Perpisaham Meja Dan Ranjang Dalam Perkawinan Di Tinjau Dari Hukum Perdata (BW)

(1)

PERPISAHAN MEJA DAN RANJANG DALAM

PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM PERDATA (BW)

TESIS

OLEH

EPI SULASTRI

097011075/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERPISAHAN MEJA DAN RANJANG DALAM

PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM PERDATA (BW)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EPI SULASTRI

097011075/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Judul Tesis : PERPISAHAN MEJA DAN RANJANG DALAM

PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM

PERDATA (BW)

Nama Mahasiswa : Epi Sulastri

Nomor Pokok : 097011075

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 07 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Perpisahan meja dan ranjang pada hakikatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tampa mengakhiri ikatan perkawinan. Akibat hukum terpenting dari perpisahan meja dan ranjang antara pasangan suami isteri tersebut adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami isteri untuk tinggal bersama, dan dibidang harta perkawinan akibat hukumnya sama dengan perceraian. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 243 KUH Perdata (BW) yang menyatakan, “Perpisahan meja dan ranjang selamanya mengakibatkan perpisahan harta kekayaan dan karenanya merupakan alasan untuk mengadakan perpisahan persatuan, seolah-olah perkawinan telah dibubarkan”. Pengaturan perpisahan meja dan rajang dalam KUH Perdata (BW) diatur dalam bab kesebelas buku ke satu tentang orang, Pasal 233 sampai dengan Pasal 249 KUH Perdata (BW).

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pengaturan mengenai pisah meja dan ranjang dalam KUH Perdata (BW) khususnya dalam bidang perkawinan, akibat hukum terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang dan prosedur hukum pengajuan permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Kumpulan data diperoleh dari bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan terkait dengan pengaturan perpisahan meja dan ranjang. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, laporan-laporan serta artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum tersier terdiri dari kamus hukum, kamus umum, jurnal ilmiah, majalah yang terkait dengan penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research)yang berupa wawancara langsung dengan Panitera Pengadilan Negeri Medan dan juga beberapa orang pasangan suami isteri dari golongan timur asing Tiong Hoa dimana kehidupan perkawinannya sedang dalam masalah perceraian, yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai narasumber.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan pisah meja dan ranjang dalam perkawinan menurut KUH Perdata (BW) dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya suatu perceraian. Hal ini sejalan dengan asas yang terkadung didalam KUH Perdata (BW) yakni tidak menginginkan terjadinya suatu perceraian dalam perkawinan. Disamping itu akibat hukum yang timbul dari terjadinya pisah meja dan ranjang adalah sama dengan terjadinya perceraian. Perbedaanya hanya terletak pada masih utuhnya ikatan perkawinan dalam suatu perbuatan hukum pisah meja dan ranjang tersebut. Hasil penelitian lainnya adalah bahwa prosedur hukum tuntutan pisah meja dan ranjang adalah sama dengan prosedur hukum tuntutan perceraian. Perbedaanya adalah bahwa dalam pisah meja dan ranjang dibenarkan dilakukan


(6)

berdasarkan kesepakatan bersama antara pasangan suami isteri, sedangkan dalam perceraian tidak dibenarkan menurut KUH Perdata (BW) dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara suami isteri. Oleh karena itu pisah meja dan ranjang yang diatur dalam KUH Perdata (BW) agar dapat memperoleh kepastian hukum harus dikuatkan ruang lingkup pemberlakuannya melalui suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengingat KUH Perdata (BW) tidak lagi dipandang sebagai undang-undang. Lembaga pisah meja dan ranjang agar lebih disosialisasikan di pengadilan oleh hakim kepada para pasangan suami isteri yang hendak bercerai, agar tujuan pengaturan pisah meja dan ranjang dalam KUH Perdata (BW) sebagai pencegah terjadinya perceraian dapat tercapai. Disamping itu agar lebih jelas dan lebih terperinci prosedur hukum pengajuan tuntutan maupun permohonan pisah meja dan ranjang tersebut dalam hal tata caranya maka sebaiknya diatur dalam suatu produk peraturan perundang-undangnya yang khusus sehingga menimbulkan kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakannya.


(7)

ABSTRACT

Separation from bed and board is actually the separation between husband and wife without being divorced. The legal effect of the separation from bed and board between husband and wife means the lack of their obligation to live together in the same house, and this legal effect is also applicable to the joint property. This case is stipuated in Article 243 of the Civil Code (BW) which says, The separation from bed and board always causes the separation of property and this it is the reason for the separation of the couple as if there were a divorce. “The regulations of the separation from bed and board is stipulated in Chapter eleven, Book one about persons, from Article 233 until Article 249 of the Civil Code (BW). The problems which would be analyzed in this research were comprised of the regulations of the separation from bed and board in the Civil Code (BW). The problems which would be analyzed in this research were comprised of the regulations of the separation from bed and board in the Civil Code (BW), especially of marital status, the legal effects of the separation from bed and board, and the legal procedures of filing a claim for the separation from bed and board.

The type of this research was descriptive analytic by using judicial normative approach; it meant that this research referred to legal norms which were found in the legal provisions as the normative based which began with the general premise and ended in a special conclusion. The data were gathered from the primary law which consisted of norms or basic principles, basic regulations, and legal provisions concerning the separation from bed and board. The secondary law consisted of the results studies, reports, and articles which were correlated with this research. The tertiary law consisted of dictionaries of legal system, dictionaries, scientific journals, and magazines which were gathered by doing field research with direct interviews with the clerk of Medan District Court and with some people who had experienced the separation from bed and board as the source persons.

The result of the research showed that the regulations of the separation from bed and board in marriage, according to the Civil Code (BW) were intended to hamper a divorce. This was in accordance with the legal principle in the Civil Code (BW) which implicitly contained the prevention from a divorce. The emphasis was on the unimpaired bonds of matrimory. Another result of the research was that the legal procedure of filing a claim for the separation from bed and board was the same as the filing a claim for the divorce.

The difference was that the separation from bed and board was allowed to be claimed by the agreement between husband and wife, whereas a divorce, according to the Civil Code (BW), was not allowed to be claimed by the agreement between husband and wife, therefore, the separation from bed and board which was stipulated in the Civil Code (BW), in order to obtain legal certainly, should be broaden in its imposition through new legal provisions because the case of the separation from bed and board in the Civil Code (BW) was considered obsolete. The committee of the


(8)

separation from bed and board should be socialized by judges in courts to the couples who wanted to divorce so that the regulations of the separation from bed and board in the Civil Code (BW) could be implemented. Besides that, in order that the procedures of filing a claim for the separation from bed and board became clearer and more detailed, it was recommended that these procedures should be regulated in a special product of legal provisions so that the persons involved in the case would obtain legal certainty.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Perpisaham Meja Dan Ranjang Dalam Perkawinan Di Tinjau Dari Hukum Perdata (BW)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Pembimbing utama penulis, Bapak Notaris/PPATSyahril Sofyan, SH, MKn, selaku Pembimbing II penulis, IbuChairani Bustami, SH, SpN, MKn selaku selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, M.Hum yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(10)

2. BapakProf. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran yang membangun kepada penulis Tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bapak H. Sulaiman B dan Ibunda Hj. Cut Nursiah, yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, Ayah dan Ibu mertua, Bapak H. Rustam Rasyid Efendi SH, S.Pn dan Ibu Hj. Safni Rustam, yang telah memberikan bimbingan, perhatian dan doa yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta H. Revino Rustam, SH, serta ananda tersayang Nazwa Aura Fadillah dan serta kakanda H. Suheri, Hj. Linda Leni, dan aidinda Jupli serta sahabat terkasih Amelia Silvani, Melissa Harahap, Desy Melaroza, Desy Viviani, Nasriel Iskandar, Moses, Dani,juga kepada Staf bagian Pendidikan Magister Kenotariatan USU, Sari, Bu Fatimah, Lisa, Winda, Afni, Bang Iken, Bang Aldy dan Bang Rizal, yang selama ini telah memberikan semangat dan doa restu serta kesempatan untuk menimba ilmu


(11)

di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Juli 2011 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Epi Sulastri

Tempat/Tanggal Lahir : Meunasah Mancang Lhoksukon Aceh Utara/17 Juli 1982

Status : Kawin

Alamat : Jln. Makmur No. 8 Sei Agul Medan

II. KELUARGA

Nama Suami : H. Revino Rustam, SH Pekerjaan : Wiraswasta

Nama Anak Kandung : 1. Nazwa Aura Fadillah

III. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1991 s/d 1996 SD Negeri Mancang Ara - SLTP : Tahun 1996 s/d 1999

MTSN Lhokseumawe - SMU : Tahun 1999 s/d 2001

SMU Negeri 12 Medan Helvetia Medan - S1 : Tahun 2001 s/d 2006

Fakultas Hukum UMSU Medan

- S2 : Tahun 2009 s/d 2011Program Studi Magister Kenotariatan


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teori dan Konsepsi... 7

1. Kerangka Teori... 7

2. Konsepsi... 23

E. Metode Penelitian... 24

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 24

2. Alat Pengumpul Data ... 25

3. Analisis Data ... 25

BAB II.TIMBULNYA LEMBAGA PISAH MEJA DAN RANJANG DALAM PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN MENURUT KUH PERDATA (BW) ... 27

A. Pengertian Perpisahan Meja dan Ranjang Menurut KUH Perdata (BW) ... 27

B. Tujuan Diadakannya Lembaga Pisah Meja dan Ranjang dalam Pengaturan Hukum Perkawinan Menurut KUH Perdata (BW) .. 31

C. Pembubaran Perkawinan Setelah Perpisahan Meja dan Ranjang 42 BAB III. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI TERJADINYA PERISTIWA PISAH MEJA DAN RANJANG MENURUT KUH PERDATA (BW)……… 53


(14)

A. Ruang Lingkup Lembaga Pisah Meja dan Ranjang Menurut

KUH Perdata (BW)………. 53

B. Akibat Hukum Terjadinya Pisah Meja dan Ranjang Menurut KUH Perdata (BW)………. 63

BAB IV. PROSEDUR HUKUM TUNTUTAN PISAH MEJA DAN RANJANG MENURUT KUH PERDATA (BW)………... 76

A. Prosedur Hukum Tuntutan Pisah Meja dan Ranjang Berdasarkan alasan –alasan yang Telah Ditetapkan Menurut KUH Perdata (BW)……….. 76

B. Prosedur Hukum Tuntutan Pisah Meja dan Ranjang Berdasarkan Permintaan bersama Suami-Istri………. 96

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...103

A. Kesimpulan ...103

B. Saran ...104

DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR ISTILAH

BW : Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

RBg : Rechtsreglement Buitengewesten (Ketentuan Pengganti Berbagai Peraturan yang Berlaku hanya suatu Daerah Tertentu)

Rv : Reglement op de Burgerlijkke Rechtsvordering

WvK : Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang)

WvS : Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Stbl : Staatsblad (Lembaran Negara)

IS : Indische Staatsregeling (Peraturan yang berlaku di Indonesia)

HIR : Herziene Inlands Reglement (Ketentuan yang berlaku untuk orang Indonesia)

Verstek : Keputusan Hakim yang diambil tanpa dihadiri oleh tergugat

Monogami : Satu istri untuk satu suami

Poligami : Seorang suami boleh beristri lebih dari satu

Incraht Van Gewijsde : Keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap

Verzet : Perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam beracara di Pengadilan


(16)

ABSTRAK

Perpisahan meja dan ranjang pada hakikatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tampa mengakhiri ikatan perkawinan. Akibat hukum terpenting dari perpisahan meja dan ranjang antara pasangan suami isteri tersebut adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami isteri untuk tinggal bersama, dan dibidang harta perkawinan akibat hukumnya sama dengan perceraian. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 243 KUH Perdata (BW) yang menyatakan, “Perpisahan meja dan ranjang selamanya mengakibatkan perpisahan harta kekayaan dan karenanya merupakan alasan untuk mengadakan perpisahan persatuan, seolah-olah perkawinan telah dibubarkan”. Pengaturan perpisahan meja dan rajang dalam KUH Perdata (BW) diatur dalam bab kesebelas buku ke satu tentang orang, Pasal 233 sampai dengan Pasal 249 KUH Perdata (BW).

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pengaturan mengenai pisah meja dan ranjang dalam KUH Perdata (BW) khususnya dalam bidang perkawinan, akibat hukum terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang dan prosedur hukum pengajuan permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Kumpulan data diperoleh dari bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan terkait dengan pengaturan perpisahan meja dan ranjang. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, laporan-laporan serta artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum tersier terdiri dari kamus hukum, kamus umum, jurnal ilmiah, majalah yang terkait dengan penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research)yang berupa wawancara langsung dengan Panitera Pengadilan Negeri Medan dan juga beberapa orang pasangan suami isteri dari golongan timur asing Tiong Hoa dimana kehidupan perkawinannya sedang dalam masalah perceraian, yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai narasumber.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan pisah meja dan ranjang dalam perkawinan menurut KUH Perdata (BW) dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya suatu perceraian. Hal ini sejalan dengan asas yang terkadung didalam KUH Perdata (BW) yakni tidak menginginkan terjadinya suatu perceraian dalam perkawinan. Disamping itu akibat hukum yang timbul dari terjadinya pisah meja dan ranjang adalah sama dengan terjadinya perceraian. Perbedaanya hanya terletak pada masih utuhnya ikatan perkawinan dalam suatu perbuatan hukum pisah meja dan ranjang tersebut. Hasil penelitian lainnya adalah bahwa prosedur hukum tuntutan pisah meja dan ranjang adalah sama dengan prosedur hukum tuntutan perceraian. Perbedaanya adalah bahwa dalam pisah meja dan ranjang dibenarkan dilakukan


(17)

berdasarkan kesepakatan bersama antara pasangan suami isteri, sedangkan dalam perceraian tidak dibenarkan menurut KUH Perdata (BW) dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara suami isteri. Oleh karena itu pisah meja dan ranjang yang diatur dalam KUH Perdata (BW) agar dapat memperoleh kepastian hukum harus dikuatkan ruang lingkup pemberlakuannya melalui suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengingat KUH Perdata (BW) tidak lagi dipandang sebagai undang-undang. Lembaga pisah meja dan ranjang agar lebih disosialisasikan di pengadilan oleh hakim kepada para pasangan suami isteri yang hendak bercerai, agar tujuan pengaturan pisah meja dan ranjang dalam KUH Perdata (BW) sebagai pencegah terjadinya perceraian dapat tercapai. Disamping itu agar lebih jelas dan lebih terperinci prosedur hukum pengajuan tuntutan maupun permohonan pisah meja dan ranjang tersebut dalam hal tata caranya maka sebaiknya diatur dalam suatu produk peraturan perundang-undangnya yang khusus sehingga menimbulkan kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakannya.


(18)

ABSTRACT

Separation from bed and board is actually the separation between husband and wife without being divorced. The legal effect of the separation from bed and board between husband and wife means the lack of their obligation to live together in the same house, and this legal effect is also applicable to the joint property. This case is stipuated in Article 243 of the Civil Code (BW) which says, The separation from bed and board always causes the separation of property and this it is the reason for the separation of the couple as if there were a divorce. “The regulations of the separation from bed and board is stipulated in Chapter eleven, Book one about persons, from Article 233 until Article 249 of the Civil Code (BW). The problems which would be analyzed in this research were comprised of the regulations of the separation from bed and board in the Civil Code (BW). The problems which would be analyzed in this research were comprised of the regulations of the separation from bed and board in the Civil Code (BW), especially of marital status, the legal effects of the separation from bed and board, and the legal procedures of filing a claim for the separation from bed and board.

The type of this research was descriptive analytic by using judicial normative approach; it meant that this research referred to legal norms which were found in the legal provisions as the normative based which began with the general premise and ended in a special conclusion. The data were gathered from the primary law which consisted of norms or basic principles, basic regulations, and legal provisions concerning the separation from bed and board. The secondary law consisted of the results studies, reports, and articles which were correlated with this research. The tertiary law consisted of dictionaries of legal system, dictionaries, scientific journals, and magazines which were gathered by doing field research with direct interviews with the clerk of Medan District Court and with some people who had experienced the separation from bed and board as the source persons.

The result of the research showed that the regulations of the separation from bed and board in marriage, according to the Civil Code (BW) were intended to hamper a divorce. This was in accordance with the legal principle in the Civil Code (BW) which implicitly contained the prevention from a divorce. The emphasis was on the unimpaired bonds of matrimory. Another result of the research was that the legal procedure of filing a claim for the separation from bed and board was the same as the filing a claim for the divorce.

The difference was that the separation from bed and board was allowed to be claimed by the agreement between husband and wife, whereas a divorce, according to the Civil Code (BW), was not allowed to be claimed by the agreement between husband and wife, therefore, the separation from bed and board which was stipulated in the Civil Code (BW), in order to obtain legal certainly, should be broaden in its imposition through new legal provisions because the case of the separation from bed and board in the Civil Code (BW) was considered obsolete. The committee of the


(19)

separation from bed and board should be socialized by judges in courts to the couples who wanted to divorce so that the regulations of the separation from bed and board in the Civil Code (BW) could be implemented. Besides that, in order that the procedures of filing a claim for the separation from bed and board became clearer and more detailed, it was recommended that these procedures should be regulated in a special product of legal provisions so that the persons involved in the case would obtain legal certainty.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dari rumusan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat diketahui bahwa KUH Perdata (BW) memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya adalah bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata (BW) dan syarat-syarat-syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Di samping itu KUH Perdata (BW) juga menganut asas monogami absolut dan melarang polygami. Larangan ini termasuk ketertiban umum, yang apabila dilanggar akan diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.1

Pasal 103 KUH Perdata (BW) menentukan tentang kewajiban suami-isteri untuk saling setia, tolong-menolong dan bantu-membantu (helping bijstand), saling setia berarti setia dalam perkawinan, sedangkan tolong-menolong dan bantu-membantu bergantung pada peristiwa-peristiwa yang konkrit sehingga tidak dapat


(21)

dikatakan apakah isi dan makna kata bantu-membantu dan tolong-menolong tersebut yang sebenarnya, sanksinya merupakan sanksi tidak langsung(indirect).2

Bilamana kesetiaan dalam perkawinan dilanggar oleh salah satu pihak maka sanksinya secara tidak langsung dapat timbul, dengan permintaan pembatalan atau perpisahan meja dan ranjang atas perkawinan yang ada oleh salah satu pihak baik isteri maupun suami. Apabila pelanggaran kesetiaan itu sudah sedemikian rupa besarnya maka akan dapat menjadi salah satu alasan untuk mengajukan tuntutan perceraian menurut ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 209 dan 233 KUH Perdata (BW).

Pasal 209 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa: “alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah dan hanyalah sebagai berikut :

a. Zinah.

b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat

c. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

d. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan”.

2 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Hukum Keluarga di Beberapa Negara Eropah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 37.


(22)

Pasal 233 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Dalam hal adanya peristiwa-peristiwa yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menuntut perceraian perkawinan suami dan isteri adalah berhak menuntut perpisahan meja dan ranjang. Tuntutan untuk perpisahan yang demikian boleh juga dimajukan berdasar atas perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain”.

Pasal 234 KUH Perdata (BW) selanjutnya menyatakan bahwa:

“Tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut dimajukan diperiksa dan diselesaikan dengan cara yang sama seperti tuntutan perceraian perkawinan”. Dari rumusan Pasal 234 KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tuntutan pisah meja dan ranjang di majukan, diperiksa dan diselesaikan di Pengadilan dengan cara yang sama dengan tuntutan perceraian. Pasal 235 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “si suami atau si isteri yang telah memajukan tuntutan perpisahan meja dan ranjang tak dapat diterima lagi dengan tuntutannya akan perceraian perkawinan atas dasar dan alasan yang sama”. Dari rumusan Pasal 235 KUH Perdata (BW) tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa, alasan yang telah digunakan untuk mengajukan tuntutan pisah meja dan ranjang tidak dapat lagi digunakan terhadap tuntutan perceraian.3

Pasal 106 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “setiap isteri harus tunduk patuh kepada suaminya. Ia berwajib tinggal bersama dengan si suami dalam satu rumah, dan berwajib pula mengikutinya, barang dimanapun si suami memandang


(23)

berguna memusatkan tempat kediamannya”. Rumusan Pasal 106 KUH Perdata (BW) di atas menjelaskan bahwa setiap suami berwajib menerima diri isterinya dalam rumah yang ia diami. Pasal 107 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “setiap suami berwajib menerima diri isterinya dalam rumah yang ia diami. Berwajiblah ia pula melindunginya dan memberi padanya segala apa yang perlu dan berpatutan dengan kedudukkan dan kemampuannya”. Rumusan Pasal 107 KUH Perdata (BW) tersebut diatas menjelaskan kewajiban seorang suami pada isterinya dalam hal menerima diri isterinya ditempat kediamannya dan juga memberikan perlindungan serta memberikan nafkah baik lahir maupun batin seperlunya sesuai dengan kedudukkan dan kemampuan suami tersebut.4

KUH Perdata (BW) tidak menyebutkan penjelasan tentang rumah kediaman yang tidak layak atau tidak senonoh tersebut. pengertian tersebut bergantung sepenuhnya kepada putusan hukum. Pandangan yang menyatakan bahwa isteri wajib tinggal bersama suami atau wajib mengikuti suaminya kemanapun suaminya memandang baik untuk bertempat tinggal adalah didasarkan kepada asas bahwa suami adalah kepala rumah tangga/kepala keluarga dalam suatu ikatan perkawinan sebagaimana yang dianut oleh KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek (BW)5. Dengan demikian bila terjadi pisah meja dan ranjang dalam suatu ikatan perkawinan antara suami dan isteri itu berarti bahwa ada suatu permasalahan yang terjadi antara

suami-4

R. Soetojo Prawirohardjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44.

5Tan Thong Kie,Serba Serbi Praktek Notaris,Jilid I, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm.17.


(24)

isteri tersebut. Dengan terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut telah terjadi keretakan dalam satu perkawinan meskipun belum mencapai tahap perceraian. Namun peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut menimbulkan akibat hukum bagi pasangan suami-isteri tersebut. Keadaan yang paling nyata dapat dilihat dari terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut adalah dilanggarnya asas perkawinan yang dianut KUH Perdata (BW) yakni suami-isteri wajib tinggal bersama dalam satu rumah setelah dilangsungkannya perkawinan6.

Perpisahan meja dan ranjang ini oleh Vollmar disebut dengan istilah Perancis Separation de corps atau perpisahan tubuh.7 Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilahSeparated table and bed.

Suami-isteri dalam suatu ikatan perkawinan menurut KUH Perdata (BW) merupakan satu tubuh. Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya perkawinan maka suami atau isteri secara fisik harus tinggal bersama pada satu tempat tinggal, menyatu dalam hati, pikiran, tindakan termasuk dalam harta benda perkawinan apabila tidak ditentukan dalam suatu perjanjian sebelum perkawinan dilangsungkan. Peristiwa pisah meja dan ranjang yang terjadi pada suatu perkawinan secara KUH Perdata (BW), merupakan suatu peristiwa berpisahnya secara fisik/tubuh antara suami dan isteri untuk tidak lagi tinggal bersama yang merupakan kewajiban dari pasangan suami-isteri tersebut. Namun peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut tidak mengakhiri perkawinan. Ikatan perkawinan antara pasangan suami-isteri yang

6 Wirjono Prodjodikoro,

Asas-asas Hukum Perdata,Sumur Bandung, 1961, hlm.59.

7 PNH Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 176.


(25)

melaksanakan perbuatan hukum, pisah meja dan ranjang masih tetap melekat dan kedua pasangan suami-isteri tersebut masih tetap terikat dalam ikatan perkawinan yang sah sebagai suami-isteri. Namun peristiwa pisah meja dan ranjang dalam suatu perkawinan menyebabkan hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri dalam suatu perkawinan tidak lagi sama saat belum terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang8. Sejauh mana peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut membawa dampak/akibat hukum terhadap pengurangan hak-hak dan kewajiban pasangan suami-isteri tersebut dalam suatu ikatan perkawinan dan akibat-akibat hukum lainnya yang terjadi pada peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut akan diteliti secara seksama dan lebih mendalam pada peristiwa ini. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perpisahan Meja dan Ranjang dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum Perdata (BW)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dibahas secara seksama dan lebih mendalam dalam penelitian ini adalah :

1. Mengapa timbul lembaga pisah meja dan ranjang dalam pengaturan mengenai perkawinan?

2. Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut?

8Ali Affandi,Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlyk


(26)

3. Bagaimanakah prosedur hukum pengajuan permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya lembaga pisah meja dan ranjang dalam pengaturan perkawinan yang terdapat di dalam KUH Perdata (BW). 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum yang timbul dengan terjadinya

peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut menurut KUH Perdata (BW).

3. Untuk mengetahui bagaimanakah prosedur hukum perjanjian permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut.

D. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum teori merupaka analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta9. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (Flow Of

9 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke 20, Alumni Bandung, 1994, hlm 24.


(27)

Reasoning/Logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis10. Penetapan suatu kerangka teori merupakan suatu keharusan dalam penelitian. Hal ini disebabkan karena kerangka teori digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisis permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai lembaga pisah meja dan ranjang, pelaksanaan dan akibat hukumnya bagi golongan Timur Asing Cina dan orang-orang Indonesia yang tunduk sukarela kepada Hukum Perdata dan Hukum Dagang Eropa baik sebagian maupun secara keseluruhan.11

Menurut Tan Thong Kie perpisahan meja dan ranjang pada hakekatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tanpa mengakhiri pernikahan tersebut. Akibat terpenting perpisahan ini adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami dan isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian12.

Menurut Thorkish Pane, perpisahan meja dan ranjang adalah suatu peritiwa hukum yang menimbulkan akibat hukum terhadap status perkawinan pasangan suami isteri tersebut dimana kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama antara suami isteri tersebut menjadi hapus oleh karenanya dan juga dapat menimbulkan pengakhiran percampuran harta benda perkawinan, namun tidak mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan tersebut.

10

J. Supranto,Metode Penelitian Hukum dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 194. 11HR. Otje Salman, S, dan Anton F. Susanto,

Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali),Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 86.


(28)

Menurut PNH Simanjuntak, yang dimaksud dengan perpisahan meja dan ranjang adalah suatu keadaan dimana pasangan suami isteri yang masih terikat tali perkawinan tidak mempunyai kewajiban lagi untuk tinggal bersama dalam satu rumah sebagaimana layaknya pasangan suami-isteri, dan dapat pula menimbulkan pemisahan percampuran harta benda perkawinan seolah-olah telah terjadi perceraian. Menurut Ali Affandi, pisah meja dan ranjang adalah perpisahan tempat tinggal antara suami dan isteri yang masih terikat tali perkawinan dan juga perpisahan percampuran harta benda perkawinan antara pasangan suami isteri tersebut seolah-olah perkawinan telah berakhir atau telah terjadi perceraian.

Dari defenisi para sarjana yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditegaskan garis besar dari definisi pisah meja dan ranjang tersebut yaitu:

1. Adanya perpisahan tempat tinggal antara pasangan suami-isteri 2. Adanya perpisahan harta benda perkawinan

3. Masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan

Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 233 KUH Perdata (BW) yaitu:13

1. Semua alasan untuk meminta perceraian sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan di atas.

13 Zoelfiqri Mahmud, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996, hlm. 37.


(29)

2. Perbuatan melampaui batas penganiayaan, dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya.

3. Tanpa alasan.

Alasan untuk menuntut pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri adalah sama dengan alasan untuk menuntut perceraian. Perbedaannya adalah bahwa perceraian tidak boleh dilaksanakan atas persetujuan antara suami dan isteri. Hal ini diatur di dalam pasal 208 KUH Perdata (BW) dimana dinyatakan bahwa, “Perceraian suatu perkawinan tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak yaitu suami dan isteri, sedangkan pada tuntutan pisah meja dan ranjang boleh diperintahkan Hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu”.

Perpisahan meja dan ranjang atas permintaan suami-isteri secara bersama-sama baru boleh diizinkan apabila perkawinan antara suami dan isteri tersebut telah berlangsung minimal dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Hal ini dinyatakan dalam pasal 236 KUH Perdata (BW).

Adapun pasal 236 KUH Perdata (BW) tersebut di atas menyatakan bahwa, “Perpisahan meja dan ranjang boleh juga diperintahkan oleh hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama, dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu. Perpisahan yang demikian tak boleh diizinkan, melainkan apabila suami dan isteri telah kawin selama dua tahun”.

Pasal 237 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Sebelum meminta perpisahan meja dan ranjang, suami dan isteri berwajib dengan sebuah akta otentik mengatur syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut baik terhadap mereka sendiri maupun mengenai penunaian kekuasaan orang tua dan usaha pemeliharaan beserta pendidikan anak-anak mereka. Tindakan-tindakan yang telah mereka rancangkan untuk dilakukan sepanjang pemeriksaan harus dikemukakan untuk dikuatkan oleh pengadilan pun juga perlu untuk diatur oleh pengadilan sendiri”. Pasal 238 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Permintaan perpisahan meja dan ranjang kedua suami-isteri tersebut harus dimajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal mereka dan harus pula dilampirkan dalam pengajuan tersebut lampiran akte perkawinan maupun lampiran perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam akta otentik (Notaril)”.


(30)

Dalam perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam bentuk akta otentik notaril dimuat mengenai perpisahan tempat tinggal (rumah) dimana diantara suami dan isteri tersebut telah terpisah tempat tinggal dan isteri tidak lagi punya kewajiban untuk mengikuti tempat tinggal suaminya. Pada perjanjian tersebut juga dimuat mengenai status harta benda dari masing-masing pihak yang tetap dimiliki oleh suami atau isteri tersebut. Mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak-anak belum dewasa yang dilahirkan dari perkawinan tersebut apabila terjadi pisah meja dan ranjang adalah berdasarkan atas keputusan hakim.

Pasal 230a KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Jika kiranya anak-anak yang belum dewasa itu tidak sesungguhnya telah berada dalam kekuasaan seorang, yang menurut pasal 229 atau 230 KUH Perdata (BW) diwajibkan melakukan perwalian atau dalam kekuasaan si suami, si isteri atau Dewan Perwalian kepada siapa anak-anak itu dipercayakannya, menurut pasal 214 ayat kesatu KUH Perdata (BW), maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak-anak tersebut”.

Pasal 230a KUH Perdata (BW) ini memiliki makna bahwa apabila tuntutan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri telah dikabulkan oleh Hakim pada Pengadilan negeri maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak ditetapkan oleh Hakim diantara suami atau isteri tersebut. Penetapan kekuasaan orang tua terhadap anak-anak bisa dialihkan oleh hakim kepada pihak ketiga (Keluarga Sedarah/Semenda) atau Dewan Perwalian apabila kedua suami-isteri tersebut telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua mereka. Penetapan ini berlaku setelah hari keputusan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri memperoleh kekuatan mutlak/kepastian Hukum.


(31)

Pada umumnya keputusan Hakim atas hak pengasuhan anak apabila anak itu belum dewasa jatuh ketangan ibunya (Isteri). Kecuali apabila kekuasaan ibu (isteri) tersebut telah dibebaskan atau dipecat oleh hakim melalui suatu keputusan pengadilan.14

Mengenai harta benda yang dikuasai oleh isteri sejak terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang diberikan izin dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak suami untuk mengurus kepentingannya dengan tidak perlu mendapat bantuan dari pihak suami. Demikian juga dalam hal melakukan segala tindakan pengurusan dan pemilikan tidak terbatas pada hak untuk menjual, mengadaikan atau mengadakan perjanjian dagang.15

Perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang dalam bentuk akta otentik notaril dilakukan sebelum diajukan tuntutan pisah meja dan ranjang ke hadapan pengadilan. Pengadilan akan mensahkan perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut yang menjadi ketentuan mengikat bagi pasangan suami-isteri tersebut.16

Permasalahan ini berbeda dengan perjanjian perkawinan (Huwelijk Voorwarden). Perjanjian perkawinan dilakukan sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan dan dalam perjanjian perkawinan tersebut pada umumnya diatur mengenai perpisahan harta bawaan masing-masing calon suami dan isteri. Hal ini merupakan penegasan hukum secara tertulis bahwa harta bawaan masing-masing

14Michael Halim.Tindakan Pisah Meja dan Ranjang Ditinjau Dari Hukum Katolik, Tesis,

UNIKA Atma Jaya,Jakarta , 2006. hlm 18. 15

Chairani Bustami Jusuf.Contoh-Contoh Akta Notaris Seri-2,Pustaka Bangsa Medan, 2009, hlm. 196.

16Thorkish Pane, Polemik Hukum Pisah Meja dan Ranjang, Media Pustaka Jakarta, 2006, hlm. 39.


(32)

pihak calon suami dan isteri tetap berada dibawah penguasaan masing-masing pihak selama masa perkawinan berlangsung. Ini merupakan suatu pengecualian dari konsekuensi sebuah perkawinan dimana harta bawaan masing-masing pihak setelah terjadinya perkawinan menjadi harta bersama.

Pasal 245 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Putusan-putusan pisah meja dan ranjang harus diumumkan seterang-terangnya di Lembaran Negara. Selama pengumuman itu belum berlangsung keputusan pisah meja dan ranjang tersebut tidak berlaku pada pihak ketiga”. Setelah perpisahan meja dan ranjang diucapkan oleh Hakim dalam suatu persidangan, dan setelah mendengar dan memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang belum dewasa, pengadilan negeri harus menetapkan terhadap masing-masing anak, siapakah dari kedua orang tua itu kecuali kiranya keduanya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, harus melakukan kekuasaan orang tua dengan mengindahkan keputusan-keputusan Hakim yang terdahulu, dengan mana mereka kiranya pernah dipecat dari kekuasaan orang tua. Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak (Kepastian Hukum), sebelum hari keputusan pisah meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak perlu ada pemberitahuan, perlawanan dari para pihak. Terhadap penetapan pengadilan terhadap hak pengasuhan anak, si bapak atau si ibu yang tidak mendapat kekuasaan orang tua boleh mangajukan perlawanan hukum (banding), apabila ia, salah satu pihak bapak/ibu tidak datang menghadap. Perlawanan Hukum itu harus dimajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah


(33)

penetapan diberitahukan kepadanya. Si bapak atau si ibu yang telah datang menghadap namun tidak diserahi kekuasaan orang tua atau yang perlawananya telah ditolak oleh pengadilan negeri dapat mengajukan banding terhadap penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah hari penetapan pengadilan negeri tersebut.17

Pasal 246a KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Berdasar atas hal-hal yang telah terjadi setelah keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak, pengadilan negeri boleh mengubah penetapan-penetapan yang diberikan menurut ayat kedua pasal yang lalu atas permintaan kedua orang tua atau salah seorang dari mereka, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua suami-isteri dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa, penetapan ini boleh dikatakan segera dapat dilaksanakan kendati perlawanan atau banding dengan atau tanpa jaminan. Apa yang ditentukan dalam ayat ke empat dan kelima pasal 206 KUH Perdata (BW) berlaku dalam hal ini. Maksud dari pasal 246a KUH Perdata (BW) ini adalah penetapan hak asuh anak yang lahir dari perkawinan suami-isteri yang mengajukan tuntutan pisah meja ranjang tersebut dapat dilaksanakan secara serta merta kepada salah satu pihak orang tua dari anak-anak tersebut meskipun pihak lainnya mengajukan perlawanan ataupun banding ke pengadilan. Pasal 213 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “si isteri yang sedang menjalani proses hukum pisah meja dan ranjang dengan suaminya berhak menuntut

17 Rony Mardianto. Hak dan Kewajiban Orang Tua Setelah Putusan Pisah Meja dan Ran


(34)

tunjangan nafkah yang mana setelah ditentukan oleh hakim harus dibayar oleh suami kepadanya selama perkara berjalan. Apabila si isteri tanpa izin hakim meninggalkan rumah yang ditunjuk baginya, maka bergantunglah pada keadaan boleh atau tidaknya ia dipecat dari segala haknya untuk menuntut tunjangan nafkah, bahkan sekiranya si isteri menjadi pihak penggugat bolehlah ia dinyatakan tak dapat diterima dengan tuntutannya”.

Pasal 213 KUH Perdata (BW) ini sebenarnya adalah merupakan ketentuan yang mengatur masalah perceraian. Namun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 246 KUH Perdata (BW), ketentuan-ketentuan mengenai perceraian sebagaimana yang termuat dalam pasal 210 sampai dengan 220 KUH Perdata (BW) dan juga pasal 222 sampai dengan pasal 228 KUH perdata (BW) serta pasal 231 KUH Perdata (BW) berlaku juga terhadap perpisahan meja dan ranjang atas permintaan salah satu pihak dari pasangan suami-isteri yang mengajukan tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut.

Maksud dari pasal 213 KUH Perdata (BW) tersebut di atas adalah bahwa si isteri selama proses hukum tuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung di pengadilan berhak menuntut tunjangan nafkah dengan penetapan oleh hakim besarnya tunjangan tersebut, dan si suami wajib membayar tunjangan nafkah tersebut selama perkara berjalan. Namun apabila si isteri tanpa izin hakim meniggalkan rumah yang ditunjuk baginya maka haknya untuk memperoleh tunjangan nafkah dari suaminya bergantung kepada keputusan hakim. Apabila si isteri berkedudukan


(35)

sebagai penggugat maka tuntutannya untuk memperoleh tunjangan nafkah gugur demi hukum.

Pasal 225 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Jika suami tidak mempunyai penghasilan yang cukup guna memberikan tunjangan nafkah si isteri selama proses hukum penuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung maka pengadilan negeri boleh menentukan sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain”.

Pasal 227 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa,“Kewajiban memberikan tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami”.

Pengertian dari pasal 225 KUH Perdata ini adalah bahwa bila suami tidak mampu memberikan tunjangan nafkah kepada isterinya selama proses hukum berlangsung, maka pengadilan negeri boleh menetapkan pihak ketiga (keluarga pihak suami yang dinilai mampu dan bersedia) untuk memikul tanggung jawab membayar tunjangan nafkah kepada si isteri tersebut dengan jumlah yang telah ditetapkan pula oleh pegadilan.

Pasal 228 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Tunjangan-tunjangan yang telah dibebankan kepada pihak ketiga melalui suatu keputusan pengadilan harus dibayarkan secara terus menerus kepada isteri, atas kepentingan siapa tunjangan-tunjangan itu dijanjikannya selama proses hukum berlangsung”.

Pasal 214 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Selama proses hukum tuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung, pengadilan negeri berhak menghentikan pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian terhadap suami-isteri yang sedang berperkara tersebut. Hakim dalam hal berhak memberikan kekuasaan orang tua sebahagian tersebut dapat memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada


(36)

orang tua lainnya (suami atau isteri). Hakim dalam hal berhak memberikan kekuasaan orang tua secara keseluruhan, dapat memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh pengadilan atau Dewan Perwalian, dalam hal pengurusan diri dan harta kekayaan anak-anak selayaknya pengadilan berkenan mempertimbangkannya”.

Pengertian dari pasal 214 KUH Perdata (BW) ini adalah bahwa selama proses hukum tuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung hakim berhak menghentikan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya sebahagian atau seluruhnya. Dalam hal penghentian kekuasaan orang tua sebahagian maka hakim berhak memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada salah satu pihak, baik ibu maupun ayah. Dalam hal penghentian kekuasaan orang tua secara keseluruhan maka hakim berhak memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada pihak ketiga atau kepada Dewan Perwalian selama proses hukum berlangsung. Penghentian dan pemberian kekuasaan orang tua dilakukan melalui suatu penetapan pengadilan.18

Pasal 215 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya, tidak terhenti, hal mana tidak mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya, dengan menggunakan upaya-upaya seperti teratur dalam ketentuan-ketentuan reglemen hukum acara perdata. Segala perbuatan si suami yang mengandung pengurangan dengan sengaja akan hak-hak si isteri adalah batal demi hukum”.

Pengertian dari pasal 215 KUH Perdata (BW) tersebut di atas adalah bahwa hak-hak si suami untuk mengurus harta kekayaan isterinya tidak terhenti, sebaliknya juga tidak mengurangi kekuasaan si isteri untuk mengamankan haknya dengan berlandaskan kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum acara perdata.


(37)

Semua perbuatan suami yang berniat buruk dengan sengaja untuk mengurangi hak-hak si isteri terhadap harta kekayaannya adalah batal demi hukum.19

Hak untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang menjadi gugur apabila antara suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian dan apabila salah satu pihak telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum proses hukum tersebut diputuskan oleh hakim melalui suatu persidangan.

Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan diterbitkannya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menandai babak baru peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 tersebut bersifat nasional. Sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974, maka terjadilah verifikasi hukum perkawinan di Indonesia. Berbagai peraturan perkawinan yang pernah berlaku di Indonesia diantaranya adanya :

1. Hukum adat masing-masing20.

2. Bagi yang beragama Islam berlaku hukum perkawinan menurut agama Islam. 3. Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen tunduk pada staatblad 1933

No. 74 (Huwelijk Ordonantie Christian Indonesia/HOCI).

4. Bagi orang-orang Arab dan bangsa Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka.

5. Bagi orang-orang Eropah berlakuBurgerlijk Wetboek (BW)(KUH Perdata).

19Djaja S Meliala,

Hukum Tentang Perkawinan,Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm 46. 20AB. Lubis,Undang-undang Perkawinan yang Baru (Analisa dan Komentar), Loka Citra, Jakarta, 1978, hlm. 25.


(38)

6. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek (BW) (KUH Perdata) dengan sedikit kekecualian yaitu yang mengenai hal pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan mereka.

7. Dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami (Regeling op de gemengde huwelijken (staatblad1898 No. 158).

Asas-asas yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berbeda dengan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan KUH Perdata (BW). KUH Perdata (BW) cenderung mengarah kepada perilaku kehidupan masyarakat barat (western) sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 lebih cenderung kepada perilaku kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah menyerap nilai-nilai perilaku kehidupan masyarakat Indonesia termasuk pula ketentuan agama dan kepercayaan.21

Undang-undang No.1 Tahun 1974 juga telah mengandung prinsip-prinsip atau asas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkembangan dan tuntutan zaman.

Adapun asas-asas yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 ini adalah sebagai berikut :

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing

21 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 79.


(39)

dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Asas monogami. Asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Prinsip calon suami-isteri harus telah masuk jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat. e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan

sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami-isteri.


(40)

Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatunya yang dijalankan menurut hukum yang ada adalah sah.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga mengandung asas monogami relatif yang berbeda dengan asas perkawinan yang terkandung dalam KUH Perdata (BW) yaitu asas monogami absolut.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengandung asas monogami relatif masih membuka kemungkinan seorang laki-laki beristeri lebih dari satu orang dengan memiliki alasan-alasan yang kuat dan diterima oleh hukum. Untuk dapat mempunyai lebih dari satu orang isteri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah :

1. Harus memperoleh ijin dari isteri pertama atau isteri-isteri yang lain dan dikehendaki oleh pihak-pihak jika izin-izin itu tidak diberikan oleh isteri atau isteri-isterinya maka si suami harus memperoleh ijin dari hakim pengadilan dengan mengajukan permohonan disertai alasan-alasan yang kuat dan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, alasan-alasan tersebut antara lain :

a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.


(41)

c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dari uraian tersebut di atas syarat-syarat seorang suami untuk beristeri lebih dari satu orang (poligami) cukup berat. Bagi orang-orang yang beragama Nasrani dan Katolik, agama ini melarangnya untuk berpoligami.

2. Adanya kepastian bahwa si suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa si suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anak mereka.

Di dalam KUH Perdata (BW) yang menganut asas monogami absolut, tidak membenarkan setiap suami beristeri lebih dari satu dalam waktu yang sama. Seorang suami hanya boleh beristeri satu orang dalam waktu yang sama dan sama sekali menutup pintu hukum untuk maksud berpoligami bagi seorang suami.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengenal istilah pisah meja dan ranjang sebagaimana yang termaktub dalam KUH Perdata (BW), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut hanya mengenal istilah perceraian (putus, pecah) tali perkawinan. Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan ada 3 alasan suatu perkawinan dapat putus yaitu :

1) Kematian . 2) Perceraian.

3) Keputusan pengadilan.

Alasan-alasan perceraian yang termaktub dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bersifat limitatif. Artinya selain alasan-alasan yang disebut dalam


(42)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut bukan merupakan alasan perceraian. Dengan demikian alasan-alasan lainnya tidak dapat lagi diajukan sebagai dasar gugatan untuk bercerai.

2. Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional22. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan perpisahan meja dan ranjang adalah perpisahan antara suami dan isteri yang masih terikat tali perkawinan untuk tidak bertempat tinggal yang sama lagi namun tidak mengakhiri perkawinan23.

Perkawinan adalah suatu perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dengan maksud yang sama dan untuk waktu yang lama24. Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang perorangan atau kepentingan perseorangan yang juga disebut dengan hukum privat materil25.

22

Sumardi Surya Brata,Metodologi Penelitian,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 3. 23PNH Simanjuntak,

Op Cit,hlm. 23. 24Tan Thong Kie,Op Cit,hlm. 5.


(43)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata BW adalah kitab atau buku kumpulan peraturan yang bersifat privat yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan dalam hubungan hukumnya pada kehidupan sehari-hari26.

E. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian ini27. Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini maka digunakan metode penelitian deskriptif analisis yang akan memaparkan bagaimana prosedur hukum perpisahan meja dan ranjang menurut KUH Perdata BW serta akibat hukumnya bagi pasangan suami-isteri tersebut. Di samping itu penelitian ini juga membahas mengenai legalitas berlakunya lembaga pisah meja dan ranjang di dalam peraktek pelaksanaannya di Indonesia.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan menggunakan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan berlaku sebagai pijakkan normatif yang berawal

26Wirjono Prodjodikoro,Op Cit,hlm. 12.


(44)

dari premis umum untuk kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus28. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran pokok (teoritis).

2. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang dapat berupa norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang tertkait dengan masalah perkawinan, perpisahan meja dan ranjang, dan juga perceraian yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Studi dokumen dalam bentuk buku teks, jurnal, makalah, artikel, kamus umum, dan kamus hukum yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) yang berupa wawancara langsung dengan Panitra Pengadilan Negeri Medan dan juga beberapa pasangan suami-isteri dari golongan timur asing Tiong Hoa yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai narasumber.

3. Analisis Data

Di dalam penelitian normatif maka analisis data pada hakikatnya berati kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi.


(45)

Sebelum analisa dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder, maupun tertier) untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula29. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar30.

Hasil penelitian ini bersifat evaluatif analitis yang kemudian dikontruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.

29 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm, 106.

30

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penelitian hukum pada makalah akreditas, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tanggal 18 Februari, hlm, 1.


(46)

BAB II

TIMBULNYA LEMBAGA PISAH MEJA DAN RANJANG DALAM PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN MENURUT

KUH PERDATA (BW)

A. Pengertian Perpisahan Meja dan Ranjang Menurut KUH Perdata BW

KUH Perdata (BW) tidak secara tegas menyatakan definisi tentang perpisahan meja dan ranjang. Namun demikian dari Pasal-pasal yang mengatur tentang perpisahan meja dan ranjang dapat dinyatakan bahwa perpisahan meja dan ranjang adalah suatu keadaan hukum dimana pasangan suami isteri yang masih terikat tali perkawinan tidak lagi memiliki kewajiban untuk tinggal bersama dalam satu atap rumah.31 Seorang suami tidak lagi memiliki hak untuk mewajibkan isterinya tinggal bersama dalam rumah kediamannya. Demikian pula sebaliknya seorang isteri memperoleh kembali kebebasannya untuk menentukan sendiri tempat tinggal/rumah yang ingin didiaminya, dan tidak lagi wajib mengikuti tempat tinggal suaminya. Peristiwa pisah meja dan ranjang yang telah dilakukan pasangan suami isteri tersebut memiliki akibat hukum bagi pasangan suami isteri dibidang harta benda perkawinan yaitu :32

1. Pengakhiran, percampuran harta benda perkawinan antara pasangan suami isteri tersebut seolah-olah telah terjadi suatu perceraian (Pasal 243 KUH Perdata BW).

31 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, SUMUR, Bandung, 1976, hlm. 23.

32

Kho Tjay Sing,Hukum Perdata, Jilid I (Hukum Perseorangan dan Keluarga),Loka Cipta, Semarang, 1984, hlm 12.


(47)

2. Penghentian sementara pengurusan atas harta isteri oleh suami (Pasal 244 KUH Perdata BW).

3. Apabila perpisahan meja dan ranjang diputuskan oleh hakim karena alasan tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 233 KUH Perdata (BW), maka akibat-akibat dari keuntungan tertentu yang diperjanjikan antara pasangan suami-isteri serta pemberian nafkah adalah sama dengan hal perceraian.

Tetapi hal tersebut di atas tidak berlaku apabila keputusan pisah meja dan ranjang diambil oleh suami-isteri tanpa mengajukan alasan. Dalam hal tersebut di atas wajib dibuat suatu akta otentik antara pasangan suami-isteri yaitu suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama yang berisikan hak dan kewajiban suami-isteri yang harus dipatuhi dan dilaksanakan bersama pada saat perpisahan meja dan ranjang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Perpisahan meja dan ranjang dapat menimbulkan Perceraian bila selama menjalani masa perpisahan meja dan ranjang pasangan suami-isteri tersebut tidak dapat mencapai suatu kesepakatan untuk berdamai. Sebaliknya apabila selama masa menjalani perpisahan meja dan ranjang dapat tercapai suatu kesepakatan untuk melakukan perdamaian maka demi undang-undang peristiwa perpisahan meja dan ranjang tersebut batal demi hukum. Perdamaian antara pasangan suami-isteri yang menjalani perpisahan meja dan ranjang membawa konsekuensi hukum yaitu semua akibat hukum dari perkawinan diantara pasangan suami-isteri tersebut dinyatakan hidup/berlaku kembali, namun semua tindakan kepada pihak ketiga selama menjalani perpisahan meja dan ranjang sebelumnya tetap berlaku. Pasal 248 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa :


(48)

“Perpisahan meja dan ranjang demi hukum menjadi batal karena perdamaian suami-isteri, dan hiduplah kembali karenanya segala akibat perkawinan, sementara itu dengan tidak mengurangi akan terus berlakunya perbuatan-perbuatan perdata terhadap pihak ketiga, yang dilakukan kiranya dalam tenggang antara perpisahan dan perdamaian. Segala persetujuan antara suami-isteri bertentangan dengan ini, adalah batal.”

Pasal 119 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami-isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”. Pasal 119 KUH Perdata (BW) ini memberikan penegasan bahwa sejak adanya perkawinan antara suami dan isteri, seluruh harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan tersebut berlangsung merupakan harta bersama (gono-gini) sepanjang tidak ditentukan lain melalui suatu perjanjian sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan.

Pasal 120 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Sekedar mengenai laba-labanya, persatuan harta kekayaan tersebut meliputi harta kekayaan suami dan isteri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal yang terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya”. Pasal 120 KUH Perdata (BW) ini menegaskan tentang bagian-bagian yang menjadi harta bersama, termasuk harta kekayaan yang diperoleh secara Cuma-cuma dari pihak ketiga. Kemudian pihak ketiga yang memberikan harta kekayaan tersebut menentukan bahwa harta yang diberikannya tersebut merupakan harta bawaan yang terlepas dari harta bersama. Selanjutnya Pasal 121 KUH Perdata (BW) menyatakan


(49)

bahwa, “Sekedar mengenai beban-bebannya, persatuan itu meliputi segala utang suami-isteri masing-masing yang terjadi, baik sebelumnya maupun sepanjang perkawinan”.

Pasal 124 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus harta kekayaan persatuan. Suami diperbolehkan menjual, memindah tangankan dan membebaninya tanpa campur tangan isteri, kecuali memindah tangankan atau membebani barang-barang tak bergerak si isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat-surat berharga lainnya dan hutang-piutang atas nama isteri, sekedar olehnya dimasukkan dalam persatuan, atau yang sepanjang perkawinan masuk kiranya dari pihak isteri di dalamnya”. Suami bertindak sebagai kepala persatuan suami-isteri hanya dalam masa perkawinan tersebut masih berlangsung. Bila terjadi perceraian, maka segala wewenang suami terhadap harta persatuan menjadi gugur, karena Undang-Undang mengharuskan pembagian harta persatuan tersebut secara adil diantara pasangan suami-isteri itu. Dalam pasal 243 KUH Perdata (BW), dinyatakan bahwa, “Perpisahan meja dan ranjang selamanya mengakibatkan perpisahan harta kekayaan dan karenanya merupakan alasan untuk mengadakan perpisahan persatuan, seolah-olah perkawinan telah dibubarkan”. Selanjutnya Pasal 244 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Karena perpisahan meja dan ranjang, pengurusan suami atas harta kekayaan isteri dipertangguhkan”.

Akibat hukum perpisahan meja dan ranjang terhadap harta kekeyaan suami-isteri yang diperoleh selama masa perkawinan (gono-gini) adalah sama dengan


(50)

perceraian, yakni diharuskannya dilakukan pembagian yang sama diantara suami-isteri tersebut dan secara otomatis mempertangguhkan untuk sementara waktu hak suami sebagai kepala persatuan suami-isteri dalam mengurus harta kekayaan persatuan tersebut. Artinya hak suami dalam pengurusan harta kekayaan isterinya untuk sementara waktu tidak dapat lagi dilaksanakannya.33

B. Tujuan Diadakannya Lembaga Pisah Meja dan Ranjang dalam Pengaturan Hukum Perkawinan Menurut KUH Perdata (BW)

Sebagaimana diketahui bahwa hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek)dilahirkan di dunia barat yang sebahagian besar penduduknya beragama Kristen. Di dalam hal perkawinan, agama Kristen berpegang kepada prinsip bahwa sorang laki-laki hanyalah dapat kawin dengan seorang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Asas Monogami Absolut). Prinsip ini memperoleh penegasan dalam pasal 27 KUH Perdata (BW) yang berbunyi, “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki, hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Pelanggaran terhadap prinsip tersebut di atas tidak hanya menimbulkan batalnya perkawinan, tapi juga diancam hukuman menurut pasal 279 KUH Pidana. Pasal 279 KUH Pidana tersebut menyatakan bahwa, “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun :

33 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia Bandung, 2007, hlm, 59.


(51)

1. Barang siapa mengadakan perkawinan mengetahui bahwa pernikahan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain, menjadi penghalang untuk itu”.

Di samping itu KUH Perdata juga memperberat syarat-syarat untuk melakukan perceraian. Pasal 209 KUH Perdata (BW) mengatur tentang alasan-alasan yang diperbolehkan UU dalam menuntut suatu perceraian. Hanya dengan alasan yang disebutkan dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) tersebut yang boleh dijadikan dasar dalam mengajukan tuntutan perceraian. Alasan-alasan yang termuat dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) tersebut antara lain adalah: 1. Zinah, 2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jahat, 3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat yang diucapkan oleh hakim di pengadilan setelah perkawinan, 4. Melukai berat atau menganiyaya, sehingga membahayakan jiwa, pihak yang dilukai atau dianiyaya atau mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Dari rumusan yang terdapat dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) tersebut diketahui bahwa alasan-alasan perceraian tersebut merupakan suatu perbuatan nyata yang harus dapat dibuktikan oleh pihak yang akan mengajukan tuntutan perceraian dalam hal perbuatan zina. Pihak suami atau isteri yang merasa dirugikan terhadap perbuatan pasangannya tersebut, harus dapat membuktikan secara nyata/otentik bahwa perbuatan zina tersebut telah terjadi atau telah dilakukan. Perbuatan zina


(52)

merupakan pengingkaran terhadap perkawinan itu sendiri yang menuntut suatu kesetiaan dari masing-masing pasangan. Karena itu KUH Perdata (BW) memandang perbuatan zina merupakan perbuatan yang melawan hukum yang tidak saja bisa mengakhiri perkawinan tapi juga pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Demikian pula halnya dengan meninggalkan tempat tinggal bersama dengan niat jahat. Pasal 103 KUH Perdata (BW) dengan tegas menyatakan bahwa, “Suami dan isteri, mereka harus saling setia menasehati, tolong menolong dan bantu membantu. Pasal 109 KUH Perdata (BW) selanjutnya menyatakan bahwa, “Setiap suami wajib menerima diri isterinya dalam rumah yang di diaminya. Berwajiblah pula ia melindunginya dan memberi padanya segala apa yang diperlukan dan berpatutan dengan kedudukan dan kemampuannya.

Dari rumusan pasal 103 dan 107 KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa pasangan suami-isteri harus saling tolong-menolong dan bantu membantu dalam satu rumah tangga yang didiami bersama diantara keduanya. Dengan demikian perbuatan meninggalkan tempat bersama apa lagi dengan iktikad jahat merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang juga dapat dijadikan alasan penuntutan perceraian bagi salah satu pasangan yang merasa dirugikan dengan perbuatan tersebut. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat dari itu, setelah perkawinan pada hakikatnya juga perbuatan melawan hukum terhadap ketentuan pasal 107 KUH Perdata (BW) tersebut di atas. Demikian pula halnya dengan melukai/menganiaya pasangan yang dapat


(53)

membahayakan/mengancam jiwa pasangan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan pasal 103 dan 107 KUH Perdata (BW) tersebut.

Dari uraian tentang alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan perceraian tersebut, dapat dikatakan bahwa seluruh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pasangan suami-isteri tersebut, harus dapat dibuktikan di pengadilan pada saat dilaksanakannya sidang tuntutan perceraian tersebut. Hakim dapat saja menolak tuntutan perceraian yang diajukan tersebut dengan alasan tidak kuatnya bukti yang diajukan di pengadilan. Kecuali di antara pasangan suami-isteri tersebut telah terjadi “Mufakat Jahat” untuk melakukan rekayasa hukum sehingga tuntutan perceraian tersebut dapat dikabulkan oleh hakim. Perbuatan melakukan tuntutan perceraian dengan mufakat jahat atau dengan persetujuan diantara pasangan suami-isteri tersebut adalah dilarang oleh KUH Perdata (BW). Pasal 208 KUH Perdata (BW) menegaskan pelarangan perbuatan tersebut dengan menyatakan, “Perceraian suatu perkawinan sekali-kali tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak (pasangan suami-isteri tersebut)”. Apabila perceraian karena persetujuan suami-isteri tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, maka hakim berwenang membatalkan tuntutan perceraian yang diajukan oleh pasangan suami-isteri tersebut. Memperhatikan uraian tentang alasan-alasan agar dapat melakukan tuntutan terhadap perceraian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa proses hukum untuk melakukan perceraian menurut KUH Perdata (BW) adalah cukup berat dan membutuhkan alasan-alasan yang jelas dan nyata serta terbukti kebenarannya. Hal ini mengindikasikan bahwa KUH Perdata (BW) pada


(54)

prinsipnya tidak menghendaki terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan34. Oleh karena itu diadakanlah suatu lembaga yang disebut lembaga pisah meja dan ranjang yang eksistensinya bertujuan untuk mengupayakan agar tidak terjadi suatu perceraian. Dalam kehidupan berumah tangga suatu perkawinan sering terjadi masalah-masalah yang harus dihadapi oleh pasangan suami-isteri yang tak jarang menimbulkan perbedaan pendapat, perselisihan bahkan pertengkaran antara pasangan suami-isteri tersebut karena permasalahan yang dihadapi itu. Perselisihan dan pertengkaran tersebut dapat pula menimbulkan keretakan dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya mengancam keutuhan perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu ketenangan dan penurunan tingkat emosional dalam upaya menyelamatkan keutuhan suatu kehidupan berumah tangga (perkawinan). Untuk mencapai ketenangan dan penurunan tingkat emosional yang tinggi tersebut atau kejenuhan dalam kehidupan berumah tangga, mungkin saja diperlukan kesendirian untuk merenung dan memaknai kembali hakikat perkawinan tersebut. Apalagi dalam perkawinan itu telah dilahirkan anak-anak yang merupakan buah dari ikatan cinta pasangan suami-isteri. Untuk itulah diadakan lembaga pisah meja dan ranjang yang pada intinya adalah melakukan perpisahan kehidupan suami-isteri untuk tidak lagi hidup dalam satu rumah dan berusaha untuk memikirkan kehidupan masing-masing sesuai dengan pemikirannya sendiri. Dengan terjadinya pisah meja dan ranjang dalam perkawinan antara pasangan suami-isteri tersebut maka menimbulkan akibat hukum

34K. Wanjik Soleh,Himpunan Peraturan dan Undang-Undang tentang Perkawinan,Ichtiar Baru, Jakarta 1974, hlm. 17.


(55)

baru bagi kedua belah pihak. Akibat hukum yang timbul dari peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut diantaranya adalah tidak diwajibkannya lagi pasangan suami-isteri tersebut untuk tinggal bersama dalam satu atap/ rumah dan juga mengakibatkan terjadinya perpisahan harta kekayaan, dan juga bisa berdampak pada mengadakannya perpisahan persatuan seolah-olah perkawinan tersebut telah dibubarkan. Namun pada intinya perpisahan meja dan ranjang tidak mengakhiri suatu perkawinan, akan tetapi akibat hukumnya pada harta kekayaan seolah-olah sama dengan telah terjadinya perceraian35. Lembaga pisah meja dan ranjang dapat digunakan oleh pasangan suami-isteri untuk mengevaluasi sikap dan perilaku masing-masing dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sikap dan perilaku tersebut sehingga di harapkan dapat terjadi perdamaian diantara pasangan suami-isteri tersebut. Dengan terjadinya perdamaian, maka dengan sendirinya akan membatalkan perpisahan meja dan ranjang tersebut. Dengan batalnya perpisahan meja dan ranjang tersebut, maka keutuhan perkawinan dari pasangan suami-isteri tersebut kembali seperti semula dan yang paling penting adalah perceraian diantara pasangan suami-isteri dapat dihindari. Inilah sesungguhnya makna dari keberadaan lembaga pisah meja dan ranjang tersebut yakni mengupayakan agar perkawinan dapat terjaga dengan utuh dan perceraian dapat dicegah/dihindari semaksimal mungkin.

Pada prakteknya lembaga pisah meja dan ranjang jarang/hampir tidak pernah digunakan oleh pasangan suami-isteri dalam menyelamatkan keutuhan perkawinan

35Muhammad Anwar, Hukum Perkawinan menurut KUH Perdata (BW), Ghalia Indonesia, Bandung, 1999, hlm. 29.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Timbulnya lembaga pisah meja dan ranjang dalam pengaturan mengenai perkawinan menurut KUH Perdata BW adalah sebagai pencegah terjadinya perceraian dalam suatu ikatan perkawinan apabila terjadi permasalahan/ konflik dalam kehidupan perkawinan antara pasangan suamu isteri tersebut. KUH Perdata BW pada prinsipnya tidak menghendaki terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu diadakanlah lembaga pisah meja dan ranjang yang bertujuan sebagai sarana introspeksi dan evaluasi bagi pasangan suami- isteri sebelum memutuskan untuk melakukan perceraian.

2. Akibat hukum yang timbul dari terjadinya pisah meja dan ranjang tersebut adalah sama dengan akibat hukum dari terjadinya perceraian dimana pasangan suami istri tersebut menjadi bebas dari kewajiban untuk tinggal bersama dalam satu rumah, kemudian dibidang hukum harta kekayaan sesuai dengan Pasal 243 KUH Perdata (BW), mengakibatkan terjadinya perpisahan harta kekayaan antara pasangan suami-istri tersebut dan dapat dijadikan alasan untuk mengadakan perpisahan persatuan diantara pasangan suami istri tersebut seolah-olah telah terjadi pembubaran perkawinan. Istri memperoleh kembali haknya untuk mengurus sendiri harta kekayaanya dan suami untuk sementara waku tidak lagi


(2)

memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan isterinya.selama belum tercapai perdamaian dari perpisahan meja dan ranjang tersebut.

Namun meskipun akibat hukum pisah meja dan ranjang tersebut sama dengan perceraian tapi peristiwa hukum pisah meja dan ranjang tidak membubarkan/mengakhiri perkawinan tersebut.

3. Prosedur hukum pengajuan permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang dibagi dua bagian yaitu : tuntutan pisah meja dan ranjang yang diajukan oleh salah satu pihak berdasarkan alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KUH Perdata (BW) yang diajukan secara tertulis dan merupakan suatu gugatan (sengketa) di Pengadilan dan tuntutan Pisah meja dan ranjang yang berbentuk permohonan secara tertulis yang didasarkan atas permintan bersama berasaskan kesepakatan dari suami istri tersebut. Permohonan yang diajukan berdasarkan permintaan bersama dari suami istri tersebut dimaksudkan untuk memperoleh penetapan dari pengadilan agar dapat memperoleh suatu kepastian hukum untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak pasangan suami-istri tersebut.

B. Saran

1. Agar lembaga pisah meja dan ranjang yang diatur dalam KUH Perdata (BW) mengenai pengaturan perkawinan tersebut dikuatkan ruang lingkup pemberlakuannya melalui suatu peraturan perundang-undangan yang baru, mengingat KUH Perdata (BW) tidak lagi dipandang sebagai undang-undang,


(3)

sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus suatu perkara di pengadilan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1963 tanggal 12 Maret 1963.

2. Agar lembaga pisah meja dan ranjang dapat lebih disosialisasikan oleh hakim di pengadilan kepada para pasangan suami istri yang hendak bercerai yang kepada mereka berlaku ketentuan lembaga pisah meja dan ranjang tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tujuan dibuatnya lembaga pisah meja dan ranjang ini untuk melanggengkan perkawinan, dan semaksimal mungkin mencegah terjadinya perceraian dapat lebih ditingkatkan hasilnya. Karena hingga sekarang ini masih jarang ditemukan pasangan suami-istri menggunakan lembaga pisah meja dan ranjang ini dalam menyelesaikan kemelut yang terjadi dalam kehidupan perkawinannya.

3. Agar ditetapkan secara jelas dan lebih terperinci dalam suatu produk peraturan perundang-undangan yang baru mengenai tata cara pengajuan tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut, baik karena alasan-alasan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KUH Perdata (BW), maupun karena permintaan bersama dari pasangan suami-istri tersebut tersebut, sehingga menimbulkan kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi Ali, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlyk Wetboek),Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Tanpa Tahun. Ali Muchsan Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,

Nuansa Aulia, Jakarta, 1996.

Ali Chadir,Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia,Amirco, Bandung, 1983. Andasasmita KomarHukum Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung 2001.

Anwar Muhammad, Hukum Perkawinan menurut KUH Perdata (BW), Ghalia Indonesia, Bandung, 1999.

Budiarto Agus,Kedudukan dan Tanggung Jawab hakim,Ghaka, Bogor.

Fikri Abdurahman,Lembaga Pisah Meja dan Ranjang, dan Akibat Hukumnya, Mitra Persada, Jakarta, 1998.

Hadi Taslim sastro, Perkawinan yang Bersangkutan di LuarNegeri dan akibat Hukumnya,Perdata Agung, Jakarta, 2003.

Halim Michael. Tindakan Pisah Meja dan Ranjang Ditinjau Dari Hukum Katolik, Tesis, UNIKA Atma Jaya,Jakarta , 2006.

Hartono Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke 20, Alumni Bandung, 1994.

J. Satrio,Hukum Harta Perkawinan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Jusuf Chairani Bustami.Contoh-Contoh Akta Notaris Seri-2, Pustaka Bangsa Medan, 2009.

Kohor A,Notaris dan Persoalan Hukum,Bima Karya, Jakarta, 1985.

Lubis AB., Undang-undang Perkawinan yang Baru (Analisa dan Komentar), Loka Citra, Jakarta, 1978.


(5)

Mahmud Zoelfiqri, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996.

Manan Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006.

Mardianto Rony. Hak dan Kewajiban Orang Tua Setelah Putusan Pisah Meja dan Ran jang Berlaku,Media Pustaka Jakarta, 2007.

Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga,Nuansa Aulia Bandung, 2007.

______________,Hukum Tentang Perkawinan,Nuansa Aulia, Bandung, 2008. Muhammad Abdul Kadir, Perkembangan Hukum Keluarga di Beberapa Negara

Eropah,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Nasution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penelitian hukum pada makalah akreditas, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tanggal 18 Februari.

Pane,Thorkish Polemik Hukum Pisah Meja dan Ranjang, Media Pustaka Jakarta, 2006.

Prinst Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002.

Prodjodikoro Wirjono,Asas-asas Hukum Perdata,Sumur Bandung, 1961. _________________,Hukum Perkawinan di Indonesia,SUMUT, Bandung.

R. Soetojo Prawirohardjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986.

Rasjid Sulaiman,Ketentuan Tentang Lembaga Pisah Meja dan Ranjang dan Prospek Pemberlakuaannya dalam Hukum Positip di Indonesia, Perdana Pustaka, Surabaya, 1993.

Salman, S Otje HR., dan Susanto Anton F., Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali),Refika Aditama, Bandung, 2005.


(6)

Samudra Teguh,Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata,Alimun Bandung, 1992. Sembiring Sentosa, Perkawinan menurut KUH Perdata (BW), Teori dan Praktek,

Nuansa Aulia, Jakarta, 2004.

Simanjuntak PNH, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007.

Sing Ico Tjay, Hukum Perdata, Jilid I (Hukum Perseorangan dan Keluarga), Loka Cipta, Semarang, 1984.

Soleh K. Wanjik, Himpunan Peraturan dan Undang-Undang tentang Perkawinan, Ichtiar Baru, Jakarta 1974.

Soekanto Suerjono,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986.

Soepomo,Sistem Hukum di Indonesia (Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

Subekti, R.Pokok-pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta, 1985.

Sunggono,Bambang Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Surya Brata Sumardi,Metodologi Penelitian,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Suryo Diningrat RM, Asas Monogami Absolut dalam Perkawinan menurut KUH

Perdata (BW),Tarsito Bandung, 2001.

Supranto J.,Metode Penelitian Hukum dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Tan Thong Kie,Serba Serbi Praktek Notaris,Jilid I, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,

2000.

Waluyo Bambang,Metode Penelitian Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Zoe lvan Ramdani,Hukum Orang dan Keluarga,Pelita Ilmu, Bandung, 1999.