Akibat Perceraian bagi anak di tinjau dari hukum islam dan hukum perdata

AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN:fAU DARI
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

Oleh:
SEPTI SURAYAH
0044119307

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN AL AHWAL ASY SYAHSIYAH
FAKULT AS SYARI' AH DAN HUKUJ\1
UIN SYARIF I-IIDAYATULLAH JAKARTA

1425 HI 2004 M

AK.IBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
DAN HUKUM PERDATA

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam


Oleh:

SEPTI SURAYAH
0044119307

Di Bawah Bimbingan:

Prof. DR. H. Ahmad Sutarmadi
NIP. 150031177

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN Al AHWAL ASY SYAHSIYAH
FAKULTAS SY ARI' AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1425 H/ 2004 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Slaipsi yang berjudul AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDAT A telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakaiia pada tanggal 2 Juni 2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S 1) pada Jurusan
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah.
Jakaita, 2 Juni 2004
Sidang Munaqasyah
Dekan Fakultas Syari'ah

Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A.
NIP. 150 050 917
Sekretaris Merangkap Anggota

Dffl. A"f/!rifudho Il, S.H.
NIP. 150 268 783
Anggota:
Penguji I

Muhammad Taufik, M.Ag.
NIP. 150 290 159

Kama usdiana, S.Ag., M.H.

NIP. 150 285 972
Pembimbing,

。セ@
Prof. DR. H. Ahmad Sntarmadi
NIP. 150 031 177

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pencipta dan Pernelihara semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Na.bi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat-sahabatnya dan pengikutnya hingga hari pembalasan.
Salah satu sya.ra.t untuk menyelesaikan studi dan miencapai Gelar Sarjana
Strata Satu (SI) di Perguruan Tinggi termasuk UIN SyarifHidayatullah Jakarta adalah
111e111buat karya tulis ilmiah dalam bi:;ntuk skripsi. Dalam ra.ngka itulah penulis
membuat skripsi ini dengan judul "AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA."
Dalam penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan serta hambatan
yang penulis hadapi. Namun, Alhamdulillah berkat usaha dan kegigihan hati disertai

dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara lat1gsung ataupun tidak
langsung, kesulitan serta hambatan tersebut dapat diatasi dengan sebaik-baiknya dan
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Olch karcna itu, dengan penuh suka cita penulis ingin menghaturkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
I. Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. DR. H. Hasanudin

AF, MA. yang selalu memberikan dukungan moril kepada penulis.
2. Ketua Jurusan al-Ahwal asy-Syahsiyah, Dra. Hj. Halimah Ismail dan
Sekretaris Jurusan Ors. Asep Syarifuddin, H. S.H., beserta jajarannya yang

ikut meluangkan waktunya dan membimbing penulis guna menyelesaikan
skripsi.
3. Bapak Dosen Prof. DR. H. AJuuad Sutarmadi yang telah berkenan
meltiangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan nasehat sampai
sclesainya penulisan skripsi ini.
4. Bapak dan !bu kepala Perpustakaan Pusat dan Syari'ah yang telah bersedia
meminjamkan buku ataupun bahan bacaan lainnya.
5. Ayahanda Mansur dan Ibunda Amdaroh yang selalu mendo'akan dan
memberikan motivasi untuk kesuksesan anakmu ini. Serta saudara-saudaraku

Bang Adang, K' Desi, K' Edi dan keponakanku Riska yang selalu menjadi
"musuhku" di saat bosan dan letih.
6. Terima kasih untuk Ade S, yang sudah banyak membantu penulis , tidak lupa
teman-temanku Dina, Ema, Nunung, Rodiah, Edah, Suci, Ana, Qwink dan
seluruh keluarga besar PA/A-B. Kalian akan selalujadi yang terbaik.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik yang telah mereka berikan
mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

Jakarta, 18 Mei. 2004 M
28 Rab1'Ul Awai 1425 H

Penulis

DAFTARISI

Halaman

KATA PEN GANT AR ........................................................................................ .
DAFT AR ISi ........................................................................................................
BABI


BAB II

iii

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .....................................................

3

C. Tujuan Penelitian ..........................................................................

4

D. Metode Penelitian...........................................................................


5

E. Sistematika Penulisan ....................................................................

6

TINJAUAN TEORITIS TENT ANG PERCERAIAN
A. Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Perceraian

7

2. Alasan Perceraian ....................................................................

14

3. Aki bat Perceraian ..... ... ............................ ..... ...... .....................

17


B. Menurut Hukum Perdata
I. Pengertian Perceraian ..............................................................

20

2. Alasan Perceraian ....................................................................

23

3. Akibat Perceraian ....................................................................

27

BAB Ill

AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK
A. Menurut Hukum Islam
1. Pemeliharaan Anak

30


2. Biaya Hidup Anak ...................................................................

39

B. Menurut Hukum Perdata

I. Pemeliharaan Anak .................................................................

41

2. Biaya Hidup Anak ...................................................................

46

C. Analisis Perbandingan Masalah Pemeliharaan Anak Dan Biaya
Hidup Anak Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata ............

BAB IV


48

PENUTUP
A. Kesimpulan

51

B. Saran-saran ................................................................................... .

53

DAFTAR PUSTAKA

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu asas perkawinan yang disyari'atkan ialah perkawinan untuk
selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan sa.ling mencintai. Karena

itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara,
dalam waktu-waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja,
seperti nikah mut'ah, nikah muhallil 1dan sebagainya. 2
Melakukan perkawinan bukan pula semata-mata untuk kesenarigan lahiriah
melainkan juga membentuk suatu lembaga yang dengannya kaum pria dan wanita
dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan tak senonoh, melahirkan dan
merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan
seksual yang wajar dan diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan
kebahagiaan. 3
Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan
menciptakan kebahagiaan sebuah perkawinan tidaklah rnudah, ha! ini dapat

1

Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang Jelaki terhadap seorang
perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi
oleh suaminya yang pertama. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
(Yogyakarta: Liberty, 1986), Cet. ke-2, h. 82.
2

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), Cet. ke-1, h.144
3

h.7

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari'at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. ke-1,

2

dikarenakan keduanya berlainan tabiat dan tujuan hidup. Adalah di)cetahui dan
diakui bahwa pergaulan yang sangat erat dan rapat diantara pergaulan di dunia ini
adalah pergaulan antara suami isteri. Hari-hari untuk bertemu tidaklah tertentu,
bahkan setiap siang dan malam, berbulan dan bertahun, mereka bergaul dan
berkumpul. Selama dan sepanjang pergaulan itu tentu menghendaki serta
membutuhkan kasih sayang, penyesuaian pendapat dan pandangan hidup, tetapi
tidaklah mustahil apabila di antara suami isteri terdapat perbedaan-perbedaan
mengenai sifat, watak, pendidikan dan pandangan hidup, hal. mana kadang-kadang
dapat menimbulkan kerenggangan ... Berdasarkan ungkapan di atas, tidaklah
mustahil jika dalam masyarakat dijumpai bahwa kehidupan perkawinan terkadang
dengan sesuatu atau beberapa sebab tidak dapat diperbaiki lagi, dan berakhir
. 4
dengan perceraian.

Perceraian memang suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka yai1g perlu
untuk tidalc menimbulkan malapetaka lain yang lebih besar. Karena itu perceraian
adalal1 pintu daruratnya perkawinan guna kemaslahatan bersama. Untuk itulah
Tuhan

mengadakan

peraturai1-peraturan perceraian di

samping peraturan

perkawinan dan atas dasai· ini pulalah negara Republik Indonesia mengatur hal-hal

4

M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

Cet. ke-2, h. 29

3

yang tidak di atur hukumnya dalam agama, demi kebahagiaan dan ketentraman
keluarga, masyarakat dan negara5•
Sebagaimana perkawinan, perceraian juga menimbulkan berbagai akibat
hukum baik terhadap suami isteri, harta benda maupun anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Dalam ha! perceraian anak adalah pihak yang paling
menderita baik fisik maupun mental.
Sebagai anlanah dan pelanjut keturunan dalam sejarah umat manusia,
sudah selayaknya anak-anak mendapat pemeliharaan, pendidikan dan pembiayaan
hidup dari kedua orang tuanya, baik orang tua masih terikat dalam perkawinan
ataupun setelah perceraian. Sehingga anak dapat menjadi orang yang berbudi Juhur
dan tidak merasakan kurangnya kasih sayang dari kedua orang tua walaupun
mereka telah berpisah.
Sehubungan dengan pentingnya masalah perlindungan anak setelah
perceraian, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut khususnya
ha! yang berkaitan dengan pemeliharaan dan biaya hidup anak yang ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Perdata, yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah
judul skripsi yaitu "AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN.JAU DARI
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA."

5

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara,
1986), h.12

4

B. Batasan Dan Rumusan Masalah
Banyak ha! yang dapat menyebabkan suatu ikatan perkawinan berakhir
dengan perceraian sebagaimana tersebut di atas. Begitu pula dengan akibat yang
ditimbulkan dari perceraian tersebut, baik terhadap suan1i isteri, harta benda
maupun anak-anak mereka. Berbagai masalah hukum ym1g ditimbulkan oleh
perceraian menarik untuk dikaji, namun untuk menyamakan persepsi dalam
pembahasan skripsi ini penulis hanya akan membahas masalah pemeliharaan dan
biaya hidup anak akibat perceraian.
Setelah mengetahui batasan .. masalah dan berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diungkapkan, maka penulis akan memberikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa saja alasan dan akibat hukum yang dapat ditimbulkan dm"i suatu perceraian
menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata?
2. Bagaimana sebenarnya pemeliharam1 anak setelah perceraian ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Perdata?
3. Bagaimana dengan biaya hidup anak setelah perceraian ditinjau dari dua sisi
hukum tersebut?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui alasan dan akibat dari perceraian ditinjau dari Hukum Islam
dan Hukum Perdata.

5

2. Untuk lebih mengetahui masalah pemeliharaan anak setelah terjadinya
perceraian.
3. Untuk lebih mengetahui masalah biaya hidup anak setelah perceraian.

D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
metode "Studi Kepustakaan", yaitu dengan mengumpulkan data-data dari berbagai
sumber yang ada kaitan dan relevansinya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini
baik sifatnya primer ataupun sekunder..
Selanjutnya data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan "Metode
Komparatif' yaitu dengan membandingkan antara Hukwn Islam dan Hukum
Perdata terhadap suatu masalah yang kemudian disajikan dalam kerangka deduktif
yaitu

memaparkan

permasalahan

secara umum

untuk

kemudian ditarik

kesimpulannya secara khusus.
Dengan kata lain, metode yang akan dikembangkan adalah metode

deskriptif analitis, yakni dengan memaparkan tema tersebut secara teratur,
kemudian dianalisis dengan berbagai pandangan dan informasi lainnya.
Sedangkan teknis penulisannya tetap menggunakan buku "Pedoman
Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah" yang disusun oleh UIN
Jakarta Press. Dengan beberapa pengecualian, yaitu:
I. Dalam daftar pustaka al-Qur'an al-Karim dicantumkan pada urutan pertama

dari sumber-sumber lainnya. Urutan berikutnya disusun secara alfabetis.

6

2. Kutipan langsung yang berasal dari te1jemahan ayat-ayat al-Qur'an dan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tidak disertai catatan kaki (footnote).
3. Kutipan te1jemahan al-Qur'an, al-Hadits dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ditulis satu spasi meskipun kurang dari 6 baris.

E. Sistcmatika Pcnulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan clan penulisan, maka penulis
mengklasifikasikan pennasalahan dalam beberapa bah dengan sistematika sebagai
berikut:
BABI

: Merupakan bah Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Batasan Dan Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian,
Sistematika Penulisan.

BAB II

: Merupakan uraian sekitar Perceraian, yang tercliri dari ; Pengertian,
Alasan dan Akibat Perceraian menurut Hukum Islam clan Hukum
Perdata.

BAB III

: Uraian tentang Akibat Perceraian Bagi Anak., yang terdiri dari;
masa!ah Pemeliharaan Anak dan Biaya Hidup Anak rnenurut Hukum
Islam dan Hukum Perdata serta menganalisis kedua permasalahan
tersebut dari sisi persamaan dan perbedaaimya.

BAB IV : Merupakan bah Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saransaran.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENT ANG PERCERAIAN

A. Mennrut Hnkum Islam
1. Pengertian Perceraian

Putusnya perkawinan antara suami isteri biasa dikenal dengan istilah
"perceraian". Perceraian berasal dari kata "cerai" yang

ュQセョオイエ@

bahasa berarti

"pisah" atau "talak" . 1 Sedangkan perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak"
atau "furqoh''. Talak artinya membuka ikatan atau membatalkan pe1janjian.
Furqoh berarti bercerai, lawan dari berkumpul, kemudian kedua kata ini dijadikan
istilah oleh ahli-ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami isteri.2
Talak dapat pula didefinisikan:

Artinya:
"Melepas ikatan perkawinan (nikah). " 3

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan definisi talak yaitu.:

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa lndonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), Cet. ke-1, h.163
2

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
l 987), Cet. ke- l, h. l 44
3

Sayyid Al Imam Muhammad Bin Ismail Al Kahlani dan As San'ani, Subulu As Salam,
(Bandung: Maktabah Dahlan, tth), Jilid 3, h. 168

8

Artinya:

"Talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
isteri. " 4

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa talak pada dasarnya merupakan
earn untuk melepaskan ikatan perkawinan. Dan sudah menjadi ketentuan syara'
bahwa talak itu adalah hak laki-laki atau suami dan hanya ia saja yang boleh
mentalak isterinya, orang lain biarpun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai
wakil yang sah dari suami tersebut. Islam menjadikan talak hak laki-laki atau
suami adalah karena laki-laki atau suamilah yang dibebani kewajiban
perbelanjaan rumah tangga, nafkah isteri, anak-anak dan kewajiban lain. 5Adapun
dasar hukum yang menjelaskan masalah talak diantaranya ialah:

Artinya:
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati masa
iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang ma 'ruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia
telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukumhukum Allah permainan ... "(Q.S. Al Baqarah/2: 231)

h.40

4

Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, (Beirut: Dar Al Fikr, 1983), Cet. ke-4, Jilid 2, h. 206

5

M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

9

Macam-macam talak:
I. Talak raj'i, yaitu talak suami kepada isterinya dengan hak suami kembali lagi
kepada bekas isterinya tanpa melakukan akad nikah baru, seperti talak satu
atau talak dua. Untuk dapat kembali rujuk, maka bekas suami isteri pernah
melakukan hubungan seksual dan tanpa uang ganti rugi (tebusan) dari pihak
isteri.
2. Talak ba'in, yaitu talak suami yang dijatuhkan kepada iseri dan suami tidak
boleh rujuk kecuali dengan akad nikah baru.
Talak ba'in terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Talak ba'in shugro (kecil), yaitu talak yang dijatuhkan

suami kepada

isterinya yang belum dicampuri (qobla al dukhul), atau talak yang
disertakan tebusan/ uang ganti rugi dari isteri (khulu'). 6
b. Talak ba'in kubro (besar), yaitu talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada
isterinya. Bagi kcdua belah pihak tidak boleh rujuk atau melakukan akad
nikah baru kecuali bekas isteri telah melakukan perkawinan baru dengan
laki-laki lain, kalau perkawinan itu putus karena perceraian atau suami
meninggal maka ia dapat melakukan perkawinan dengan bekas suami
pertama setelah selesai menjalani masa iddahnya. 7

seq.

6

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina llmu, 1993), h.331

7

R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), Cet. ke-1, h. 98 et

10

Dalam

Islam talak hanyalah salah satu bentuk yang dapat

menyebabkan putusnya perkawinan selain khulu'. Khulu' berarti permintaan
talak oleh isteri kepada suaminya dengan membayar tebusan. Menurut ahli
fiqh, khulu' adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi
kepadanya. 8 Ganti rugi (tebusan) merupakan salah satu bagian pokok dari
pengertian khulu', jika ganti rugi tidak ada maka khulu'nya juga tidak sah.
Dasar hukum khulu' Q.S. Al Baqarah/2:229.
Adapun hal-hal yang dapat memicu terjadinya talak atau khulu', yaitu:
a. Ta'lik Talak
Ta'lik Talak mempunyai arti suatu talak yang digantungkan
jatuhnya kepada te1jadinya suatu ha! yang memang mungkin terjadi yang
telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian. 9 Dasar hukum
diperbolehkannya ta'lik ialah Q.S. An Nisaa/4: 128.
b. Syiqaq
Syiqaq adalah perselisihan atau percekcokan antara suami isteri. 10
Berarti pula perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang

8

Sayyid Sabiq, Op. cit, h.253

9

Ibid

"Ahmad Rafiq, Hukum lslam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet.
ke-3, h.272

11

hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
·
· 11
p1']mk 1sten.

Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat
mengadakan

perdamaian

dan

perbaikan

untuk

menyelesaikan

persengketaan diantara dua belah pihak suami isteri. Dasar hukum syiqaq
Q.S. An Nisa/4:35.

c. Ila'
Ila' adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh orang Arab di
zaman jahiliyah. Meng-ila' isterinya ialah seorang suami bersumpah tidak
akan menyetubuhi isterinya. Dengan datangnya Islam, maka adat tercela
yang dibiasakan orang Arab itu diubah dengan menetapkan untuk ila'
suatu pembatasan, bahwa ila' itu hanya sampai empat bulan saja dan
setelah empat bulan suami harus memilih antara kembali kepada isterinya
(menyetubuhinya)

lagi

dengan

membayar

kafarat

sumpah

atau

menceraikan. 12 Dasar hukum dari ila' ialah Q.S. Al Baqarah/2: 226.
d. Zhihar
Zhihar berarti punggung. Maksuclnya ialah: perkataan suam1
kepacla isterinya, "untukku engkau seperti punggung ibuku." Apabila
suami telah mengucapkan perkataan tersebut, maka isterinya itu haram

h.50.

11

Kamal Mukhtar, Op. cit., h.173

12

M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet. ke-2,

12

dicampurinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya. Dan untuk dapat
kembali mencampuri isterinya, maka wajib baginya untuk membayar
kafarat (denda). Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian pada masa
Arab Jahiliyyah. 13 Masalah zhihar diatur dalan1 Q.S. Al Mujadalah/58:1-4,
dan Al Ahzab/33:4.
e. Fasakh
Fasakh berarti rusak atau batal. 14 Memfasakh akad nikah berarti
membatalkan dan melepaskan ikatan perkawinan suami isteri. Fasakh
dapat terjadi karena sebab _yang berkenaan dengan akad (sah atau
tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah ber!akunya akad. 15
f.

Mubara'ah 16
Mubara'ah merupakan bentuk lain dari perceraian berdasarkan
persetuj uan kedua be Iah pihak dari suan1i isteri. Kalau dalam khulu
dikenal adanya iwadl (semacam penggantian atau tebusan), maka dalam
mubara'ah yang diperlukan hanyalah persetujuan kedua belah pihak dari
suami isteri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan perkawinan, dan

13

Kamal Muchtar, Op. cit., h.181

14

Mahmud yunus, Kamus Arab-indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 316

15

l-1.S.A. Al Hamdani, Risa/ah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 19fW), h.42

16

/v/ubara 'ah adalah istilah dalam perceraian yang dipergunakan di India

13

"kedua pihak telah merasa puas hanya dengan kemungkinan terlepas dari
ikatan masing-masing. " 17
g. Fahisyah
Fahisyah

atau

faahisyah

artinya

kekejian.

Dalam

hukum

perkawinan fahisyah umumnya diaitikan perzinaan. Dapat pula diaitikan
semua perbuatan buruk dari pihak suami atau isteri yang mencemarkan
nama keluarga tersebut. Dengan demikian fahisyah dapat diaitikan berbuat
zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan. Dasar hukum fa.hisyah adalah Q.S. An Nisaa/4:15.

18

h. Murtad
Kalau salah seorang dari suami isteri itu ke luar dari agama Islam
atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. 19
1.

Li'an
Li'an berasal dari kata la'n yang berarti kutukan. Disebut Ji'an
karena masing-masing pihak suami isteri mengutuk pihak yang lain
setelah masing-masing menyatakan persaksian empat kaii. 20 Li'an dapat
pula diartikan sebab suami isteri yang bermula'anah pada ucapan yang
kelima "sesungguhnya laknat Allah akan jatuh padanya jika ia tergolong

17

M. Djamil Latif, Op.cit., h.60

18

Sayuti Thalib, Op. cit., h. l 13

19

Ibid. h.l 19

°Kamal Muchtar, Op. cit., h.186

2

14

orang yang dusta." Dasar hukum li'an terdapat dalam Q.S. An Nuur/24:67.21

2. Alasan Perceraian

Langgengnya kehidupan perkawinan mernpakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya hingga meninggal
dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rnmah tangga tempat
berlindung dan menikmati kasih sayang. Tetapi, ketika :;alah satu pihak atau
kedua belah pihak dari suami isteri merasa bahwa kehidupan perkawinannya tidak
dapat dilanjutkan adalah merupakan alasan pokok perceraian.
Oleh sebab itu Islam memberikan hak talak kepada suami untuk
menceraikan isterinya dan hale khulu' kepada isteri untulc menceraikan
suaminya. 22
Walaupun Islam membolehkan perceraian, narnun pada pnns1pnya
perceraian dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak
atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.

jEQセZNゥGャェ[AMᄋ」P|@

/a

/

-;;

/}\

-;:

\

/

/

!\

,.,

,., ,.,

(,. 4=\t\ セMG@

110

"-":-L. 0'. l_,.:i-' |セBNi@

0

Gv-) セIスQj@

,,.,-r;

\

1,:0 セ@

21

Sayid Sabiq, Op. cit., h.270

22

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan da/am Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h.

15

Artinya:
"Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian). (I-LR. Abu Daud, Ibn Majah dinilai shahih oleh Hakim). 23
Pada dasarnya Al-Qur'an tidak memberi suatu ketentuan yang
mengharuskan

suarm

untuk

mengemukakan

sesuatu

alasan

untulc

mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada isterinya. Namun suatu alasan
yang mungkin dikemukakan suan1i untuk menjatuhkan talak kepada isterinya
bahwa ia merasa tidak senang lagi kepada isterinya. Demikian juga isteri dapat
mengemukakan alasan bahwa ia merasa sudah tidak senar1g Jagi kepada
suaminya, dan dengan alasan ini ia minta diceraikar1 kepada suaminya. Walaupun
talak semacam ini sangat di benci, tetapi talaknya sah. Namun untuk terwujudnya
hadits Nabi tersebut, demi kelangsungan perkawinan tidak ada halangan bila
alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk perceraian ditetapkan harus ada. 24
Alasan-alasan yang membolehkan suami menjatuhkan talak ialah:
a. Isteri berbuat zina.
b. Isteri nusyuz, 25 setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya.
c. Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu
keamanan rum ah tangga. 26
23

Sayyid Al Imam Muhammad Bin Ismail Al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h.168

24

M. Djamil Latif, Op. cit, h, 43

25

Nusyuz ialah sikap tidak patuh dari isteri dengan tidak ada alasan yang dapat diterima oleh
syara. (Lihat Sulairnan Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1995, h. 398)
26

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), Cet
ke-15, h. 113.

16

Demikian pula isteri boleh menuntut cerai dari suaminya dengan khulu',
berdasarkan alasan:
a. Kedua suami isteri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu bergaul
secara ma'ruf.
b. Isteri sangat benci kepada suan1inya lantaran sebab-sebab yang tidak
disukainya, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suaminya. 27
Sedangkan menurut Abdul Qadir Djaelani, alasim perceraian tersebut
adalah:
a. Pertengkaran atau perselisihan yang tidak bisa di atasi lagi.
b. Suan1i dipenjarakan seumur hidup atau jik.a suami pergi dan tidak ada
beritanya lagi atau suami cacat yang tidak memungkinkan untuk bisa mencari
nafkah guna kepentingan isterinya, atau mungkin juga salah satu pihak
berkelakuan jahat atau berperangi kejam atau terlalu bakhil dalam
menafkahkan keluarganya. 28
Dan sebagai perbandingan, terpenuhinya alasan lmtuk dapat terjadinya
perceraian menurut Hukum Islam telah diserap oleh Undang-undang Perkawinan
No. I Talmn 1974 pasal 39 ayat 2, yaitu:
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak alcan dapat hidup rukun sebagai suarni isteri.

27

Ibid., h.132

28

Abdul Qadir Djaelani, Op. cit, h. 325

17

Alasan-alasan yang dimaksud dalam Hukum Islam tersebut telah
dibukukan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 19. Perceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ha! lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus te1jadi perselisihan dan gertengkaran
dan tidak ada harapan akan hid up rukun lagi dalam rumah tangga. 9
Banyaknya alasan perceraian yang dikemukakan pada dasarnya berawal
dari ketidaksenangan antara pasangan suami isteri yang alchirnya menimbulkan
dampak permasalahan lain.

3. Akibat Perceraian

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalal1 sebagai berikut:
a. Akibat bagi bekas suami dan isteri
1. Kepada bekas suami wajib membayar atau melunasi maskawin yang belum

dibayar atau dilunasi, sebagaimana firman Allah Surat An Nisa/4: 4.
2. Bekas suami wajib memberi mut'ah, yakni memberi suatu pemberian guna
menggembirakan isteri yang telah ditalalmya (talalc yang tidak atas

29

Ahmad Rafiq, Op. cit., h. 275

18

permintaan isteri) itu, baik berupa uang maupun benda, sesuai dengan
keadaan dan kedudukan suami.
3. Bekas suami wajib memberi nafkab 'iddah, yakni biaiya hidup isteri selama
jangka waktu 'iddab raj'i.
4. Bekas suami wajib menyediakan perumaban, yakni tempat kediaman bagi
isteri yang telah ditalak raj'i, sedang bagi isteri yang ditalak ba'in hanya
disediakan tempat kediaman kalau ia dalam keadaan hamil.
5. Bekas suami wajib memberikan pakaian, yakni kain baju menurut ma'ruf
bagi isteri yang ditalak. 30
Prof. DR. H. Malunud Yunus dalam bukunya Hukum Perkawinan Dalam

Islam menambahkan babwa bekas suami wajib memberi belanja untuk
pemeliharaan dan kewaj iban bagi pendidikan anaknya-auaknya menurut batas
kemampuau dau kesauggupannya, sesuai dengan kedudukan suami sampai anakanaknya itu baligh lagi berakal dan mempunyai penghasilan. 31
Ketika terjadi perceraian, maka bekas suami berhak untuk rujuk kembali
kepada bekas isterinya selama dalam masa 'iddab. 32 Dan untuk bekas isteri
selama masa 'iddah wajib menjaga diri dan kehormatannya serta tidak menerima
pinangan orang lain. Adapun 'iddah yang diwajibkan untuk bekas isteri adalah:
30

M. Djamil Latif, Op. cil., h. 41 et seq.

31

Mahmud Yunus, Op. cit., h. 126

32

lddah adalah masa menanti yang diwajibkan alas isteri yang terputus ikatan perkawinannya
dengan suaminya baik karena ditinggalkan mati atau perceraian.

19

1. 'Iddah isteri yang haid, tiga kali suci;

2. 'Iddah isteri yang tidak Jagi haid, tiga bulan;
3. 'lddah isteri yang ditinggal mati suaminya, empat bulan sepuluh hari;
4. 'lddah isteri yang hamil, sampai melahirkan;
5. Bagi isteri yang belum disetubuhi maka tidak ada 'iddah baginya. 33
b. Akibat bagi harta kckayaan
Dalam Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri
karena pernikahan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi m:ilik isteri dan dikuasai
penuh olehnya; demikian pula harta.. kekayaan suami tetap menjadi milik suami
dan dikuasai penuh olehnya. Karena itu pula menurut HU:kum Islam perempuan
yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum, sehingga ia dapat
melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.
Jika dalam perkawinan diperoleh haita, maka haita ini adalah ha1ta
syirkah, yaitu harta bersama dari suami isteri. Tetapi dalam ha! haita kekayaan
yang terpisah, masing-masing dari suami isteri tidah berhak dan be1wewenang
alas kekayaan masing-masing. Harta kekayaan ini meliputi haita bawaan, haita
yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri dan harta
yang diperoleh karena hadiah atau warisan.
Kematian salah satu pihak menimbulkan hak saling waris-mewarisi dari
kekayaan tersebut tetapi perceraian tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap
harta kekayaan tersebut. Berbeda dengan harta syirkah yang merupakai1 haita
33

Abdul Qadir Djaelani, Op. cit., h. 338

20

kekayaan tambahan karena usaha bersama, apabila ikatan perkawinan putus baik
meninggalnya salah satu pihak atau perceraian, maka harta i:ni dibagi antara suami
isteri. 34
c. Akibal bagi anak
Perceraian mengakibatkan adanya pemeliharaan anak (hadhanah) serta
aluran tentang biaya hidup anak yang hams ditanggung orang tua, ha! ini akan
dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.

B. Menurut I-Iukum Perdata
I. Pengcrtian Perceraian

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 35
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dijelaskan bahwa
"perceraian" adalah salah satu sebab saja dari bubar atau hapusnya perkawinan,
karena dalam pasal 199 disebutkan bahwa hal-hal yang yang dapat menyebabkan
bubarnya perkawinan adalah:
a. karena kematian
b. karena keadaan tak hadir si suami atau si isteri, selan1a sepuluh tahun, diikuti
dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya ...
c. karena putusan Hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan
pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam
register catatan sipil. ..

h.42.

34

M. Abdul Djamil, Op.cit., h.83

35

Subekti, Pokok-pokok Hukuk Perdata, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), Cet. ke XXIV,

21

d. karena perceraian ...
Sebab-sebab hapusnya perkawinan tersebut akan dijelaskan secara global,
sebagai berikut;
a. Karena kematian
Bubamya perkawinan karena kematian kiranya tidak perlu mendapat
penjelasan lebih lanjut, karena dengan meninggalnya salah satu pihak, maka
ikatan perkawinan dengan sendirinya hapus.
b. Perihal tak hadirnya salah satu pihak, ini diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 493 BW: jika seorang di antara suami isteri telah meninggalkan
tempat tinggalnya selama I 0 tahun dan tidak ada kabar bagaimana nasibnya,
maka orang yang ditinggalkan dapat minta izin dari Pengadilan untuk
memanggil yang pergi tadi di dalam suatu panggilan umum 3 kali berturutturut.
Pasal 494 BW: jika setelah panggilan yang ke-3 ia tidak datang, maim
Pengadilan dapat memberi izin kepada orang yang clitinggalkan itu untuk
kawin.
Pasal 495 BW: jika izin untuk kawin telah diberikan, tapi belum
te1jadi sesuatu perkawinan, maka jika yang pergi itu datang kembali izin yang
telah diberikan itu tidak berlaku lagi.

22

Jika perkawinan telah terjadi dan yang perg1 datang, maka yang
belakangan ini berhak kawin dengan orang lain. 36
c. Perpisahan meja dan ranjang
Bagi sepasang suami isteri yang tidak dapat hidup bersama tetapi
menurut kepercayaan agama atau keinsyafannya sendiri mungkin keberatan
terhadap suatu perceraian, oleh Undang-undang diberikan kemungkinan untuk
meminta suatu "perpisahan meja dan tempat tidur (echschelding van tavel en
bed)." Cara pemecahan ini ada baiknya, karena kesempatan untuk berdamai

yang selalu masih terbuka dan kedua pihak masih terikat oleh pe1ialian
perkawinan. 37
Untuk meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus ada alasan
yang sah. Undang-undang menyebutkan alasan-alasan yang sama seperti yang
ditetapkan untuk alasan suatu perceraian, tetapi di samping itu ada juga alasan
yang

dinamakan

"perbuatan-perbuatan

melampaui

batas"

(bultensporigheden), sedangkan penganiayaan dan penghinaan berat juga

merupakan alasan untuk minta perpisahan ini.(pasal 33 BW)
Hakim dapat juga mengizinkan perpisahan meja dan tempat tidur atas
persetujuan kedua belah pihak dengan tak usah mengajukan sesuatu alasan,

36

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara,
1986), h.122.
37

Subekti, Op.cit., h.45

23

asal saja perkawinan itu sudah berlangsung paling sedikit dua tahun. (pasal
236 BW)

Akibat perpisahan meja dan tempat tidur, suami isteri dibebaskan dari
kewajibannya untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa
pemisahan kekayaan. Tetapi tidak berakibat hapusnya kekuasaan orang tua

(ouderlijke macht). 38
d. Karena perceraian
Adapun yang menjadi dasar bubarnya perkawinan ini, adalah perceraian
yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan tempat tidur.

2. Alasan Pcrccraian

Undang-undang

tidak

memperbolehkan

percera1an

dengan

pemufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Dalam
pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dijelaskan bahwa
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian perkawinan adalah:
a. Zina (over!>pel);
b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwilige verlating);
c. Penghukuman yang melibihi 5 (lima) tahun karena dipersalahkan
melakukan suatu kejahatan;
d. Penganiyaan berat atau membahayakan jiwa.

311

Ibid,

24

Undang-undang menambahkan dua alasan: a. salah satu pihak
mcnclapat cacacl baclan atau panyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami isteri; b. antara suami isteri terus-menerus terjadi
perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga (pasal 19 PP.9/1975). 39
Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan alasan-alasan tersebut:
a. Zina
zma adalah persetubuhan yang dilakuka11 oeh laki-laki atau
perempuan yang telah kawin rlengan perempuan atau laki-laki yang bukan
isteri atau suaminya.40 Bagi pihak lain yang tidak kawin ha! yang
demikian ini tidak diartikan sebagai zina.
Penafsiran yang sempit ini merupakan pengertian zina dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284. Berbeda dengan zina
dalam pengertian Hukum Islam, yaitu hubungan kelamin diantara seorang
lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
hubungan perkawinan, tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau
kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing

39

Subekti, Op. cil., h.42, et seq.

"° R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional,

1981 ), Cet. kc- I, h.800

25

ataupun belum menikah sama sekali, kata "zina" ini dikenakan baik
terhadap seorang atau keduanya telah menikah ataupun belum. 41
Apapun pengertian zina dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata,
zina tetap

merupakan salah satu alasan penting untuk memohon

perceraian. Zina erat kaitannya dengan sanksi pidana, karena biasanya
pihak yang bersalah dituntut lebih

jsH|ᄋNセ@

/

」セイZ@

/

ッセ|I@

V'

//

. '\ .(b セ@ . セ@
u,....u:::_:
,,
,,
. .. P[セZN]gカMゥj|@

//.//

".:'i:;'G--:;.,o·
セgj@
u ;.. v..

v
0/.

/.)

D

,., ,
/.}D

,,

Artinya:
"para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan ma 'ruf .. " (Q.S. Al Baqarilh/2: 233)
Adapun aturan yang lebih mengutamakan ibu sebagai pengasuh
berdasarkan hadits Rasul:

Artinya:
Dari Abdullah bin 'Amr bahwasannya seorang perempuan berkata: "
Ya Rasulul/ah! Sesungguhnya anakku ini adalah dari kandunganku, dari susuku
ia mendapat minuman dan pangkuanku adalah tempat berlindungnya. Dan
sesungguhnya bapaknya telah menceraikan a/cu dan ia hendak mengambil anak
ini dariku. " Maka Rasulullah bersabda: " Engkau lebih berhak terhadap anak ini

8

1, h.215

A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1994), Cet. ke-

34

selama engkau belum menikah lagi. " (H.R. Ahmad dan Abu Daud dinilai shahih
oleh Hakim)9
Tiada terdapat ikhtilaf dikalangan ulama terhadap permasalahan ibu lebih
berhak dari bapak dalam ha! mengasuh anak.
Ibnu Abbas menurut hadits yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq,
menyatakan:

A1tinya:
"Bau ibunya, tilamnya dan panas tubuhnya lebih baik bagi anak yang
nersangkutan dari padamu (ayah) sqmpai dia remaja dan dapat memilih (anatar
ibu dan bapaknya) untuk (kebaikan) dirinya. " 10
Tetapi ketika perceraian terjadi karena ibunya yang pindah agama
(murtad), atau sebaliknya, perkawinannya