Disparitas Pembangunan Wilayah Dan Modal Sosial Di Provinsi Papua Barat

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Disparitas
Pembangunan Wilayah dan Modal Sosial di Provinsi Papua Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Michael Albert Baransano
NRP H162001131

RINGKASAN
MICHAEL ALBERT BARANSANO. Disparitas Pembangunan Wilayah dan
Modal Sosial di Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA
PUTRI, NOER AZAM ACHSANI dan LALA M. KOLOPAKING.

Gambaran makro perekonomian di Papua Barat menunjukan bahwa
terdapat perbedaan kontribusi yang besar antara PDRB kabupaten Manokwari,
kota Sorong, kabupaten Sorong dan kabupaten Fak-Fak dengan kabupaten
lainnya yang memberikan kontribusi paling rendah terhadap pembentukan PDRB
Papua Barat. Untuk itu, pembangunan di Papua Barat selayaknya dikembangkan
secara lebih intensif dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal
termasuk modal sosial dan sektor perekonomian (sektor basis dan non basis)
yang berpotensi memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian
dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.
Di era otonomi daerah, muncul berbagai dampak baik positif maupun
negatif yang menyertai pembangunan ekonomi wilayah di Papua Barat seperti
konflik horisontal antar kelompok dalam suatu wilayah ataupun antar wilayah
mengarah pada aktifitas anarkis yang sangat mengganggu keamanan dan
kenyamanan. Bila dilihat dalam sudut pandang modal sosial, hal tersebut
merupakan salah satu indikator melemahnya rasa percaya, norma-norma dan
jejaring yang selama ini ditaati oleh masyarakat. Melemahnya modal sosial akan
menyebabkan pembangunan wilayah tidak dapat berjalan efektif karena
tingginya biaya transaksi yang harus dikeluarkan sebagai subtitusi terhadap
modal sosial yang hilang.
Penelitian ini meliputi dua kajian, pertama terkait disparitas pembangunan

wilayah dilakukan di seluruh wilayah kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat,
kecuali beberapa kabupaten yang baru memekarkan diri (DOB) dikeluarkan dari
analisis karena belum tersedia data statistik (data sekunder/time series). Metode
analisis yang digunakan terdiri dari Indeks Entropi, LQ dan SSA, Indeks Theil
dan regresi linear berganda (data panel), sumber data adalah data sekunder yang
terdiri dari data PDRB, jumlah penduduk, PDRB per kapita, alokasi dana
perimbangan dan data IPM selama periode 2004-2014. Kajian kedua terkait
modal sosial dilakukan dengan data survey (data primer) terhadap responden di
Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong dengan menggunakan sistem skoring
pada kuisioner dan analisis regresi logistik berganda. Hasil penelitian
menunjukan bahwa perkembangan wilayah di provinsi Papua Barat yang diukur
dengan Indeks Entropi cederung menurun selama periode 2004-2014, kecuali
kabupaten Teluk Bintuni yang menunjukan peningkatan perkembangan
perekonomiannya secara signifikan. Secara keseluruhan perkembangan wilayah
(nilai entropi) di Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Manokwari dan
Kabupaten Fak-Fak dan Kabupaten Teluk Bintuni masih jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Tambrauw,
Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Raja Ampat. Hal ini menunjukan bahwa
meskipun mengalami trend penurunan namun wilayah-wilayah yang lebih tinggi
Indeks Entropinya paling berimbang dan terdiversifikasi perkembangan sektorsektor perekonomiannya dengan baik. Sektor pertanian, sektor pertambangan,

sektor jasa-jasa, sektor bangunan dan kontruksi serta sektor perdagangan, hotel

dan restoran meskipun memberikan kontribusi terbesar dan mendominasi
perkembangan perekonomian di Papua Barat selama periode 2004-2014 namun
kontribusinya terus mengalami penurunan selama periode tersebut. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya transisi dari sektor-sektor tersebut di atas ke sektor
industri dan jasa di Papua Barat kedepannya.
Hasil analisis dengan menggunakan metode LQ dan SSA menunjukan
bahwa sektor pertanian secara keseluruhan selama periode 2005-2014 masih
merupakan sektor andalan pembangunan wilayah dengan nilai LQ sebesar 1.91
artinya bahwa pembentukan PDRB Papua Barat selama periode tersebut masih
didominasi oleh sumbangsih dari sektor pertanian yang tersebar merata di
seluruh wilayah kabupaten kecuali Kabupaten Sorong dan Kota Sorong yang
memiliki nilai LQ1. Other sectors which
also provide the largest contribution after the agricultural sector is the sectors of
the building/construction, the services sector, the sector of trade, hotels and
restaurants, the sector of electricity, gas and water supply, the sector of transport
and communications as well as the sector of financial, leasing and business
services. Subsequent analysis using the SSA method to look at the
competitiveness of the sector in the region above (province) through a

differential shift value to explain that the economic sectors in West Papua vary in
each WP. The economic sector that had an ability of competitiveness in WP I
were sector of mining and quarrying (9.90), sector of the manufacturing industry
(6.95), sector of services (0.30) and sector of electricity and water supply (0.12).
At WP II, namely, sector of finance, ownership & business services (12.14),
sector of electricity and water supply (3.82), sector of construction (3.00), sector
of trade, hotel and restaurant (2.25), sector of mining and quarrying (1.75),
Sector of agriculture (1.36) as well as sector of transport and communication
(0.30). At WP III, namely, sector of mining and quarrying (0.98), sector of
services (0.51), sector of finance, ownership & business services (0.27), sector of
trade, hotel and restaurant (0.24) as well as sector of agriculture (0.19).
The results of the analysis of the disparities degree are measured by using
the Theil Index showed that the disparity in total in West Papua during the period
of 2005-2014 tended to increase where the results of the decomposition is seen
that the total disparity in West Papua is more influenced by disparities in the WP.
The tendency of the high level of disparity in the region affected by the alleged
inequality of proportion to the GDP per capita, distribution of population, the
funding balance allocation and the human development index.
The results also show that social capital has been linked to the disparity in
regional development in West Papua, based on data from a survey of residents in

West Papua (the municipality of Sorong and the regency of Manokwari) noted
that the value of social capital is greater (67.38) will be a positive influence in
reducing the level of regional development disparities. The test results using
multiple logistic regression showed that the sub-dimensional factor of trust has
opportunities to reduce disparity in regional development amounted to 18.75
times compared with the sub-dimension of norm and the sub-dimension of the
network.
Keyword :

regional development, leading sector, regional disparity, social
capital, west papua.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu malasah; dan penulisan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH DAN MODAL SOSIAL DI
PROVINSI PAPUA BARAT

MICHAEL ALBERT BARANSANO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup :


1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
DITSL Faperta IPB
2. Dr. Tumpak H. Simanjuntak, MA
Direktur Toponimi dan Batas Daerah
Kementerian Dalam Negeri Republik
Indonesia

Penguji pada Sidang Promosi :

1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
DITSL Faperta IPB
2. Dr. Tumpak H. Simanjuntak, MA
Direktur Toponimi dan Batas Daerah
Kementerian Dalam Negeri Republik
Indonesia

Judul Disertasi

:


Nama
NRP

:
:

Disparitas Pembangunan Wilayah dan Modal Sosial di
Provinsi Papua Barat
Michael Albert Baransano
H162110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS
Ketua

Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS
Anggota


Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Tanggal Ujian Tertutup

: 30 Juni 2016

Tanggal Sidang Promosi

: 8 Agustus 2016


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis penjatkan kehadirat Allah Bapa di Sorga atas
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah dalam
bentuk disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi yang berjudul “Disparitas
Pembangunan Wilayah dan Modal Sosial di Provinsi Papua Barat”, merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S3 dan memperoleh
gelar Doktor dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Eka
Intan Kumala Putri, MS selaku ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Noer
Azam Achsani, MS dan Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku anggota komisi
pembimbing yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk
mengarahkan dan membimbing penulis sejak proses penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Penghargaan dan terima

kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Papua dan Dekan Faperta
atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan
studi program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Pemerintah Provinsi Papua
Barat atas bantuan dana pendidikan maupun data dan informasi terkait penelitian
ini. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ketua PS. PWD dan staff dosen
di lingkup PS. PWD atas sharing pengetahuannya.
Ucapan terima kasih tak lupa disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa
S3 PWD-2011, S3 PWD-2010 dan alumni atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa
pascasarjana asal tanah papua, terima kasih atas kebersamaannya.
Akhirnya dengan segala rasa syukur dan hormat penulis mengucapkan
terima kasih kepada orang tua Bpk. P. Baransano, S.sos dan Ibu Nelly Suruan
(almh.) serta kepada isteri terkasih Fenny S. J. Asyerem, SP., M.Si dan anakanak tercinta Jaholyn, Efraim, Isaiah dan Michelle.
Bogor, Juli 2016
Michael A. Baransano

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

vi
viii
ix

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Umum Penelitian
1.4. Tujuan Khusus Penelitian
1.5. Manfaat Penelitian
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
1.7. Novelty

1
2
6
6
6
6
6

DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH
2.1. Konsep-Konsep tentang Disparitas Pembangunan Wilayah
2.2. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah
2.3. Sektor-Sektor Unggulan

7
9
9

PERKEMBANGAN MODAL SOSIAL
3.1. Konsep-Konsep tentang Modal Sosial
3.2. Modal Sosial dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah
3.3. Unsur dan Tipe Modal Sosial
3.3.1. Hubungan saling percaya (trust)
3.3.2. Norma (norm)
3.3.3. Jejaring (network) dan keterkaitan (linkage)
3.4. Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Hipotesis Penelitian
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.3. Metode Pengumpulan Data
4.4. Metode Analisis Data
4.4.1. Indeks Entropi
4.4.2. Location quotient (LQ)
4.4.3. Shift share analysis (SSA)
4.4.4. Indeks Theil
4.4.5. Analisis regresi linear berganda
4.4.6. Metode penentuan responden modal sosial
4.4.7. Metode penghitungan modal sosial dan subdimensi
modal sosial
Metode penghitungan subdimensi trust, norm dan
network
Regresi logistik berganda
4.5. Alur Pikir Langkah-Langkah Operasional Penelitian

10
11
12
12
12
13
13
15
15
15
16
16
16
17
17
18
18
19
20
20
20

5

6

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH DI
PROVINSI PAPUA BARAT
5.1. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Papua Barat
Tahun 2005-2014
5.2. Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Papua Barat
5.3. Tingkat Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua
Barat Tahun 2005-20014
5.4. Hasil Analisis Ekonometrika Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Disparitas Pembangunan Wilayah di
Provinsi Papua Barat
5.4.1. Uji normalitas
5.4.2. Uji multikolinearitas
5.4.3. Uji gejala heteroskedastisitas
5.4.4. Uji gejala autokorelasi
5.4.5. Uji-F (uji simultan)
5.4.6. Uji-t (uji parsial)
5.4.7. Koefisien determinasi (R2)
5.5. Konklusi

27
28
29
29
29
29
30
30
30
31

ANALISIS MODAL SOSIAL DI KABUPATEN MANOKWARI
DAN KOTA SORONG
6.1.
6.2.

6.3.
7

21
23

Skor modal sosial di Kabupaten Manokwari dan Kota
Sorong
Transisi subdimensi modal sosial di Kabupaten Manokwari
dan Kota Sorong
6.2.1. Subdimensi trust
Percaya kepada pemerintah
Percaya kepada aparat kelurahan, aparat RT/RW dan
kelompok masyarakat
Percaya kepada tetangga
6.2.2. Subdimensi norm
Sikap toleransi terhadap suku lain
Sikap toleransi kepada agama dan kegiatan
keagamaan lain
6.2.3. Subdimensi network
Partisipasi dalam organisasi sosial
Intensitas linking
Konklusi

KETERKAITAN MODAL SOSIAL DAN DISPARITAS
PEMBANGUNAN WILAYAH DI PROVINSI PAPUA BARAT
7.1. Hubungan antara tingkat disparitas wilayah dan modal
sosial di Provinsi Papua Barat
7.2. Pengaruh modal sosial terhadap disparitas pembangunan
wilayah di Papua Barat
7.3. Implikasi kebijakan pembangunan modal sosial dalam
mengurangi disparitas pembangunan wilayah di Provinsi
Papua Barat
7.4. Konklusi

32
33
33
34
34
35
36
36
36
37
37
38
38

39
41
44
45

8

SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan
8.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

46
46
47
50

DAFTAR TABEL
1.1.
1.2.
1.3.
3.1.
4.1
4.2.
5.1.
5.2.
5.3.
6.1.
6.2.
6.3.
6.4.
7.1.
7.2.
7.3.
7.4.

PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota
serta kontribusinya terhadap provinsi Papua Barat tahun 2007
Perbandingan nilai modal sosial dan kontribusi subdimensinya di
Papua Barat dan median stok modal sosial di beberapa wilayah
Indonesia dan nasional tahun 2009
Indeks Theil Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008
Definisi modal sosial
Tujan penelitian, metode analisis, variabel, sumber data output
penelitian
Sebaran nilai modal sosial di provinsi Papua Barat
Rata-rata nilai analisis location quontient per sektor di setiap
kabupaten/kota di provinsi Papua Barat tahun 2005-2014
Nilai shift share analysis di provinsi Papua Barat dalam dua titik
tahun 2009 dan 2014
Identifikasi sektor unggulan (comparative dan competitiveness)
berdasarkan kombinasi hasil analisis LQ dan SSA di provinsi
Papua Barat tahun 2005-2014
Persentase responden menurut sikap percaya
Persentase responden berdasarkan sikap toleransi
Persentase responden berdasarkan intensitas persahabatan
Persentase responden berdasarkan intensitas dalam organisasi
Tingkat disparitas wilayah dan besaran nilai modal sosial di
Provinsi Papua Barat berdasarkan data BPS tahun 2009 dan hasil
perhitungan Indeks Theil
Tingkat disparitas wilayah dan besaran nilai modal sosial di
Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong berdasarkan data survei
tahun 2014
Pengaruh modal sosial terhadap disparitas pembangunan wilayah
di Provinsi Papua Barat
Hasil analisis variabel subdimensi modal sosial (trust, norm,
network) terhadap keputusan responden mempengaruhi
disparitas pembangunan

2
5
11
10
16
20
24
25
25
34
36
37
37
40
40
41
42

DAFTAR GAMBAR
2.1.
2.2.
4.1.
4.2.
5.1.
5.2
5.3.

5.4.
5.5.
6.1.
6.2.
7.1.

Kurva Lorenz dan perhitungan Indekc Gini
Kurva disparitas pembangunan wilayah
Kerangka pemilihan sampel
Alur kerangka pemikiran penelitian
Trend nilai entropi wilayah kabupaten/kota di provinsi Papua
Barat tahun 2005-2014
Trend nilai entropi wilayah di provinsi Papua Barat tahun 20042014
Transisi sektor pertanian, sektor pertambangan/penggalian,
sektor jasa-jasa, sektor bangunan dan kontruksi serta sektor
perdagangan, hotel dan restoran di provinsi Papua Barat tahun
2005-2014
Trend nilai index theil tahun 2005-2014
Total disparitas dalam wilayah pengembangan dan antar wilayah
pengembangan
Besaran nilai modal sosial di Kabupaten Manokwari dan Kota
Sorong
Kontribusi nilai subdimensi modal sosial di Kabupaten
Manokwari dan Kota Sorong
Pengaruh modal sosial terhadap disparitas pembangunan wilayah
di Provinsi Papua Barat

7
8
19
21
21
22

23
27
28
32
33
41

1

I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Negara-negara berkembang sebagian besar mempunyai tujuan
pembangunan yang sama terutama dalam mengurangi disparitas pembangunan
wilayahnya. Strategi dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayah
dilakukan melalui upaya memerangi kemiskinan, mengatasi ketidakmerataan
distribusi pendapatan, mengurangi tingkat pengangguran, memenuhi standar
pendidikan yang layak bagi warga negaranya, tingkat pemenuhan kesehatan,
tempat tinggal yang layak serta tujuan pembangunan sosial dan ekonominya.
Terkait dengan tujuan-tujuan pembangunan dari negara berkembang, Todaro dan
Smith (2011) mengatakan bahwa permasalahan dan kesulitan yang sama juga
dihadapi oleh negara-negara berkembang dalam mengurangi disparitas
pembangunan wilayahnya meskipun dalam kadar yang berbeda-beda, misalnya
dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan per kapita, angkatan kerja ataupun
tingkat pengangguran. Tabel 1.1 berikut menggambarkan sepuluh negara dengan
jumlah penduduk paling banyak dan paling sedikit serta GNI per kapita, jumlah
angkatan kerja dan tingkat pengangguran.
Tabel 1.1 Sepuluh negara dengan jumlah penduduk paling banyak, GNI per
kapita, jumlah angkatan kerja dan tingkat penggangurannya tahun
2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Negara
berpenduduk
paling banyak
Cina
India
Amerika Serikat
Indonesia
Brasil
Pakistan
Nigeria
Bangladesh
Federasi Rusia
Jepang

Jumlah
penduduk
(juta orang)
1350
1236
313
246
198
179
168
154
143
127

GNI per
kapita
(US$)
6091
1503
51748
3556
11339
1256
2722
752
14037
46730

Jumlah angkatan
kerja
(juta orang)
861.3
355.8
177.7
126.2
117.8
43.6
80.7
88.2
81.5
61.1

Tingkat
pengangguran
(%)
4.5
3.4
8.1
6.6
6.9
5.1
7.5
4.5
5.5
4.3

Sumber : http://www.worldbank.org/data, 17 Juni 2014 [data diolah]
Tabel 1.1 di atas menunjukan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk
terbesar ke-4 didunia memiliki pendapatan per kapita jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Brasil (penduduk terbesar ke-5), Federasi Rusia (penduduk
terbesar ke-9) dan Jepang (penduduk terbesar ke-10). Hal ini memperlihatkan
bahwa jumlah penduduk tidak terlalu berkorelasi dengan pendapatan per kapita.
Demikian pula bahwa pendapatan per kapita tidak terlalu berkorelasi dengan
angkatan kerja dan pengangguran, misalnya Brasil dan Federasi Rusia memiliki
pendapatan yang hampir sama tingginya, tetapi jumlah angkatan kerja dan tingkat
pengangguran di Brasil jauh lebih tinggi dibanding Federasi Rusia. Hal yang sama
juga terlihat pada negara berkembang seperti Pakistan, Nigeria dan Bangladesh,
meskipun termasuk dalam sepuluh negara dengan jumlah penduduk terbesar di

2
dunia tetapi berbeda dalam pendapatan per kapita, jumlah angkatan kerja yang
tinggi (Nigeria dan Bangladesh) serta tingkat pengangguran yang berbeda pula.
Kesimpulannya bahwa negara-negara berkembang memiliki permasalahan dan
kesulitan yang sama dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayahnya
tetapi dalam kadar yang berbeda-beda.
Kecenderungan disparitas regional yang tinggi antara negara maju dan
negara berkembang dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kemajuan
pembangunan ekonomi (Williamson, 1965; Yemtsov, 2005; Elbers et al. 2005),
situasi politik dan desentralisasi fiskal (Lessmann, 2011), aksesibilitas (Hu, 2002)
serta faktor diskriminasi etnik dan kegagalan pasar seperti excessive migration,
(Mills dan Ferranti,1971; Boadway dan Flatters, 1982; Ascani et al. 2012).
Sementara Venables (2003) lebih fokus mengungkapkan bahwa ketimpangan
pembangunan di negara berkembang dipicu oleh konsentrasi sumberdaya alam
yang dimiliki oleh beberapa wilayah dibanding dengan wilayah lainnya yang
kurang memiliki sumberdaya alam. Lessmann (2011) selanjutnya mengatakan
bahwa issue diparitas regional sangat terkait erat dengan pembangunan ekonomi,
dimana negara-negara berkembang memiliki tingkat disparitas regional yang lebih
tinggi dibanding dengan negara-negara maju, seperti diketahui bahwa Indonesia
termasuk negara dengan tingkat disparitas pembangunan antar wilayah yang
tinggi, seperti yang disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Ketimpangan wilayah di Asia Timur dan Pasifik (coefficient of
variation dan gini-ratio) berdasarkan nilai GDP wilayah tahun 19802009.
Negara
Australia
China
Indonesia
Jepang
Korea Selatan
Mongolia
New Zealand
Pilipina
Thailand

Coefficient of
variation
0.15
0.68
1.23
0.13
0.10
0.57
0.09
0.51
0.88

Gini-ratio
0.09
0.33
0.46
0.07
0.06
0.30
0.08
0.29
0.43

Sumber : Lessmann, 2011
Lessman (2011), menggunakan data panel tahun 1980-2009 untuk
menganalisis tingkat ketimpangan antar wilayah di negara maju dan negara
berkembang dengan menggunakan perbandingan nilai coefficient of variation dan
gini-ratio. Data pada Tabel 1.2 di atas menunjukan bahwa di wilayah Asia Timur
dan Pasifik, Indonesia memiliki tingkat ketimpangan wilayah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara lainnya dimana nilai coefficient of variation
sebesar 1.23 dan gini-ratio sebesar 0.46, disusul kemudian oleh Thailand dengan
coefficient of variation sebesar 0.88 dan gini-ratio sebesar 0.43. Negara dengan
urutan ketimpangan wilayah terbesar ke-3 adalah China dengan nilai coefficient of
variation sebesar 0.68 dan gini-ratio sebesar 0.33, disusul kemudian oleh
Mongolia pada urutan ke-4 dan Pilipina diurutan ke-5 dengan nilai coefficient of
variation masing-masing sebesar 0.57 dan 0.51 serta nilai gini-ratio masing-

3
masing sebesar 0.30 dan 0.29. Sementara itu, negara-negara seperti Australia,
Jepang dan New Zealand menunjukan tingkat kestabilan dalam ketimpangannya
selama periode tersebut, sehingga Lessmann (2011) mengatakan bahwa disparitas
pembangunan wilayah selalu bervariasi antar negara sepanjang waktu, dengan
demikian sangat penting untuk melakukan investigasi terhadap faktor-faktor
penyebabnya.
Aspek lain yang sering lepas dari tahapan proses pembangunan adalah
peran modal sosial (social capital) yang sebenarnya merupakan aset yang melekat
dan terinternalisasi dalam kehidupan komunitas lokal yang sebenarnya merupakan
partisipan dalam pembangunan wilayah. Dikatakan oleh Hayami (2000) dalam
Rustiadi et al. (2009) bahwa pembangunan wilayah tidak dapat berjalan dengan
sempurna jika tidak dilakukannya perubahan-perubahan organisasi sosial dan
sistem nilai, karena produktifitas dari suatu sistem ekonomi dan pengelolaan
sumberdaya alam dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan yang ada di
masyarakat. Oleh karenanya Rustiadi et al. (2009) mengatakan bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah tidak hanya cukup dimaknai dengan
tingkat pertumbuhan dan produktifitas ekonomi serta kemajuan-kemajuan
dibidang fisik saja, tetapi juga harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya
masyarakatnya, seperti interaksi sosial, akses masyarakat pada pendapatan,
pendidikan, kesehatan dan proses demokrasi.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa modal sosial memberikan
kontribusi positif dalam pembangunan wilayah (Helliwell, 1996; Reimer et al.
2008; Karlsson, 2012; Vervisch, 2013), meskipun menurut Beugelsdijk dan
Smulders (2009) level modal sosial yang terlalu tinggi memberikan pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, karena banyaknya waktu yang terbuang
akibat tingginya intensitas modal sosial yang dibangun. Secara nasional stok
modal sosial tertinggi di Indonesia didominasi oleh kabupaten-kabupaten dari
wilayah Sulawesi yang menduduki peringkat 2 (dua) hingga 10 (sepuluh), kecuali
peringkat 7 (tujuh) yang ditempati oleh Kabupaten Pakpak Barat dengan stok
modal sosial sebesar 66.9. Sementara 10 (sepuluh) Kabupaten yang berada pada
peringkat terendah didominasi oleh kabupaten-kabupaten di wilayah Papua (BPS,
2009).
Pembangunan dalam skala nasional yang dilaksanakan selama ini ternyata
telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks.
Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi
makro,
cenderung
mengabaikan
terjadinya
kesenjangan-kesenjangan
pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap
dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (Busega
dan Postoiu, 2015). Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan
yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin
dicapai sebagai bangsa.
Sejak bergulirnya otonomi daerah di Indonesia, terlebih lagi otonomi khusus
bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paradigma baru pembangunan
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pengaruh yang
cukup luas dan signifikan dalam tata kehidupan masyarakat baik di tingkat
regional dan lokal. Wujud otonomi daerah adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
diperbaharui dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

4
(meliputi urusan absolute/wewenang pusat, urusan konkuren/antara pusat dan
daerah dan urusan umum/wewenang presiden) dan UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Secara harfiah otonomi daerah berarti hak, wewenang serta kewajiban
daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. Urusan pemerintahan sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun
2014 terdiri dari urusan absolute (wewenang pemerintah pusat) meliputi politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta
agama. Urusan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat serta desentralisasi urusan yang menjadi wewenang pemerintah
daerah, sehingga daerah juga memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya. Menurut Ellis dan Freeman (2005),
sumberdaya yang dimiliki biasanya mengacu kepada “asset” atau “capital” dan
dikategorikan kedalam lima tipe modal (capital) yaitu; human capital atau
sumberdaya manusia (skill, education, health), physical capital atau sumberdaya
fisik (produced investment goods), financial capital atau sumberdaya finansial
(money, saving, loan access), natural capital atau sumberdaya alam (land, water,
trees, grazing, etc) dan social capital (network and associations). Kewenangan
yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab tesebut diberikan kepada daerah
secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta potensi dan keberagaman daerah.
Pembangunan di tanah Papua selayaknya dikembangkan secara lebih
intensif dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal termasuk modal
sosial dan sektor perekonomian (sektor basis dan non-basis) yang berpotensi
memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upayaupaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di tanah Papua
telah secara intensif didorong melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat. Upaya-upaya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dan tantangan yang
dihadapi dalam pengelolaan pembangunan tanah Papua seperti sumber daya alam
yang melimpah dan hampir merata di semua wilayah, kawasan konservasi yang
luas dan merata, tingkat kemajuan antar wilayah yang timpang sehingga masih
banyak terdapat daerah-daerah yang tingkat ketertinggalannya masih tinggi,
kemiskinan yang relatif merata di seluruh wilayah, kualitas sumber daya manusia
yang rendah karena keterbatasan akses terhadap pelayanan pendidikan dan
kesehatan, prasarana dan sarana yang terbatas mengakibatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan dasar dari pemerintah daerah tidak optimal, serta kondisi
sistem usahatani lokal yang belum mampu mengadopsi teknologi pertanian
modern sehingga masih rentan terhadap perubahan iklim dan lingkungan biofisik
(Suzetta, 2009).
Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya
Barat. serta dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10

5
Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga Provinsi dan Inpres
Nomor 1 Tahun 2003, kemudian pada tanggal 18 April 2007 berubah nama
menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007. Provinsi
Papua Barat, memiliki luas wilayah sebesar 143185 km2 dari luas total 13 (tiga
belas) kabupaten yakni Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten
Fak-Fak, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten
Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Pegunungan
Arfak, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Teluk
Wondama dan 1 kota madya yaitu Kota Madya Sorong.
Sebagian besar aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan di
kabupaten/kota dirasakan sangat kurang akibat terbatasnya jaringan jalan, belum
adanya jaringan sentra produksi, terbatasnya sarana dan prasarana kebutuhan
dasar seperti air bersih, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, khususnya di pusatpusat pertumbuhan kawasan. Tabel 1.3 di bawah memperlihatkan bahwa terjadi
disparitas dalam pembangunan ekonomi di Kabupaten Manokwari, Kabupaten
Sorong, Kota Sorong dan Kabupaten Fak-Fak dibanding dengan kabupaten
lainnya bila dilihat dari aspek pendapatan (PDRB) terkait kontribusinya terhadap
PDRB Provinsi Papua Barat. Secara spasial keempat wilayah tersebut memiliki
aksesibilitas cukup tinggi karena berada pada jalur transportasi utama baik laut
dan udara yang merupakan pintu masuk dan keluar ke Provinsi Papua Barat.
Kabupaten Kaimana, Bintuni dan Raja Ampat, meskipun memberikan kontribusi
lebih kecil terhadap pembentukan PDRB provinsi tetapi PDRB per kapitanya
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Manokwari, hal ini disebabkan
karena jumlah penduduk sebagai pembagi PDRB lebih sedikit dibanding
Kabupaten Manokwari.
Tabel 1.3 PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta
kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat.
Luas wilayah
Kabupaten/
kota
Fak-Fak
Kaimana
Wondama
Bintuni
Manokwari
Sorong Selatan

Kab. Sorong
Raja Ampat
Kota Sorong
Jumlah

Jumlah
penduduk

PDRB atas dasar
harga konstan 2000

Km2

(%)

Jiwa

(%)

Nilai
(jutaan Rp)

(%)

14320.00
18500.00
12146.62
18637.00
14448.50
29810.00
28894.00
6084.50
344.49
143185.1

10.00
12.82
8.48
13.02
10.09
20.82
20,18
4.25
0.24
100

66254
41660
22936
53664
171222
60934
97810
40912
167589
722981

9.16
5.76
3.17
7.42
23.68
8.43
13.53
5.66
23.18
100

518795.35
310251.71
138569.69
469199.26
904559.08
210618.00
1636342.72
529366.78
1212764.48
5930467.07

8.75
5.25
2.34
7.91
15.25
3.55
27.59
8.93
20.45
100

PDRB Per
kapita
Nilai
(juta
(%)
Rp)
7.83 12.96
7.45 12.33
6.04 10.00
8.74 14.46
5.28
8.74
3.46
5.73
16.73 27.68
12.94 21.41
7.24 11.98
60.43
100

Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah)
Kondisi lainnya yang juga menunjukan perbedaan pembangunan (disparitas)
pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah
kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa,
perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten
Sorong, Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Fak-Fak. Kondisi seperti ini akan
menyebabkan terserapnya sumberdaya dari daerah pemekaran baru yang

6
merupakan daerah hinterland terhadap kabupaten/kota yang lebih maju
pertumbuhan dan pembangunan ekonominya.
Tabel 1.4 Disparitas sektor perekonomian pembentuk PDRB Provinsi Papua
Barat berdasarkan kabupaten/kota.
Kab/kota

Pertambang Industri
Listrik,
Pertanian
an dan pengolaha gas dan
penggalian
n
air bersih

Fak-Fak
160730.29
9182.73 32189.66 3730.38
Kaimana
176069.52
2410.50 33382.83 1179.36
Wondama
126260.01
890.56 1718.77 103.59
Bintuni
297083.27 12747.34 52314.8 509.73
Manokwari
341191.55 16182.04 33894.03 6487.35
Sorong Selatan 109582.31
3128.56 1051.43 1328.48
Kab. Sorong
252540.47 808055.27 473200.7 1428.02
Raja Ampat
173981.35 307860.46 1080.94 162.60
Kota Sorong
188791.28 14150.82 255548.4 12863.89
Papua Barat 1826230.05 1174608.28 884381.5 27793.40

Sektor perekonomian
Perdagang
Banguna
an, hotel
n/
dan
kontruksi
restoran
89589.32 80940.10
31845.63 38345.63
14088.34 8435.50
64805.24 20788.88
162398.4 111699.97
35582.86 30218.17
43732.91 37573.57
15398.35 12195.74
118737.3 310322.75
576178.3 650520.31

Pengangk
utan dan
komunikas
i
52023.63
17920.94
2311.86
7064.71
83430.78
11406.09
18285.77
5534.95
217856.6
415835.4

Keuangan,
perusahaa
n dan jasa
perusahaa
16294.44
4590.67
2184.47
5758.84
40330.93
2117.09
3767.62
745.71
73775.89
149565.7

Jasa-jasa

Total

106726.53
23608.64
6000.00
66885.47
194012.24
32597.53
142540.78
24211.76
140975.34
737558.29

551407.08
329353.72
161993.10
527958.28
989627.26
227012.52
1781125.07
541171.86
1333022.32
6442671.21

Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah)
Tabel 1.4 di atas menunjukan bahwa Kabupaten Sorong memberikan
kontribusi terbesar dari total sektor-sektor perekonomiannya terhadap
pembentukan PDRB Provinsi Papua Barat sebesar 1781125.07 disusul kemudian
oleh Kota Sorong sebesar 1333022.32. Kabupaten Manokwari sebesar 989627.26
dan Kabupaten Fak-Fak sebesar 551407.08. Kontribusi terendah sektor-sektor
perekonomian terhadap pembentukan PDRB Provinsi Papua Barat lebih banyak
diberikan oleh kabupaten-kabupaten pemekaran dengan sumbangsih terendah oleh
Kabupaten Teluk Wondama sebesar 161993.10.
Secara umum nilai IPM Papua Barat terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun namun ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat
dan ada yang lambat seperti pada kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran.
Data laporan tahunan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat tahun 2008
menyebutkan bahwa berdasarkan kesamaan pencapaian nilai IPM, posisi relatif
kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga)
kelompok. Kelompok IPM bawah yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Teluk
Bintuni, Manokwari, Raja Ampat dan Sorong Selatan, capaian rata-rata IPM pada
tahun 2006-2008 adalah 65 ke bawah. Kelompok IPM menengah terdiri dari
Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong dengan capaian
rata-rata IPM 2006-2008 antara 66-75. Kelompok IPM atas adalah Kota Sorong
dengan rata-rata capaian IPM 2006-2008 lebih dari 75.
Ketimpangan pada jumlah penduduk, PDRB dan PDRB per kapita juga
menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Kabupaten
Sorong misalnya, pada tahun 2008 memiliki nilai PDRB (atas dasar harga
berlaku) tertinggi di Papua Barat sebesar Rp 4.28 triliun disusul Kota sorong
sebesar Rp 2.15 triliun dan Kabupaten Manokwari sebesar Rp 2.03 triliun.
Kabupaten Wondama merupakan Kabupaten pemekaran dengan nilai PDRB
terendah sebesar Rp 0.27 triliun. Dari segi nilai PDRB per kapita, nilai tertinggi
berada pada Kabupaten Teluk Bintuni (Rp 16 juta), Kabupaten Fak-Fak (Rp 15.57
juta), Kabupaten Kaimana (Rp 14.31 juta) dan Kota Sorong (Rp 12.7 juta). Hal

7
ini disebabkan karena konsentrasi penduduk lebih banyak berada di Kabupaten
induk sehingga meskipun memiliki pendapatan yang relatif tinggi, PDRB per
kapitanya masih rendah.
Dana perimbangan pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) memberikan
kontribusi cukup besar bagi pendanaan pembangunan di kabupaten dan kota
maupun di Provinsi Papua Barat. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat
mengurangi disparitas fiskal horizontal, dimana DAU memiliki tujuan utama untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah guna membiayai kebutuhan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan
kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan khususnya yang merupakan prioritas pembangunan nasional.
Dana Bagi Hasil (DBH) sangat terkait erat dengan fiscal capacity yang merupakan
indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membantu
pembiayaan pemerintahan daerah yang dijalankan tanpa tergantung bantuan dari luar,
termasuk dari pemerintah pusat. Sehingga daerah diharapkan mampu mengalokasikan
sumber-sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong
adanya peningkatan investasi di daerah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi
wilayah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik
sehingga kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya
kapasitas fiskal daerah. Selama periode tahun 2005-2008 alokasi DAU Kabupaten
Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong dan
Kabupaten Sorong Selatan lebih besar dari alokasi pemberian DAU Kabupaten Raja
Ampat, Kabupaten Wondama dan Kota Sorong. Sementara untuk alokasi DAK
selama periode tersebut lebih besar alokasinya bagi Kabupaten Sorong Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Wondama dan
Kabupaten Fak-Fak.1
Perkembangan penelitian terkait dengan disparitas pembangunan wilayah
cenderung mengabaikan aspek modal sosial (hermeneutic syndrom). Para ekonom
dengan pendekatan konvensional selama ini hanya fokus pada natural capital,
physical capital dan human capital sebagai determinan pertumbuhan ekonomi
wilayah. Fokus kepada ketiga hal tersebut di atas telah mengabaikan aspek-aspek
utama yang turut mempengaruhi pembangunan ekonomi wilayah. Sehingga, Iyer et
al. (2005) mengatakan bahwa missing link dalam pertumbuhan ekonomi selama ini
adalah modal sosial. Kondisi disparitas pembangunan saat ini di Provinsi Papua Barat
merupakan situasi mendesak yang seharusnya mendapat prioritas terutama dengan
melibatkan peran modal sosial sebagai salah satu faktor determinan pembangunan
disamping faktor ekonomi lainnya. Investasi harus dilakukan terhadap kedua
determinan tersebut (modal sosial dan faktor ekonomi) secara bersamaan sehingga
dapat meningkatkan efektifitas pembangunan wilayah, artinya bahwa modal sosial
dapat berjalan dengan baik bila dikombinasikan dengan modal lainnya. Bordieu dan
Wacquant (1972) mendefinisikan modal sosial sebagai sumberdaya yang terbentuk
secara individu ataupun kelompok dengan kepemilikan jejaring yang kuat dalam
bentuk hubungan yang telah melembaga dan bersifat timbal balik (resiprocal).
Meskipun memiliki hubungan yang melembaga dan bersifat resiprocal, modal sosial
yang tinggi ataupun rendah dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif
terhadap disparitas pembangunan wilayah dan sebaliknya kemajuan pembangunan
wilayah berpengaruh dalam meningkatkan modal sosial ataupun menciptakan
1

http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk [juli 2010]

8
degradasi modal sosial, seperti yang dikatakan oleh Haridison (2013); Vipriantini
(2007) maupun Sakai (2012), bahwa aktor-aktor modal sosial dapat menciptakan
modal sosial atau dihancurkan oleh aktivitas-aktivitas lainnya. Hal ini menunjukan
bahwa modal sosial memiliki indikator yag beragam dan berbeda di setiap wilayah
sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan politik setempat.

1.2. Perumusan masalah
Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah terutama terjadi
antara perdesaan dan perkotaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara pusat-pusat
pertumbuhan dengan kawasan hinterland dan kawasan perbatasan, serta antara
Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Berbagai permasalahan
yang masih dihadapi pada tahun 2009 adalah masih terdapatnya ketimpangan
pembangunan antar wilayah di Indonesia. Indikasi ketimpangan pembangunan antar
wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan
ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2008 menunjukkan bahwa kemiskinan antar
pulau terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Bali, yaitu sebanyak 20.2 juta jiwa dan
berikutnya di Pulau Sumatera sebanyak 7.3 juta jiwa. Namun, secara persentase,
angka kemiskinan di DKI Jakarta menunjukkan angka yang paling kecil, yaitu hanya
sekitar 4.3%, sedangkan angka persentase kemiskinan di Papua mencapai persentase
terbesar, yaitu 37.1%. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti
pendidikan, kesehatan, dan air bersih juga terjadi antar wilayah. Data BPS tahun 2007
menunjukkan bahwa dominasi Provinsi di Jawa dan Bali sebagai pusat perekonomian
menguasai sekitar 60.20% dari seluruh PDRB, sedangkan Provinsi di Sumatera
menguasai sekitar 22.98%, Provinsi di Kalimantan menguasai 9.13%, Sulawesi
menguasai 4.09%, dan Provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3.61%.
Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2007
sebesar 6.17%, Provinsi di Sumatera sebesar 4.96%, Provinsi di Kalimantan 3.14%,
Provinsi di Sulawesi sebesar 6.88%, Provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
sebesar 5.04%. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan
yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar
wilayah (Mandala, 2014).
Percepatan pembangunan Provinsi Papua Barat merupakan kebijakan utama
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sehingga pada tahun
2015 diharapkan Provinsi Papua Barat akan bisa mengejar ketertinggalan dalam
pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs)2 dari Provinsi
lain di Indonesia.
2

adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan
butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan
pembangunan masyarakat pada 2015.Deklarasi Milenium ditandatangani oleh 147 kepala
pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New
York pada bulan September 2000 tersebut. Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan
Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi
Millenium PBB yang ditandatangani menyetujui agar semua negara: (1) menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua (3) mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan (4) menurunkan angka kematian anak (5) meningkatkan
kesehatan ibu (6) memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya (7) memastikan
kelestarian lingkungan hidup (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Kini MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap
perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

9
Di era otonomi daerah muncul berbagai dampak baik positif maupun negatif
yang menyertai pembangunan ekonomi wilayah di Provinsi Papua Barat.
Munculnya konflik-konflik horisontal antar kelompok dalam suatu wilayah
ataupun antar wilayah mengarah pada aktivitas anarkis yang sangat mengganggu
keamanan dan kenyamanan. Melihat dalam sudut pandang modal sosial, hal
tersebut merupakan salah satu indikator melemahnya rasa percaya, networking
dan norma-norma bersama yang selama ini ditaati oleh masyarakat. Mele