Kekuatan Hukum Pembagian Waris Melalui Akta Perdamaian Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata

(1)

TESIS

Oleh

FEBRI SILVIA DEWI

117011007/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FEBRI SILVIA DEWI

117011007/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum


(5)

Nama : FEBRI SILVIA DEWI

Nim : 117011007

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KEKUATAN HUKUM PEMBAGIAN WARIS

MELALUI AKTA PERDAMAIAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :FEBRI SILVIA DEWI Nim :117011007


(6)

sukarela dan cara paksaan, cara sukarela yang berujung pada perdamaian dan paksaan dengan putusan Hakim. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif.

Pembagian warisan dalam perdata mengenal dua ahli waris, yaitu ahli waris ab intestato atau menurut undang-undang dan ahli waris testament atau menurut wasiat. Pada ahli waris menurut undang-undang ada pembagian 4 golongan, yaitu golongan pertama,kedua,ketiga dan keempat yang tiap-tiap golongan memilikki karakteristik dan sistem pembagian tersendiri, sedangkan ahli waris menurut wasiat berdasarkan penunjukan wasiat dan tidak boleh menghilangkan hak waris dari ahli waris ab intestato. Perdamaian dalam pembagian waris adanya perdamaian melalui persidangan dan di luar persidangan. Perdamaian di luar persidangan adanya bentuk akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik yang berdasarkan persetujuan Hakim(acta van vergelijk) dan tidak berdasarkan persetujuan Hakim (acta van dading) termasuk akta perdamaian yang dibuat di muka Notaris. Pelaksanaan pembagian harta warisan melalui akta perdamaian tergantung kepada kesepakatan para pihak yang berdamai, jika bagian yang ditentukan langsung berupa benda nyata maka penyerahannya kelak berupa benda nyata juga namun jika pembagian berupa taksiran harga, berarti pelaksanaannya melalui penjualan harta peninggalan dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan pembagian awal. Penyelesaian pembagian yang bersifat langsung kepada benda nyata maupun taksiran adanya proses yang harus dilaksanakan terdahulu oleh ahli waris yaitu pengurusan surat keterangan hak waris dan akta pemisahan dan pembagian.

Kekuatan hukum dari akta perdamaian dapat dilihat akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik, jika akta perdamaian di bawah tangan kekuatan hukum dalam pembuktian selama para pihak mengakui tanda tangannya maka berkekuatan hukum sama dengan akta otentik. Akta perdamaian otentik memiliki kekuatan hukum sempurna dalam pembuktian, terutama putusan akta perdamaian memiliki kekuatan yang disamakan dengan putusan akhir, dapat dieksekusi, dan tidak dapat melakukan upaya hukum untuk selajutnya. Akta perdamaian dapat dibatalkan dengan ketentuan 1859 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Penyelesaian waris tidak harus selalu melalui litigasi melainkan adanya pilihan perdamaian yang lebih menguntungkan dan dalam pebuatan perdamaian lebih baik dalam bentuk akta otentik sehingga dalam kekuatan hukum lebih sempurna. Kata kunci : Pembagian waris, Akta perdamaian, Kekuatan hukum.


(7)

inheritance ends in peace, while by coersion means that it ends in the court of law. This a descriptive analytical study with normative juridical approach.

In civil law, the distribution of inheritance recognizes two types of heirs; the ab inestato heir or according to law and testament heir or according to the will. According to the law, the heir is divided into 4 (four) groups – the first, second, third, and fourth groups – and each groups has its own characteristic and distribution system. According to the will, the heir is the one appointed in the will and must not eliminte the inheritance right of the ab intestato heir. Peace in the distribution of inheritance can be divided into two categaries – through a trial and and outside the court. The peace outside the court can be with underhanded peace deed and an authentic peace deed based on the judge’s agreement (acta van vargelijk) and without the judge’s agreement (acta van dading) including the peace deed made before a public notary. The implementation of distribution of inheritance through the peace deed depend on the agreement made the parties making peace. If the distribution directly determined is in the form of real object, the delivery later is also in the form of real object, but if the distribution is in the form of estimate price, the implementation of distribution of inheritance is through the sale of the legacy and the proceeds of the sale is then divided in accordance with the intial distribution agreement. The settlement of direct distribution of real object or estimade price needs a process which must be first done by the heis such as preparing the certificate of inheritance right and the separation amd division deeds.

The legal power of peace deed can be seen from the types of the peace deed hold. If it is the underhanded peace deed, as evidence, its legal power is the same as that authentic deed aslong as the parties signed the underhanded peace deed admit that the signatures on the underhanded peace deedare theirs. The authentic peace deed has a perfect legal power as evidence, especially the decision of peace deed has same legal power as the that of final decision, it can be executed but not able to perform further legal action. Peace deed can be cancelled under the provision of article 1859 to article 1864 of the indonesial Civil Codes.

The settlement of inheritance distributionshould not always be through litigation because there are better more choices. The peace deed made will be better and more benefical in the form of authentic deed that it has a more perfect legal power.


(8)

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Kekuatan Hukum Pembagian Waris Melalui Akta Perdamaian Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar BapakProf. Dr. Runtung, SH.,M.Hum., Dr. Syahril Sofyan, SH.,MKn., Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN., M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Fakultas Hukum Kenotariatan Universitas Sumatera Utara


(9)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibu dan ayah tercinta serta saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis. Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada sahaba-sahabat yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi dan warna tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan Reguler tahun 2011 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Oktober 2013 Penulis,


(11)

I. DATA PRIBADI

Nama : Febri Silvia Dewi

Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru, 6 Febuari 1989

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jln. Kaharuddin Nasution, Pekanbaru.

Telepon/Hp : 083187954532

II. KELUARGA

Nama Ayah : Armawin

Nama Ibu : Masmi

III. PENDIDIKAN FORMAL

SD Negeri 050 Pekanbaru lulus tahun 2001

MTSN Simpang Tiga Pekanbaru lulus tahun 2004

SMA NEGERI 4 Pekanbaru lulus tahun 2007

S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Riau lulus tahun 2011 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU lulus tahun 2013


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

DARTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Keranga Teori dan Konsepsional... 13

G. Metodologi Penelitian... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 23

3. Metode Pengumpulan Data... 24

4. Analisi Data ... 24

5. Penarikan Kesimpulan ... 25

BAB II PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN ATAS DASAR ADANYA AKTA PERDAMAIAN ANTARA PARA AHLI WARIS ... 26

A. Pembagian Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 26


(13)

d. Golongan keempat ... 41

e. Anak luar kawin... 41

2. Ahli waristestament(wasiat) ... 50

B. Perdamaian Dalam Pembagian Waris... 52

1. Perdamaian melalui sidang Pengadilan ... 53

2. Perdamaian di luar Pengadilan ... 53

3. Bentuk perdamaian ... 60

C. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Melalui Akta Perdamaian ... 78

1. Surat keterangan hak mewaris ... 83

2. Akta pemisahan dan pembagian ... 90

BAB III KEKUATAN HUKUM DARI PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN MELALUI AKTA PERDAMAIAN ... 103

A. Pembagian Harta Warisan ... 103

B. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian ... 107

C. Pembatalan Akta Perdamaian ... 112

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117


(14)

Skema 2 Pembagian waris golongan pertama terhadap ahli waris dari

perkawinan lebih dari satu... 31

Skema 3 Pembagian waris terhadap golongan kedua ... 34

Skema 4 Pembagian waris terhadap golongan kedua yang mana turut serta saudara kandung... 35

Skema 5 Pembagian waris terhadap golongan kedua mengenai Pasal 855 KUHPerdata ... 35

Skema 6 Pembagian waris terhadap golongan kedua dengankloving... 37

Skema 7 Pembagian waris terhadap golongan ketiga ... 39


(15)

Ab intestato : Ahli waris menurut Undang-Undang

Acta superscriptie : Akta pengalamatan

Acta van dading : Akta perdamaian tanpa persetujuan Hakim

Acta Van Depot : Akta penyimpanan

Acta van vergelijk : Akta perdamaian dengan persetujuan Hakim

Afwezig : Tak hadir

Akil baliq : Dewasa

Aktiva : Pemasukan

Alternative Dispute Resolution : Kelembagaan penyelesaian sengkeata

diluar Pengadilan

Bedrog : Penipuan

Beneficiaire boedelaanvaarding : Penerimaan harta peninggalan secara hak istimewa

Beslag : Penyitaan

Bezwaring : Pembebanan

Boedel : kesatuan harta kekayaan (harta dalam

warisan)

Boedelbeshrijving : pencatatan boedel/ inventaris kekayaan

Case by case : Kasus demi kasus

Causa : Sebab

Civil Code / Burgelijke Wetboek : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Compromis : Perdamaian


(16)

Dwang : Paksaan

Dwaling : Kekhilafan

Executeur testamentair : Pelaksana Wasiat

Fact of life : Keseharian

Fiat justitia et pereat mundus : Meskipun dunia runtuh hukum harus

ditegakkan

Geschrift : Penulisan

Homo homini lupus : Manusia serigala bagi manusia lain

Inherent : Tidak terpisahkan

Inkracht van gewijsde : Berkekuatan hukum

In-natura : Wujud asli

Kloving : Pembelahan

Law and order : Hukum dan ketertiban

Legitimaris : Ahli waris yang mendapatkan bagian yang

ditentukan Undang-Undang

Legitimportie : Bagian ahli waris yang dilindungi oleh

Undang-Undang

Levering : Penyerahan

Library research : Penelitian Kepustakaan

Lichamelijke zaken : Benda yang berwujud/bertubuh

Olograpis/olografis : Wasiat yang dibuat dan ditulis sendiri oleh

pewaris

Onbeheerde boedel : Warisan yang tidak terurus


(17)

Pacta sunt servanda : Asas mengikatnya suatu perjanjian

Pasiva : Pengeluaran

Portie : Bagian

Problem : Masalah

Rekening en verantwoording : Perkiraan dan pertanggung jawaban

Resolutie : Surat yang dikeluarkan oleh Balai Harta

Peninggalan mengenai anggota teknis hukum yang berwenang menghadap dan bertindak di muka Notaris hal akta pemisahan dan pembagian

Roerende zaken : Benda bergerak

Samenleven : Hidup Bersama (tidak dalam ikatan

perkawinan)

Scheiding : Pemisahan

Splitsing : membagi;memisahkan

Taksasi : Taksiran

Taxateur : Ahli Taksir

Tegen woordig : Kehadiran seluruh ahli waris

The order by the law : Urutan berdasarkan hukum

The order of law : Urutan Hukum

Testament : Wasiat

Testamentair : Ahli waris menurut wasiat


(18)

Vermoedelijk overlijden : Seorang yang sebelumnya tak hadir dapat diputuskan kemungkinan sudah meninggal dengan keputusan Hakim

Vermogensrechtelijke betrekkingen : Hukum Kekayaan

Vrije beheer : Kebebasan dalam bertindak (tidak dalam

pengawasan)

Wettiglijk : Sah; diizinkan oleh Undang-Undang

Zaak : Benda


(19)

BPN : Badan Pertanahan Nasional

DPW : Daftar Pusat Wasiat

HIR : Herziene Indonesische Reglement

HKI : Hak Kekayaan Intelektual

IS : Indische Staatsregeling

Jo : Juncto

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

MA : Mahkamah Agung

RBG : Rechtsreglement vor Buitengeweesten

RI : Republik Indonesia

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

Stb : Staatsblaad

WNI : Warga Negara Indonesia


(20)

sukarela dan cara paksaan, cara sukarela yang berujung pada perdamaian dan paksaan dengan putusan Hakim. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif.

Pembagian warisan dalam perdata mengenal dua ahli waris, yaitu ahli waris ab intestato atau menurut undang-undang dan ahli waris testament atau menurut wasiat. Pada ahli waris menurut undang-undang ada pembagian 4 golongan, yaitu golongan pertama,kedua,ketiga dan keempat yang tiap-tiap golongan memilikki karakteristik dan sistem pembagian tersendiri, sedangkan ahli waris menurut wasiat berdasarkan penunjukan wasiat dan tidak boleh menghilangkan hak waris dari ahli waris ab intestato. Perdamaian dalam pembagian waris adanya perdamaian melalui persidangan dan di luar persidangan. Perdamaian di luar persidangan adanya bentuk akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik yang berdasarkan persetujuan Hakim(acta van vergelijk) dan tidak berdasarkan persetujuan Hakim (acta van dading) termasuk akta perdamaian yang dibuat di muka Notaris. Pelaksanaan pembagian harta warisan melalui akta perdamaian tergantung kepada kesepakatan para pihak yang berdamai, jika bagian yang ditentukan langsung berupa benda nyata maka penyerahannya kelak berupa benda nyata juga namun jika pembagian berupa taksiran harga, berarti pelaksanaannya melalui penjualan harta peninggalan dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan pembagian awal. Penyelesaian pembagian yang bersifat langsung kepada benda nyata maupun taksiran adanya proses yang harus dilaksanakan terdahulu oleh ahli waris yaitu pengurusan surat keterangan hak waris dan akta pemisahan dan pembagian.

Kekuatan hukum dari akta perdamaian dapat dilihat akta perdamaian di bawah tangan dan akta perdamaian otentik, jika akta perdamaian di bawah tangan kekuatan hukum dalam pembuktian selama para pihak mengakui tanda tangannya maka berkekuatan hukum sama dengan akta otentik. Akta perdamaian otentik memiliki kekuatan hukum sempurna dalam pembuktian, terutama putusan akta perdamaian memiliki kekuatan yang disamakan dengan putusan akhir, dapat dieksekusi, dan tidak dapat melakukan upaya hukum untuk selajutnya. Akta perdamaian dapat dibatalkan dengan ketentuan 1859 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Penyelesaian waris tidak harus selalu melalui litigasi melainkan adanya pilihan perdamaian yang lebih menguntungkan dan dalam pebuatan perdamaian lebih baik dalam bentuk akta otentik sehingga dalam kekuatan hukum lebih sempurna. Kata kunci : Pembagian waris, Akta perdamaian, Kekuatan hukum.


(21)

inheritance ends in peace, while by coersion means that it ends in the court of law. This a descriptive analytical study with normative juridical approach.

In civil law, the distribution of inheritance recognizes two types of heirs; the ab inestato heir or according to law and testament heir or according to the will. According to the law, the heir is divided into 4 (four) groups – the first, second, third, and fourth groups – and each groups has its own characteristic and distribution system. According to the will, the heir is the one appointed in the will and must not eliminte the inheritance right of the ab intestato heir. Peace in the distribution of inheritance can be divided into two categaries – through a trial and and outside the court. The peace outside the court can be with underhanded peace deed and an authentic peace deed based on the judge’s agreement (acta van vargelijk) and without the judge’s agreement (acta van dading) including the peace deed made before a public notary. The implementation of distribution of inheritance through the peace deed depend on the agreement made the parties making peace. If the distribution directly determined is in the form of real object, the delivery later is also in the form of real object, but if the distribution is in the form of estimate price, the implementation of distribution of inheritance is through the sale of the legacy and the proceeds of the sale is then divided in accordance with the intial distribution agreement. The settlement of direct distribution of real object or estimade price needs a process which must be first done by the heis such as preparing the certificate of inheritance right and the separation amd division deeds.

The legal power of peace deed can be seen from the types of the peace deed hold. If it is the underhanded peace deed, as evidence, its legal power is the same as that authentic deed aslong as the parties signed the underhanded peace deed admit that the signatures on the underhanded peace deedare theirs. The authentic peace deed has a perfect legal power as evidence, especially the decision of peace deed has same legal power as the that of final decision, it can be executed but not able to perform further legal action. Peace deed can be cancelled under the provision of article 1859 to article 1864 of the indonesial Civil Codes.

The settlement of inheritance distributionshould not always be through litigation because there are better more choices. The peace deed made will be better and more benefical in the form of authentic deed that it has a more perfect legal power.


(22)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunanaktiva dan pasiva orang yang meninggal dunia.1 Pewarisan hanya terjadi bilamana ada kematian (dari pewaris). Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 830 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Civil Code/Burgerlijke Wetboek).2 Seketika seseorang meninggal dunia, para ahli waris demi hukum akan menggantikan kedudukan pewaris sebagai pihak yang berwenang memiliki atau mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan.

Mulai terhitung sejak meninggalnya pewaris, maka hak dan kewajibannya demi hukum akan beralih kepada para penerima waris. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penerima waris berhak menguasai kekayaan pewaris (boedel) berlandaskan pada haknya sebagai penerima waris dari pewaris. Klaim ini serupa dengan klaim kepemilikan lainnya dalam arti bahwa hak tersebut dapat ahli waris pertahankan terhadap siapapun juga (ahli waris lainnya) yang memiliki klaim sama.3Harta kekayaan pewaris sebagai satu kesatuan pada prinsipnya menjadi milik seluruh ahli waris bersama-sama.

1. M.J.A Van Mourik,Studi Kasus Hukum Waris,(Bandung : Eresco, 1993), hlm.1. 2

Wilbert D. Kolkman et.al. (eds), Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm.147.


(23)

Konsekuensi hukum dari itu ialah bahwa dalam hal pengalihan, semua ahli waris harus bersama-sama menyepakati pengalihan demikian.

Ketentuan Pasal 1066 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pemegang hak waris tidak dapat dipaksa untuk membiarkan atau mempertahankan warisan dalam keadaan tidak terbagi. Pembagian waris dapat dituntut setiap saat, terlepas dari adanya kesepakatan bersama para ahli waris yang melarang pembagian demikian. Sekalipun begitu, para ahli waris dapat membuat perjanjian atau kesepakatan untuk menunda pembagian atau pemberesanboedelatau kekayaan pewaris untuk sementara waktu. Perjanjian demikian akan berlaku dan mengikat hanya selama 5 tahun, dan dapat diperbaharui setiap kali jangka waktu tersebut terlampaui.

Setelah harta warisan dibagi-bagikan, maka masing-masing ahli waris satu per satu sesuai porsi yang diterimanya menggantikan kedudukan pewaris sebagai pemilik harta kekayaan pewaris. Maka itu pula masing-masing ahli waris tidak dapat dianggap memperoleh kebendaan yang bukan bagiannya. Notaris dapat dilibatkan dalam proses pembagian ataupun pemberesan harta warisan. Setelah dibagi-bagi dan dibereskan, harta kekayaan pewaris tidak lagi berstatus sebagai milik bersama para ahli waris.

Pada pembagian waris dimana Notaris dapat dilibatkan dalam hal pembuatan akta-akta yang berkaitan untuk harta peninggalan yang akan dibagi sesama ahli waris. Akta Notaris merupakan “akta otentik yang dibuat oleh di hadapan Notaris menurut


(24)

bentuk dan cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.4 Dalam pembagian harta peninggalan Notaris salah satunya membuat akta Pemisahan dan Pembagian yang akan memuat dengan jelas keseluruhan ahli waris serta harta peninggalan.

Pembagian warisan atau harta peninggalan melalui dua cara, yaitu adanya cara sukarela dan cara paksaan. Terlepas dari unsur Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pembagian harta peninggalan melalu cara sukarela ialah pembagian yang dilaksanakan sesuai dengan kehendak seluruh ahli waris, baik secara undang-undang yang menyatakan tegas bagian masing-masing para ahli waris, termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun terlepas dari peraturan pembagian tersebut. Maksudnya lebih kepada pembagian berupa barang langsung tidak dinominalkan terlebih dahulu.

Pembagian warisan dengan cara sukarela tidak selamanya harus langsung dibagi untuk masing-masing ahli waris, bisa saja pada mulanya untuk pemilikan bersama terhadap harta tersebut, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan pelaksanaan secara sukarela adanya perdamaian yang ahli waris buat di hadapan Notaris untuk awal permulaan pelaksanaan pembagian waris. Perdamaian mana dibuat sesuai dengan pernyataan setiap ahli waris setuju dengan pelaksanaan pembagian waris yang mana telah disepakati bersama.

“Perdamaian yang dalam bahasa Belanda disebut juga “dading” atau juga “compromis” merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan mana para pihak,dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu 4Pasal 1 angka 7, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.


(25)

barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara”.5

“Setiap perdamaian hanya terbatas pada soal yang termaktub didalamnya; pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sekedar hak-hak dan tuntutan-tuntutan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi lantaran perdamaian tersebut. Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan".6

Pada pembagian waris yang melalui cara sukarela yang diawali dengan akta perdamaian bukan berarti menutup kemungkinan timbulnya sengketa. Karena dalam hal pembagian waris kebanyakan timbul permasalahan setelah adanya pembagian secara sukarela sesama ahli waris. Hal yang memicu timbulnya sengketa adanya hal-hal yang oleh sebagian atau salah seorang ahli waris merasakan hak mewarisnya hilang atau bagiannya yang tidak sepadan.

Salah satu contoh mengenai pembagian waris atau kepemilikan bersama yang melalui perdamaian pada mulanya yang memicu konflik dikemudian hari adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 841 K/Pdt/2012. Dalam kasus ini adanya kakak beradik berenam saudara, telah meninggal dunia satu orang. Dimana pada awalnya yang berlima saudara ini membuat akta perdamaian mengenai harta peninggalan dari kedua orang tua mereka, berupa beberapa bangunan rumah dan 200 kg emas. Dari berlima saudara tersebut, anak pertama atau anak yang tertua merasakan hak warisnya dihilangkan oleh saudara-saudaranya. Dalam gugatan

5Komar Andasasmita,Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya,(Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 498.


(26)

dinyatakan adanya penandatanganan akta perdamaian dengan blanko kosong oleh anak tertua, yang mana ternyata isi dari perdamaian tersebut ada klausula yang menyatakan penguasaan, penempatan ,dan pemeliharaan untuk harta peninggalan yang dikuasai oleh saudara-saudara kandungnya. Sehinga adanya penghilangan hak waris bagi anak tertua.

Pada penyelesaian sengketa waris melalui luar Pengadilan melalui jalur musyawarah dengan mediasi atau negosisasi. Sebenarnya negosiasi dan mediasi terdapat pada sengketa bisnis namun tidak menutupi untuk diterapkan dalam sengketa perdata lainya, yang berujung pada akta perdamaian nantinya. Negosiasi merupakan fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari. Negosiasi adalah merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang.7 Sedangkan mediasi merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.8

Pembagian warisan yang berujung konflik atau sengketa, adanya pilihan penyelesaian baik secara mufakat dan musyawarah keluarga maupun dengan jalur hukum, yaitu mengajukan gugatan waris ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini putusan 7Suyud Margono.ADR (Alternavie Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan

dan Aspek Hukum,( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 49. 8Ibid,hlm. 59.


(27)

Hakim yang telah berkekuatan tetap merupakan paksaan untuk pembagian waris atau harta peningalan, yang demikianlah disebut dengan pembagian waris atau harta peninggalan secara paksa.

“Tuntutan hukum untuk membatalkan suatu pemisahan meliputi setiap akta yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan harta tidak terbagi di antara para kawan waris, tak peduli apakah akta tersebut telah dilakukan dengan nama jual-beli, pertukaran, perdamaian, atau lain sebagainya. Namun apabila pemisahan harta peninggalan atau suatu akta yang seperti itu telah dilaksanakan, maka tak dapatlah dimintakan pembatalan terhadap suatu perdamaian yang kiranya telah dibuat untuk menghilangkan keberatan-keberatan yang nyata, yang terdapat dalam akta pertama”.9

Pembagian waris atau harta peninggalan secara paksa dimana adanya pelaksanaan pembagian waris ditentukan oleh Hakim dengan putusan hukum yang berkekuatan tetap bahkan dapat dengan eksekusi.

Pasal 18510 BW di Belanda atau New BW di Belanda memberikan kepada Hakim wewenang untuk memerintahkan cara mengadakan pembagian atau menetapkan sendiri pembagian tersebut. Menurut ayat (1) Hakim wajib memperhatikan kepatuhan dalam pembagian tersebut, baik yang menyangkut kepentingan para pihak maupun kepentingan umum. Ayat 2 memberikan Hakim peluang untuk memilih tiga cara pembagian, yaitu:11

9Pasal 1117 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

10Pasal 185 BW Belanda dengan tegas mengatur mengenai pembagian warisan dengan kekuasaan atau kewenangan Hakim, sedangkan di BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak adanya pengaturan yang tegas dan jelas mengenai kewenangan Hakim dalam pembagian waris, melainkan pembagian waris yang dimohonkan kepada Hakim atau masuk dalam Pengadilan, maka Hakim dengan pertimbangan berdasarkan ketentuan undang-undang dan literatur pendukung untuk memutuskan pembagian dan pembagian tersebut keseringan kepada pembagian taksiran bukan berupa pembagianin-natura. Sehingga menunculkan ketidak puasan para pihak yang bersengketa atau pihak yang memohonkan memohonkan pembagian waris kepada Hakim.


(28)

a. Memberikan sebagian dari barang tersebut kepada masing-masing rekan peserta pembagian;

b. Memberikan bagian lebih kepada seorang atau lebih rekan peserta dengan membayar ganti rugi atas nilai lebih;

c. Pembagian hasil bersih barang tersebut atau sebagian dari barang itu, setelah ini dijual menurut cara yang telah ditetapkan oleh Hakim.

Putusan Hakim mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berperkara, dan kekuatan pembuktian, yang berarti bahwa dengan adanya putusan telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu, serta kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara.12Putusan Hakim tersebut tidak selalu memberikan kenyamanan serta rasa keinginan yang tidak terpenuhi, karena dari itu tidak memungkinkan adanya akta perdamaian yang mengenyampingkan putusan Hakim tersebut.

Perdamaian dilaksanakan untuk menghindari serta menyelesaikan permasalahan, baik permasalahan tersebut masih bersifat musyawarah keluarga yang tidak terpecahkan maupun permasalahan yang telah masuk ranah hukum, dalam hal ini maksudnya sedang proses peradilan atau telah proses peradilan. Perdamaian yang dilaksanakan ketika putusan Hakim telah keluar dan para pihak masih tidak merasa nyaman serta keinginan tidak terpenuhi, maka para pihak mengenyampingkan putusan Hakim dan membuat akta perdamaian di hadapan Notaris. Hal yang

12 Rima Nurhayati, Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang Menyampingkan Putusan

Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi), Tesis, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2010), hlm.8.


(29)

demikian bukan berarti salah, karena hukum perdata selalu memberi peluang untuk perdamaian, lain dengan hukum pidana.

Salah satu contoh kasus perdamaian yang mengenyampingkan putusan Hakim adalah perdamaian yang dilaksanakan para pihak dalam upaya menyelesaikan sengketa waris melalui proses persidangan, yang pada akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor perkara : 305/ Pdt. G/2007/PN. Bks. Realisasi putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat dijalankan dengan sukarela dan eksekusi. Para pihak berkehendak untuk upaya damai. Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Akta perdamaian yang dijalankan bukan perdamaiandading, tetapi akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris yang merupakan bentuk perjanjian pada umumnya.13

Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.14 Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu putusan Hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak, adalah batal. Jika keputusan yang tidak diketahui

13Ibid.


(30)

itu masih dapat dimintakan banding, maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah.15

Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, adanya ketertarikan untuk melakukan penelitian yang dirangkai dengan Judul “ Kekuatan Hukum Pembagian Waris Melalui Akta Perdamaian Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang harus dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar adanya akta perdamaian antara para ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

2. Bagaimana kekuatan hukum dari pembagian harta warisan yang dilakukan melalui akta perdamaian?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar dengan akta perdamaian antara para ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum dari pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar adanya akta perdamaian antara para ahli waris.


(31)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Secara Teoritis

Penulisan ini sekiranya dapat memperkaya khasanah pengetahuan di bidang Hukum Waris, khususnya Hukum Waris BW mengenai pembagian waris yang diawali dengan akta perdamain , sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum waris di Indonesia.

2. Manfaat Secara Praktis

Hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat secara praktis, yaitu kepada:

a. Masyarakat, memberi pengetahuan dan pemahaman mengenai dasar hukum pembagian warisan bagi ahli waris khususnya Warga Negara Indonesia yang tunduk kepada hukum waris perdata.

b. Instansi terkait dan praktisi hukum, untuk memberikan masukan mengenai pembagian warisan menurut hukum waris perdata.

c. Peneliti, memberikan masukan dan bahan pembandingan bagi para peneliti yang tertarik mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum waris, khususnya hukum waris menurut perdata.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara


(32)

menunjukan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik tesis ini antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Pembagian Harta Warisan Orang Yang berbeda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51K/Ag/1999)”, oleh Sahriani NIM. 077011084. Rumusan Masalah:

a. Hak-hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris?

b. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama? c. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat

wajibah untuk orang yang berbeda agama?

2. Penelitian dengan judul “Penerapan Pasal 916 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Oleh Balai Harta Peninggalan Bagi Perlindungan Hak mewaris Anak Dibawah Umur Bagi Golongan Tionghoa (Studi Kasus Harta Peninggalan Tan Tjoen Kiah”, oleh Rasanty Sribulan L Siallagan NIM.027011055. Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah penerapan Pasal 916a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dilakukan dalam penyelesaian warisan dalam kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?

b. Mengapa Balai Harta Pemninggalan Medan melakukan penuntutan untuk kepentingan harta anak dibawah umur dalam kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?


(33)

c. Kendala apa-apa sajakah yang dihadapi oleh Balai Harta Peninggalan Medan sebagai wali pengawas dalam melaksanakan tugasnya dalam kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?

3. Penelitian dengan judul “Akta Perdamaian Sebagai Jalan Penyelesaian Sengketa Tanah Di luar Pengadilan (Studi Kasus Penyelesaian Perkara Antara Pemilik Tanah Adat Ahli waris PA Nampati Purba Dengan PT. Bank Sumatera Utara Di Kabanjahe)”. Oleh Syafruddin Adi Wijaya, NIM : 057011088/Mkn. Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah bentuk dan isi Akta Perdamaian dalam menyelesaikan sengketa tanah antara pemilik tanah adat yaitu ahli waris dari Pa Nampati Purba dan PT. Bank Sumatera Utara di luar Pengadilan ?

b. Apakah faktor-faktor yang harus dperhatikan dalam membuat akta perdamaian ?

c. Apakah hambatan-hambatan dan apakah upaya mengatasi hambatan yang dihadapai dalam pembuatan akta perdamaian ?

4. Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang Menyampingkan Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi)”. Disusun oleh Rima Nurhayati, NIM : B4B008226. Dengan rumusan masalah :

a. Bagaimana akibat hukum dari akta perdamaian yang isinya menyampingkan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ?


(34)

b. Bagaimana akibat hukum putusan Pengadilan yang disampingkan dengan akta perdamaian?

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk berbifikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.16 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan , pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.17 Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.18

Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan eksternal bagi penelitian ini.19 Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan

16

HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto,Teori Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm.22.

17

M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27 dan 80.

18Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm.129. 19

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,Edisi Ketiga, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.10.


(35)

simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.20

Keberadaan teori dalam dunia ilmu pengetahuan sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.21

Pembahasan mengenai kekuatan hukum pembagian warisan pada hakekatnya tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum, dimana adanya kepastian hukum dalam pembagian warisan. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari kekutan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian ditinjau dari aspek hukum perdata.

Menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu:

“Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim

20Mukti Fajar dan YuliantoAchmad, Dualisme Penelitian Hukum. Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2010), hlm. 134.


(36)

antara putusan Hakim yang satu dengan putusan Hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.22

“Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pemikiranmainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descartes (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya. Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and ordermenyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian

22Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008), hlm. 158.


(37)

hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar”.23

Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.

Penganut aliran positivisme lebih menitik beratkan kepastian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan pada umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang yang memunculkan teori tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah kedudukan hukumnya.

Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan sosial, kepastian adalah mensyaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam 23 Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, 18 juni 2013.


(38)

hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum adalah perwujudan dari itikad baik.

Kepastian dalam melakukan suatu perbuatan hukum terutama perjanjian tidak hanya dari suatu akibat suatu perjanjian yang hendak diinginkan, akan tetapi juga pada substansi perjanjian itu sendiri. Pembentuk Undang-undang juga mewajibkan kepastian dalam merumuskan suatu perjanjian. Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan juga harus jelas sehingga tidak dapat menyimpang dari penafsiran yang sudah dijelaskan. Oleh karena perjanjian merupakan undang-undang bagi para subjek hukum maka segala sesuatu yang tertulis harus pasti diartikan oleh para subjek hukum. Jika suatu perjanjian tidak memberikan kepastian dalam hal isinya maka kedudukan subjek hukum yang lemah akan tidak terlindungi dan menjadi tidak pasti.

Pada kepastian hukum mengenai perjanjian tidak terlepas dari hal mengenai syarat sah dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian


(39)

yang sah apabila telah memenuhi empat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain :24

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat dimaksudkan kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan demikian tanpa adanya kesepakatan tersebut maka tidak akan lahir suatu perjanjian. Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu sepakat yang sah dipandang tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog). Jadi dapat disimpulkan bahwa para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian harus benar-benar bebas dari tekanan dan murni atas kehendak sendiri yang disepakati oleh kedua belah pihak.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum, artinya setiap orang yang sudah dewasa atauakil baliq25 dan sehat pikirannya. Beberapa golongan orang yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap yakni, orang di bawah umur dan orang yang di bawah pengawasan (curatele), sedangkan perempuan yang telah kawin dicabut sesuai SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Seseorang yang tidak cakap, maka tidak dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain tetapi dapat diwakili oleh walinya atau pengampu/kuratornya.

24R. Setiawan,Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Binacipta, 1978), hlm.

25 Dalam Islam kedewasaan disebut dengan akil baliq, yang mana adanya tanda-tanda kedewasaan yang akan timbul pada diri seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.


(40)

c. Suatu hal tertentu

Hal yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, yang mana tertuang dalam Pasal 1332-1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat ini diperlukan untuk menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya.26

d. Suatu sebab yang halal.

Maksudnya adalah isi dan tujuan perjanjian itu tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Pasal 1335-1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dua syarat yang pertama menyangkut subyek atau orang yang melakukan perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif dari perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, pihak yang dapat memintakan pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak menyetujui perjanjian tersebut, apabila perjanjian tersebut dilakukan secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dibatalkan oleh Hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka


(41)

perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap bahwa perjanjian itu tidak pernah ada.

2. Konsepsional

Konsep (Inggris:conceptual,Latin : Conceptus dari concipere (yang berarti memahami, menerima, menangkap) merupakan gabungan dari kata con (bersama) dancapere( menangkap, menjinakkan). Konsep memiliki banyak pengertian. Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadang menunjuk pada hal-hal universal yang diabtraksikan dari hal-hal yag pertikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Penggagabungan itu memungkinkan ditentukannya arti kata-kata secara secar tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.27

Konsepsional penting dirumuskan agar tidak adanya kesalah pahaman dalam mengartikan maksud penulisan. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu suatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisi.28

27

Johnny Ibrahim,Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Media, 2008), hlm.306.

28Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta. Raja Grafindo Persada), 2005, hlm. 48-49.


(42)

Pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

a. Hukum Waris yaitu serangkaian ketentuan yang mengatur peralihan warisan seseorang yang meninggal dunia kepada seorang lain atau lebih.29

b. Pewarisan adalah merupakan tindakan menggantikan atau meneruskan kedudukan orang yang meninggal yang ada kaitan atau hubungannya dengan hak atas harta benda, demikian menyangkut hukum kekayaan (vermogensrechtelijke betrekkingen) orang itu.30

c. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang msih hidup.31

d. Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia.32

e. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaanya.33 Orang-orang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka).34

29Than Thong Kie,Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : IchtiarBaru Van Hoeve,2007), hlm. 224.

30Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (Teori & Praktek), (Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat,1990), hlm. 149.

31R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung : Sumur,1991), hlm.13. 32Pengertian meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami (natuurlijke dood). Apa penyebabnya tidak relevan, apakah karena sakit, kecelakaan atau akibat pembunuhan, termasuk bunuh diri. Lihat M.U. Sembiring, Beberapa bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Medan : Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,1989), hlm. 32.

33

MR. A. Pitlo,Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid 1,( Jakarta : Intermasa,1986), hal . 1.


(43)

f. Hak mewarisi adalah hak yang telah ditentukan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi ahli waris, baik karena Undang-undang maupun karena penunjukan atau wasiat.

g. Bagian mutlak atau legitime portie35 adalah bagian seorang ahli waris yang dilindungi oleh Undang-undang.36

h. Perdamaian merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan mana para pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.37

1. Sifat dan Jenis Penelitian a. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh 35Bagian mutlak ataulegitime portieadalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Lihat Pasal 913 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

36Than Thong Kie,Loc.Cit.


(44)

gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai kekuatan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian ditinjau dari aspek hukum perdata.

Bersifat analitis maksudnya bahwa penelitian ini tidak hanya memaparkan apa yang telah diteliti, akan tetapi juga dianalisis terhadap aspek hukum dari hukum waris Perdata.

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hukum waris Perdata. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.38 Maka pendekatan yang yang dilakukan adalah pendekatan peraturan hukum yang berlaku baik itu dalam peraturan peraturan perundang-undangan hukum nasional terutama hukum waris.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.39Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari :

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm .33.

39 Fajat dan Yulianto, Dualisme Penelitan Hukum. Normatif dan Empiris, (yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 34.


(45)

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 4) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi di Pengadilan

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasl-hasil penelitian, hasil karangan dari kalang hukum, dan seterusnya40.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus dan seterusnya41.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah artikel, putusan Pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan kekuatan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian.

4. Analisis Data

Keseluruhan data atau bahan yang diperoleh dianalisis secara kualtitatif, yaitu dengan memberi penilaian terhadap hasil penelitian berdasarkan peraturan

40Ibid,hlm. 13. 41Ibid.


(46)

perundang-undangan, pendapat para ahli, dan akal sehat dengan uraian kalimat-kalimat dan tidak menggunakan angka-angka. Analisis data ini bertolak dari teori-teori dan konsep yang telah disusun dan dikemukakan dalam kerangka teori-teori dan kerangka konsepsional. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bagaimana pelaksanaan pembagian warisan dan hak mewaris.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan pada penelitian ini yang berpedoman pada cara deduktif induktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kemudian mengarah kepada hal-hal yang bersifat khusus


(47)

BAB II

PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN ATAS DASAR ADANYA AKTA PERDAMAIAN ANTARA PARA AHLI

WARIS

A. Pembagian Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Dalam hukum waris perdata untuk mewarisi harus adanya orang yang meninggal yang disebut dengan pewaris. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.42 “Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan terbukanya warisan dan sebagai konsekwensinya seluruh kekayaan (baik berupa aktiva maupun pasiva ) yang tadinya dimiliki oleh seorang peninggal harta beralih dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya secara bersama-sama”.43Untuk waktu pelaksanaan pembagian warisan tidak adanya ketentuan tersendiri dari peraturan waris perdata yaitu yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun adanya ketentuan mengenai tidak dibenarkan harta warisan atau harta peninggalan dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi yang mana dituangkan dalam Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar

42Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

43 Syahril Sofyan, Bebearapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2011), hlm. 5.


(48)

bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang berhak dalam pembagian harta warisan tersebut.

Pihak yang berhak dalam pembagian harta warisan atau harta peninggalan adalah ahli waris, ahli waris merupakan “orang-orang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka)”44. Ahli waris dalam waris perdata ada dua pembagian, yaitu ahli waris karena undang-undang (ab intestato) dan ahli waris karena wasiat (testamentair).

1. Ahli waris karena undang-undang (ab intenstato)

Ahli waris karena undang-undang atau ab intestatomerupakan keluarga yang sedarah, baik sistem kekeluargaan ke atas maupun ke bawah. “Prinsip yang dipegang oleh undang-undang ialah bahwa dalam pewarisan menurut undang-undang, keluarga sedarah yang terdekat selalu mengenyampingkan atau menindih keluarga yang lebih jauh sehingga keluarga yang lebih jauh itu tidak ikut mewaris”45.

Pada pewarisan karena undang-undang adanya beberapa golongan yang ditentukan, sehingga golongan yang terdekat dari pewaris memiliki prioritas utama untuk menjadi ahli waris dari pewaris. Golongan tersebut yaitu, golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga dan golongan keempat. Setiap golongan adanya kategori tertentu dan pembagian yang berbeda pula.

a. Golongan pertama

44Sudarsono,Op.Cit,hlm. 24. 45M.U. Sembiring,Op.Cit, hlm. 2.


(49)

Golongan pertama merupakan golongan paling dekat dengan pewaris, yaitu istri dan anak-anak. Dalam hal ini berlaku adanya posisi penggantian46, maksudnya bila mana anak dari pewaris meninggal dunia namun adanya keturunan dari anak tersebut (cucu) maka keturunan dari anak pewaris naik menggantikan ayah atau ibunya sebagai ahli waris. Begitu juga selanjutnya kepada ahli waris yang di bawahnya, jika ahli waris yang diatasnya telah meniggal terlebih dahulu dari pewaris.

“Menurut Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawaninan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu.

Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti”.47

Pewarisan perdata tidak membedakan jenis kelamin dalam pembagian warisan, selagi keluarga sedarah dan diakui sah bagi anak luar kawin maka adanya hak untuk menuntut bagian dari pembagian warisan. Begitu juga dengan status anak dari perkawinan terdahulu maupun perkawinan yang baru, jika pewaris meninggal maka anak yang sedarah dengan pewaris tetap berhak mendapatkan warisan, dan anak dari perkawinan keberapapun selagi masih sedarah dan adanya pengakuan bagi anak luar kawin tetap mendapatkan bagian warisan. Lain hal dengan istri atau suami,

46

Penggantian maksudnyadimana ahli waris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka ahli waris dari yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris tersebut naik menggantikan posisi ahli waris sebenarnya.


(50)

jika putusnya perkawinan karena perceraian48 maka hubungan harta dan hubungan perdata antara suami dan istri telah berakhir dan adanya pemisahan tersendiri. Namun anak tidak dapat diperlakukan dengan demikian, sehingga sampai kapanpun adanya hak anak dalam pewarisan terhadap ibu dan atau ayahnya.

Begitu juga dengan keturunan dari anak-anak si pewaris, jika anak dari pewaris meninggal dunia terlebih dahulu, maka warisan turun kepada cucu atau keturunan sah dari si anak (masih hubungan darah). Yang mana kalimat dari Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan mewarisi pancang demi pancang yang bermaksud sebatas hanya sebagai pengganti dalam pewarisan.

Pada golongan pertama adanya hak suami atau istri dalam pewarisan untuk saat ini, namun tidak demikian sebelum tahun 1935.

“Persamaan waris suami atau istri dengan seorang anak sah itu baru terjadi setelah adanya perubahan undang-undang, yaitu di Indonesia tahun 1935 (staatsblaad tahun 1935 nomor 488), sebelum tahun 1935 suami atau istri terpanggil sebagai ahli waris apabila tiada atau musnahnya sanak keluarga sedarah sampai dengan derajat ke 12, sehingga pada sebelum tahun tersebut jarang sekali seorang janda atau duda medapatkan warisan dari almarhum atau almarhumah suami atau istrinya. Sebagai akibat dari dipersamakannya janda atau duda dengan seorang anak sah itu, maka apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau keturunan lain, maka janda atau duda tersebut berhak atas harta peninggalan almarhum atau almarhumah suami atau istrinya mendahului orang tua, saudara-saudara kandung dan yang lainnya”.49

Pembagian pada golongan pertama dengan anak-anak sah dan janda atau duda, maka pembagiannya sama rata, yang mana pembagian janda atau duda setara dengan anak-anak. Seperti contoh :

48

Perceraian merupakan salah satu hal yang mengakibatkan bubarnya perkawinan, Pasal 199 angka 4e Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

49 Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab


(51)

Skema 1

Pembagian waris terhadap golongan pertama

A B

C

Keterangan skema 1: A (pria) semasa hidup menikah dengan B (wanita) dan memiliki anak C (pria).

Penjelasan dari skema 1 ialah A meninggal dunia dengan ahli waris B dan C, maka istri dan anak merupakan golongan pertama dan mengenyampingkan golongan-golongan yang lain. Pembagiannya masing-masing B dan C mendapat ½ (seperdua) atau setengah bagian untuk masing-masing. Begitu juga jika anaknya lebih dari satu, misalnya dua atau tiga dan seterusnya maka pembagian sama besarnya. Dalam perhitungan tersebut berlaku jika tidak adanya harta persekutuan dalam perkawinan pewaris, namun jika adanya harta persekutuan setiap hendak mulai pembagian warisan maka awalnya dikeluarkan harta persekutuan terlebih dahulu.

Pada kasus skema 1 di atas jika adanya harta persekutuan maka perhitunganya:

1) Langkah awal pisahkan harta persekutuan, yang mana harta perseketuan merupakan ½ (seperdua) bagian dari harta peninggalan. Sehingga sisa harta peninggalan menjadi ½ (seperdua) bagian;

2) Sisa harta peniggalan ½ (seperdua) bagian tersebutlah yang merupakan bagian anak beserta istri yang dipersamakan dengan anak bagiannya. Sehingga ½


(52)

(seperdua) bagian x ½ (seperdua) = ¼ (seperempat) bagian untuk masing-masing;

3) Bagian istri menjadi ½ (seperdua) + ¼ (seperempat) = ¾ bagian, sedangkan anak mendapatkan ¼ (seperempat) bagian.

“Bagian istri atau suami yang hidup terlama dengan dipersamakan dengan seorang anak bermaksud untuk melindungi kepentingan anak , terutama untuk janda yang almarhum suaminya kawin lebih dari satu. Perhatikan bunyi Pasal 852a dan 902 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sejak kodifikasi 1935 suami atau istri yang kedua atau selanjutnya terdahulu, hak atas keuntungan karena perkawinan atau pewarisan dibatasi, yaitu suami atau istri yang kedua atau selanjutnya tidak boleh mendapat keuntungan yang lebih banyak dari bagian anak, dengan batas maksimum seperempat dari budel/barangnya istri atau suami (pewaris) yang kawin lagi itu. Pembatasan dimaksud baru tejadi, apabila terdapat perkawinan yang terdahulu. Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang tidak hanya untuk anak-anak saja melainkan juga cucu pewaris dari perkawinan terdahulu, jika mereka bertindak sebagai ahli waris pengganti”.50

Lain hal jika perkawinan berlangsung dua kali, dimana perkawinan pertama putus karena perceraian dan salah satu dari suami atau istri menikah kembali dan adanya anak dari perkawinan terdahulu, maka pembagiannya sebagai berikut :

Skema 2

Pembagian waris golongan pertama terhadap ahli waris dari perkawinan lebih dari satu

D E F

G H

Keterangan skema 2: E (pria) semasa hidup menikah dengan D (wanita) dan memiliki anak G, namun E dan D bercerai. Kemudian E 50R. Soetojo Prawirohamidjojo,Hukum Waris Kodifikasi,(Surabaya : Air Langga University Press, 2000),hlm.193.


(53)

menikah untuk kedua kali dengan F (wanita) dan memiliki anak H.

Pada skema 2 merupakan perkawinan berlangsung dua kali, dengan adanya anak dari perkwaninan terdahulu, dimana E (pria) meninggal dunia, yang mana E semasa hidup pernah menikah dengan D (wanita) dan memiliki satu anak yaitu G, perkawinan tersebut putus karena perceraian dan E menikah kembali dengan F (wanita) dan memiliki anak satu yaitu H. Dalam hal ini berlaku Pasal 852a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan dimana istri kedua tidak lebih dari batas maksimal ¼ (seperempat) bagian saja, maka dari itu ¼ (seperempat) bagian dikeluarkan dahulu untuk istri kedua dan dua anak tersebut mendapatkan ¾ (tiga perempat) bagian, dengan bagian masing-masing ½ (seperdua) x ¾ (tiga perempat) memperoleh sebesar 3/8 (tiga perdelapan) bagian untuk G dan H.

Pada golongan pertamalah paling banyak kasus-kasus yang nyata terdapat di lapangan, dimana satu keturunan dan bagian yang seharusnya sama besar tidak dapat terlaksana karena alasan-alasan yang sering dikemukakan, yaitu ketidaktahuan serta ketamakan akan harta warisan atau harta peninggalan. Seperti kasus yang sebagai contoh yang telah dipaparkan pada latar belakang bagian Bab I pendahuluan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 841 K/Pdt/2012. Dimana adanya kasus warisan yang telah sepuluh tahun tidak terbagi, padahal ahli waris yang terdapat hanya sebatas golongan pertama, lima bersaudara, dengan pembagian 1/5 (seperlima) bagian perorang, namun pembagian tersebut tidak terlaksana dikarenakan adanya perdamaian yang berisikan


(54)

penguasaan sepihak oleh ahli waris yang menghilangkan hak waris dari anak pertama.

b. Golongan kedua

Apabila bila seorang meningal dunia tanpa meninggalkan suami atau istri atau keturunan, maka dipanggillah sebagai ahli waris orang tuanya, saudara dan keturunan dari saudara.51 Pembagian antara ahli waris golongan kedua ini telah diatur dengan baik dalam Pasal 854 sampai dengan Pasal 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 859 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

“Golongan kedua adalah orang tua dan saudara pewaris atau keturunan saudara pewaris. Tiap orang tua yang ditinggal medapat bagian yang sama besarnya dengan tiap saudara pewaris, tetapi tidak boleh kurang dari ¼ (sepermpat) bagian dari warisan, dengan ketentuan lagi bahwa hanya untuk menentukan bagian orang tua, saudara lain bapak atau lain ibu dihitung sebagai saudara penuh pewaris”.52

Berdasarkan Pasal 854 sampai dengan Pasal 855 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana jika pewaris tidak adanya meninggalkan istri atau suami serta keturunan yang sah, maka harta peninggalan berhak jatuh kepada orang tua dan saudara-saudara kandung dari pewaris. Yang mana ketentuan bagian dari orang tua tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan. Pembagian yang diperuntukan untuk saudara-saudara kandung dari pewaris merupakan sisa dari bagian orang tua, baik saudara seayah dan seibu maupun saudara dari perkawinan kedua atau seterusnya dari salah satu orang tua pewaris.

51 A.Pitlo,Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta : PT. Intermasa, 1986), hlm. 44.


(55)

Orang tua masing-masing mendapatkan bagian yang sama dengan saudara-saudara kandung, akan tetapi ayah dan ibu tersebut masing-masing tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan. Jika tidak ada saudara-saudara sekandung, maka masing-masing orang tua mendapat ½ (seperdua) atau setengah bagian dan salah satu dari orang tua itu meninggal, maka orang tua yang masih hidup mewaris seluruh harta warisan itu. Jika kedua orang tua meninggal terlebih dahulu, maka saudara-saudaranya sekandung mewaris untuk seluruhnya.53 Ketentuan bahwa para saudara sama besar haknya terhadap warisan saudara mereka yang meninggal dunia, hanya berlaku selama mereka itu adalah saudara kandung dari pewaris. Akan tetapi jika diantara mereka ada saudara tiri dari pewaris maka pembagian dari warisan itu menjadi lain caranya.

Pada hal ini lebih terinci jika dipaparkan dalam contoh kasus, yaitu : Skema 3

Pembagian waris terhadap golongan kedua

A B

C

Keterangan skema 3: C meniggal dunia, dengan meniggalkan ahli waris A (ayah) dan B (ibu).

Skema 3 di atas dimana pewaris C meninggalkan orang tua, yaitu A (ayah) dan B (ibu), dalam kasus ini maka orang tua masing-masing mendapatkan ½ (seperdua) bagian, jika dalam hal lainnya salah satu orang tua meninggal terlebih


(56)

dahulu, maka yang hidup terlama hanya satu orang tua saja, maka sepenuhnya harta peninggalan hak dari salah satu orang tua hidup yang terlama.

Skema 4

Pembagian waris terhadap golongan kedua yang mana turut serta saudara kandung

A B

C E

D

Keterangan skema 4: D meniggal dengan meninggalkan dua saudara C dan E serta kedua orang tua A (ayah) dan B (ibu).

Kasus dari skema 4 tersebut di atas, di mana yang D meniggal dunia dan meninggalkan A (ayah), B (ibu), C dan E merupakan saudara kandung. Pembagiannya sama rata ¼ (seperempat) untuk masing-masing. A, B, C dan E sama-sama mendapatkan ¼ (seperempat) bagian. Karena bagian orang tua tidak kurang dari ¼ (seperempat) bagian.

Skema 5

Pembagian warisan terhadap golongan kedua mengenai Pasal 855 KUHPerdata

A B

C D E F

Keterangan skema 5: F meninggal dengan meniggalkan tiga saudara kandung dan ayah (A) serta ibu (B), yang mana ketentuan orang tua tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) bagian.


(57)

Skema 5 memberikan penjelasan dimana pewaris F meninggalkan orang tua dan tiga saudara kandung, dalam kasus seperti ini tidak boleh langsung dibagi 1/5 (seperlima) bagian, karena orang tua paling kecil bagian hanya diperbolehkan ¼ (seperempat) bagian. Karena itu langkah awal dilakukan adalah mengeluarkan bagian kedua orang tua terlebih dahulu, dimana masing-masing orang tua mendapat ¼ (seperempat) bagian, dan sisanya ½ (seperdua) bagian merupakan bagian saudara-saudara kandung dari pewaris F, yaitu C, D, dan E. Hitungannya ½ x 1/3 jadi 1/6 (seperenam) bagian untuk tiap masing-masing saudara-saudara kandung. Sehingga pembagiannya menjadi:

1) A (ayah) mendapatkan ¼ (seperempat) bagian; 2) B (ibu) mendapatkan ¼ (seperempat) bagian;

3) C,D, dan E masing-masing mendapatkan 1/6 (seperenam) bagian.

Skema-skema kasus di atas merupakan kasus dimana hanya hubungan saudara kandung seayah dan seibu, jika beda salah satu orang tua dari saudara kandung pewaris,maka sistem perhitungannya tidak sama dengan sistem perhitungan atau pembagian yang telah dipaparkan di atas.

“Menurut Pasal 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagian yang jatuh pada saudara dan saudari-saudari dibagi sama rata diantara mereka jika mereka semua adalah saudara-saudari kandung dari pewaris. Namun jika diantara mereka ada saudara-sadari tiri maka bagian warisan harus terlebih


(58)

dahulu diadakan pembelahan (kloving) warisan itu dalam dua bagian yang sama besarnya”.54

“Pembagian antara saudara dilakukan sama rata, asalkan mereka dilahirkan dari perkawinan yang sama. Jika mereka dilahirkan dari berbagai perkawinan, maka apa yang mereka warisi (seluruh warisan sesudah dipotong bagian orang tua pewaris) harus dibagi menjadi dua bagian antara garis ayah dan garis ibu pewaris ( pembagian dua ini disebut splitsing). Saudara seayah seibu memperoleh bagian mereka dari kedua garis dan yang seibu atau seayah hanya dari garis mereka aja”.55

Tan Thong Kie dalam hal ini menggunakan dua istilah, dimana penggunaan klovingdansplitsingyang mana makna tujuannya sama.

Kasus pada golongan kedua ini khususnya pada kasus dimana ahli waris dilahirkan dari berbagai perkawinan, maksudnya baik kedua orang tua atau salah satu dari orang tua pewaris menikah lebih dari satu, sehingga pewaris memiliki saudara tiri atau saudara seayah atau saudara seibu. Contoh pemaparan kasus ini sebagai berikut :

Skema 6

Pembagian warisan pada golongan kedua dengakloving

A B C D

E F G H

Keterangan skema 6: G meninggal dunia, yang mana G memiliki saudara kandung F dan saudara tiri yaitu E dan H, karena orang tua kandungnya bercerai dan sama-sama 54 M.U. Sembiring, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Op. Cit, hlm. 26. 55Tan Thong Kie,Op.Cit,hlm. 239.


(1)

mengikat, merupakan upaya hukum paling tinggi (tidak dapat banding), serta memiliki kekutan eksekutorial.

B. Saran

1. Warisan merupakan hal yang paling sensitif dalam pelaksanaan pembagiannya, sangat memberi kemungkinan untuk berujung kepada konflik atau sengketa waris. Sehingga disarankan bagi ahli waris untuk tidak terlalu lama membiarkan harta peninggalan dalam keadaan tidak terbagi, khususnya untuk ahli waris Warga Negara Indonesia yang tunduk kepada hukum waris perdata dengan adanya pilihan mengadakan perdamaian mengenai harta peninggalan tidak dibagi dalam jangka waktu tertentu. Jika sengketa waris telah terlalu jauh bukan berarti harus langsung kepada penyelesaian melalui persidangan. Adanya jalan musyawarah yang dapat ditempuh oleh para ahli waris. Dalam mengadakan perdamaian kepada ahli waris dianjurkan untuk menuangkan dalam akta otentik, karena dalam kepastian hukum lebih diutamakan.

2. Bentuk baku dari akta perdamaian yang ditentukan oleh undang-undang tidak ada, memberi kesempatan kepada para ahli waris untuk menuangkan keinginan mereka sehingga tercapai kata sepakat untuk damai, dalam hal akta perdamaian terutama mengenai akta perdamaian pembagian warisan sangat dianjurkan kepada ahli waris untuk menggunakan akta perdamaian otentik untuk mendukung pembuktian sempurna jika dikemudian hari adanya tuntutan baik dari pihak ahli waris sendiri maupun pihak ketiga dalam hal ini salah satunya


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW),Jakarta : Bina Aksara, 1986.

Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Amanat, Anisitus.Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Aminuddin dan H. Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Andasasmita, Komar.Notarsi II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990.

_________________. Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Teori & Praktek), Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat,1990.

Angin, Efendi Perangin. Kumpulan Kuliah Pembuatan Akta I, Jakarta : Raja Grafindo, 1991.

Badrulzaman, Mariam Darus. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III, Bandung : Alumni, 2009.

_____________. Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan,Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.

Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariata,PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2011.

Dewi Santia dan R.M. Fauwas Diradja, Panduan Teori Dan Praktik Notaris, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011.

Fajar, Mukti dan YuliantoAchmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.


(3)

HS, Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak cet.3, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

_________.Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Jakarta: Sinar Grafika. 2003.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu Media, 2008.

Kie, Than Thong.Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: IchtiarBaru Van Hoeve,2007.

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Kolkman, Wilbert D. et.al. (eds), Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia,Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012. Lubis, M. Solly.Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Margono, Suyud. ADR (Alternavie Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000.

Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008.

Mas, Marwan.Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004. Mourik , M.J.A Van.Studi Kasus Hukum Waris,Bandung : Eresco, 1993.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2003

Oemarsalim,Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia,Jakarta : Rineka Cipta, 2000. Pitlo, MR. A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Belanda Jilid 1,Jakarta : Intermasa,1986.

___________. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid 2,Jakarta : PT. Intermasa, 1986.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya : Air Langga University Press, 2000.


(4)

Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.

Salman S , HR. Otje dan Anton F Sutanto.Teori Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2005.

Satrio, J. Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

________.Hukum Waris,Bandung : Alumni, 1992.

Setiawan, R.Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1978.

Sembiring, M.U. Beberapa bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Medan : Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,1989.

Sembiring, M.U. Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Medan : Program Pendidikan Notariat Fakulta Hukum Universitas Sumatera Utara, 1989.

Situmorang, Victor M. dan Cormentyana Sitanggang. Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat,Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Soeaidy, Soleh. Vademecum Hukum Perdata Dan Hukum Pidana, Jakarta : CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2000.

Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2008.

_______________.dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2007.

_______________.Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.

Sofyan, Syahril.Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), Medan : Pustaka Bangsa Press, 2011.

Subekti, R.Hukum Perjanjian,PT. Intermasa : Jakarta, 2001.

_________.Aneka Perjanjian,Bandung : PT Citra Aditya Bakti, cet.X, 1999. _________.Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1994


(5)

Sudarsono,Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Sutrisno,Komentar Undang-undang Jabatan Notaris, Medan, 2007.

Syafaat, Firdaus. Misbruik Van Omstandigheden Dalam Perjanjian, Medan:Pustaka Bangsa Press, 2010.

Syafruddin, Kompilasi Undang-Undang Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Medan : Pustaka Bangsa Press.

Usman, Rachmadi.HukumBenda,Jakarta : Sinar Grafika,2011. B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Rechtsreglemen van de Buitengewesten(RBG)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 4069K/Pdt/1985 Tentang Kekuatan Bukti Akta Di Bawah Tangan.

C. Kamus

Sudarsono,Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007. D. Tesis

Nurhayati, Rima.Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang Menyampingkan Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi), Tesis, Semarang : Universitas Diponegoro, 2010. Wijaya, Syafruddin Adi. Akta Perdamaian Sebagai Jalan Penyelesaian Sengketa Tanah di Luar Pengadilan (Studi Kasus Penyelesaian Perkara Antara Pemilik Tanah Adat Ahli Waris PA Nampati Purba Dengan PT. Bank Sumatera Utara Di Kabanjahe),Tesis, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2008.

E. Internet

Permohonan peninjauan kembali diajukan terhadap akta perdamaian hasil Prosedur Hakim. http://pwppamungkas.wordpress.com.


(6)

Yance Arizona,Apa itu Kepastian Hukum?, http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, 18 juni 2013.

Penyeragaman Akta Perdamaian Oleh Mahkamah Agung,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22578/mahkamah-agung-seragamkan-format-akta-perdamaian, 26-09-2013.