Analisis Spasial Dan Evaluasi Indeks Potensi Wilayah Banjir (Studi Kasus: Kota Semarang).

ANALISIS SPASIAL DAN EVALUASI INDEKS
POTENSI WILAYAH BANJIR
(Studi Kasus: Kota Semarang)

AFNI MUTIA AHDIYATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Spasial dan
Evaluasi Indeks Potensi Wilayah Banjir (Studi Kasus: Kota Semarang) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Afni Mutia Ahdiyati
NIM G24110042

ABSTRAK
AFNI MUTIA AHDIYATI. Analisis Spasial dan Evaluasi Indeks Potensi Wilayah
Banjir (Studi Kasus: Kota Semarang). Dibimbing oleh PERDINAN
Kejadian banjir ditentukan oleh faktor iklim dan fisik suatu daerah.
Analisis spasial potensi wilayah banjir diturunkan dari indeks indikator iklim dan
fisik dan diolah menggunakan analisis spasial. Indikator iklim yang digunakan
adalah curah hujan tahunan, curah hujan musim hujan, dan curah hujan
maksimum musim hujan, sedangkan indikator fisik yang digunakan antara lain
kelerengan, topografi, bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS), buffer sungai, tutupan
lahan, dan proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penelitian ini bertujuan untuk
memetakan potensi wilayah banjir Kota Semarang dan mengevaluasi potensi
wilayah banjir dengan kejadian banjir yang sebenarnya. Estimasi indeks potensi
wilayah banjir menunjukkan bahwa Kota Semarang memiliki tingkat potensi
banjir tinggi dan sangat tinggi. Daerah dengan potensi banjir sangat tinggi berada
pada kota bagian barat daya, tengah, dan sepanjang pesisir. Daerah tengah kota

dan pesisir termasuk pada klasifikasi potensi banjir sangat tinggi karena kondisi
fisiknya yang berada di daerah dataran rendah.
Kata kunci: analisis spasial, indeks iklim, indeks fisik, potensi banjir

ABSTRACT
AFNI MUTIA AHDIYATI. Spatial Analysis and Evaluation of Potential Flood
Areas Index (Case Study: Semarang City). Supervised by PERDINAN
Flood is determined by climatic and physical factors in a region. Spatial
analysis of flood potential area is derived from climatic and physical indicators
and processes using spatial analysis. Climate indicators include annual rainfall,
rainy season rainfall, and maximum rainy season rainfall, while physical
indicators include slope, topography, shape of watershed (DAS), buffer zone of a
river, land cover, and the proportion of green space (RTH). This study proposed to
map the flood potential area of Semarang City and to evaluate flood potential area
in comparison with actual flood events. The estimation of flood potential area
showed that Semarang City is divided into high and very high flood potential
level. Areas with very high flood potential are at the southwest part of the city, the
center, and along the coast. Coastal area and the downtown area are considered to
be classified as very high potential for flooding due to their physical condition
which are located in the lowland areas.

Keywords: climate index, flood potential, physical index, spatial analysis

ANALISIS SPASIAL DAN EVALUASI INDEKS
POTENSI WILAYAH BANJIR
(Studi Kasus: Kota Semarang)

AFNI MUTIA AHDIYATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul Analisis Spasial dan Evaluasi Indeks Potensi Wilayah Banjir
(Studi Kasus: Kota Semarang).
Skripsi ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Perdinan,
SSi MNRE selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan, nasehat,
dan andil yang besar dalam penyelesaian skripsi penulis. Pada kesempatan ini
penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga tercinta, Bapak Mutawasik dan Ibu Ifa Nurhayina serta adik-adik
tersayang, Ahdian Mirza Azri dan Aqila Mahya Auni yang selalu
memberikan dorongan semangat, doa, dan nasehat kepada penulis selama
menjalani perkuliahan hingga saat ini.
2. Segenap jajaran dosen dan karyawan Departemen Geofisika dan
Meteorologi atas ilmu dan bantuannya selama masa perkuliahan.
3. Bapak Ir. Bregas Budianto, Ass. Dpl selaku pembimbing akademik.
4. Dinan’s Squad partner seperjuangan penelitian, Ridwan Faizal,
Miftahudin, dan Lina Febriyanti.
5. Muhamad Fakhrul yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan
arahan selama penulis menyusun skripsi ini.

6. Teman-teman lab seperjuangan (Lutha, Isnaeni, Lucy, Irma, Ita, Ayuvira,
Reffi, Diah, Adit, Rizki Taufik, Pradit), putri-putri bunda Perwira 42
(Santi, Kak Dea, Nadya, Eva, Desita, Octa, Kak Putri), Bang Ryco, dan
segenap keluarga GFM 48.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam kegiatan perkuliahan dan penyusunan skripsi
ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Afni Mutia Ahdiyati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran umum Kota Semarang

Curah hujan Kota Semarang
Topografi dan kelerangan Kota Semarang
Daerah aliran sungai Kota Semarang
Tutupan lahan Kota Semarang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang
Banjir Kota Semarang
METODE
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Prosedur Analisis Data
Pembuatan peta indikator curah hujan
Pembuatan peta indikator topografi dan kelerengan
Pembuatan peta indikator bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)
Pembuatan peta indikator buffer sungai
Pembuatan peta indikator tutupan lahan
Pembuatan peta indikator proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah hujan
Topografi dan kelerengan

Bentuk DAS
Buffer sungai
Tutupan lahan
Proporsi RTH
Penentuan indeks
Potensi banjir dan evaluasi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

v
v
v
1
1
2
2

2
2
3
3
4
5
6
7
7
7
7
7
8
9
9
9
9
10
11
11

13
14
15
16
17
18
19
22
22
22
23
25
34

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.


Bentuk DAS, pola, dan kerapatan sungai
Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006
Catatan sejarah kejadian banjir di Kota Semarang
Kisaran tingkat kerapatan NDVI
Informasi iklim dan fisik untuk estimasi indeks potensi wilayah banjir

4
5
6
10
18

DAFTAR GAMBAR
1.

2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Kategorisasi tingkat potensi banjir banjir berdasarkan nilai indeks
potensi dengan kategori sangat rendah (SR), rendah (R), sedang (S),
tinggi (T), dan sangat tinggi (ST)
Peta curah hujan tahunan Kota Semarang
Peta curah hujan musim hujan Kota Semarang
Peta curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang
Peta topografi Kota Semarang
Peta kelerengan Kota Semarang
Peta bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang
Peta buffer sungai Kota Semarang
Peta tutupan lahan Kota Semarang
Peta proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang
Peta indeks akhir potensi wilayah banjir Kota Semarang, gabungan dari
indeks iklim dan fisik
Peta bencana banjir Kota Semarang 7-8 Februari 2009
Peta bencana banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang
tahun 1990 sampai 2010

8
11
12
12
13
14
15
16
17
18
20
20
21

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Peta indeks curah hujan tahunan Kota Semarang
Peta indeks curah hujan musim hujan Kota Semarang
Peta indeks curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang
Peta indeks topografi Kota Semarang
Peta indeks kelerengan Kota Semarang
Peta indeks bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang
Peta indeks buffer sungai Kota Semarang
Peta indeks tutupan lahan Kota Semarang
Peta indeks proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang

25
26
27
28
29
30
31
32
33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang terletak pada
daerah ekuator dan merupakan tempat pertemuan dari lempeng tektonik. Kondisi
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat berpotensi sekaligus
rawan bencana alam. Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (BAKORNAS PB) yang tercatat dalam Rancangan Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2006-2009 (2006), antara tahun 2003
sampai 2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana di Indonesia dan 53.3% dari
total tersebut merupakan bencana hidrometeorologi. Sebanyak 34.1% dari total
kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana banjir.
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu
musim kemarau dan musim hujan. Kondisi iklim yang mempengaruhi penentuan
musim di Indonesia adalah suhu, curah hujan, dan arah angin. Bentang alam
Indonesia dari segi morfologi sangat bervariasi. Seiring dengan bertambahnya
waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan semakin parah
dan memicu peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi, khususnya banjir.
Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang
melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah dan menimbulkan kerugian
fisik, sosial, dan ekonomi (Rahayu et al. 2009).
Banjir di beberapa wilayah merupakan bencana alam yang terjadi berulang
tiap tahun terutama pada musim hujan. Salah satu kota besar di Pulau Jawa yang
sering dilanda banjir, selain Kota Jakarta adalah Kota Semarang. Kota Semarang
merupakan kota utama di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi pusat aktivitas
masyarakat. Kota Semarang hampir setiap tahun mengalami bencana banjir.
Menurut Reseda (2012), Kota Semarang mengalami banjir bandang pada tahun
1973, 1988, 1990, dan 1993 akibat meluapnya Sungai Garang. Hingga tahun 2012,
setidaknya telah terjadi tiga kali banjir bandang sejak tahun 1993, yaitu pada
tahun 1993, 2000, dan 2010 (Waskitaningsih 2012). Banjir yang melanda Kota
Semarang menimbulkan kerugian material bahkan korban jiwa.
Menurut Putro dan Hayati (2007), sejak tahun 1971 banjir secara rutin
terjadi setiap tahun di Kota Semarang dan mulai menyebar ke berbagai tempat
yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir. Hal tersebut dikarenakan alih fungsi
daerah tampungan luapan banjir menjadi lahan terbangun. Seiring bertambahnya
jumlah penduduk Kota Semarang akan menyebabkan meluasnya daerah
pemukiman dan sarana penunjang lainnya. Kegiatan konversi daerah resapan air
menjadi lahan terbangun menyebabkan semakin besarnya volume aliran limpasan
(run off) sehingga mengakibatkan meluasnya area genangan banjir di kota.
Banjir terjadi rutin ketika memasuki musim penghujan disaat intensitas
curah hujan tinggi. Banjir banyak melanda daerah pusat kota, menggenangi
daerah pemukiman, daerah perdagangan, dan pusat-pusat pemerintahan.
Tergenangnya Kota Semarang membuat aktivitas masyarakat terhambat. Ketika
banjir besar melanda, masyarakat mengungsi dikarenakan rumah yang terendam
air. Banjir Kota Semarang juga tercatat menelan korban jiwa.

2

Pendugaan tingkat potensi wilayah banjir Kota Semarang dapat dilakukan
untuk mengetahui potensi tiap-tiap daerah sehingga dapat membantu upaya
mitigasi. Pendugaan tersebut dapat dilakukan memanfaatkan teknologi Sistem
Informasi Geografis berbasis spasial. Upaya mitigasi atau upaya pengurangan
risiko bencana dapat dilakukan dengan menyusun kembali tata ruang Kota
Semarang berkaitan dengan sistem drainase sesuai dengan potensi banjir wilayah.
Tujuan Penelitian
1. Memetakan potensi wilayah banjir Kota Semarang.
2. Mengevaluasi indeks potensi wilayah banjir dengan kejadian banjir Kota
Semarang.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kota Semarang
Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan
langsung dengan Pantai Utara Jawa. Secara geografis Kota Semarang terletak
antara 109o35’ sampai 110o50’ BT dan 6o50’ sampai 7o10’ LS. Kota Semarang
memiliki luas 400 km2 yang terdiri dari 16 kecamatan dan 177 kelurahan.
Aktivitas utama penduduk Kota Semarang adalah industri, perdagangan,
pendidikan, dan pariwisata.
Temperatur udara Kota Semarang berkisar antara 25.8 oC sampai dengan
o
29.3 C. Kelembaban udara rata-rata bervariasi dari 62% sampai dengan 84%.
Arah angin sebagian besar bergerak dari arah Tenggara menuju Barat Laut dengan
kecepatan rata-rata berkisar antara 5.7 km/jam (Wismarini dan Ningsih 2010).
Curah Hujan Kota Semarang
Curah hujan merupakan unsur iklim yang dominan dalam siklus hidrologi di
daerah tropis. Hujan yang jatuh sebagian akan mengalami proses intersepsi,
infiltrasi, dan perkolasi. Curah hujan yang tertahan oleh kanopi dan
dievaporasikan selama atau setelah hujan merupakan proses intersepsi. Sebagian
dialirkan ke permukaan tanah melalui batang (stemflow) dan diloloskan dari tajuk
ke permukaan tanah (throughfall). Curah hujan yang meresap ke permukaan tanah
akan tersimpan melalui proses infiltrasi dan perkolasi.
Hujan adalah sumber air utama bagi sungai atau suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS). Karakteristik hujan yang mempengaruhi aliran permukaan dan distribusi
aliran DAS adalah intensitas hujan, lama hujan, dan distribusi hujan di areal DAS
tersebut (Arsyad 2000 dalam Primayuda 2006). Curah hujan akan meresap ke
dalam tanah menjadi cadangan permukaan air tanah melalui infiltrasi dan
perkolasi hingga tanah menjadi jenuh. Ketika tanah telah jenuh, curah hujan akan
menjadi limpasan permukaan yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai
sebagai debit sungai. Debit sungai yang melebihi kapasitas sungai dikenal dengan
istilah banjir.

3

Karakteristik curah hujan Kota Semarang mengikuti pola curah hujan
monsunal yang memiliki satu lembah dan satu puncak. Pola ini dipengaruhi oleh
angin muson barat laut yang berhembus dari Laut Jawa. Siklus pergantian antara
musim hujan dan musim kemarau Kota Semarang yakni setiap 6 bulan. Musim
hujan dimulai pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret. Musim
kemarau dimulai bulan April dan berakhir pada bulan September. Curah hujan
rata-rata tahunan bervariasi dari 2215 mm sampai dengan 2183 mm dengan
maksimum bulanan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Januari (Marfai
2003).
Topografi dan Kelerengan Kota Semarang
Kondisi kelerengan Kota Semarang menurut Reseda (2012), didominasi
oleh wilayah datar dan sangat landai seluas 29190.52 Ha (sekitar 78.11%).
Wilayah tersebut merupakan wilayah perkotaan yang berada di bagian Utara.
Wilayah agak curam seluas 6080.18 Ha (16.7%) berada pada bagian tengah
dengan topografi perbukitan. Bagian Selatan merupakan wilayah curam seluas
1138.80 Ha (3.05%) dan wilayah terjal atau sangat curam seluas 960.50 Ha
(2.57%) dengan topografi pegunungan terjal dengan kemiringan dasar sungai
sangat curam sehingga kecepatan alirannya deras.
Daerah Aliran Sungai Kota Semarang
Daerah Aliran Sungai (DAS) ialah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh
alam berupa topografi yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang diterima menuju sistem sungai terdekat yang selanjutnya
bermuara di waduk, danau, atau laut (Seyhan 1995, dalam Grenti 2006). DAS
merupakan suatu rangkaian sistem dimulai dari hulu, tengah, dan hilir. Bagian
hulu merupakan daerah konservasi yang mempunyai peran penting dalam
mengatur fungsi tata air. Bagian tengah dan hilir merupakan daerah pengelolaan
dan pemanfaatan air sungai (Asdak 2004).
Semarang mempunyai sungai-sungai utama yakni Sungai Blorong, Sungai
Beringin, Sungai Silandak, Sungai Garang atau Banjir Kanal Barat, Sungai Banjir
Kanal Timur, dan Sungai Babon. Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar di Kota
Semarang adalah DAS Garang yang terdiri dari tiga anak sungai yakni Sungai
Garang, Sungai Kreo, dan Sungai Kripik. Menurut Reseda (2012), hulu DAS
Garang berada di Gunung Ungaran dan bermuara di Laut Jawa. Luas DAS Garang
sekitar 200.16 km2 dan panjang kurang lebih 35 kilometer dengan perbedaan
ketinggian dari hulu ke hilir sebesar 2050 meter. Karakteristik DAS demikian
dapat menyebabkan banjir dengan pola rambatan cepat (flash flood).
Bentuk DAS mempengaruhi waktu konsentrasi air hujan yang mengalir
menuju outlet. Semakin bulat bentuk DAS maka semakin singkat waktu
konsentrasi yang diperlukan, sehingga fluktuasi banjir yang terjadi semakin
tinggi. Semakin lonjong bentuk DAS, waktu konsentrasi air hujan yang
diperlukan semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Menurut
Soewarno (1991), berdasarkan perbedaan debit banjir yang terjadi, bentuk DAS
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu bentuk DAS bulu burung, radial, dan

4

paralel. Analisis potensi banjir dilakukan dengan melihat karakteristik bentuk
masing-masing DAS.
Tabel 1 Bentuk DAS, pola, dan kerapatan sungai
Bentuk DAS

Pola dan kerapatan sungai

Gambar

Bulu Burung DAS ini memiliki bentuk
(memanjang) yang relatif sempit dan
memanjang dengan anakanak
sungai
mengalir
memanjang di sebelah kanan
dan kiri sungai utama. Debit
banjir untuk DAS ini
cenderung
kecil
namun
banjir berlangsung cukup
lama karena suplai air yang
datang
bergantian
dari
masing-masing anak sungai.

Analisis
Potensi
Banjir
Potensi
banjir yang
ditimbulkan
paling kecil
dibanding
dengan
bentuk DAS
lainnya.

Radial

Bentuk DAS meyerupai
kipas atau nyaris lingkaran.
Anak-anak sungai (sub-DAS)
mengalir dari segala penjuru
DAS dan terkonsentrasi pada
satu titik secara radial. Debit
banjir
yang
dihasilkan
umumnya akan sangat besar,
dengan catatan hujan terjadi
merata dan bersamaan di
seluruh DAS tersebut.

Potensi
banjir yang
ditimbulkan
paling tinggi
dibanding
dengan
bentuk DAS
lainnya.

Paralel

Sebuah DAS yang tersusun
dari percabangan dua subDAS yang cukup besar di
bagian hulu, tetapi menyatu
di bagian hilirnya. Masingmasing
sub-DAS
dapat
memiliki karakteristik yang
berbeda. Ketika terjadi hujan
di kedua sub-DAS secara
bersamaan,
maka
akan
menimbulkan potensi banjir
yang relatif besar.

Potensi
banjir yang
ditimbulkan
lebih kecil
dari bentuk
DAS radial.

(Sumber: Soewarno 1991)
Tutupan Lahan Kota Semarang
Penutupan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1997) berkaitan dengan
jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, contoh jenis penutup lahan
adalah bangunan perkotaan, danau, vegetasi, dan lain-lain. Penutupan lahan

5

menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan.
Perubahan penutupan lahan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
manusia yang mengalami perubahan pada waktu yang berbeda. Tutupan lahan
Kota Semarang dari tahun ke tahun menunjukkan perubahan yakni terjadi
konversi dari lahan pertanian menjadi non pertanian.
Tabel 2 Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006
No

Penutupan Lahan

1
2
3
4
5
6
7
8

Area Terbangun
Badan Air
Ladang
Lahan Terbuka
Sawah
Vegetasi Jarang
Vegetasi Rapat
Tidak Ada Data
TOTAL

2001
Ha
%
10656
27.52
2585.34
6.68
7807.05
20.26
3332.34
8.61
3440.7
8.89
7580.97
19.58
2536.56
6.55
782.73
2.02
38721.70
-

2006
Ha
%
13777.7
35.58
2233.04
5.77
5237.19
13.53
4973.85
12.85
3326.49
8.59
7048.62
18.20
2124.81
5.49
0
0.00
38721.70 -

Perubahan
Ha
%
3121.7
8.06
-352.3
-0.91
-2569.86
-6.64
1641.51
4.24
-114.21
-0.29
-532.35
-1.37
-411.75
-1.06
-782.73
-2.02
-

Keterangan: (+) luas wilayah meningkat, (-) luas wilayah menurun
(Sumber: Waluyo 2009)
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang merupakan area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH
dalam suatu pembangunan perkotaan berperan penting karena memiliki beragam
fungsi mulai dari fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial.
INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 menyebutkan manfaat RTH yaitu:
1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga
kehidupan.
2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan
kehidupan lingkungan.
3. Sebagai sarana rekreasi.
4. Sebagai pengaman lingkungan perkotaan terhadap berbagai macam
pencemaran.
5. Sebagai sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan.
6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.
7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.
8. Sebagai pengatur tata air.
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
pasal 29 ayat 2 dalam Heksaputri (2011), menetapkan proporsi ruang terbuka
hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Pasal 29 ayat 3
menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit
20% dari luas wilayah kota.
Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota, kebutuhan lahan
untuk pemukiman akan bertambah sehingga sering mengorbankan ruang terbuka
hijau. Kebutuhan masyarakat ini dijadikan pengembang sebagai alasan untuk terus
mengembangkan pembangunan perumahan di kawasan pinggiran kota hingga area

6

hijau atau lahan pertanian tidak jadi penghalang untuk membangun perumahan
disana.
Banjir Kota Semarang
Menurut Mulyanto et al. (2012) banjir adalah penggenangan akibat
limpasan keluar alur sungai karena debit sungai yang membesar tiba-tiba
melampaui kapasitas aliran, terjadi dengan cepat melanda daerah-daerah rendah
permukaan bumi, di lembah sungai maupun cekungan. Banjir merupakan bencana
alam yang timbul ketika sungai tidak dapat menampung debit air yang ada dan
meluap ke kawasan yang tidak biasa tergenang, dapat memberikan kerugian fisik,
ekonomi, maupun sosial.
Banjir secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor yakni faktor klimatologi,
karakteristik DAS, dan faktor manusia. Faktor klimatologi yang paling
berpengaruh ialah intensitas, frekuensi, dan distribusi curah hujan. Faktor
karakteristik DAS berkaitan langsung terhadap fisik daerah yakni kelerengan
lahan, ketinggian lahan, tutupan lahan, dan sungai yang melalui daerah tersebut.
Manusia berperan penting terhadap perubahan penggunaan lahan, penataan ruang,
dan pengelolaan sistem drainase yang akan mempengaruhi kemampuan resapan
air pada tanah.
Banjir di Kota Semarang terbagi menjadi tiga jenis yakni:
1. Banjir kiriman yaitu banjir yang datangnya dari arah hulu di luar kawasan yang
tergenang. Banjir ini terjadi ketika hujan di daerah hulu melebihi kapasitas
sungai atau banjir kanal yang ada, sehingga terjadi limpasan. Banjir kiriman
terjadi secara periodik hampir setiap tahun dan melanda daerah pertemuan
sungai-sungai utama di Kota Semarang (Wismarini et al. 2011).
2. Banjir lokal yaitu banjir akibat genangan air yang timbul dari hujan yang jatuh
di daerah itu sendiri.
3. Banjir rob yaitu banjir yang terjadi akibat aliran langsung air laut yang pasang
atau air dari saluran drainase yang terhambat oleh air pasang. Banjir rob
melanda daerah pinggiran laut yang permukaan tanahnya lebih rendah daripada
muka pasang air laut.
Banjir yang terjadi di Kota Semarang pada umumnya disebabkan oleh tidak
terkendalinya aliran sungai, akibat kenaikan debit yang dipengaruhi langsung oleh
tingginya curah hujan. Selain itu, pendangkalan dasar badan sungai dan
penyempitan sungai karena sedimentasi, adanya kerusakan lingkungan pada
daerah hulu (wilayah atas Kota Semarang) atau daerah tangkapan air, serta
ketidakseimbangan input dan output pada saluran drainase kota.
Tabel 3 Catatan sejarah kejadian banjir di Kota Semarang
Waktu kejadian
Daerah yang terkena
Dampak dan resiko akibat banjir
25 Januari 1990
Desa Sampangan,
Korban jiwa sebanyak 47 orang,
(Priyanto dan
Bongsari, Petompon,
782 rumah rusak, ketinggian
Nawiyanto 2014) Bendungan, Bendan
banjir mencapai 2-3 meter,
Ngisor
kerugian
ekonomi
diduga
Kecamatan Semarang
mencapai 8.5 miliar rupiah
Barat, Kecamatan
Semarang Selatan

7

Januari 1993
(Marfai 2013)

Desa Krobokan, Darat,
Lasimin, Bulu Lor,
Panggung, Sampangan

7-8 Februari 2009
(Wismarini et al.
2011)
9 November 2010
(PPKK 2010)

8 dari 16 kecamatan di
Kota Semarang
Kelurahan Wonosari,
Ngaliyan, Mangkang,
Mangunharjo, Tugu

Korban jiwa sebanyak 13 orang,
242 rumah rusak, beberapa
bendungan jebol, ketinggian
banjir
dengan
ketinggian
mencapai 1.5 meter.
Sejumlah wilayah terendam
banjir dengan ketinggian antara
10 cm hingga 1.5 meter.
Korban jiwa sebanyak 6 orang, 5
orang luka berat, 8 orang luka
ringan, 3 orang hilang.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai bulan Agustus 2015
bertempat di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Institut Pertanian Bogor.
Alat
Alat yang digunakan dalam pengolahan data dan analisis adalah seperangkat
komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak Ms. Office 2010, ArcGIS 10,
dan Er Mapper 7.1.
Bahan
Data iklim yang digunakan adalah data curah hujan bulanan yang didapat
dari Worldclim periode baseline yakni tahun 1950-2000. Data fisik daerah kajian
yang digunakan adalah data citra Landsat 8 OLI path/row 120/65 tanggal akusisi 2
November 2014, data DEM SRTM, Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000,
dan data kejadian banjir Kota Semarang.
Prosedur Analisis Data
Indeks potensi wilayah banjir diperoleh dengan menggabungkan indikator
iklim dan indikator fisik wilayah. Indikator iklim yang digunakan ialah curah
hujan sedangkan indikator fisik yang digunakan antara lain tutupan lahan,
proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH), kelerengan, topografi atau ketinggian,
buffer sungai dan bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Pendekatan tersebut
dilakukan dengan pertimbangan potensi kejadian banjir pada suatu wilayah yang
dipengaruhi oleh curah hujan dan bentuk topografi di wilayah tersebut. Data-data
yang terkumpul akan diolah dan disajikan dalam bentuk peta-peta tematik
kemudian dilakukan analisis yang akan menghasilkan peta potensi wilayah banjir.
Teknik penghitungan indeks potensi wilayah banjir dilakukan dengan
menggunakan metode ambang batas. Metode tersebut mengkategorikan nilai
masing-masing indikator penyusun dalam bentuk skor berdasarkan nilai suatu

8

indikator melewati yang ambang batas tertentu. Metode ini disusun dari konsep
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2014 dan PERKA BNPB
02/2012 yang disusun dalam Metode Kajian Risiko Bencana Terkait Iklim yang
dilakukan dibawah koordinasi Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB)
dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (Perdinan et al.
2015). Batasan ambang batas khususnya indikator iklim disesuaikan dengan
kondisi iklim wilayah kajian yakni Kota Semarang.
Nilai indeks potensi banjir dikonversi dalam selang 0 sampai 1. Nilai
indeks potensi banjir diperoleh dari indeks akhir yang merupakan gabungan dari
indeks iklim dan fisik. Penghitungan indeks iklim dan indeks fisik diperoleh dari
persamaan berikut:

Skor maksimum untuk indeks iklim adalah 12 yang diperoleh dari perkalian skor
maksimum yakni 4 dengan 3 indikator. Skor maksimum untuk indeks fisik adalah
24 yang diperoleh dari perkalian skor maksimum yakni 4 dengan 6 indikator.
Indeks akhir dihitung menggunakan persamaan berikut:

Nilai indeks akhir menunjukkan tingkat potensi banjir di suatu lokasi.
Klasifikasi nilai tingkat potensi dilakukan dengan membagi nilai indeks menjadi
lima kelas. Tingkat potensi masuk kategori tinggi apabila indeks diatas 0.8 sampai
1.0, dan masuk kategori sangat rendah apabila nilai indeks dibawah 0.2 sampai 0.
SR
0

R
0.2

S
0.4

T
0.6

ST
0.8

1

Gambar 1 Kategorisasi tingkat potensi banjir berdasarkan nilai indeks potensi
dengan kategori sangat rendah (SR), rendah (R), sedang (S), tinggi
(T), dan sangat tinggi (ST)
Hasil indeks akhir potensi wilayah banjir akan dipetakan dan akan terlihat
wilayah yang memiliki potensi banjir tinggi, sedang, maupun rendah. Hasil indeks
tersebut kemudian dievaluasi dengan peta bencana banjir untuk melihat
kesesuaian model yang telah dibuat dengan kejadian banjir yang sebenarnya.
Pembuatan peta indikator curah hujan
Data curah hujan diperoleh dari data Worldclim periode baseline yang
merupakan hasil interpolasi dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Data
Worldclim berupa data bulanan dengan resolusi spasial mendekati 1 kilometer
grid. Indikator curah hujan dibagi lagi menjadi tiga yakni curah hujan tahunan,
curah hujan musim hujan, dan curah hujan maksimum musim hujan. Metode
interpolasi yang digunakan untuk mengisi data wilayah kajian yang kosong adalah

9

Euclidean Allocation. Metode tersebut mengukur jarak pemetaan garis lurus dari
setiap sel ke sumber terdekat tanpa merubah data.
Pembuatan indikator curah hujan menggunakan perangkat lunak analisis
spasial ArcGIS 10 dengan menjumlahkan data curah hujan bulanan. Indikator
curah hujan tahunan diperoleh dari penjumlahan data bulanan dalam satu tahun.
Indikator curah hujan musim hujan diperoleh dari penjumlahan data bulanan
musim hujan. Musim hujan Kota Semarang berlangsung dari bulan Oktober,
November, Desember, Januari, Februari, sampai Maret. Sedangkan indikator
curah hujan maksimum musim hujan diperoleh dari data bulanan maksimum
musim hujan.
Pembuatan peta indikator topografi dan kelerengan
DEM (Digital Elevation Model) merupakan salah satu model yang
meggambarkan bentuk topografi permukaan bumi. Data DEM SRTM merupakan
salah satu data satelit dengan resolusi spasial 90 meter yang memberikan
gambaran tentang ketinggian tempat. Pembuatan peta kelerengan dapat diturunkan
dari data DEM melalui proses Raster Surface - Slope yang kemudian dikelaskan
berdasarkan kelas kemiringan lereng (%).
Pembuatan peta indikator bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)
Data yang digunakan untuk indikator bentuk DAS ialah data DEM.
Penentuan batas atau bentuk DAS menggunakan perangkat lunak ArcGIS dapat
dilakukan dengan Spatial Analyst of Hidrology Tools. Langkah-langkah yang
dilakukan ialah membuat arah aliran sungai (flow direction), kemudian membuat
area basin yang membatasi satu DAS dengan DAS yang lainnya. Jaringan sungai
akan terlihat dan dapat ditentukan Daerah Aliran Sungai (DAS) suatu wilayah.
Pembuatan peta indikator buffer sungai
Zona buffer sungai menunjukkan daerah sempadan sungai dengan lebar
tertentu yang akan terkena dampak langsung jika sungai meluap. Peta buffer
sungai dibuat berdasarkan zona buffer yang dihasilkan dari pengkelasan tingkat
kerawanan banjir suatu wilayah berdasarkan jarak dengan sungai. Pembuatan
buffer sungai dilakukan dengan menggunakan Euclidean Distance. Buffer sungai
dibuat berdasarkan asumsi semakin dekat suatu wilayah dengan sungai, maka
peluang terjadi banjir akan lebih tinggi.
Pembuatan peta indikator tutupan lahan
Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan cara menggabungkan citra kanal
Landsat 8 OLI untuk mengetahui sebaran dan luas tipe penutupan lahan di
wilayah kajian. Klasifikasi citra yang digunakan ialah metode klasifikasi tidak
terbimbing (Unsupervised Classification). Klasifikasi tersebut merupakan proses
pengelompokan piksel-piksel pada citra menjadi beberapa kelas menggunakan
analisa cluster.

10

Komposit band yang digunakan dalam klasifikasi citra pada penelitian ini
adalah band 6, 5, 3. Komposit band tersebut merupakan komposit yang baik
dalam mengidentifikasi tutupan lahan. Band 6 merupakan band SWIR (Shortwave
Infrared) untuk identifikasi badan air, band 5 merupakan band NIR (Near
Infrared) untuk identifikasi tanah, dan band 3 merupakan band green untuk
identifikasi vegetasi (NASA 2010). Proses klasifikasi citra dilakukan secara
otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan.
Kemudian daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama
digabungkan. Klasifikasi dalam penelitian ini mengidentifikasi citra menjadi
badan air, vegetasi rapat, vegetasi jarang, lahan terbuka, dan lahan terbangun.
Pembuatan peta indikator proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Data yang digunakan untuk pembuatan indikator RTH adalah data Landsat
8 ETM Kota Semarang path/row 120/65, dengan tanggal akuisisi 2 November
2014. Data Landsat 8 OLI memiliki resolusi 30 meter. RTH dapat diduga dengan
nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Nilai NDVI
menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik
untuk menentukan status kerapatan vegetasi pada suatu wilayah. Suatu wilayah
dengan kondisi vegetasi yang rapat secara definisi matematis memiliki nilai NDVI
positif, sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif.
Menurut Heksaputri (2011), estimasi NDVI dengan basis data satelit
memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari
dedaunan. Tumbuhan hijau menyerap radiasi matahari pada bagian
Photosynthetically Active Radiation (PAR). Rentang nilai NDVI berkisar antara
-1 hingga +1, jika wilayah semakin hijau maka vegetasi semakin rapat dan nilai
NDVI semakin besar. Menurut Febrianti dan Sofan (2014), persamaan untuk
menghitung NDVI adalah sebagai berikut:

Nilai NIR merupakan reflektansi kanal near infrared dan Red merupakan
reflektansi kanal cahaya tampak/infrared. Band yang digunakan pada Landsat 8
ialah band 5 untuk NIR dan band 4 untuk Red.
Penghitungan nilai NDVI dilakukan dengan menggunakan band 5 dan band
4 Landsat 8 menggunakan perangkat lunak analisis spasial Er Mapper 7.1 dan
ArcGIS 10. Setelah didapatkan rentang nilai NDVI, maka dilakukan pembagian
obyek.
Tabel 4 Kisaran tingkat kerapatan NDVI
Kelas
Kisaran NDVI
1
-1.0 s.d. 0.32
2
0.32 s.d. 0.42
3
-0.42 s.d. 1.0
(Sumber: Departemen Kehutanan 2009)

Tingkat Kerapatan
Jarang
Sedang
Tinggi

11

Penghitungan proporsi luasan RTH dilakukan dengan membagi luas RTH per
desa dengan luas desa wilayah kajian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah Hujan
Kota Semarang memiliki perbedaan musim kemarau dan musim penghujan
yang jelas. Pola curah hujan Kota Semarang adalah pola monsunal. Curah hujan
dipengaruhi oleh angin muson barat laut yang berhembus dari Laut Jawa. Musim
hujan di Kota Semarang dimulai dari bulan Oktober dan berakhir pada bulan
Maret. Puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember dan Januari.
Sebaran curah hujan Kota Semarang lebih tinggi pada wilayah Semarang
bagian selatan. Curah hujan tinggi terjadi pada daerah perbukitan yang merupakan
daerah hulu sungai. Semakin ke utara, curah hujan semakin rendah. Gambar 2
menunjukkan pola spasial curah hujan tahunan di Kota Semarang.

Gambar 2 Peta curah hujan tahunan Kota Semarang
Sebaran curah hujan musim hujan (Gambar 3) memiliki pola spasial yang
sama dengan sebaran curah hujan maksimum musim hujan (Gambar 4). Curah
hujan rata-rata tertinggi terjadi di wilayah barat daya Kota Semarang kemudian
variasinya menurun mendekati daerah pesisir.

12

Gambar 3 Peta curah hujan musim hujan Kota Semarang

Gambar 4 Peta curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang
Pola curah hujan Kota Semarang dilihat dari ketiga indikator mempunyai
kesamaan yakni lebih tinggi di daerah perbukitan dan semakin menuju pesisir
semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi topografi Kota Semarang.
Hujan yang terjadi merupakan hujan orografik yakni hujan yang dihasilkan oleh
naiknya udara lembab secara paksa oleh dataran tinggi atau pegunungan
(Handoko 1994). Dampak dari hujan orografik adalah sebaran curah hujan

13

tahunan di dataran tinggi pada umumnya lebih tinggi daripada dataran rendah
sekitarnya.
Angin muson barat laut yang membawa uap air dari Laut Jawa akan bertiup
ke arah selatan dan terdorong naik karena ketinggian Gunung Ungaran. Dorongan
naik oleh dataran tinggi tersebut membawa udara ke titik kondensasi sehingga
terbentuklah butir-butir awan penghasil hujan. Ketika butir-butir awan terus
tumbuh seiring naiknya ketinggian dengan suhu tertentu, maka gaya berat dari
awan akan lebih besar dari daya angkat udara sehingga jatuh sebagai hujan.
Topografi dan Kelerengan
Topografi Kota Semarang secara umum dibagi menjadi tiga, yakni daerah
pantai, dataran rendah, dan perbukitan (Gambar 5). Menurut Aftriana (2013),
daerah pantai merupakan daerah dengan ketinggian kurang dari 0.75 mdpl (meter
di atas permukaan laut). Daerah dataran rendah mempunyai ketinggian di atas
0.75 mdpl (meter di atas permukaan laut). Daerah perbukitan mempunyai
ketinggian di atas 90 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Gambar 5 Peta topografi Kota Semarang
Daerah selatan Kota Semarang merupakan daerah perbukitan yang merupakan
lereng Gunung Ungaran. Kondisi kelerengan Kota Semarang bervariasi. Daerah
dengan kelerengan curam berada di daerah Selatan Kota Semarang. Semakin
mengarah ke pesisir maka ketinggian akan menurun disertai dengan kelerengan
yang semakin landai (Gambar 6).

14

Gambar 6 Peta kelerengan Kota Semarang
Kondisi ketinggian dan kelerengan mempengaruhi kemiringan dasar sungai
dan hidrologi daerah tersebut. Zona dengan topografi berupa perbukitan dengan
lereng curam akan mempengaruhi aliran air pada sungai. Jenis aliran pada daerah
ini termasuk aliran kritis dengan kecepatan aliran tinggi, sehingga angkutan
sedimen dan erosi yang terjadi cukup tinggi. Zona dengan topografi sangat landai
seperti Kota Semarang bagian utara, memiliki kemiringan dasar sungai landai
sehingga gejala sedimentasi atau pengendapan di dasar saluran sering terjadi jika
sistem drainase kurang baik.
Bentuk DAS
Variasi topografi Kota Semarang membentuk daerah aliran sungai yang
mengalirkan air dari hulu yakni Gunung Ungaran menuju hilir yakni Laut Jawa.
Beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) terbentuk dengan karakteristik yang
berbeda. DAS utama yang terdapat pada Kota Semarang adalah DAS Garang
yang menjadi sumber air terbesar bagi masyarakat Kota Semarang.
DAS Garang termasuk bentuk radial karena bentukannya yang lebar dan
terdiri dari beberapa anak sungai utama. Dua DAS lain yang terdapat di Kota
Semarang juga memiliki bentuk radial walaupun tidak sebesar DAS Garang. Pada
bagian barat Kota Semarang terdapat DAS yang berbentuk memanjang (Gambar
7).

15

Gambar 7 Peta bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang
Bentuk DAS mempengaruhi hidrograf aliran sungai yang berkaitan dengan
perilaku debit sungai sebagai respon adanya perubahan terhadap satuan waktu.
Hidrograf aliran memberikan informasi besarnya aliran sungai pada suatu waktu,
sehingga dapat dianalisis kemungkinan fluktuasi debit air sungai yang dapat
mengakibatkan banjir. Karakteristik masing-masing DAS mempunyai potensi
banjir yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel 2. Bentuk DAS yang memiliki
potensi banjir paling besar adalah bentuk DAS radial. Bentuk DAS paralel
memiliki potensi banjir lebih kecil dibanding bentuk radial. Potensi banjir paling
kecil dihasilkan oleh bentuk DAS bulu burung atau memanjang.
Buffer Sungai
Pembuatan peta buffer sungai dapat menunjukkan daerah-daerah yang
berbatasan atau berdekatan dengan sungai. Semakin dekat dengan sungai maka
potensi terkena banjir akan semakin tinggi. Menurut Primayuda (2006) dengan
modifikasi, pengkategorian jarak buffer sungai sangat rawan terhadap potensi
banjir yakni pada jarak 0 sampai 30 meter. Jarak buffer sungai rawan yakni pada
jarak 30 sampai 100 meter. Kategori agak rawan yakni pada jarak 100 sampai 250
meter dari sungai. Sedangkan kategori tidak rawan potensi banjir yakni pada jarak
lebih dari 250 meter dari sungai (Gambar 8).

16

Gambar 8 Peta buffer sungai Kota Semarang
Tutupan Lahan
Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah merupakan parameter
kemajuan kota-kota lain di Jawa Tengah. Penggunaan lahan di Kota Semarang
dari tahun ke tahun mengalami konversi yang mengarah dari lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian. Menurut Ditjen Cipta Karya DPU (2006), proporsi
penggunaan lahan di Kota Semarang sebanyak 33% digunakan untuk pemukiman.
Besarnya proporsi luas lahan pemukiman mengindikasikan lahan masih memiliki
fungsi dominan untuk tuntutan pelayanan masyarakat.
Gambar 9 memperlihatkan kondisi tutupan lahan di Kota Semarang yang
didominasi oleh lahan terbuka. Persebaran penggunaan lahan terbangun berada di
daerah pesisir dan bagian timur Kota Semarang. Lahan pertanian yang
digambarkan sebagai daerah vegetasi rapat dan jarang berlokasi di sebelah selatan
dan barat kota. Menurut Putro dan Hayati (2007), lahan pertanian di Kota
Semarang dibagi menjadi lahan pertanian kering dan sawah. Wilayah Selatan kota
yakni Kecamatan Gunungpati dan Mijen didominasi oleh tipe penutupan lahan
berupa hutan dan perkebunan. Tanaman yang tumbuh di daerah ini berupa pohonpohon yang memiliki kerapatan tajuk lebih dari 10%. Wilayah barat kota yakni
Kecamatan Ngaliyan didominasi oleh ladang atau kebun campuran. Ladang
merupakan lahan pertanian kering yang digunakan masyarakat untuk budidaya
tanaman pertanian semusim non padi. Wilayah industri berlokasi pada kecamatan
Tugu, Genuk, dan sebagian di Kecamatan Pedurungan dan Semarang Barat.

17

Gambar 9 Peta tutupan lahan Kota Semarang
Fenomena banjir berkaitan dengan daya serap permukaan tanah dan
besarnya aliran permukaan. Jenis tutupan lahan berpengaruh langsung terhadap
besarnya kemampuan daya serap permukaan dan aliran permukaan. Lahan dengan
tutupan vegetasi akan mempunyai daya serap lebih tinggi dibanding lahan terbuka
maupun lahan terbangun, sehingga aliran permukaan menjadi kecil. Menurut
Kepala BAPPEDA Kota Semarang dalam Haryanto (2013), banjir yang sering
melanda Kota Semarang tidak lepas dari buruknya sistem tata ruang kota. Daerah
resapan yang seharusnya berfungsi untuk menyerap air hujan, dialihfungsikan
sebagai kawasan perumahan.
Proporsi RTH
Distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Kota Semarang mengikuti
tutupan lahan. Proporsi RTH tinggi berada pada bagian selatan dan barat kota
yang merupakan daerah perbukitan. Daerah ini merupakan daerah pedesaan (sub
urban) dengan kepadatan penduduk rendah. Aktivitas utama masyarakat di
wilayah tersebut masih bertumpu pada pengelolaan dan pengolahan sumberdaya
alam yakni bertani, berladang, dan berkebun.
Daerah pesisir atau wilayah kota bagian utara dan sebagian bagian timur
merupakan wilayah perkotaan (urban). Aktivitas masyarakat berkembang
mengikuti kegiatan di dalam kota. Pusat Kota Semarang mempunyai kepadatan
pemukiman penduduk tinggi. Sebagian wilayah perkotaan berkembang menjadi
area industri, sehingga sebagian besar lahan difungsikan untuk kepentingan
pengembangan kota. Proporsi ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan
air lebih sedikit (Gambar 10).

18

Gambar 10 Peta proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang
Penentuan Indeks
Penentuan indeks dilakukan dengan menentukan ambang batas untuk
masing-masing indikator. Tiap-tiap indikator dibagi menjadi empat kelas ambang
batas yang memiliki skor dari 1 sampai 4. Skor 1 menandakan bahwa suatu
indikator mempunyai pengaruh kecil terhadap terjadinya banjir, sehingga potensi
banjir di suatu wilayah kecil. Skor 4 menandakan bahwa suatu indikator
mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya banjir, sehingga potensi banjir di
suatu wilayah besar.
Tabel 5 Informasi iklim dan fisik untuk estimasi indeks potensi wilayah banjir
Indikator
Curah hujan tahunan (mm)

Ambang batas (threshold)
a. > 2500
b. 2000 – 2500
c. 1500 – 2000
d. < 1500
Curah hujan musim hujan (mm)
a. > 2000
b. 1500 – 2000
c. 1000 – 1500
d. < 1000
Curah hujan maksimum musim hujan a. > 300
(mm)
b. 225 – 300
c. 150 – 225
d. < 150
Kelerengan/slope (%)
a. < 15
b. 15 – 30
c. 30 – 45
d. > 45

Skor
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1

19

Ketinggian (m)

Bentuk DAS

Buffer sungai (m)

Tutupan lahan

Proporsi RTH (%)

a. < 150
b. 150 – 300
c. 300 – 450
d. > 450
a. Bentuk radial
b. Bentuk paralel
c. Bentuk memanjang
d. Daerah non-DAS
a. 0 – 30
b. 30 – 100
c. 100 – 250
d. > 250
Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
Vegetasi Jarang
Vegetasi Rapat
Badan Air
a. < 40
b. 40 – 60
c. 60 – 80
d. > 80

4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
0
4
3
2
1

(Sumber: Perdinan et al. 2015) (Modifikasi)
Potensi Banjir dan Evaluasi
Indeks akhir merupakan gabungan dari indeks iklim dan indeks fisik suatu
daerah. Indeks akhir menunjukkan potensi banjir pada suatu wilayah yang didapat
dari gabungan indikator iklim yakni curah hujan dan indikator fisik yang
berkontribusi untuk menyebabkan terjadinya banjir. Rentang nilai yang diperoleh
untuk indeks akhir potensi wilayah banjir Kota Semarang adalah 0.60 sampai 0.94.
Kategori tingkat potensi banjir berdasarkan nilai tersebut adalah tinggi dan sangat
tinggi. Kota Semarang secara keseluruhan dapat dinyatakan memiliki potensi
banjir yang tinggi. Daerah yang berpotensi banjir sangat tinggi adalah daerah yang
berdekatan dengan sungai dan pertemuan anak-anak sungai. Daerah yang
berwarna merah pada Gambar 11 merupakan daerah dengan tingkat potensi banjir
sangat tinggi. Daerah tersebut tersebar pada kota bagian barat daya, tengah kota,
dan sepanjang daerah pesisir.

20

Gambar 11 Peta indeks akhir potensi wilayah banjir Kota Semarang, gabungan
dari indeks fisik dan iklim
Hasil indeks akhir akan dievaluasi dengan dua peta bencana banjir yang
diperoleh dari BNPB dan data kejadian banjir Kota Semarang selama beberapa
tahun. Hal tersebut dilakukan untuk melihat kesesuaian metode dan hasil yang
diperoleh dengan kejadian banjir sebenarnya. Menurut peta bencana banjir dari
BNPB, daerah tergenang banjir berada pada daerah pesisir dan tengah kota
(Gambar 12).

Gambar 12 Peta bencana banjir Kota Semarang 7-8 Februari 2009
(Sumber: BNPB 2009)

21

Daerah tergenang banjir pada peta dibatasi oleh batas kecamatan. Daerah yang
terkena banjir dengan ketinggian genangan antara 100 – 200 cm meliputi beberapa
perumahan dan jalan di Kecamatan Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang
Utara, Semarang Timur, dan Semarang Selatan.
Daerah yang terkena banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang
pada tabel 4, dipetakan menjadi Gambar 13. Daerah yang tergenang banjir
ditunjukkan oleh warna biru. Kejadian banjir berdasarkan data kejadian banjir
Kota Semarang terjadi pada daerah tengah kota. Daerah tersebut merupakan
daerah pusat kota yang merupakan daerah pertemuan antara anak-anak sungai
DAS utama Kota Semarang.

Gambar 13 Peta bencana banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang
tahun 1990 sampai 2010
Hasil evaluasi secara visual indeks akhir dengan peta kejadian banjir Kota
Semarang menunjukkan kesesuaian. Daerah tengah kota yang merupakan daerah
genangan banjir, pada indeks akhir memiliki potensi banjir yang sangat tinggi.
Daerah pesisir atau wilayah kota bagian utara yang termasuk daerah genangan
banjir juga memiliki tingkat potensi banjir yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan
faktor fisik yang mempunyai pengaruh besar untuk terjadinya banjir. Topografi
yang landai serta jenis tutupan lahan yang didominasi oleh pemukiman dan area
industri menjadikan kurangnya daerah resapan air. Aliran permukaan (run off)
menjadi tinggi sehingga kemungkinan terjadinya genangan ketika curah hujan
tinggi semakin besar.
Indeks potensi banjir menunjukkan daerah-daerah yang berpotensi banjir
akibat banjir luapan sungai, baik banjir kiriman dari hulu maupun banjir lokal.
Banjir kiriman dan banjir lokal disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan
dan kurang memadainya sistem drainase (Marfai 2003).
Daerah tengah dan bagian utara kota memiliki potensi banjir sangat tinggi.
Daerah tersebut memiliki curah hujan lebih rendah dibanding dengan daerah
selatan kota. Namun dari kondisi fisik, daerah tersebut sangat berpotensi terjadi

22

banjir karena merupakan daerah dengan kelerengan landai, tutupan lahan yang
didominasi lahan terbangun, dan merupakan tempat pertemuan anak-anak sungai.
Banjir yang melanda daerah tengah dan utara kota adalah banjir kiriman. Curah
hujan tinggi di daerah hulu akan tertampung sebagai debit sungai dan mengalir
menuju hilir sungai. Debit sungai akan terakumulasi selama perjalanan dari hulu
ke hilir dan meluap jika kapasitas sungai tidak dapat menampung. Banjir kiriman
datang dari arah hulu di luar kawasan yang tergenang. Menurut Wismarini et al.
(2011), banjir kiriman secara periodik hampir setiap tahun terjadi dan melanda
daerah pertemuan anak-anak sungai di Kota Semarang.
Daerah kota bagian selatan berdasarkan indeks akhir memiliki potensi
banjir tinggi. Daerah Mijen mempunyai potensi banjir sangat tinggi. Banjir pada
daerah selatan kota merupakan banjir lokal atau banjir akibat genangan air yang
timbul dari daerah itu sendiri. Banjir terjadi di sekitar hamparan sungai.
Potensi wilayah banjir yang diperoleh dari indeks menunjukkan gabungan
kontribusi dari kondisi iklim dan fisik suatu wilayah. Ketika dilakukan upaya
mitigasi atau antisipasi terhadap kedua kondisi tersebut, maka dapat merubah
atau memperkecil potensi banjir di suatu tempat. Upaya mitigasi atau antisipasi
yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat terkait pengurangan risiko banjir
adalah memperbaiki saluran drainase dan tata ruang kota.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil indeks akhir potensi wilayah banjir menunjukkan rentang nilai 0.60
sampai 0.94. Kategori potensi banjir untuk Kota Semarang adalah tinggi dan
sangat tinggi. Daerah dengan potensi sangat tinggi tersebar pada kota bagian barat
daya, tengah kota, dan daerah pesisir.
Evaluasi indeks akhir dengan kejadian banjir Kota Semarang menunjukkan
hasil yang sesuai. Daerah dengan potensi banjir sangat tinggi berada di daerah
tengah kota dan sepanjang pesisir. Kondisi fisik dan karakteristik banjir yang
merupakan banjir kiriman berpengaruh besar terhadap tingkat potensi tersebut.
Daerah tengah kota merupakan daerah pusat kota yang merupakan daerah dataran
rendah, tempat pertemuan anak-anak sungai dengan kelerengan yang landai serta
tutupan lahan yang didominasi oleh pemukiman dan area industri.
Saran
Penelitian selanjutnya perlu adanya penambahan indikator flow
accumulation atau Topography Wetness Index (TWI) untuk mengoreksi indikator
topografi di daerah tinggi. TWI menggambarkan kondisi kebasahan atau
kemungkinan genangan yang merupakan fungsi akumulasi aliran dan kelerengan.

23

DAFTAR PUSTAKA
[Bakornas PB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2006.
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009. Jakarta (ID):
Perum Percetakan Negara Republik Indonesia.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2009. Peta Bencana Banjir di
Wilayah Kota Semarang. [terhubung berkala] http://geospasial.bnpb.go.id/wp