Variabilitas suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar

(1)

NOVILIA ROSYADI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN

KONSENTRASI KLOROFIL-A DI BAGIAN SELATAN SELAT

MAKASSAR

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

NOVILIA ROSYADI C54063422


(3)

Klorofil-a di Bagian Selatan Selat Makassar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG dan BISMAN NABABAN.

Perairan bagian selatan Selat Makassar merupakan perairan yang relatif subur karena di perairan ini secara periodik ditemui upwelling sepanjang musim timur dan asupan nutrien dari limpasan daratan (run off) pada musim barat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar.

Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Selat Makassar. Penelitian ini menggunakan data SPL dari citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer

(NOAA-AVHRR) berupa composite 8 harian dan bulanan dengan resolusi spasial 4x4km2 yang diunduh dari situs NASA (http://podaac.jpl.nasa.gov) dan data konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor

(SeaWiFS) berupa composite 8 harian dan bulanan dengan resolusi spasial 9x9km2 yang diunduh dari situs NASA (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov). Kedua jenis data ini memiliki periode waktu pada Januari 1998 – Desember 2009. Nilai SPL diestimasi dengan menggunakan algoritma pathfinder dan konsentrasi klororfil-a menggunakan algoritma OC4v4.

Secara umum nilai SPL cenderung lebih tinggi pada musim barat (November – Februari) antara 26,4 – 31,0 °C dan cenderung lebih rendah pada musim timur (Mei – Agustus) antara 25,7 – 30,6 °C. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a relatif tinggi pada musim timur (Mei – Agustus) antara 0,15 – 2,48 mg/m3 dan relatif rendah pada musim barat (November – Februari) antara 0,10 – 2,03 mg/m3. Nilai SPL yang paling rendah pada musim timur umumnya terdapat pada sampling area 1 yang diikuti dengan konsentrasi klorofil-a yang paling tinggi serta kecepatan angin yang relatif lebih tinggi, yang mengindikasikan fenomena upwelling.

Berdasarkan data composite 8 harian SPL dan klorofil-a, upwelling diduga mulai terjadi pada bulan minggu ke-3 April untuk data SPL dan klorofil-a serta kejadian upwelling rata-rata terjadi pada minggu ke-2 bulan Mei. Kejadian

upwelling umumnyamencapai maksimum pada minggu ke-2 Agustus untuk SPL dan minggu ke-3 Agustus untuk klorofil-a. Upwelling ini umumnya berakhir pada minggu ke 4 Oktober baik berdasarkan SPL maupun konsentrasi klorofil-a.

Upwelling didugaterjadi akibat pengaruh angin yang berasal dari Tenggara pada musim timur (Mei – Agustus) dimana kecepatan angin maksimum terjadi pada bulan Agustus yang ditandai dengan kejadian upwelling maksimum. Hal ini terlihat dari Ekman transport yang menguat ke arah barat daya pada musim ini.

Secara umum, ElNino Southern Oscillation (ENSO) berpengaruh terhadap nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan. Saat musim peralihan I (Mar-Apr) nilai SPL tahun ENSO lebih tinggi dibandingkan tahun non ENSO dan saat musim timur nilai SPL tahun ENSO lebih rendah dibandingkan non ENSO. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a pada musim timur lebih tinggi pada tahun ENSO dibanding dengan tahun non ENSO. Hal ini disebabkan oleh kecepatan angin lebih tinggi pada musim timur tahun ENSO dibandingkan tahun non ENSO.


(4)

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN

KONSENTRASI KLOROFIL-A DI BAGIAN SELATAN

SELAT MAKASSAR

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Novilia Rosyadi

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

NIM : C54063422

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir Djisman Manurung, M.Sc. Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. NIP. 19480630 197803 1 002 NIP. 19651206 199103 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a di Bagian Selatan Selat Makassar”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Kelautan. Penulis menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengalami banyak kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ide, masukan, dan arahan serta meluangkan waktu kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. selaku Ketua Komisi Pendidikan S1

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan bimbingan selama masa perkuliahan. 4. Para dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah

memberikan ilmu dan masukan selama masa perkuliahan.

5. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat yang telah mempermudah penulis untuk memperoleh data curah hujan.


(7)

kepada penulis.

7. Elfira Rosyadi dan Fachriza Rosyadi yang senantiasa memberikan semangat dan doa kepada penulis.

8. Firmansyah Samad yang senantiasa menemani penulis dengan sabar, memberikan masukan dan bantuannya dalam penulisan skripsi.

9. Kristina Simamora dan Romdonul Hakim yang berjuang bersama penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10. Warga ITK, khususnya ITK 43 yang telah memberikan dukungan dan semangat pada penulis.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.

Bogor, Februari 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 . Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar ... 4

2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a ... 5

2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL) ... 7

2.4. Upwelling ... 9

2.5. Penginderaan Jauh Satelit ... 12

2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR ... 13

3. METODOLOGI ... 16

3.1. Waktu dan Tempat ... 16

3.2. Alat dan Data Penelitian ... 17

3.2.1. Alat Penelitian ... 17

3.2.2. Data Penelitian ... 17

3.3. Pengolahan Data ... 18

3.3.1. SPL dan Kosnentrasi Klorofil-a ... 18

3.3.2. Angin ... 22

3.3.3. Ekman Transport ... 23

3.3.4. Curah Hujan ... 24

3.3.5. Analisis Interannual ... 24

3.3.6. Tinggi Paras Laut (TPL) ... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1. Variabilitas Nilai SPL ... 27

4.1.1. Variabilitas Nilai SPL Secara Spasial ... 27

4.1.2. Variabilitas Nilai SPL Secara Temporal ... 30

4.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a ... 34

4.1.1. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Spasial ... 34

4.1.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Temporal ... 37

4.3. Interannual Variabilitas SPL dan Klorofil-a ... 45

4.4. Faktor yang Mempengaruhi Variabilitas SPL dan Klorofil-a ... 48

4.4.1. Angin ... 48

4.4.2. Ekman Transport ... 53

4.4.3. Curah Hujan ... 57


(9)

LAMPIRAN ... 68 RIWAYAT HIDUP ... 70


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010) ... 14

2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010) ... 14

3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010) ... 15

4. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area1 ... 32

5. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area2 ... 33

6. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area3. ... 33

7. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area1 ... 41

8. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area2 ... 41

9. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area3 ... 42

10. Fluktuasi mingguan SPL ... 44


(11)

1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind; (b) suatu pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai

(Thurman and Trujillo, 2004) ... 11

2. Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001) ... 13

3. Peta Lokasi Penelitian ... 17

4. Diagram Alir Pengolahan NOAA AVHRR dan Citra SeaWiFS ... 20

5. Southern Oscillation Index (SOI) (BOM, 2010) ... 25

6. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004 ... 27

7. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004 ... 28

8. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004 ... 29

9. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004 ... 29

10. Fluktuasi nilai SPL rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area 1, sampling area 2, dan sampling area 3 periode Januari 1998 – Desember 2009 ... 31

11. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004 ... 35

12. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004 ... 35

13. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004 ... 37

14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004 ... 37

15. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area1, sampling area2, dan sampling area3 periode Januari 1998 – Desember 2009... 39


(12)

16. Mulai hingga berakhirnya upwelling serta pergerakannya ... 43 17. Plot rata-rata bulanan nilai SPL pada tahun ENSO (kurva biru) vs.non

ENSO (kurva merah) : (a) sampling area 1; (b) sampling area 2; (c)

sampling area 3 ... 46 18. Plot rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO (kurva biru)

vs.non ENSO (kurva merah) : (a) sampling area 1; (b) sampling area 2; (c) sampling area 3 ... 47 19. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim barat : (a) tahun

ENSO; (b) tahun non ENSO ... 50 20. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim peralihan : (a) tahun

ENSO; (b) tahun non ENSO ... 51 21. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun

ENSO; (b) tahun non ENSO ... 52 22. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim barat : (a)

tahun ENSO; (b) tahun non ENSO ... 54 23. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim peralihan:

(a)tahun ENSO; (b) tahun non ENSO ... 55 24. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim timur : (a)

tahun ENSO; (b) tahun non ENSO ... 56 25. Hubungan antara jumlah curah hujan dan konsentrasi klorofil-a (sampling

area1) di selatan Selat Makassar ... 58 26. Fluktuasi TPL bulanan pada musim barat di selatan Selat Makassar tahun

2004 ... 60 27. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan I di selatan Selat Makassar

tahun 2004 ... 61 28. Fluktuasi TPL bulanan pada musim timur di selatan Selat Makassar tahun

2004 ... 61 29. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan II di selatan Selat Makassar


(13)

1

1.1. Latar Belakang

Kondisi oseanografi di perairan selatan Selat Makassar banyak dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dan angin Muson.

ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati selat-selat di Indonesia yang disebabkan oleh

perbedaan Tinggi Paras Laut (TPL) antara kedua Samudera tersebut (Wyrtki, 1987 in Hasanudin, 1998). Angin Muson, disebabkan adanya perbedaan tekanan antara Asia Tenggara dan Australia (Ilahude dan Nontji, 1999).

Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem angin Muson, memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antar musim. Perbedaan suplai massa air, perbedaan pola angin secara vertikal, serta upwelling diduga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan yang diindikasikan dengan pola sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia. Perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh massa air dari Laut Pasifik melalui Selat Makassar kemudian menuju Laut Jawa. Fenomena penurunan massa air permukaan terjadi di pantai Ujung Pandang sekitar 5-10 cm. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada bulan Agustus terdapat pada daerah selatan Selat Makassar dengan konsentrasi sebesar 1,88 – 2,50 mg/m3 (Manoppo, 2003).

Selat Makassar bagian Selatan merupakan perairan yang relatif subur bila dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Penyuburan perairan Selat Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan maupun Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup


(14)

2

tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi akibat adanya penaikan massa air dalam (upwelling) di beberapa lokasi di Selat Makassar (Ilahude, 1978).

Klorofil-a merupakan pigmen penting yang terdapat pada fitoplankton untuk proses fotosintesis. Klorofil-a juga merupakan salah satu parameter indikator tingkat kesuburan perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat (Afdal dan Riyono, 2004). Kandungan nutrien perairan sangat berkaitan erat dengan konsentrasi klorofil-a dimana semakin tinggi

kandungan nutrien perairan maka semakin tinggi juga konsentrasi klorofil-a. Sebaliknya di perairan bebas, faktor suhu perairan mempunyai hubungan terbalik dengan konsentrasi klorofil-a. Umumnya pada lokasi “upwelling” (dimana suhu perairan relatif lebih rendah dibanding dengan sekitarnya) terdapat konsentrasi klorofil-a yang relatif lebih tinggi. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa di pantai barat laut Australia SPL pada musim barat yaitu 29°C dan mengalami penurunan menjadi 24°C pada musim timur (Juli – Agustus) saat terjadi upwelling.

Ilahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara (Agustus) upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan. Terjadinya upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi, oksigen relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan homogen. Pada batas atas (lapisan permukaan) efek upwelling tidak begitu jelas. Kondisi tersebut tergantung pada kekuatan atau intensitas upwelling . Distribusi plankton dan klorofil juga menunjukkan pengaruh pada upwelling dan drainase

pesisir terhadap produktivitas Selat Makassar bagian Selatan. Konsentrasi


(15)

Nilai ini lebih tinggi dari nilai konsentrasi klorofil-a pada pra upwelling periode Mei 1975 yang berkisar 0,2 -0,4 mg/m3 (Ilahude, 1978).

Penelitian terhadap variabilitas SPL dan klorofil-a pada Selat Makassar bagian Selatan telah banyak dilakukan (Ilahude, 1970 ; Ilahude, 1978 ; Afdal dan Riyono, 2004), namum penelitian tersebut umumnya bersifat insidentil dan terfokus pada setiap kali reseach cruise bukan pada pemahaman distribusi atau variabilitas secara spasial dan temporal dalam kurun waktu yang lama. Dengan demikian, penelitian terhadap variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a secara spasial dan temporal di perairan selatan Selat Makassar sangat perlu dilakukan.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a di bagian Selatan Selat Makassar, menjelaskan faktor penyebab variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a secara spasial dan temporal, dan mempelajari variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar musim dan


(16)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar

Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian selatan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan dengan Pulau Kalimantan dan dibagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya massa air yang berasal dari sungai Pulau Kalimantan dan Sulawesi, pertukaran massa air dengan Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi, Laut Flores, dan Laut Jawa akan mempengaruhi kandungan korofil-a dan produktivitas primer di perairan Selat Makassar (Afdal dan Riyono, 2004).

Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur Indonesia, arus lintas ini biasa disebut dengan Arus Lintas Indonesia

(ARLINDO). ARLINDO cenderung membawa massa air yang lebih dingin dari Samudera Pasifik yang mempengaruhi kondisi perairan Indonesia bagian timur termasuk Selat Makassar sehingga sumberdaya hayati laut sangat ditentukan oleh kuat lemahnya arus ini (Wyrtki, 1961). ARLINDO yang berasal dari Pasifik tidak dipengaruhi adanya perubahan angin Muson, yang terjadi justru sebaliknya. Arus lintas ke arah selatan yang melalui Selat Makassar paling kuat terjadi kira-kira pada musim panas bagi belahan bumi bagian utara, yang pada saat itu angin Muson berasal dari arah tenggara (Hasanudin, 1998).

Menurut Wyrtki (1961), pada umumnya pola arus laut Indonesia

dipengaruhi oleh perubahan angin Muson, terutama pada lapisan permukaan. Pada waktu Muson timur yang terjadi dari bulan Juni hingga Agsutus, massa air dari


(17)

Laut Banda didorong ke arah Laut Flores, kemudian ke Laut Jawa dan Selat Makassar didorong oleh angin yang datang dari barat menyebrangi Laut Flores menuju Laut Banda.

Adanya variabilitas ARLINDO terhadap ruang dan waktu, sangat berpengaruh terhadap estimasi transport, fluks bahang, dan air tawar dai

ARLINDO. Waktu terjadinya puncak transpor maksimum ARLINDO pada pintu masuk dan pintu keluar, diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda, sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield dan Gordon, 1992).

Akibat dinamika regional di Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan perairan Indonesia, maka aliran ARLINDO mengalami variasi dari skala waktu dalam semusim (30-60 hari), antar musiman sampai antar tahuan. Bagian barat daerah tropis Samudera Pasifik sangat dipengaruhi fenomena iklim El Nino Southern Oscillation (ENSO), sementara Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem Muson dan fenomena dipole mode (Saji et al., 1999).

2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a

Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksidasi dengan

bantuan sinar surya dan unsur hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik, fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, perairan pesisir atau diperairan lepas pantai di mana terjadi proses naiknya massa air dalam (upwelling). Pada daerah


(18)

6

(Nontji, 2005). Tingginya kandungan klorofil-a pada lapisan permukaan diduga disebabkan adanya pengaruh dari faktor cahaya dibanding lapisan bawahnya, sehingga pada lapisan permukaan, laju fotosintesis dapat berlangsung lebih cepat (Afdal dan Riyono, 2004)

Klorofil-a merupakan katalisator yang esensial dalam proses

berlangsungnya fotosintesis. Laju fotosintesis yang terjadi di dalam laut yang mendapat penyinaran dengan intensitas cahaya tertentu adalah merupakan fungsi dari klorofil-a diperairan tersebut, apabila faktor-faktor lain tidak merupakan faktor pembatas (limiting factor). Selain sebagai katalisator klorofil-a juga berfungsi menyerap energi cahaya (kinetic energy) yang dapat digunakan dalam proses fotosintesi yakni cahaya dengan luas spektrum yang hampir sama dengan cahaya tampak (visible light) dengan panjang gelombang 390-760 nm (Riyono, 2006).

Menurut Basmi (1995) klorofil-a merupakan jenis pigmen terbesar yang terkandung dalam fitoplankton. Selain itu fitoplankton juga dilengkapi pigmen-pigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorpsi sinar.

Menurut Sunarto (2008) produktivitas primer perairan pada dasarnya bergantung kepada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrop yang mampu mentransformasi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman. Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau (fitoplankton) adalah sebagai berikut:


(19)

Selain faktor utama klorofil-a, faktor yang lainya mempengaruhi proses fotosintesis dan tentu saja produktivitas primernya adalah keberadaan cahaya dan nutrien. Kedua faktor ini menentukan distribusi spasial maupun temporal

fitoplankton. Faktor-faktor ini harus berada pada tempat dan yang waktu secara bersamaan. Nutrien yang tinggi yang menempati lapisan dimana cahaya tidak dapat menembus (zona afotik) lagi, tidak bermanfaat bagi proses fotosintesis. Sebaliknya pada lapisan permukaan dimana intensitas cahaya berlimpah,

fotosintesis tidak dapat berjalan sempurna tanpa adanya nutrien. Oleh karena itu mekanisme alami telah mempertemukan kedua faktor itu antara lain melalui proses upwelling (Sunarto, 2008).

2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL)

Zona suhu permukaan laut tertinggi (thermal equator) letaknya tidak tepat berhimpitan dengan khatulistiwa bumi, melainkan ke arah utara. Nilai SPL di belahan bumi bagian Selatan pada umumnya lebih rendah dari pada SPL yang berada di belahan bumi bagian Utara. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari benua Antartika yang dingin pada Kutub Selatan Bumi. Selain itu apabila dilihat dari keadaan masing-masing samudera, pada umumnya akan diperoleh bahwa SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi daripada bagian timurnya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh arus-arus lautan yang membawa bahang dari daerah khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi (Ilahude, 1999).

Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan yang terdiri atas:


(20)

8

Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur, lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan.

b) Lapisan termoklin

Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas

(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m. c) Lapisan dalam

Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.

d) Lapisan dasar

Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai


(21)

Perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28°C sampai dengan 31°C, sedangkan di daerah terjadinya upwelling bisa turun hingga 25°C (Nontji, 2005).

2.4. Upwelling

Naikan massa air (upwelling) adalah istilah yang digunakan untuk

peristiwa timbulnya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas, bahkan ada yang sampai ke lapisan paras (surface layer). Massa air yang naik ini berasal dari lapisan 100 m - 200 m atau lebih, biasanya mempunyai suhu yang rendah dan zat-zat hara yang tinggi. Itulah sebabnya daerah-daerah naikan massa air ini

umumnya merupakan perairan yang subur. Upwelling juga mampu meningkatkan produktivitas biologi di lautan dan di sepanjang garis pantai. Beberapa daerah perikanan terbesar di dunia sangat tergantung pada kejadian upwelling musiman (Conway, 1997; Thurman and Trujillo, 2004; Nontji, 2005).

Upwelling di Selat Makassar bagian selatan terjadi sekitar bulan Juli sampai September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Pada musim timur, massa air dari Selat Makassar bertemu dengan massa air dari Laut Flores di daerah ini, keduanya kemudian bergabung dan mengalir ke barat menuju Laut Jawa. Dalam kondisi ini dimungkinkan massa air permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut, dan untuk

menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Upwelling di daerah ini berskala lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Laut Banda.

Kecepatan naiknya massa air dalam kurang lebih sama sekitar 0,0005 cm/detik, dan daerahnya cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya sekitar 0,2 juta m3/detik. Perubahan suhu permukaan pada lokasi upwelling ini, tidak sejelas


(22)

10

perubahan salinitas dan kandungan hara (Nontji, 2005). Menurut Conway (1997)

upwelling berlangsung selama berbulan-bulan, namun upwelling tidak selalu terjadi pada seluruh musim.

Pada bagian selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi Tinggi Paras Laut (TPL) dengan periode tahunan, selain periode 2, 3, dan 4 bulanan. Anomali TPL rendah tersebut terjadi bersamaan dengan bagian tengah Selat Makassar. Fluktuasi tahunan diperkirakan berkaitan dengan anomali TPL yang terjadi pada musim timur (meskipun pada bulan lain juga terjadi anomali TPL rendah) saat arus permukaan di Laut Flores bergerak ke barat sehingga massa air tersedot (Purba dan Atmadipoera, 2005).

Menurut Sunarto (2008) upwelling biasanya mengakibatkan konsentrasi nutrien (nitrit, fospat, dan silikat) lebih tinggi dibandingkan air permukaan yang nutriennya telah berkurang oleh pertumbuhan fitoplankton. Wilayah upwelling

biasanya memiliki produkktivitas biologi yang tinggi.

Terdapat tiga proses yang dapat menyebabkan terjadinya upwelling. Pertama, ketika air bergerak menjauh dari garis pantai oleh pergerakkan angin sehingga terjadi kekosongan yang kemudian diisi upwelling. Kedua, ketika arus dalam bertemu dengan rintangan (mid ocean ridge) maka akan dibelokan ke atas dan memencar keluar permukaan air. Ketiga, terdapat tikungan yang tajam di garis pantai yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi kekosongan tersebut (Gambar 1; Thurman and Trujillo, 2004).

Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)


(23)

dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997)

Gambar 1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind (b) suatu

pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004).

Menurut Wyrtki (1961) Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun

intensitasnya dapat berubah-ubah. Tipe ini terjadi merupakan tipe upwelling

yang terjadi di lepas pantai Peru.

2. Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik,


(24)

12

dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan, seperti yang terjadi di Selatan Jawa.

3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam, seperti yang terjadi di laut Banda dan Arafura.

2.5. Penginderaan Jauh Satelit

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera yang biasa disebut sensor. Berbagai sensor pengumpul data dari jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit, atau wahana lainnya. Objek yang diindera adalah objek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer, dan di antariksa. Pengumpulan data dari jarak jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik. Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik (Gambar 2; Purwadhi, 2001).


(25)

Gambar 2. Sistem penginderaan jauh (Purwadhi, 2001)

2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR

Instrumen SeaWiFS diluncurkan pada tanggal 1 Augustus 1997 dengan kendaraan peluncur Pegasus. Instrumen SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of view Sensor) telah dimodifikasi untuk menghasilkan respon bilinear, sensitivitas asli dipertahankan sampai sekitar 80% dari rentang output digital, dan kemudian berubah kontinyu untuk memperpanjang rentang dinamis substansial, hasil bersih tidak jenuh diharapkan atas awan (atau terang pasir, es, dll) (NASA, 2010).

Dalam aplikasinya sensor SeaWiFS mampu memberikan informasi tentang warna permukaan laut yang berkaitan dengan distribusi klorofil-a. SeaWiFS juga menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi organisme mikroskopik fitoplankton dalam perairan (NASA, 2010).

SeaWiFS memiliki 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal pada panjang

gelombang sinar tampak dan 2 kanal pada panjang gelombang infra merah. Kanal 1 sampai dengan6 memiliki lebar kanal 20 nm sedangkan kanal 7 dan 8 memiliki


(26)

14

lebar kanal 40 nm (NASA, 2010). Karateristik SeaWiFS dan panjang gelombang SeaWiFS disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010)

Orbit Type Sun Synchronous at 705 km

Equator Crossing Noon +20 min, desending

Orbital Period 99 minutes

Swath Width 2,801 km LAC/HRPT (58.3 degrees)

Swath Width 1,502 km GAC (45 degrees)

Spatial Resolution 1.1 km LAC, 4.5 km GAC

Real Time Data Rate 665 kbps

Revisit Time 1 day

Digitization 10 bits

Tabel 2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010)

Kanal Panjang Gelombang

1 402 – 422 nm

2 433 – 453 nm

3 480 – 500 nm

4 500 – 520 nm

5 545 – 565 nm

6 660 – 680 nm

7 745 – 785 nm

8 845 – 885 nm

Pada tahun 1960 sampai 1965 , telah diluncurkan 10 satelit TIROS untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Kemajuan TIROS N menjadi prototipe ditingkatkan untuk satelit NOAA yang digunakan saat ini. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. NOAA membawa sensor


(27)

AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Data dari satelit NOAA polar yang mengorbit ditransmisikan terus dan dapat diterima oleh setiap stasiun bumi dalam jangkauan radio. Jenis layanan yang dikenal sebagai direct readout. Untuk menerima data dari AVHRR terdapat dua kategori layanan antara lain High Resolution Picture Transmissin (HRPT) dan Automatic Picture Transmissin

(APT) (Conway, 1997).

Sensor AVHRR memberikan informasi spektral yang sangat akurat, dan memiliki resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km dan tiap scene mencakup area yang besar sekitar 1000 km E-W dan antara 3000 sampai 4000 km N-S. Sensor ini memiliki 5 band spektral mulai dari merah sampai inframerah termal dan cocok untuk aplikasi seperti pemantauan lingkungan (NOAA, 2010). AVHRR yang pertama mempunyai 4 channel radiometer yang diluncurkan bersama satelit TIROS-N pada bulan Oktober 1978. Kemudian ditingkatkan menjadi 5 channel instrument (AVHRR/2) yang diluncurkan bersama NOAA 7 pada bulan Juni 1981. Versi terbaru adalah AVHRR/3 dengan 6 channel, pertama dilakukan pada NOAA 15 yang diluncurkan pada bulan Mei 1998 (NOAA, 2010). Karakteristik AVHRR/3 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010) AVHRR/3 Channel Channel

Number

Resolution at Nadir

Wavelenth (um) Typical Use

1 1.09 km 0.58 – 0.68 Daytime cloud and surface mapping 2 1.09 km 0.725 – 1.00 Land-water boundaries

3A 1.09 km 1.58 – 1.64 Snow and ice detection

3B 1.09 km 3.55 – 3.93 Night cloud mapping, sea surface temperature

4 1.09 km 10.30 – 11.30 Night cloud mapping, sea surface temperature


(28)

16

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang terdiri dari proses pembuatan proposal penelitian, pengambilan data citra satelit, pengambilan data pendukung, pengolahan data satelit serta data pendukung, dan penulisan skripsi.

Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Selat Makassar yang secara geografis terletak pada koordinat 2°LS – 7°LS dan 116°BT – 120°BT (Gambar 3). Untuk mengkuantifikasikan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a dari satelit, pada lokasi penelitian ditentukan 3 sampling area yang dianggap dapat mewakili lokasi penelitian yaitu sampling area1 pada koordinat tengah 5°43’1”LS ;118°53’27”BT, sampling area2 pada koordinat titik tengah 5°43’1”LS ;

117°1’19”BT, dan sampling area3 pada koordinat titik tengah 3°35’13”LS ; 117°58’40”BT. Dari ketiga sampling area ini, nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a diekstrak untuk kemudian diolah dan dianalisis variabilitasnya secara temporal. Ukuran piksel dari masing-masing sampling area adalah 5x5 piksel dengan resolusi spasial 9x9 km2 untuk data konsentrasi klorofil-a dari citra satelit SeaWiFS sehingga luasan dari setiap sampling area adalah 2025 km2 dan untuk data SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR dengan resolusi spasial 4x4 km2 sehingga diperoleh luasan setiap sampling area adalah 400 km2. Pengolahan data citra dilakukan di Laboratorium Komputer Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(29)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Data Penelitian

3.2.1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang telah dilengkapi dengan software untuk pengolahan data. Software yang digunakan adalah SeaDas 5.2 dengan menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu 7.1, Surfer 8.0, Arcview GIS 3.3, Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007, WinRAR 3.42, dan Ocean Data View (ODV).

3.2.2. Data Penelitian

Data yang digunakan untuk penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Data konsentrasi klorofil-a diekstrak dari citra satelit SeaWiFS level 3 yang memiliki resolusi spasial 9x9 km2, berupa composite data 8 harian bulan April - Oktober dengan periode 1998 – 2009 serta


(30)

18

composite data bulanan dengan periode Januari 1998 – Desember 2009 yang diperoleh dari websiteNational Aeronatic Space Agency

(NASA) http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov.

2. Data SPL diekstrak dari citra satelit NOAA-AVHRR yang memiliki resolusi spasial 4x4 km2, berupa composite data 8 harian bulan April - Oktober dengan periode 1998 – 2009 serta composite data bulanan dengan periode Januari 1998 – Desember 2009 diperoleh dari website National Aeronatic Space Agency (NASA) dengan situs

http://www.podaac.jpl.nasa.gov.

3. Data rata-rata curah hujan bulanan dari Stasiun Meteorologi Paotere Makassar dengan periode Januari 1998 - Desember 2008 yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat.

4. Data angin bulanan rata-rata yang memiliki resolusi spasial 1.5˚x1.5˚ dengan periode Januari 1998 – Desember 2009, diperoleh dari situs

Europen Center for Medium – Range Weather Forecasts (ECMWF) yaitu http://www.ecmwf.int.

5. Data Ekman transport dihitung dari data angin. 6. Data Tinggi Paras Laut (TPL) yang diunduh dari situs

http://www.ccar.colorado.edu.

3.3. Pengolahan Data

3.3.1. SPL dan Konsentrasi Klorofil-a

Pengolahan citra NOAA dan SeaWiFS dilakukan dengan menggunakan program SeaDAS 5.2. Pengolahan dimulai dengan download citra NOAA dengan


(31)

resolusi spasial 4x4 km2dari Januari 1998 sampai dengan Desember 2009 dan citra SeaWiFS level 3 composite data bulanan dengan resolusi spasial 9x9 km2.

Data citra SeaWiFS level 3 sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik dengan format HDF (Hierachical Data Format) dan memiliki nilai konsentrasi klorofil-a dalam satuan mg/m3. Data hasil download harus terlebih dahulu diekstrak agar data tersebut dapat kita proses lebih lanjut. Ekstrak data dilakukan dengan menggunakan software WinRAR 3.42. Proses selanjutnya adalah cropping citra (pemotongan citra) sesuai lokasi penelitian. Kemudian dilakukan penentuan

sampling area penelitian yang terdiri dari 3 sampling area yaitu sampling area1

(5°43’1”LS ;118°53’27”BT), sampling area2 (5°43’1”LS ; 117°1’19”BT), dan

sampling area3 (3°35’13”LS ; 117°58’40”BT). Penentuan range data valid untuk nilai konsentrasi klorofil-a dan SPL adalah salah satu proses penting, untuk konsentrasi klorofil-a range data valid diambil 0 < x ≤ 10 mg/m3 dan untuk SPL

range data valid diambil 20 < x ≤ 32 °C. Data output dari pengolahan SeaDAS

adalah data dengan format ASCII dan data display dengan format *.TIFF.

Selanjutnya data ASCII tersebut di import dan disimpan ulang dengan format text (*.txt). Kemudian dilakukan quality control yang bertujuan untuk menghilangkan data yang tidak termasuk dalam valid range nilai yang telah ditentukan

sebelumnya. Data hasil quality control selanjutnya dirata-rata bulan dan kemudian dibuat menjadi grafik fluktuasi bulanan SPL dan klorofil-a. Metode pengolahan citra SeaWiFS dan NOAA-AVHRR disajikan pada Gambar 4.


(32)

20

Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan NOAA AVHRR dan Citra SeaWiFS Untuk dapat menghasilkan citra sebaran spasial SPL dan klorofil-a bulanan serta 8 harian, maka setelah proses cropping area penelitian perlu dilakukan setting citra yang meliputi landmask, coastline, dan grid. Landmask

merupakan proses pemberian warna pada darat. Coastline adalah pemberian batas antara darat dan laut (garis pantai). Grid merupakan proses untuk menampilkan garis lintang dan bujur pada citra sebaran spasial. Output data yang dihasilkan


(33)

adalah image display dalam format *.TIFF, sehingga dapat dilakukan analisis spasial 8 harian dan bulanan (SPL dan klorofil-a).

Pendugaan nilai SPL menggunakan algoritma pathfinder v5. Algoritma ini merupakan modifikasi dari algoritma SPL Non Linier (NLSST) yang dibuat berdasarkan perbedaan nilai suhu kecerahan pada kanal4 dan 5 (T4-T5). Berikut

adalah algoritma pathfinder v5 (Kilpatrick et al., 1998) :

ܵܵܶ௦௔௧=ܽ+ܾܶସ+ܿ(ܶସ−ܶହ)ܵܵܶ௚௨௘௦௦+݀(ܶସ−ܶହ)(secሺݐℎ݁ݐܽሻ− 1)...(2)

Keterangan :

a, b, c, dan d = koefisien determinasi regresi linier pada data base SPL in situ

hasil mooring dan buoy dengan resolusi spasial antar pengukuran.

SSTguess = nilai perkiraan pertama SPL dari Reynolds OISST 0,1o dan resolusi temporal tidak lebih dari 30 menit.

theta = sudut zenith dari satelit.

Pendugaan estimasi konsentrasi klorofil-a adalah dengan menggunakan algoritma Ocean Chlorophyll 4-band algorithm version 4 (OC4v4). Algoritma ini menggunakan nilai tertinggi dari rasio kanal 443 nm, 490 nm dan 510 nm dengan kanal 555 nm untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a. Persamaan polynomial pangkat empat untuk algoritma OC4v4 (O'Reilly et al., 2000) sebagai berikut : ܱܥ4ݒ4:ܥܽ = 10଴,ଷ଺଺ିଷ,଴଺଻ோାଵ,ଽଷ଴ோ

మ ା଴,଺ସଽோ

ିଵ,ହଷଶோ ర

...(3)

ܴ= log 10ቂோ௥௦ସସଷ ோ௥௦ହହହ>

ோ௥௦ସଽ଴ ோ௥௦ହହହ>

ோ௥௦ହଵ଴

ோ௥௦ହହହቃ...(4)

Keterangan : Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

R = Rasio reflektansi


(34)

22

Grafik rataan bulanan SPL dan konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan pada Microsof Excel 2007 dianalisis untuk mengetahui adanya variasi dalam tiap musim pada tiap tahunnya di lokasi penelitian. Interpretasi fluktuasi klorofil-a dan SPL secara temporal berdasarkan pada penurunan dan peningkatan konsentrasi klorofil-a dan SPL serta nilai tertinggi dan terendahnya. Kemudian variasi konsentrasi klorofil-a dan SPL dalam tiap-tiap musim pada lokasi penelitian dibandingkan dengan tahun yang berbeda pada lokasi penelitian yang sama. Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui sebaran dari konsentrasi klorofil-a dan SPL secara spasial pada lokasi penelitian. Data sebaran spasial konsentrasi klorofil-a dan SPL pada bulan-bulan yang sama dianalisis sehingga dapat diketahui pada bulan apa saja konsentrasi klorofil-a dan SPL tinggi ataupun rendah dengan melihat degradasi warna pada citra sebaran spasial konsentrasi klorofil-a dan SPL bulanan. Hal yang sama dilakukan pada citra sebaran spasial konsentrasi klorofil-a hasil composite 8 hariansecara musiman, sehingga dapat diketahui pada musim apa saja konsentrasi klorofl-a dan SPL tinggi ataupun rendah.

3.3.2. Angin

Pengolahan data angin dimulai dengan download data angin dengan format netcdf (*.nc). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial berukuran 1,5° x 1,5° dengan cakupan area global. Data yang digunakan selama 12 tahun (1998-2009) dengan interval 6 jam, yaitu : Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00. Kemudian dilakukan cropping sesuai dengan lokasi penelitian dengan perangkat lunak ODV (Ocean Data View). Proses selanjutnya adalah dengan mengekstrak data berformat (*.nc) dengan menggunakan ODV menjadi data berformat teks


(35)

(*.txt). Kemudian data tersebut dirata-ratakan tiap bulan sehingga diperoleh hasil berupa rata-rata u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s] bulanan selama 12 tahun (1998 – 2009) yang mewakili daerah bagian selatan Selat Makassar. Data bujur, lintang, u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters

[m/s] dengan format (*.txt) diproses dengan Surfer 8.0 dengan cara grid data bulanan.

Digitasi daratan adalah suatu proses untuk menampilkan darat. Kemudian

overlay antara vektor (arah pergerakan angin) dengan basemap (darat) sehingga menghasilkan tampilan arah pergerakkan angin.

Analisis data angin adalah dengan cara membaca arah pergerakan angin yang telah dikelompokan tiap musim pada tahun ENSO dan non-ENSO dan kemudian membandingkan kecepatan angin antara tahun ENSO dan non-ENSO.

3.3.3. Ekman Transport

Ekmantransport didekati dari perhitungan wind stress yang

diformulasikan dalam Large and Pond (1981) in Nababan (2009), sebagai berikut:

௫,௬=௔|ଵ଴| ଵ଴,ଵ଴...(5)

τx, τy adalah komponen wind stress untuk sumbu x dan y, u10, v10 adalah kecepatan

angin pada sumbu x dan y yang diturunkan dari kecepatan angin permukaan pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut (W10), dan Cd adalah “drag coefficient

yang tergantung pada kecepatan angin sebagai berikut:

Cd = 0.0012; 0 < W10 < 11m/s

Cd = 0.00049 + 0.000065 W10; W10 > 11m/s

Ekmantransport dipetakan dari data wind stress dengan pembelokan arah 90˚ ke kanan arah wind stress di belahan bumi utara dan 90˚ ke kiri di belahan


(36)

24

bumi selatan. Ekmantransport yang dipetakan dalam skripsi ini hanya

memberikan gambaran ke arah mana pergerkan Ekmantransport ini, sementara nilai transport (volume) belum menggambarkan nilai yang sebenarnya mengingat data kedalaman Lapisan Ekman tidak diketahui.

3.3.4. Curah hujan

Data curah hujan diambil dari stasiun Meteorologi Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan pada koordinat 6°6’37,5” LS ; 119°25’11,5” BT yang diperoleh di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, Jakarta. Data tersebut merupakan jumlah curah hujan (mm) harian yang kemudian dirata-ratakan menjadi bulanan selama periode Januari 1998 – Desember 2008. Data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan

Microsoft Excell 2007. Data curah hujan dibandingkan dengan data konenstrasi klorofil-a sampling area1, karena lokasi pengambilan data curah hujan paling dekat dengan sampling area1. Analisis data curah hujan dilakukan untuk mengetahui adanya variasi pada tiap musim setiap tahunnya, serta interpretasi fluktuasi berdasarkan nilai maksium dan minimum. Melihat hubungan antara konsentrasi klorofil-a di sampling area1 dan curah hujan.

3.3.5. Analisis Interannual

Southern Oscillation Index (SOI) merupakan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin serta umumnya digunakan untuk penentuan masa El Nino dan La Nina. Nilai SOI negatif terjadi saat tekanan udara lebih rendah dari rata-rata di Tahiti dan lebih tinggi di Darwin. Pada kondisi SOI negatif SPL yang di Lautan Pasifik Timur tropis relatif lebih tinggi dari kondisi normalnya.


(37)

Sedangkan pada kondisi SOI yang positif, SPL perairan Pasifik Timur tropis umumnya lebih rendah dari kondisi normalnya. Bulan-bulan yang termasuk dalam kategori (El Niño Southern Oscillation) ENSO adalah yang memiliki nilai SOI ≤

-10 dan untuk kategori La Nina adalah bulan yang memiliki nilai SOI ≥ -10 (Tritel,

2010). Dengan demikian maka bulan-bulan terjadinya ENSO selama periode penelitian adalah Januari, Februari, Maret, April 1998; Mei, Agustus, Desember 2002; Juni 2003; April, Juni 2004; Februari, April, Mei 2005; Agustus, Oktober 2006; Januari, April 2008; dan Oktober 2009 (Gambar 5).Periode non- ENSO dalam penelitian ini adalah bulan-bulan yang tidak termasuk kedalam kategoti bulan ENSO.

Gambar 5. Southern Ocillation Index (SOI) (BOM,2010)

Analisis interannual dalam penelitian ini difokuskan untuk

membandingkan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a antara tahun ENSO dan


(38)

26

3.3.6. Tinggi Paras Laut (TPL)

Data TPL yang digunakan merupakan data harian pada pertengahan bulan dengan periode Januari 1998 – Desember 2009. Data tersebut diperoleh dari

Colorado Center of Astrodynamics Research (CCAR) dengan website

http://ccar.colorado.edu. Analisis data yaitu dengan cara melihat gradasi warna untuk diidentifikasi apakah terjadi anomali positif (tinggi paras laut di atas rata-rata) ataukah terjadi anomali negatif (tinggi paras laut di bawah rata-rata-rata).


(39)

27

4.1. Variabilitas Nilai SPL

4.1.1. Variabilitas Nilai SPL Secara Spasial

Variabilitas nilai SPL secara spasial di lokasi studi secara umum tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata atau bersifat homogen khususnya pada musim barat dan musim peralihan I. Pada musim barat nilai SPL berkisar antara 26,4°C – 31,0°C . Pada bulan Januari dan Februari nilai SPL secara spasial terlihat relatif lebih rendah dari bulan sebelumnya hal ini diduga karena tingginya tutupan awan sehingga mempengaruhi nilai akurasi estimasi nilai SPL. Contoh sebaran spasial pada musim barat disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004.


(40)

28

Pada musim peralihan I (Maret - April), nilai SPL masih terlihat relatif tinggi dan masih terlihat indikasi pengaruh penutupan awan atau uap air. Pada akhir musim peralihan I (April) tahun 2004, di bagian selatan pulau Sulawesi sudah mulai terlihat gejala penuruan nilai SPL yang mengindikasikan adanya permulaan fenomena upwelling. Contoh sebaran spasial SPL pada musim peralihan I disajikan pada gambar 7.

Gambar 7. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004.

Sebaran spasial SPL pada musim timur (Mei – Agustus) memperlihatkan dengan jelas fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar. Secara umum, kejadian upwelling ini dimulai pada bulan Mei yang terjadi di bagian selatan Pulau Sulawesi dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Contoh sebaran SPL pada musim timur disajikan pada Gambar 8.

Pada musim peralihan II (September – Oktober) sebaran SPL menunjukan kejadian upwelling di bagian selatan Selat Makassar dimana luasan dan kekuatan

upwellingnya sudah terlihat menurun dari musim timur sebelumnya. Contoh sebaran SPL pada musim peralihan II disajikan pada Gambar 9.


(41)

Gambar 8. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004.

Gambar 9. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004.

Fenomena upwelling pada musim timur dan musim peraliahan II di selatan Selat Makassar ditandai dengan penurunan SPL yang mencolok sekitar 2°C dari nilai rata-ratanya mencapai nilai SPL terendah 25,7°C (Tabel 4). Berdasarkan pola sebaran SPL secara spasial dapat dilihat bahwa upwelling menyebar dari bagian selatan Selat Makassar hingga Laut Flores (Lombok Utara) (Gambar 8 dan 9).


(42)

30

Ilahude and Gordon (1996) menyebutkan bahwa SPL di Selat Makassar selama musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Pada musim barat SPL mengalami peningkatan sebesar 0,8 °C mencapai nilai sekitar 29,4°C. Tingginya SPL pada musim barat merupakan bagian genangan hangat dari Samudera Pasifik yang tropis. Pada kedua musim (barat dan timur) SPL di ujung sebelah selatan Selat Makassar adalah lebih rendah dari pada yang utara. Kecenderungan SPL lebih dingin secara berlanjut masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, pada musim barat (November – Februari) tahun 2004 yang disajikan pada Gambar 6 terlihat bahwa nilai SPL yang lebih tinggi dibandingkan musim timur (Mei – Agustus) tahun 2006 (Gambar 8) cenderung bergerak ke arah barat daya Pulau Sulawesi.

4.1.2. Variabilitas Nilai SPL Secara Temporal

Berdasarkan data bulanan rata-rata SPL pada periode Januari 1998 hingga Desember 2009, diperoleh variabilitas nilai SPL di bagian selatan Selat Makassar seperti disajikan pada Gambar 10. Nilai SPL tertinggi di sampling area1 adalah 30,9 °C terjadi pada bulan Maret dan nilai terendahnya adalah25,7 °C di bulan Agustus (Tabel 4). Nilai SPL tertinggi pada sampling area2 adalah 31,0 °C di bulan Desember dan nilai terendah adalah 26,8 °C di bulan Januari (Tabel 5). Nilai SPL tertinggi pada sampling area3 adalah 30,7 °C di bulan April dan nilai terendahnya adalah 26,4 oC di bulan Januari (Tabel 6). Pada tahun dan bulan tertentu terdapat beberapa data kosong (no data) yang terjadi akibat tutupan awan di atas lokasi penelitian.


(43)

31

Gambar 10. Fluktuasi nilai SPL rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area1, sampling area 2, dan sampling area3 periode Januari 1998 – Desember 2009.


(44)

32

Rendahnya nilai SPL pada musim timur (Mei - Agustus) yang berkisar 25,7 – 30,6°C (lihat Gambar 8, Tabel 4) menunjukkan adanya fenomena

upwelling di lokasi penelitian. Hal tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Ilahude (1978) yang menjelaskan bahwa pada saat terjadi fenomena upwelling di selatanSelat Makassar yaitu pada bulan Agustus 1971 dan Agustus 1974

ketebalan lapisan homogen menurun hingga 50 m. Pada lapisan tersebut terdiri dari massa air yang lebih dingin dengan suhu 26 – 27°C. Menurut Ilahude (1970), efek dari upwelling distribusinya cukup jelas. Penyebaran fenomena upwelling ini terlihat dengan jelas mulai dari bagian selatan Pulau Sulawesi.

Tabel 4. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area1 Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut (

0 C)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 29.5 ND 27.5 29.5 29.1 29.0 28.9 29.2 ND 29.3 29.0 28.0

Feb 29.3 27.7 ND 29.2 ND 28.3 28.6 29.4 30.2 29.2 28.5 28.1

Mar 30.0 28.7 28.7 30.0 29.8 29.5 29.5 29.9 29.0 30.9 29.4 30.4

Apr 29.6 29.6 29.4 30.4 29.2 29.6 29.2 28.9 29.5 29.3 29.3 30.5

Mei 28.9 28.4 29.9 29.2 29.1 28.6 29.1 28.0 29.2 29.1 28.7 29.5

Jun 29.4 28.3 28.2 28.5 28.5 27.7 27.6 28.3 27.8 28.3 28.5 28.8

Jul 29.0 27.9 27.9 28.0 27.7 26.5 26.9 27.8 27.5 27.4 27.9 28.5

Aug 28.3 27.8 27.6 27.1 26.9 27.0 25.7 27.8 27.3 27.0 28.2 27.7

Sep 28.4 28.1 28.6 28.2 27.5 27.1 26.9 27.8 27.6 27.6 28.4 28.1

Okt 30.3 29.0 29.2 29.6 28.5 28.8 27.9 28.5 28.0 28.0 29.3 28.9

Nov 30.1 29.0 30.7 29.8 29.9 29.2 29.6 30.1 29.3 29.5 29.7 29.2

Des 28.4 ND 30.0 29.2 30.2 30.8 29.9 ND 30.4 29.6 ND 30.6

Ket : ND = No Data (Tidak ada data)

Lain halnya dengan sampling area1 dan sampling area2, pada sampling area3 pengaruh fenomena upwelling tidak terlihat dengan jelas dan kisaran SPL di lokasi ini pada musim timur tergolong relatif tinggi yaitu 27,7 °C – 30,4°C (Gambar 10, Tabel 6).


(45)

Secara umum, fluktuasi SPL pada tiga sampling area memiliki pola yang sama, nilai SPL relatif rendah pada musim timur dan relatif tinggi pada musim barat dimana nilai terendah ditemukan pada sampling area1 (Gambar 10).

Tabel 5. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area2 Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut (

0 C)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 30.1 29.0 28.0 29.3 29.1 29.1 29.0 29.6 28.8 29.7 29.0 26.8

Feb 30.1 28.3 27.1 29.0 27.5 29.0 28.5 29.7 30.0 30.0 28.5 28.5

Mar 30.0 29.0 29.5 30.3 29.9 29.5 28.8 30.1 28.8 29.2 29.8 30.6

Apr 30.9 29.7 29.4 29.8 29.8 30.5 29.4 29.9 29.6 30.2 29.7 30.6

Mei 29.9 29.5 30.1 29.8 29.6 29.6 29.9 28.7 29.6 29.5 29.1 30.6

Jun 29.7 28.6 28.9 29.3 28.8 28.3 28.3 28.9 28.9 28.4 28.6 29.6

Jul 29.2 28.6 28.5 28.6 28.2 27.6 27.7 28.7 28.2 28.6 28.3 28.9

Aug 28.9 28.2 28.4 28.1 27.8 27.7 26.9 28.1 27.8 27.9 28.0 28.5

Sep 29.4 28.5 28.6 28.7 28.0 28.0 27.5 28.7 28.1 28.0 29.1 28.7

Okt 29.8 29.0 30.1 29.6 28.9 29.1 28.5 29.2 28.4 28.3 29.1 29.4

Nov 29.5 30.1 30.5 28.9 29.8 29.5 29.9 30.5 29.2 29.5 29.7 29.6

Des 28.5 30.3 29.1 28.9 30.4 30.0 30.0 29.5 31.0 29.8 ND 30.9

Ket : ND = No Data (Tidak ada data)

Tabel 6. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area3 Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut (

0 C)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 29.1 29.5 ND 28.1 28.5 28.8 28.8 28.9 29.3 29.8 29.1 26.4

Feb 28.5 29.0 ND 29.5 29.1 27.8 29.0 30.0 29.9 28.6 ND 30.0

Mar 29.7 30.3 29.0 29.7 30.2 29.0 29.3 29.8 29.2 29.9 29.2 30.2

Apr 29.8 30.1 29.5 29.5 30.6 29.4 29.7 29.5 30.7 30.0 29.6 30.6

Mei 29.8 29.3 30.0 29.8 29.9 30.1 29.7 29.0 29.3 29.6 29.3 30.4

Jun 29.7 29.1 28.8 29.5 29.3 29.0 29.2 29.0 28.2 29.3 28.9 29.8

Jul 29.7 28.5 28.7 28.8 28.8 27.9 28.1 29.1 28.6 27.9 28.2 28.6

Aug 29.2 28.7 28.6 28.6 28.2 28.0 27.7 28.8 28.4 28.5 28.1 28.7

Sep 29.6 28.7 29.2 28.9 28.4 28.5 28.2 28.9 28.6 28.7 29.4 28.9

Okt 30.1 28.9 30.0 30.2 29.1 28.6 29.0 29.3 28.6 28.8 29.1 29.5

Nov 30.5 29.5 30.1 29.7 29.7 29.8 30.0 29.9 29.6 29.6 29.8 29.7

Des 28.8 29.3 29.5 29.1 29.6 29.1 29.6 ND 30.5 29.2 ND 30.0


(46)

34

Pada umumnya saat musim barat (November – Februari) kisaran nilai SPL tinggi antara lain di sampling area1 berkisar antara 27,5°C – 30,8°C (Tabel 4),

sampling area2 antara 26,8°C – 31,0°C (Tabel 5), dan sampling area3 antara 26,4°C – 30,5°C (Tabel 6).

4.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a

4.2.1. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Spasial

Data klorofil-a dari satelit SeaWiFS bulanan rata-rata dengan periode Januari 1998 – Desember 2009 yang kemudian dikelompokan berdasarkan musim, sehingga diperoleh sebaran spasial kosentrasi klorofil-a. Contoh sebaran spasial klorofil-a disajikan pada Gambar 11, 12, 13, dan 14.

Pola sebaran spasial konsentrasi klorofil-a di selatan Selat Makassar terlihat berbeda pada setiap musim yang berbeda. Pada musim barat (November – Februari) tahun 2004, nilai konsentrasi klorofil-a relatif tinggi terdapat di daerah pesisir. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh asupan nutrien dari daratan sebagai akibat relatif tingginya curah hujan pada musim ini. Sedangkan di daerah jeluk sebaran spasial konsentrasi klorofil-a terlihat relatif rendah (Gambar 11). Pada bulan Februari sebaran klorofil-a tidak terlihat begitu jelas yang diduga adanya tutupan yang cukup tebal sehingga terdapat banyak gradasi warna hitam (Gambar 11).

Pada musim peralihan I (Maret-April, Gambar 12) tahun 2004, sebaran spasial konsentrasi klorofil-a hampir sama dengan musim barat.


(47)

Gambar 11. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004.

Gambar 12. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004.

Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a musim timur (Mei – Agustus) tahun 2004 pada bulan Mei 2004 belum terlihat adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a, dapat dilihat dengan jelas bahwa konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi terdapat di bagian selatan Selat Makassar mulai pada bulan Juni


(48)

36

dan maksimum terjadi pada bulan Agustus (Gambar 13). Tingginya konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar pada musim timur akibat adanya fenomena upwelling yang juga ditandai dengan rendahnya nilai SPL di daerah tersebut (Gambar 8).

Pada awal musim peralihan II (September), fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar masih jelas terlihat dan pada akhir musim perlaihan II (Oktober) diperkirakan fenomena upwelling akan berakhir (Gambar 13). Tingginya konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar pada musim timur sampai musim peralihan II ini akibat meningkatnya unsur hara di

permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam. Wyrtki (1961) dan Ilahude (1978) menjelaskan bahwa upwelling pada daerah initerjadi pada musim timur yaitu Juni – Agustus. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Wouthuyzen (2002), Afdal dan Riyono (2004) menjelaskan bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi pada lapisan permukaan di Selat Makassar akibat upwelling masih ditemukanpada musim peralihan II pasca

musim timur. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kisaran konsentrasi klorofil-a sebesklorofil-ar 0,16 – 1,14 mg/m3. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi terjadi di selatan Selat Makassar pada musim timur (Juni – Agustus) dan musim peralihan II pada bulan September (Gambar 13) adalah sebagai akibat dari fenomena upwelling. Pada bulan Mei dan Juni konsentrasi klorofil-a yang tinggi masih terbatas pada daerah pesisir wilayah selatan Selat Makassar, sedangkan pada bulan Juli dan Agustus konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi tersebar hingga barat daya Pulau Sulawesi, dimana puncak fenomena upwelling terlihat pada bulan Agustus (Gambar 13).


(49)

Gambar 13. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004.

Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II.

4.1.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Temporal

Data klorofil-a dari satelit SeaWiFS bulanan rata-rata di petakan pada bagian selatan Selat Makassar terhadap waktu sehingga diperoleh sebaran konsentrasi klorofil-a periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2009


(50)

38

(Gambar 15). Berdasarkan hasil bulanan rata-rata konsentrasi klorofil-a di selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi dengan kisaran nilai 0,09 mg/m3 - 2, 48 mg/m3 (Gambar 15). Pola fluktuasi konsentrasi klorofil-a pada tiga sampling area

terlihat relatif sama (Gambar 15) dimana nilai konsentrasi klorofil-a pada

sampling area1 berkisar antara 0,09 mg/m3 - 2, 48 mg/m3 dengan rata-rata 0,41 mg/m3 (Tabel 7), sampling area2 antara 0,13 mg/m3 - 0,79 mg/m3 dengan rata-rata 0,28 mg/m3 (Tabel 8), dan sampling area3 antara 0,14 mg/m3 - 2, 03 mg/m3 dengan rata-rata 0,38 mg/m3 (Tabel 9). Terdapat beberapa data kosong (no data) pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 2008 (Januari-Maret), hal tersebut terjadi akibat adanya tutupan awan.

Nilai konsentrasi klorofil-a maksimum pada sampling area1 (2,48 mg/m3) terjadi pada Agustus (Musim Timur) dan minimum (0,09 mg/m3) terjadi pada bulan Maret (Musim Peralihan I) (Gambar 15, Tabel 7). Untuk sampling area2, nilai konsentrasi klorofil-a maksimum (0,79 mg/m3) terjadi pada bulan April (Musim Peralihan 1) dan minimum (0,13 mg/m3) terjadi pada bulan Desember (Musim Barat) (Gambar 15, Tabel 8). Nilai konsentrasi klorofil-a pada sampling area3 maksimum (2,03 mg/m3) terjadi pada bulan Februari (Musim Barat) dan minimum (0,14 mg/m3) terjadi pada bulan Mei (Musim Timur) (Gambar 15, Tabel 9).

Nilai konsentrasi klorofil-a tertinggi pada sampling area1 sebesar 2,48 mg/m3 terjadi pada bulan Agustus tahun 2004 saat fenomena upwelling

maksimum di lokasi ini (Tabel 7). Hal ini terlihat dari nilai SPL terendah yaitu 25,7 °C (lihat Tabel 4) yang juga terjadi pada bulan Agustus tahun 2004. Menurut Ilahude (1978) kandungan klorofil-a di perairan Selat Makassar bagian selatan


(51)

39

Gambar 15. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area1, sampling area 2, dan sampling area3 periode Januari 1998 – Desember 2009.


(52)

40

pada saat upwelling (Agustus 1974) berkisar antara 0,4 – 0,7 mg/m3, sedangkan sebelum terjadinya upwelling (Mei 1975) kandungan klorofil-a berada dikisaran 0,2 - 0,4 mg/m3.

Secara umum pada sampling area1, nilai konsentrasi klorofil-a relatif tinggi terjadi pada musim timur (Mei - Agustus) dan musim peralihan II

(September – Oktober), sedangkan nilai konsentrasi klorofil-a yang relatif rendah terjadi pada musim barat ( November - Februari). Hasil ini menunjukkan bahwa fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada musim timur (Mei-Agustus) sampai musim peralihan II (September-Oktober).

Pada umumnya di musim barat (November – Februari) daerah selatan Selat Makassar konsentrasi klorofil-a relatif rendah. Rata-rata konsentrasi klorofil-a di musim barat pada sampling area1 berkisar antara 0,10 mg/m3

sampai 0,52 mg/m3 (Tabel 7). Pada sampling area2 rata-rata konsentrasi klorofil-a di musim barat berkisar antara 0,13 mg/m3 sampai 0,56 mg/m3 (Tabel 8).

Sedangkan pada sampling area3 di musim barat rata-rata konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,14 mg/m3 sampai 2,03 mg/m3 (Tabel 9). Konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada musim barat di lokasi ini bukan merupakan akibat fenomena upwelling namun diduga akibat tingginya curah hujan pada musim ini sehingga menambah deposisi nutrient dari atmosfer dan daratan. Hal ini juga didukung data SPL pada musim barat di sampling area3 tergolong relatif tinggi dengan kisaran 26,4oC – 30,5 oC (lihat Tabel 6).


(53)

Tabel 7. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area1

Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m 3

)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 0.21 0.19 0.18 0.16 0.27 0.18 0.20 0.22 0.26 0.18 ND 0.26

Feb ND ND 0.27 0.26 0.31 0.22 0.38 0.26 0.52 0.30 ND 0.39

Mar 0.21 0.09 0.35 0.18 0.29 0.25 0.39 0.26 ND 0.35 ND 0.39

Apr 0.18 0.23 0.23 0.24 0.25 0.25 0.31 0.77 0.24 0.22 0.20 0.25

Mei 0.18 0.34 0.27 0.34 0.34 0.32 0.34 0.91 0.26 0.26 0.56 ND

Jun 0.18 0.57 0.36 0.47 0.36 0.83 1.14 0.32 0.47 0.23 0.33 0.47

Jul 0.39 0.65 0.49 0.54 0.81 1.22 0.88 0.88 0.69 0.68 ND 0.34

Aug 0.49 1.07 0.54 1.08 1.46 0.63 2.48 0.56 0.65 0.67 0.38 1.13

Sep 0.51 0.45 0.40 0.47 0.50 1.03 0.79 0.79 0.56 0.44 0.35 ND

Okt 0.20 0.45 0.24 0.26 0.51 0.26 0.41 0.24 0.67 0.32 0.20 ND

Nov 0.22 0.14 0.14 0.21 0.27 0.29 0.25 0.16 0.20 0.17 0.17 0.17

Des 0.24 0.20 ND 0.24 0.15 0.15 0.16 0.34 0.18 0.10 0.13 0.16

Ket : ND = No Data (Tidak ada data)

Tabel 8. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area2

Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m 3

)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 0.23 ND 0.24 0.20 0.41 0.25 0.30 0.19 0.25 0.17 ND ND

Feb ND ND ND 0.22 0.40 0.25 0.40 0.56 0.33 0.23 ND 0.27

Mar 0.32 0.33 0.36 0.20 0.37 0.31 0.22 0.49 ND 0.57 ND 0.29

Apr 0.22 0.21 0.29 0.79 0.25 0.45 0.21 0.25 0.23 0.41 0.26 0.37

Mei 0.20 0.27 0.28 0.32 0.24 0.19 0.24 0.47 0.28 0.25 0.20 ND

Jun 0.21 0.27 0.33 0.25 0.22 0.23 0.28 0.26 0.24 0.27 0.29 0.22

Jul 0.23 0.33 0.36 0.30 0.41 0.32 0.34 0.33 0.42 0.33 ND 0.26

Aug 0.36 0.33 0.26 0.27 0.27 0.30 0.41 0.30 0.29 0.27 0.25 0.22

Sep 0.31 0.33 0.30 0.37 0.29 0.31 0.47 0.25 0.26 0.27 0.25 ND

Okt 0.27 0.30 0.19 0.19 0.23 0.25 0.17 0.23 0.24 0.24 0.24 ND

Nov 0.23 0.18 0.13 0.15 0.29 0.22 0.25 0.16 0.16 0.18 0.17 0.24

Des 0.18 0.46 ND 0.20 0.18 0.21 0.23 0.13 0.17 0.16 0.35 0.24


(54)

42

Tabel 9. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area3

Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m 3

)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jan 0.25 0.21 0.23 0.22 0.35 0.24 0.66 0.49 0.61 0.33 ND 0.43

Feb ND 0.49 0.77 0.80 0.81 0.74 0.90 0.67 0.63 0.63 ND 2.03

Mar 0.21 0.44 0.71 0.65 0.66 0.63 0.72 0.76 0.46 0.67 ND 0.59

Apr 0.21 0.39 0.58 0.50 0.45 0.39 0.37 0.74 0.64 0.56 0.26 0.38

Mei 0.15 0.39 0.26 0.31 0.36 0.30 0.27 0.33 0.29 0.28 0.24 ND

Jun 0.20 0.30 0.34 0.28 0.26 0.34 0.29 0.33 0.34 0.26 0.30 0.27

Jul 0.28 0.35 0.31 0.26 0.31 0.34 0.42 0.24 0.33 0.31 ND 0.35

Aug 0.30 0.34 0.35 0.35 0.37 0.35 0.33 0.26 0.34 0.30 0.29 0.28

Sep 0.30 0.30 0.27 0.32 0.37 0.31 0.38 0.27 0.30 0.31 0.31 ND

Okt 0.19 0.35 0.21 0.31 0.34 0.31 0.30 0.26 0.30 0.28 0.26 ND

Nov 0.36 0.32 0.14 0.26 0.22 0.25 0.25 0.23 0.23 0.19 0.20 0.19

Des 0.24 0.41 ND 0.37 0.22 0.30 0.20 0.24 0.23 0.53 0.30 0.37

Ket : ND = No Data (Tidak ada data)

Berdasarkan data SPL composite 8 harian, diketahui bahwa terbentuknya fenomena upwelling paling cepat terjadi pada minggu ke-3 April 2004 dan

umumnya dimulai pada minggu 2 Mei , mencapai maksimum pada minggu ke-2 Agustus ke-2004, dan berakhir pada minggu ke-4 Oktober ke-2004 (Gambar 16, Tabel 10). Sedangkan berdasarkan data klorofil-a composite 8 harian, terbentuknya fenomena upwelling umumnya dimulai pada minggu ke-3 Mei 2004, mencapai maksimum pada minggu ke-3 Agustus 2004, dan akan berakhir pada minggu ke-4 September 2004 (Gambar 16, Tabel 11). Pada saat kejadian upwelling maksimum (Agustus), sebaran atau pengaruh upwelling ini terlihat dengan jelas mengarah ke arah barat daya Pulau Sulawesi sekitar 330 km.


(55)

Gambar 16. Mulai hingga berakhirnya upwelling serta pergerakannya

Fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar berulang setiap tahunnya yaitu pada periode 1998 – 2009. Secara umum upwelling diduga mulai minggu ke-3 April 2005 (Tabel 10) untuk SPL dan klorofil-a (Tabel 11), akan mencapai maksimum pada minggu ke-3 Agustus 2002 untuk SPL (Tabel 10) dan klorofil-a (Tabel 11), dan berakhir pada minggu ke-4 Oktober 2006 untuk SPL (Tabel 10) dan klorofil-a minggu ke-4 Oktober 1998 (Tabel 11).


(56)

44

Tabel 10. Fluktuasi mingguan SPL

Tabel 11. Fluktuasi mingguan klorofil-a

Year Start Max End

1998 mgg 1 Mei mgg 4 Jul mgg 4 Sep

1999 mgg 2 Mei mgg 2 Ags mgg 1 Okt

2000 mgg 1 Jun mgg 2 Ags mgg 1 Okt

2001 mgg 3 Mei mgg 2 Ags mgg 4 Sep

2002 mgg 3 Mei mgg 3 Ags mgg 3 Okt

2003 mgg 4 Apr mgg 1 Ags mgg 3 Okt

2004 mgg 4 Apr mgg 3 Ags mgg 4 Okt

2005 mgg 3 Apr mgg 1 Ags mgg 2 Okt

2006 mgg 1 Jun mgg 2 Ags mgg 4 Okt

2007 mgg 2 Mei mgg 2 Ags mgg 4 Okt

2008 mgg 2 Mei mgg 1 Sep mgg 3 Okt

2009 mgg 2 Mei mgg 2 Ags mgg 4 Okt

Year Start Max End

1998 mgg 2 Jul mgg 3 Jul mgg 4 Okt

1999 mgg 3 Apr mgg 4 Jul mgg 1 Okt

2000 mgg 3 Mei mgg 4 Jul mgg 3 Sep

2001 mgg 3 Mei mgg 3 Ags mgg 4 Sep

2002 mgg 1 Mei mgg 3 Ags mgg 3 Okt

2003 mgg 4 Mei mgg 4 Jul mgg 3 Sep

2004 mgg 4 Mei mgg 3 Ags mgg 3 Okt

2005 mgg 3 Apr mgg 3 Jul mgg 3 Sep

2006 mgg 3 Jun mgg 1 Ags mgg 2 Okt

2007 mgg 1 Jul mgg 1 Ags mgg 4 Sep

2008 mgg 3 Mei mgg 4 Jun mgg 4 Sep


(57)

4.3. Interannual Variabilitas SPL dan Klorofil-a

Variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan (interannual) dianalisis dengan membandingkan data SPL dan konsentrasi klorofil-a setiap musim antar tahun. Dari analisis data SPL dan konsentrasi klorofil-a, ditemui variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan yang significant terdapat diantara tahun ENSO vs. tahun non-ENSO. Garis berwarna biru pada Gambar 17 dan 18 menunjukan variabilitas nilai SPL dan klorofil-a pada saat tahun-tahun ENSO, sedangkan untuk garis berwarna merah merupakan variabilitas nilai SPL dan klorofil-a pada tahun-tahun non-ENSO.

Secara umum, SPL di lokasi penelitian pada tahun ENSO lebih tinggi pada akhir musim peralihan II, musim barat, sampai musim peralihan I dibandingkan dengan SPL pada tahun non-ENSO (Gambar 17). Sebaliknya, nilai SPL pada tahun ENSO lebih rendah pada musim timur sampai awal musim peralihan II dibandingkan dengan SPL pada tahun non-ENSO (Gambar 17).

Berdasarkan data konsentrasi klorofil-a, secara umum nilai konsentrasi klorofil-a pada akhir musim peralihan II, musim barat, dan musim peralihan I tahun ENSO lebih rendah dibandingkan dengan nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun non-ENSO (Gambar 18). Sebaliknya, pada musim timur dan awal Musim peralihan II, nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun non-ENSO (Gambar 18).


(58)

46

Gambar 17. Plot rata-rata bulanan nilai SPL pada tahun ENSO (kurva biru) vs. Non-ENSO (kurva merah) : (a) sampling area1; (b) sampling area2; (c) sampling area3.


(59)

Gambar 18. Plot rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO (kurva biru) vs.Non-ENSO (kurva merah) : (a) sampling area1; (b) sampling area2; (c) sampling area3.


(60)

48

4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Variabilitas SPL dan Klorofil-a

Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu SPL, biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005). Pada penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas SPL dan klorofil-a yang akan dibahas antara lain angin, Ekman transport, curah hujan, dan Tinggi Paras Laut (TPL).

4.4.1. Angin

Angin terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara yang merupakan hasil dari pengaruh ketidakseimbangan pemanasan sinar matahari terhadap tempat-tempat yang berbeda di permukaan bumi. Berdasarkan Brown et al. (2004) angin bertiup dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Pola pergerakan angin di Indonesia pada

umumnya mengikuti pergerakan musim dan tahun ENSO serta tahun non ENSO. Setiap musim memiliki arah pergerakan angin yang berbeda-beda.

Pada musim barat (Desember – Februari) angin bulanan rata-ratatahun ENSO (Gambar 19) di selatan Selat Makassar dominan bergerak dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-rata 3,2 m/s dan maksimum 4,2 m/s. Sedangkan pada musim barat (Desember – Februari) tahun non ENSO (Gambar 19) angin bulanan rata-rata bergerak dari utara dan barat (Desember – Februari) dengan kecepatan rata-rata 4,0 m/s dan maksimum 5,9 m/s. Kisaran konsentrasi klorofil-a periode Januari 1998 – Desember 2009 pada musim barat antara lain 0,10 – 0,50 mg/m3 (Tabel 7) untuk sampling area 1, 0,15 – 0,56 mg/m3 (Tabel 8) untuk


(61)

Pada musim peralihan I (Maret - April) tahun ENSO (Gambar 20), pola pergerakan angin bulanan rata-rata berasal dari utara (Maret) dan dari timur (April). Sedangkan pada musim peralihan II (Oktober) angin bulanan rata-rata bergerak dari tenggara (Gambar 20). Musim peralihan I tahun non ENSO (Gambar 20) angin bulanan rata-rata bergerak dari barat laut (Maret) dan dari timur dan tenggara (April). Musim peralihan II pada tahun ENSO dan non ENSO (Gambar 20) angin bulanan rata-rata bergerak dari tenggara (Oktober).

Pada umumnya pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur tahun ENSO dan non ENSO relatif sama yaitu dari tenggara namun kecepatannya umumnya lebih tinggi pada tahun ENSO. Pada musim timur tahun ENSO

kecepatan angin rata-rata 5,9 m/s dan mencapai maksimum pada 6,7 m/s, sedangkan pada tahun non ENSO kecepatan angin rata-rata 5,3 m/s dan

maksimum 6,3 m/s. Arah angin yang berasal dari tenggara pada musim timur ini mengakibatkan Ekman transport bergerak menuju barat daya (menjauhi pantai selatan Sulawesi). Hal ini mengakibatkan kekosongan air laut di permukaan dan diikuti pengisian air laut dari kedalaman untuk mencapai keseimbangan

permukaan air. Proses ini mengakibatkan kejadian upwelling yang membawa unsur hara lebih banyak, salinitas lebih tinggi, dan suhu air laut lebih rendah. Relatif tingginya kecepatan angin pada musim timur tahun ENSO ini

mengakibatkan intensitas kejadian upwelling lebih tinggi dibandingkan dengan tahun non ENSO (lihat Gambar 17 dan 18).


(62)

50

Gambar 19. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim barat : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO.


(63)

Gambar 20. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim peralihan : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO.


(64)

52

Gambar 21. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO.


(1)

64

Mei untuk SPL dan minggu ke-3 Mei untuk klorofil-a, akan mencapai maksimum pada minggu ke-2 Agustus untuk SPL dan minggu ke-3 Agustus untuk klorofil-a serta akan berakhir pada minggu ke-4 Oktober untuk SPL dan minggu ke-4 September untuk klorofil-a.

Secara umum, El Niño Southern Oscillation (ENSO) berpengaruh

terhadap nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan. Saat musim peralihan I (Maret - April) nilai SPL tahun ENSO lebih tinggi dibandingkan tahun non ENSO dan saat musim timur nilai SPL tahun ENSO lebih rendah dibandingkan non ENSO. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a pada musim timur lebih tinggi pada tahun ENSO dibanding dengan tahun non ENSO. Kecepatan angin umumnya lebih tinggi saat tahun ENSO bila dibandingkan dengan tahun-tahun non ENSO.


(2)

65

DAFTAR PUSTAKA

Afdal dan S.H. Riyono. 2004. Sebaran Klorofil-a Kaitannya dengan Kondisi Hidrologi di Selat Makassar. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36: 69-82.

Brown, E., A. Colling., D. Park., J. Philips., D. Rothery., J. Wright. 2004. Ocean Circulation. The Open University. London. 286 hlm.

Basmi, J. 1995. Planktonologi (Produksi Primer). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.Bogor. 44 hlm.

Bureau of Meteorology (BOM). 2010. Southern Oscillation Index. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi [23 September 2010].

Colorado Center for Astrodynamics Research (CCAR). 2010. Sea Surface High. http://ccar.colorado.edu [19 September 2010].

Conway, E. D. 1997. An Introduction to Satellite Image Interpretation. The Johns Hopkins University. Baltimore and London. 242 hlm.

Ffield, A. dan A. Gordon. 1992. Vertical Mixing in the Indonesian Thermocline, J. Phys. Oceanogr.,22:184-195.

Hasanudin, M. 1998. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Oseana 23(2):1-9. Ilahude, A.G. 1970. On the Occurrence of Upwelling in the Southern Makassar

Strait. Mar. Res. Indonesia, 10: 3-53.

Ilahude, A.G. 1978. On the Factors Affecting the Productivity of the Southern Makassar Strait. Mar. Res. Indonesia, 21: 81-107.

Ilahude, A.G and A.L. Gordon, 1996. Thermocline Stratification within the Indonesia Seas.J.Geophys.Res.101:12.401-12.409.

Ilahude, A.G. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. P2O-LIPI. Jakarta. 240 hlm. Ilahude, A. G. dan A. Nontji. 1999. Oseanografi Indonesia dan Perubahan Iklim

Global (El Niño dan La Niña). Lokakarya AIPI, Puslitbang Oseanologi-LIPI Jakarta. 12 hlm.

Kilpatrick, K. A., G. P. Podestà, and R.E. Evans. 1998. Sea Surface Temperature Global Area Coverage (GAC) Processing Version 4.0.

http://www.rsmas.miami.edu.groups/rrsl/pathfinder/Algorithm [23 September 2010].


(3)

66

Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra Digital. Diterjemahkan Oleh Dulbahri, P. Suharsono, Hartono dan

Suharyadi. Gajah Mada University Press.Yogyakarta. 725 hlm.

Manoppo, A.K.S. 2003. Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Laut Jawa, Laut Flores, Selat Makassar, dan Samudera Hindia dari Citra Satelit Fengyun dan SeaWiFS : Suatu Perbandingan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelutan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hlm.

Nababan, B. 2009. Unusual Upwelling Evidence along Eastern Part of Equator in Indian Ocean during 1997-1998 El Nino Event. Jurnal Kelautan Nasional, 4(1):16-20.

National Aeromatic Space Agency (NASA). 2010. An Overview of SeaWiFS and the SeaStar Spacecraft. http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/.[7 April 2010]. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). 2010. Advanced

Very High Resolution Radiometer (AVHRR).

http://noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html.[7 April 2010]. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). 2010. Satellite

Imagery NOAA-AVHRR.

http://www.npagroup.com/imagery/satimagery/avhrr.htm.[7 April 2010]. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 hlm.

O'Reilly, J. E., S. Maritonema, D.A. Siegel, M.C. OBrien, D. Toole, B.G. Mitchell, M. Kahru, F.P. Chavez, P. Strutton, G.F. Cota, S.B. Hooker, C.R. McClain, K.L. Carder, F. Muller-Karger, L.H. Harding, A.

Magnuson, D. Phinney, G.F. Moore, J. Aiken, K.R. Arrigo, R. Letelier, and M. Culver. 2000. Ocean Color Chlorophyll-a Algorithms for SeaWiFS, OC2, and OC4: Version 4. In Hooker, S.B & E. R. Firestone (eds.), SeaWiFS Postlaunch Tech. Report Series, Volume 11, SeaWiFS Postlaunch Calibration and Validation Analysis, Part 3. Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Maryland. NASA/TM-2000-206892, Vol.11: 9- 23.

Purba, M. dan A.S. Atmadipoera. 2005. Variabilitas Anomali Tinggi Paras Laut (TPL) dan Arus Geostropik Permukaan antara L. Sulawesi, S. Makassar, dan S. Lombok dari Data Altimetri Topex/ERS2. JIPPI 12(2):139-152. Purwadhi, F. S. H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Gramedia Widiasarana

Indonesia. Jakarta. 360 hlm.

Riyono, S. H. 2006. Klorofil Fitoplankton dan Produkstivitas Primer. Warta Oseanografi 20(1): 16-18.


(4)

67

Wouthuyzen, S. 2002. Studi Umbalan (Upwelling)di Perairan Laut Seram dan Laut Banda. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36:17-35.

Saji, N.H., B.N. Goswami, P.n. Vanayachandran and T. Yamagata. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature. 401:360-363.

Sunarto.2008. Peranan Upwelling Terhadap Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Bandung. 35 hlm.

Thurman, H. V. and A. P. Trujillo. 2004. Introductory Oceanography. Pearson Prentice Hall. New Jersey. 608 hlm.

Tritel, H. 2010. Understanding and Forecasting ENSO.

http://www.ncdc.noaa.gov/oa/rsad/ElNinoresearchpaper.pdf. [30 Desember 2010].

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of South East Asia Waters. Naga Report. Vol 2. Scripps Institution of Oceanography La Jolla California. The University of California. 195 hlm.


(5)

68


(6)

69

Lampiran 1. Jumlah Curah Hujan (mm)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des 1998 167 110 210 204 87 23 257 110 56 173 778 860 1999 1277 994 433 584 138 76 31 6 12 126 214 836 2000 780 1034 338 346 46 180 67 - 47 84 303 479 2001 893 813 687 163 11 92 0 0 6 20 555 1042 2002 788 433 659 139 87 31 2 - 0 2 96 462 2003 722 536 160 140 150 5 12 0 7 20 104 928 2004 618 690 615 615 59 49 0 - - 24 149 246 2005 718 235 189 172 6 2 34 0 - 171 225 372 2006 587 649 353 265 44 137 1 - - - 17 445 2007 693 486 283 197 36 130 4 3 0 16 215 870 2008 662 868 338 77 62 35 58 4 6 74 409 764