dari provenan Salomon kondisi sakit dan sehat, provenan Kediri kondisi sakit dan sehat (masing-masing telah diproses secara freeze dry), yeast extract, streptomycin, sukrosa, agar, aquades, ascorbic acid (vitamin C), Na benzoat dan larva berukuran besar dengan panjang ± 2,5 cm. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari neraca digital, kompor listrik, tabung reaksi, gelas kimia, gelas ukur, sendok, pengaduk, caliper, milimeterblok,


(4)

pipet, cawan petri, cutter, gunting, kain kasa, tissue, label, karet, tabung film, alat tulis, kamera dan mikroskop.

Parameter yang diamati yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva, dan berat makanan yang dikonsumsi oleh larva boktor. Pengukuran dan penggantian makanan dilakukan setiap dua minggu sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor provenan, kondisi dan interaksi antarprovenan dan kondisi tidak memberi pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva, dan berat konsumsi makanan larva untuk serbuk kulit maupun serbuk batang selama lima kali pengamatan untuk uji statistik. Komposisi artificial diet yang sesuai adalah dengan menggunakan tambahan selulosa murni sebagai bahan utama. Perilaku makan larva boktor dalam artificial diet di Laboratorium menunjukkan pola yang sama dengan perilaku makan larva boktor pada bagian batang pohon di lapangan.


(5)

SUMMARY

SRI RAHAYU NUBAN. Development of Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) Larvae in Artifical Diet by Using Sengon (Paraserianthes falcataria) Powder. Under academic supervision of NOOR FARIKHAH HANEDA.

At present, superiority possessed by sengon tree species influences the development of monoculture plantation forest. However, constraint faced by monoculture of sengon tree is the high susceptibility of the sengon tree to attack by pest boktor (Xystrocera festiva Pascoe). This phenomenon requires effective and efficient pest control. Inefficient control of this pest was due among other things to lack of knowledge concerning insect boktor, particularly in the aspect of physiology and biology. In relation with this, research was conducted on pest boctor which were reproduced and observed in laboratory by using artificial food (artificial diet). The artificial food was made from sengon powder and other chemicals. If artificial food which contains powder of sengon wood and bark from a particular provenance is not preferred by boktor larvae, there is possibility that sengon tree of that provenance is resistant to attack by pest boktor. Artificial diet was made from sengon powder and chemicals with particular dosages which were made to maintain the life of boktor larvae during observation. The objective of this research was for explaining the effect of sengon provenance and environmental condition on the development of boktor larvae. The benefit of this research was the gain of information concerning development pattern of boktor larvae and the technique for controlling this pest.

Materials used in this research were powder of sengon bark and stem from Solomon provenance, under tree condition of sick and healthy; similar materials from Kediri provenance under tree condition of sick and healthy ( each of which had been processed under freeze dry treatment), yeast extract, streptomycin, sucrose, agar, aquadest, ascorbic acid (vitamin C), Na benzoat and larvae with large size and length of ± 2.5 cm. Equipments used in this research were digital weighing scale, electric stove, test tube, chemical glasses, measuring glasses, spoon, stirrer, caliper, millimeter block, pipette, petri dishes, cutter, scissor, gauze cloth, tissue, label, rubber, film tube, writing materials, camera and microscope.


(6)

The observed parameters were larvae weight, larvae length, diameter of larvae head and food weight which was consumed by boktor larvae. Measurement and change of food was conducted once in two weeks. Research results showed that factors of provenance, environmental condition and interaction between provenances did not give significant effect on all observation parameters, namely larvae weight, larva length, diameter of larva head, and weight of consumed larvae food in the form of bark powder or stem powder during five times observation for statistical test. The suitable composition of artificial diet was by using addition of pure cellulose as the main ingredients. Eating behavior of boktor larvae in artificial diet in the laboratory showed similar pattern with eating behavior of boktor larva in tree stem in the field.


(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) Dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Sri Rahayu Nuban NIM. E44062970


(8)

Judul Skripsi : Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) Dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria).

Nama : Sri Rahayu Nuban NIM : E44062970

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M. Sc NIP 19660921 199003 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Silvikultur,

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr NIP. 19641110 199002 1 001


(9)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih sayang-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul

“Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria)”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh provenan dan kondisi pohon sengon terhadap perkembangan larva boktor. Pada stadium larva, hama boktor dapat menyebabkan kematian pada pohon sengon. Aktivitas larva boktor terjadi di bagian dalam pohon sengon sehingga sulit dipelajari secara langsung di lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan makanan buatan agar dapat mengamati perkembangan larva boktor di laboratorium. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mengendalikan hama pada tanaman sengon dan pola perkembangan larva boktor seperti pada kondisi aslinya di lapangan yang sulit dipelajari.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tdak seutuhnya sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaannya dengan harapan semoga tulisan ini bermanfaat bagi banyak pihak, terutama bagi dunia Entomologi.

Bogor, Agustus 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nulle, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 September 1988 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Marthen L. Nuban dan Dina H. Nuban-Benu. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis yaitu SD Negeri Kestnana (1994-2000), SLTP Negeri 1 So’E (2000-2003), dan SMA Negeri 1 So,E (2003-2006).

Pada tahun 2006, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih pogram studi Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2009 penulis memilih Laboratorium Entomologi Hutan sebagai minat studi yang kemudian melaksanakan penelitian Laboratorium Entomologi Hutan.

Selama masa studi di IPB penulis pernah bergabung dalam sejumlah organisasi dan beberapa kepanitiaan serta mengikuti beberapa pelatihan yang dilakukan di kampus maupun luar kampus yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK-IPB) yang kemudian memilih bagian pelayanan di Komisi Diaspora, sebagai Komandan Pembinaan di Komisi Diaspora PMK-IPB (Periode 2007-2009), sebagai Koordinator Doa di Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas Kehutanan IPB, sebagai Tim Pemerhati di Kelompok Pra Alumni PMK-IPB periode 2009-2010, sebagai Sekretaris di salah satu kepanitiaan PMK-IPB (periode 2008-2009), Himpunan Profesi TGC (Tree Grower Community) divisi Infokom (Informasi dan Komunikasi), sebagai Komisi Disiplin di salah satu kepanitiaan TGC, mengikuti pelatihan Rehabilitasi Lahan Tambang, mengikuti Olimpiade Mahasiswa se-IPB dalam permainan Tenis Meja, Koordinator Doa Organisasi Mahasiwa Daerah (OMDA) GAMANUSRATIM (Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara Timur di Bogor) tahun 2009-2010, dan berbagai kepanitiaan lainnya.

Penulis juga mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap-Baturaden tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat-Sukabumi. Setelah itu, penulis mengikuti Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. Sinar Bumi Andalas Sinar Mas Forestry (PT. SBA Sinar Mas Forestry) di Palembang pada tahun 2010.


(11)

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul “Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di

dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria)” dibimbing oleh Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS.


(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang paling besar kepada Tuhan Yesus atas hikmat, berkat dan perlindungan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Perkembangan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) di dalam Makanan

Buatan (Artificial Diet)dengan Menggunakan Serbuk Sengon (Paraserianthes falcataria) dengan baik.

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar

pada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan

meluruskan jalanmu”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan kesempatan, waktu, bimbingan dan pengarahan sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

2. Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga MSi, Bapak Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc, dan Bapak Ir. Bintang CH. Simangunsong, MS. PhD sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan yang meluangkan waktunya untuk menguji penulis dalam ujian komprehensif.

3. Kepada Dinas Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Timor Tengah Selatan yang telah memberikan dana selama melaksanakan studi di Institut Pertanian Bogor.

4.Bapa, Mama, Pola di So’E yang selalu memberikan dukungan baik materi

maupun spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dari awal sampai akhir dengan baik.

5. Buat saudara-saudaraku BBB, ada kakak tertua kak’ Risna, kakak tertua kedua Yetonk maryela, kakakku yang manis kak’ Erong terima kasih untuk dukungan dan doa yang selalu di berikan, untuk ade bungsu Ester trimakasih untuk dukungan, semangat dan doa yang selalu dan senantiasa.


(13)

7. Buat ibu eli, kak Tuti, Bu Umi, dan staf lab hama yang telah membantu dalam penelitian ini baik dalam alat maupun hal yang penting membuat penelitian ini berjalan dengan lancar.

8.Buat teman-teman seperjuangan svk 43

9.Buat kelompok PKL di PT SBA WI Yana, Idham dan Kemal. 10. Saudara-saudara gamanusratim buat dukungannya

Harapan terbesar penulis adalah semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, terutama bagi yang memerlukan.

Agustus, 2010


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sengon ... 3

2.2 Hama Boktor ... 5

2.3 Artificial Diet ... 9

III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu ... 11

3.2 Bahan dan Alat ... 11

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan dan Pembuatan Artificial Diet ... 11

3.3.2 Percobaan dan Parameter Pengamatan ... 13

3.4 Rancangan Penelitian dan Analisis Data ... 13

IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Hasil ... 15

4.1.1 Pengaruh Serbuk Kulit ... 16

4.1.2 Pengaruh Serbuk Batang ... 19

4.1.3 Analisa Komposisi Artificial Diet ... 22

4.1.4 Perilaku Larva Boktor dalam Artificial Diet ... 23

4.2 Pembahasan 4.2.1 Pengaruh Provenan Sengon dan Kondisi Sengon Terhadap Perkembangan Larva Boktor dalam Artificial Diet ... 24

4.2.3 Komposisi Artificial Diet yang Sesuai ... 28


(15)

iv

V. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

LAMPIRAN ... 35


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komposisi Artificial Diet Larva Besar ... 12

2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Provenansi dan

Kondisi Pohon Sengon (P. falcataria) Terhadap Pertumbuhan

Larva Boktor Selama Lima Kali Pengamatan ... 15

3. Hasil Rata-rata Pertambahan Tiap Parameter Pengamatan

dalam Artificial Diet dengan Serbuk Sengon ... 22

4. Perbandingan Pengaruh Komposisi Artificial Diet pada Pengamatan Terakhir dengan Data Penelitian


(17)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Morfologi X. festiva ... 6 2. Rata-rata Pertambahan Tiap Parameter Pengamatan dalam

Artificial Diet Serbuk Kulit ... 16 3. Total Berat Makanan yang Dikonsumsi Larva Boktor

(Xystrocera festiva Pascoe) ) dalam Makanan Buatan

(Artificial Diet) Selama 5 Kali Pengamatan untuk Serbuk Kulit ... 18 4. Rata-rata Pertambahan Tiap Parameter Pengamatan

dalam Artificial Diet Serbuk Batang ... 19 5. Total Berat Makanan yang Dikonsumsi Larva Boktor

(Xystrocera festiva Pascoe) dalam Makanan Buatan

(Artificial Diet) Selama 5 Kali Pengamatan untuk Serbuk Batang ... 21

6. Kesamaan Perilaku Makan Larva Boktor pada Artificial Diet (a)


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Analisis Ragam dan Uji Tukey Serbuk Kulit ... 36

2. Hasil Analisis Ragam dan Uji Tukey Serbuk Batang ... 39

3. Rekapitulasi Data Delta Serbuk Batang ... 42


(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kehutanan yang sampai tahun 2010 yang dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan terhadap hama, hal ini terjadi karena sumber pakan tersedia dengan melimpah dan dalam wilayah yang luas.

Dewasa ini, penanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dalam skala Hutan Tanaman Industri (HTI) semakin gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya permintaan kayu sengon. Sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang cepat tumbuh di daerah tropis. Tanaman sengon tidak menuntut kesuburan tanah yang tinggi, dan termasuk family Fabaceae yang memiliki keunggulan: berbatang lurus, tidak berbanir, dan memiliki batang bebas cabang mencapai 20 m, sehingga dewasa ini permintaan terhadap kayu sengon semakin meningkat untuk industri bahan baku pulp. Tetapi, usaha penanaman pohon sengon dalam bentuk hutan monukultur ternyata menghadapi kendala yang besar yakni adanya serangan hama penggerek batang Xystrocera festiva Pascoe (hama boktor). Hal tersebut memerlukan penanganan pengendalian hama yang efektif dan efesien.

Banyak cara yang telah dilakukan dalam pengendalian hama boktor ini baik secara konvensional, biologi, dan secara kimia. Pengendalian yang telah dilakukan ternyata belum cukup efektif dan efisien untuk mengendalikan hama sengon yaitu X. festiva ini.

Belum efisiennya pengendalian hama boktor adalah kurangnya pengetahuan tentang serangga boktor, khususnya dari segi fisiologi dan biologi. Untuk itu, dilakukan penelitian hama boktor yang dibiakkan dan diamati di laboratorium dengan menggunakan makanan buatan (artificial diet). Makanan buatan dibuat dari serbuk sengon dan bahan-bahan kimia lainnya. Bahan serbuk kulit dan kayu sengon diambil dari beberapa provenan pohon sengon. Bila makanan buatan yang mengandung serbuk kayu dan kulit sengon dari provenan tertentu tidak disukai oleh larva boktor, berarti bahwa pohon sengon dari provenan tersebut paling resisten terhadap serangan hama boktor (Listyorini, 2007).


(20)

1.2 Tujuan

1. Menjelaskan pengaruh provenan (Salomon dan Kediri) sengon terhadap perkembangan larva boktor.

2. Menjelaskan pengaruh kondisi (sehat dan sakit) pohon sengon terhadap perkembangan larva boktor.

1.3 Manfaat

1. Dapat mempelajari dan memperoleh informasi tentang pola perkembangan larva boktor.

2. Adanya teknik pengendalian hama boktor sehingga dapat dipakai untuk program pemuliaan pohon sengon yang tahan terhadap hama.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sengon 2.1.1 Taksonomi

Divisi : Spermathophyta Subdivisi : Angyospermae Klas : Dicotyledoneae Ordo : Rosales

Famili : Fabaceae Subfamili : Mimosoideae Genus : Paraserianthes

Spesies : Paraserianthes falcataria

Nama ilmiah : Paraserianthes falcataria (L). Nielsen

Nama daerah : albasia, jeujing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Timur), jing laut (Madura), tedehu pute (Sulawesi), rawe, selawuko, merah, seka, sika, sikahm, tawasela (Maluku), bae, wahogon, wai, wikie (Irian Jaya) (Atmosuseno, 1998).

2.1.2 Sifat Botani

Sengon dalam bahasa latin disebut P. falcataria, termasuk family Mimosaceae, keluarga petai – petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut : Jawa :jeunjing, jeunjing laut (sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut, atau sengon sabrang (Jawa), Maluku : seja (Ambon), sikat (Banda), tawa (Ternate), dan gosui (Tidore) (Anonim, 2010a).

Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 meter dengan


(22)

diameter batang sekitar 70 – 80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV - V.

Bunga tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai berukuran sekitar 0,5 – 1 cm, berwarna putih kekuning-kuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga mekar terdiri dari bunga jantan dan bunga betina, dengan cara penyerbukan yang dibantu oleh angin atau serangga. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6 – 12 cm. Setiap polong buah berisi 15 – 30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika sudah tua biji akan berwarna coklat kehitaman,agak keras, dan berlilin.

2.1.3 Habitat

Pada dasarnya tanaman sengon dapat tumbuh di tanah apa saja, baik di tanah tegalan atau pekarangan maupun tanah-tanah hutan yang baru dibuka. Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6-7 (Anonim, 2010b).

Sengon merupakan jenis vegetasi daerah tropik. Dengan demikian kisaran suhu yang diperlukan untuk pertumbuhannya berkisar antara 20-330C. Namun demikian, suhu optimum yang diperlukan oleh sengon berkisar antara 22-290C. Sengon tumbuh di areal dengan ketinggian 0-1500 m dpl (Atmosuseno, 1998).

Sengon lebih menyukai topografi tanah yang relatif datar. Akan tetapi, pada keadaan tertentu sengon juga dapat ditanam di areal yang bergelombang dan miring dan persentase kemiringan mencapai 25%. Areal yang mempunyai kemiringan di atas 25% sebaiknya ditanam dengan sistem terasering untuk mengurangi besarnya aliran pemukaan (surface run off) pada saat terjadi hujan (Atmosuseno, 1998).

2.1.4 Sejarah dan Penyebarannya

Berdasarkan catatan sejarah, sengon merupakan spesies asli dari kepulauan sebelah Timur Indonesia yakni disekitar Maluku dan Irian Jaya. Baru pada tahun 1870-an pohon ini menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara mulai dari Myanmar sampai Filipina. Habitat alami pohon sengon ditemukan di Kepulauan


(23)

5

Maluku. Pada tahun 1871 tanaman ini dimasukkan ke Jawa dan tepatnya ditanam di Kebun Raya Bogor, kemudian disebarkan ke berbagai daerah mulai dari Sumatra hingga Irian Jaya (Atmosuseno, 1998).

Penyebarannya yang sangat luas disebabkan mudahnya pohon ini tumbuh dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tanaman sengon tumbuh secara alami di Salomon, Papua Nugini, dan Indonesia. Daerah penyebaran di Indonesia meliputi Maluku, Sulawesi Selatan, seluruh Jawa dan Irian Jaya. Sengon sudah tersebar luas hingga ke Srilangka, India, Malaysia, Filipina, Fiji, dan Samoa (Atmosuseno, 1998).

2.1.5 Kegunaan Kayu Sengon

Pohon sengon merupakan pohon yang serba guna. Bagian yang memberikan manfaat yang paling besar dari pohon sengon adalah batang kayunya. Dengan harga yang cukup menggiurkan saat ini sengon banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk kayu olahan berupa papan papan dengan ukuran tertentu sebagai bahan baku pembuat peti, papan penyekat, pengecoran semen dalam kontruksi, industri korek api, pensil, papan partikel, dan bahan baku industri pulp dan kertas (Atmosuseno, 1998).

2.2 Hama Boktor 2.2.1 Taksonomi

Hama boktor dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Animalia

Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera Famili : Cerambycidae Subfamili : Cerambycinae Genus : Xystrocera

Species : Xystrocera festiva


(24)

2.2.2 Biologi dan Cara Penyebaran

Menurut Husaeni (2001), kumbang X. festiva tergolong serangga nokturnal, yaitu serangga yang aktif pada malam hari. Kumbang ini melakukan aktifitas pada malam hari, termasuk ketika bertelur dan melakukan perkawinan. Kumbang X. festiva melakukan perkawinan dan bertelur beberapa jam setelah kumbang keluar dari lubang gerek. Telur diletakkan secara berkelompok pada celah kulit batang atau cabang dengan maksud mencegah telur dari kekeringan atau gangguan musuhnya.

Sejak larva keluar dari telur yang baru beberapa saat menetas, larva sudah merasa lapar dan segera melakukan aktivitas penggerekan ke dalam jaringan kulit batang di sekitar lokasi larva diletakkan. Bahan makanan yang disukai larva boktor adalah bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (floem). Adanya serbuk gerek halus yang menempel pada permukaan kulit batang bagian luar merupakan petunjuk terjadinya gejala serangan awal (Anonim, 2010c).

Larva yang baru menetas berwarna putih kekuningan dengan kepala berwarna coklat kehitaman. Bentuk tubuh larva silindris dengan ukuran bagian tubuh semakin dekat toraks semakin membesar dan tubuhnya bersegmen-segmen. Larva dewasa mendekati pupasi dapat mencapai panjang 5,5 cm (Suharti, et al., 1994).

Menurut Husaeni (2001), panjang tubuh pupa 3 cm dan diameter tubuh 1 cm, berwarna kuning gading. Warna ini berangsur-angsur berubah menjadi coklat seiring dengan perkembangan pupanya.

Imago berwarna coklat kemerahan, sisi-sisi elytra dan protoraksnya berwarna hijau kebiruan, panjang tubuh 3,3 cm dan lebar 0,7-0,9 cm. Ukuran tubuh kumbang jantan agak lebih kecil dibandingkan ukuran tubuh kumbang betina. Panjang antena kumbang jantan adalah 1,5 kali panjang tubuh dengan kaki lebih panjang dan lebih kokoh dibandingkan dengan kumbang betina. Panjang antena kumbang betina kurang lebih sama dengan panjang tubuh (Husaeni, 2001).


(25)

7

2.2.3 Siklus Hidup

Siklus hidup X. festiva dapat beragam, tergantung antara lain pada kondisi iklim dan makanannya, sedangkan nilai rata-rata siklus hidup dipengaruhi oleh banyaknya individu yang diamati. Pada kondisi laboratorium dan dengan menggunakan makanan buatan Insecta Nippon Nosan, waktu yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mulai dari telur sampai imago adalah 174 hari atau 6 bulan, terdiri dari stadium telur 30 hari (kisaran 28-32 hari), larva 118 hari, pupa 15-17 hari (Suharti, et al., 1994). Dengan menggunakan makanan buatan yang sama, Matsumoto (1994), juga melakukan pemeliharaan dengan menggunakan telur yang berasal dari lapangan dan dari laboratorium. Larva-larva yang dipelihara dapat berkembang dengan baik namun pada saat akan berkepompong banyak mengalami kematian sehingga persentase pengepompongannya relatif rendah. Hanya 3 individu yang berhasil menjadi kumbang (seekor jantan, 2 ekor betina) dan waktu diperlukan untuk kelangsungan hidupnya adalah 195 hari (stadium telur 26 hari, larva 153 hari dan pupa 16 hari).

2.2.3 Penyebaran dan Tanaman Inang

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. Morfologi X. festiva (a). Kelompok telur X. festiva (b). Larva X. festiva. (c). Pupa X. festiva. (d). Kumbang X. festiva.


(26)

X. festiva menyerang berbagai jenis pohon yang tergolong family Leguminosae. Menurut Notoatmodjo (1963) dalam Husaeni, et al., (2001), selain menyerang sengon X. festiva menyerang pula Albizzia chinensis (A. stipulata), A. lebbecks, A. sumatarana, Phitecelobium lobatum, Samanea saman, Inga vera, dan Acacia auriculiformis. Pada tahun 1986 hama ini pernah ditemukan menyerang Calliandra callothyrsus di Bogor dan A. decurens di Sukabumi (Husaeni, 2001). Dalam penelitianya antara tahun 1991-1994, Matsumoto (1994) menambahkan lagi pohon-pohon inang yang diserang X. festiva yaitu A. mangium, hibrid (A. mangium x A. auricoliformis), A. vera, A. Arabica, A. catechu, Pithecelobium jiringa, P.dulce, Parkia speciosa, dan Enterolobium cyclocarpum. Sengon, jengkol dan petai merupakan tiga jenis pohon yang sering ditanam di kebun milik rakyat. Penularan boktor ke tegakan-tegakan sengon di dalam kawasan hutan sering dimulai dari kebun-kebun milik rakyat tersebut.

2.2.4 Pengendalian

Pengendalian hama boktor dapat dilakukan secara teknik silvikultur, secara mekanis, secara kimiawi dan pengendalian secara hayati. Pengendalian hama boktor dengan metode silvikultur di Indonesia sudah pernah dilakukan. Kemungkinan usaha yang dapat dilakukan dalam rangka pengendalian X. festiva secara teknik silvikultur adalah membuat tanaman campuran sengon dengan mimba (Azadirachta indica) dari family Meliaceae. Pengendalian secara mekanis dengan

sistem “tebang sakit” dan cara pengupasan kulit batang pohon yang terserang.

Pengendalian hama boktor secara kimiawi, selain biayanya mahal, juga secara teknis sukar untuk dilaksanakan. Pengendalian ini dapat dilaksanakan pada tanaman muda yang tidak terlalu luas. Pengendalian secara hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan musuh-musuh hama yang ada di lapangan atau dari hasil pembiakkan di laboratorium (Husaeni, 2001).

2.3 Artificial Diet

Artificial diet merupakan suatu makanan yang tidak alami atau asing bagi serangga yang dibuat dengan suatu proses tertentu yang mengacu pada pendekatan kimia (Wibisono, 1999). Di dalam makanan buatan ini terdapat komponen-komponen yang dibutuhkan oleh serangga untuk kehidupannya. Komponennya


(27)

9

dibagi menjadi dua yaitu komponen kimia dan komponen alami. Komponen alami dapat dipenuhi oleh bagian tanaman seperti serbuk kayu, ekstrak biji, ekstrak daun dan bunga, sedangkan komponen kimia dapat dipenuhi dengan ascorbic acid, yeast extract, dan bahan-bahan kimia lainnya. Artificial diet merupakan ransum yang sering dipakai dalam melakukan penelitian serangga, khususnya stadium larva. Makanan buatan telah dimanfaatkan untuk tujuan pencegahan, pemberantasan dan pengendalian hama dan penyakit (Singh, 1977 dalam Lakapu, 2008). Adanya artificial diet memungkinkan dan memudahkan untuk menguji produk-produk serta bahan aktif tanaman yang bersifat anti-metabolik terhadap serangan hama menurut Allsop (1994) dalam Lystiorini (2007).

Awal perkembangan makanan buatan yaitu pada tahun 1976 oleh Sander dan Knoke merupakan orang pertama yang berhasil menangkarkan hama kayu Xyleborus ferrugineus dalam makanan buatan. Didalam makanan buatan tersebut terdapat berbagai macam bahan kimia maupun bahan alami, seperti serbuk kayu dan lain sebagainya. Komposisi bahan makanan yang dipakai terdiri dari sucrose (15 g), yeast extract (10 g), casein (10 g), wheat (15 g), salt (1,3 g), agar (40 g), sawdust (150 g), air destilasi (1000 ml), ascorbic acid (2 g), dan streptomycin (0,7 g) (Singh, 1977 dalam Lakapu, 2008).

Masing-masing bahan alami maupun bahan kimia yang digunakan mempunyai fungsi yang berbeda. Ascorbic acid merupakan sumber vitamin C yang sangat dibutuhkan serangga dalam pertumbuhannya. Yeast extract merupakan sumber protein untuk melengkapi kebutuhan nutrisi serangga, khususnya dalam memproduksi sel, jaringan tubuh dan pembentukan enzim-enzim oleh serangga. Kehadiran protein ini memberikan respon yang sangat berarti bagi serangga dalam pertumbuhannya dan juga merangsang metabolisme dalam tubuh serangga (Chapman, 1971).

Singh (1977) dalam Lakapu, (2008) mengatakan bahwa agar mutlak diperlukan dalam pembuatan artificial diet. Agar dipergunakan sebagai pembentuk tekstur ransum dan mampu mengikat zat-zat aditif secara sempurna. Selanjutnya ditambah zat gula (sukrosa) yang merupakan zat pembentuk tenaga.

Fungsi karbohidrat sebagai sumber utama energi, pengatur metabolisme lemak, dan penghemat fungsi protein. Sementara itu, dikatakan bahwa zat pokok


(28)

yang dibutuhkan adalah karbohidrat dan air. Karbohidrat diperoleh dari selulosa sedangkan kebutuhan air diperoleh dari aquades. Lemak berfungsi sebagai penghasil energi yang dibutuhkan pembentuk struktur tubuh.

Na (Natrium) berfungsi sebagai pengatur volume darah dan 30-40% berada didalam tulang. Cl (Klor) selalu mengikuti ion Na dalam cairan tubuh. Na dan Cl ini merupakan mineral makro yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Mg berfungsi untuk struktur tulang, transmisi impuls saraf, dan regulasi enzim.

Streptomycin yang diberikan dalam artificial diet berfungsi sebagai antibiotik dalam mencegah bakteri. Artificial diet dapat bertahan lama karena adanya streptomycin.

Keuntungan yang didapatkan dalam memelihara serangga pada artificial diet adalah didapatkannya gambaran yang jelas akan perilaku dan sifat hidup hama boktor. Artificial diet ini juga memungkinkan untuk penyelamatan terhadap jenis serangga yang langka untuk menghindari kepunahan jenis tersebut. Menurut Singh (1977) dalam Lystiorini (2007), ada empat prinsip yang harus diperhatikan untuk mendapatkan artificial diet yang sempurna adalah :

1. Faktor fisik : tekstur, kekerasan, kandungan air, dan ukuran artificial diet 2. Faktor kimia : nutrisi dan kandungan bahan organik

3. Keseimbangan nutrisi : nutrisi-nutrisi dalam artificial diet harus mempunyai peran masing-masing dan mempunyai hubungan antar nutrisi

4.Kontaminasi mikroba : adanya kontaminasi dengan mikroba dapat merusak artificial diet dan mikroba tersebut akan menjadi parasit bagi serangga.


(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Agustus-Desember 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu serbuk kayu dan kulit sengon yang terdiri dari provenan Kediri kondisi sakit dan sehat, provenan Salomon kondisi sakit dan sehat (masing-masing telah diproses secara freeze dry), yeast extract, streptomycin, sukrosa, agar, aquades, ascorbic acid (vitamin C), Na benzoat dan larva berukuran besar dengan panjang ± 2,5 cm.

3.2.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari neraca digital, kompor listrik, tabung reaksi, gelas kimia, gelas ukur, sendok, pengaduk, caliper, milimeterblok, pipet, cawan petri, cutter, gunting, kain kasa, tissue, label, karet, tabung film, alat tulis, kamera, dan mikroskop.

3.3 Pelaksanaan Pengerjaan

3.3.1 Persiapan dan Pembuatan Artificial Diet

Persiapan penelitian meliputi pengambilan serbuk kayu dan kulit sengon yang telah diproses secara freeze dry, persiapan bahan-bahan kimia penyusun makanan buatan (artificial diet) dan alat-alat yang digunakan, pembuatan desain tabung sebagai tempat ransum dengan tabung reaksi yang kemudian ditutupi kain kasa. Selanjutnya, dilakukan pencarian larva X. festiva, dengan asumsi kumpulan larva dalam satu tempat berasal dari satu induk.


(30)

Komposisi makanan buatan untuk larva boktor dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi Artificial Diet Larva Besar

Komposisi Jumlah Bahan I

1. Aquades 50 ml 2. Sukrosa 5 g 3. Streptomycin 0,5 g 4. Benzoat 0,5 g 5. Yeast extract 0,75 g 6. Asam ascorbic 0,5 g 7. Serbuk kayu sengon 5 g

Bahan II

1. Aquades 50 ml 2. Agar 1,75 g

Komposisi artificial diet dalam penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, namun terdapat perubahan berupa pengurangan pada beberapa unsur. Komposisi kali ini tidak menggunakan tambahan selulosa murni dan beberapa bahan kimia yang pernah dilakukan sebelumnya. Hanya menggunakan serbuk sengon sebagai sumber selulosa utamanya.

Pembuatan artificial diet yaitu dengan cara mencampurkan bahan I dengan bahan II dari komposisi artificial diet tersebut. Bahan I dibuat dengan cara memasukan aquades dan sukrosa ke dalam gelas kimia lalu diaduk sampai larut. Kemudian masukan yeast extract sambil diaduk masukan lagi streptomycin, benzoate dan asam ascorbic lalu diaduk sampai larut semuanya. Selanjutnya masukan serbuk sengon sesuai dengan provenan lalu di aduk lagi sampai tercampur semua. Sementara itu, Bahan II dibuat dengan cara : menuangkan aquades ke dalam gelas kimia dan melarutkan agar ke dalamnya lalu di aduk dan dipanaskan dengan kompor listrik. Setelah kedua bahan siap, agar (bahan II) dicampurkan ke dalam campuran serbuk sengon dan bahan kimia lainnya (bahan I).


(31)

13

3.3.2 Percobaan dan Parameter pengamatan

Percobaan dilakukan dengan memasukan satu persatu larva X. festiva ke dalam tabung reaksi yang telah berisi makanan buatan (artificial diet), kemudian ditutup dengan kain kasa lalu diikat dengan karet gelang. Tabung-tabung percobaan ini disimpan di rak dengan suhu kamar dan memperoleh udara yang cukup. Parameter yang diamati yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva, dan berat artificial diet yang dikonsumsi oleh larva boktor. Pengukuran dan penggantian makanan dilakukan setiap dua minggu.

3.4 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola percobaan faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah provenan yang terdiri dari dua taraf yaitu Kediri (K) dan Salomon (S), faktor kedua adalah kondisi pohon yang terdiri dari dua taraf yaitu kondisi sehat (H) dan kondisi sakit (K).

Dengan demikian terdapat empat (2x2) kombinasi perlakuan yaitu : SK : Salomon Sakit

SH : Salomon Sehat KK : Kediri Sakit KH : Kediri Sehat

Sampel dari serbuk batang sengon Salomon sakit sebanyak tiga pohon, serbuk batang sengon Salomon sehat sebanyak 26 pohon, serbuk kulit sengon Salomon sakit sebanyak tiga pohon, serbuk kulit sengon Salomon sehat sebanyak lima pohon, sampel dari serbuk batang sengon Kediri sakit sebanyak sebelas pohon, dari serbuk batang sengon Kediri sehat sebanyak 23 pohon, dari serbuk kulit sengon Kediri sakit sebanyak tiga pohon, dari serbuk batang sengon Kediri sehat sebanyak lima pohon. Umur pohon Sengon yang dipakai adalah 10 tahun.


(32)

Model rancangannya adalah : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + Єijk dimana :

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh faktor A taraf ke-i

βj = Pengaruh faktor B taraf ke-j

αβ)ij = Pengaruh perlakuan faktor A taraf ke-i dan faktor B ke-j

Єijk = Pengaruh galat pada setiap satuan percobaan pada ulangan ke-k i = 1 dan 2

j = 1 dan 2 k = 1,2 dan 3

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sistem SAS 9.1 for windows. Sebelum mengolah data, data ini terlebih dahulu ditransformasi dengan menggunakan log, untuk mengetahui pengaruh berbagai perlakuan yang diberikan maka dilakukan analisis sidik ragam dengan uji faktorial RAL terhadap variabel yang diamati dengan hipotesis sebagai berikut :

H0 = Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan larva X. festiva

H1 = Perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan larva X. festiva sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah :

Fhitung > Ftabel ; tolak H0 Fhitung ≤ Ftabel ; terima H0

Penolakan hipotesis nol (H0) berimplikasi bahwa perlakuan yang diberikan terhadap unit-unit percobaan memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon percobaan yang diamati. Jika hasil Uji F menunjukkan adanya beda nyata maka, dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui beda rata-rata antar perlakuan (Matjik & Sumertajaya 2006).


(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan hasil pengamatan selama lima kali dapat diperoleh hasil bahwa tanaman sengon dari berbagai provenan dengan kondisi pohon sehat dan pohon sakit serta jenis serbuk kulit dan batang pada artificial diet memberi pengaruh yang tidak nyata terhadap pertumbuhan larva boktor. Hal ini dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Provenansi dan Kondisi Pohon Sengon

(P. falcataria) Terhadap Pertumbuhan Larva Boktor Selama Lima Kali Pengamatan.

Keterangan:

* : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5% tn: Tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5%

Tabel 2 menunjukkan bahwa baik serbuk kulit maupun serbuk batang, jenis provenan dan kondisi pohon sengon tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5 % terhadap semua parameter pengamatan yaitu berat konsumsi makanan larva, panjang larva, berat larva, dan diameter kepala larva.

Faktor Keragaman Parameter pengamatan Berat

konsumsi makanan

Panjang larva

Berat larva

Diameter kepala

larva Serbuk kulit

Provenan 0,59tn 0,85tn 0,8tn 0,28tn Kondisi 0,65tn 0,39 tn 0,6tn 0,59tn Provenan * Kondisi 0,5 tn 0,32 tn 0,7tn 0,81tn

Serbuk batang

Provenan 0,83tn 0,62 tn 0,47 tn 0,81 tn Kondisi 0,7tn 0,93 tn 0,57 tn 0,34 tn Provenan * Kondisi 0,5 tn 0,75 tn 0,65 tn 0,98 tn


(34)

4.1.1 Pengaruh Serbuk Kulit

Gambar 2 Rata-rata Pertambahan Tiap Parameter Pengamatan Dalam Artificial Diet Serbuk Kulit. . -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6

P1 P2 P3 P4 P5

P e r tam b ah an B e r at Lar v a (gr ) -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6

P1 P2 P3 P4 P5

P e r tam b ah an P an jan g Lar v a (c m ) -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00

P1 P2 P3 P4 P5

P e r tam b ah an D iam e te r K e p al a La r v a (m m ) -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00

P1 P2 P3 P4 P5

B e r at K o n su m si Lar v a (gr ) Pengamatan


(35)

17

Gambar 2 menunjukkan rata-rata pertambahan tiap parameter pengamatan dalam artificial diet serbuk kulit. Pada parameter berat larva boktor yang mengalami pertambahan tertinggi yaitu provenan Kediri dalam kondisi sehat (KKH) dipengamatan ke-3 dan berat larva terendah juga provenan Kediri dalam kondisi sehat (KKH) di pengamatan ke empat. Pertambahan berat larva tertinggi yaitu pada provenan Kediri sebesar 0,4 gram. Pola yang ditunjukkan dari rata-rata pertambahan berat larva yaitu pada pengamatan ke-3 larva dari semua perlakuan rata-rata mengalami peningkatan yang sangat besar kecuali pada provenan Salomon dalam kondisi sakit. Pada provenan Salomon, kondisi sakit mulai mengalami peningkatan P-4 sampai dengan P-5.

Pertambahan panjang larva tertinggi pada provenan Salomon dalam kondisi sehat di pengamatan ke-1. Provenan Salomon dalam kondisi sakit juga mengalami penurunan di pengamatan ke-5. Pertambahan panjang larva tertinggi yaitu pada provenan Salomon sebesar 0,41 cm. Pola yang ditunjukkan dari rata-rata pertambahan panjang larva boktor (X. festiva Pascoe) dalam makanan buatan (artificial diet) selama 5 kali pengamatan adalah pada semua jenis provenan baik kondisi sehat maupun sakit dapat dikatakan sama, karena mengalami peningkatan maupun penurunan yang tidak berbeda jauh antar provenan dari P-1 sampai P-5.

Pertambahan diameter larva boktor (X. festiva) yang tertinggi terdapat pada provenan Salomon dengan kondisi sakit sebesar 0,46 mm pada pengamatan ke-4, sedangkan yang mengalami penurunan yaitu provenan Kediri dalam kondisi sakit di pengamatan yaitu sebesar -0,71 mm. Pola yang ditunjukkan dari rata-rata pertambahan diameter kepala larva boktor (X. festiva Pascoe) adalah berbeda antar provenan. Pola pertambahan diameter kepala pada provenan Kediri sehat mengalami peningkatan maupun penurunan setiap pengamatan, sedangkan pada provenan Kediri sakit mengalami penurunan dari pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-5. Selanjutnya, pada provenan Salomon sehat mengalami peningkatan sampai P-3 lalu menurun sampai P-5. Pada provenan Salomon dengan kondisi sakit mengalami peningkatan di pengamatan ke-4 dan mengalami penurunan pada pengamatan ke-5.

Pertambahan berat makanan larva boktor yang tertinggi adalah provenan Salomon dalam kondisi sehat sebesar 1,91 gram pada pengamatan ke-1.


(36)

Selanjutnya, provenan Kediri dalam kondisi sakit mengalami penurunan yaitu pada sebesar -3,81 gram pada pengamatan ke-3. Pola yang ditunjukkan oleh larva dalam mengonsumsi makanan adalah berbeda antar provenan. Provenan Kediri sehat dan Salomon sehat cenderung bersifat fluktuatif yaitu mengalami peningkatan dan penurunan. Berbeda dengan provenan Kediri sakit dan Salomon sakit yang mulai terlihat stabil pada pengamatan ke-3 sampai ke-5.

Selama lima kali pengamatan, jumlah total makanan yang dikonsumsi larva lebih tinggi jika dalam kondisi sehat dibandingkan dengan kondisi sakit. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Total Berat Makanan yang Dikonsumsi Larva Boktor (X. festiva Pascoe) ) dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) Selama 5 Kali Pengamatan untuk Serbuk Kulit.

Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah artificial diet yang paling banyak dikonsumsi oleh larva adalah provenan Kediri dalam kondisi sehat (KKH). Perbedaan jumlah makanan yang dikonsumsi larva pada provenan Kediri sehat terhadap Kediri sakit, Salomon sehat maupun sakit terlalu besar. Namun, pada kedua provenan tersebut dalam kondisi sehat lebih banyak dikonsumsi daripada kondisi sakit. Jumlah total makanan yang dikonsumsi larva pada KSH (Kulit Salomon sehat) lebih tinggi daripada KSK (kulit Salomon Sakit), dan KKH (Kulit Kediri Sehat) lebih tinggi daripada KKK (Kulit Kediri Sakit).

1213 167 389 223 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

KKH KKK KSH KSK

B e ra t Ko n su m si L a rv a (m g)


(37)

19

4.1.2 Pengaruh Serbuk Batang

Gambar 4 Rata-rata Pertambahan Tiap Parameter Pengamatan Dalam Artificial Diet Serbuk Batang.

Gambar 4 menunjukkan rata-rata pertambahan tiap parameter pengamatan dalam artificial diet serbuk batang. Parameter berat larva boktor yang mengalami

-0.4 -0.2 0 0.2 0.4

P1 P2 P3 P4 P5

P e rt a m b a h a n B e ra t Lar v a (gr) -1 -0.5 0 0.5 1

P1 P2 P3 P4 P5

P e r tam b ah an P an jan g Lar v a (c m ) -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50

P1 P2 P3 P4 P5

P e r tam b ah an D iam e te r K e p al a La r v a (m m ) -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50

P1 P2 P3 P4 P5

B e r at K o n su m si Lar v a (gr ) Pengamatan


(38)

pertambahan tertinggi pada provenan Salomon dalam kondisi sakit sebesar 0,24 gram pada pengamatan ke-5. Selanjutnya, yang mengalami penurunan yaitu provenan Kediri dalam kondisi sehat sebesar -0,34 gram pada pengamatan ke-2. Pola yang ditunjukkan dari rata-rata pertambahan berat larva yaitu bersifat fluktuatif pada provenan Salomon sakit karena mengalami penurunan maupun peningkatan. Pada provenan Kediri sehat, Kediri sakit dan Salomon sehat cenderung membentuk garis lurus pada pengamatan ke-4 sampai ke-5.

Pertambahan panjang larva tertinggi yaitu pada provenan Salomon dalam kondisi sakit di pengamatan ke-3. Sementara itu, yang mengalami penurunan yaitu provenan Kediri dalam kondisi sehat di pengamatan ke-3. Pertambahan panjang larva tertinggi yaitu provenan Salomon sebesar 0,18 cm. Pola yang ditunjukkan dari rata-rata pertambahan panjang larva boktor (X. festiva Pascoe) dalam makanan buatan (artificial diet) selama 5 kali pengamatan adalah pada provenan Kediri sehat mengalami penurunan pada pengamatan ke-3 dan ke-5, sedangkan pada provenan Kediri sakit tidak mengalami pertambahan panjang pada pengamatan ke-4 sampai ke-5. Sementara itu, pada provenan Salomon sehat dan sakit bersifat fluktuatif yaitu mengalami peningkatan maupun penurunan pada setiap pengamatan.

Pertambahan diameter larva boktor (X. festiva) yang tertinggi pada provenan Salomon dengan kondisi sakit sebesar 1,22 mm pada pengamatan ke-1. Sementara itu, yang mengalami penurunan yaitu provenan Salomon dalam kondisi sehat yaitu sebesar -0,58 mm pada pengamatan ke-3. Pola yang ditunjukkan dari rata-rata pertambahan diameter kepala larva boktor adalah berbeda antar provenan. Pola pertambahan diameter kepala pada provenan Kediri Sehat maupun sakit, Salomon sakit bersifat fluktuatif yaitu mengalami penurunan pada pengamatan ke-2 lalu mengalami peningkatan yang berbeda pada pengamatan ke-3 sampai ke-5. Provenan Salomon sehat terlihat mengalami penurunan secara drastis pada pengamatan ke-3 dan mengalami peningkatan lagi pada pengamatan ke-4 sampai ke-5.

Pertambahan berat makanan larva boktor yang tertinggi adalah provenan Salomon dalam kondisi sehat sebesar 1,24 gram pada pengamatan ke-3. Sementara itu, yang mengalami penurunan secara drastis yaitu provenan Salomon dalam kondisi sehat sebesar -1,24 pada pengamatan ke-2. Pola yang ditunjukkan oleh


(39)

21

larva dalam mengonsumsi makanan adalah berbeda antar provenan. Provenan Kediri sehat dan Salomon sehat cenderung bersifat fluktuatif yaitu mengalami peningkatan dan penurunan. Berbeda dengan provenan Salomon sakit yang mulai terlihat stabil pada pengamatan ke-3 sampai ke-5 dan Kediri sakit yang mengalami penurunan dari pengamatan ke-3 sampai ke-5.

Selama lima kali pengamatan, jumlah total makanan yang dikonsumsi larva lebih tinggi dalam kondisi sehat pada provenan Salomon . Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Total Berat Makanan yang Dikonsumsi Larva Boktor (X. festiva Pascoe) dalam Makanan Buatan (Artificial Diet) Selama 5 Kali Pengamatan untuk Serbuk Batang.

Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah artificial diet yang paling banyak dikonsumsi oleh larva adalah provenan Salomon dalam kondisi sehat (BSH). Perbedaan jumlah makanan yang dikonsumsi larva pada provenan Salomon sakit provenan Kediri sehat dan sakit, Salomon sehat cukup besar. Jumlah total makanan yang dikonsumsi larva pada BSH (Batang Salomon sehat) lebih tinggi daripada BSK (Batang Salomon sakit), dan BKK (Batang Kediri sakit) lebih tinggi daripada BKH (Batang Kediri sehat).

340 1660 2790 1160 0 500 1000 1500 2000 2500 3000

BKH BKK BSH BSK

B e ra t Ko n su m si L a rv a (m g)


(40)

Tabel 3 Hasil Rata-rata Pertambahan Tiap Parameter Pengamatan Dalam Artificial Diet dengan Serbuk Sengon

Tabel 3 menunjukkan hasil rata-rata pertambahan tiap parameter pengamatan dalam artificial diet dari jenis serbuk kulit dan batang. Terlihat jelas bahwa yang memiliki rata-rata tertinggi terbanyak terhadap ke-4 parameter diatas adalah provenan Salomon untuk serbuk batang, sedangkan pada serbuk kulit tidak menunjukkan pola yang jelas.

4.1.3 Analisa Komposisi Artificial Diet

Dalam penelitian kali ini, komposisi artificial diet tidak menggunakan serbuk selulosa murni tambahan, hanya menggunakan serbuk sengon sebagai bahan selulosa utama. Dapat dilihat perbandingan penelitian sebelumnya dan penelitian sekarang pada Tabel 4.

Jenis Serbuk Parameter pengamatan Berat

konsumsi makanan

Larva

Panjang larva

Berat larva Diameter kepala

larva

Serbuk kulit

Tertinggi KSH KKH KSH KKH Terendah KKH KKK KKK KSK Serbuk batang

Tertinggi BSK BSH BSH BSK Terendah BKK BKH BKH BSH


(41)

23

Tabel 4 Perbandingan Pengaruh Komposisi Artificial Diet pada Pengamatan Terakhir dengan Data Penelitian Sebelumnya yaitu Provenan Salomon

Kondisi Sehat Penelitian

(Tahun)

Perlakuan Berat Larva (mg) Panjang larva (mm) Diameter Kepala larva (mm) Berat Makanan (mg)

Listyorini (2007) Menggunak an selulosa

240 4,3 1,3 6230

Nuban (2010) Tidak menggunaka n selulosa

30 2 0,5 2790

Keterangan : Berat Larva (BL) = BL akhir – BL awal Panjang Larva (PL) = PL akhir - PL awal Diameter kapala larva (DK) = DK akhir – DK awal

Berat makanan = total berat makanan selama pengamatan

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada pengamatan terakhir total makanan yang dikonsumsi oleh larva pada komposisi artificial diet pada tahun 2007 sangat baik dibandingkan dengan penelitian tahun 2010. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengurangan selulosa berpengaruh pada minat makan boktor.

Pertumbuhan larva boktor selama penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya larva boktor mengalami pertumbuhan karena adanya faktor kondisi yang menguntungkan seperti tersedianya jumlah makanan yang cukup tiap pengamatan. Tetapi pada kondisi tertentu, larva juga mengalami kematian. Salah satu kemungkinan penyebab kematian larva adalah adanya jamur pada artificial diet. Setelah diamati dengan mikroskop didapati jenis jamur Aspergilus sp.

4.1.4 Perilaku Larva Boktor dalam Artificial Diet

Berdasarkan pengamatan selama lima kali untuk serbuk batang dan kulit sengon di laboratorium dengan menggunakan makanan buatan, terlihat bahwa perilaku makan larva boktor sama seperti perilaku makan larva boktor pada batang pohon di lapangan. Perilaku makan larva boktor pada pohon menyebabkan bentuk kerusakan seperti yang terlihat dalam Gambar 6.


(42)

(a) (b)

Gambar 6 Perilaku Makan Larva Boktor pada Artificial Diet (a) dengan bentuk Kerusakan Pohon Sengon di Lapangan (b).

Larva memakan dengan cara mulai menggerek dari bagian pinggir atas lalu terus menggerek ke arah bawah dengan pola sedikit memutar sehingga membentuk pola seperti sebuah saluran. Larva terus memakan hingga ke bagian tengah artificial diet.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Provenan Sengon dan Kondisi Sengon Terhadap Perkembangan Larva Boktor dalam Artificial Diet

Larva ukuran besar pada artificial diet dengan komposisi serbuk sengon bagian kulit dan batang, jenis provenan dan kondisi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada semua parameter pengamatan yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva dan berat konsumsi makanan larva. Kondisi ini diduga bahwa larva ukuran besar dikategorikan larva yang telah mendekati tahap akhir larva. Pada tahap ini, artificial diet dibutuhkan hanya untuk mempertahankan hidup larva tetapi tidak lagi untuk pertumbuhan larva sehingga kebutuhan nutrisi larva lebih sedikit (Lystiorini, 2007). Selain itu, pertumbuhan pada umumnya selalu diikuti oleh pertambahan ukuran. Pada serangga, pertambahan ukuran tertahan oleh ketidaklenturan eksoskeleton. Karena itu, agar pertumbuhan dapat berlangsung, kulit lama harus ditinggalkan dan diganti dengan kulit yang baru (Husaeni, et al., 2006b).

Berdasarkan hasil rekapitulasi analisis sidik ragam ukuran larva boktor besar pada artificial diet dengan komposisi serbuk kulit dan batang sengon dari berbagai provenan dan kondisi yang disajikan pada Tabel 2, secara umum menunjukkan bahwa serangan hama boktor dapat terjadi pada semua jenis


(43)

25

tanaman sengon dari berbagai provenan dan kondisi. Hal ini juga menunjukkan bahwa larva boktor tidak mempunyai spesifikasi khusus dalam memilih inangnya. Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tiap parameter pengamatan dalam artificial diet serbuk kulit memiliki pola makan yang berbeda-beda untuk perkembangan larva boktor. Pertambahan panjang larva, berat larva, panjang larva dan berat makanan larva memiliki pola makan yang hampir sama yaitu bersifat fluktuatif yang berarti mengalami peningkatan maupun penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh proses ganti kulit pada stadium larva dan dari stadium larva ke stadium pupa sehingga larva juga tidak makan selama proses transisi tersebut. Masa transisi antara stadium larva ke stadium pupa ditandai oleh masa larva berhenti makan selama beberapa hari (Hardi, 1998). Selama pengamatan didapatkan bahwa larva boktor mulai melakukan proses ganti kulit pada minggu ke-4. Ciri-ciri awal yang ditunjukkan yaitu larva mulai kurang bergerak karena tubuh larva tertutupi oleh semacam selaput putih. Hal ini hampir mirip perilaku larva saat akan menjadi pupa yang ditutupi oleh selaput. Kemungkinan lain adalah, faktor ketahanan pohon terhadap serangan hama rendah, sehingga larva yang dulunya berada pada bagian kulit dapat cepat berkembang hingga mencapai bagian dalam kayu atau batang. Pada penelitian Raguso, et al. (2007), menunjukkan bahwa dalam proses pengamatan terhadap larva besar Manduca sexta juga mengalami proses ganti kulit yaitu dari stadium larva ke stadium pupa. Hal ini terjadi karena adanya faktor nutrisi makanan dan komposisi artificial diet yang belum tepat sehingga terjadi kelebihan gizi. Sementara itu, larva yang memiliki kandungan gizi tinggi dapat bertahan selama pengamatan dan mengalami pertumbuhan. Hal ini tidak berhubungan dengan frekuensi makan yang baik atau proporsi perawatan makan yang baik, namun artificial diet untuk larva M. sexta memiliki pengaruh yang nyata terkait dengan karakteristik penambahan ngengat dalam penelitian, adanya proses ganti kulit yaitu dari stadium larva ke stadium pupa, kadar lemak, dan larva M. sexta yang masih dalam kondisi sehat.

Gambar 3 menunjukkan bahwa selama lima kali pengamatan, jumlah total makanan yang dikonsumsi larva untuk serbuk kulit lebih tinggi jika dalam kondisi sehat dibandingkan dengan kondisi sakit. Jumlah total makanan tertinggi terdapat pada provenan Kediri dalam kondisi sehat sebesar 1213 mg. Hal ini dapat dilihat


(44)

pada pola makan larva yang bervariasi karena nutrisinya yang terpenuhi. Jumlah dan kualitas makanan merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi laju perkembangan, kelangsungan hidup, dan kelimpahan serangga. Suatu hutan menyediakan sejumlah variasi makanan, berupa spesies pohon yang beranekaragam, beragamnya umur dan bagian pohon yang berbeda sebagai sumber makanan mulai dari biji, daun, tunas, pucuk, ranting, kulit, kayu dan akar. Dengan struktur demikian, serangga dapat mengkhususkan diri dalam penyerangannya terhadap bagian-bagian pohon yang berbeda. Selain itu juga, karena adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, tinggi , berat, panjang dan berat konsumsi makanan larva yaitu faktor keturunan, produksi hormon, konsumsi makanan, dan penyakit (Blanco, et al., 2009).

Gambar 4 menunjukkan komposisi artificial diet yang berbeda-beda memberi pengaruh yang berbeda-beda pada setiap parameter pengamatan. Pada parameter rata-rata berat larva dan panjang larva mengalami penurunan maupun peningkatan pada pertumbuhannya. Hal ini diduga juga dipengaruhi oleh proses ganti kulit oleh larva sehingga larva tidak makan beberapa hari dan beberapa larva mengalami proses pergantian dari stadium larva ke stadium pupa. Sementara itu, pada diameter kepala larva proses pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan makanan dan nutrisi yang telah didapat dari minggu-minggu sebelumnya. Pola yang ditunjukkan oleh larva dalam mengonsumsi makanan di serbuk batang adalah berbeda antar provenan. Sama halnya dengan serbuk kulit pola makan tidak kontinu ini karena larva mempunyai perilaku makan yang berbeda, tidak harus kontinu atau secara terus-menerus. Pada pencernaan larva boktor terdapat aktifitas enzim trypsin dan alfa-amylase, yang mempunyai pola aktifitas enzim yang linear (Prasetya, 2007). Selain itu, batang kayu sengon juga merupakan bagian yang memiliki aktivitas α-amylase inhibitor yang paling tinggi, sedangkan bagian yang memiliki aktivitas α-amylase inhibitor yang paling rendah terdapat pada bagian kulit pada kedua provenan (Djati, 2009 ).

Perbedaan jumlah larva boktor pada masing-masing provenan dapat disebabkan karena kemampuan terbang yang pendek, satu kali terbang hanya menempuh jarak 3-4 m dengan tinggi terbang 0,5-1 m sehingga penyebaran telur terjadi pada pohon yang berdekatan. Biasanya serangan terjadi pada pohon-pohon


(45)

27

yang saling berdekatan dan kadang-kadang satu pohon mendapat serangan beberapa kali (Husaeni, et al., 2006a).

Gambar 5 menunjukkan bahwa yang memiliki jumlah total makanan tertinggi terdapat pada provenan Salomon dalam kondisi sehat sebesar 2790 mg. Pertumbuhan terbaik dari serbuk batang dan kulit terdapat pada provenan Salomon. Hal ini dapat dilihat pada pola makan larva yang bervariasi dari kedua provenan. Serangga yang mempunyai kebutuhan makanan beranekaragam akan berkembang dengan baik pada spesies pohon tertentu. Di dalam suatu pohon, spesies pohon memiliki variasi yang besar dalam kerentanan individu pohon, sebagai hasil dari adanya variasi genetik. Kenyataannya ini dimanfaatkan dalam seleksi dan pemuliaan pohon yang resisten tehadap hama (Husaeni, et al., 2006b).

Tabel 3 menunjukkan hasil rata-rata pertambahan tiap parameter pengamatan dalam artificial diet dari jenis serbuk kulit dan batang yaitu berat konsumsi makanan larva, panjang larva, berat larva, dan diameter kepala larva. Terlihat jelas bahwa yang memiliki rata-rata tertinggi terbanyak terhadap ke-4 parameter adalah provenan Salomon untuk serbuk batang, sedangkan pada serbuk kulit memiliki nilai rata-rata tertinggi untuk parameter berat makanan larva dan berat larva yaitu provenan Salomon Sehat (KSH), sedangkan nilai rata-rata tertinggi untuk parameter diameter kepala larva dan panjang larva yaitu pada provenan Kediri Sehat (KKH). Hal ini dapat diasumsikan bahwa jenis provenan Salomon dalam kondisi sakit maupun sehat sangat disukai oleh larva boktor untuk pertambahan panjang larva, berat larva dan diameter kepala larva pada serbuk batang. Sementara itu, jenis provenan Kediri kondisi sehat dengan serbuk kulit memiliki pertambahan tertinggi pada parameter panjang larva dan diameter kepala larva, jenis provenan Salomon kondisi sehat memilki rata-rata tertinggi pada parameter berat konsumsi makanan larva dan berat larva. Namun, terlihat jelas bahwa yang memiliki rata-rata terendah dari kedua jenis provenan itu adalah dari Kediri baik sakit maupun sehat kecuali pada serbuk batang yang memiliki rata-rata terendah adalah provenan Salomon dalam kondisi sehat di parameter diameter kepala larva.

Pada kondisi pohon sakit akan lebih rentan terhadap serangan hama boktor dibandingkan dengan kondisi pohon sehat. Tetapi pada pohon yang mengalami


(46)

stress biasanya akan mengeluarkan senyawa inhibitor untuk bertahan dari serangan hama boktor, senyawa inhibitor mempunyai kemungkinan tidak disukai oleh hama (Listyorini, 2007). Pohon yang sakit kemungkinan telah mengalami degradasi nutrisi sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan nutrisi pada larva boktor. Sifat fisiologik yang mempengaruhi serangga biasanya berupa zat-zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman baik metabolisme primer maupun metabolisme sekunder. Hasil metabolisme sekunder seperti quinon,flavonoid, tannin, dll (Alfermann, 2000). Sementara itu, hasil metabolisme primer seperti protein, karbohidrat dan lemak. Tanaman sengon secara umum berpotensi untuk mendapatkan serangan hama boktor. Artinya, serangan hama boktor berpotensi terjadi pada semua tanaman sengon tanpa membedakan provenansi dan kondisi dari tanaman sengon itu sendiri.

Selain hal-hal tersebut diatas, kayu sengon juga memiliki zat inhibitor yang merupakan daya tahan alami suatu tanaman untuk melawan serangan hama (Listyorini, 2007). Pada pencernaan larva boktor terdapat aktifitas enzim trypsin dan alfa-amylase, yang mempunyai pola aktifitas enzim yang linear (Prasetya, 2007). Enzim trypsin berperan dalam pencernaan protein menjadi molekul yang

sederhana yang siap diserap oleh sel, sedangkan mekanisme kerja α-amylase adalah

memecah molekul yang besar (seperti pati ) menjadi molekul yang kecil, sehingga dapat diserap oleh usus. Molekul pati, terlalu besar untuk diserap oleh usus, namun enzim akan menghidrolisis rantai pati menjadi molekul kecil seperti maltosa, yang akan dihidrolisis lebih jauh menjadi glukosa, sehingga dapat diserap. Enzim-enzim yang berbeda, mencerna zat-zat makanan yang berbeda pula.

4.2.3 Komposisi Artificial Diet yang Sesuai

Faktor provenan dan kondisi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada semua parameter pengamatan yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva dan berat konsumsi makanan larva. Pada penelitian Listyorini (2007) dengan mengunakan selulosa murni sebagai bahan utama memberi pengaruh nyata pada berat larva dan berat makanan larva dan diameter kepala larva.

Pada penelitian ini, ada pengurangan vitamin B, NaCl, dolomit, dan minyak zaitun dan tidak menggunakan serbuk selulosa murni sebagai tambahan, hanya menggunakan serbuk sengon sebagai bahan selulosa utama. Hal ini dibuat dengan pertimbangan dapat diketahui jumlah serbuk sengon murni yang dikonsumsi oleh


(47)

29

larva boktor. Hanya menggunakan sedikit bahan kimia yaitu asam askorbik, benzoat, yeast extract dan streptomycin yang sama seperti penelitian Listyorini (2007).

Keuntungan dari artificial diet untuk serangga adalah kandungan gizinya lebih lengkap dan mudah diatur sesuai dengan kebutuhan, mudah melihat perilaku larva dalam menyerang pohon dibandingkan di lapangan, dan dapat melihat daur hidup dari larva tersebut (Blanco, et al., 2009). Pada penelitian Raguso, et al. (2007) tentang pengaruh larva ukuran besar (M. sexta) di dalam artificial diet dengan daun tembakau untuk mengukur kandungan gizi yang dihasilkan oleh larva besar selama pengamatan. Perilaku makan dari larva M.sexta ini dinilai dari waktu, ukuran dan lemak.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh bahwa berat konsumsi makanan yang dikonsumsi oleh larva menggunakan serbuk sengon belum memperoleh hasil yang baik dibanding dengan penelitian Listyorini (2007). Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengurangan selulosa murni berpengaruh hanya pada minat makan boktor. Boktor lebih menyukai campuran selulosa murni dibandingkan dengan hanya serbuk sengon saja untuk perkembangannya.

4.2.3 Perilaku Larva Boktor dalam Artificial Diet

Perilaku makan larva boktor dalam makanan buatan di laboratorium menunjukkan pola yang sama seperti perilaku makan larva boktor pada bagian pohon di lapangan. Larva memakan dengan cara mulai menggerek dari bagian pinggir atas lalu terus menggerek ke arah bawah dengan pola sedikit memutar sehingga membentuk pola seperti sebuah saluran. Kegiatan menggerek dari larva ini menghasilkan sisa makanan berbentuk serbuk dengan ukuran yang sangat kecil.

Sisa makanan ini disebut “serbuk gerek”.

Larva-larva yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian luar kayu gubal, membentuk saluran-saluran sedalam 0,5 mm ke arah bawah batang (Husaeni, 2001). Selama jangka waktu satu minggu dapat terlihat perilaku makan larva boktor di dalam artificial diet yaitu biasanya larva memakan pada bagian pinggir saja sedangkan bagian paling dalam masih tetap terlihat utuh. Setelah menggerek kulit batang maka larva akan terus masuk pada bagian kayu. Serangan


(48)

pada kayu gubal kadang-kadang sampai menggelang keliling batang. Pada tingkat serangan ini, tajuk pohon akan menguning dan selanjutnya daun gugur sehingga pohon mati (Anggraeni et al., 1998).

Pertumbuhan larva boktor selama penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada umumnya larva boktor mengalami pertumbuhan karena adanya faktor kondisi yang menguntungkan seperti tersedianya jumlah makanan yang cukup tiap pengamatan. Tetapi pada kondisi tertentu, larva juga mengalami kematian. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya nutrisi yang cocok dan faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan sinar matahari yang berbeda antara di lapangan dan di laboratorium tempat penelitian berlangsung. Salah satu kemungkinan penyebab kematian larva yang lain adalah tumbuhnya jamur pada artificial diet. Adanya jamur ini menyebabkan nutrisi artificial diet menjadi tidak optimal, sehingga larva menjadi rentan terhadap penyakit. Hasil identifikasi jamur yang menjadi penyebab kematian larva ada pada artificial diet adalah Aspergillus sp. Meskipun sudah diantisipasi dengan pemberian streptomycin tetapi jamur ini tetap tumbuh pada artificial diet. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh proses pencampuran yang kurang homogen pada waktu pembuatan artificial diet. Jamur Aspergillus sp ini menyerang ± 25% total larva yang mati. Spesies Aspergillus sp secara alamiah ada dimana-mana, terutama pada makanan. Biasanya terdapat di udara baik di dalam maupun di luar ruangan dan sepanjang tahun (Jawetz, 1996).


(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Faktor provenan, kondisi dan interaksi antar provenan dan kondisi tidak memberi pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva, dan berat konsumsi makanan larva untuk serbuk kulit maupun serbuk batang selama lima kali pengamatan pada uji statistik. 2. Pola fluktuatif ditunjukkan oleh parameter pengamatan, baik pada artificial diet

dengan bahan serbuk kulit maupun serbuk batang Sengon. Namun, terdapat kecenderungan pada provenan Salomon yang lebih disukai oleh larva boktor. 3. Komposisi artificial diet belum menunjukkan hasil yang optimal untuk

mendukung perkembangan larva Boktor. 5.2 Saran

1. Perlu pengembangan penelitian lanjutan, dalam rangka mendapatkan komposisi artificial diet yang paling sesuai untuk larva boktor.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Alfermann AW, Verpoorte R. 2000. Metabolic engineering of plant secondary metabolism. Springer. ISBN 978-0-7923-6360-6.Page.1-3.

[Anonim]. 2010a. Botani Sengon.

(http://www.lablink.or.id/Agro/Sengon/sengon.htm). [30 Juni 2010]. ____________2010b. Habitat Sengon.

(http://www.lablink.or.id/Agro/Sengon/sngn-habit.htm). [30 Juni 2010]. ____________2010c. Keragaman Penggunaan dan Manfaat Kayu sengon.

(http://www.lablink.or.id/Agro/Sengon/sngn-habit.htm). [30 Juni 2010]. Anggraeni I, Asmaliyah, Suharti M. 1998. Teknik Pengenalan Beberapa Hama

dan Penyakit Tanaman Acacia mangium. Info Hutan No.100/1998. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Atmosuseno, BS. 1998. Budidaya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Jakarta: Penebar Swadaya.

Blanco CA, Portilla M, Abel CA, Winters H, Ford R, Streett D. 2009. Soybean Flour and Wheat Germ Proportions in Artificial Diet Effect on the Growth Rates of the Tobacco Budworm, Heliothis virescens. Journal of Insect Science 9:59.

Chapman RF. 1971. Insect : Structure and function. American Elsevier Publishing Company Inc. New York.

Djati FDH. 2009. Study Trypsin Inhibitor dan Alfa-Amylase Inhibitor pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Banjarnegara dan Subang [Skripsi]. Bogor. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Hardi T. 1998. Mengenal Lebih Dekat Hama Boktor, Xystrocera festiva. Info Hutan No.91/1998. Bogor: Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Husaeni EA. 2001. Diktat Hama Hutan Tanaman di Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Husaeni EA, Kasno, Haneda NF. 2006a. Karakteristik Serangan Boktor (Xystrocera festiva) Pada Tegakan Sengon. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Husaeni EA, Kasno, Haneda NF, Rachmatsjah O. 2006b. Pengantar Hama Hutan di Indonesia: Bioekologi dan Teknik Pengendalian. Bogor: Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Jawetz E , Melnick, Adelberg. 1996, Microbiologi Kedokteran, edisi 20. Jakarta:

EGC.

Lakapu H. 2008. Biologi Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) dalam makanan buatan (artificial diet) dengan bahan dasar serbuk kayu sengon


(51)

33

(Paraserianthes falcataria) [Skripsi]. Bogor. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Listyorini R. 2007. Pengaruh provenansi dan kondisi pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) terhadap biologi hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pada artificial diet [Skripsi]. Bogor. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Matsumoto K. 1994. Studies on The Ecological Characteristics and Methods of Control of Insects Pests of Trees in Reforested Areas in Indonesia. AFRD. Bogor.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press.

Prasetya A. 2007. Studi Tentang Enzym trypsin dan α-αmylase pada Hama Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) serta Inhibitor Trypsin pada pohon sengon [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Raguso RA, Avila TA, Desai S, Melissa A. Jurkiewicz H, Woods A. 2007. The

influence of larval diet on adult feeding behaviour in the tobacco hornworm

moth, Manduca sexta. Journal of Insect Physiology 53:923–932.

Suharti M, Irianto RSB, Santoso S. 1994. Perilaku Hama Penggerek Batang Sengon (Xystrocera festiva Thoms) dan Teknik Pengendalian Secara Terpadu. Buletin Penelitian Hutan No. 558: 39-53. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Wibisono IT. 1999. Pemberian Makanan Buatan (Artificial Diet) untuk Boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Skripsi Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.


(52)

(53)

Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam dan Uji Tukey

Faktorial RAL in Time - Kulit Ulat Besar-Panjang The GLM Procedure

Class Level Information

Class Levels Values

provenan 3 KK KS Kon

kondisi 3 H K Trol

r 3 1 2 3

delta 5 P1 P2 P3 P4 P5

Number of Observations Read 75 Number of Observations Used 75 Faktorial RAL in Time - Kulit Ulat Besar-Panjang

The GLM Procedure Dependent Variable: panjang

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 42 9.26423733 0.22057708 0.82 0.7269

Error 32 8.58583467 0.26830733

Corrected Total 74 17.85007200

R-Square Coeff Var Root MSE panjang Mean 0.519003 1156.214 0.517984 0.044800

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

provenan 2 0.08725867 0.04362933 0.16 0.8506

kondisi 1 0.19722667 0.19722667 0.74 0.3976

provenan*kondisi 1 0.27202667 0.27202667 1.01 0.3215

r(provenan*kondisi) 10 0.10000000 0.01000000 0.04 1.0000

delta 4 1.08060533 0.27015133 1.01 0.4185

r(delta) 8 1.84129867 0.23016233 0.86 0.5609

provenan*delta 8 4.03600800 0.50450100 1.88 0.0981

kondisi*delta 4 0.45072333 0.11268083 0.42 0.7930


(54)

Faktorial RAL in Time - Kulit Ulat Besar-Berat The GLM Procedure

Class Level Information

Class Levels Values

provenan 3 KK KS Kon

kondisi 3 H K Trol

r 3 1 2 3

delta 5 P1 P2 P3 P4 P5

Number of Observations Read 75 Number of Observations Used 75

Faktorial RAL in Time - Kulit Ulat Besar-Berat The GLM Procedure

Dependent Variable: berat

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 42 3.17688000 0.07564000 1.21 0.2870

Error 32 1.99392800 0.06231025

Corrected Total 74 5.17080800

R-Square Coeff Var Root MSE berat Mean 0.614388 -15601.26 0.249620 -0.001600

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

provenan 2 0.01714800 0.00857400 0.14 0.8720

kondisi 1 0.01536000 0.01536000 0.25 0.6229

provenan*kondisi 1 0.00912667 0.00912667 0.15 0.7045

r(provenan*kondisi) 10 0.09857333 0.00985733 0.16 0.9980

delta 4 1.02375467 0.25593867 4.11 0.0085

r(delta) 8 0.32636533 0.04079567 0.65 0.7263

provenan*delta 8 1.20690533 0.15086317 2.42 0.0361

kondisi*delta 4 0.34052333 0.08513083 1.37 0.2675


(1)

Faktorial RAL in Time - Batang Ulat Besar-Diameter The GLM Procedure

Class Level Information Class Levels Values provenan 3 BK BS Kon kondisi 3 H K Trol

r 3 1 2 3

delta 5 P1 P2 P3 P4 P5 Number of Observations Read 75 Number of Observations Used 75

Faktorial RAL in Time - Batang Ulat Besar-Diameter The GLM Procedure

Dependent Variable: diameter

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 42 25.88561867 0.61632425 3.00 0.0009

Error 32 6.57708000 0.20553375

Corrected Total 74 32.46269867 R-Square Coeff Var Root MSE diameter Mean

0.797396 -340018.7 0.453358 -0.000133

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F provenan 2 0.08700200 0.04350100 0.21 0.8104 kondisi 1 0.19153500 0.19153500 0.93 0.3416 provenan*kondisi 1 0.00004167 0.00004167 0.00 0.9887 r(provenan*kondisi) 10 0.15108000 0.01510800 0.07 0.9999 delta 4 19.60316533 4.90079133 23.84 <.0001 r(delta) 8 2.48410667 0.31051333 1.51 0.1925 provenan*delta 8 2.16344800 0.27043100 1.32 0.2712 kondisi*delta 4 0.12425667 0.03106417 0.15 0.9611 proven*kondisi*delta 4 1.08098333 0.27024583 1.31 0.2855


(2)

The GLM Procedure

Dependent Variable: konsumsi

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 42 1740.072189 41.430290 34.60 <.0001

Error 32 38.321443 1.197545

Corrected Total 74 1778.393632 R-Square Coeff Var Root MSE konsumsi Mean

0.978452 -3296.157 1.094324 -0.033200

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F provenan 2 0.442779 0.221389 0.18 0.8321 kondisi 1 0.114407 0.114407 0.10 0.7593 provenan*kondisi 1 0.461127 0.461127 0.39 0.5393 r(provenan*kondisi) 10 1.411400 0.141140 0.12 0.9994 delta 4 303.118325 75.779581 63.28 <.0001 r(delta) 8 19.894091 2.486761 2.08 0.0683 provenan*delta 8 1400.237361 175.029670 146.16 <.0001 kondisi*delta 4 12.120643 3.030161 2.53 0.0597 proven*kondisi*delta 4 2.272057 0.568014 0.47 0.7542


(3)

Lampiran 3. Rekapitulasi Data Delta Serbuk Batang

Perlakuan Ulangan Waktu Panjang (cm) Berat (gram) Diameter (mm) Konsumsi (gram)

BKH 1 P1 0.06 -0.06 0.86 0.35

BKH 1 P2 -0.29 -0.35 -0.47 -0.11

BKH 1 P3 -0.54 -0.27 -0.38 -0.34

BKH 1 P4 0.46 -0.09 -0.26 0.63

BKH 1 P5 -0.32 -0.13 -0.20 -0.64

BKH 2 P1 0.00 0.05 0.90 1.13

BKH 2 P2 -0.21 -0.21 -0.23 -0.86

BKH 2 P3 -0.61 -0.34 -0.44 -0.08

BKH 2 P4 0.72 0.04 -0.31 0.23

BKH 2 P5 -0.32 -0.09 -0.40 -0.25

BKH 3 P1 -0.04 0.07 0.89 0.52

BKH 3 P2 -0.45 -0.46 -0.60 -0.54

BKH 3 P3 -0.07 -0.06 -0.27 1.89

BKH 3 P4 0.04 -0.24 -0.05 -1.68

BKH 3 P5 -0.06 0.01 -0.50 -0.59

BKK 1 P1 -0.35 -0.16 0.88 -0.02

BKK 1 P2 -0.34 -0.05 -0.32 0.48

BKK 1 P3 0.31 -0.05 -0.43 -1.07

BKK 1 P4 0.20 -0.06 -0.20 0.60

BKK 1 P5 0.09 -0.04 -0.03 -1.13

BKK 2 P1 -0.32 -0.09 0.81 0.43

BKK 2 P2 -0.14 -0.07 -0.23 0.77

BK K 2 P3 0.28 -0.07 -0.18 0.38

BK K 2 P4 -0.01 -0.04 -0.32 -1.15

BK K 2 P5 -0.21 -0.13 0.15 -0.63

BK K 3 P1 -0.26 -0.03 0.45 0.41

BK K 3 P2 -0.37 -0.24 0.02 0.59

BK K 3 P3 0.17 0.07 -0.36 -0.37

BK K 3 P4 -0.09 -0.19 0.08 -0.68

BK K 3 P5 0.26 0.04 -0.11 -0.27

BS H 1 P1 -0.28 -0.06 0.66 1.16

BS H 1 P2 -0.44 -0.30 -0.33 -1.41

BS H 1 P3 0.02 -0.03 -0.47 1.12

BS H 1 P4 0.43 0.03 0.02 -0.46

BS H 1 P5 -0.10 0.03 -0.07 -0.94

BS H 2 P1 0.04 0.05 0.51 1.12

BS H 2 P2 -0.44 -0.29 -0.06 -1.33

BS H 2 P3 -0.20 -0.20 -0.41 0.85

BS H 2 P4 0.41 -0.01 -0.59 -0.33

BS H 2 P5 0.02 0.08 0.19 -0.10

BS H 3 P1 0.02 -0.06 0.63

BS H 3 P2 -0.41 -0.18 0.25 -0.99

BS H 3 P3 -0.07 -0.15 -0.72 1.74

BS H 3 P4 0.41 0.04 -0.20 -1.23

BS H 3 P5 -0.20 -0.07 0.10 -1.13

BS K 1 P1 -0.23 -0.04 1.50 -0.18

BS K 1 P2 -0.67 -0.36 -0.83 0.42

BS K 1 P3 -0.27 -0.21 -0.43 0.18

BS K 1 P4 0.60 -0.10 0.33 0.49

BS K 1 P5 0.57 0.49 -0.50 -0.81

BS K 2 P1 -1.03 -0.28 1.53 -0.24


(4)

BS K 3 P1 -0.90 -0.24 0.63 -0.42

BS K 3 P2 -0.13 -0.07 0.53 0.70

BS K 3 P3 0.30 0.16 -0.43 0.12

BS K 3 P4 0.17 -0.20 -0.13 0.04

BS K 3 P5 -0.33 -0.26 -0.23 2.37

Keterangan : KKH= Kulit Kediri Sehat KKK= Kulit Kediri Sakit BKH= Batang Salomon Sehat BKK=Batang Salomon Sakit P = Pengamatan Ke-


(5)

Lampiran 4. Rekapitulasi Data Delta Serbuk Kulit

Perlakuan Ulangan Waktu Panjang (cm) Berat (gram) Diameter (mm) Konsumsi (gram)

KKH 1 P1 0.24 -0.36 -0.12 2.08

KKH 1 P2 0.74 0.34 0.30 2.19

KK H 1 P3 0.18 0.30 0.22 0.33

KK H 1 P4 -0.78 -0.79 -0.52 -4.42

KK H 1 P5 0.26 0.10 0.20 0.60

KK H 2 P1 0.26 0.05 0.42 2.71

KK H 2 P2 0.20 0.09 -0.54 -0.02

KK H 2 P3 0.34 0.36 0.22 -1.15

KK H 2 P4 -0.34 -0.34 0.10 -1.41

KK H 2 P5 0.06 0.06 0.08 0.53

KK H 3 P1 0.34 0.05 0.28 -11.98

KK H 3 P2 0.14 -0.01 -0.08 1.85

KK H 3 P3 0.60 0.55 0.12 -1.81

KK H 3 P4 -0.12 -0.40 -0.34 -2.17

KK H 3 P5 -0.20 0.17 0.26 0.54

KK K 1 P1 0.53 0.15 0.33 1.20

KK K 1 P2 -0.07 0.10 0.33 2.30

KK K 1 P3 -0.13 -0.15 -0.10 -3.49

KK K 1 P4 -0.07 -0.33 -0.20 1.00

KK K 1 P5 -0.57 -0.09 -0.83 -1.84

KK K 2 P1 0.10 0.14 0.27 1.44

KK K 2 P2 -0.10 -0.22 0.20 1.91

KK K 2 P3 0.40 0.53 -0.30 -2.81

KK K 2 P4 -0.27 -0.35 -0.53 -4.35

KK K 2 P5 -1.00 -0.33 -0.27 4.69

KK K 3 P1 -0.90 -0.11 0.23 2.45

KK K 3 P2 0.63 0.18 0.47 1.19

KK K 3 P3 -0.27 -0.08 -0.10 -3.25

KK K 3 P4 -0.07 -0.27 0.60 1.36

KK K 3 P5 -0.03 0.15 -1.03 -3.48

KS H 1 P1 0.42 0.10 -0.54 1.87

KS H 1 P2 0.18 -0.05 0.18 1.69

KS H 1 P3 -0.10 0.22 -0.38 -2.41

KS H 1 P4 0.02 -0.15 0.16 -0.58

KS H 1 P5 -0.42 -0.10 -0.06 0.74

KS H 2 P1 0.36 0.06 -0.30 2.51

KS H 2 P2 0.44 0.08 -0.52 0.80

KS H 2 P3 0.04 0.29 0.32 0.22

KS H 2 P4 -0.12 -0.37 0.00 -2.99


(6)

KS H 3 P3 -0.74 0.02 0.34 -0.88

KS H 3 P4 1.14 0.09 -0.10 -1.19

KS H 3 P5 -0.68 0.08 -0.40 1.78

KS K 1 P1 0.13 -0.03 -0.67 1.63

KS K 1 P2 -0.23 -0.14 -0.40 1.35

KS K 1 P3 0.37 -0.05 -0.73 -1.97

KS K 1 P4 -0.07 -0.03 0.43 0.72

KS K 1 P5 -0.10 0.21 0.03 -0.71

KS K 2 P1 0.27 0.03 -0.53 1.41

KS K 2 P2 -0.10 -0.07 -0.47 2.15

KS K 2 P3 -0.13 -0.28 -0.33 -1.23

KS K 2 P4 0.50 0.17 0.57 -1.20

KS K 2 P5 -0.13 0.17 -0.50 0.04

KS K 3 P1 0.37 0.10 -0.50 1.58

KS K 3 P2 -0.23 -0.06 -0.03 -1.43

KS K 3 P3 0.43 0.13 -0.10 0.96

KS K 3 P4 0.27 -0.06 0.37 -1.16

KS K 3 P5 -0.17 0.10 -0.23 0.10

Keterangan : KKH= Kulit Kediri Sehat KKK= Kulit Kediri Sakit BKH= Batang Salomon Sehat BKK=Batang Salomon Sakit P = Pengamatan Ke-