Hubungan antara Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling) dengan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a dari Citra Satelit
HUBUNGAN ANTARA INDEKS TAIKAN PESISIR (COASTAL
UPWELLING) DENGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN
KONSENTRASI KLOROFIL-a DARI CITRA SATELIT
DORTJE THEDORA SILUBUN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Hubungan antara
Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling) dengan Suhu Permukaan Laut
dan Konsentrasi Klorofil-a dari Citra Satelit” adalah benar karya saya sendiri
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Dortje Thedora Silubun
NIM C552110021
RINGKASAN
DORTJE THEDORA SILUBUN. Hubungan antara Indeks Taikan Pesisir
(Coastal Upwelling) dengan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a
dari Citra Satelit. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL dan YULI
NAULITA.
Upwelling musiman pada umumnya terjadi di sepanjang pantai selatan
Jawa hingga barat Sumatera. Penelitian mengenai upwelling sudah banyak
dilakukan, namun penelitian tentang indeks upwelling jarang dilakukan khususnya
dari data citra satelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara
indeks upwelling dengan suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a
dari citra satelit. Penelitian menggunakan data citra satelit Aqua-MODIS level-3
untuk SPL dan konsentrasi klorofil-a, satelit Quikscat untuk angin dan Altimeter
untuk anomali tinggi paras laut (ATPL) bulan Juli 2002 sampai Juni 2011. Indeks
upwelling diperoleh dengan formula Coastal Upwelling Index (UI) yang
dikembangkan oleh Bakun. Analisis statistik digunakan untuk melihat hubungan
antara SPL dan klorofil-a dengan UI. Lokasi penelitian berada di perairan selatan
Jawa hingga barat Sumatera yang dibagi menjadi 17 wilayah pengamatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upwelling di sepanjang perairan
selatan Jawa hingga barat Sumatera terjadi pada bulan Mei hingga Oktober yang
ditandai dengan penurunan SPL (24.64 sampai 25.98 0C) dan ATPL (-0.01 sampai
-0.28 m), sedangkan konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan (1.07 sampai
8.34 mg m-3). Secara spasial sebaran UI tertinggi ditemukan pada wilayah
pengamatan 7 (-557.79 m3 s-1/100m coastline) dan 8 (-558.84 m3 s-1/100m
coastline), sedangkan yang terendah pada wilayah pengamatan 1 (-3.30 m3 s1
/100m coastline). Secara temporal sebaran UI yang tinggi terjadi pada bulan
Agustus sampai September dan UI tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan terendah
pada tahun 2010. Hubungan antara UI dengan SPL memiliki hubungan yang
sangat kuat (r=0.83) pada wilayah pengamatan 17 dan yang sedang (r=0.52) pada
wilayah pengamatan 1. Hal serupa juga terjadi antara UI dengan konsentrasi
klorofil-a, dimana hubungan yang kuat (r=0.77) di wilayah pengamatan 16 dan
hubungan yang sedang (r= 0.50) pada wilayah pengamatan 5.
Kata kunci : upwelling, barat Sumatera, selatan Jawa, suhu permukaan laut dan
klorofil-a
SUMMARY
DORTJE THEDORA SILUBUN. The Relationship of Coastal Upwelling
Index with Sea Surface Temperature and Chlorophyll-A Derived from Satellite
Censor. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL and YULI NAULITA
Monsoonal upwelling generally occurred along the coasts of South Java to
West Sumatera. Upwelling study has been done, however the study of upwelling
index using data derived from satellite censor are less. The aim of this research
was to study the relationship between upwelling index, sea surface temperature
(SST) and chlorophyll-a concentration from satellite censor. SST and chlorophylla data was obtained from 3rd level of Aqua-MODIS satellite censor, wind data
derived from Quickscat satellite censor, anomaly of mean sea level (MSL) derived
from altimetry on July 2002 to June 2011. Formula of Coastal upwelling index
(UI) derived from Bakun. Statistical analysis was used to describe the relationship
of SST and chlorophyll-a to UI. Research was conducted in South of Java to West
of Sumatera that divided by 17 observation sites.
The result of this study show that the occurrence of upwelling in South of
Java to West of Sumatera was in May to October coincide perfectly with the
descend of SST (24.64-25.98 °C) and anomaly of MSL (-0.01 - -0.28 m),
meanwhile the concentration of chlorophyll-a is increase (1.07 - 8.34 mg m-3).
The highest distribution of UI was found in observation site number 7 (-557.79 m3
s-1/100m coastline) and number 8 (-558.84 m3 s-1/100m coastline), and the lowest
was found in observation site number 1 (-3.30 m3 s-1/100m coastline). The highest
distribution of UI occurred on August to September. The highest UI occurred in
2006 and the lowest in 2010. Statistical analysis show that the SST give a strong
relationship to UI (r=0.83) in observation site number 17 and the middle
relationship occurred in observation site number 1 (r=0.52). Chlorophyll-a gives
the strong relationship to UI respectively (r=0.77) in observation site number 15
and the middle occurred in observation site number 5 (r=0.50).
Keywords: upwelling, west of sumatera, south of java, sea surface temperature,
chlorophyll-a
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN ANTARA INDEKS TAIKAN PESISIR (COASTAL
UPWELLING) DENGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN
KONSENTRASI KLOROFIL-a DARI CITRA SATELIT
DORTJE THEDORA SILUBUN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : I Nyoman Radiarta, S.Pi, M.Sc, Ph.D
Judul Tesis : Hubungan antara Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling)
dengan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-A dari
Citra Satelit
Nama
: Dortje Thedora Silubun
NIM
: C552110021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Yuli Naulita, MSi
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
limpahan rahmat, kasih dan tuntunan-Nya sehingga tesis dengan judul “Studi
Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling) melalui Citra Satelit Multi Sensor”
dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Jonson
Lumban Gaol, MSi dan Dr Ir Yuli Naulita, MSi selaku komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan motivasi untuk penyempurnaan
tesis ini. Ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penguji luar komisi
pembimbing I Nyoman Radiarta, S.Pi, M.Sc, Ph.D atas masukan dalam perbaikan
tesis ini.
Selain itu, penghargaan penulis kepada Bapak Direktur Politeknik Perikanan
Negeri Tual Dr rer nat Ir E A Renjaan, M.Sc yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB, dan para Dosen
dan Pegawai Program Studi Teknologi Kelautan IPB yang telah banyak
membantu semasa studi. Terima kasih juga kepada Mba Ica, Bang Romie, Bang
Udha, Pa Syahdan, Eca, Yuli, teman-teman Maritek, IKL, PERMAMA dan
perwira 44 yang telah membantu selama penulis selama masa studi. Ungkapan
terima kasih juga kepada Mama (Sartje Silubun) dan keluarga besar Silubun, Om
Bonny Silubun dan keluarga, suami tercinta Peres Betaubun dan kedua anakku
Gamaliel Elly dan Ganessa Asyitha atas segala doa, kasih sayang dan
dukungannya. Kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun
materil selama melaksanakan studi sampai pada penyelesaian tesis ini penulis
ucapakan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu
sangat diharapkan segala saran, kritikan dan masukkan untuk penyempurnaannya.
Semoga tesis ini bermanfaat.bagi yang membutuhkannya
Bogor,
Agustus 2015
Dortje Thedora Silubun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan Data
Analisis Data
1
2
2
2
2
3
5
5
5
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Angin
Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL)
Konsentrasi Klorofil-a
Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL)
Intensitas Upwelling
Hubungan indeks upwelling pantai (UI) dengan SPL dan
Klolrofil-a
Indikasi Upwelling
26
28
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
29
29
8
12
15
18
21
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL
1
Posisi titik pengamatan pada lokasi penelitian
4
2
Jenis dan Sumber data penginderaan jauh
5
3
Hasil analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi
Klorofil-a pada 17 wilayah pengamatan
27
DAFTAR GAMBAR
1
Bagan kerangka pemikiran penelitian
3
2
Peta lokasi penelitian
4
3
Pola pergerakan angin bulanan rata-rata (ms-1) dari tahun 2002
sampai 2011: (a) musim barat; (b) musim peralihan I;
(c) musim timur dan (d) musim peralihan II
4
Sebaran kecepatan angin rata-rata selama tahun 2002 – 2011
pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
5
9
11
Pola sebaran SPL rata-rata selama tahun 2002-2011secara spasial
pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa: (a) musim barat;
(b) musim peralihan I; (c) musim timur dan (d) musim peralihan II
6
Pola sebaran SPL selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat
Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
7
12
14
Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial selama
Tahun 2002 - 2011 pada: (a) musim barat; (b) musim
peralihan I; (c) musim timur dan (d) musim peralihan II
8
Konsentrasi klorofil-a rata-rata selama tahun 2002 – 2011 di
perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
9
18
Sebaran ATPL secara temporal selama tahun 2002 – 2011 pada
perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
11
17
Pola sebaran ATPL secara spasial pada musim barat, peralihan I,
timur dan peralihan II
10
16
Sebaran UI rata-rata per bulan selama tahun 2002 – 2011 di perairan
20
barat Sumatera dan selatan Jawa
12
21
Sebaran UI rata-rata selama tahun 2002 – 2011 pada perairan
barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (tengah) dan hubungannya
dengan IODM (bawah)
13
23
Sebaran temporal saat terjadi anomaly (2006) pada perairan barat
Sumatera dan selatan Jawa: A) UI; B) sebaran SPL; C) ATPL
D) Konsentrasi klorofil-a dan E) Kecepatan angin
14
Hubungan antara UI dengan SPL (kiri) dan konsentrasi klorofil-a
(kanan)
15
25
26
Hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a
rata-rata mingguan (atas) dan data bulanan (bawah) selama tahun
2006 - 2011
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hubungan antara indeks iupwelling dan parameter yang
mempengaruhinya
33
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upwelling adalah proses penaikan massa air dari lapisan bawah ke
permukaan laut. Massa air ini memiliki karakter suhu lebih dingin, salinitas
tinggi dan zat-zat hara yang kaya akan kandungan nutrien (fosfat dan nitrat)
juga tinggi (Steward 2008). Daerah upwelling sangat penting dalam dunia
perikanan khususnya perikanan tangkap, dimana produktivitas rata-rata daerah
upwelling adalah sekitar 300 gC/cm2/tahun yang dapat memproduksi ikan basah
sebesar 12 x 105 ton/tahun dan mendukung 50% lebih produktivitas perikanan
dunia (Vargas dan Gonzales 2004, Vargas et al. 2007).
Upwelling di sepanjang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera
adalah upwelling musiman yang terjadi pada Muson Tenggara yaitu dari bulan
Mei hingga Oktober (Susanto et al. 2001). Fenomena tentang upwelling di
perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera telah banyak dikaji, berawal dari
penelitian berskala in situ yang dilakukan oleh Wyrki (1961) menunjukan bahwa
upwelling terjadi di perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera. Penelitian ini
kemudian dilanjutkan oleh Purba et al. 1992 dengan menggunakan data citra
satelit NOAA sensor AVHRR dan data in situ. Kemudian diikuti Susanto et al.
(2001) menggunakan data citra resolusi tinggi (suhu permukaan laut) dan satelit
Altimetri (ATPL) menunjukan bahwa upwelling dengan intensitas yang tinggi
terjadi apabila suhu permukaan laut (SPL) dan ATPL rendah. Selanjutnya Gaol
(2003) menunjukan bahwa penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofila di perairan ini pada musim timur karena terjadinya upwelling yang dikaitkan
juga dengan hasil tangkapan ikan. Perkembangan selanjutnya Kunarso (2005)
yang menunjukan bahwa intensitas upwelling yang tinggi terjadi pada kisaran
SPL kurang dari 26 0C dan konsentrasi klorofil-a lebih dari 2 mg m-3.
Selanjutnya Tubalawony et al. 2007 mengkaji upwelling dari kedalaman
transport Ekman, Amri (2012) menunjukan upwelling dengan intensitas yang
tinggi dipengaruhi oleh Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang berasosiasi
dengan El Niño. Yoga et al. 2014 mengkaji dinamika upwelling berdasarkan
variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a.
Semua penelitian tersebut baik yang berskala in situ maupun dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh hanya menitik beratkan pada proses
terjadinya upwelling dari perubahan fisik, kimia dan biologi tanpa menghitung
indeks upwelling tersebut. Hal ini menjadi menarik mengingat fenomena
upwelling sebelumnya telah banyak dikaji namun metode yang digunakan masih
terpisah-pisah dengan batasan area upwelling yang belum jelas karena daerah
yang dikaji luas. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimanakah indeks upwelling
serta pola sebarannya secara spasial maupun temporal di perairan selatan Jawa
hingga barat Sumatera dan hubunganya dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a
dengan menggunakan bantuan teknologi penginderaan jauh.
Perumusan Masalah
Daerah upwelling merupakan daerah yang subur pada suatu perairan
karena adanya peningkatan produktivitas primer. Daerah upwelling disukai oleh
2
ikan karena terdapat nutrien yang mendukung kelimpahan plankton yang
digemari oleh ikan. Upwelling dapat menyebabkan terjadinya perubahan
parameter oseanografi seperti suhu permukaan laut (SPL) dan anomali tinggi
paras laut (ATPL) dan konsentrasi klorofil-a. Terjadinya perubahan kondisi
perairan dapat dimanfaatkan untuk memantau fenomena upwelling. Namun hal
ini kadang sulit dilakukan karena keterbatasan data parameter-parameter
oseanografi in-situ di perairan Indonesia baik secara spasial dan temporal.
Dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh multi sensor maka data
parameter oseanografi dari satelit lebih mudah untuk diperoleh. Data parameter
oseanografi yang diperoleh secara sinoptik diharapkan dapat digunakan untuk
mengkaji bagaimana intensitas upwelling, perubahan SPL, konsentrasi
klorofil-a, kecepatan angin dan ATPL pada perairan barat Sumatera dan selatan
Jawa.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara indeks upwelling
dengan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dari citra satelit.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang indeks
upwelling di perairan barat Sumatera sampai selatan Jawa. Selain itu hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
peneliti-peneliti di bidang kelautan.
Kerangka Pemikiran
Salah satu perairan Indonesia yang memiliki tingkat produktivitas primer
cukup tinggi adalah selatan Jawa sampai barat Sumatera. Salah satu faktor yang
menyebabkan tingginya produktivitas primer adalah fenomena upwelling.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa perairan selatan
Jawa dan barat Sumatera terjadi fenomena upwelling pada bulan-bulan tertentu
di musim timur. Selain informasi terjadinya proses upwelling, kajian mengenai
intensitas upwelling perlu juga dilakukan. Pemanfaatan data penginderaan jauh
untuk mengkaji intensitas upwelling dengan menggunakan data citra satelit
karena dapat memantau perairan yang luas dalam waktu yang bersamaan
(sinoptik).
Indeks upwelling dapat diketahui dengan menggunakan data vektor angin
dari satelit QuickSCAT yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan sebaran
nilai indeks upwelling. Selain itu, parameter oseanografi seperti SPL, ATPL dan
konsentrasi klorofil-a digunakan sebagai indikator terbentuknya upwelling yang
didapat dari data citra satelit Aqua MODIS level 3 dan Altimeter dari Juli 2002
sampai Juni 2011. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk
menghasilkan peta sebaran SPL dan konsentrasil klorofil-a, peta sebaran angin
3
dan juga Indeks upwelling serta peta ATPL. Tahapan-tahapan yang dilakukan
untuk mendapat Indeks upwelling disajikan pada Gambar 1.
Data Satelit
Aqua MODIS level 3 (20022011)
Data Klorofil dan SPL
OuickSCAT
(2002-2011)
Altimeter
(2002-2011)
Data Arah dan
Kec. Angin
Data ATPL
Pengolahan dan
Analisis Data
Peta sebaran SPL
dan chl-a
Peta sebaran
Angin dan Kec. Angin
Peta sebaran ATPL
Peta sebaran
upwelling
Intensitas Upwelling
Analisis Variabilitas secara
Spasial dan Temporal
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian
2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Wilayah penelitian berada di perairan pantai barat Sumatera sampai selatan
Jawa pada koordinat 2° LS sampai 10° LS dan 98° BT sampai 115° BT (Gambar
5). Wilayah penelitian dibagi menjadi 17 wilayah pengamatan seperti
ditunjukkan pada Gambar 2 dan Tabel 1, dimana setiap titik terdiri dari luasan
satu derajat. Pembagian wilayah ini bertujuan untuk melihat perbedaan indeks
upwelling pada masing-masing wilayah pengamatan yang termasuk dalam
wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 572 dan 573.
4
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1 Posisi wilayah pengamatan pada lokasi penelitian
Titik
pengamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Lintang (°LS)
Bujur (°BT)
2⁰ 6’ 0’’ – 3⁰ 6’ 0”
98⁰ 6’ 0’’ – 99⁰ 6’ 0”
3⁰ 6’ 0’’ – 4⁰ 6’ 0”
99⁰ 6’ 0’’ – 100⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 5⁰ 6’ 0”
100⁰ 6’ 0’’ – 101⁰ 6’
⁰ 36’ 0’’ – 5⁰ 36’ 0”
0”101⁰ 6’ 0’’ – 102⁰ 6’ 0”
5⁰ 6’ 0’’ – 6⁰ 6’ 0”
102⁰ 6’ 0’’ – 103⁰ 6’ 0”
6⁰ 6’ 0’’ – 7⁰ 6’ 0”
103⁰ 6’ 0’’ – 104⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 8⁰ 6’ 0”
104⁰ 6’ 0’’ – 105⁰ 6’ 0”
⁰ 36’ 0’’ – 8⁰ 36’ 0”
105⁰ 6’ 0’’ – 106⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 9⁰ 6’ 0”
106⁰ 6’ 0’’ – 107⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 9⁰ 6’ 0” ⁰
⁰ 6’ 0’’ – 108⁰ 6’ 0”
24’ 0’’ – 9⁰ 24’ 0”
108⁰ 6’ 0’’ – 109⁰ 6’ 0”
⁰ 24’ 0’’ – 9⁰ 24’ 0”
109⁰ 6’ 0’’ – 110⁰ 6’ 0”
8⁰ 36’ 0’’ – 9⁰ 36’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 111⁰ 6’ 0”
8⁰ 36’ 0’’ – 9⁰ 36’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 112⁰ 6’ 0”
8⁰ 36’ 0’’ – 9⁰ 36’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 113⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 10⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 114⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 10⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 115⁰ 6’ 0”
5
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Peralatan yang terdiri dari seperangkat komputer pengolah citra yang di
lengkapi perangkat lunak Ferret versi 6.8, ArcGis 10.1 dan Microsoft Exel
2010.
2. Bahan yang digunakan adalah citra satelit Aqua-MODIS, QuickSCAT, dan
Envisat.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berasal dari data penginderaan jauh yang terdiri
dari data satelit Aqua-MODIS level 3 untuk parameter SPL dan konsentrasi
klorofil-a, data satelit QuickSCAT untuk vektor angin dan data satelit Envisat
untuk data ATPL. Data tersebut dikumpulkan berdasarkan rata-rata bulanan dari
Juli 2002 sampai Juni 2011, untuk lebih jelas tentang data tersebut disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan sumber data penginderaan jauh
Parameter
Data
Sumber
Klorofil dan
SPL
Aqua Modis Level 3,
resolusi 4 km format .nc
rata-rata bulanan tahun
Ketiga data tersebut bersumber
2002 – 2011
dari National Oceanic and
QuikSCAT resolusi 0.250 Atmorpheric
Administration
Arah dan
format
.nc
rata-rata (NOAA) - USA, melalui laman
website
kecepatan angin bulanan (2002 – 2011)
http://las.pfeg.noaa.gov/oceanWat
Envisat, Sea Surface ch/oceanwatch/php
Anomali tinggi Height Deviation, Aviso
paras laut
0.250, format .nc rata-rata
bulanan (2002 – 2011).
Metode Pengolahan Data
Suhu Permukaan laut (SPL)
Data SPL yang diperoleh telah diformulasi untuk menghasilkan nilai pixel
yang memuat kondisi SPL menggunakan algoritma Miami Pathfinder SST
(MPFSST) dengan formula (Brown dan Minnet 1999):
dimana:
= brightiness temperature (BT) pada band 31 pada AVHRR
kanal 4
= Perbedaan BT pada band 31-band 32 pada AVHRR kanal 4
dan 5
= koefisien band 31 dan 32
6
= sudut zenith satelit
Kemudian data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.8.
Hasil keluarannya dalam bentuk histogram, kontur sebaran SPL dan data ASCII.
Sebaran SPL dibuat dalam rata-rata bulanan selama tahun 2002 – 2011 untuk
mendapatkan sebaran spasial, sedangkan sebaran temporalnya diplot dengan
menggunakan Microsoft Exel 2010 yang diplot per bulan dari tahun 2002 –
2011.
Konsentrasi Klorofil-a
Pengolahan data konsentrasi klorofil-a sama halnya dengan SPL hanya
algoritma yang ditetapkannya berbeda dengan menggunakan algoritma OC3M
dengan formula (O’Reilly et al. 2000 dalam Pan et al. 2010):
dimana
Angin dan Indeks Upwelling
Data angin yang diperoleh terdiri dari vektor komponen angin zonal (u)
dan vektor komponen angin meridional (v), kemudian diproses dengan
menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.8. Data tersebut kemudian di
cropping dan di filtering sesuai daerah penelitian, hasil keluarannya berupa
sebaran pola angin yang telah dirata-ratakan per bulan selama tahun 2002 –
2011. Setelah itu, data vektor angin digunakan untuk menghitung indeks
upwelling pantai (UI) dengan menggunakan Microsoft Exel 2010. Hasil
perhitungan indeks upwelling kemudian dipetakan menggunakan perangkat
lunak ArcGis 10.1 untuk sebaran spasialnya sedangkan sebaran temporalnya
diplot kecepatan angina rata-rata selama 10 tahun begitu juga dengan indeks
upwellingnya.
Anomali Tinggi Paras Laut
Data ATPL juga diolah seperti data yang lainnya yaitu dengan
menggunakan perangkat lunak Ferret 6.8. Hasil keluarannya berupa sebaran
spasial ATPL dan data ASCII. Data ATPL diplot selama sepuluh tahun
berdasarkan data rata-rata bulanan pada setiap wilayah pengamatan dengan
menggunakan Microsoft Exel 2010.
Analisa Data
Indeks Upwelling Pantai
Indeks Upwelling dapat dihitung dengan menggunakan data vektor angin
untuk mendapatkan gesekan angin (wind stress) tiap komponen angin dengan
menggunakan persamaan yang di kemukakan oleh Kutsuwada (1998) :
(1)
(2)
7
dimana :
τx = Gesekan angin komponen sejajar pantai (kg det-2 m-1)
τy
= Gesekan angin komponen menegak pantai (kg det-2 m-1)
CD = Koefisien Drag = 1.4 x 10-3
ρ
= densitas udara = 1.3 kg m-3
W = Kecepatan angin (m det-1)
u
= komponen kecepatan angin pada sumbu x (m det-1)
v
= komponen kecepatan angin pada sumbu y (m det-1)
Untuk perairan Barat Sumatera, data vektor angin terlebih dahulu diubah
menjadi komponen angin sejajar pantai (komponen x) dan komponen angin
menegak pantai (komponen y) menggunakan formula (Arfken, 1985):
(3)
(4)
Dimana :
dan
dan
=
komponen angin setelah dirotasi
=
komponen vektor angina
= Sudut rotasi yang berlawanan arah jam dengan daratan
disebelah kanannya
Indeks Upwelling pantai kemudian dihitung dengan formula
dikembangkan dari teori Ekman’s (1905), perhitungan transport Ekman
menggunakan persamaan (Pond and Pickard 1983) :
Mx =
(5)
dimana :
Mx = Massa offshore transport ekman (kg det-2 m-1)
= Gesekan angin komponen menegak pantai (kg det-2 m-1)
f = parameter coriolis (rad det-1)
sedangkan
(6)
dimana :
Ω = Kecepatan rotasi bumi pada sumbu = 7.29 x 10-5 rad det-1
Θ = lintang
Formula untuk mendapatkan indeks upwelling pantai (UI) menggunakan
persamaan (Bakun 1973) :
UI = Mx
dimana :
Mx = Massa offshore transport ekman (kg det-2 m-1)
UI = Indeks Upwelling Pantai (m3/s/100m coastline)
(7)
8
Dengan asumsi bahwa jika nilai transport ekman’s negatif (ekman’s
transport offshore) maka Coastal Upwelling Index (UI) akan menunjukkan
terjadinya proses upwelling sebaliknya jika nilainya positif (ekman’s
transport onshore) maka yang terjadi adalah proses downwelling.
Hubungan UI dengan SPL dan Konsentrasi Klorofil-a
Analisis hubungan antara indeks upwelling pantai (UI) dengan SPL dan
konsentrasi klorofil-a menggunakan sebaran nilai hasil analisis dari Juli 2002 –
Juni 2011. Wilayah pengamatan untuk menganalisis hubungan antara UI ddenga
SPL dan konsentrasi klorofil-a di bagi dalam 17 wilayah pengamatan (Gambar 2
dan Tabel 1). Selain dilakukan analisis hubungan antara UI dengan SPL dan
konsentrasi klorofil-a berdasarkan data bulanan, juga diambil satu titik pada
perairan selatan Jawa (80 36’ 00” – 100 06’ 00” LS dan 1120 06’ 00’ – 1140 06’
00” BT) untuk melihat hubungannya berdasarkan data mingguan.
Analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a
dilakukan dengan statistic regresi sederhana sebagai berikut :
(8)
dimana :
y = Indeks Upwelling Pantai (CUIx)
x = SPL, Klorofil-a
Hasil penelitian dapat digabung dengan pembahasan menjadi bab Hasil
dan Pembahasan. Pemisahan atau penggabungan kedua bagian ini bergantung
pada keadaan data dan kedalaman pembahasannya sesuai dengan arahan
pembimbing. Bila Hasil dan Pembahasan disatukan dalam satu bab, sajikan
dahulu hasil penelitian, beri penjelasan yang cukup untuk temuan penting,
lanjutkan dengan analisis dan kemudian dengan pembahasan. Subbab dalam
Hasil dan Pembahasan dikembangkan secara sistematis dan mengarah ke
simpulan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Angin
Pola pergerakan angin secara spasial disajikan pada Gambar 3. Pada
musim barat (Desember – Februari) dibagian utara barat Sumatera arah angin
dari barat laut ke tenggara, sedangkan bagian selatan barat Sumatera sampai
selatan Jawa angin bertiup dari barat daya ke timur laut. Pada bulan Desember
mulai berkembang angin barat daya dan selanjutnya secara sempurna menjadi
angin barat pada bulan Februari. Pada musim barat posisi penyinaran matahari
tegak lurus berada pada belahan bumi selatan, sehingga pusat tekanan rendah
berada di Benua Australia dan pusat tekanan tinggi berada di Benua Asia,
akibatnya pada perairan utara Jawa dan Sumatera dekat ekuator angin akan bertiup
9
dari timur laut ke tenggara (Martono 2009). Pada perairan selatan Sumatera dan
selatan Jawa, pengaruh angin pasat menyebabkan arah angin bertiup dari barat
daya ke timur laut. Kecepatan angin di barat Sumatera pada musim barat berkisar
antara 0.089 sampai 3.541 m s-1 dengan kecepatan maksimum terjadi bulan
Februari pada wilayah pengamatan 6. Kecepatan angin pada perairan selatan
Jawa berkisar antara 0.011 sampai 3.270 m s-1 dimana wilayah pengamatan 7
yang memiliki kecepatan tertinggi pada bulan Februari.
Pergerakan angin pada musim peralihan I (Maret – Mei) di Barat
Sumatera mulai terjadi perubahan arah tiupan angin dengan pola yang berubahubah kecuali pada bulan Maret dimana masih bertiup angin barat. Perairan
Selatan Jawa juga mengalami kondisi yang sama, namun pada bulan April dan
Mei mulai berkembang angin muson tenggara. Hal ini disebabkan pergeseran
posisi penyinaran matahari dari belahan bumi selatan menuju ke ekuator, sehingga
pusat tekanan tinggi dan rendah berubah. Pada musim peralihan I kecepatan angin
tertinggi 3.689 m s-1 terjadi pada bulan Mei di wilayah pengamatan 6, sedangkan
yang terendah pada wilayah pengamatan 1 yaitu 0.064 m s-1 di bulan Maret pada
perairan barat Sumatera. Perairan selatan Jawa memiliki kecepatan angin
tertinggi adalah 6.621 m s-1 pada wilayah pengamatan 10 dan terendah pada
wilayah pengamatan 15 yaitu 0.011 m s-1.
F
ec
eb
an
M
ar
pr
un
ul
ay
J
ug
N
ep
kt
ov
Gambar 3 Pola pergerakan angin bulanan rata-rata (ms-1) dari tahun 2002 - 2011
(a) musim barat, (b) musim peralihan I, (c) musim timur, (d) musim
peralihan II
10
Pada musim timur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara dari
arah tenggara ke barat laut pada perairan barat Sumatera maupun selatan Jawa.
Pada bulan Juni dimana sudah memasuki Musim Timur, posisi matahari mulai
bergerak ke arah bumi belahan utara, sehingga pusat tekanan tinggi berada di
Benua Australia dan pusat tekanan rendah di Benua Asia. Perbedaan tekanan ini
menyebabkan angin bertiup dari Benua Australia menuju ke Benua Asia.
Kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus, dengan kisaran antara
0.526 sampai 6.510 m s-1 pada perairan barat Sumatera, kecepatan maksimum di
wilayah pengamatan 6. Perairan selatan Jawa berkisar antara 1.720 sampai 9.331
m s-1 dengan kecepatan tertinggi pada wilayah pengamatan 8.
Selama musim peralihan II (September – November), dimana posisi
matahari mulai bergerak ke arah ekuator. Pola pergerakan angin beriup dari
tenggara/selatan ke timur laut/utara pada perairan Barat Sumatera maupun
selatan Jawa. Kecepatan maksimum terjadi pada bulan September di wilayah
pengamatan 6 (5,408 m s-1) dan yang terendah pada bulan November, di wilayah
pengamatan 2 (0.251m s-1) pada perairan barat Sumatera. Pada perairan selatan
Jawa kecepatan angin terendah adalah 0.171 m s-1 (wilayah pengamatan 17)
bulan oktober dan yang tertinggi di wilayah pengamatan ke 8 (6.769 m s-1) pada
bulan September.
Gambar 4 menunjukkan kecepatan angin secara temporal di perairan
barat Sumatera dan selatan Jawa. Kecepatan angin maksimum perairan barat
Sumatera di musim barat terjadi Februari 2003, musim peralihan I terjadi bulan
Mei 2006, musim timur pada bulan Agustus 2006 dan musim peralihan II bulan
September 2006. Sebaliknya kecepatan angin minimum terjadi pada bulan
Desember 2003 (musim barat), Maret 2003 (musim peralihan I), Juni 2005
(musim timur) dan November 2010 (musim peralihan II). Kecepatan angin di
perairan selatan Jawa pada musim barat memiliki kecepatan tertinggi
pada Februari 2003, musim peralihan I bulan Mei 2006, musim timur bulan
Agustus 2006 dan musim peralihan II September 2006. Kecepatan angin
terendah ditemukan pada bulan Desember 2009 (musim barat), Maret 2009
(musim peralihan I), Juni 2008 (musim timur) dan Oktober 2008 (musim
peralihan II).
Berdasarkan pola sebaran angin diatas dapat dikatakan bahwa angin
muson yang bertiup di atas perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dicirikan
oleh pembalikan arah tiupan angin secara musiman. Pembalikan arah angin
disebabkan karena adanya perubahan tekanan di daratan sekitarnya sebagai
akibat dari berubahnya posisi matahari (Wyrtki 1961, Martono 2009). Susanto
et al. (2001) mengatakan bahwa angin muson tenggara yang bertiup di
sepanjang Pantai selatan Jawa mencapai maksimum pada bulan Juli sampai
Agustus.
Gambar 4 Sebaran temporal kecepatan angin dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa
(tengah)
11
12
Suhu Permukaan Laut (SPL)
Gambar 5 memperlihatkan sebaran SPL secara spasial, pada musim barat
(Desember – Februari) sebaran SPL di sepanjang perairan barat Sumatera hingga
selatan Jawa menunjukkan adanya massa air permukaan yang mulai menghangat
pada bulan Desember yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu.
Sebaran SPL rata-rata berkisar antara 27.10 sampai 31.42 °C, SPL yang
D
ec
M
ar
F
J
eb
an
A
pr
M
ay
A
un
ug
ul
O
ep
kt
N
ov
Gambar 5 Pola sebaran SPL secara spasial pada : a) musim barat, b) musim
peralihan I, c) musim timur, d) musim peralihan II
lebih tinggi terjadi di wilayah pengamatan 1. Tingginya SPL pada barat
Sumatera diperkirakan akibat Arus Sakal Katulistiwa (AKS) Samudera Hindia
(Equatorial Counter Current) yang membawa massa air hangat dari arah barat
dekat ekuator Samudera Hindia secara terus- menerus menuju ke perairan barat
Sumatera (Wyrtki, 1961). SPL tinggi di perairan Selatan Jawa diduga akibat
berkembangnya Arus Pantai Jawa (APJ) yang mengalir dari perairan barat
Sumatera membawa massa air hangat (Purba et al. 1992). Musim peralihan I
(Maret – Mei) menunjukkan sebaran SPL yang homongen pada sepanjang
perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera, dimana pada bulan Maret dan
April massa air permukaan hangat. Pada bulan Mei SPL mengalami penurunan
di bagian timur perairan Selatan Jawa, sedangkan pada perairan barat Sumatera
mengalami peningkatan sebaran SPL ke arah utara. Sebaran SPL berkisar antara
29.02 sampai 31.72 °C, dengan sebaran tertinggi pada wilayah pengamatan 6.
Musim timur (Juni – Agustus) terjadi penurunan SPL pada perairan barat
Sumatera maupun selatan Jawa yang berkisar antara 24.60 sampai 30.22 °C,
pada bulan Juni sebagian daerah di Barat Sumatera masih memiliki sebaran SPL
13
yang tinggi sedangkan di bagian Selatan Jawa SPL yang rendah mulai menyebar
ke arah barat dan semakin meluas seiring dengan bertambahnya waktu. Pada
bulan Agustus terlihat bahwa di sepanjang perairan ini memiliki massa air
permukan yang lebih dingin. Rendahnya SPL pada Musim Timur di perairan
pantai selatan Jawa diduga akibat terjadinya upwelling yang sangat intensif (Purba
et al.1992), Variasi SPL musiman pada lokasi penelitian diperkirakan
penyebabnya oleh dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah akibat proses
upwelling dan yang kedua adalah masuknya massa air dari Pantai Barat Australia
arah selatan yang berbelok ke barat dan bergabung dengan arus yang berasal dari
Indonesia Timur (Purba et al.1997). Pada musim peralihan II adanya perbedaan
penyebaran SPL, dimana terlihat bahwa pada bulan September SPL masih
sangat rendah namum mengalami peningkatan pada bulan Oktober – November
yang digantikan dengan massa air permukaan yang mulai menghangat. Pada
musim ini, angin Muson Tenggara sudah mengendur dan angin Muson Barat Laut
mulai bertiup. Oleh karena perubahan angin ini, maka proses upwelling mulai
menghilang. Pusat SPL rendah dengan suhu mulai menyempit pada bulan
September dan bergerak ke barat perairan selatan Jawa sampai bagian selatan barat
Sumatera hingga menghilang sama sekali pada bulan November akibat
bergesernya poros AKS ke arah selatan dan berkembangnya APJ. Diduga bahwa
karena hal yang dianalisis adalah SPL yang merupakan massa air permukaan maka
massa air permukaan tersebut akan mengalir 45 o dari arah angin yang bertiup dari
tenggara (angin Muson Tenggara) sesuai dengan mekanisme Ekman Pump
(Stewart 2008).
Penyebaran SPL secara temporal pada perairan barat Sumatera dan
selatan Jawa ditunjukkan pada Gambar 6. Pada musim barat di perairan barat
Sumatera sebaran SPL rata-rata tertinggi ada Februari 2005, sedangkan yang
terendah pada bulan Februari 2008. Musim peralihan I sebaran SPL tertinggi
Maret 2005 dan terendah Mei 2006. Penyebaran SPL pada musim timur
mengalami penurunan dimana sebaran SPL yang rendah ditemukan pada tahun
2006 (bulan Agustus) dan pada bulan yang sama juga penyebaran SPL lebih
tinggi yang terjadi pada tahun 2010. Musim peralihan II sebaran SPL terendah
pada September 2006 dan tertinggi pada tahun 2005.
14
Gambar 6. Sebaran SPL selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
15
Sebaran SPL rata-rata di perairan selatan Jawa pada musim barat
tertinggi Desember 2010 sedangkan terendah bulan Februari, musim peralihan I
SPL yang rendah terbentuk pada Mei 2006 dan tertinggi Maret 2005. Sebaliknya
pada musim timur sebaran SPL mengalami penurunan dengan sebaran SPL
terendah pada tahun 2006 sedangkan yang tinggi tahun 2010. Pada awal musim
peralihan II yaitu pada bulan September sebaran SPL juga masih rendah di
sepanjang perairan selatan Jawa yaitu pada tahun 2006, kemudian sebaran SPL
mulai meningkat pada bulan Oktober dan mencapai nilai tertinggi tahun 2010.
Sebaran SPL pada bagian timur perairan selatan Jawa memiliki massa
air yang lebih dingin jika dibandingkan dengan massa air dibagian barat perairan
selatan Jawa pada musim timur. Dinginnya massa air pada musim ini
menunjukkan indikasi terjadinya upwelling pada bagian timur perairan selatan
Jawa. Keadaan ini terus berlanjut pada awal musim peralihan II, dimana ada
indikasi bahwa rendahnya SPL di perairan Barat Sumatera disebabkan oleh
kuatnya tiupan angin, adanya fenomena upwelling dan adanya pengaruh AKS
yang membawa massa air dingin dari perairan selatan Jawa yang mengalami
pengangkatan massa air. Adanya proses penurunan SPL di perairan barat
Sumatera maupun selatan Jawa berkaitan dengan perkembangan muson yang
terjadi selama musim timur. Susanto et al. (2005) menjelaskan bahwa selama
musim timur tiupan angin muson tenggara dari arah Australia membangkitkan
upwelling sehingga menyebabkan penurunan SPL sepanjang pantai selatan Jawa
dan Sumatera, kondisi yang berbeda terjadi pada musim barat.
Pada bulan Maret 2005 ditemukan sebaran SPL yang tinggi di perairan
barat Sumatera menurut Amri (2012) karena adanya pengaruh massa air dari
Samudera Hindia Bagian Barat dan Teluk Bengal yang mengisi perairan timur
laut Samudera Hindia posisinya melebar dari utara dan barat perairan barat
Sumatera pada kondisi Indian Ocean Dipole Mode (IODM) negatif. Sebaliknya
pada bulan Maret 2010 terjadi sebaran SPL yang tinggi di selatan Jawa terkait
dengan IODM negatif yang menyebabkan perairan Indonesia termasuk selatan
Jawa memiliki sebaran SPL yang lebih tinggi dari kondisi normal (Yoga et al.
2014). Pada tahun 2006 terjadi penurunan sebaran SPL yang lebih rendah di
sepnajang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera yang diduga karena
adanya pengaruh anomali iklim IODM positif yang berasosiasi dengan El Niño
(Amri et al. 2012).
Konsentrasi Klorofil-a
Konsentrasi Klorofil-a secara spasial disajikan pada Gambar 7. Pada
perairan barat Sumatera konsentrasi klorofil-a terlihat homogen yang berkisar
antara 0.08 sampai 0.53 mg m-3 dimana konsentrasi tertinggi pada wilayah
pengamatan 5. Musim peralihan I kondisi ini juga masih berlanjut, namun pada
akhir musim (bulan Mei) terlihat adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a
menjadi 0.24 mg m-3 dari 0.08 mg m-3. Konsentrasi klorofil-a terus meningkat
pada musim timur dengan konsentrasi tertinggi adalah 2.38 mg m-3 pada
wilayah pengamatan 6, selanjutnya pada musim peralihan II konsentrasi klorofil
ditemukan tinggi pada wilayah pengamatan 6 (3.23 mg m-3) pada bulan
September. Seiring bertambahnya waktu maka konsentrasi klorofil akan
mengalami penurunan kembali.
16
F
J
D
ec
an
eb
pr
ay
M
ar
M
ug
ul
O
S
ep
A
J
un
kt
N
ov
Gambar 7 Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada : a) musim
barat, b) musim peralihan I, c) musim timur, d) musim peralihan II
Konsentrasi klorofil-a pada perairan selatan Jawa menunjukan kodisi
yang homongen pada musim barat, hanya pada wilayah pengamatan 14 terjadi
peningkatan konsentrasi (1.99 mg m-3) pada bulan Desember. Kondisi serupa
juga berlanjut pada musim peralihan I dengan kisaran konsentrasi klorofil-a
adalah 0.08 sampai 0.78 mg m-3, konsentrasi yang tertinggi terjadi pada bulan
Mei. Musim timur terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a menjadi 1.66mg m-3
di wilayah pengamatan 17 pada bulan Agustus, kondisi ini terus meningkat pada
musim peralihan II dan mencapai maksimum pada bulan November (8.34 mg
m-3) pada wilayah pengamatan 16.
Konsentrasi klorofil-a di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa secara
temporal ditunjukkan pada Gambar 8. Secara temporal konsentrasi klorofil-a
pada musim barat disepanjang perairan barat Sumatera dan selatan Jawa
mengalami konsentrasi tertinggi pada bulan Desember 2006, sedangkan yang
terendah pada tahun 2010 (barat Sumatera) dan 2007 (selatan Jawa). Musim
peralihan I konsentrasi tertinggi terjadi pada tahun 2006 (barat Sumatera) dan
2008 (selatan Jawa). Konsentrasi krolofil-a tertinggi pada musim timur terjadi
pada Agustus 2006 dan puncak tertinggi konsentrasi klorofil-a terjadi pada
musim peralihan II yaitu pada bulan September 2006 (barat Sumatera) dan
November 2006 (selatan Jawa).
Gambar 8 Sebaran konsentrasi klorofil-a dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa
(bawah)
17
18
Massa air dengan konsentrasi klorofil rendah umunya di temukan pada
awal tahun (musim barat) dan terendah terjadi pada musim peralihan I. Pada
musim timur terjadi pengkayaan klorofil-a dan berlanjut pada musim peralihan
II (September - Oktober) sebagai puncaknya, dimana terjadinya upwelling.
Seiring dengan melemahnya upwelling (akhir musim peralihan II) maka terjadi
pula penurunan konsentrasi klorofil-a dan akan terus menghilang pada bulan
Desember (awal musim barat). Dari sebaran konsentrasi klorofil-a yang tinggi
identik dengan periode terjadinya upwelling secara intensif yakni pada musim
timur sampai peralihan II. Nilai sebaran rata-rata konsentrasi klorofil-a tertinggi
pada di sepanjang perairan ini ditemukan pada fase IODM positif kuat
berasosiasi dengan El Niño sedang tahun 2006. Fase IODM positif sedang
berasosiasi La Niña kuat 2007 dan fase IODM positif lemah berasosiasi La Niña
lemah 2008, juga mengindikasikan peningkatan konsentrasi klorofil-a yang
relatif tinggi di perairan selatan
Jawa, sedangkan di barat Sumatera
konsentrasinya lebih rendah (Amri 2012). Hendiarti et al. (2004) menjelaskan
bahwa peningkatan klorofil-a di selatan Jawa karena adanya mekanisme
upwelling yang makin intensif sehingga meningkatkan kadar nutrien yang
menghasilkan kadar klorofil-a yang tinggi.
Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL)
Sebaran ATPL pada perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa secara
spasial ditunjukkan pada Gambar 9. Pada musim barat hingga peralihan I
sebaran ATPL terlihat tinggi pada perairan selatan Jawa maupun barat Sumatera
dan mencapai puncaknya pada bulan Mei yang ditandai dengan warna merah di
D
J
an
ay
pr
A
J
J
ug
ul
O
S
ep
M
A
M
un
F
eb
kt
N
ov
Gambar 9 Pola sebaran ATPL secara spasial pada : a) musim barat, b) musim
peralihan I, c) musim timur dan d) musim peralihan II
19
sepanjang perairan ini. Pada musim barat sebaran ATPL tertinggi yaitu +
0.28 m (wilayah pengamatan 5, barat Sumatera) dan +0.40 m (wilayah
pengamatan 15, perairan selatan Jawa). Musim peralihan I ATPL tertinggi
+0.26 m pada wilayah pengamatan 5 dan 15.
Pada awal musim timur (bulan Juni) sebaran ATPL mulai menurun di
perairan selatan Jawa ke arah laut namun di barat Sumatera masih terlihat ATPL
yang tinggi, seiring dengan bertambahnya waktu maka ATPL akan turun dengan
puncak terendah pada bulan Agustus yaitu -0.14 m (wilayah pengamatan 6) dan
-0.22 m (wilayah pengamatan 15). Awal musim peralihan II terjadi puncak
sebaran ATPL terendah yaitu -0.24 m (wilayah pengamatan 6) dan -0.28 m
(wilayah pengamatan 15), sedangkan di akhir musim peralihan II (Oktober –
November) ATPL mulai meningkat lagi mencapai +0.29 m (wilayah
pengamatan 5 dan 6) dan +0.28 (wilayah pengamatan 15).
Marpaung et al. (2014) mempelajari karakteristik sebaran ATPL di
perairan bagian selatan dan utara pulau Jawa mengemukakan bahwa variabilitas
ATPL menunjukkan bahwa kejadian upwelling lebih kuat di perairan bagian
selatan Jawa karena pengaruh posisi geografis karena perairan bagian selatan
terdapat pada laut yang terbuka. Menurutnya ATPL pada bulan Juni hingga
September mengalami penurunan yang signifikan, dengan kondisi anomali
minimum terjadi pada bulan September, sedangkan pada bulan Oktober sampai
Desember mulai mengalami peningakatan lagi. Hal ini berkaitan dengan
terjadinya upwelling pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dimana pada
bulan Juni hingga Oktober adanya indikasi terjadi upwelling (Susanto et al.
2001).
Gambar 10 menunjukkan sebaran ATPL secara temporal di perairan
barat Sumatera (a) dan selatan Jawa (b). Sebaran ATPL di barat Sumatera yang
tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2010 dan terendah pada bulan September
2006, sedangkan perairan selatan Jawa pada bulan Januari 2011 terjadi sebaran
ATPL tertinggi dan bulan September 2006 terjadi sebaran ATPL yang rendah.
Sebaran ATPL yang rendah selama bulan Juli – September di dekat
perairan pantai selatan Jawa dan Selat Sunda merupakan indikasi adanya
pergerakan massa air menjauhi pantai yang menyebabkan terjadinya kekosongan
sehingga paras laut di dekat pantai akan turun. Keadaan ini yang memicu
terjadinya upwelling yang mengangkat massa air dalam ke lapisan permukaan
untuk mengisi kekosongan massa air lapisan permukaan. Tubalawony et al.
(2007) mengemukakan bahwa penyebab utama terjadinya penurunan paras laut
di perairan dekat pantai selatan Jawa dan Selat Sunda adalah bertiupnya angin
muson tenggara dengan kekuatan gesekan angin komponen sejajar pantai lebih
besar dari bulan - bulan lainnya. Lebih jauh Purba (2007) mengungkapkan
bahwa signal turunnya paras laut inilah yang sering digunakan sebagai indikator
Indeks upwelling.
20
Gambar 10 Sebaran ATPL dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah).
21
Indeks Upwelling
Gambar 11 menunjukkan sebaran indeks upwelling rata-rata di perairan
barat Sumatera dan selatan Jawa secara spasial. Secara spasial sebaran indeks
upwelling pada perairan barat Sumatera selama musim barat (Desember –
Januari) terlihat didominasi oleh kisaran nilai indeks yang bernilai positif yang
digambarkan dengan warna hijau sampai biru tua. Indeks upwelling pada musim
barat di perairan barat Sumatera yang tertinggi +232.52 m3s-1/100 m coastline
pada wilayah pengamatan 2. Dari hasil analisis terhadap indeks upwelling
diketahui bahwa pada kondisi ini tidak terjadi upwelling tetapi downwelling.
Pada musim peralihan I (Maret – April) kondisi yang sama masih terus berlanjut
namun pada bulan Mei sudah terlihat adanya kisaran nilai indeks yang bernilai
negatif pada wilayah pengamatan 6 yaitu -143.58 m3s-1/100 m coastline.
Sebaliknya pada wilayah pengamatan yang lain di perairan barat Sumatera masih
didominasi oleh nilai positif, dengan indeks tertinggi +64.73 m3s-1/100 m
coastline pada wilayah pengamatan 2. Pada musim timur (Juni – Agustus)
indeks upwelling didominasi oleh nilai negatif pada semua wilayah pengamatan
Gambar 11 Sebaran indeks upwelling rata-rata per bulan selama tahun 2002 2011 pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa
22
di perairan barat Sumatera dengan kisaran nilai indeks upwelling adalah 3.30 m3s-1/100 m coastline sampai -330.80 m3s-1/100 m coastline. Nilai tertinggi
terjadi pada bulan Agustus diwilayah pengamatan 6, dan yang terendah pada
bulan Juni di wilayah pengamatan 1. Kondisi ini terus berlanjut pada musim
peralihan II (September – Desember) dengan sebaran nilai indeksnya pada bulan
September yaitu mencapai -327.89 m3s-1/100 m coastline pada wilayah
pengamatan 6. Pada bulan Oktober mulai terjadi penurunan nilai indeks
upwelling pada semua wilayah pengamatan dan akan terus menghilang pada
bulan November.
Perkembangan sebaran indeks upwelling pada perairan selatan Jawa
selama musim barat hampir sama dengan perairan barat Sumatera yaitu
didominasi oleh nilai positif. Pada bulan Desembar ditemukan indeks upwelling
yang bernilai negatif (-183.84 m3s-1/100 m coastline) pada wilayah pengamatan
7, kemudian pada bulan Januari mulai terlihat adanya penurunan nilai indeks
sampai mencapai nilai positif pada bulan Februari, dengan nilai tertinggi pada
wilayah pengamatan 8 (+182.96 m3s-1/100 m coastline ). Pada musim peralihan
I (Maret – Mei) sebaran nilai indeks upwelling didominasi oleh nilai positif
pada semua wilayah pengamatan di perairan selatan Jawa dengan kisaran
nilainya adalah +92.82 m3s-1/100 m coastline pada wilayah pengamatan 7.
Selanjutnya bulan Mei penyebaran nilai indeks upwelling yang berniali negatif
merata pada semua wilayah pengamatan di perairan selatan Jawa. Pada musim
timur (Juni – Agustus) upwelling menyebar di seluruh perairan selatan Jawa
dengan kisaran nilai tertinggi pada wilayah pengamatan 7 dan 8 yaitu -549.06
m3s-1/100 m coastline sampai -556.69 m3s-1/100 m coastline pada bulan Agustus.
Wilayah pengamatan 17 memiliki sebaran indeks upwelling yang terendah yaitu
-50.20 m3s-1/100 m coastline. Perkembang selanjutnya pada bulan September
sebaran upwelling semakin luas menyebar dan indeks tertinggi masi terdapat
pada wilayah pengamatan 7 (-557.79 m3s-1/100 m coastline) dan 8
(-558.84
m3s-1/100 m coastline), sedangkan yang terendah pada wilayah pengamatan 15 (175.21 m3s-1/100 m coastline) Kemudian akan mengalami penurunan pada bulan
Oktober dan juga November.
Hasil analisa ditemukan bahwa upwelling dengan Indeks yang tinggi
ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 14) pada wilayah pengamatan 6, 7
dan 8 (sekitar Selat Sunda dan menyebar ke daerah sekitar Jawa Barat) memiliki
Indeks yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah pengamatan yang
lainnya, hal ini dipengaruhi oleh kuatnya tiupan angin pada wilayah pengamatan
tersebut. Susanto et al. (2001) mengungkapan bahwa angin muson tenggara yang
bertiup mencapai maksimum pada bulan Juli - Agustus di perairan selatan Jawa
Barat (sekitar 105 0BT).
Sebaran Indeks upwelling secara temporal di perairan selatan Jawa dan
barat Sumatera ditunjukkan pada Gambar 12. Secara temporal indeks upwelling
yang tinggi terjadi pada tahun 2006, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun
2005 dan 2010. Indeks upwelling tertinggi ditemukan pada tahun 2006 yang
dimana terlihat bahwa upwelling mulai terbentuk pada bulan Mei dan mencapai
puncaknya pada bulan Agustus dan September kemudian akan menghilang
kembali pada bulan Oktober dan November. hal ini diduga karena adanya
pengaruh IODM positif kuat dilihat dari nilai DMI yang tinggi mencapai 0.95.
Kisaran nilai rata-rata indeks upwelling berki
UPWELLING) DENGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN
KONSENTRASI KLOROFIL-a DARI CITRA SATELIT
DORTJE THEDORA SILUBUN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Hubungan antara
Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling) dengan Suhu Permukaan Laut
dan Konsentrasi Klorofil-a dari Citra Satelit” adalah benar karya saya sendiri
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Dortje Thedora Silubun
NIM C552110021
RINGKASAN
DORTJE THEDORA SILUBUN. Hubungan antara Indeks Taikan Pesisir
(Coastal Upwelling) dengan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a
dari Citra Satelit. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL dan YULI
NAULITA.
Upwelling musiman pada umumnya terjadi di sepanjang pantai selatan
Jawa hingga barat Sumatera. Penelitian mengenai upwelling sudah banyak
dilakukan, namun penelitian tentang indeks upwelling jarang dilakukan khususnya
dari data citra satelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara
indeks upwelling dengan suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a
dari citra satelit. Penelitian menggunakan data citra satelit Aqua-MODIS level-3
untuk SPL dan konsentrasi klorofil-a, satelit Quikscat untuk angin dan Altimeter
untuk anomali tinggi paras laut (ATPL) bulan Juli 2002 sampai Juni 2011. Indeks
upwelling diperoleh dengan formula Coastal Upwelling Index (UI) yang
dikembangkan oleh Bakun. Analisis statistik digunakan untuk melihat hubungan
antara SPL dan klorofil-a dengan UI. Lokasi penelitian berada di perairan selatan
Jawa hingga barat Sumatera yang dibagi menjadi 17 wilayah pengamatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upwelling di sepanjang perairan
selatan Jawa hingga barat Sumatera terjadi pada bulan Mei hingga Oktober yang
ditandai dengan penurunan SPL (24.64 sampai 25.98 0C) dan ATPL (-0.01 sampai
-0.28 m), sedangkan konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan (1.07 sampai
8.34 mg m-3). Secara spasial sebaran UI tertinggi ditemukan pada wilayah
pengamatan 7 (-557.79 m3 s-1/100m coastline) dan 8 (-558.84 m3 s-1/100m
coastline), sedangkan yang terendah pada wilayah pengamatan 1 (-3.30 m3 s1
/100m coastline). Secara temporal sebaran UI yang tinggi terjadi pada bulan
Agustus sampai September dan UI tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan terendah
pada tahun 2010. Hubungan antara UI dengan SPL memiliki hubungan yang
sangat kuat (r=0.83) pada wilayah pengamatan 17 dan yang sedang (r=0.52) pada
wilayah pengamatan 1. Hal serupa juga terjadi antara UI dengan konsentrasi
klorofil-a, dimana hubungan yang kuat (r=0.77) di wilayah pengamatan 16 dan
hubungan yang sedang (r= 0.50) pada wilayah pengamatan 5.
Kata kunci : upwelling, barat Sumatera, selatan Jawa, suhu permukaan laut dan
klorofil-a
SUMMARY
DORTJE THEDORA SILUBUN. The Relationship of Coastal Upwelling
Index with Sea Surface Temperature and Chlorophyll-A Derived from Satellite
Censor. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL and YULI NAULITA
Monsoonal upwelling generally occurred along the coasts of South Java to
West Sumatera. Upwelling study has been done, however the study of upwelling
index using data derived from satellite censor are less. The aim of this research
was to study the relationship between upwelling index, sea surface temperature
(SST) and chlorophyll-a concentration from satellite censor. SST and chlorophylla data was obtained from 3rd level of Aqua-MODIS satellite censor, wind data
derived from Quickscat satellite censor, anomaly of mean sea level (MSL) derived
from altimetry on July 2002 to June 2011. Formula of Coastal upwelling index
(UI) derived from Bakun. Statistical analysis was used to describe the relationship
of SST and chlorophyll-a to UI. Research was conducted in South of Java to West
of Sumatera that divided by 17 observation sites.
The result of this study show that the occurrence of upwelling in South of
Java to West of Sumatera was in May to October coincide perfectly with the
descend of SST (24.64-25.98 °C) and anomaly of MSL (-0.01 - -0.28 m),
meanwhile the concentration of chlorophyll-a is increase (1.07 - 8.34 mg m-3).
The highest distribution of UI was found in observation site number 7 (-557.79 m3
s-1/100m coastline) and number 8 (-558.84 m3 s-1/100m coastline), and the lowest
was found in observation site number 1 (-3.30 m3 s-1/100m coastline). The highest
distribution of UI occurred on August to September. The highest UI occurred in
2006 and the lowest in 2010. Statistical analysis show that the SST give a strong
relationship to UI (r=0.83) in observation site number 17 and the middle
relationship occurred in observation site number 1 (r=0.52). Chlorophyll-a gives
the strong relationship to UI respectively (r=0.77) in observation site number 15
and the middle occurred in observation site number 5 (r=0.50).
Keywords: upwelling, west of sumatera, south of java, sea surface temperature,
chlorophyll-a
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN ANTARA INDEKS TAIKAN PESISIR (COASTAL
UPWELLING) DENGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN
KONSENTRASI KLOROFIL-a DARI CITRA SATELIT
DORTJE THEDORA SILUBUN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : I Nyoman Radiarta, S.Pi, M.Sc, Ph.D
Judul Tesis : Hubungan antara Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling)
dengan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-A dari
Citra Satelit
Nama
: Dortje Thedora Silubun
NIM
: C552110021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Yuli Naulita, MSi
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
limpahan rahmat, kasih dan tuntunan-Nya sehingga tesis dengan judul “Studi
Indeks Taikan Pesisir (Coastal Upwelling) melalui Citra Satelit Multi Sensor”
dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Jonson
Lumban Gaol, MSi dan Dr Ir Yuli Naulita, MSi selaku komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan motivasi untuk penyempurnaan
tesis ini. Ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penguji luar komisi
pembimbing I Nyoman Radiarta, S.Pi, M.Sc, Ph.D atas masukan dalam perbaikan
tesis ini.
Selain itu, penghargaan penulis kepada Bapak Direktur Politeknik Perikanan
Negeri Tual Dr rer nat Ir E A Renjaan, M.Sc yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB, dan para Dosen
dan Pegawai Program Studi Teknologi Kelautan IPB yang telah banyak
membantu semasa studi. Terima kasih juga kepada Mba Ica, Bang Romie, Bang
Udha, Pa Syahdan, Eca, Yuli, teman-teman Maritek, IKL, PERMAMA dan
perwira 44 yang telah membantu selama penulis selama masa studi. Ungkapan
terima kasih juga kepada Mama (Sartje Silubun) dan keluarga besar Silubun, Om
Bonny Silubun dan keluarga, suami tercinta Peres Betaubun dan kedua anakku
Gamaliel Elly dan Ganessa Asyitha atas segala doa, kasih sayang dan
dukungannya. Kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun
materil selama melaksanakan studi sampai pada penyelesaian tesis ini penulis
ucapakan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu
sangat diharapkan segala saran, kritikan dan masukkan untuk penyempurnaannya.
Semoga tesis ini bermanfaat.bagi yang membutuhkannya
Bogor,
Agustus 2015
Dortje Thedora Silubun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan Data
Analisis Data
1
2
2
2
2
3
5
5
5
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Angin
Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL)
Konsentrasi Klorofil-a
Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL)
Intensitas Upwelling
Hubungan indeks upwelling pantai (UI) dengan SPL dan
Klolrofil-a
Indikasi Upwelling
26
28
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
29
29
8
12
15
18
21
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL
1
Posisi titik pengamatan pada lokasi penelitian
4
2
Jenis dan Sumber data penginderaan jauh
5
3
Hasil analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi
Klorofil-a pada 17 wilayah pengamatan
27
DAFTAR GAMBAR
1
Bagan kerangka pemikiran penelitian
3
2
Peta lokasi penelitian
4
3
Pola pergerakan angin bulanan rata-rata (ms-1) dari tahun 2002
sampai 2011: (a) musim barat; (b) musim peralihan I;
(c) musim timur dan (d) musim peralihan II
4
Sebaran kecepatan angin rata-rata selama tahun 2002 – 2011
pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
5
9
11
Pola sebaran SPL rata-rata selama tahun 2002-2011secara spasial
pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa: (a) musim barat;
(b) musim peralihan I; (c) musim timur dan (d) musim peralihan II
6
Pola sebaran SPL selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat
Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
7
12
14
Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial selama
Tahun 2002 - 2011 pada: (a) musim barat; (b) musim
peralihan I; (c) musim timur dan (d) musim peralihan II
8
Konsentrasi klorofil-a rata-rata selama tahun 2002 – 2011 di
perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
9
18
Sebaran ATPL secara temporal selama tahun 2002 – 2011 pada
perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
11
17
Pola sebaran ATPL secara spasial pada musim barat, peralihan I,
timur dan peralihan II
10
16
Sebaran UI rata-rata per bulan selama tahun 2002 – 2011 di perairan
20
barat Sumatera dan selatan Jawa
12
21
Sebaran UI rata-rata selama tahun 2002 – 2011 pada perairan
barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (tengah) dan hubungannya
dengan IODM (bawah)
13
23
Sebaran temporal saat terjadi anomaly (2006) pada perairan barat
Sumatera dan selatan Jawa: A) UI; B) sebaran SPL; C) ATPL
D) Konsentrasi klorofil-a dan E) Kecepatan angin
14
Hubungan antara UI dengan SPL (kiri) dan konsentrasi klorofil-a
(kanan)
15
25
26
Hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a
rata-rata mingguan (atas) dan data bulanan (bawah) selama tahun
2006 - 2011
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hubungan antara indeks iupwelling dan parameter yang
mempengaruhinya
33
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upwelling adalah proses penaikan massa air dari lapisan bawah ke
permukaan laut. Massa air ini memiliki karakter suhu lebih dingin, salinitas
tinggi dan zat-zat hara yang kaya akan kandungan nutrien (fosfat dan nitrat)
juga tinggi (Steward 2008). Daerah upwelling sangat penting dalam dunia
perikanan khususnya perikanan tangkap, dimana produktivitas rata-rata daerah
upwelling adalah sekitar 300 gC/cm2/tahun yang dapat memproduksi ikan basah
sebesar 12 x 105 ton/tahun dan mendukung 50% lebih produktivitas perikanan
dunia (Vargas dan Gonzales 2004, Vargas et al. 2007).
Upwelling di sepanjang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera
adalah upwelling musiman yang terjadi pada Muson Tenggara yaitu dari bulan
Mei hingga Oktober (Susanto et al. 2001). Fenomena tentang upwelling di
perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera telah banyak dikaji, berawal dari
penelitian berskala in situ yang dilakukan oleh Wyrki (1961) menunjukan bahwa
upwelling terjadi di perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera. Penelitian ini
kemudian dilanjutkan oleh Purba et al. 1992 dengan menggunakan data citra
satelit NOAA sensor AVHRR dan data in situ. Kemudian diikuti Susanto et al.
(2001) menggunakan data citra resolusi tinggi (suhu permukaan laut) dan satelit
Altimetri (ATPL) menunjukan bahwa upwelling dengan intensitas yang tinggi
terjadi apabila suhu permukaan laut (SPL) dan ATPL rendah. Selanjutnya Gaol
(2003) menunjukan bahwa penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofila di perairan ini pada musim timur karena terjadinya upwelling yang dikaitkan
juga dengan hasil tangkapan ikan. Perkembangan selanjutnya Kunarso (2005)
yang menunjukan bahwa intensitas upwelling yang tinggi terjadi pada kisaran
SPL kurang dari 26 0C dan konsentrasi klorofil-a lebih dari 2 mg m-3.
Selanjutnya Tubalawony et al. 2007 mengkaji upwelling dari kedalaman
transport Ekman, Amri (2012) menunjukan upwelling dengan intensitas yang
tinggi dipengaruhi oleh Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang berasosiasi
dengan El Niño. Yoga et al. 2014 mengkaji dinamika upwelling berdasarkan
variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a.
Semua penelitian tersebut baik yang berskala in situ maupun dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh hanya menitik beratkan pada proses
terjadinya upwelling dari perubahan fisik, kimia dan biologi tanpa menghitung
indeks upwelling tersebut. Hal ini menjadi menarik mengingat fenomena
upwelling sebelumnya telah banyak dikaji namun metode yang digunakan masih
terpisah-pisah dengan batasan area upwelling yang belum jelas karena daerah
yang dikaji luas. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimanakah indeks upwelling
serta pola sebarannya secara spasial maupun temporal di perairan selatan Jawa
hingga barat Sumatera dan hubunganya dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a
dengan menggunakan bantuan teknologi penginderaan jauh.
Perumusan Masalah
Daerah upwelling merupakan daerah yang subur pada suatu perairan
karena adanya peningkatan produktivitas primer. Daerah upwelling disukai oleh
2
ikan karena terdapat nutrien yang mendukung kelimpahan plankton yang
digemari oleh ikan. Upwelling dapat menyebabkan terjadinya perubahan
parameter oseanografi seperti suhu permukaan laut (SPL) dan anomali tinggi
paras laut (ATPL) dan konsentrasi klorofil-a. Terjadinya perubahan kondisi
perairan dapat dimanfaatkan untuk memantau fenomena upwelling. Namun hal
ini kadang sulit dilakukan karena keterbatasan data parameter-parameter
oseanografi in-situ di perairan Indonesia baik secara spasial dan temporal.
Dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh multi sensor maka data
parameter oseanografi dari satelit lebih mudah untuk diperoleh. Data parameter
oseanografi yang diperoleh secara sinoptik diharapkan dapat digunakan untuk
mengkaji bagaimana intensitas upwelling, perubahan SPL, konsentrasi
klorofil-a, kecepatan angin dan ATPL pada perairan barat Sumatera dan selatan
Jawa.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara indeks upwelling
dengan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dari citra satelit.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang indeks
upwelling di perairan barat Sumatera sampai selatan Jawa. Selain itu hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
peneliti-peneliti di bidang kelautan.
Kerangka Pemikiran
Salah satu perairan Indonesia yang memiliki tingkat produktivitas primer
cukup tinggi adalah selatan Jawa sampai barat Sumatera. Salah satu faktor yang
menyebabkan tingginya produktivitas primer adalah fenomena upwelling.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa perairan selatan
Jawa dan barat Sumatera terjadi fenomena upwelling pada bulan-bulan tertentu
di musim timur. Selain informasi terjadinya proses upwelling, kajian mengenai
intensitas upwelling perlu juga dilakukan. Pemanfaatan data penginderaan jauh
untuk mengkaji intensitas upwelling dengan menggunakan data citra satelit
karena dapat memantau perairan yang luas dalam waktu yang bersamaan
(sinoptik).
Indeks upwelling dapat diketahui dengan menggunakan data vektor angin
dari satelit QuickSCAT yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan sebaran
nilai indeks upwelling. Selain itu, parameter oseanografi seperti SPL, ATPL dan
konsentrasi klorofil-a digunakan sebagai indikator terbentuknya upwelling yang
didapat dari data citra satelit Aqua MODIS level 3 dan Altimeter dari Juli 2002
sampai Juni 2011. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk
menghasilkan peta sebaran SPL dan konsentrasil klorofil-a, peta sebaran angin
3
dan juga Indeks upwelling serta peta ATPL. Tahapan-tahapan yang dilakukan
untuk mendapat Indeks upwelling disajikan pada Gambar 1.
Data Satelit
Aqua MODIS level 3 (20022011)
Data Klorofil dan SPL
OuickSCAT
(2002-2011)
Altimeter
(2002-2011)
Data Arah dan
Kec. Angin
Data ATPL
Pengolahan dan
Analisis Data
Peta sebaran SPL
dan chl-a
Peta sebaran
Angin dan Kec. Angin
Peta sebaran ATPL
Peta sebaran
upwelling
Intensitas Upwelling
Analisis Variabilitas secara
Spasial dan Temporal
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian
2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Wilayah penelitian berada di perairan pantai barat Sumatera sampai selatan
Jawa pada koordinat 2° LS sampai 10° LS dan 98° BT sampai 115° BT (Gambar
5). Wilayah penelitian dibagi menjadi 17 wilayah pengamatan seperti
ditunjukkan pada Gambar 2 dan Tabel 1, dimana setiap titik terdiri dari luasan
satu derajat. Pembagian wilayah ini bertujuan untuk melihat perbedaan indeks
upwelling pada masing-masing wilayah pengamatan yang termasuk dalam
wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 572 dan 573.
4
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1 Posisi wilayah pengamatan pada lokasi penelitian
Titik
pengamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Lintang (°LS)
Bujur (°BT)
2⁰ 6’ 0’’ – 3⁰ 6’ 0”
98⁰ 6’ 0’’ – 99⁰ 6’ 0”
3⁰ 6’ 0’’ – 4⁰ 6’ 0”
99⁰ 6’ 0’’ – 100⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 5⁰ 6’ 0”
100⁰ 6’ 0’’ – 101⁰ 6’
⁰ 36’ 0’’ – 5⁰ 36’ 0”
0”101⁰ 6’ 0’’ – 102⁰ 6’ 0”
5⁰ 6’ 0’’ – 6⁰ 6’ 0”
102⁰ 6’ 0’’ – 103⁰ 6’ 0”
6⁰ 6’ 0’’ – 7⁰ 6’ 0”
103⁰ 6’ 0’’ – 104⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 8⁰ 6’ 0”
104⁰ 6’ 0’’ – 105⁰ 6’ 0”
⁰ 36’ 0’’ – 8⁰ 36’ 0”
105⁰ 6’ 0’’ – 106⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 9⁰ 6’ 0”
106⁰ 6’ 0’’ – 107⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 9⁰ 6’ 0” ⁰
⁰ 6’ 0’’ – 108⁰ 6’ 0”
24’ 0’’ – 9⁰ 24’ 0”
108⁰ 6’ 0’’ – 109⁰ 6’ 0”
⁰ 24’ 0’’ – 9⁰ 24’ 0”
109⁰ 6’ 0’’ – 110⁰ 6’ 0”
8⁰ 36’ 0’’ – 9⁰ 36’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 111⁰ 6’ 0”
8⁰ 36’ 0’’ – 9⁰ 36’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 112⁰ 6’ 0”
8⁰ 36’ 0’’ – 9⁰ 36’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 113⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 10⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 114⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 10⁰ 6’ 0”
⁰ 6’ 0’’ – 115⁰ 6’ 0”
5
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Peralatan yang terdiri dari seperangkat komputer pengolah citra yang di
lengkapi perangkat lunak Ferret versi 6.8, ArcGis 10.1 dan Microsoft Exel
2010.
2. Bahan yang digunakan adalah citra satelit Aqua-MODIS, QuickSCAT, dan
Envisat.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berasal dari data penginderaan jauh yang terdiri
dari data satelit Aqua-MODIS level 3 untuk parameter SPL dan konsentrasi
klorofil-a, data satelit QuickSCAT untuk vektor angin dan data satelit Envisat
untuk data ATPL. Data tersebut dikumpulkan berdasarkan rata-rata bulanan dari
Juli 2002 sampai Juni 2011, untuk lebih jelas tentang data tersebut disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan sumber data penginderaan jauh
Parameter
Data
Sumber
Klorofil dan
SPL
Aqua Modis Level 3,
resolusi 4 km format .nc
rata-rata bulanan tahun
Ketiga data tersebut bersumber
2002 – 2011
dari National Oceanic and
QuikSCAT resolusi 0.250 Atmorpheric
Administration
Arah dan
format
.nc
rata-rata (NOAA) - USA, melalui laman
website
kecepatan angin bulanan (2002 – 2011)
http://las.pfeg.noaa.gov/oceanWat
Envisat, Sea Surface ch/oceanwatch/php
Anomali tinggi Height Deviation, Aviso
paras laut
0.250, format .nc rata-rata
bulanan (2002 – 2011).
Metode Pengolahan Data
Suhu Permukaan laut (SPL)
Data SPL yang diperoleh telah diformulasi untuk menghasilkan nilai pixel
yang memuat kondisi SPL menggunakan algoritma Miami Pathfinder SST
(MPFSST) dengan formula (Brown dan Minnet 1999):
dimana:
= brightiness temperature (BT) pada band 31 pada AVHRR
kanal 4
= Perbedaan BT pada band 31-band 32 pada AVHRR kanal 4
dan 5
= koefisien band 31 dan 32
6
= sudut zenith satelit
Kemudian data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.8.
Hasil keluarannya dalam bentuk histogram, kontur sebaran SPL dan data ASCII.
Sebaran SPL dibuat dalam rata-rata bulanan selama tahun 2002 – 2011 untuk
mendapatkan sebaran spasial, sedangkan sebaran temporalnya diplot dengan
menggunakan Microsoft Exel 2010 yang diplot per bulan dari tahun 2002 –
2011.
Konsentrasi Klorofil-a
Pengolahan data konsentrasi klorofil-a sama halnya dengan SPL hanya
algoritma yang ditetapkannya berbeda dengan menggunakan algoritma OC3M
dengan formula (O’Reilly et al. 2000 dalam Pan et al. 2010):
dimana
Angin dan Indeks Upwelling
Data angin yang diperoleh terdiri dari vektor komponen angin zonal (u)
dan vektor komponen angin meridional (v), kemudian diproses dengan
menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.8. Data tersebut kemudian di
cropping dan di filtering sesuai daerah penelitian, hasil keluarannya berupa
sebaran pola angin yang telah dirata-ratakan per bulan selama tahun 2002 –
2011. Setelah itu, data vektor angin digunakan untuk menghitung indeks
upwelling pantai (UI) dengan menggunakan Microsoft Exel 2010. Hasil
perhitungan indeks upwelling kemudian dipetakan menggunakan perangkat
lunak ArcGis 10.1 untuk sebaran spasialnya sedangkan sebaran temporalnya
diplot kecepatan angina rata-rata selama 10 tahun begitu juga dengan indeks
upwellingnya.
Anomali Tinggi Paras Laut
Data ATPL juga diolah seperti data yang lainnya yaitu dengan
menggunakan perangkat lunak Ferret 6.8. Hasil keluarannya berupa sebaran
spasial ATPL dan data ASCII. Data ATPL diplot selama sepuluh tahun
berdasarkan data rata-rata bulanan pada setiap wilayah pengamatan dengan
menggunakan Microsoft Exel 2010.
Analisa Data
Indeks Upwelling Pantai
Indeks Upwelling dapat dihitung dengan menggunakan data vektor angin
untuk mendapatkan gesekan angin (wind stress) tiap komponen angin dengan
menggunakan persamaan yang di kemukakan oleh Kutsuwada (1998) :
(1)
(2)
7
dimana :
τx = Gesekan angin komponen sejajar pantai (kg det-2 m-1)
τy
= Gesekan angin komponen menegak pantai (kg det-2 m-1)
CD = Koefisien Drag = 1.4 x 10-3
ρ
= densitas udara = 1.3 kg m-3
W = Kecepatan angin (m det-1)
u
= komponen kecepatan angin pada sumbu x (m det-1)
v
= komponen kecepatan angin pada sumbu y (m det-1)
Untuk perairan Barat Sumatera, data vektor angin terlebih dahulu diubah
menjadi komponen angin sejajar pantai (komponen x) dan komponen angin
menegak pantai (komponen y) menggunakan formula (Arfken, 1985):
(3)
(4)
Dimana :
dan
dan
=
komponen angin setelah dirotasi
=
komponen vektor angina
= Sudut rotasi yang berlawanan arah jam dengan daratan
disebelah kanannya
Indeks Upwelling pantai kemudian dihitung dengan formula
dikembangkan dari teori Ekman’s (1905), perhitungan transport Ekman
menggunakan persamaan (Pond and Pickard 1983) :
Mx =
(5)
dimana :
Mx = Massa offshore transport ekman (kg det-2 m-1)
= Gesekan angin komponen menegak pantai (kg det-2 m-1)
f = parameter coriolis (rad det-1)
sedangkan
(6)
dimana :
Ω = Kecepatan rotasi bumi pada sumbu = 7.29 x 10-5 rad det-1
Θ = lintang
Formula untuk mendapatkan indeks upwelling pantai (UI) menggunakan
persamaan (Bakun 1973) :
UI = Mx
dimana :
Mx = Massa offshore transport ekman (kg det-2 m-1)
UI = Indeks Upwelling Pantai (m3/s/100m coastline)
(7)
8
Dengan asumsi bahwa jika nilai transport ekman’s negatif (ekman’s
transport offshore) maka Coastal Upwelling Index (UI) akan menunjukkan
terjadinya proses upwelling sebaliknya jika nilainya positif (ekman’s
transport onshore) maka yang terjadi adalah proses downwelling.
Hubungan UI dengan SPL dan Konsentrasi Klorofil-a
Analisis hubungan antara indeks upwelling pantai (UI) dengan SPL dan
konsentrasi klorofil-a menggunakan sebaran nilai hasil analisis dari Juli 2002 –
Juni 2011. Wilayah pengamatan untuk menganalisis hubungan antara UI ddenga
SPL dan konsentrasi klorofil-a di bagi dalam 17 wilayah pengamatan (Gambar 2
dan Tabel 1). Selain dilakukan analisis hubungan antara UI dengan SPL dan
konsentrasi klorofil-a berdasarkan data bulanan, juga diambil satu titik pada
perairan selatan Jawa (80 36’ 00” – 100 06’ 00” LS dan 1120 06’ 00’ – 1140 06’
00” BT) untuk melihat hubungannya berdasarkan data mingguan.
Analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a
dilakukan dengan statistic regresi sederhana sebagai berikut :
(8)
dimana :
y = Indeks Upwelling Pantai (CUIx)
x = SPL, Klorofil-a
Hasil penelitian dapat digabung dengan pembahasan menjadi bab Hasil
dan Pembahasan. Pemisahan atau penggabungan kedua bagian ini bergantung
pada keadaan data dan kedalaman pembahasannya sesuai dengan arahan
pembimbing. Bila Hasil dan Pembahasan disatukan dalam satu bab, sajikan
dahulu hasil penelitian, beri penjelasan yang cukup untuk temuan penting,
lanjutkan dengan analisis dan kemudian dengan pembahasan. Subbab dalam
Hasil dan Pembahasan dikembangkan secara sistematis dan mengarah ke
simpulan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Angin
Pola pergerakan angin secara spasial disajikan pada Gambar 3. Pada
musim barat (Desember – Februari) dibagian utara barat Sumatera arah angin
dari barat laut ke tenggara, sedangkan bagian selatan barat Sumatera sampai
selatan Jawa angin bertiup dari barat daya ke timur laut. Pada bulan Desember
mulai berkembang angin barat daya dan selanjutnya secara sempurna menjadi
angin barat pada bulan Februari. Pada musim barat posisi penyinaran matahari
tegak lurus berada pada belahan bumi selatan, sehingga pusat tekanan rendah
berada di Benua Australia dan pusat tekanan tinggi berada di Benua Asia,
akibatnya pada perairan utara Jawa dan Sumatera dekat ekuator angin akan bertiup
9
dari timur laut ke tenggara (Martono 2009). Pada perairan selatan Sumatera dan
selatan Jawa, pengaruh angin pasat menyebabkan arah angin bertiup dari barat
daya ke timur laut. Kecepatan angin di barat Sumatera pada musim barat berkisar
antara 0.089 sampai 3.541 m s-1 dengan kecepatan maksimum terjadi bulan
Februari pada wilayah pengamatan 6. Kecepatan angin pada perairan selatan
Jawa berkisar antara 0.011 sampai 3.270 m s-1 dimana wilayah pengamatan 7
yang memiliki kecepatan tertinggi pada bulan Februari.
Pergerakan angin pada musim peralihan I (Maret – Mei) di Barat
Sumatera mulai terjadi perubahan arah tiupan angin dengan pola yang berubahubah kecuali pada bulan Maret dimana masih bertiup angin barat. Perairan
Selatan Jawa juga mengalami kondisi yang sama, namun pada bulan April dan
Mei mulai berkembang angin muson tenggara. Hal ini disebabkan pergeseran
posisi penyinaran matahari dari belahan bumi selatan menuju ke ekuator, sehingga
pusat tekanan tinggi dan rendah berubah. Pada musim peralihan I kecepatan angin
tertinggi 3.689 m s-1 terjadi pada bulan Mei di wilayah pengamatan 6, sedangkan
yang terendah pada wilayah pengamatan 1 yaitu 0.064 m s-1 di bulan Maret pada
perairan barat Sumatera. Perairan selatan Jawa memiliki kecepatan angin
tertinggi adalah 6.621 m s-1 pada wilayah pengamatan 10 dan terendah pada
wilayah pengamatan 15 yaitu 0.011 m s-1.
F
ec
eb
an
M
ar
pr
un
ul
ay
J
ug
N
ep
kt
ov
Gambar 3 Pola pergerakan angin bulanan rata-rata (ms-1) dari tahun 2002 - 2011
(a) musim barat, (b) musim peralihan I, (c) musim timur, (d) musim
peralihan II
10
Pada musim timur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara dari
arah tenggara ke barat laut pada perairan barat Sumatera maupun selatan Jawa.
Pada bulan Juni dimana sudah memasuki Musim Timur, posisi matahari mulai
bergerak ke arah bumi belahan utara, sehingga pusat tekanan tinggi berada di
Benua Australia dan pusat tekanan rendah di Benua Asia. Perbedaan tekanan ini
menyebabkan angin bertiup dari Benua Australia menuju ke Benua Asia.
Kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus, dengan kisaran antara
0.526 sampai 6.510 m s-1 pada perairan barat Sumatera, kecepatan maksimum di
wilayah pengamatan 6. Perairan selatan Jawa berkisar antara 1.720 sampai 9.331
m s-1 dengan kecepatan tertinggi pada wilayah pengamatan 8.
Selama musim peralihan II (September – November), dimana posisi
matahari mulai bergerak ke arah ekuator. Pola pergerakan angin beriup dari
tenggara/selatan ke timur laut/utara pada perairan Barat Sumatera maupun
selatan Jawa. Kecepatan maksimum terjadi pada bulan September di wilayah
pengamatan 6 (5,408 m s-1) dan yang terendah pada bulan November, di wilayah
pengamatan 2 (0.251m s-1) pada perairan barat Sumatera. Pada perairan selatan
Jawa kecepatan angin terendah adalah 0.171 m s-1 (wilayah pengamatan 17)
bulan oktober dan yang tertinggi di wilayah pengamatan ke 8 (6.769 m s-1) pada
bulan September.
Gambar 4 menunjukkan kecepatan angin secara temporal di perairan
barat Sumatera dan selatan Jawa. Kecepatan angin maksimum perairan barat
Sumatera di musim barat terjadi Februari 2003, musim peralihan I terjadi bulan
Mei 2006, musim timur pada bulan Agustus 2006 dan musim peralihan II bulan
September 2006. Sebaliknya kecepatan angin minimum terjadi pada bulan
Desember 2003 (musim barat), Maret 2003 (musim peralihan I), Juni 2005
(musim timur) dan November 2010 (musim peralihan II). Kecepatan angin di
perairan selatan Jawa pada musim barat memiliki kecepatan tertinggi
pada Februari 2003, musim peralihan I bulan Mei 2006, musim timur bulan
Agustus 2006 dan musim peralihan II September 2006. Kecepatan angin
terendah ditemukan pada bulan Desember 2009 (musim barat), Maret 2009
(musim peralihan I), Juni 2008 (musim timur) dan Oktober 2008 (musim
peralihan II).
Berdasarkan pola sebaran angin diatas dapat dikatakan bahwa angin
muson yang bertiup di atas perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dicirikan
oleh pembalikan arah tiupan angin secara musiman. Pembalikan arah angin
disebabkan karena adanya perubahan tekanan di daratan sekitarnya sebagai
akibat dari berubahnya posisi matahari (Wyrtki 1961, Martono 2009). Susanto
et al. (2001) mengatakan bahwa angin muson tenggara yang bertiup di
sepanjang Pantai selatan Jawa mencapai maksimum pada bulan Juli sampai
Agustus.
Gambar 4 Sebaran temporal kecepatan angin dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa
(tengah)
11
12
Suhu Permukaan Laut (SPL)
Gambar 5 memperlihatkan sebaran SPL secara spasial, pada musim barat
(Desember – Februari) sebaran SPL di sepanjang perairan barat Sumatera hingga
selatan Jawa menunjukkan adanya massa air permukaan yang mulai menghangat
pada bulan Desember yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu.
Sebaran SPL rata-rata berkisar antara 27.10 sampai 31.42 °C, SPL yang
D
ec
M
ar
F
J
eb
an
A
pr
M
ay
A
un
ug
ul
O
ep
kt
N
ov
Gambar 5 Pola sebaran SPL secara spasial pada : a) musim barat, b) musim
peralihan I, c) musim timur, d) musim peralihan II
lebih tinggi terjadi di wilayah pengamatan 1. Tingginya SPL pada barat
Sumatera diperkirakan akibat Arus Sakal Katulistiwa (AKS) Samudera Hindia
(Equatorial Counter Current) yang membawa massa air hangat dari arah barat
dekat ekuator Samudera Hindia secara terus- menerus menuju ke perairan barat
Sumatera (Wyrtki, 1961). SPL tinggi di perairan Selatan Jawa diduga akibat
berkembangnya Arus Pantai Jawa (APJ) yang mengalir dari perairan barat
Sumatera membawa massa air hangat (Purba et al. 1992). Musim peralihan I
(Maret – Mei) menunjukkan sebaran SPL yang homongen pada sepanjang
perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera, dimana pada bulan Maret dan
April massa air permukaan hangat. Pada bulan Mei SPL mengalami penurunan
di bagian timur perairan Selatan Jawa, sedangkan pada perairan barat Sumatera
mengalami peningkatan sebaran SPL ke arah utara. Sebaran SPL berkisar antara
29.02 sampai 31.72 °C, dengan sebaran tertinggi pada wilayah pengamatan 6.
Musim timur (Juni – Agustus) terjadi penurunan SPL pada perairan barat
Sumatera maupun selatan Jawa yang berkisar antara 24.60 sampai 30.22 °C,
pada bulan Juni sebagian daerah di Barat Sumatera masih memiliki sebaran SPL
13
yang tinggi sedangkan di bagian Selatan Jawa SPL yang rendah mulai menyebar
ke arah barat dan semakin meluas seiring dengan bertambahnya waktu. Pada
bulan Agustus terlihat bahwa di sepanjang perairan ini memiliki massa air
permukan yang lebih dingin. Rendahnya SPL pada Musim Timur di perairan
pantai selatan Jawa diduga akibat terjadinya upwelling yang sangat intensif (Purba
et al.1992), Variasi SPL musiman pada lokasi penelitian diperkirakan
penyebabnya oleh dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah akibat proses
upwelling dan yang kedua adalah masuknya massa air dari Pantai Barat Australia
arah selatan yang berbelok ke barat dan bergabung dengan arus yang berasal dari
Indonesia Timur (Purba et al.1997). Pada musim peralihan II adanya perbedaan
penyebaran SPL, dimana terlihat bahwa pada bulan September SPL masih
sangat rendah namum mengalami peningkatan pada bulan Oktober – November
yang digantikan dengan massa air permukaan yang mulai menghangat. Pada
musim ini, angin Muson Tenggara sudah mengendur dan angin Muson Barat Laut
mulai bertiup. Oleh karena perubahan angin ini, maka proses upwelling mulai
menghilang. Pusat SPL rendah dengan suhu mulai menyempit pada bulan
September dan bergerak ke barat perairan selatan Jawa sampai bagian selatan barat
Sumatera hingga menghilang sama sekali pada bulan November akibat
bergesernya poros AKS ke arah selatan dan berkembangnya APJ. Diduga bahwa
karena hal yang dianalisis adalah SPL yang merupakan massa air permukaan maka
massa air permukaan tersebut akan mengalir 45 o dari arah angin yang bertiup dari
tenggara (angin Muson Tenggara) sesuai dengan mekanisme Ekman Pump
(Stewart 2008).
Penyebaran SPL secara temporal pada perairan barat Sumatera dan
selatan Jawa ditunjukkan pada Gambar 6. Pada musim barat di perairan barat
Sumatera sebaran SPL rata-rata tertinggi ada Februari 2005, sedangkan yang
terendah pada bulan Februari 2008. Musim peralihan I sebaran SPL tertinggi
Maret 2005 dan terendah Mei 2006. Penyebaran SPL pada musim timur
mengalami penurunan dimana sebaran SPL yang rendah ditemukan pada tahun
2006 (bulan Agustus) dan pada bulan yang sama juga penyebaran SPL lebih
tinggi yang terjadi pada tahun 2010. Musim peralihan II sebaran SPL terendah
pada September 2006 dan tertinggi pada tahun 2005.
14
Gambar 6. Sebaran SPL selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah)
15
Sebaran SPL rata-rata di perairan selatan Jawa pada musim barat
tertinggi Desember 2010 sedangkan terendah bulan Februari, musim peralihan I
SPL yang rendah terbentuk pada Mei 2006 dan tertinggi Maret 2005. Sebaliknya
pada musim timur sebaran SPL mengalami penurunan dengan sebaran SPL
terendah pada tahun 2006 sedangkan yang tinggi tahun 2010. Pada awal musim
peralihan II yaitu pada bulan September sebaran SPL juga masih rendah di
sepanjang perairan selatan Jawa yaitu pada tahun 2006, kemudian sebaran SPL
mulai meningkat pada bulan Oktober dan mencapai nilai tertinggi tahun 2010.
Sebaran SPL pada bagian timur perairan selatan Jawa memiliki massa
air yang lebih dingin jika dibandingkan dengan massa air dibagian barat perairan
selatan Jawa pada musim timur. Dinginnya massa air pada musim ini
menunjukkan indikasi terjadinya upwelling pada bagian timur perairan selatan
Jawa. Keadaan ini terus berlanjut pada awal musim peralihan II, dimana ada
indikasi bahwa rendahnya SPL di perairan Barat Sumatera disebabkan oleh
kuatnya tiupan angin, adanya fenomena upwelling dan adanya pengaruh AKS
yang membawa massa air dingin dari perairan selatan Jawa yang mengalami
pengangkatan massa air. Adanya proses penurunan SPL di perairan barat
Sumatera maupun selatan Jawa berkaitan dengan perkembangan muson yang
terjadi selama musim timur. Susanto et al. (2005) menjelaskan bahwa selama
musim timur tiupan angin muson tenggara dari arah Australia membangkitkan
upwelling sehingga menyebabkan penurunan SPL sepanjang pantai selatan Jawa
dan Sumatera, kondisi yang berbeda terjadi pada musim barat.
Pada bulan Maret 2005 ditemukan sebaran SPL yang tinggi di perairan
barat Sumatera menurut Amri (2012) karena adanya pengaruh massa air dari
Samudera Hindia Bagian Barat dan Teluk Bengal yang mengisi perairan timur
laut Samudera Hindia posisinya melebar dari utara dan barat perairan barat
Sumatera pada kondisi Indian Ocean Dipole Mode (IODM) negatif. Sebaliknya
pada bulan Maret 2010 terjadi sebaran SPL yang tinggi di selatan Jawa terkait
dengan IODM negatif yang menyebabkan perairan Indonesia termasuk selatan
Jawa memiliki sebaran SPL yang lebih tinggi dari kondisi normal (Yoga et al.
2014). Pada tahun 2006 terjadi penurunan sebaran SPL yang lebih rendah di
sepnajang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera yang diduga karena
adanya pengaruh anomali iklim IODM positif yang berasosiasi dengan El Niño
(Amri et al. 2012).
Konsentrasi Klorofil-a
Konsentrasi Klorofil-a secara spasial disajikan pada Gambar 7. Pada
perairan barat Sumatera konsentrasi klorofil-a terlihat homogen yang berkisar
antara 0.08 sampai 0.53 mg m-3 dimana konsentrasi tertinggi pada wilayah
pengamatan 5. Musim peralihan I kondisi ini juga masih berlanjut, namun pada
akhir musim (bulan Mei) terlihat adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a
menjadi 0.24 mg m-3 dari 0.08 mg m-3. Konsentrasi klorofil-a terus meningkat
pada musim timur dengan konsentrasi tertinggi adalah 2.38 mg m-3 pada
wilayah pengamatan 6, selanjutnya pada musim peralihan II konsentrasi klorofil
ditemukan tinggi pada wilayah pengamatan 6 (3.23 mg m-3) pada bulan
September. Seiring bertambahnya waktu maka konsentrasi klorofil akan
mengalami penurunan kembali.
16
F
J
D
ec
an
eb
pr
ay
M
ar
M
ug
ul
O
S
ep
A
J
un
kt
N
ov
Gambar 7 Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada : a) musim
barat, b) musim peralihan I, c) musim timur, d) musim peralihan II
Konsentrasi klorofil-a pada perairan selatan Jawa menunjukan kodisi
yang homongen pada musim barat, hanya pada wilayah pengamatan 14 terjadi
peningkatan konsentrasi (1.99 mg m-3) pada bulan Desember. Kondisi serupa
juga berlanjut pada musim peralihan I dengan kisaran konsentrasi klorofil-a
adalah 0.08 sampai 0.78 mg m-3, konsentrasi yang tertinggi terjadi pada bulan
Mei. Musim timur terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a menjadi 1.66mg m-3
di wilayah pengamatan 17 pada bulan Agustus, kondisi ini terus meningkat pada
musim peralihan II dan mencapai maksimum pada bulan November (8.34 mg
m-3) pada wilayah pengamatan 16.
Konsentrasi klorofil-a di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa secara
temporal ditunjukkan pada Gambar 8. Secara temporal konsentrasi klorofil-a
pada musim barat disepanjang perairan barat Sumatera dan selatan Jawa
mengalami konsentrasi tertinggi pada bulan Desember 2006, sedangkan yang
terendah pada tahun 2010 (barat Sumatera) dan 2007 (selatan Jawa). Musim
peralihan I konsentrasi tertinggi terjadi pada tahun 2006 (barat Sumatera) dan
2008 (selatan Jawa). Konsentrasi krolofil-a tertinggi pada musim timur terjadi
pada Agustus 2006 dan puncak tertinggi konsentrasi klorofil-a terjadi pada
musim peralihan II yaitu pada bulan September 2006 (barat Sumatera) dan
November 2006 (selatan Jawa).
Gambar 8 Sebaran konsentrasi klorofil-a dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa
(bawah)
17
18
Massa air dengan konsentrasi klorofil rendah umunya di temukan pada
awal tahun (musim barat) dan terendah terjadi pada musim peralihan I. Pada
musim timur terjadi pengkayaan klorofil-a dan berlanjut pada musim peralihan
II (September - Oktober) sebagai puncaknya, dimana terjadinya upwelling.
Seiring dengan melemahnya upwelling (akhir musim peralihan II) maka terjadi
pula penurunan konsentrasi klorofil-a dan akan terus menghilang pada bulan
Desember (awal musim barat). Dari sebaran konsentrasi klorofil-a yang tinggi
identik dengan periode terjadinya upwelling secara intensif yakni pada musim
timur sampai peralihan II. Nilai sebaran rata-rata konsentrasi klorofil-a tertinggi
pada di sepanjang perairan ini ditemukan pada fase IODM positif kuat
berasosiasi dengan El Niño sedang tahun 2006. Fase IODM positif sedang
berasosiasi La Niña kuat 2007 dan fase IODM positif lemah berasosiasi La Niña
lemah 2008, juga mengindikasikan peningkatan konsentrasi klorofil-a yang
relatif tinggi di perairan selatan
Jawa, sedangkan di barat Sumatera
konsentrasinya lebih rendah (Amri 2012). Hendiarti et al. (2004) menjelaskan
bahwa peningkatan klorofil-a di selatan Jawa karena adanya mekanisme
upwelling yang makin intensif sehingga meningkatkan kadar nutrien yang
menghasilkan kadar klorofil-a yang tinggi.
Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL)
Sebaran ATPL pada perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa secara
spasial ditunjukkan pada Gambar 9. Pada musim barat hingga peralihan I
sebaran ATPL terlihat tinggi pada perairan selatan Jawa maupun barat Sumatera
dan mencapai puncaknya pada bulan Mei yang ditandai dengan warna merah di
D
J
an
ay
pr
A
J
J
ug
ul
O
S
ep
M
A
M
un
F
eb
kt
N
ov
Gambar 9 Pola sebaran ATPL secara spasial pada : a) musim barat, b) musim
peralihan I, c) musim timur dan d) musim peralihan II
19
sepanjang perairan ini. Pada musim barat sebaran ATPL tertinggi yaitu +
0.28 m (wilayah pengamatan 5, barat Sumatera) dan +0.40 m (wilayah
pengamatan 15, perairan selatan Jawa). Musim peralihan I ATPL tertinggi
+0.26 m pada wilayah pengamatan 5 dan 15.
Pada awal musim timur (bulan Juni) sebaran ATPL mulai menurun di
perairan selatan Jawa ke arah laut namun di barat Sumatera masih terlihat ATPL
yang tinggi, seiring dengan bertambahnya waktu maka ATPL akan turun dengan
puncak terendah pada bulan Agustus yaitu -0.14 m (wilayah pengamatan 6) dan
-0.22 m (wilayah pengamatan 15). Awal musim peralihan II terjadi puncak
sebaran ATPL terendah yaitu -0.24 m (wilayah pengamatan 6) dan -0.28 m
(wilayah pengamatan 15), sedangkan di akhir musim peralihan II (Oktober –
November) ATPL mulai meningkat lagi mencapai +0.29 m (wilayah
pengamatan 5 dan 6) dan +0.28 (wilayah pengamatan 15).
Marpaung et al. (2014) mempelajari karakteristik sebaran ATPL di
perairan bagian selatan dan utara pulau Jawa mengemukakan bahwa variabilitas
ATPL menunjukkan bahwa kejadian upwelling lebih kuat di perairan bagian
selatan Jawa karena pengaruh posisi geografis karena perairan bagian selatan
terdapat pada laut yang terbuka. Menurutnya ATPL pada bulan Juni hingga
September mengalami penurunan yang signifikan, dengan kondisi anomali
minimum terjadi pada bulan September, sedangkan pada bulan Oktober sampai
Desember mulai mengalami peningakatan lagi. Hal ini berkaitan dengan
terjadinya upwelling pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dimana pada
bulan Juni hingga Oktober adanya indikasi terjadi upwelling (Susanto et al.
2001).
Gambar 10 menunjukkan sebaran ATPL secara temporal di perairan
barat Sumatera (a) dan selatan Jawa (b). Sebaran ATPL di barat Sumatera yang
tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2010 dan terendah pada bulan September
2006, sedangkan perairan selatan Jawa pada bulan Januari 2011 terjadi sebaran
ATPL tertinggi dan bulan September 2006 terjadi sebaran ATPL yang rendah.
Sebaran ATPL yang rendah selama bulan Juli – September di dekat
perairan pantai selatan Jawa dan Selat Sunda merupakan indikasi adanya
pergerakan massa air menjauhi pantai yang menyebabkan terjadinya kekosongan
sehingga paras laut di dekat pantai akan turun. Keadaan ini yang memicu
terjadinya upwelling yang mengangkat massa air dalam ke lapisan permukaan
untuk mengisi kekosongan massa air lapisan permukaan. Tubalawony et al.
(2007) mengemukakan bahwa penyebab utama terjadinya penurunan paras laut
di perairan dekat pantai selatan Jawa dan Selat Sunda adalah bertiupnya angin
muson tenggara dengan kekuatan gesekan angin komponen sejajar pantai lebih
besar dari bulan - bulan lainnya. Lebih jauh Purba (2007) mengungkapkan
bahwa signal turunnya paras laut inilah yang sering digunakan sebagai indikator
Indeks upwelling.
20
Gambar 10 Sebaran ATPL dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa (bawah).
21
Indeks Upwelling
Gambar 11 menunjukkan sebaran indeks upwelling rata-rata di perairan
barat Sumatera dan selatan Jawa secara spasial. Secara spasial sebaran indeks
upwelling pada perairan barat Sumatera selama musim barat (Desember –
Januari) terlihat didominasi oleh kisaran nilai indeks yang bernilai positif yang
digambarkan dengan warna hijau sampai biru tua. Indeks upwelling pada musim
barat di perairan barat Sumatera yang tertinggi +232.52 m3s-1/100 m coastline
pada wilayah pengamatan 2. Dari hasil analisis terhadap indeks upwelling
diketahui bahwa pada kondisi ini tidak terjadi upwelling tetapi downwelling.
Pada musim peralihan I (Maret – April) kondisi yang sama masih terus berlanjut
namun pada bulan Mei sudah terlihat adanya kisaran nilai indeks yang bernilai
negatif pada wilayah pengamatan 6 yaitu -143.58 m3s-1/100 m coastline.
Sebaliknya pada wilayah pengamatan yang lain di perairan barat Sumatera masih
didominasi oleh nilai positif, dengan indeks tertinggi +64.73 m3s-1/100 m
coastline pada wilayah pengamatan 2. Pada musim timur (Juni – Agustus)
indeks upwelling didominasi oleh nilai negatif pada semua wilayah pengamatan
Gambar 11 Sebaran indeks upwelling rata-rata per bulan selama tahun 2002 2011 pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa
22
di perairan barat Sumatera dengan kisaran nilai indeks upwelling adalah 3.30 m3s-1/100 m coastline sampai -330.80 m3s-1/100 m coastline. Nilai tertinggi
terjadi pada bulan Agustus diwilayah pengamatan 6, dan yang terendah pada
bulan Juni di wilayah pengamatan 1. Kondisi ini terus berlanjut pada musim
peralihan II (September – Desember) dengan sebaran nilai indeksnya pada bulan
September yaitu mencapai -327.89 m3s-1/100 m coastline pada wilayah
pengamatan 6. Pada bulan Oktober mulai terjadi penurunan nilai indeks
upwelling pada semua wilayah pengamatan dan akan terus menghilang pada
bulan November.
Perkembangan sebaran indeks upwelling pada perairan selatan Jawa
selama musim barat hampir sama dengan perairan barat Sumatera yaitu
didominasi oleh nilai positif. Pada bulan Desembar ditemukan indeks upwelling
yang bernilai negatif (-183.84 m3s-1/100 m coastline) pada wilayah pengamatan
7, kemudian pada bulan Januari mulai terlihat adanya penurunan nilai indeks
sampai mencapai nilai positif pada bulan Februari, dengan nilai tertinggi pada
wilayah pengamatan 8 (+182.96 m3s-1/100 m coastline ). Pada musim peralihan
I (Maret – Mei) sebaran nilai indeks upwelling didominasi oleh nilai positif
pada semua wilayah pengamatan di perairan selatan Jawa dengan kisaran
nilainya adalah +92.82 m3s-1/100 m coastline pada wilayah pengamatan 7.
Selanjutnya bulan Mei penyebaran nilai indeks upwelling yang berniali negatif
merata pada semua wilayah pengamatan di perairan selatan Jawa. Pada musim
timur (Juni – Agustus) upwelling menyebar di seluruh perairan selatan Jawa
dengan kisaran nilai tertinggi pada wilayah pengamatan 7 dan 8 yaitu -549.06
m3s-1/100 m coastline sampai -556.69 m3s-1/100 m coastline pada bulan Agustus.
Wilayah pengamatan 17 memiliki sebaran indeks upwelling yang terendah yaitu
-50.20 m3s-1/100 m coastline. Perkembang selanjutnya pada bulan September
sebaran upwelling semakin luas menyebar dan indeks tertinggi masi terdapat
pada wilayah pengamatan 7 (-557.79 m3s-1/100 m coastline) dan 8
(-558.84
m3s-1/100 m coastline), sedangkan yang terendah pada wilayah pengamatan 15 (175.21 m3s-1/100 m coastline) Kemudian akan mengalami penurunan pada bulan
Oktober dan juga November.
Hasil analisa ditemukan bahwa upwelling dengan Indeks yang tinggi
ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 14) pada wilayah pengamatan 6, 7
dan 8 (sekitar Selat Sunda dan menyebar ke daerah sekitar Jawa Barat) memiliki
Indeks yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah pengamatan yang
lainnya, hal ini dipengaruhi oleh kuatnya tiupan angin pada wilayah pengamatan
tersebut. Susanto et al. (2001) mengungkapan bahwa angin muson tenggara yang
bertiup mencapai maksimum pada bulan Juli - Agustus di perairan selatan Jawa
Barat (sekitar 105 0BT).
Sebaran Indeks upwelling secara temporal di perairan selatan Jawa dan
barat Sumatera ditunjukkan pada Gambar 12. Secara temporal indeks upwelling
yang tinggi terjadi pada tahun 2006, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun
2005 dan 2010. Indeks upwelling tertinggi ditemukan pada tahun 2006 yang
dimana terlihat bahwa upwelling mulai terbentuk pada bulan Mei dan mencapai
puncaknya pada bulan Agustus dan September kemudian akan menghilang
kembali pada bulan Oktober dan November. hal ini diduga karena adanya
pengaruh IODM positif kuat dilihat dari nilai DMI yang tinggi mencapai 0.95.
Kisaran nilai rata-rata indeks upwelling berki