Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Menurut Pandangan Hukum Islam

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA
INDONESIA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :
Muhammad Aidz Billah
NIM: 1110043200017

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M

ABSTRAK
Muhammad Aidz Billah. 1110043200017. Pemberlakuan Hukum Secara

Surut (Retroaktif) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Menurut Pandangan
Hukum Islam. Perbandingan Hukum. Perbandingan Mazhab dan Hukum. Fakultas
Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Asas legalitas merupakan asas fundamental yang menjadi acuan dalam praktek
hukum pidana. Namun pemberlakuan asas ini dianggap hanya melindungi
kepentingan pelaku tindak pidana saja, akan tetapi kurang memberikan
perlindungan terhadap kepentingan korban. Hingga akhirnya muncul sebuah
Peraturan Pemerintah menerapkan prinsip retroaktif di dalamnya. Sehingga bagi
para pelaku tindak pidana kejahatan pada masa lalu dapat dihukum. Hal ini
akhirnya menimbulkan perdebatan di kalangan sarjana hukum, baik di luar
maupun dalam negeri. Sebab bagaimana mungkin sebuah asas legalitas yang
fundamental dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya ? terlebih penerapan
prinsip retroaktif lebih identik dengan lex talionis, sehingga penerapannya dapat
diberlakukan secara sewenang-wenang sesuai dengan kehendak penguasa. Selain
itu pembahasan tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut juga menjadi
sorotan dalam hukum pidana Islam, meski hanya dalam intensitas yang sangat
kecil. Namun dengan berdasarkan pada maqashid al-syari’ah yang bertujuan
melindungi agama, keturunan, agama, harta dan nyawa maka pemberlakuan
hukum secara surut dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan demi
terciptanya suatu kemashlahatan.

Dengan adanya permasalahan tersebut maka penulis ingin membahas lebih lanjut
tentang bagaimana praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum
Pidana Indonesia ? dan bagaiamana praktek pemberlakuan hukum secara surut
dalam hukum pidana Islam ?
Penelitian dengan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian akan dianalisa melalui
analisis deduktif-induktif dimana penulis akan menelaah fakta-fakta yang bersifat
umum dan menariknya menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.
Kata Kunci : asas legalitas, retroaktif, lex talionis.
Di bawah Bimbingan: Pembimbing I: Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., dan
Pembimbing II: Muhamad Ainul Syamsu, S.H., M.H.
Daftar Pustaka: Tahun 1997 s.d Tahun 2014

v

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya. Berkat adanya taufik,

hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT
DALAM

SISTEM

HUKUM

PIDANA

INDONESIA

MENURUT

PANDANGAN HUKUM ISLAM. Karya ini tentunya tidak dapat terselesaikan
tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari teman-teman serta
pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide, motivasi, masukan
serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis merasa wajib
untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si selaku Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., selaku Sekretaris Prodi Perbandingan
Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga selaku
Pembimbing I bagi penulis yang selalu memberi masukan dan arahan dalam
membuat karya tulis skripsi ini.

vi

4.

Bapak Muhamad Ainul Syamsu, S.H, M.H., selaku Pembimbing II yang
selalu memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan
karya tulis skrpsi ini.

5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta
Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.
6. Ayahanda tercinta Moch. Tadjuddin dan Ibunda terkasih Aisyah, serta adikadik dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. KH. Ali Muhammad.
7. Guru tercinta KH. Masyhuri Baedlowi, MA. Pengasuh PP Darussalam EretanIndramayu, yang telah mengajarkan penulis ilmu agama.
8. Guru tercinta, abah Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. inspirator bagi
penulis.
9. Teman-teman seperjuangan Rafika Hastya Rany, Ramdhani ‘sambit’, Wiwin
Winata, Ilyas, Bambang, Laka, Fany, sandi dan teman-teman PH 2010 yang
tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua semangat
ini.
10. Teman berkeluh kesah adinda Riri Rizqiyatul Falah, semoga kesabaran dan
penantian mu dibalas oleh Allah SWT.
Jakarta, 13 Juni 2015

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

i


PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................................

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................

iv

ABSTRAK .......................................................................................................

v

KATA PENGANTAR .....................................................................................

vi


DAFTAR ISI ...................................................................................................

viii

BAB I

: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................

1

B. Identifikasi,Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ..............

6

C. Tujuan Serta Maanfaat Penelitian ...............................................

7


D. Studi Terdahulu............................................................................. 8
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan. ................................................................ 10
BAB II

: PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS
A. Asas Legalitas dan Sejarahnya ............................................... 12
B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam .......................... 17
C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut (Retroaktif) Sebagai
Pengecualian Asas Legalitas ................................................. 21

viii

BAB III : Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam Aturan Pidana
Indonesia
A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2)
KUHP .......................................................................................... 29
B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana
Tertentu :
1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam

Pelanggaran HAM Berat ...................................................... 38
2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam
Tindak Pidana Terorisme ..................................................... 43
C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP................ 50

Bab IV

: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM
PUTUSAN

PENGADILAN

A. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam
Putusan Pengadilan HAM Ad-Hoc ......................................... 58
B. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut terhadap
Tindak Pidana Terorisme ........................................................ 71
C. Analisis Putusan ....................................................................... 80

Bab V


: PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 86
B. Saran ............................................................................................87

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan yang terjadi di dalam hukum selalu didahului dengan
adanya perkembangan dalam masyarakat. Berbagai factor seperti kemajuan
teknologi dan pertukaran budaya, memicu terjadinya interaksi yang dinamis di
dalam masyarakat. Dengan salah satu fungsinya yaitu sebagai sarana control
sosial (social control), hukum memiliki fungsi untuk mendidik, mengajak atau
bahkan mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.1 Namun pada
kenyataannya untuk menjalankan fungsinya terkadang hukum mengalami
kendala.

Perkembangan masyarakat yang selalu dinamis terkadang tidak bisa
diikuti oleh perkembangan hukum, sehingga tak jarang hukum sering
“kecolongan” dan selalu tertinggal, sehingga sulit bagi hukum untuk
menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang muncul akibat terjadinya
interaksi masyarakat. Jika sudah seperti itu maka mau tidak mau hukum harus
mengikuti perkembangan, sebab jika tidak maka hukum akan menemui
banyak kendala baik itu yang berkaitan dengan rasa keadilan maupun
persoalan yang berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement)2. Maka
demi mengantisipasi dua hal tersebut hukum harus lebih bersifat akomodatif
dan progresif demi mengimbangi berbagai persoalan hukum yang timbul
akibat interaksi masyarakat.
1

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 22.

2

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007) hal. 26.

1

2

Namun jika melihat pada kenyataan yang ada, rasanya akan sulit
menciptakan hukum yang bersifat lebih akomodatif dan progresif. Sebab
proses penegakan hukum yang ada selalu terbentur pada aturan hukum yang
sudah ada, seperti halnya dalam menegakan aturan hukum pidana.
Dalam menegakan aturan pidana penegak hukum harus berpegangan
pada batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yang mengatakan bahwa ;
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan pada
ketentuan dari perundang-undangan pidana yang telah ada”..
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dianut asas legalitas atau disebut juga
dengan principle of legality, sehingga meskipun seseorang melakukan tindak
pidana, namun jika perbuatannya tersebut tidak disebutkan dalam aturan
perundang-undangan yang ada maka ia tidak dapat dikenai tindakan hukum.
Berdasarkan pada prinsip nullum crimen nulla poena sine lege praevia
bahwa sebuah undang-undang tidak boleh diberlakukan secara retroaktif atau
secara surut. Tujuan dari larangan ini adalah :
1. Untuk

menjamin

kebebasan

individu

dari

kesewenang-wenangan

penguasa.
2. Ketentuan pidana tersebut juga berfungsi sebagai ancaman terhadap psikis
calon pelaku kejahatan (teori psychologische dwang dari Anslem von
Feurbach). Sehingga dengan adanya ketentuan pidana yang disebutkan
dalam undang-undang maka calon pelaku tindak pidana akan berpikir dua
kali dalam melakukan kejahatannya.3
Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal
Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011. hal. 171.
3

3

Meski pemberlakuan hukum secara surut dilarang, namun jika melihat
pada sejarah dan prakteknya hal tersebut tetap dilakukan meski hanya
diterapkan pada tindak pidana tertentu saja seperti tindak pidana yang
tergolong kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Menurut Anis Widyawati sebuah tindak pidana dapat dikatakan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jika memiliki empat unsur, yang
antara lain:4
1. Adanya korban dalam jumlah yang sangat besar.
2. Kejahatan dilakukan dengan cara yang sangat kejam.
3. Memiliki dampak yang luas terhadap psikologi masyarakat.
4. Ditetapkan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan kemanusiaan.
Empat syarat inilah merupakan sebuah satu kesatuan yang menjadi patokan
dalam menetapkan sebuah tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana
kejahatan luar biasa.
Pembahasan mengenai asas legalitas dan pemberlakuan hukum secara
surut tidak hanya terjadi di dalam hukum pidana Indonesia saja, namun di
dalam hukum pidana Islam juga terdapat pembahasan mengenai pemberlakuan
hukum secara surut meski tidak dilakukan pembahasan secara khusus dan
mendalam. Akan tetapi jika dilakukan kajian yang mendalam tentang ayatayat al-Qur‟an, maka akan ditemukan bahwa syari‟at Islam juga mengenal
adanya praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus yang sangat
berbahaya bagi masyarakat dan kemanusiaan.5

4

Anis widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, hal. 176.

Rahmat Syafi‟I, “Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Syi’ar
Hukum, FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.
5

4

Dalam hukum pidana Islam dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:6

ََّّ‫لا ح ْ لأ ْفعا العقلاء ق ْب ور ْود ال‬
“sebelum adanyan nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orangorang yang berakal”
Dari kaidah ini diketahui bahwa sebuah perbuatan tidak bisa dianggap
sebagai jarimah (tindak pidana) jika tidak ada nash yang mengatakan
perbuatan tersebut sebagai suatu jarimah (tindak pidana). Selain kaidah diatas
ada pula kaidah lainnya yaitu :7

‫حر ْي‬
ْ َّ‫شياء اإباحة حَّى يد الدَل ْي على ال‬
ْ ‫ص في اأ‬
ْ ‫اأ‬
“Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada
menunjukan keharamannya”

dalil yang

Menurut Abd al-Qadir Audah sebagaimana dikutip oleh A. Wardi
Muslich, dari kedua asas (kaidah) di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:8

ّّ‫ فّا ا لّ ْ يّر ْد ن‬. ‫عّبار ف ْع أ ْو ت ْر جر ْيمةً إَّ بَّّ صر ْيح يحرّ الْف ْع أو الَّّ ْر‬
ْ ‫لا ي ْم ن إ‬
‫س ليَة ولا عقا على فاع أو تار‬
ْ ‫يحرِ الْف ْع أو الَّ ْر فلا م‬
“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat, tidak boleh dianggap sebagai
jarimah, kecuali karena ada nash (ketentuan) yang jelas yang melarang
perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang
demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman bagi pelaku atas
sikapnya.”
Sehingga sebuah perbuatan tidak cukup jika hanya dipandang sebagai
suatu jarimah hanya karena perbuatan tersebut dilarang, akan tetapi perbuatan
6

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal. 47

7

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) hal. 30.
8

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,hal. 30.

5

tersebut perlu dinyatakan hukumannya. Artinya sebuah perbuatan dapat
dikatakan sebagai jarimah manakala ada ketentuan nashnya.
Meski praktek pemberlakuan hukum secara surut dianggap merupakan
penyimpangan terhadap asas legalitas dan bertentangan dengan Pasal 28 I
UUD 1945. Pada kenyataannya praktek pemberlakuan hukum secara surut
pernah diterapkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Dimana tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk
merespon tindak pidana terorisme yang terjadi pada peristiwa bom Bali pada
tanggal 12 Oketober

2002 bertempat di dua lokasi yang berbeda yaitu

peristiwa pertama di Paddy‟s Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta, Bali.
Peristiwa ke dua di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat.
Selain itu praktek pemberlakuan hukum secara surut juga terjadi dalam
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoc. Tujuan dari pembuatan undang-undang ini adalah untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur
pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984.
Terhadap dua undang-undang ini akhirnya diajukan judicial review yang
dilakukan oleh Abilio Jose Osorio Suares terhadap Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berat, dan judicial review

yang

dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir terhadap Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.

6

Maka dengan adanya fakta ini penulis memandang bahwa perlu adanya
penelitian lebih lanjut tentan praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam
sistem hukum pidana Indonesia dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis
ilmiah (skripsi) berjudul: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT
DALAM

SISTEM

HUKUM

PIDANA

INDONESIA

MENURUT

PANDANGAN HUKUM ISLAM.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
Adanya fakta yang muncul tentang pemberlakuan hukum secara surut
menimbulkan banyaknya perdebatan. Pemberlakuan hukum secara surut
dianggap melanggar hak para pelaku tindak pidana. Sedangkan di sisi lain
pemberlakuan secara surut dapat memberikan keadilan bagi pihak korban
tindak pidana.
Mengingat luasnya pembahasan mengenai praktek pemberlakuan hukum
secara surut, maka penulis membatasi pembahasan dalam penelitian ini pada
praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus pelanggaran HAM
berat dan dalam kasus tindak pidana terorisme.
Adapun rumusan masalah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan
yaitu :
1. Bagaimana proses pemberlakuan hukum secara surut menurut sistem
hukum pidana Indonesia ?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberlakuan hukum secara
surut ?

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam
sistem hukum pidana Indonesia.
b. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang pemberlakuan hukum
secara surut.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat,
di antaranya :
a. Manfaat Akademis :
Adapun tujuan penilitian ini bagi dunia akademis yaitu:
1) Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa
tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut.
2) Menambah khazanah keilmuan di bidang hukum pidana Indonesia
dan hukum pidana Islam.
b. Manfaat Masyarakat :
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi masyarakat :
1) Memberikan pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana luar
biasa.
2) Memberikan masukan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam
bertindak karena semua kejahatan yang dilakukan pasti akan ada
hukumannya.

8

c. Manfaat Pemerintah :
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi kalangan pemerintah adalah :
1) Memberi masukan kepada pemerintah dalam menyelesaikan segala
tindak pidana yang telah terjadi di masa lampau.
2) Memberi masukan kepada pemerintah bahwa pemberlakuan
hukum secara surut dapat dilakukan atas dasar prinsip keadilan.

D. Studi Terdahulu
Dalam pembuatan skripsi ini sebelumnya penulis melakukan kajian
terhadap tulisan-tulisan terdahulu. Akan tetapi sayangnya tulisan-tulisan
tersebut hanya berupa judulnya saja, namun bentuk nyata dari tulisan-tulisan
tersebut sudah tidak ditemukan. Adapun tulisan-tulisan tersebut memiliki
tema sebagai berikut:
1. Skripsi karya Pikri Zulpikar tentang Eksistensi Pengadilan Hak Asasi
Manusia Dalam Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat tahun 2003.
Dalam skripsi ini penulis hanya menjelaskan tentang eksistensi Pengadilan
HAM berat sebagai upaya dalam menyelesaikan kasus HAM berat.
2. Skripsi karya Dewi Jayanti Mandasari tentang Analisis Putusan Terhadap
Tindak

Pidana

Terorisme

oleh

Mushlihul

Ma’arif

(No.

1168/PID.B/2001/PN.Jakarta Selatan) tahun 2009. Adapun dalam skripsi
ini penulis menjelaskan tentang Surat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum yang merupakan salah satu pertimbangan hukum hakim
dalam memberikan putusan.

9

3. Tesis karya Muhammad Adil tentang “Islah” Dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia tahun 2003. Dalam karya tulisnya penulis menjabarkan
tentang penggunaan islah sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan
permasalahan dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Dari ketiga karya tulis di atas penulis tidak ada satu pun yang membahas
tentang

praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem pidana

Indonesia sebagaimana yang nantinya akan penulis bahas dalam karya tulis
ini.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif – analitik dengan
menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yang kemudian
dilakukan analisa terhadap fakta-fakta yang muncul dari objek yang
diteliti. Sehingga nantinya hasil penelitian akan memberikan gambaran
yang obyektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti.
2. Obyek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013/PUU-I/2003, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUUII/2004 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 34 PK/PID.HAM.AD
HOC/2007.
3. Sumber Data Penelitian
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
sumber :

10

a. Sumber Data Primer :
Sumber data primer mencakup putusan

Mahkamah Konstitusi,

putusan mahkamah agung, peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Pengadilan HAM, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Perpu dan undang-undang yang lainnya yang terkait dengan
penelitian ini.
b. Sumber Data Sekunder :
Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Jurnal, Literatur-literatur dan Buku-buku yang memiliki kaitan
dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa deduktif –
induktif, dimana penulis menganalisa data-data yang bersifat umum dan
kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut :
BAB I :

dalam bab ini berisi latar belakang, batasan masalah, perumusan
masalah, tujuan serta manfaat penelitian, review (kajian) studi
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

11

BAB II : dalam bab berisi pengertian umum asas legalitas dan pengertian
retroaktif, kemudian asas legalitas dalam hukum pidana Islam,
pemberlakuan hukum secara surut sebagai pengecualian asas
legalitas baik dalam pandangan hukum Islam mau pun dalam
pandanga hukum pidana Indonesia.
BAB III : membahas tentang pemberlakuan hukum secara surut dalam aturan
pidana Indonesia yang kemudian terbagi menjadi tiga sub judul
yaitu pertama, pemberlakuan hukum secara surut menuru Pasal 1
ayat (2) KUHP, kedua, pemberlakuan hukum secara surut dalam
tindak pidana tertentu yaitu dalam kasus pelanggaran HAM berat
dan terorisme, ketiga, pemberlakuan hukum secara surut dalam
RKUHP.
BAB IV : dalam bab ini berisi tentang analisis praktek pemberlakuan hukum
secara surut dalam putusan pengadilan. Analisis menurut
pandangan hukum pidana Indonesia, dan juga analisis hukum Islam
menurut konsep mashlahah.
BAB V : bab terakhir ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.

BAB II
PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS DAN RETROAKTIF

A. Asas Legalitas dan Sejarahnya
Sebelum

berbicara

tentang

pemberlakuan

hukum

secara

surut

(Retroaktif), hendaklah kita terlebih dahulu membahas dan memahami tentang
asas legalitas yang menjadi asas fundamental dalam hukum pidana Indonesia.
Meskipun pada saat ini asas legalitas tidak diberlakukan secara absolut, serta
tidak lagi dianggap sebagai kebenaran absolut yang tidak dapat lagi
diperdebatkan,

akan

tetapi

pikiran-pikiran

yang

berkembang

masih

berdasarkan bahwa asas legalitas merupakan asas yang harus dijunjung tinggi,
sehingga berbagai penerobosan hanya dianggap sebagai suatu pengecualian,
serta menempatkan pikiran-pikiran tersebut sebagai sekedar pelengkap dari
asas legalitas tersebut.1
Menurut Roeslan Saleh bahwa asas legalitas yang terkandung dalam
Pasal (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang apa sajakah
yang dipandang sebagai perbuatan pidana, sebab menurutnya tidak semua
perbuatan yang melanggar hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana,
dan merupakan tugas dari pemerintah untuk menentukan perbuatan apa saja
yang termasuk kategori perbuatan pidana.2

1

Deni Setyo, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan
Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2014) hal. 1.
2

Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta:
Aksara Baru, 1981) hal. 1.

12

13

Penerapan asas legalitas dalam proses penegakan hukum sebenarnya
adalah untuk melindungi hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan
pemerintah dalam menegakkan hukum. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masa
lalu saat terbentuknya asas legalitas itu sendiri. Dimana pada masa romawi
kuno ada sebuah tindak pidana yang dikenal dengan criminal extra ordinaria
atau yang lebih dikenal dengan kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan di
dalam undang-undang. Di antara criminal extra ordinaria ada suatu kejahatan
yang dikenal dengan criminal stellionatus yang artinya perbuatan jahat atau
durjana akan tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk dari kejahatan tersebut.
Maka dengan adanya ketidakjelasan dari bentuk dan jenis kejahatan tersebut
maka pemerintah Romawi kuno menggunakan hukum pidana secara
sewenang-wenang demi menegakkan hukum.3
Keberadaan asas legalitas sendiri sebenarnya pertama kali muncul di
Amerika bermula dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Jenderal Lefayatte
mengenai hak-hak asasi manusia dimana selanjutnya ajaran tersebut
berkembang sampai ke Inggris melalui John Locke. Sedangkan di Perancis
ajaran tersebut dikembangkan oleh Montesquieu melalui konsep trias politicanya, dimana kekuasaan Negara dibagi menjadi tiga bagian, dengan maksud
melindungi hak-hak individu dari kesewenangan pemerintah. Seiring dengan
perkembangan waktu ajaran tentang asas legalitas kemudian dilanjutkan oleh
J.J. Rousseau dengan fahamnya yaitu fiksi perjanjian masyarakat yang
kemudian pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Due
Contract Social yang menjelaskan bahwa sebuah pemerintahan timbul karena
3

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 26.

14

adanya sebuah kesepakatan antara rakyat dan penguasa, dengan tujuan untuk
menjalankan aturan atau Undang-undang agar terciptanya kemerdekaan
berpolitik dan perdata. Selanjutnya Beccaria di Italia melalu bukunya Dei
delitti e delle pene menerangkan bahwa hukum pidana haruslah bersumber
dari hukum tertulis agar dapat terjaminnya hak-hak warga Negara dan warga
Negara pun mengetahui mana sajakah perbuatan yang dilarang dan
diperintahkan.4
Namun demikian ajaran yang benar-benar memberikan pengaruh
terhadap rumusan undang-undang hukum pidana ialah ajaran yang bersumber
dari seorang sarjana hukum jerman, Von Feuerbach. Ia merumuskan asas
legalitas dalam bahasa romawi yang dikenal dengan nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali dalam bukunya Lehrbuch des Peinliches
Recht5 yang bermakna “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa adanya
aturan terlebih dahulu”.
Kemudian dari pepatah nullum crimen ini kemudian para ahli hukum
menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah prinsip yang melarang tentang
diberlakukannya hukum secara retroaktif, Thomas Hobbes mengatakan
sebagaimana yang dikutip oleh James Popple bahwa:
“No law, made after a fact done, can make it a crime…. For before the
law, there is no transgression of the law.”6
(tidak ada hukum yang dibuat setelah adanya perbuatan, sehingga
bisa menjadikan perbuatan tersebut sebagai suatu kejahatan. Jika sebelumnya
tidak ada aturan, maka tidak ada pelanggaran terhadap hukum).
4

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni Ahaem, 1996) hal. 72.
5

6

Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasasn, hal. 1.

James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal
Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August 1989,
hal. 252.

15

Dari perkataan Hobbes di atas dapat dipahami bahwa tidak ada
hukuman yang diberikan ketika perbuatan tersebut telah dilakukan sedangkan
tidak ada undang-undang yang mengatur tentang perihal tersebut, maka
dengan demikian perbuatan tersebut dikatakan tidak melanggar hukum.
Menurut Machteld Bolt dengan mengutip pendapat dari Jescheck dan
Weigend, paling tidak ada empat prinsip yang termasuk kedalam asas legalitas
tersebut yaitu:
Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege praevia atau tidak ada

1.

perbuatan pidana, tindak pidana tanpa adanya undang-undang yang
mengatur sebelumnya.
2. Prinsip nullum crimen, noela poena sine lege scripta atau tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang tertulis.
Sehingga setiap ketentuan pidana harus dituliskan secara expresiv verbis
dalam undang-undang.
3. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa atau tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.
Dalam artian bahwa sebuah rumusan pidana haruslah dibuat secara jelas
agar tidak terjadi multitafsir sehingga dapat membahayakan kepastian
hukum.
4. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege stricta atau tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa adanya undang-undang yang
ketat. Akibat dari ketentuan ini maka dilarang menggunakan analogi.7

7

Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Erlangga, 2009) hal. 4.

16

Pada tahun 1789 di Amerika prinsip non-retroaktif (ex post facto law)
diatur di dalam artikel 1 Pasal 9 (3) dari Konstitusi Amerika. Kemudian
dikatakan pula pada artikel 7 dari Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia
yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan diperlakukan dan dihukum
secara semena-mena atas perbuatan atau kelalaian yang dilakukan, jika
perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan yang disepakati oleh
Negara-negara yang beradab yang kemudian dalam Pasal 15 kata “Negaranegara beradab” diganti dengan “komunitas bangsa-bangsa”. 8
Dalam sistem hukum pidana Indonesia asas legalitas diletakkan pada
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatakan
bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
dalam undang-undang yang telah ada, sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan sebelum munculnya peraturan yang
mengatur tentang perbuatan tersebut maka si pelaku tidak bisa dikenakan
hukuman.
Jika melihat kembali kepada sejarah ketatanegaraan kita, hal semacam
ini pernah diatur dalam konstitusi Negara kita yaitu diatur dalam Pasal 14 ayat
2 UUDS 1950 yang mengatakan bahwa: “tiada seorang juapun dapat atau
boleh dituntut untuk dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan yang ada
dan berlaku terhadapnya.”, dan jika dilihat secara yuridis formal maka
rumusan ini merupakan asas legalitas, akan tetapi perbedaannya adalah jika

8

James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam
Criminal Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August
1989, hal. 253.

17

kita hendak merubah rumusan tersebut maka kita juga harus merubah
konstitusi. Sedangkan secara teoritis Pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang
merupakan penjelmaan dari asas legalitas dapat diubah atau dikesampingkan
hanya dengan membuat undang-undang baru yang berbeda.9
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa asas legalitas yang sebelumnya
dikenal dengan prinsip „nulla poena’ menjadi patokan utama dalam
memberikan hukuman, dimana dalam salah satu intisari prinsip tersebut
dikatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dijatuhi hukuman jika perbuatan itu
diatur dalam sebuah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan
tersebut dilakukan, sehingga jika sebuah pemberian hukuman dilakukan
terhadap perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang atau ketika
perbuatan telah dilakukan barulah dibuatkan undang-undangnya (berlaku surut
atau retroaktif), maka hal tersebut melanggar ketentuan-ketentuan dalam
aturan hukum itu sendiri.

B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam
Penerapan asas legalitas tidak hanya dikenal dalam hukum pidana
positif saja, sebab meski tidak disebutkan secara jelas, dalam hukum Islam
pun dikenal dengan adanya asas legalitas, dimana seseorang tidak dianggap
melakukan tindak pidana (Jarimah) sebelum turunnya nash al-Qur‟an yang
menyatakan bahwa perbuatannya itu haram dan patut mendapatkan hukuman.
Hal ini dikarenakan adanya asas atau kaidah hukum yang mengatakan bahwa
hukum asal suatu perkara adalah kebolehan, dengan kata lain seseorang
9

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal. 38.

18

dibolehkan melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan, dan jika ia
melanggar aturan maka ia boleh dipidana.10
Sebenarnya pembahasan tentang hukum Islam tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari aspek teologis yang berkembang di kalangan umat Islam.
Sebab intisari dari ajaran agama Islam pada dasarnya terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu aspek akidah, akhlak dan hukum. Ketiga aspek ini mempunyai
peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang bahagia.
Tidak hanya itu saja pemahaman yang berbeda dari para ulama
terhadap ayat-ayat hukum yang ada didalam al-Qur‟an menjadi faktor yang
menyebabkan berbedanya suatu kaidah hukum yang telah ada pada masa kini.
Selain itu dari 6236 ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an kurang lebih hanya
ada 228 ayat yang membahas tentang hukum dan dari 228 ayat tersebut hanya
ada 30 ayat yang berkaitan dengan hukum pidana. Tentunya hal ini
membutuhkan usaha keras untuk mengembangkan hukum agar tidak tertinggal
dari perkembangan masyarakat.
Berkaitan dengan pembahasan asas legalitas di dalam al-Qur‟an
kiranya ada beberapa ayat yang berkaitan dengan hal tersebut salah satunya
adalah :

             

    
       

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Rachmat Syafe‟i, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Syiar
Hukum, Fakultas Hukum UNISBA Vol. XII No. 1 Maret 2010.
10

19

Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
(al-Isra : 15)
Menurut aliran Asy‟ariyah ayat ini menerangkan bahwa seseorang
tidak dapat dijatuhi hukuman (taklif) atas tindak kejahatannya sebelum
diutusnya seorang nabi atau rasul, meskipun sebenarnya orang tersebut
mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun berbeda dengan pemikiran aliran Mu‟tazilah yang berpendapat
meskipun belum ada ayat yang menjelaskan suatu perbuatan dilarang atau
belum diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum, apabila mereka melakukan
kejahatan maka mereka bisa dijatuhi hukuman (taklif). Karena menurut
mereka meski belum diutus seorang rasul namun akal manusia dapat
membedakan antara baik dan buruknya suatu perbuatan.11
Lain halnya dengan pendapat aliran Maturidiyah yang mengambil
jalan tengah dimana aliran ini menyetujui pendapat kalangan Mu‟tazilah
tentang kemampuan akal mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, akan
tetapi dilain sisi berbeda pandangan tentang pembebanan hukum (taklif).
Menurut kalangan Maturidiyah permasalahan taklif, dosa dan pahala hanya
ditetapkan melalui wahyu Allah. Meskipun akal memiliki kemampuan untuk
mengetahui mana yang baik dan buruk, mashlahat atau mafsadat, namun akal
tetap harus tunduk pada ketetapan wahyu.12
Asas legalitas seperti yang disebutkan di atas, yang memberikan
11

Amir Syarifuddin, Ushul FIqh, (Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1) hal. 414.

12

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hal. 416.

20

penjelasan bahwa tidak ada jarimah atau hukuman tanpa adanya suatu nash
(aturan-aturan) yang disebutkan di dalam syara, bukan di dasarkan atas nashnash syara‟ yang sifatnya umum semata yang menyuruh kepada keadilan dan
melarang kedzaliman, melainkan didasarkan atas nah-nash yang jelas dan
khusus mengenai persoalan ini.13
Selain ayat dari surat Bani Israil di atas ada beberapa ayat lain yang
juga menjelaskan tentang asas legalitas diantaranya Q.S. al-Qasas, Q.S. alAn‟am, Q.S. al- Baqarah dan Q.S. al- Anfal. Nash-nash ini semuanya berisi
ketentuan, bahwa tidak ada sesuatu jarimah kecuali sesudah ada penjelasan,
tidak ada hukuman kecuali sesudah ada pemberitahuan.14 Sehingga dengan
adanya nash- nash al-Qur‟an tersebut kemudian muncullah satu kaidah yang
berkenaan dengan asas legalitas yaitu

ّ
ِ َّ ‫لا جريْمة ولا عقوْبة إلَا بال‬
“Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali tertulis dalam
peraturan”15
Dengan demikian jelas bahwa semua tindak pidana harus dimasukkan
atau diatur didalam sebuah undang-undang yang terperinci dan jelas agar
terhindar dari kesewenang-wenangan dalam menegakkan hukum. Dalam
Islam dikenal kaidah la hukm qabla syar’ -tidak ada hukum sebelum ada
ketentuan dari syara‟, sehingga sanksi hanya diberikan kepada seorang

13

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal.

14

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 49.

48.
Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, (Kairo: Maktabah Dar al„Urubah, 1968) hal. 261.
15

21

berdasarkan aturan yang jelas. Dengan demikian hukum Islam sejalan dengan
prinsip yang dianut oleh hukum positif.16

C. Pemberlakuan Hukum Secara Retroaktif (Surut) Sebagai Pengecualian
Asas Legalitas
Ketika berbicara tentang asas legalitas maka kiranya tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan tentang apa itu „retroaktif‟ atau biasanya para
pakar hukum menyebutnya dengan „asas retroaktif‟, meski sebenarnya penulis
merasa kurang tepat jika retroaktif disebut sebagai „asas‟ akan tetapi lebih
tepat jika disebut sebagai sebuah aturan hukum saja. Sebab jika merujuk pada
pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa asas-asas hukum bersifat
lebih umum daripada undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah
penjabaran dari asas-asas hukum.17 Menurutnya pula selain asas hukum
bersifat lebih umum dan aturan hukum bersifat lebih khusus, asas-asas hukum
mempunyai teritori terapan yang lebih luas ketimbang aturan hukum yang
memiliki teritori terapan yang lebih sempit.18
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa Retroactivie adalah
an extending in scope or effect to matters that have occurred in the past. 19
Sementara itu di dalam kamus bebas Wikipedia, pengertian retroaktif
dijelaskan sebagai;
Rachmat Syafe‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum;
Syiar Hukum. FH. Unisba Vol. XXI No. 1 Maret 2010, hal. 69.
16

17

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, ( CV. Karya
Dunia Fikir, 1996), hal. 20.
18

19

Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. hal. 21.

Anis Widyawati, Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia, (Jurnal Pandecta,
FH. Universitas Negeri Semarang Vol. 6 No. 2 Juli 2011) hal. 171.

22

Law that retroactively changes the legal consequences of acts commited or the
legal status of facts and relationships that existed prior to the enactment of
the law.
“hukum yang berlaku surut mengubah akibat hukum terhadap tindakan yang
dilakukan atau mengubah status hukum dan hubungan yang ada sebelum
berlakunya hukum”
Dari pengertian di atas dikatakan bahwa hukum yang diterapkan secara
retroaktif (berlaku surut) mengubah akibat-akibat hukum dari tindakan yang
dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi
sebelum penetapan undang-undang.20
Penerapan hukum secara retroaktif memang mengundang berbagai
tanggapan bahkan perdebatan baik itu dikalangan para ahli hukum maupun
dari kalangan pelaku tindak kejahatan itu sendiri. Pasalnya sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan hukum secara retroaktif telah
melanggar aturan yang tersirat dari asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1
ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Terlebih dikatakan bahwa
penerapan hukum secara retroaktif dianggap bertentangan dengan hak asasi
manusia yang diakui di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian
dikatakan sebagi hak konstitusional warga Negara, yang salah satunya adalah
“hak bebas dari tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut.21Di dalam
UUD 1945 sendiri setidaknya ada 11 pasal yang membahas tentang HAM
mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J.

20

A. Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam
perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 274.
21

Masyhur Efendi, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,
Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam
Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 151.

23

Akan tetapi jika dikatakan bahwa penerapan hukum secara surut
dianggap melanggar hak dari pelaku kejahatan tersebut maka kita pun harus
melihat dampak yang timbul akibat kejahatan yang dilakukan. Memang benar
dikatakan dalam Pasal 28I ayat 1 bahwa;
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Akan tetapi jika kita melihat kepada pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 28J
ayat 1 dan ayat 2 yang mengatakan bahwa;
(1) Setiap orang harus menghormati hak-hak orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
(2) Dalam menjalankan

hak dan kebebasannya setiap orang diwajibkan

untuk tunduk kepada pembatasan undang-undang dengan maksud sematamata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Menurut pemerintah pembatasan Pasal 28J terhadap Pasal 28I ini
memungkinkan diterapkannya suatu aturan pidana yang berlaku surut.22 Akan
tetapi berbeda dengan pemerintah, Nyoman Serikat Putra Jaya memberikan
pandangannya bahwa Pasal 28I yang berisikan tentang hak-hak warga Negara

22

Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008, hal. 77.

24

yang sifatnya tidak dapat bisa dikurangi atau dibatasi (derogable rights),23
meskipun terdapat Pasal 28J yang menurut pemerintah memberikan peluang
bagi penerapan hukum secara surut, namun menurut Nyoman Serikat
ketentuan dalam Pasal 28J tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa “hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” dapat dikurangi
atau dibatasi.24
Namun demikian jika melihat pada penjabaran diatas bukan berarti
peluang untuk memberlakukan suatu aturan pidana secara surut menjadi
tertutup. Sebagaimana pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Dani
Setyo Bagus mengatakan bahwa prinsip hukum non-retroaktif hanya berlaku
bagi pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia
bukan pelanggaran biasa. Oleh karena itu, prinsip non-retroaktif tidak bisa
dipergunakan.25
Jika mencermati pendapat Romli maka penerapan hukum secara retroaktif
hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang sifatnya luar biasa, dengan
persyaratan bahwa suatau tindak pidana dapat dikatakan luar biasa jika:
1. Adanya jumlah korban yang besar
2. Cara melakukan kejahatan kejam

23

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu
Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana,
Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004, hal. 18.
24

Nyoman Serikat, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu
Hukum Pidana) hal. 19.
25

Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah
Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 72.

25

3. Dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas
4. Penetapan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan
Penerapan suatu aturan hukum pidana secara surut sebenarnya
merupakan suatu penyimpangan terhadap asas legalitas yang terdapat di dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP. Sebab jika kita rasakan bahwa berlakunya asas legalitas
seolah-olah hanya untuk melindungi kepentingan dan hak dari pelaku namun
kurang memperhatikan hak dan kepentingan dari korban akibat dari tindak
kejahatan yang dilakukan, sehingga terlihat bahwa akses untuk memperoleh
keadilan bagi korban terutama korban kolektif menjadi terhambat.
Selain itu meski asas legalitas atau principles of legality diakui sebagai
asas yang fundamental oleh Negara-negara yang menggunakan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan, namun pemberlakuannya tidak
bersifat mutlak dalam artian bahwa penerapan hukum pidana secara surut
dapat dilakukan jika perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan
hukum tidak tertulis yang menurut hukum pidana internasional disebut dengan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Kemudian pemberlakuan hukum secara surut hanya dapat dilakukan pada
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat.26
Penerapan hukum secara surut dalam hukum Islam (‫(اأثر الرَجْعي‬
dilakukan demi kemashlahatan pelaku dan korban. Jika perbuatan yang

26

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu
Hukum Pidana) hal. 37.

26

dilakukan sebelum adanya aturan tersebut maka pelaku bisa dihukum dengan
undang-undang atau hukum yang muncul kemudian. Namun dengan syarat
hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari hukuman yang telah ada.
Kemudian jika pelaku telah dihukum dengan aturan atau undang-undang yang
lama maka ia tidak boleh dihukum dengan aturan atau hukum yang baru
dibuat. Hal ini dilakukan semata-mata demi menjaga kepentingan baik pelaku
maupun korban.27 Hal ini sejalan dengan dengan apa yang disebutkan di
dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, yaitu “bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.”
Kemashlahatan sendiri merupakan prinsip yang berlaku secara
universal. Setiap manusia yang ada dimuka bumi ini menginginkan
kemashlahatan bagi dirinya. Sehingga tidak salah jika Islam memandang
kemashlahatan sebagai sebuah pertimbangan hukum, terlebih terhadap
perkara-perkara atau peristiwa hukum yang tidak disebutkan di dalam alQur‟an maupun as-Sunnah, akan tetapi meski kemashlahatan dapat dijadikan
sebagai pertimbangan hukum, bukan berarti penggunaan konsep mashlahat
dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam artian ada syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi agar maslahah dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum di antaranya:
1. Penerapan maslahah masih dalam ruang lingkup maqasidu syari‟ah, yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

27

Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, hal. 271.

27

2. Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qur‟an.
3. Maslahah tidak bertentangan dengan as-Sunnah.
4. Maslahah tidak bertentangan dengan qiyas, dan
5. Penerapan maslahah tidak merusak maslahah lain yang lebih penting.28
Menurut Mushtafa al-Zarqa sebagaimana yang dikutip oleh Fathikun ada
empat alasan yang membolehkan penggunaan konsep maslahah dalam
penerapan hukum secara surut yaitu; 29
1. Untuk mendatangkan kemashlahatan (jalb al-mashalih), dimana penerapan
hukum secara retroaktif bisa dilakukan jika ia dapat menimbulkan
ketentraman dan keadilan bagi kehidupan masyarakat secara umum.
2. Menolak kerusakan (dar’ al-mafasid), untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga hukum, maka diperbolehkan penerapan hukum secara retroaktif.
Terlebih jika tindak kejahatan yang dilakukan bersifat luar biasa, korban
yang ditimbulkan dalam jumlah besar ditambah belum adanya undangundang yang mengatur tentang tindak pidana tersebut, maka demi
terciptanya keadilan yang sifatnya kolektif maka penerapan hukum secara
retroaktif dianggap relevan dengan metode ini.
3. Untuk menutup peluang ( sadd al-dzari’ah ) bagi terjadinya pelanggaran
di masa yang akan datang. Alasan ini pun masih komprehensif dengan
penerapan hukum secara retroaktif. Meskipun peluang terjadinya
Muhammad Said Ramadhan al-buthi, Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at alIslamiyah, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997) hal. 248.
28

29

M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana
Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali, hal. 90.

28

pelanggaran

masih

sebatas

kemungkinan,

namun

mengingat

perkembangan manusia lebih cepat dari perkembangan hukum maka demi
mencegah timbulnya potensi kejahatan penerapan hukum secara retroaktif
menjadi salah satu solusinya.
4. Perubahan waktu, menurut Abu Zahrah teks undang-undang, meskipun
begitu banyak tetap tidak akan mungkin bisa mencakup semua kejahatan
disertai

dengan

perkembangannya.30

Mengingat

bahwa

saat

ini

perkembangan kejahatan terus meningkat dan undang-undang yang ada
belum tentu bisa mengaturnya sehingga tidak tercapai efektifitas dalam
menegakan hukum demi tercapainya keadilan, maka penerapan hukum
secara surut dapat dilakukan