Induksi Tunas Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk) dengan Menggunakan Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IAA secara In Vitro

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1985. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. PT
Angkasa, Bandung.
Azwin. 2007. Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria
malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro. http://www.searchebooks.com/download/dl/tumbuhan-gaharu--.doc. [4 Juli 2010].
Dixon, J. And Gonzales, A. 1994. Plant Cell Culture. A Practical Approach.
Second Edition. Oxford University Press. New York.
Gaharu-Man. 24 Januari 2008. Budidaya Gaharu http://gaharuman.
blogspot.com/2008/01/budidaya-gaharu-budidaya-gaharu-terdiri.html.
[23 April 2008].
George, E.F. And P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation By Tissue
Culture.Handbook And Directory Of Comercial Laboratory. Exegeticts.
Ltd. England.
Gunawan, L. W. 1995. Teknik Kultur
Hortikultura. Penebar Swadaya. Jakarta.

Jaringan

In


Vitro dalam

Gustian. 2009. Upaya Perbanyakan Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria
malaccensis Lamk ) Secara In Vitro. Universitas Andalas, Padang.
Gomez, K. A. dan Gomez A. A. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hanafiah, K. A. 2005. Rancangan Percobaan:Teori dan Aplikasi. PT Grafindo
Persada, Jakarta.
Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali Press. Jakarta.
Hendaryono, D. P. S. dan Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan
dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius,
Yogyakarta.
Herawan, T. 2004. Kulur Jaringan. Protokol Kultur Jaringan Tanaman Hutan.
Biotiforda. Or. Id.

Universitas Sumatera Utara

Isnaini, Y. dan Situmorang, J. 2005. Aplikasi Bioteknologi Untuk Pengembangan
Tanaman Gaharu (Aquilaria spp.) di Indonesia. Studi Kasus:
Perkembangan Penelitian Gaharu di Seameo Biotrop. Perhimpunan

Bioteknologi Pertanian Indonesia, Malang.
Kartasapoetra, G. A. 2003. Teknologi Benih. Rineka Cipta, Jakarta.
Kosmiatin, M., Husni, A., dan Mariska, I. 2005. Perkecambahan dan Perbanyakan
Gaharu secara In Vitro. http://www.indobiogen.or.id/ terbitan/pdf/
agrobiogen_1_2_2005_62-67.pdf. dalam Jurnal AgroBiogen 1(2):62-67.
[21 April 2008].
Mulyaningsih, T. dan Nikmatullah, A. 2006. Gaya Belajar Kultur Jaringan
Melalui Publikasi World Wide Web. http://e-learning.unram.ac.id/ KulJar
/BAB%20III%20MEDIA/III6%20%20Zat%20Pengatur%20Tumbuh.htm.
Fakultas Pertanian Unram. [28 November 2008].
Santosa, S. 2007. Zat Pengatur Tumbuh. http://sugihsantosa.atspace.com/artikel/
zpt.html. [27 November 2008].
Sofia, D. H. 2007. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Benzyl Amino Purine dan
Cycocel Terhadap Pertumbuhan Embrio Kedelai (Glycine max L. Merr.)
Secara In Vitro. USU Repository, Medan.
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Cetakan 1. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Kanisisus,
Yogyakarta.
Susanto, I. 2010. Budidaya Gaharu Sistem Bioinduksi. http://earningnews.blogspot.com/2010/05/budidaya-gaharu-sistem-bio-induksi.html.
[5 Juni 2010].

Tarigan, K. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Departemen
Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Jakarta.
Tini, N., dan Amri, K. 2002. Mengebunkan Jati Unggul: Pilihan Investasi
Prospektif. Cetakan 1. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Tiwari V, Tiwari KN, Singh BD. 2000. Comparative Studies Of Cytokinins On In
Vitro Propagation Of Bacopa Monniera. Plant Cell, Tissue And Organ
Culture. Annu. Rev. Plant Physiol.

Universitas Sumatera Utara

Yunita, R. 2004. Perbanyakan dan Transformasi Genetik Menggunakan
Agrobacterium tumefaciens pada Tanaman Melinjo (Gnetum gnemon)
dengan Teknik Kultur Jaringan. Riau. Kelji Sumber Daya, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian.
World

Wild Flora and Fauna (WWF). 2006. Gaharu
(Aquilaria).
http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction= whatwedo.species_gaharu&
language=i. [23 April 2008].


Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

FANI ANGGRIANI : Induksi Tunas Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccencis
Lamk.) dengan Menggunakan Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IAA
secara In Vitro. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan
Nelly Anna, S. Hut. M. Si
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) adalah salah satu tanaman hutan
tropis penghasil resin yang bernilai ekonomi tinggi. Meningkatnya permintaan
gaharu dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya penebangan liar dari hutan
alam yang tidak terkontrol. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan
pengembangan tanaman gaharu. Teknik in vitro merupakan teknologi yang dapat
digunakan untuk perbanyakan bibit gaharu. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh terbaik terhadap induksi
tunas tanaman gaharu. Analisis data dilakukan dengan menggunakan rancangan
acak lengkap non faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP
dan IAA berpengaruh nyata terhadap persentase hidup, waktu induksi tunas,

jumlah tunas, dan panjang tunas. Sedangkan untuk parameter jumlah daun,
kombinasi konsentrasi BAP dan IAA tidak memberikan pengaruh nyata.
Perlakuan zat pengatur tumbuh BAP 1.0 ppm dan IAA 0.5 ppm
merupakan konsentrasi yang optimum dan terbaik dalam menghasilkan jumlah
tunas, panjang tunas, dan jumlah daun tanaman gaharu.

Kata kunci: Aquilaria Malaccencis Lamk., in vitro,multiplikasi, gaharu, BAP, IAA

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

FANI ANGGRIANI: Shoot Induction Agarwood (Aquilaria malaccencis Lamk.)
with Use Combination Different Growth Regulator by In Vitro. Under academic
supervision by Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS and Nelly Anna, S. Hut. M.
Si
Agarwood (Aquilaria malaccensis Lamk.) is one of the important tropical
forest trees, which produces a high economically valuable fragrant resinous
wood. The increase of agarwood demand from year to year leads to uncontrolled
illegal harvest of this plant from its natural habitat. To encounter this problem,

there is an urgent need to develop agarwood plantation. The pusrpose of this
research is to determine of combination concentrate the best growth regulators
for shoot induction of agarwood. The methode used is complete random with four
treathments and three replicanst.
The results showed that combination growth regulators BAP and IAA
make real influence such as life percentation, time of shoot induction, total shoot,
and long shoot. At the same time for parameter total leaf, combination
concentrated BAP and IAA has not a real influence.
The treatment of growth regulators BAP 1.0 ppm and IAA 0.5 ppm is the
optimum and the best concentrated in produce total shoot, long shoot, and total
leaf of agarwood.

Key word: Aquilaria Malaccencis Lamk., in vitro, multiplication, agarwood, BAP,
IAA

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gaharu (Aqularia malaccencis Lamk.) sebenarnya bukan nama tumbuhan,
tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu dengan famili Thymeleaceae dan
bermarga Aquilaria. Gaharu adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki
mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin
yang harum. Selain untuk keperluan agama seperti dupa untuk sembahyang,
gaharu juga dipakai sebagai bahan pembuat parfum, pengawet berbagai jenis
aksesoris, sabun sari aroma gaharu, pengobatan, aroma terapi, kosmetik, dan
sampo (Kosmiatin, et al., 2005).
Selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam sehingga populasi
tanaman ini hampir punah. Sejak tahun 1994 CITES (Convention on International
Trade in Endengered Species of Wild Fauna and Flora) menetetapkan tanaman
penghasil gaharu A. malaccencis termasuk APENDIX II, yaitu jenis tanaman
yang terancam punah. Kepunahan tanaman gaharu selain disebabkan oleh
eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya budidaya yang efisien
(Isnaini dan Situmorang, 2005).
Guna

menghindari

pohon


penghasil

gaharu

tidak

punah

dan

pemanfaatannya dapat lestari maka perlu upaya konservasi, baik insitu (di dalam
habitat) maupun eksitu (di luar habitat) dan budidaya, serta rekayasa untuk
mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi (inokulasi). Bibit
tanaman penghasil gaharu dapat dikembangkan melalui generatif dan vegetatif.
Secara vegetatif, in vitro merupakan salah satu cara yang telah banyak

Universitas Sumatera Utara

dimanfaatkan dan memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi

penyediaan bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian selain
dimanfaatkan untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan perbaikan tanaman.
Pemanfaatan teknik in vitro terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis
somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu
(Susanto, 2010).
Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan proliferasi tunas
dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya agar
eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh. Penambahan
sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi
maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup
tinggi sehingga sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa
yang dapat mengantisipasi aktivitas ini menjadi sangat diperlukan (Dixon and
Gonzales, 1994).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi konsentrasi zat
pengatur tumbuh BAP dan IAA yang sesuai terhadap persentase hidup, waktu
induksi tunas, jumlah tunas, jumlah daun dan panjang tunas tanaman gaharu.

Hipotesis Penelitian

Pemberian kombinasi BAP dan IAA yang berbeda berpengaruh nyata
terhadap persentase hidup, waktu induksi tunas, jumlah tunas, jumlah daun dan
panjang tunas tanaman gaharu secara in vitro.

Universitas Sumatera Utara

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan dan informasi dalam perbanyakan gaharu melalui kultur
jaringan.
2. Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan gaharu
dengan kultur jaringan.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk)
Gaharu merupakan gumpalan berbentuk padat berwarna coklat kehitaman
sampai hitam, dan berbau harum jika dibakar. Gaharu terdapat pada bagian kayu

atau akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses
perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Pohon penghasil
gaharu terbaik saat ini adalah dari jenis Aquilaria spp. yaitu Aquilaria
malaccencis Lamk. Berikut taksonominya:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Termathophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Klas

: Dikotiledonae

Ordo

: Myrtales

Family

: Thymeleacae

Genus

: Aquilaria

Spesies

: Aquilaria malaccencis Lamk.

(Tarigan, 2004)

Penyebaran Gaharu
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah
tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang
keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri
dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan,

Universitas Sumatera Utara

Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan
Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A.
microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam
jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali
dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia
Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New
Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan
spesies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: Sumatera, Kalimantan, Bali,
Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies.

Enam

diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di
Srilanka (WWF, 2006).

Kandungan Gaharu
Gaharu memiliki enam komponen utama yaitu furanoid sesquiterpene
diantaranya berupa a-agarofuran, b-agarofuran dan agarospirol. Selain furanoid
sesquiterpene, gaharu yang dihasilkan dari jenis A. malaccensis asal Kalimantan
pun ditemukan pokok minyak gaharu yang berupa cbromone. Cbromone ini
menghasilkan bau yang sangat harum dari gaharu apabila dibakar. Sementara itu
komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa sequiterpenoida,
eudesmana, dan valencana. Pemanfaatan gaharu sampai saat ini masih dalam
bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah
terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang
berbeda. Gaharu juga mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang
mengeluarkan aroma dengan keharuman yang khas. Karena itu, aromanya yang

Universitas Sumatera Utara

sangat terkenal bahkan sangat disukai oleh Negara-negara lain khususnya
masyarakat Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan
Cina, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri
parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris serta
untuk keperluan kegiatan religius gaharu sudah lama digunakan bagi pemeluk
agama Islam, Budha, dan Hindu (Gaharu-Man, 2008).

Kultur Jaringan
Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe
kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur
(Belanda). Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ
yang steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang
steril dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbayak

diri

dan

beregenerasi

menjadi

tanaman

yang

lengkap

(Mulyaningsih dan Nikmatullah, 2006).
Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu
jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum
mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecilkecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab,
jaringan meristem keadaanya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai
zat hormon yang mengatur pembelahan. Zat tambahan yang biasa digunakan
adalah zat pengatur tumbuh. Untuk media kultur jaringan, kombinasi zat pengatur

Universitas Sumatera Utara

tumbuh disesuaikan dengan macam eksplan yang digunakan. Zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin dapat diberikan bersama-sama atau auksin saja atau sitokinin
saja. Penambahan zat pengatur tumbuh ini tergantung dari tujuan kita, misalnya
untuk menginduksi pertumbuhan kalus saja atau ingin menumbuhkan akarnya
atau tunasnya dahulu atau kedua-duanya (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Kultur jaringan didasarkan konsep totipotensi sel, yakni secara teoritis
setiap sel organ tanaman atau mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna
jika ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Mekanisme kultur jaringan
melalui pemisahan sebagian kecil organ tanaman yang dibiakkan di media kultur
yang mengandung nutrisi, baik mikro maupun makro; senyawa organik yang
meliputi vitamin, gula, dan sejenisnya; zat pengatur tumbuh tanaman; serta
kondisi lingkungan yang sesuai. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan
dapat dilakukan dengan menggunakan kultur kalus, organ, sel, atau protoplasma.
Teknologi perbanyakan mikro pada dasarnya dapat digolongkan dalam
perbanyakan tunas aksilar, tunas adventif, dan embriogenesis somatik. Meskipun
demikian, dalam praktiknya, masih dijumpai kesalahpahaman tentang pengertian
perbanyakan mikro dalam kaitannya dengan peningkatan produktivitas. Kultur
jaringan bukan metode pemuliaan tanaman, tetapi hanya merupakan cara
perbanyakan genotipe yang ada. Terdapat keuntungan yang diperoleh dari
menggunakan kultur jaringan, yaitu bibit yang dihasilkan seragam dalam hal
kualitas, ukuran, dan usia, sehingga akan memudahkan penanaman dan
pemanenan; menjaga kontinuitas ketersediaan bibit dalam jumlah besar;
menghasilkan bibit bebas dari penyakit. Hal ini dapat memberikan keuntungan
besar dalam hal produktivitas yang tinggi, terutama jika ditunjang cara-cara

Universitas Sumatera Utara

budidaya yang optimal. Sedangkan kelemahan dari in vitro yaitu bibit hasil kultur
jaringan sangat rentan terhadap hama penyakit dan udara luar, membutuhkan
modal investasi awal yang tinggi, dan diperlukan persiapan sumber daya manusia
yang handal (Tini dan Amri, 2002).

Permasalahan Kultur Jaringan
Menurut Suryowinoto (1996) selain itu ada juga permasalahan yang
timbul yaitu:
1. Adanya instabilitas di dalam sel atau jaringan adalah suatu permasalahan
karena akan terjadi variasi. Akan terjadi varian-varian yang dalam tujuan
cloning tidak dikehendaki.
2. Masih sedikitnya pengetahuan yang berhubungan sangat erat dengan faktorfaktor yang mengganggu pembentukan organ-organ maupun pembentukan
embrio, juga mengenai faktor-faktor fisik yang mengganggu budidaya in vitro.
3. Semak dan terutama pohon dewasa sulit diperbanyak klonnya secara in vivo
maupun in vitro.
4. Regenerasi pembentukan klon dari tunas adventif sangat sulit dirangsang
untuk menjadi semak atau pohon.
5. Sangat sulit menanggulangi kontaminasi yang berasal dari material tanaman
lapangan, jika dihubungkan dengan eksploitasi komersial.
6. Infeksi internal sangat sulit diatasi.
7. Sehubungan dengan belum dilakukannya proses seleksi secara baik,
kemampuan adaptasi klon terhadap lingkungan juga belum diketahui secara

Universitas Sumatera Utara

pasti. Akibatnya, estimasi perolehan genetik (expected genetic gain) yang
akan diproleh juga belum optimal.
Sebelum membuat media, maka terlebih dahulu kita harus menentukan
media apa yang akan kita buat. Jenis media dengan komposisi unsur kimia yang
berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang
berbeda pula. Kita mengenal beberapa macam media dasar yang pada umumnya
diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara lain adalah:
1. Media dasar Murashige dan Skoog (MS): digunakan untuk hampir semua
macam tanaman, terutama tanaman herbaceous. Media ini mempunyai
konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk
NO3- dan NH4+.
2. Media dasar B5 atau Gamborg: digunakan untuk kultur suspensi sel kedele,
alfalfa dan legume lain.
3. Media dasar White: digunakan untuk kultur akar. Media ini merupakan media
dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah.
4. Media Vacin Went (VW): digunakan khusus untuk media anggrek.
5. Media dasar Nitsch dan Nitsch: digunakan untuk kultur tepung sari (pollen)
dan kultur sel.
6. Media dasar Schenk dan Hildebrandt: digunakan untuk kultur jaringan
tanaman monokotil.
7. Media dasar Woody Plant medium (WPM): digunakan untuk tanaman yang
berkayu.
8. Media dasar N6: digunakan untuk tanaman serelia terutama padi.
(Hendaryono dan Wijaya, 1994)

Universitas Sumatera Utara

Kultur Jaringan Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk)
Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk bahan baku yaitu
kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang
dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai masyarakat Timar Tengah, Saudi
Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea, dan Jepang. Gubal
gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian, penghilang rasa sakit, asma,
reumatik, tonik saat hamil setelah melahirkan. Gubal gaharu juga dimanfaatkan
sebagai pelengkap dalam acara ritual keagamaan pada masyarakat khususnya di
kawasan Asia dan Timur Tengah dalam bentuk dupa, hio, atau kemenyan
(Sumarna, 2002).
Tanaman penghasil gaharu jenis Aquilaria malacensis termasuk tanaman
yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan saat ini terancam punah, mengingat
selama ini masyarakat berupaya memburu dan menebangnya tanpa ada usaha
untuk membudidayakannya. Permasalahan diatas dapat diatasi dengan pelestarian
plasma nutfah tanaman ini melalui teknik kultur in vitro. Kultur jaringan dapat
dijadikan salah satu alternatif untuk menghasilkan bibit gaharu bila dibandingkan
dengan perbanyakan vegetatif lain seperti (stek, cabutan dan sambung) dimana
melalui perbanyakan dengan in vitro dapat menyediaakan bibit dalam jumlah
yang cukup banyak, seragam, waktu relatif singkat, bahkan bukan tidak mungkin
dapat meningkatkan kualitas tanaman, tidak tergantung pada musim, bebas dari
penyakit sistemik serta dapat dijadikan sebagai sumber pelestarian plasma nutfah.
Perbanyakan tanaman gaharu melalui teknik kultur jaringan merupakan langkah
awal menuju kepada kegiatan pemuliaan

tanaman gaharu yang lebih cepat,

seragam, dalam jumlah banyak, berkualitas lebih baik, dan yang utama dapat

Universitas Sumatera Utara

dijadikan sumber plasma nutfah tanaman gaharu dibandingkan dengan cara
konvensional dengan menggunakan biji maupun stek atapun cangkok.
Perbanyakan tanaman gaharu terutama spesies Aquilaria malaccensis secara in
vitro di Indonesia sampai saat ini belum berkembang (Gustian, 2009).
Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan
organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi
tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur
jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber
eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan
kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan. Secara umum
penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari rumah kaca berbeda dengan bahan
tanaman berupa planlet yang masih hidup di dalam botol (hasil kultur In vitro)
dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan planlet yang dihasilkan. Eksplan
yang berasal dari tunas adventif lebih mudah untuk diperbanyak dibanding
eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini terlihat dari jumlah eksplan yang
tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu munculnya tunas pertama. Kedua
sumber eksplan tersebut memiliki tingkat meristematik sel yang berbeda. Eksplan
yang berasal dari tunas adventif lebih juvenil dan sel-selnya lebih bersifat
meristematik dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar, sehingga secara
umum proses perkembangan dan induksi tunas dari eksplan yang berasal dari
tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar.
Keberhasilan inisiasi dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro
sangat ditentukan oleh genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi
tanaman, kesehatan tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman

Universitas Sumatera Utara

(topofisis), ukuran eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan
persiapan atau perlakuan terhadap tanaman induk (Azwin, 2007).
Zat pengatur tumbuh yang paling penting diperhatikan

dalam kultur

jaringan adalah keseimbangan penggunaan konsentrasinya. Keseimbangan
konsentrasi auksin dan sitokinin dalam media dan eksplan dapat mendorong
pertumbuhan dan perkembangan eksplan membentuk plantlet.

Konsentrasi

auksin lebih tinggi dari sitokinin maka mendorong eksplan membentuk kalus dan
akar (rootlet), tetapi apabila konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin maka
akan mendorong eksplan membentuk tunas atau shootlet (Isnaini dan Situmorang,
2005).

Media Murashige dan Skoog (MS)
Dibandingkan dengan media-media lain, media Murashige & Skoog (MS)
paling banyak digunakan untuk beberapa tujuan kultur. Media MS merupakan
perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang
mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS
mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+.
Kandungan N ini, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19
kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM,
sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit.
Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus
tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan
jenis tanaman lain. Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan
kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS. Senyawa-senyawa di

Universitas Sumatera Utara

dalam media MS dapat terjadi pengendapan persenyawaan, ini terlihat jelas pada
media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang mengendap adalah fosfat dan
besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Ca, K, N, Zn dan Mn.
Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung unsur C, Mg, H, Si,
Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira 50% dari Fe dan
13% dari PO4+, mengendap. Pengendapan unsur-unsur tersebut mungkin tidak
penting, karena unsur-unsur tersebut masih tersedia bagi jaringan tanaman dan
pengaruh pengendapannya belum diketahui. Untuk mengatasi pengendapan Fe,
konsentrasi Fe dikurangi sampai 1/3 dengan EDTA yang tetap (Dalton et al, 1983
dalam Tini dan Amri, 2002).

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (