Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.

DAMPAK KENAIKAN HARGA DAGING SAPI TERHADAP
POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI
DI KABUPATEN BOGOR

ZULFATI RAHMA MAGISTRA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Kenaikan
Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Zulfati Rahma Magistra
NIM H14100105

ABSTRAK
ZULFATI RAHMA MAGISTRA. Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap
Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
SRI MULATSIH
Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun ketahanan
pangan dan menciptakan sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas adalah
pangan sumber protein hewani. Pemerintah menargetkan konsumsi pangan sumber
protein hewani sebesar 7.2 gram/kapita/hari pada tahun 2014. Sumber pangan protein
hewani dapat berasal dari produk peternakan atau perikanan seperti daging
ruminansia, unggas, ikan, telur dan susu. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola
konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor, menganalisis tingkat elastisitas
permintaan, dan melakukan simulasi untuk menganalisis dampak kenaikan harga
daging sapi. Data yang digunakan berasal dari SUSENAS 2012 dengan 1125 rumah
tangga di Kabupaten Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah analisis

deskriptif dan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil analisis
menunjukkan bahwa konsumsi kelompok daging jenis ruminansia memiliki sifat
sangat inelastis dan memiliki tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan
pangan protein hewani lain. Masyarakat di Kabupaten Bogor lebih banyak
mengkonsumsi daging ikan dibandingkan daging ruminansia. Kenaikan harga daging
sapi dapat membuat konsumsi masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani
lain menurun. Konsumsi pangan protein masyarakat di Kabupaten Bogor telah
memenuhi target yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kata kunci: AIDS, inelastis, pola konsumsi, protein hewani, SUSENAS

ABSTRACT
ZULFATI RAHMA MAGISTRA. The Impact of Increasing Price of Beef on Food
Consumption Patterns of Animal Protein Sources in Bogor Regency. Supervised by
SRI MULATSIH.
One kind of food which has important role in developing the food security and
create human resources who has healthy quality is food animal proteins. The
government is targeting food consumption of animal protein as much as 7.2 g/capita/
day in 2014. Food sources of animal protein can be derived from livestock or fishery
products like ruminant meat, poultry, fish, eggs, and milk. This study aims to analyze
the pattern of household consumption in Bogor Regency, analyze the level of demand

elasticity, and perform simulations to analyze the impact of higher prices for meat.
The data used comes from SUSENAS 2012 with 1125 households in Bogor Regency.
The analytical method used was descriptive analysis and model of Almost Ideal
Demand System (AIDS). The analysis showed that the type of ruminant meat
consumption group was very inelastic and have a lower level of consumption than
other animal protein foods. People in Bogor Regency consume more fish than
ruminant meat. Increasing the prices of beef could make other public consumption for
food source of animal proteins is down. Food protein consumption for the people of
Bogor regency have met the target set by the government
Keywords: AIDS, animal protein, consumption patterns, inelastic, SUSENAS

DAMPAK KENAIKAN HARGA DAGING SAPI TERHADAP
POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI
DI KABUPATEN BOGOR

ZULFATI RAHMA MAGISTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi
Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.
Nama
: Zulfati Rahma Magistra
NIM
: H14100105

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr
Dosen Pembimbing


Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 ini ialah
pola konsumsi, dengan judul Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola
Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah
memberikan bantuan, dukungan, dan semangat bagi penulis yaitu:
1. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen penguji utama dan
Bapak Deni Lubis, MA selaku dosen penguji perwakilan Komisi Pendidikan
yang telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis.
3. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik
serta seluruh keluarga atas doa, nasihat dan semangat yang diberikan.
4. Penghargaan penulis sampaikan kepada kakak Nursaidah yang telah banyak
membantu dalam pengolahan data serta memberi saran dan masukan yang
dibutuhkan bagi penulis.
5. Kepada Mba Ratna Dewanti dan Mba Dewi Rara selaku Staf Bagian
Konsultasi BPS Pusat yang telah membantu penulis dalam memperoleh data.
6. Kepada Nindya Shinta dan Heni Hindawati selaku rekan sebimbingan dan
teman seperjuangan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
7. Sahabat-sahabat penulis yaitu si kembar Ayu dan Dewi Budiyanti, Maria SF,
Dyah Ayu, Mutia R, Asiyah A, Gina R, dan Amalia P yang telah memberikan
doa, dukungan, dan semangat kepada penulis.
8. Kepada Teman-teman ESP 47 atas semangat dan dukungannya kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.


Bogor,

Maret 2014

Zulfati Rahma Magistra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4


Ruang Lingkup Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

4

Teori Perilaku Konsumen
Konsep Elastisitas
Almost Ideal Demand System (AIDS)
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN

4
5
7
8

9
10
11

Jenis dan Sumber Data
Pengelompokkan Data
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis AIDS
Perhitungan Elastisitas Permintaan
Metode Simulasi harga
HASIL DAN PEMBAHASAN

11
12
12
12
12
13
14

14

Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani
Perhitungan Tingkat Elastisitas Harga dan Pengeluaran
Elastisitas Harga Sendiri
Elastisitas Harga Silang
Elastisitas Pengeluaran
Simulasi Dampak Perubahan Harga Daging Sapi
SIMPULAN DAN SARAN

14
17
17
18
19
20
25

Simpulan

25

Saran

26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

29

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di
Indonesia
2 Proporsi konsumsi kelompok pangan protein hewani
3 Proporsi konsumsi daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing
4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat
5 Proporsi pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani
masyarakat
6 Rata-rata harga komoditi kelompok pangan sumber protein hewani
7 Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran
8 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
5.5 persen
9 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
9.7 persen
10 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 5.5 persen
11 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 9.7 persen
12 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 5.5 persen
13 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 9.7 persen
14 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
50.8 persen
15 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 50.8 persen

1
15
15
16
16
17
18
21
21
22
22
23
23
24
24

DAFTAR GAMBAR
1 Efisiensi subtitusi dan efektifitas pendapatan pada kenaikan harga
2 Kerangka pemikiran penelitian

5
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perintah (editor) membuat model AIDS dalam program SAS
2 Estimasi regresi permintaan pangan protein hewani dari model AIDS
(output SAS)
3 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan secara umum
4 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan rendah
5 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan menengah
6 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan atas

29
30
34
35
36
37

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas. Salah satu upaya yang mendukung berkembangnya
kualitas SDM adalah menjaga kecukupan pangan konsumsi masyarakat. Pola
konsumsi masyarakat umumnya berdasarkan pada ketersediaan jenis pangan yang
dikonsumsi. Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun
ketahanan pangan dan menciptakan SDM yang sehat dan berkualitas adalah
pangan sumber protein hewani. Oleh sebab itu, konsumsi pangan sumber protein
hewani menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menargetkan konsumsi protein
hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014 (Ditjen Nak 2011). Penargetan
konsumsi protein hewani diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan protein
hewani asal ternak. Pangan sumber protein hewani dapat berasal dari produk
peternakan atau perikanan seperti daging jenis ruminansia, unggas, ikan, telur dan
susu.

Tabel 1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di
Indonesia (persen)
Jenis makanan
2008
Padi-padian
9.57
Umbi-umbian
0.53
Ikan
3.96
Daging
1.84
Telur dan susu
3.12
Sayur-sayuran
4.02
Kacang-kacangan
1.55
Buah-buahan
2.27
Minyak dan lemak
2.16
Bahan minuman
2.13
Bumbu-bumbuan
1.12
Konsumsi lainnya
1.39
*
Makanan jadi
1.44
Minuman beralkohol
Tembakau dan sirih
5.08
Jumlah makanan
50.17
Jumlah bukan makanan
49.83
Total
100
Sumber : BPS RI 2013 (diolah)
*
Termasuk minuman beralkohol

2009
8.86
0.51
4.29
1.89
3.27
3.91
1.57
2.05
1.96
2.02
1.08
1.33
*
12.63
5.26
50.62
49.38
100

2010
8.89
0.49
4.34
2.10
3.20
3.84
1.49
2.49
1.92
2.26
1.09
1.29
*
12.79
5.25
51.43
48.57
100

2011
8.37
0.48
4.12
2.19
2.86
3.72
1.31
2.06
1.79
1.93
1.02
1.07
*
11.83
5.73
48.46
51.54
100

2012
7.90
0.42
4.08
2.26
2.74
3.62
1.32
2.28
1.79
1.68
0.96
1.01
*
11.6
6.00
47.71
52.29
100

2
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran rata-rata per kapita
bahan pangan sumber protein hewani yaitu ikan, daging, telur dan susu
mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga tahun 2012. Proporsi
pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani tahun 2008 sebesar 17.77
persen. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi 18.66 persen dari total
pengeluaran pangan. Peningkatan tersebut juga berlangsung pada tahun 2010
hingga tahun 2012 dengan proporsi secara berurutan yaitu 18.74 persen, 18.92
persen, dan 19.03 persen.
Peningkatan pengeluaran pangan sumber protein hewani mencerminkan
peningkatan permintaan jenis pangan tersebut. Meningkatnya permintaan pangan
sumber protein hewani terutama pada permintaan daging menjadi salah satu
pendorong peningkatan impor terhadap daging sapi. Salah satu upaya untuk
mengendalikan impor daging sapi, Kementerian Pertanian membuat Program
Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 demi mewujudkan ketahanan
pangan ternak dengan berbasis sumber daya lokal dan menargetkan impor 10
persen dari kebutuhan daging sapi nasional (Kementan 2010).
Meningkatnya permintaan terhadap pangan protein hewani mendorong
masyarakat untuk lebih peka terhadap kenaikan harga yang terjadi pada pangan
protein hewani terutama pada kenaikan harga daging sapi. Sebab daging sapi
merupakan jenis pangan sumber protein hewani yang memiliki kandungan protein
paling besar yaitu 18.8 persen (per 100 gram) tetapi memiliki harga yang relatif
paling mahal dibandingkan jenis pangan protein hewani lainnya. Harga pangan
dapat memberi pengaruh besar terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
Pulau Jawa dengan jumlah penduduk terbanyak tahun 2010 yaitu sebesar
57.5 persen dari total penduduk Indonesia, menjadikan Pulau Jawa berpotensi
sebagai pusat konsumen pangan protein hewani. Selain itu, Jawa Barat sebagai
wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Pulau Jawa yaitu lebih dari 44 juta
pada tahun 2012 memiliki proporsi konsumsi sumber protein hewani yang relatif
besar yaitu ikan sebesar 2.94 persen, daging sebesar 2.53 persen, serta telur dan
susu sebesar 2.95 persen dari total pengeluaran makanan per bulan (BPS Jawa
Barat 2013). Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk terbanyak di Jawa
Barat yaitu lebih dari 5 juta jiwa atau 11.20 persen dari total penduduk di Jawa
Barat pada tahun 2012. Selain itu, Kabupaten Bogor juga memiliki proporsi
pengeluaran pangan sumber protein hewani yang relatif besar yaitu ikan sebesar 6
persen, daging sebesar 4 persen, telur dan susu sebesar 7 persen dari total
pengeluaran makanan per kapita sebulan pada tahun 2012 (BPS Kabupaten Bogor
2013).

Perumusan Masalah
Salah satu upaya pembangunan sumber daya manusia adalah melalui
peningkatan konsumsi pangan. Protein hewani menjadi salah satu jenis sumber
pangan yang dapat mendorong upaya tersebut. Konsumsi protein juga dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menjelaskan bahwa
meskipun pasar nasional semakin terbuka sebagai akibat dari proses globalisasi
ekonomi, tetapi harus menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat (DPR RI

3
1999). Kesejahteraan masyarakat dapat dipengaruhi oleh harga pangan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Harga kelompok pangan protein hewani jenis daging, terutama daging
ruminansia seperti daging sapi dapat memberikan pengaruh besar terhadap tingkat
konsumsi masyarakat sehingga pemerintah menetapkan adanya harga referensi.
Berdasarkan Permendag Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 harga referensi daging
sapi jenis potongan sekunder (secondary cuts) ditentukan sebesar Rp 76,000/kg.
Harga referensi digunakan sebagai patokan buka tutup impor. Ketika harga daging
sapi tidak sesuai dengan harga referensi maka impor ditunda hingga sesuai dengan
harga referensi (Kemendag 2013). Akibat meningkatnya nilai dollar menjadi Rp
12,000, pemerintah berencana untuk meningkatkan harga referensi menjadi Rp
91,200/kg. Meskipun Pemerintah telah menetapkan harga referensi tetapi harga
daging sapi terus berfluktuasi bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya
seperti peningkatan dari awal tahun 2013 sebesar Rp 86,000 menjadi lebih dari Rp
98,000 pada awal tahun 2014 (Kemendag 2014).
Harga daging yang cenderung meningkat setiap tahun dapat menurunkan
daya beli masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani. Terjadinya
kenaikan harga daging sapi dapat membuat konsumsi menurun sehingga
masyarakat cenderung mencari subtitusi pangan sumber protein hewani yang lebih
murah. Jika konsumsi masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani
menurun maka dapat mempengaruhi tercapainya target konsumsi protein hewani
sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014. Hal itu dapat mempengaruhi
keberhasilan dari kebijakan PSDS 2014 dan kesejahteraan masyarakat. Jika dua
barang diukur dengan unit yang berbeda maka tidak dapat dengan mudah
membandingkannya untuk menentukkan barang mana yang lebih rensponsif
terhadap kenaikan harga. Diperlukan suatu konsep yang dapat membandingkan
hal tersebut yaitu konsep elastisitas (Nicholson 2002).
Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis mengenai pola konsumsi dan
elastisitas permintaan terhadap komoditi pangan sumber protein hewani yaitu
daging, ikan, unggas, telur, dan susu di Kabupaten Bogor. Diharapkan bahan
pangan seperti ikan, unggas, telur, dan susu dapat melengkapi atau menggantikan
konsumsi dari daging jenis ruminansia yang relatif lebih mahal. Rumusan masalah
yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana tingkat elastisitas harga dan pengeluaran dari komoditi pangan
sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana dampak perubahan harga daging sapi terhadap pola konsumsi
komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Bogor.

4
2. Menganalisis tingkat elastisitas harga dan pengeluaran dari komoditi pangan
sumber protein hewani di Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis dampak perubahan harga daging sapi terhadap pola konsumsi
komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihakpihak terkait, diantaranya:
1. Bagi penulis, diharapkan mampu menerapkan serta mengembangkan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari selama di Perguruan Tinggi.
2. Bagi pelaku pasar, diharapkan para pelaku pasar dapat mengetahui kondisi
perkembangan konsumsi sumber pangan protein di Kabupaten Bogor
3. Bagi pemerintah, diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan secara
lebih tepat dalam memajukan dan mengembangkan sektor peternakan sehingga
konsumsi masyarakat terhadap sumber pangan protein dapat lebih stabil.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian menggunakan data cross section SUSENAS 2012 di Kabupaten
Bogor dan jumlah rumah tangga yang diteliti sebanyak 1125. Komoditi yang
diteliti meliputi daging jenis ruminansia (daging sapi, kambing dan kerbau),
unggas (daging ayam ras, ayam kampung dan daging unggas lainnya), ikan (ikan
segar/basah dan ikan asin/diawetkan), telur (tidak termasuk telur itik), dan susu.
Penelitian terhadap pola konsumsi di Kabupaten Bogor juga dibedakan
berdasarkan golongan pendapatan yaitu golongan bawah, golongan menengah
serta golongan atas berdasarkan rata-rata dan standar deviasi expenditure.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perilaku Konsumen
Individu memiliki keterbatasan pada anggaran pendapatan yang dimiliki
untuk memaksimumkan utilitasnya sehingga menyebabkan individu atau rumah
tangga harus menentukkan pilihan terhadap barang dan jasa yang akan mereka
konsumsi (Nicholson 2002)
Pada teori perilaku konsumen terdapat teori ordinal yang menyatakan bahwa
kegunaan tidak dapat dihitung tetapi hanya dapat dibandingkan. Dua pokok
bahasan penting teori ordinal adalah garis anggaran dan kurva indiferen. Garis
anggaran adalah garis yang menunjukkan seluruh kombinasi x dan y yang dapat
dibeli oleh rumah tangga dengan membelanjakan seluruh pendapatannya pada
harga x dan y tertentu dengan biaya yang sama besar. Sedangkan kurva indiferen
merupakan kurva yang menghubungkan titik-titik kombinasi konsumsi dua barang
yang memberikan tingkat kepuasan yang sama (Rahardja 2006).

5
Saat konsumen telah mengalokasikan seluruh pendapatannya untuk
konsumsi maka akan tercapai kondisi keseimbangan. Akibatnya dapat diketahui
tingkah laku konsumsi rumah tangga. Rumah tangga berusaha untuk
memaksimumkan kepuasan dengan mencapai kurva indiferen tertinggi dengan
anggaran yang dimiliki. Keseimbangan konsumsi rumah tangga terjadi pada titik
persinggungan antara kurva indiferen dan garis anggaran.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa jika harga barang X meningkat maka
garis anggaran bergeser ke kiri. Perpindahan dari titik maksimilisasi utilitas awal
(X*,Y*) dapat dianalisis dengan dua efek secara terpisah. Efek subtitusi
menyebabkan perpindahan ke titik B pada kurva indeferen awal (U1). Peningkatan
harga akan mengakibatkan hilangnya daya beli. Efek pendapatan menyebabkan
perpindahan ke kurva indiferen yang lebih rendah (U2). Efek pendapatan dan efek
subtitusi menyebabkan kuantitas X yang diminta turun akibat kenaikan harga.
Intersep Y pada garis anggaran tidak terpengaruh oleh perubahan harga X
(Nicholson 2002).
Kuantitas
per minggu

Y

U1

U2
B

Y**
Y*

Garis anggaran baru
Garis anggaran awal

0

X** XB

X*

X

Efek
Efek subtitusi
pendapatan

Gambar 1 Efek subtitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga

Konsep Elastisitas
Elastisitas merupakan sebuah ukuran perubahan persentase dalam satu
variabel yang diakibatkan oleh perubahan satu persen dalam variabel lainnya
dalam kondisi cateris paribus (Nicholson 2002). Konsep elastisitas ini memiliki
tiga jenis yaitu elastisitas harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas harga
silang.

6
Elastisitas harga permintaan dimaksudkan untuk mengukur tanggapan
perubahan harga (P) yang mengarah pada jumlah barang yang akan dibeli (Q).
Nicholson (2002) mendefinisikan elastisitas melalui persamaan sebagai berikut:
Elastisitas Harga Permintaan (eQ,P) (Price Elastiscity of Demand)
eQ,P =

(1)

Saat eQ,P kurang dari -1 maka permintaan bersifat elastis yang artinya
kemungkinan harga memiliki pengaruh besar terhadap jumlah barang yang dibeli.
Sebaliknya, jika eQ,P lebih besar dari -1 maka permintaan bersifat inelastis yang
artinya harga tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta dan
kenaikan harga secara proposional lebih besar dari penurunan kuantitasnya.
Sedangkan jika eQ,P sama dengan -2 maka permintaan bersifat unitary elastis
(tidak ada perubahan). Contohnya nilai eQ,P adalah -1 artinya kenaikan harga
barang sebesar 1 persen menyebabkan penurunan kuantitas sebesar 2 persen.
Barang-barang yang mempunyai banyak subtitusi yang mirip adalah jenis
barang yang memiliki efek subtitusi besar sebagai akibat perubahan harga-harga.
Untuk barang-barang jenis ini dapat diperkirakan bahwa permintaannya relatif
elastic (eQ,P < -1). Sedangkan barang-barang yang tidak banyak mempunyai
subtitusi, memiliki efek subtitusi yang kecil jika harganya berubah. Permintaan
jenis barang ini diperkirakan bersifat inelastis dalam merespon harga (eQ,P > -1
berada antara 0 dan -1).
Elastisitas harga dari permintaan dapat digunakan untuk mengevaluasi
berapa perubahan pengeluaran total untuk suatu barang, sebagai respon terhadap
berubahan harganya. Jika permintaan elastis, kenaikan harga akan menyebabkan
pengeluaran total turun. Sedangkan saat permintaannya inelastis, kenaikan harga
akan menyebabkan pengeluaran total meningkat. Kenaikan harga dalam situasi
inelastis tidak menyebabkan pengurangan yang cukup besar pada kuantitas yang
diminta dan pengeluaran total akan meningkat.
Elastisitas pendapatan permintaan menjelaskan hubungan antar perubahan
pendapatan dan perubahan kuantitas yang diminta. Pada barang normal, eQ,I positif
karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang dan
untuk barang inferior eQ,I negatif, implikasinya bahwa peningkatan pendapatan
menurunkan kuantitas yang dibeli. Sedangkan barang-barang yang memiliki eQ,I
lebih besar dari 1 memungkinkan barang tersebut adalah barang mewah yang
artinya pembelian barang-barang tersebut meningkat lebih cepat dari pendapatan.
Misalnya, jika elastisitas pendapatan dari permintaan mobil adalah 2 maka
kenaikan pendapatan sebesar 10 persen dapat menyebabkan kenaikan pembelian
mobil sebesar 20 persen. Definisi umum diberikan dalam persamaan berikut:
Elastisitas Pendapatan Permintaan (eQ,I ) (Income Elastiscity of Demand)
eQ,I =

(2)

Konsep terakhir adalah mengenai elastisitas harga silang yang dapat
menjelaskan persentase perubahan kuantitas yang diminta (Q) sebagai akibat dari

7
perubahan 1 persen perubahan harga barang-barang lainnya (P’). Jika harga
barang-barang saling bersubtitusi, elastisitas harga silang dari permintaan akan
positif saat harga suatu barang dan kuantitas permintaan barang lain bergerak
dengan arah yang sama. Misalnya, elastisitas harga silang untuk perubahan harga
teh pada permintaan kopi sebesar 0.2. Artinya, setiap 1 persen kenaikan harga teh
mengakibatkan 0.2 persen kenaikan permintaan kopi, jika kopi dan teh merupakan
subtitusi dalam pilihan konsumsi seseorang. Jika dua barang bersifat
komplementer, elastisitas harga silang akan negatif yang menunjukkan bahwa
harga suatu barang dan kuantitas barang lain bergerak pada arah yang berlawanan.
Misalnya, elastisitas harga silang dari harga donat untuk permintaan kopi sebesar
-1.5 maka 1 persen kenaikan harga donat akan menyebabkan permintaan kopi
turun sebsar 1.5 persen. Elastisitas harga silang didefinisikan dengan persamaan
berikut:
Elastisitas Permintaan Harga Silang (eQ,P’) (Cross-Price Elastiscity of Demand)
eQ,P’ =

(3)

Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model AIDS mudah untuk diestimasi dan bentuk fungsinya lebih fleksibel.
Hal tersebut disebabkan retriksi-retriksi dari model seperti addivitas, homogenitas,
dan simetri dapat diuji secara statistik (Deaton dan Muellbauer 1980). Model
permintaan ini mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan
seperangkat komoditi secara bersama-sama sehingga hubungan silang dua arah
antara dua komoditi dapat ditentukan.
Deaton dan Muellbauer (1980) menunjukkan bahwa model AIDS
merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem
permintaan, memenuhi aksioma pemilihan dan agregasi dari konsumen tanpa
perlu mengasumsikan kurva Engel paralel, mempunyai bentuk fungsional yang
konsisten dengan anggaran rumah tangga, dapat menguji retriksi homogenitas dan
simetrik, serta parameternya mudah diduga tanpa harus menggunakan metode
nonlinier (Anindita 2008).
Permulaan dari model AIDS adalah fungsi pengeluaran, e(u,p), yaitu jumlah
minimalisasi dari pendapatan yang dikeluarkan untuk mencapai tingkat kepuasan
u saat harga sebesar p. Fungsi expenditure AIDS yaitu:
lne(u,p) = α0 + ∑ k lnpk + ⁄ ∑ ∑ *kj lnpklnpj + u 0 k pk k
(4)
secara mudah dapat diperiksa bahwa e(u,p) homogenitas linier dalam p (sebagai
gambaran preferensi) yang dipenuhi oleh :
= 1, Σj *kj = Σk *kj = Σj j = 0
(5)
Fungsi permintaan dinyatakan dalam bentuk bagian share of expenditure
yang diturunkan dari fungsi expenditure dari Hicksian demand. Diferensialkan
persamaan tersebut terhadap pi maka menghasilkan persamaan:
= wi
(6)
Dimana wi adalah proporsi pengeluaran komoditi i sehingga penurunan logaritmik
dengan proporsi pengeluaran sebagai fungsi dari harga dan utilitas adalah:

8
wi (u,p) = αi + Σj ij ln pj + i 0u k pk k
(7)
*
*
(8)
ij = ⁄ ( ij +
ji )
Untuk maksimisasi utilitas konsumen, pengeluaran total (x) harus sama
dengan e(u,p) dan dari persamaan tersebut dapat dibalikkan untuk mendapatkan u
sebagai fungsi dari p dan x. Apabila kita melakukan hal tersebut pada persamaan
(4) dan mensubtitusi hasilnya ke persamaan (7) akan didapatkan fungsi
permintaan AIDS dalam bentuk proporsi pengeluaran :
wi (p,x) = αi + Σj ij lnpj + i ln(x/p)
(9)
nilai x/p adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga p. Indeks harga (p)
didefinisikan sebagai berikut:
lnp = α0 + ∑ k lnpk + ⁄ ∑ ∑ *kj lnpklnpj
(10)
sehingga secara umum, model permintaan AIDS adalah:
wi = (αi- iα0)+Σj ij lnpj+ i[ln x- ∑ k ln pk- ⁄ ∑ ∑ kj lnpklnpj]
(11)
Persamaan (11) menyajikan fungsi permintaan yang konsisten jika
memenuhi retriksi-retriksi berikut:
Adivitas
: Σi αi = 1 , Σi ij = 0 , Σi i = 0
(12)
Homogenitas : Σj ij = 0
(13)
Simetri
: ij = ji
(14)
Berdasarkan persamaan (12) terlihat bahwa model AIDS adalah model
nonlinier akibat adanya penggunaan indeks harga (p). perlu dilakukan pendekatan
terhadap indeks harga (p) agar dapat diestimasi secara linier dengan
mengeksploitasi hubungan kolinierita antar harga. Salah satunya dengan
menggunakan indeks price stone (ln p* = Σkwkpk) sehingga model AIDS menjadi:
wi = α*i + Σj ji lnpj + i ln(x/p*)
(15)
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai pola konsumsi menggunakan metode AIDS
yang diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer tahun 1980 antara lain:
Nugraha (2001), menganalisis diversi pangan pokok Indonesia
menggunakan data SUSENAS 1999 untuk komoditi pangan beras, jagung, ketela,
ubi jalar, kentang dan tepung. Penelitian menggunakan model AIDS dengan
metode Ordinary Least Square (OLS) dan Seemingly Unrelated Regression
(SUR). Berdasarkan hasil analisis, semua jenis komoditi pangan merupakan
barang normal. Untuk komoditi kentang dan tepung yang secara umum
merupakan barang normal berubah menjadi barang inferior bagi golongan
pendapatan sedang. Permintaan pangan pokok di pedesaan lebih responsif
terhadap perubahan pendapatan dibanding di perkotaan kecuali pada beras dan
jagung. Terdapat hubungan subtitusi yang kuat antara beras dengan ketela, jagung,
dan kentang. Berdasarkan pendugaan parameternya, secara umum peubah
pengeluaran pangan kurang berperan terhadap proporsi pengeluaran.
Eakins JM dan Gallagher LA (2003), menggunakan model AIDS untuk
menentukan model keseimbangan jangka panjang dan dinamika jangka pendek
melalui mekanisme error correction. Prosedur estimasi ini diterapkan pada
permintaan untuk alkohol di Irlandia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bir

9
memiliki harga yang inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
namun wine memiliki harga yang elastis pada jangka pendek dan jangka panjang.
Jabarin dan Al-Karablieh (2011), tujuan utama penelitian ini adalah
memperkirakan berbagai jenis elastisitas permintaan sayuran segar yang
dikonsumsi di Yordania. Penelitian menggunakan estimasi Linear Approximate
Almost Ideal Demand Systems (LA-AIDS) untuk tanaman sayuran dengan
menggunakan data cross section dari survei pengeluaran rumah tangga pada tahun
2005. Hasil penelitian menunjukkan elastisitas harga sendiri memiliki nilai negatif
dan signifikan secara statistik. Elastisitas pengeluaran tomat, timun, dan kentang
adalah barang normal. Elastisitas kacang hijau yang tertinggi dan permintaan
untuk biji sangat responsif terhadap perubahan harga. Tingginya elastisitas harga
sendiri pada sayuran menunjukkan bahwa setiap perubahan harga tanaman bisa
membawa perubahan yang signifikan pada buah-buahan dan pola konsumsi
sayuran.
Jiumpanyarach (2011), meneliti permintaan lima komoditi pertanian di
Thailand dengan menggunakan model AIDS untuk memperkirakan respon
kuantitas terhadap harga. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan permintaan
sawit, singkong, dan gula responsif terhadap perubahan harga. Sedangkan karet
dan beras memiliki respon yang kurang terhadap perubahan harga. Hal tersebut
akan mempengaruhi pengeluaran ekspor di Thailand dan dapat meningkatkan
pasokan tanaman sehingga menguntungkan bagi petani Thailand untuk
memperluas pangsa pasar domestiknya terhadap komoditi tersebut.
Tash et al (2012), menganalisis perhitungan harga dan sensitivitas
pendapatan dari permintaan barang konsumsi di rumah tangga pedesaan selama
periode 1971-2008 dengan menggunakan model Linier Almost Ideal Demand
System (LAIDS) dan Iterative Seemingly Unrelated Regressions (ISUR). Hasil
penelitian menunjukkan elastisitas harga dengan sensitivitas tertinggi adalah
kelompok transportasi dan sensitivitas terendah pada kelompok sandang.
Elastisitas pendapatan positif untuk semua kelompok komoditas menunjukkan
bahwa semua kelompok komoditas adalah barang normal untuk konsumen
pedesaan. Nilai elastisitas ini menunjukkan bahwa kelompok makanan, tempat
tinggal dan kesehatan memiliki elastisitas pendapatan kategori barang normal dan
elastisitas pendapatan kelompok pakaian, furniture, dan transportasi dikategorikan
barang mewah.

Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan mengenai Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi
terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor
memiliki beberapa perbedaan dari penelitian-penelitian terdahulu. Pertama,
produk yang dianalisis terdiri dari lima komoditi sumber pangan protein hewani
yaitu daging ruminansia, ikan, unggas, telur, dan susu yang mempunyai potensi
dalam mensubtitusi komoditi daging. Kedua, cakupan wilayah penelitian di
Kabupaten Bogor. Ketiga, data yang digunakan berdasarkan data cross section
SUSENAS 2012 dengan membagi ke dalam tiga golongan pendapatan. Keempat,
dilakukan simulasi terhadap harga untuk mengetahui pengaruh dari kenaikan
harga.

10
Kerangka Pemikiran
Terjadinya peningkatan proporsi pengeluaran terhadap konsumsi pangan
sumber protein hewani secara tidak langsung mengartikan bahwa permintaan
terhadap pangan sumber protein hewani juga meningkat. Peningkatan tersebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah dalam menargetkan
pemenuhan konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari
pada tahun 2014. Target tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
SDM dan ketersediaan protein hewani asal ternak. Terjadinya kenaikan harga
daging sapi tiap tahunnya menjadi salah satu kendala bagi pemerintah dalam
memenuhi target konsumsi pangan sumber protein hewani. Secara tidak langsung
menurunkan daya beli serta mendorong masyarakat untuk mencari alternatif
pangan yang dapat mensubtitusikan konsumsi daging sapi. Akibatnya, diperlukan
diversifikasi terhadap konsumsi pangan sumber protein hewani dengan wilayah
penelitian di Kabupaten Bogor.
Penelitian mengenai pola konsumsi masyarakat dilakukan untuk mengetahui
diversifikasi pangan sumber protein. Analisis mengenai pola konsumsi
masyarakat dijelaskan dengan metode deskriptif. Setelah itu dilakukan analisis
kecukupan konsumsi setara protein hewani dan dibandingkan dengan target
pemerintah dalam pencapaian konsumsi pangan protein hewani sebesar 7.2
gr/kapita/hari.
Dianalisis pula tingkat elastisitas lima komoditi pangan sumber protein
hewani yaitu daging ruminansia, unggas, ikan, telur, dan susu. Tingkat elastisitas
dihitung dengan menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS).
Tujuannya agar dapat mengetahui sifat dan karakteristik dari komoditi yang
diteliti serta dapat diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pangan
sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor.
Adanya kenaikan harga daging sapi menjadi dasar dalam melakukan analisis
dampak kenaikan harga daging sapi terhadap konsumsi pangan sumber protein.
Simulasi kenaikan harga daging sapi dilakukan pada periode tertentu berdasarkan
hasil perhitungan pada model AIDS. Selanjutnya dihitung tingkat kecukupan
konsumsi setara protein hewani pada setelah adanya kenaikan harga daging sapi.
Hasil perhitungan dibandingkan dengan pencapaian target pemerintah terhadap
konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui kecukupan
konsumsi pangan sumber protein hewani sebelum dan setelah terjadi kenaikan
harga daging sapi serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
pangan sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor. Diharapkan hal
tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam
menentukkan arah kebijakan yang lebih baik dan dapat mendukung tercapainya
program pangan pemerintah serta target konsumsi pangan sumber protein hewani
sebesar 7.2 gr/kapita/hari.

11

Peningkatan proporsi
pengeluaran pangan
sumber protein hewani

Peningkatan permintaan
pangan sumber protein
hewani

Target konsumsi pangan sumber
protein hewani sebesar 7.2
gr/kapita/hari

Diversivikasi pangan sumber protein
hewani di Kabupaten Bogor

Pola konsumsi pangan
sumber protein
hewani di Kabupaten
Bogor

Metode analisis deskriptif

Kecukupan
konsumsi pangan
sumber protein
hewani

Tingkat elastisitas harga dan
pendapatan pangan sumber
protein hewani di Kabupaten
Bogor

Model Almost Ideal Demand
System (AIDS)

Faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan pangan sumber protein
hewani di Kabupaten Bogor

Kenaikan harga
daging sapi

Dampak kenaikan harga
daging sapi pada
konsumsi pangan sumber
protein hewani

Simulasi harga
daging sapi

Kecukupan konsumsi
pangan sumber protein
hewani setelah kenaikan
harga daging sapi

Saran untuk kebijakan pemerintah

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data cross section meliputi konsumsi lima jenis pangan sumber protein
hewani yang akan dianalisis berdasarkan SUSENAS 2012 pada 1125 rumah
tangga berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta didukung data yang berasal
dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Data tersebut

12
mengenai proporsi pengeluaran makanan untuk komoditi protein hewani dan
harga komoditi pangan sumber protein di Kabupaten Bogor. Selain itu, terdapat
beberapa data pendukung lain yang diperoleh dari berbagai literatur serta sumbersumber lain yang relevan.
Pengelompokan Data
Penelitian dilakukan dengan membagi golongan pendapatan rumah tangga
yaitu rumah tangga golongan pendapatan rendah, menengah, dan atas. Pembagian
golongan pendapatan tersebut berdasarkan rata-rata dan standar deviasi
expenditure per kapita rumah tangga yaitu golongan pendapatan rendah dengan
rentang expenditure Rp 173,000–Rp 1,238,000/kapita/tahun, golongan pendapatan
menengah dengan rentang expenditure Rp 1,238,000–Rp 5,061,000/kapita/tahun
dan golongan pendapatan tinggi dengan rentang expenditure Rp 5,061,000–Rp
62,500,000/kapita/tahun.

Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan model Almost
Ideal Demand System (AIDS) untuk mengetahui parameter yang mempengaruhi
permintaan pangan dan elastisitas permintaannya. Data yang diperoleh diolah
dengan menggunakan software Microsoft Excel, SPSS, dan SAS (Statistical
Analitical System).
Analisis Deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menganalisis pola konsumsi dan permintaan
masyarakat di Kabupaten Bogor. Bertujuan untuk memberikan gambaran
pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor. Data
yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan untuk mempermudah
melakukan analisis. Analisis ini menggunakan software Microsoft Excel.
Analisis Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model fungsi permintaan dalam penelitian ini adalah model Almost Ideal
Demand System (AIDS). Analisis ini menggunakan bantuan software Microsoft
Excel, SPSS, dan SAS. Persamaan linier dari model AIDS adalah sebagai berikut:
wit = αi + Σj

ij

lnpj +

i

ln(

) + dit + єi

(16)

keterangan :
wit : proporsi pengeluaran untuk komoditi i terhadap total pengeluaran konsumsi
pj : harga komoditi j
x : pengeluaran total konsumsi pangan
lnP* = Σ wk lnpk adalah indeks price stone
wk: pengeluaran (budget share) komoditi k
αi, ij, i, φ, adalah parameter

13
ij : komoditi 1,β,γ,…n
dit : dummy pengeluaran (expenditure)
Harga agregat dari masing-masing kelompok makanan diperoleh sebagai
rata-rata tertimbang dari harga masing-masing komponen dalam kelompok yang
bersangkutan. Pangsa pengeluaran untuk masing-masing komponen digunakan
sebagai penimbang yaitu pk = Σ wIpI, dimana pk adalah harga agregat kelompok k,
wI adalah pangsa pengeluaran komoditi I dalam kelompok k dan pI adalah harga
komoditi I.
Secara spesifik fungsi proporsi pengeluaran model AIDS untuk kelompokkelompok pangan protein hewani adalah :
1. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 1 ruminansia (daging sapi)
w1t = α1 + 11 ln(p1) + 12 ln(p2) + 13 ln(p3) + 14 ln(p4) +
(17)
15 ln(p5) + 1 ln( ) + d1 + d2 + є1
2. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 2 ikan
w2t = α2 + 21 ln(p1) + 22 ln(p2) + 23 ln(p3) + 24 ln(p4) +
(18)
25 ln(p5) + 2 ln( ) + d1 + d2 + є2
3. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 3 unggas
w3t = α3 + 31 ln(p1) + 32 ln(p2) + 33 ln(p3) + 34 ln(p4) +
(19)
35 ln (p5) + 3 ln ( ) + d1 + d2 + є3
4. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 4 telur
w4t = α4 + 41 ln(p1) + 42 ln(p2) + 43 ln(p3) + 44 ln(p4) +
(20)
45 ln(p5) + 4 ln( ) + d1 + d2 + є4
5. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 5 susu
w5t = α5 + 51 ln(p1) + 52 ln(p2) + 53 ln(p3) + 54 ln(p4) +
(21)
55 ln(p5) + 5 ln( ) + d1 + d2 + є5
keterangan :
p1 : harga kelompok daging ruminansia
p2 : harga kelompok unggas
p3 : harga kelompok ikan
p4 : harga kelompok telur
p5 : harga kelompok susu
: pengeluaran total dibagi indeks price stone
d1 : dummy golongan pendapatan , 0 = miskin ; 1 = menengah atau atas
d2 : dummy golongan pendapatan, 0 = miskin atau menengah, 1 = atas
Perhitungan Elastisitas Permintaan
Untuk mencari nilai dari elastisitas permintaan diperoleh dari koefisienkoefisien regresi pada model dari hasil pendugaan yang dianggap benar. Analisis
ini menggunakan bantuan software Microsoft Excel dan SAS. Besaran elastisitas
permintaan yang dicari adalah elastisitas pengeluaran, elastisitas harga sendiri,
dan elastisitas harga silang. Berdasarkan Anindita (2008), rumus elastisitas
permintaan tersebut yaitu:
Elastisitas pengeluaran :
(22)

14
Elastisitas harga sendiri : eii =

(23)

Elastisitas harga silang : eij =

(24)

Metode Simulasi Kenaikan Harga
Simulasi dilakukan dengan menggunakan harga dasar yang berasal dari
harga komoditi daging jenis ruminansia hasil perhitungan sebesar Rp 83,676/kg.
Kemudian dibandingkan dengan harga rata-rata daging sapi lokal di Kabupaten
Bogor pada tahun 2013 sebesar Rp 88,304/kg sehingga terjadi kenaikan harga
sebesar 5.5 persen dan harga rata-rata daging sapi lokal hingga februari 2014
sebesar Rp 91,781 yang menyebabkan harga daging sapi naik sebesar 9.7 persen.
Lalu penulis melakukan perkiraan kenaikan harga daging sapi Rp 126,200/kg atau
kenaikan sebesar 50.8 persen untuk memperkirakan harga kenaikan maksimum
yang dapat ditetapkan pemerintah untuk dapat mencapai target konsumsi pangan
protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari. Metode simulasi ini menggunakan
bantuan software Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor
Pola konsumsi pangan protein hewani masyarakat dapat dijelaskan
berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap komoditi tersebut. Besarnya proporsi
pengeluaran dapat dipengaruhi oleh faktor harga komoditi dan jumlah komoditi
yang dikonsumsi. Berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga, jumlah rumah
tangga yang mengkonsumsi komoditi pangan sumber protein hewani terbesar
pada golongan pendapatan menengah dengan jumlah 789 rumah tangga.
Selanjutnya diikuti oleh golongan pendapatan rendah dengan jumlah 184 rumah
tangga, dan golongan pendapatan tinggi dengan jumlah 152 rumah tangga. Tabel
2 menunjukkan bahwa proporsi konsumsi pangan protein hewani rumah tangga
golongan pendapatan atas lebih besar dibandingkan dengan golongan pendapatan
menengah dan rendah.
Pada Tabel 2 dan Tabel 5 terlihat bahwa pangan sumber protein hewani
yang banyak dikonsumsi secara berurutan berasal dari kelompok ikan, telur,
unggas, susu, dan daging. Kecenderungan tersebut dapat terlihat karena adanya
pengaruh dari harga komoditi ikan, unggas, dan telur yang relatif lebih murah
dibandingkan komoditi yang berasal dari daging jenis ruminansia dan susu.
Besarnya proporsi konsumsi (Tabel 2) dan proporsi pengeluaran (Tabel 5)
menunjukkan bahwa semakin tinggi golongan pendapatan maka semakin besar
nilai proporsi konsumsi dan proporsi pengeluaran masyarakat terhadap komoditi
pangan sumber protein hewani.
Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi konsumsi komoditi golongan
pendapatan rendah, menengah dan golongan pendapatan tinggi memiliki urutan

15
yang sama dari yang banyak dikonsumsi yaitu ikan-telur-unggas-susu-daging.
Rumah tangga di golongan pendapatan rendah tidak mengkonsumsi komoditi
daging jenis ruminansia sehingga proporsi konsumsi untuk komoditi daging jenis
ruminansia bernilai nol. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat proporsi
konsumsi komoditi ikan paling besar dibandingkan komoditi protein hewani lain
yaitu sebesar 9.44 kg/kapita/tahun dan daging memiliki proporsi terkecil sebesar
0.38 kg/kapita/tahun.

Tabel 2 Proporsi konsumsi kelompok pangan protein hewani di Kabupaten Bogor
tahun 2012
Golongan pendapatan
Umum
Rendah
Menengah
Tinggi

Daging
0.379
0.000
0.167
2.036

Unggas
Ikan
Telur
(kg/kapita/tahun)
5.231
9.438
7.638
1.770
6.517
5.484
4.967
9.136
7.290
11.121
14.842
12.315

Susu
4.187
0.631
3.802
10.866

Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui besarnya proporsi dari daging sapi,
daging kerbau, dan daging kambing yang terdapat dalam daging ruminansia yang
dianalisis. Daging Sapi memiliki proporsi terbesar dari konsumsi daging jenis
ruminansia yaitu sebesar 92 persen, diikuti oleh daging kerbau dengan proporsi
5.72 persen, dan daging kambing memiliki proporsi terkecil sebesar 2.28 persen
dari total konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Bogor.

Tabel 3 Proporsi konsumsi daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing di
Kabupaten Bogor
Rata-rata
Komoditi konsumsi
Sapi
Kerbau
Kambing
Total

0.349
0.022
0.009
0.380

Nilai
Nilai
minimum
maksimum
(kg/kapita/tahun)
0
25.714
0
12.857
0
5.143
0
43.714

Proporsi
konsumsi
(%)
92.002
5.720
2.278
100

Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)

Pada Tabel 4 menunjukkan kecukupan konsumsi setara protein hewani per
kapita per hari di Kabupaten Bogor pada tahun 2012. Total konsumsi masyarakat
di Kabupaten Bogor terhadap pangan sumber protein hewani adalah 10.24
gr/kapita/hari. Jika dikaitkan dengan target pemerintah untuk mencapai konsumsi
pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014 maka

16
target tersebut dapat tercapai. Total konsumsi setara protein hewani terbesar
berada pada daging sapi sebesar 0.180 gr/kapita/hari dari total konsumsi daging
jenis ruminansia. Sedangkan secara keseluruhan total konsumsi setara protein
hewani terbesar berada pada konsumsi komoditi ikan sebesar 4.396 gr/kapita/hari.

Tabel 4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat di Kabupaten
Bogor tahun 2012

Sumber
protein
Sapi
Kerbau
Kambing
Unggas
Ikan
Telur
Susu
Total

Kandungan Proporsi
Proporsi
Total konsumsi
protein
konsumsi
konsumsi
setara protein
a
pangan
pangan
(%)
(kg/kapita/tahun) (gr/kapita/hari) (gr/kapita/hari)
0.349
0.956
0.180
18.8b
b
0.022
0.059
0.011
18.7
b
0.009
0.024
0.004
16.6
b
5.231
14.331
2.608
18.2
c
9.438
25.857
4.396
17.0
b
7.638
20.925
2.678
12.8
b
3.2
4.187
11.471
0.367
10.244

Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah); bSuyatno (2010); cRismayanthi (2011) (diolah)

Pada Tabel 5 menunjukkan proporsi pengeluaran konsumsi komoditi
pangan sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor secara umum
maupun berdasarkan golongan pendapatan secara berurutan yang banyak
dikonsumsi adalah ikan-telur-unggas-susu-daging. Sedangkan pada golongan
pendapatan tinggi memiliki urutan proporsi konsumsi ikan-susu-telur-unggasdaging. Secara umum komoditi ikan memiliki proporsi pengeluaran terbesar yaitu
44.52 persen dari total proporsi pengeluaran komoditi pangan sumber protein
hewani dan daging berada pada proporsi pengeluaran terkecil sebesar 1.67 persen.

Tabel 5 Proporsi pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani
masyarakat di Kabupaten Bogor tahun 2012
Golongan
pendapatan
Umum
Rendah
Menengah
Tinggi

Daging
1.679
0.998
1.085
7.109

Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)

Unggas
16.187
7.431
17.523
20.041

Ikan
(%)
44.518
64.256
43.053
27.312

Telur

Susu

23.771
24.941
24.088
20.525

13.844
3.372
14.252
25.013

17
Komoditi protein yang berasal dari kelompok ikan lebih banyak dikonsumsi
dibandingkan dengan komoditi yang berasal dari kelompok daging jenis
ruminansia. Kecenderungan pola konsumsi tersebut diperkirakan karena adanya
pengaruh harga relatif dari komoditi-komodoti pangan protein serta selera dan
kebiasaan konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor. Pada Tabel 6
menunjukkan bahwa komoditi yang memiliki harga relatif paling mahal adalah
kelompok daging jenis ruminansia sedangkan yang memiliki harga relatif paling
murah adalah kelompok telur.

Tabel 6 Rata-rata harga komoditi kelompok pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Bogor tahun 2012
Golongan
pendapatan
Umum
Rendah
Menengah
Tinggi

Daging
83676
83256
84651
83121

Unggas
28411
23375
27500
33141

Ikan
Telur
Susu
(Rp/kg)
35057
17656
42244
41613
15123
23125
33823
17351
38953
33037
21764
56317

Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)

Perhitungan Tingkat Elastisitas Harga dan Pengeluaran dari Komoditi
Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor

Elastisitas Harga Sendiri
Seluruh komoditi pangan sumber protein hewani yang dianalisis bersifat
inelastis dikarenakan elastisitas harga bernilai negatif atau kurang dari 1. Artinya,
perubahan terhadap harga tidak berpengaruh terlalu besar pada perubahan
permintaan terhadap komoditi yang bersangkutan. Berdasarkan sifat dari kurva
permintaan ketika terjadi kenaikan harga dari suatu komoditi maka menurunkan
permintaan komoditi tersebut.
Pada Tabel 7 menunjukkan besarnya elastisitas harga sendiri secara umum
pada komoditi daging jenis ruminansia sebesar -0.490, unggas sebesar -0.889,
ikan sebesar -0.979, telur sebesar -0.908, dan susu sebesar -0.915. Elastisitas
harga sendiri komoditi ikan memiliki nilai terbesar di semua golongan
pendapatan. Sedangkan komoditi daging jenis ruminansia memiliki nilai
elastisitas harga terkecil, artinya komoditi tersebut kurang sensitif terhadap
perubahan harga sendiri dan permintaannya cenderung lebih stabil terhadap
perubahan harga sendiri. Daging jenis ruminansia memiliki sifat yang paling
inelastis sehingga harga daging tidak banyak berpengaruh pada kuantitas
permintaan daging itu sendiri. Secara umum dapat diartikan saat elastisitas harga
komoditi ikan bernilai -0.98 yang artinya jika harga naik 10 persen maka
permintaan untuk kelompok komoditi ikan turun sebesar 9.8 persen.

18
Tabel 7 Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran di Kabupaten
Bogor tahun 2012
Kelompok
Pangan
Daging
Unggas
Ikan
Telur
Susu
Daging
Unggas
Ikan
Telur
Susu
Daging
Unggas
Ikan
Telur
Susu
Daging
Unggas
I