Tindak pidana profesi kedokteran menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam

(1)

TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

BEBEN MISHBAH

NIM: 103045128137

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Asmawi, M.Ag Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum.,

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Pidana Islam).

Jakarta, 27 Maret 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Asmawi, M.Ag. (………...……)

NIP. 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (…………..….) NIP. 150 282 403

3. Pembimbing I : Asmawi, M.Ag. (…………..….)

NIP. 150 282 394

4. Pembimbing II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. (………..…….) NIP. 150 264 001

5. Penguji I : Prof.DRH. Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM(..…..………...) NIP. 150 210 422

6. Penguji II : H. Zubir Laini, SH (………...) NIP.


(3)

KATA PENGANTAR

ﺮَـ ا

ﻦ ﺮَـ ا

ﷲا

ﺴﺑ

ﺎ ﻬ

ﺎ و

ضرﻷاو

تاوﺎ ا

ﺎـ ا

بر

ﺪ ا

,

تﺎ ﻮ

ا

أ

و

,

ﺎ اﺪهو

ﺔ اﻮ ا

ﻮ و

اﺪﻬ

.

ا

م

او

ة

او

و

ﷲا

ﺔ ﺎ ﻹا

ذﺎ أو

ةﺮ

,

مﺎ ﻷا

ةاﺪه

أو

ﻰ و

) .

ﺎ أ

(

Tiada untaian kata yang paling indah selain puja serta puji syukur kehadirat Allah Swt, atas taufiq, hidayah dan inayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan kepada keluarganya, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Amien.

Sebagai manusia yang tak luput dari kekhilafan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang dialami oleh penulis. Dan berkat kesungguhan hati, dengan penuh harapan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hal ini berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Bapak Dedy Nursyamsi, M.Hum., selaku dosen pembimbing Skripsi, yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis serta telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

4. Pimpinan dan Staf Perpustakaan PemDa Jakarta Selatan, dan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta. Pimpinan dan Staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Jakarta yang telah membantu penulis mengadakan riset, serta Pimpinan dan Staf Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa yang telah memberikan bantuan dana demi terselesaikannya Skripsi ini.

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi selama menyusun Skripsi ini.

6.

Yang Mulia Bapak KH. Jaemi Sukma Wijaya Kusuma, selaku pengasuh Pon-Pes

Minhajut Tholibin,

ﻦ ﺼ

ﻦ ﺑ

ﻜ ﺪ

و

آﺪﺴﺟأ

ﻪّ ﺼ

و

آرﻮ ﻋ

لﻮﻄ

ﷲا

ﺴﻋ

)

ﻦ ﺎﺼـ ا

(

7. Yang tercinta dan tersayang kedua orang tua penulis, Bapak H. Uci Sanusi dan Ibunda Sartunah (Almh), yang dengan penuh curahan kasih sayang dan doa sehingga


(4)

Skripsi ini dapat penulis selesaikan. Kakak dan adikku Kusnadi, Yayah, Faruqi, Tuti, Alan, Nurbaiti, Hafidz, dan si kecil Sandi.

8. Kawan-kawan seperjuangan di Pidana Islam, Iwan, Jabier, Asep, Ma’ruf, Wildan, Uboey, Onel, Adien, Ramboel, Suwardy, dan Ajon yang sudah sama-sama mengalami pahitnya kehidupan (semangat trus ‘Jon!). Para akhwat PI, Anita, Didi, Lexa, Manse, i2k, Lina, Iyam, Iroh, Dewi, Elga dan untuk saudaraku Anna yang sudah banyak membantu penulis, serta teman-teman Pidana Islam angkatan 2003 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu “Kalian adalah mata rantai yang takan pernah terputus”.

9. Seseorang yang berhati lembut dan penuh kasih sayang “Nopianti Herlis“ dengan ketulusan hati memberi motivasi dan mengisi hari-hari penulis menjadi indah. (Hatur nuhun nya’ Neng..!).

10.Orang-orang yang secara tidak langsung membatu penulis, Mas Nano, teman-teman Cibodas Bikers Club (CBC), Rivald, Agoes Rahman, Jay, Alumni Pon-Pes Mathla’ul Huda (Pandeglang, Banten), Ade, Fitri, Luthfi dan lainnya, Ummi, Umah, Wulan, Tiwi, Yarnah, lia, Dhila, dan Lenny.

Dengan untaian do’a, semoga semua kebaikan dan bantuan mereka yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Dan semoga Skripsi ini, dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amien...!

Jakarta, 27 Maret 2008 M

19 Rabi’ul Awwal 1429 H


(5)

TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Beben Mishbah NIM : 103045128137

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH


(6)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/ 2008 M

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ………... iii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7

D. Tinjauan Pustaka ………. 8

E. Metode Penelitian ………... 10

F. Sistematika Penulisan ………. 11

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia ………… 13

1. Pengertian Tindak Pidana ……….. 13

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ……….……….. 15

3. Klasifikasi Tindak Pidana ………. 18

B. Tindak Menurut Hukum Pidana Islam …………. ………… 23

1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah) ………. 23

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ………... 25

3. Klasifikasi Tindak Pidana ……….. 27

BAB III PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM


(7)

A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran ……… 32

1. Pengertian Profesi Kedokteran ……….. 32

2. Praktek Kedokteran Dalam Lintas Sejarah ……… 36

3. Jenis-jenis Profesi Kedokteran ……….. 49

B. Hak dan Kewajiban Profesi Kedokteran ……….. 51

C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran ……… 56

1. Tanggung Jawab Etik Profesi ……… 57

2. Tanggung Jawab Hukum ………... 64

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN A. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan Hukum Pidana Indonesia ………. 67

1. Ancaman Pidana Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)…. 71

2. Ancaman Pidana Dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran ……… 81

B. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam………. 92

C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam ………. 117

D. Contoh Kasus Seputar Tindak Pidana Profesi Kedokteran ………. 133

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……… 140

B. Saran-saran ……… 150


(8)

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan manusia terhadap pertolongan pengobatan untuk menyelamatkan nyawanya merupakan hal yang mendasar yang diperlukan oleh setiap makhluk hidup insani. Oleh karena itu, diperlukan pihak yang mempunyai keahlian untuk memberikan pertolongan kepadanya agar terbebas dari penyakit yang dideritanya tersebut. Dokter merupakan ilmuan yang telah dididik secara profesional untuk memberikan pertolongan kepada seseorang yang membutuhkan pelayanan medisnya.1

Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.2

Dalam era globalisasi seperti yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya

1

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), h. v

2

Hendorojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalm Transaksi Terapeutik, (Surabaya, Srikandi, Cet I, 2006), h. 4


(10)

kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan yang lebih meningkat bagi para tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan.

Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh berbagai perubahan antara lain adanya kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan karakteristik masyarakat tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga perubahan masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak-haknya. Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan merupakan suatu kritik yang baik terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan dapat meningkatkan pelayanan profesi kesehatannya terhadap masyarakat.

Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan masyarakat dewasa ini sering kali diidentikan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang dilakukan dapat berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya untuk

penyembuhan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan.3

3


(11)

Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tersebut tidaklah semulus yang dicita-citakan oleh para pengemban profesi kesehatan ini. Ancaman pidana menghantui harapan mulianya tersebut, sehingga beberapa di antaranya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pengabdiannya sebagai seorang dokter.4 Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari makin bertambah yang tersebut dalam beberapa undang-undang, yaitu kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Di dalam undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktik kedokteran.

Munculnya kasus-kasus dalam tindakan medik merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum, semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan.5 Pada dasarnya kesalahan dan kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus

4

Anny Isfandyarie dan Fachrizal A, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. v

5

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005), Cet I, hlm 4


(12)

diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi, di samping itu pula diperhatikan aspek hukum yang mendasarinya.6

Pada hakekatnya pembangunan dalam bidang kesehatan ditunjukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Begitu pula dalam ajaran Islam, Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifdz al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.7 Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkan tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Di antara firman Allah yang menyinggung soal jiwa atau nafs adalah:

Surat al-Hijr ayat 2

راﻮـ ا

و

و

ﺎ إ

و

نﻮ

ﺮ ا

:

Artinya: “Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi” (QS. al-Hijr: 2).

Surat al-Najm ayat 44

ﺎ أ

و

تﺎ أ

ﻮه

إ

و

ا

:

Artinya: “Dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan” (QS. al-Najm: 44).

6

Ibid., h. 5

7

Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer IV, (Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2002), cet ke III, h. 69


(13)

Agar supaya manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak atau menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga peradilan (Pemerintah Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhann. Sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 179:

ا

ؤ

ةﻮ

صﺎ

ا

ﻜ و

ناﻮ

ةﺮ ا

:

Artinya: “Dan dalam Qishash itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 179) Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia diancam dengan hukuman yang setimpal

(Qishas atau Diyat).

Dari latar belakang di atas penelitian ini diberi judul : ”Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Mengingat permasalahan di bidang kedokteran amat luas untuk dibahas maka dalam skripsi ini dibatasi pada aspek pidana yang berkaitan dalam dunia kedokteran, khususnya mengenai sanksi pidananya. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana Indonesia adalah hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu, ketentuan-ketentuan pidana dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.


(14)

Agar penelitian ini lebih terpokus dan terarah maka penulis membatasi tulisan ini hanya pada ketentuan sanksi pidana profesi kedokteran menurut hukum pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum Islam?

2. Bagaimana hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam pandangan hukum Indonesia dan hukum Islam ?

3. Bagaimana pandangan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran, dan bagaimana ketentuan sanksi pidananya ? 4. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Indonesia dan hukum

pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui dan mengidentipikasi tindakan-tindakan profesi kedokteran yang terkena ancaman pidana.

c. Untuk mengetahui gambaran pandangan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran.

d. Untuk mengetahui persaman dan perbedaan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran.


(15)

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat luas pada umunya dan dokter atau pelayan kesehatan pada khususnya dalam rangka memahami ketentuan sanksi pidana dalam bidang medik, sehingga para pemberi pelayanan kesehatan berhati-hati dalam menjalankan profesinya yang amat mulia itu. Juga hasil penelitian ini dapat memberikan khazanah pengetahuan di bidang hukum Islam khususnya hukum pidana Islam di bidang medik (kesehatan).

D. Tinjauan Pustaka

Dari beberapa hasil penelitian yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta belum terdapat penelitian yang secara spesifik membahas tentang tindak pidana tenaga medik, sejauh yang penulis temui hanya terdapat penelitian yang mambicarakan tentang Euthanasia atau yang sering disebut dengan Mercy Killing (mati dengan tenang).8

Namun terdapat suatu penelitian yang kiranya senada dengan judul tindak pidana profesi kedokteran, yaitu hasil penelitian yang disusun oleh dr. Anny Isfandriyari, Sp. An., SH dari fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan judul “Resiko Medik dan Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana”. Akan tetapi hasil dari penelitiannya hanya murni dalam kajian hukum pidana Indonesia, sedangkan dalam penelitian tindak pidana profesi kedokteran tidak hanya dalam perspektif hukum pidana Indonesia semata melainkan termasuk juga hukum pidana Islam.

8


(16)

Juga terdapat Tesis yang sekiranya serupa membahas permasalah dalam dunia Medik, yaitu Tesis yang disusun oleh Khairurrahman,9 dengan judul “Masalah-Masalah Kedokteran Dalam Fatwa-Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi”, yang membahas seputar masalah-masalah kedokteran yang terdapat dalam fatwa-fatwa Al-Qaradhawi meliputi persoalan yang berkenaan dengan masalah Euthanasia, transplansi organ tubuh, aborsi, bank susu, kloning pada manusia, dan inseminasi buatan. Dan membicarakan tentang Istinbath hukum yang berkenaan dengan masalah-masalah kedokteran dengan menggunakan metode (maslahah mursalah).

Di antara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP). Buku yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter buku I dan II” yang membicarakan segala ancaman pidana yang terdapat dalam KUHP, UU No. 23 tahun 1992, dan UU No. 29 tahun 2004. Dan buku yang berjudul “Perlindungan Hak-Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik”, pembahasannya meliputi hak-hak pasien dan seputar tindak pidana, perdata dalam dunia medik. Serta buku “Hukum Kesehatan (Pertanggung jawaban Dokter)”, membahs tentang pertanggung jawaban dokter yang menyangkut dengan segi hukum dan etika kedokteran dalam menjalankan profesinya10. Di samping itu dalam kajian Islam terdapat pula buku-buku yang menjadi rujukan dalam penelitian ini diantaranya kitab “At-Tasyri’ Jinaiy Al-Islamiy” karangan Abdul Qadir Audah yang secara spesifik membicarakan segala macam

9

Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Konsentarsi Syari’ah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10


(17)

tindak pidana (Jarimah), klasifikasi, dan sanksinya dalam pandangan hukum Islam. Dan bahan-bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah).

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan dan menjelaskan suatu variable penelitian. Sedangkan dari segi tipe penelitian ini merupakan penelitian hukum-doktrinal (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian hukum berupa norma-norma dan doktrin yang dalam penelitian ini ialah Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KUHP, dan aturan dalam hukum pidana Islam.

Teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi (kepustakaan) yaitu mengumpulkan data-data dan dokumen-dokumen atau bahan tertulis yang terdapat dalam UU No. 29 tahun 2004, KUHP, dan hukum Islam berupa segala ketentuan-ketentuan pidananya, buku-buku, media cetak dan elektonik yang berkaitan dengan penelitian ini.

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan dokumen. Adanya bahan hukum primer yaitu Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, KUHP, dan Yurisprudensi. Sedangkan data skunder ialah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengeanai bahan hukum primer yaitu buku-buku hukum, majalah, koran, maupun internet (website) yang ada korelasinya dengan materi yang menjadi pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.


(18)

Sedangkan teknik analisis data adalah analisis isi secara kualitatif (Qualitative Content Analysis), juga diterapkan metode perbandingan hukum. Kemudian menganalisis ketentuan pidana dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KUHP dan diperbandingkan antara pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007” dengan beberapa pengecualian, yaitu terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits ditulis tanpa memandang sedikit baris dan banyaknya baris, penulisan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tidak dicantumkan catatan kaki karena ditulis dari ayat pada akhir ayat tersebut.

F. Sistematika Penelitian

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang perinciannya sebagai berikut:

Bab Pertama, yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, serta metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, yaitu Tinjauan umum hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam tentang tindak pidana, meliputi Pengertiaan tindak pidana, klasifikasi, dan sanksi pidana dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam.

Bab Ketiga, yaitu Profesi kedokteran dalam pandangan hukum Indonesia dan hukum Islam, yaitu meliputi Pengertian, sejarah dan macam-macam profesi kedokteran. Hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum Islam, dan Tanggung jawab profesi kedokteran.


(19)

Bab Keempat, yaitu Tinjauan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran, analisis tentang perbandingan (komparasi)

hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam tentang tindak pidana profesi kedokteran, dan contoh kasus seputar tindak pidana profesi kedokteran.

Bab Kelima, Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Di akhir penulisan ini dilampirkan daftar pustaka yang menjadi acuan dalam menyusun skripsi.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia. 1. Pengertian Tindak Pidana.

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit11 Secara etimologis (bahasa) pengertian tindak pidana adalah suatu tindakan kejahatan, jika dilihat dari segi hukum mengenai perbuatan-perbuatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap penguasa.12 Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau (Een Gedelte Van De Werkelijkheid), sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau pun tindakan.13

Sedangkan menurut pengetian terminologis (istilah), kata tindak pidana memiliki banyak pengertian sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum sebagai berikut :

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke I, h. 67

12

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1999), h. 750

13

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997), cet ke III, h. 181


(21)

a. Menurut Prof. Moeljatno, SH, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan (tindak) pidana atau delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar laranga-larangan tersebut).14

b. Profesor Simons, merumuskan bahwa “Een strafbaar feit” adalah handeling

(tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)

oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.15 Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur yaitu unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab

(teorekenings vatbar) dari petindak.

c. Sedangkan menurut R. Tresna, merumuskan atau memberikan definisi perihal peristiwa (tindak) pidana menyatakan bahwa, “Peristiwa (tindak) pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.16

Dari pengertian di atas selanjutnya Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa

(tindak) pidana itu mempunyai beberapa syarat, yaitu: a. Harus ada suatu perbuatan manusia

14

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002), cet ke VII, h. 2

15

E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta, Storia Grafika, 2002), cet ke III, 2002

16


(22)

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus

dapat dipertanggungjawabkan

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Di dalam perbuatan yang dapat dipidana dikenal adanya dua unsur yang melekat, yaitu Criminal Act (unsur yang melekat pada perbuatannya) dan Criminal Responsibility

atau Criminal Liability (unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana) yang dalam istilah hukum disebut sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana.17

Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni18:

a. Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang 1). Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis adalah unsur-unsur apa yang ada dalam tindak pidana melihat bagaimana bunyi rumusan-rumusan berdasarkan para ahli hukum. Beberapa contoh menurut pendapat atau teori para ahli hukum ialah:

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah:

17

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), Cet I, h. 26

18


(23)

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. Dipertanggungjawabkan.

2). Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang adalah unsur-unsur lain baik sekitar atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur akibat keadaan yang menyertainya

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.


(24)

Menurut Lamintang bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan dan dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.19

Unsur-unsur subjektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya.

Sedangkan unsur-unsur objektif, itu ialah unsur-unsur yang berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu di mana keadaan tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

3. Klasifikasi Tindak Pidana.

Perbuatan (tindak) pidana berdasarkan sifatnya secara kualitatif, Moeljatno menyebutkan di dalam KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana, yang terdiri dari:

a. Kejahatan (misdrijven), misalnya pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan (pasal 378 KUHP), penganiayaan (pasal 351 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan sebagainya.

b. Pelanggaran (overtredingen), misalnya: kenakalan (pasal 486 KUHP), mengemis di tempat umum (pasal 504 KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum tanpa izin pejabat yang berwenang (pasal 510 KUHP), dan sebagainya.20

Menurut M.v.T, menjelaskan pembagian atas kedua bagian di atas didasarkan pada perbedaan prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten” yaitu

19

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, h. 193

20


(25)

perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.21

Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.

Perbuatan-perbuatan pidana ini oleh Moeljatno dikatakan sebagai perbuatan yang menurut wujud dan atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat.

Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, menurut Moeljatno biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam22 :

1. Delik dolus dan Delik culpa (tindak pidana sengaja dan kealpaan)

Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana) yaitu dilakukan dengan sengaja, sebagai contoh pasal 338 KUHP yang merumuskan:

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, …”.23

Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja atau merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 359 KUHP:

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati…”.

2. Delik commissionis dan Delikta commissionis

21

Ibid., h. 71

22

Ibid, h. 75

23


(26)

Delik commissionis merupakan perbuatan pidana yang terjadi karena seseorang berbuat sesuatu (melakukan sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), atau menipu (pasal 378 KUHP), dan sebagainya. Yang termasuk di dalam delik commissionis bagi praktik kedokteran misalnnya: melakukan praktik kedokteran tanpa mimiliki SIP (pasal 76 Undang-undang Praktik Kedokteran), melakukan praktik kedokteran tanpa membuat rekam medis (pasal 79 huruf b Undang-undang Praktik Kedokteran).24

Sedang delikta commissionis adalah perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana karena seseorang tidak berbuat atau melakukan sesuatau yang seharusnya ia lakukan. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, memberikan istilah lain dari delikta ommissionis yaitu delik omisi atau tindakan pasif (passive handeling) yang diharuskan, yang jika tidak melakukannya diancam dengan pidana.25 Misalnya, (pasal 224 KUHP) keharusan menjadi saksi, (pasal 164 KUHP) mewajibkan untuk melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan, tatkala ia mengetahui adanya permufakatan jahat, maka orang yang tidak melaporkan permufakatan kejahatan yang oleh undang-undang diwajibkan lapor tersebut dianggap telah melakukan delikta commissionois. Dokter atau dokter gigi dapat juga terkena bentuk delikta commissionis ini berdasarkan (pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran), misalnya tidak memberikan pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, padahal ia mengetahui tidak ada orang

24

Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, h. 33

25

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, h. 237


(27)

lain yang bertugas dan mampu melakukannya sebagiamana dimaksud dalam (pasal 51 huruf a, b, c, d, dan e UU Praktik Kedokteran)26.

3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir (dikhususkan)

Pengertian delik biasa adalah perbuatan pidana yang sederhana, misalnya pencurian biasa (pasal 362 KUHP), pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 338 KUHP). Sedangkan delik yang dikualifisir adalah delik biasa yang ditambah dengan unsur-unsur lain yang memperberat ancaman pidananya yang oleh Moeljatno tambahan unsur-unsur tersebutkan antara lain:

a. Unsur yang khas dalam melakukan delik biasa, misalnya pencurian dengan jalan membongkar rumah atau dilakukan dengan beberapa orang (pasal 363 KUHP) b. Bersamaan dengan peristiwa lain, misalnya pencurian pada waktu terjadi

kecelakaan, atau kebakaran.

c. Dilakukan pada waktu tertentu, misalnya pencurian di malam hari.

4. Delik menerus dan Tidak menerus

Dalam delik menerus, ialah perbuatan yang dilarang minimbulkan keadaan yang berlangsung terus, misalnya (Pasal 221 KUHP) tentang orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan. Walaupun orang yang menyembunyikan sudah ditangkap, tetapi perbuatan yang dilarang masih dapat berlangsung terus, selama waktu persembunyiannya tersebut.

26

Undang-undang No. 29 tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, (Surabaya, Kesindo Utama, 2007), h. 32 .


(28)

Delik tidak menerus artinya perbuatan yang dilarang telah selesai atau habis pada saat pelaku sudah tidak melakukan perbuatan lagi, misalnya pencurian. Pencurian akan berhenti bila si pencuri sudah ditangkap dan tidak melakukan perbuatan lagi.

Agak sedikit berbeda dengan Moeljatno, Rubai membedakan dan memberikan tambahan lain mengenai jenis-jenis tindak pidana adalah sebagi berikut27:

1. Tndak pidana formil dan Tindak pidana materil

Tindak pidan formil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan kepada larangan terhadap perbuatannya. Contohnya (pasal 263 KUHP) tentang perbuatan memalsukan surat, (pasal 267 KUHP) tentang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu.

Sedangkan tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan kepada akibat yang dilarang. Misalnya (pasal 359 KUHP) yang menitik beratkan kepada terjadinya kematian sebagai akibat kekhilafan atau kelalaian dan kealpaan yang pasal ini sering dikaitkan keapada tuntutan malpraktik terhadap dokter atau dokter gigi.

2. Tindak pidana aduan dan Tindak pidana bukan aduan

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari korban, atau dengan perkataan lain, dasar penuntutan dari tindak pidana adalah pengaduan korban. Tindak pidana aduan terbagi menjadi dua yaitu:

27

Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, h. 37


(29)

Tindak pidana aduan bersifat absolut, adalah pengaduan korban merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi agar tindak pidana ini dapat dilakukan penuntutan, misalnya perzinahan (pasal 284 KUHP).

Tindak pidana aduan yang bersifat relatif, yang artinya tindak pidana yang sebenarnya termasuk di dalam tindak pidana bukan aduan, karena adanya hubungan khusus antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian di kalangan keluarga (pasal 367 KUHP).

Sedangkan tindak pidana bukan aduan adalah semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan seperti dalam tindak pidana pembunuhan.

B. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam. 1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah).

Asal kata (ﺔ ﺮ ) jarimah berakar dari kata (مﺮ ) yang maknanya ialah ( و آ) mendapatkan atau mengerjakan dan memutuskan sesuatu. Menurut Imam Muhammad Abu Zahra, kata jarimah dahulu dikhususkan untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dibenci (keji) selain perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu kata (مﺮ , jarama) mempunyai makna pekerjaan yang memikul dosa.28 Sebagaimana dalam Firman Allah:

ﻮه

مﻮ

وأ

حﻮ

مﻮ

بﺎ أ

نأ

ﻜ ﺮ

مﻮ

ﺎ و

طﻮ

مﻮ

ﺎ و

مﻮ

وأ

د

دﻮﻬ ا

:

Artinya: “Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku dengan kamu menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang

28

Imam Abu Zahra, Al-Jarimah Wal ‘Uqubah Fil Fiqh Islamiy, (Kairo, Daar Al-Fikr Al-‘Araby, 1997), h. 19


(30)

menimpa kaum Nuh atau kaum Huud atau kaum Shaleh, sedang kamu Luth tidak pula jauh tempatnya dari kamu”. (Q.S: Al-Huud: 89).

Kata jarimah ( ﺔ ﺮ ) dapat juga diartikan sebagai larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allahdengan hukuman had atau ta’zir.29

Sedangkan menurut Imam Al-Mawardi memberikan definisi tentang jarimah ialah sebagai berikut.

ا

ﺮ ﺰ

وأ

ﺎﻬ

ﻰ ﺎ

ﷲا

ﺮ ز

تارﻮ

اﺮ

30

Artinya: Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah

(

ﺔ ﺎ

, jinayah) untuk jarimah. Semula

jinayah pada awalnya bermakna hasil perbuatan seseorang, yakni perbuatan-perbuatan yang dilarang.

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir ‘Audah pengertian jinayah sebagai berikut :

إ

م

,

ءا

و

ا

أ

و

لﺎ

أ

و

ذ

ا

31

Artinya: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata syara’ pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap

29 ﺮ ﺰ وأ ﺎﻬ ﷲاﺮ ز ﺔ ﺮ تارﻮ

, lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005), cet VI, h. 3

30

Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Mesir, Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1975), cet ke III, h. 219

31

Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut, Muassasah Risalah, 1992 M/ 1412 H), cet ke II, h. 67


(31)

jarimah apabila dilarang oleh syara’, juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman kepadanya.

Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah ialah larangan-larangan syara’ yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga bahwa dengan penyebutan kata-kata syara’ dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman terhadapnya.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Setiap perintah dan larangan yang datang dari syara’ itu hanya ditunjukan kepada orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan ( ﻜ, taklif), sebab pembebanan itu merupakan panggilan (بﺎ , khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut.

Dari pembicaraan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunnyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu32:

a) Secara yuridis normatif, di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman.33 Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman tersebut dapat disebut juga dengan “unsur formal” ( ﻰ ﺮ آر , rukun syari’).

32

Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 6

33


(32)

b) Secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atau adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materil”

ىدﺎ

( آر, rukun maddi).

c) Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, dan unsur ini bias disebut “unsur moral” ( دأ آر , rukun adabi).

Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan kepada suatu “jarimah”. Di samping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman, seperti unsur “pengambilan dengan diam-diam” bagi jarimah pencurian. Perbedaan antara unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau untuk unsur-unsur-unsur-unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.

3. Klasifikasi Tindak Pidana.

Dalam hukum pidana Islam tindak pidana (jarimah) dapat berbeda penggolongannya, sesuai dengan sudut tinjauannya34:

a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibadi menjadi tiga yaitu:

jarimah hudud (دوﺪ ﺔ ﺮ ), jarimah qishas diyat (ﺔ دوأ صﺎ ﺔ ﺮ ), dan jarimah ta’zir(ﺮ ﺰ ﺔ ﺮ ).

34


(33)

b. Dilihat dari segi niat si pembuat, jarimah dibagi dua yaitu: jarimah sengaja dan

jarimah tidak sengaja.

c. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan

jarimah negatif.

d. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan,

jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.

e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa

dan jarimah politik.

Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, tindak pidana dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam kriteria tertentu:

Tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman terbagi menjadi35:

1. Kejahatan hudud, (دوﺪ ا اﺮ )

Kejahatan hudud meliputi tujuh macam jarimah, ialah jarimah perzinahan, menuduh zina (Qadzaf), menkonsumsi khamar, pencurian, perampokan, murtad, dan pemberontakan.

2. Kejahatan qishas dan diyat (ﺔ ﺪ اوصﺎ ا اﺮ )

Kejahatan qishas diyat meliputi lima macam jarimah, ialah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan serupa sengaja, pelukaan karena kesalahan.

3. Kejahatan Ta’zir, (ﺮ ﺰ ا اﺮ )

35


(34)

Sedangkan dalam kejahatan ta’zir ialah tindak pidana yang tidak tergolong ke dalam dua jenis kejahatan di atas. Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian36:

a) Jarimah hudud atau qishas diyat yang terdapat unsur syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pembunuhan, percobaan pencurian di kalangan keluarga.

b) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, dan menghina agama. c) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemaslahatan umum,

dalam hal ini ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.

Dilihat dari sisi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana (jarimah) dibagi ke dalam: 1. Tindak pidana sengaja/ delik dolus, (ﺔ ﺪ اﺮ )

Ialah tindakan atau perbuatan seseorang dengan sengaja untuk melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pembunuhan yang direncanakan sebelumnya. 2. Tindak pidana tidak sengaja atau karena kesalahan (delik culpa), (ﺔ ﺪ ﺮ اﺮ )

Jika si pelaku dengan sengaja atau tidak sengaja berbuat sesuatau dengan tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya atau karena kurang hati-hati, contohnya penganiayaan yang membawa kematian.

Ditinjau dari sisi mengerjakannya, suatu tindak pidana (jarimah) tergolong ke dalam: 1. Kejahatan positif atau Delict commissionis, ) (ﺔ ﺎ ﻹاﺔ ﺮ

Yaitu kejahatan dengan melanggar larangan yang berupa perbuatan aktif, contohnya seperti mencuri, merampok, membunuh, dan lainnya.

36

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta, Rajawali Pers, 2000), h. 13


(35)

2. Kejahatan negative atau Delict ommissionis, )(ﺔ اﺔ ﺮ

Adalah kejahatan yang melanggar perintah, seperti tidak melaksanakan amanah, tidak membayar zakat bagi orang-orang yang telah wajib membayarnya dan lainnya.

3. Omisi tidak murni, (ﺎ ﺮ ﺔ ﺎ ﻹاﺔ ﺮ )

Contoh dari kejahatan omisi tidak murni ialah seperti seorang ibu yang tidak memberikan air susu pada anaknya dengan maksud untuk membunuhnya.

Dan tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari aspek kerugian (korban) akibat jarimah tersebut, terbagi menjadi:

1. Jarimah masyarakat, (ﺔ اﺪ ﺔ ﺮ )

Adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat dan keamanannya, menurut para fuqaha penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut menjadi hak Allah.

2. Jarimah perseorangan, (داﺮ ﻷاﺪ ﺔ ﺮ )

Suatu jarimah yang mana penjatuhan hukumannya untuk melindungi kepentingan individu, contohnya pada jarimah diyat seperti hutang dan gadai. Pemaafan dari korban dapat memringankan hukuman bahkan menghapus hukuman-hukuman pokok akan tetapi tidak berarti ia bebas dan tetap dikenakan ta’zir37.

Akan tetapi Ibn Rusyd memberikan penjelasan lain mengenai pembagian tindak pidana (jarimah). Menurutnya ada lima kejahatan yang dikenai hukuman tertentu dari syara’, yaitu38:

37


(36)

a) Kejahatan atas badan, jiwa, adan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut pembunuhan (al-qatl) dan pelukaan (al-jarh).

b) Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).

c) Kejahatan atas harta, seperti perampokan (hirabah), pencurian (sariqah), perampasan (ghashb), dan lainya.

d) Kejahatan atas kehormatan, seperti contohnya tuduhan melakukan zina (qadzaf). e) Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang

diharamkan oleh syara’. Hanya saja dalam syariat Islam yang dikenal dari kejahatan tersebut hanya minuman keras saja, yang hukumannya telah disepakati sepeninggalnya pembawa syari’at, Muhammad Saw.

38

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Dar Al-Jiil 1989), cet ke I, h. 503


(37)

BAB III

PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran. 1. Pengertian Profesi Kedokteran.

Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia tidak terdapat dengan jelas perumusan mengenai profesi dokter. Secara bahasa (etimologis)

pengertian dokter dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya”39 Akan tetapi jika dilihat dari kedudukan dokter sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya upaya kesehatan, maka di dalam Bab I (Ketentuan Umum) pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), memberikan rumusan tentang profesi kedokteran, yaitu:

“Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat”.40

Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan

39

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), cet ke III, h 272

40

Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, (Surabaya, Kesindo Utama, 2007), h 3


(38)

melalui pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Dari rumusan yang tercantum di dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tersebut, jelaslah bahwa dokter merupakan pengemban profesi kedokteran yang tentunya juga memiliki ciri-ciri profesi sebagaimana pengemban profesi pada umumnya.

Menurut Komalawati memberikan kesimpulan bahwa hakikat profesi adalah panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggung jawab penuh. Beberapa ciri profesi antara lain:41

a) Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistematis;

b) Mempunyai kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu;

c) Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu;

d) Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan, serta mempertahankan kehormatan;

e) Mempunyai etika tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaan; f) Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat dan individu; dan

g) Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu, organisasi profesional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap kemandiriannya.

41

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), cet pertama, h 23


(39)

Pendapat lain mengenai ciri-ciri profesi yang dikemukakn oleh Sidharta, ialah dimana dikatakan ada beberapa ciri khusus profesi yaitu42:

a) Tidak mengacu pada pamrih;

b) Rasionalitas, yaitu melakukan usaha mencari yang terbaik dengan bertumpu pada pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah;

c) Spesivitas fungsional, maksudnya bahwa di dalamnya para profesional itu menjalankan atau memiliki kewibawaan atau otoritas dan otoritas profesional ini memiliki sosiologikal yang khas;

d) Universalitas, yaitu dalam pengambilan keputusan didasarkan pada “apa yang menjadi masalahnya, dan tidak ada siapanya, atau pada keuntungan pribadi yang diperolehnya”.

Melihat kedua pendapat mengenai ciri-ciri profesi yang dikemukakan di atas, pada prinsipnya bahwa profesi menunjukan pada sifat-sifat tidak adanya pamrih untuk kepentingan pribadi, rasional, berdasarkan kepada suatu keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan yang lama, sehingga setiap profesi memiliki hak monopoli atas keahliannya, dan selalu dapat mengatur serta mengontrol diri sendiri melalui nilai etik dan moral.

Dalam berbagai literatur Islam tentang pengertian dari perofesi kedokteran, dijelaskan bahwa kata dokter ( ا), berasal dari akar kata (ﺎ و-ﺎ - - ) merupakan bentuk transitif yang maknanya mengobati. Yang bentuk jamaknya adalah

(

ءﺎ أ

و

ﺔ أ

)

,

dan bentuk muannasnya adalah (ﺔ ). Kemudian asal kata ( ا) oleh Ibn al-Manzur diartikan sebagai :

42

Hedrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik, (Surabaya, Srikandi, 2006), cet pertama, h 18


(40)

ﻮه

ﻷا

ا

رﻮ ﻷﺎ

قدﺎ أ

,

ﺎﻬ

فرﺎ ا

,

و

ﻰ ﺮ ا

ىﺬ ا

ا

.

43

Artinya: “Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap atau ahli dalam segala permasalahan, dan mengethaui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang saki.”

Menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dokter ( ا) adalah:

آ

وأ

ا

قدﺎ

ﺮهﺎ

.

44

Artinya: “Dokter adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang pengobatan (medis), dapat juga diartikan sebagai orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya.”

Yusuf Syaikh Muhammad Al-Baqaiy, memberikan depinisi dari dokter ( ا) adalah sebagai berikut45 :

ﻮه

أ

قدﺎ ا

ﺮهﺎ أ

.

Artinya: “Dokter adalah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya.”

2. Praktik Kedokteran Dalam Lintas Sejarah.

Metode penyembuhan dalam praktik kedokteran telah dikenal jauh pada zaman sebelum masehi, yaitu sejak abad ke-40 SM dalam masyarakat Yunani kuno.

Hippocrates atau Hipokratus (460-377 SM), yang dalam lafal Arab dikenal dengan nama

Hibukuratun atau Hifukuratun, adalah dokter yang pertama kali meletakan dasar-dasar etika kedokteran yang merupakan landasan bagi perumusan etika kedokteran di masa

43

Ibn al-Manzur, Lisanul ‘Arabi, (Kairo, Dar al-Hadits, 1423 H- 2003 M), juz IV, h 556

44

Luwais Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-‘A’lam, (Beirut, Dar el-Masyriq, 1975), h 459

45

Yusuf Syaikh Muhammad al-Baqaiy, Al-Qamush Al-Muhith, (Beirut, Dar al-Fikr, 1415 H- 1995 M), h 101


(41)

modern.46 Di antara bahan tulisannya adalah Afurimah (Aphorisma), berisi tentang metode kedokteran dan berbagai arakan peramuan herbal dan mineral.

Hippocrates meletakan landasan tersebut dalam bentuk sumpah, isi sumpahnya antara lain:

1) Mengajarkan ilmu kedokteran hanya kepada yang berhak dan mempraktekannya untuk memberi manfaat bagi kemanusiaan;

2) Tidak melakukan sesuatu yang membahayakan pasien; 3) Tidak melakukan kejahatan seperti mengugurkan kandungan;

4) Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan yang mungkin timbul dalam praktik kedokteran;

5) Memelihara kesucian diri lahir dan batin dan memelihara rahasia jabatan.

Dari isi sumpahnya Hippocrates ini, terdapat tiga hal yang pokok yang terkandung dalam etika kedokteran, yaitu: keharusan menjaga kehormatan diri dan profesi, berusaha semaksimal mungkin untuk menolong orang lain dan tidak memperlakukan orang lain sebagaimana ia tidak ingin diperlakukan.

Untuk lingkungan masyarakat Indonesia, yang keanggotaannya dalam Word Medical Assosiation (WMA = Ikatan Dokter se-Dunia) diwakili oleh Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) pada tahun 1953, rumusan etika kedokteran dihasilkan oleh Musyawarah Nasional Etika Kedokteran ke-2 pada Desember 1989.47 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) ini terdiri dari 4 Bab dan 18 Pasal. Dari seluruh pasal dalam KODEKI

46

Abdul Azis Dahlan (edt), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet ke I, h 880

47


(42)

terdapat empat prinsip etik yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh setiap deokter.

Pertama, setiap dokter harus menjalankan profesinya dengan niat yang benar sesuai dengan hakikat profesi dokter sebagai pengabdi kemanusiaan. Di samping itu, setiap dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (pasal 3), harus konsisten pada kewajibannya melindungi hidup makhluk insani (pasal 10), dan memberikan kesempatan pada pasiennya untuk berhubungan dengan keluarganya dan beribadah sesuai dengan agamanya (pasal 12).

Kedua, profesi kedokteran harus dilaksanakan dengan cara yang benar. KODEKI mengatur bahwa dokter harus melakukan profesinya secara maksimal (pasal 2), memberi obat atau nasihat yang mungkin dapat melemahkan daya tahan pasien hanya untuk kepentingan pasien sendiri (pasal 5), mengutamakan kepentingan masyarakat dan menjadi pengabdi kemanusian serta memelihara saling pengertian dan kerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dengan profesinya (pasal 8 dan 9), dan secara ikhlas mempergunakan ilmu dan keahliaannya untuk kepentingan penderita. Kalau ia tidak mampu menangani suatu penyakit pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter lain yang lebih ahli dalam pengobatan tersebu (pasal 11).

Ketiga, dokter harus selalu menjaga citra profesinya. Dalam hal ini seorang dokter dilarang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan etika seperti memuji diri sendiri, menyelewengkan profesi kedokteran, baik secara pribadi maupun bersama-sama, untuk kepentingan sendiri, tidak menerima imbalan jasa yang tidak layak (pasal 4). Seorang dokter juga harus memberi keterangan yang dapat dipertanggung jawabkan


(43)

kebenarannya (pasal 7), merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang penderita (pasal 13), dan memberi pertolongan darurat (pasal 14).

Prinsip etik keempat, adalah hal yang berhubungan dengan pelestarian profesi kedokteran. Dalam hal ini setiap dokter harus berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan penemuannya yang belum teruji kebenarannya (pasal 6), memperlakukan teman sejawat seperti ia sendiri ingin diperlakukan, tidak mengambil alih penderita dari temannya, memelihara kesehatannya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khusus tentang masalah kedokteran yang digelutinya (pasal 15-18).

Dalam sejarah keilmuan Islam, terdapat banyak para Ulama atau tokoh Cendekiawan-cendikiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran diantaranya adalah:

Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina, atau lebih dikenal denan sebutan Ibn Sina. Lahir di Afshana dekat kota Bukhara, Uzbeskistan pada tahun 981 M. di usia ke 10 Ibn Sina sudah menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya.48

Kontribusi terbesar Ibn Sina dalam bidang kedokteran terutama dilihat dari bukunya yang terkenal adalah “Al-Qanun Fi Ath-Thibb”, kitab itu dibarat lebih dikenal sebagai

“The Canon of Medicine”. Tidak ada satu rujukan pun dalam ilmu kedokteran yang tidak mengambil rujukan Ibn Sina. Di masa mudanya dia telah memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam bidang kedokteran, dan ketika itu dia cukup kondang di kampungnya sebagai tabib muda.

Ibn Zuhr (1091-1162) atau Abumeron, dikenal pula dengan nama Avenzoar yang lahir di Seville, adalah seorang ahli fisika dan kedokteran. Beliau menulis buku “The Method of Preparing Medicines and Diet” yang diterjemahkan kedalam bahasa Yahudi (1280)

48


(44)

dan bahasa Latin (1490) yang merupakan sebuah karya yang mampu mempengaruhi Eropa dalam bidang kedokteran setelah karya-karya Ibn Sina “Qanun Fit Thibb atau Canon of Medicine” yang terdiri dari delapan belas jilid.49

Ibn Rusyd (1126-1198), lahir di Cordova lidah barat menyebutnya Averroes. Ibn Rusyd adalah seorang ahli hukum, ilmu hisab (arithmetic), kedokteran, dan ahli filsafat terbesar, dalam sejarah Islam dimana ia sempat berguru kepada Ibn Zuhr, Ibn Thufail, Abu Ja’far Harun dari Trixillo. Karena kepiawaiannya dalam bidang kedokteran Ibn Rusyd diangkat menjadi dokter istana pada tahun 1182.50

Itulah keunikan para ulama atau Cendikiawan-cendikiawan tempo dulu yang bukan saja mengusai satu satu bidang ilmu pengetahua namun mereka menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang disegani dan tanpa pamrih, hingga nama mereka dikenang oleh setiap insan.

Namun ditinjau dari segi historisnya bahwa praktik kedokteran sudah dikenal manusia di berbagai belahan dunia yang terbagi kedalam dua fase perkembangannya, yaitu fase perkembang praktik kedokteran pada masa sebulum nabi Muhammad Saw dan fase pada masa Islam.

Yang pertama, fase perkembangan praktik kedokteran pada masa sebelum nabi Muhammad Saw. Istilah praktik kedokteran sudah berkembang di beberapa Negara dan dinasti, diantaranya yang terjadi di negeri Sumeria dan Akadia, bangsa babilonia, di negeri Mesir, Hindustan, kerajaan Romawi dan Yunani, dan negeri China, ialah sebagai berikut :

49

Diakses pada 4 Oktober 2007 dari http:// Media. Isnet. Org/ Islam/ Etc/ Andalusia.

50


(45)

Negeri Sumeria termasuk wilayah tanah Irak, yaitu negeri yang diairi sungai Furat

(Eufrat) dan sungai Dajlah (Tigris). Menurut data-data yang terungkap, sekitar 4000 tahun sebelum masehi, tabib-tabib bangsa Sumeria telah mengenal cara mengobati patah tulang dengan cara lasah yang diberi balutan berbidai, selain itu mereka juga telah mengenal cara mengobati gigitan serigala gila dengan di-Kayy (bakar) searah dengan gigitannya, lalu si penderita diberi minum ramuan sambil dikubur sampai pinggang dalam lubang berlumpur selama sehari semalam.51 Di negeri Sumeria terdapat dua cara pengobatan. Pertama, pengobatan alami menurut cara pengobatan dukun. Biasannya si penderita diberi berbagai macam ramuan, dipijit, lalu dijampi dengan meminta bantuan jin. Kedua, pengobatan yang boleh disebut alamiah pada saat itu, yaitu pengobatan yang dilakukan oleh tabib-tabib kota menggunakan ramuan-ramuan herba, madu, ramuan serbuk tanduk, al-kayy (bakar), dan lain-lainnya.

Sedangkan di negeri Akadia, yaitu yang terletak di wilayah utara Irak bagian tengah, tepatnya di tempat pertemuan sungai Dajlah dan Furat, sekitar 2300 tahun sebelum masehi, diceritakan ada seorang yang bernama Sargon. Ia adalah bekas khadam (pelayan)

raja Zababa dari negeri Ur, pusat kebudayaan Arab purba, kemudian hari Sargon menjadi raja Akadia dan Sumeria yang memilih kota Aqad menjadi ibu kota negeri itu.

Pada masa Sargon itulah terjadi kebangkitan ilmu kedokteran Samiah. Bahkan di kota Aqad telah berdiri semacam lembaga pengkajian kedokteran yang berkembang sampai awal pemerintahan raja Namruz dari Babilonia. Kemudian raja Namruz memindahkan lembaga itu ke Namiruz, kota yang didirikannya. Tersebut di dalam cerita rakyat Akadia

51

Ja’far Khadem Yamani, Mukhtasar Tarikh Tharikat Ath-Thibb (Ilmu Kedokteran Islam, Sejarah dan Perkembangannya). Penerjemah A.D. el-Marzdedeq, Dlm, Av, (Bandung, PT Syaamil Cipta Media, 2005), cer pertama, h 9


(46)

bahwa Anhiduana, putri raja Sargon selain menjadi pendeta juga merangkap sebagai pengakaji berbagi jenis pengobatan.

Bangsa Babiluniyah (Babilon) serumpun dengan bangsa Akadia, keduannya termasuk bangsa Arab purba yang telah berkebudayaan tinggi. Pada masa pemerintahan Hamurrabi telah ditemukan undang-undang kenegaraan yang boleh dikatakan cukup lengkap. Undang-undang itu dipahatkan pada altar batu, berisikan 300 pasal dan 4000 baris.52 Di dalam batu surat (prasasti) Hamurrabi itu terdapat pasal yang berhubungan dengan bab kesehatan penduduk.

Bidang kedokteran yang terkenal pada masa itu antara lain ilmu lasah (fisioterapi), ilmu bedah dan beberapa cabangnnya, ilmu terapi air (hidroterapi), dan beberapa cabangnya, al-kayy (bakar), ilmu ashaf, ilmu peramuan obat (farmakologi), bahkan konon telah ada obat-obatan Babilonia yang telah berbentuk pil.

Pada masa itu orang-orang Babilonia telah mengenal perbedaan antara tabib dengan dukun (kahin). Ada dua hal yang membedakan keduanya. Pertama, tabib adalah seorang ahli pengobatan yang jauh dari ketahayulan sedangkan kahin menganggap bahwa penyakit itu ditimbulkan oleh ganguan atau rasukan makhluk halus jahat, karena hari sial, karena salah memberi nama, dan semacam Takahyul atau Khurafat lainnya. Kedua, tabib mengobati dengan menggunakan alat-alat kedokteran semacam pisau bedah, alat pecucuk, alat-alat al-Kayy (bakar) dan lainnya, sedangkan Kahin melakukan pengobatan dengan jampi-jampi, azimat-azimat penangkal, dan sesuatu yang tidak masuk akal.

Sedangkan Mesir pada masa kekuasaan Fir’aun telah memiliki kebudayaan yang tinggi. Bidang ilmu kedokteran telah mengungguli ilmu kedokteran di negeri lain. Pada

52


(47)

masa kekuasaan Fir’aun Ramses II, lebih kurang 1200 tahun sebelum masehi, di ibu kota negaranya di Ramses lalu di kota Thebe dan Memphis telah ditemukan lembaga-lembaga pusat pengkajian ilmu kedokteran.

Di Mesir telah ditemukan dua macam pengobatan; Pertama, pengobatan kekahinan, yaitu dengan mengalap (meminta) bantuan jin berupa sihir-sihir. Kedua, pengobatan ilimiah. Pengobatan ini berpusat di lembaga-lembaga kedokteran yang di biayai negara. Perkembangan ilmu kedokteran di Mesir pada saat itu memang sangat menakjubkan.

Secara garis besarnya ada beberapa macam metode kedokteran yang dilakukan di Mesir, yaitu Al-kayy (bakar), fisioterapi, bedah, peramuan, terapi air (hidroterapi), terapi dengan pernafasan yang di namakan Dudl, dan terapi berpantang salah satu makanan dan minuman tertentu yang dinamakan Dawit (diet).53 Pada masa nabi Yusuf a.s, di Mesir terdapat orang-orang Israil. Di antara mereka terkenal pula ahli-ahli kedokterannya. Mereka mengembangkan kedokteran Mesir hingga mereka menemukan metode kedokteran yang lebih maju. Pada masa Fir’aun dinasti Ramses, tabib-tabib Bani Israil ini sangat terkenal, tetapi hanya orang-orang tertentu yang berobat kepadanya karena bertarif tinggi.

Di Hindustan menurut tarikh ketabiban mengenai ilmu kedokteran yang berkembang di negeri itu banyak dimonopoli kaum Brahmana atau beberapa orang kasta Kesatria. Di Hindustan banyak terdapat lembaga pengkajian kedokteran, diataranya terdapat di Mathura, Pataliputra dan Indraprahasta. Ilmu kedokteran Hindustan berpangkal pada ilmu kedokteran Aria, Sumeria, Yunani dan Persia.

53


(48)

Disebutkan bahwa di Hindustan berkembang beberapa macam metode kedokteran, anta lain; Pertama, metode berdasarkan agama, di antara ilmunya berpangkal pada Atharwaweda atau Ayuwerda. Kedua, metode yang tidak berdasarkan agama melainkan berdasarkan ilmu kedokteran murni. Ketiga, metode campuran yaitu metode kedokteran yang dicampurkan dengan sihir.54

Juga di Hindustan sendiri dikenal adanya beberapa metode pengobatan atau penyembuhan, antara lain: pengobatan melalui pernapasan yang disebut Yoga, penyembuhan melalui terapi Upawasa dan tapa, penyenbuhan melalui terapi-terapi Dahtayana hingga ditemukan penyembuhan dengan perabaan renggang dan perabaan jarak jauh. Tetapi pada umunya adalah dengan pijatan dan tepukan, yaitu pijatan seluruh tubuh dan pijatan khas kaki. Terdapat juga pengobatan melalui terapi air, pengobatan atau penyembuhan melalui senam dan lasah, serta pengobatan atau penyembuhan melalui cucukan dan bedah.

Dikisahkan bahwa di Romawi dan Yunani pada 500 tahun sebelum masehi telah ada beberapa orang tabib yang terkenal. Namun tabib-tabib di Romawi dan Yunani biasanya merangkap sebagai seorang Kahin (dukun) atau sebaliknya. Di samping itu ada juga kahin-kahin yang dianggap orang sebagai perantara bagi dewa-dewa Olympus.55

Pada umumnya kedokteran Yunani dan Romawi purba terikat dengan penyembahan pada dewa-dewa, terutama pada dewa-dewa Olympus. Pada zaman kemajuan, serta zaman modern seperti sekarang ini, di mana pengkajian dan penelitian serba ilmiah, ahli-ahli kedokteran masih tetap mempertahankan istilah-istilah dan lambang-lambang yang

54

Ja’far Khadem Yamani, Mukhtashar Tarikh Tharikat Ath-Thibb, h 25

55


(49)

diambil dari nama-nama dan lambang-lambang keagamaan Yunani dan Romawi purba. Seperti misalnya pengambilan kata-kata Genius (dewa-dewi pilindung dari roh jahat),

Hipnose (dewa tidur nyenyak), Hygeia (dewi kesehatan) dan lainnya. Adapun lambang piala dan ular juga tongkat dan ular adalah lambang Aesculapus, yang digunakan sebagai lambang apotek. Tanda “R”, Recipe-recipere, asalnya dari lambang Altar Jupiter atau Zeus Pater.56

Dalam hal ini nabi Muhammad saw sangat membenci istilah-istilah jahiliyah dan mengkhawatirkan umat Islam akan kembali menghidupkan sunnah (tata cara) Jahiliyah, sabda nabi saw:

لﺎ

ﻰ ا

نأ

سﺎ

ا

ﷲا

ﻰ إ

سﺎ ا

أ

:

ماﺮ ا

,

و

ﻹا

م

ﺔ هﺎ ا

,

د

و

م

ئﺮ ا

د

ﺮﻬ

)

ﺎ ا

اور

ر

ى

(

57

Artinya: Dari Ibn Abbas r.a., bahwa nabi Saw bersabda: “Orang yang sangat dibenci Allah ada tiga golongan: 1.Orang yang berterus terang mengerjakan yang haram, 2.Orang yang memasukan ke dalam Islam kebiasaan (adat) jahiliyah, 3.Orang yang menuntut menumpahkan darah orang lain, tidak menurut kebenaran (hukum).”

(HR. Bukhari).

Diantara cabang-cabang ilmu kedokteran yang berkembang di Yunani dan Romawai, antara lain58:

a) Pengobatan Herba, yaitu ilmu ramuan tumbuh-tumbuhan basah, kering dan tumbuh-tumbuhan laut;

b) Pengobatan Xaphon, yaitu ilmu ramuan serbuk tulang, abir, batu-batuan, serangga, madu, darah, dan semacamnya;

56

Ibid.,

57

Zainudin Hamidy dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Jakarta, Wijaya, 1992), cet ketiga belas, h 105

58


(50)

c) Pengobatan Fisioterapi, yaitu ilmu lasah patah tulang, ilmu senam pengobatan, ilmu lasah otot dan saraf;

d) Pengobatan Umum, yaitu ilmu pengobatan untuk penyakit kulit, ilmu kebidanan, dan ilmu penyakit kepala (mulut, mata, hidung, tilunga serta otak); dan

e) Ilmu Bedah, orang yang akan dibedah biasanya diasapi dengan asap dan candu kering yang dibakar.

Adapun perkemgangan praktik kedokteran di negeri China, sesungguhnya ilmu pengibatan China boleh dikatakan maju sejak 2500 tahun sebelum masehi, sebelum berkuasa kaisar Yao. Kitab pengobatan China yang tertua berasal dari zaman dinasti Hsia. Sedangkan kitab pengobatan China yang lengkap ditulis pada zaman Ts’in Shih Huang Tie (221-210 SM).

Pengobatan China terbagi atas dua bagian. Pertama, pengobatan anak negeri dan

kedua, pengobatan Sinse (dokter).59 Pengobatan anak negeri dilakukan oleh orang yang belajar sendiri atau berguru kepada orang yang terbilang pandai atau berpedoman kepada kitab-kitab pusaka. Di antara jenis pengobatan anak negeri yaitu:

a) Pijatan dengan tangan, tongkat, biji-bijian dan sebagainya; b) Jamu, jenis jamu anak negeri berbeda dengan jamu sinse;

c) Sihir, pengobatan China pun mengenal sihir pengobatan, pengobatan jarak jauh dan jarak dekat dengan meminta bantuan roh-roh;

d) Pengobatan dengan arak, darah ular, empedu, cacing, sarang burung layang-layang laut, dan lainnya.

59


(51)

Mengenai ramuan Sinse, ilmu ramuan China terbagi dua bagian yaitu ramuan basah dan ramuan kering. Ramuan basah berupa minuman, akar-akaran, umbi-umbian seumpama kolesom, kinshan (gingseng) dan sejenisnya. Sedangkan ramuan kering berupa berbagai macam rumput-rumputan, kulit pohon, akar-akaran, benalu, bunga kering, buah-buahan kering, serbuk tanduk rusa, serangga kering, dan lain sebagainya.

Kedua, fase perkembangan praktik kedokteran pada masa Islam. Sesungguhnya nabi Muhammad Saw tidak diutus ke muka bumi ini untuk menjadi seorang tabib, melainkan untuk menjadi seorang rasul (utusan) Allah. Beliau adalah seorang nabi dan rasul yang terakhir, tiada nabi dan rasul sesudahnya. Tetapi dalam syari’ah Islam yang dibawanya terkandung nilai-hilai Ath-Thibb (kedokteran) yang murni dan tinggi.

Beberapa ajaran dan tuntutan Rasulallah Saw yang mengandung kajian dan nilai-nilai

Ath-Thibb (kedokteran), antara lain60:

a) Cara bersuci yang diajarkan Rasulallah Saw;

b) Sunnah untuk berkhitan, yaitu memotong kulup bagi laki-laki dan memotong sebagian (Labia Minora) yang memanjangkan bagi perempuan;

c) Perintah memotong kuku, membersihkan bulu ketiak, dan kemaluan; d) Keharusan memcuci tangan sebelum dan sesudah makan;

e) Diharamkan bangkai, darah, babi, sembelihan berhala, dam khamr, baik basah maupun kering;

f) Larangan memasuki atau keluar dari sebuah negeri ketika berjangkit penyakit menular;

g) Larangan menyatukan hewan sakit dan hewan sehat;

60


(52)

h) Larangan berobat dengan barang haram;

i) Anjuran memberi harapan pada seorang penderita;

j) Disebutkannya madu sebagai obat dalam Al-Qur’an dan hadits;

k) Disebutkannya kurma yang tumbuh di tanah berbatu hitam sebagai obat dalam hadits nabi saw.

Semua tuntunan mengenai kesehatan pasti sejalan dan bersumber dari hadits-hadits nabi Saw. Imam Bukhari adalah seorang ‘alim ahli hadits yang pertama yang menyusun kitab Ath-Thibb-unn-Nabiy. Dalam kitab shahihnya terdapat lebih kurang 80 (delapan puluh) hadits yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Sedangkan hadits-hadits mengenai kedokteran lainnya tersebar luas dalam kitab-kitab shahih Muslim, sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqiy, Ahmad, dan lainnya.

3. Jenis-jenis Profesi Kedokteran.

Menurut Sri Praptianingsih, bahwa berdasarkan undang-undang Nomor. 32 tahun 1992 tentang Kesehatan mengenai jenis-jenis tenaga kesehatan atau kedokteran tergolong ke dalam:

a. Tenaga medis; b. Tenaga keperawatan; c. Tenaga kefarmasian;

d. Tenaga kesehatan masyarakat; e. Tenaga gizi;

f. Tenaga keterapian fisik; dan g. Tenaga keteknisian medis. 61


(1)

kesehatannya, apabila hal itu dilakukan oleh badan hukum (korporasi) maka pidana yang dijatuhkan adalah denda dengan ditambah sepertiga atau ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak (pasal 80 ayat 1 dan 2 UU Praktik Kedokteran). Dalam hukum pidana Islam, apabila tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut, dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa

(

ا

نود

ﺔ ﺎ

)

Adapun

hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana tersebut. Dalam penilitian ini hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau semacamnya dan menghilangkan manfaatnya.

1.

Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.

Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang menempati tempat qishash.

2. Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.

Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah hukuman Qishash. Apabila qishash betul-betul tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.

Hukuman diyat dikenakan apabila manfaat dari anggota badan hilang atau rusak karena suatu tindak pidana, baik manfaat itu menyatu maupun terpisah dari anggota badan. Diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap sangat penting, antara lain diyat menghilangkan akal, diyat pendengaran, diyat daya


(2)

penglihatan, diyat penciuman, diyat perasaan (Dzauq). Dan diyat menghilangkan kemampuan berbicara.

Sedangkan apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas niat pelaku dan mengakibatkan meninggalnya korban, dalam hukum pidana Islam termasuk kepada jarimah pembunuhan karena kesalahan

(

ا

)

,

yang sanksi pidananya meliputi hukuman pokok (asli), pertama yaitu denda atau diyat. Adapun kadar diyatnya adalah seratus ekor unta, kedua yaitu kafarat, yang berupa memerdekakan hamba sahaya (budak) yang Muslim. Dan hukuman pengganti yaitu berpuasa. Dalam menjalankan hukuman berpuasa disyaratkan berpuasa dua bulan berturut-turut. Juga adanya hukuman tambahan (mengikuti) yaitu berupa pencabutan hak waris dan pencabutan hak wasiat.

Ada sedikit persamaan antara sanksi pidana atau hukuman dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam, yaitu dalam hukum pidana Indonesia dikenal adanya hukuman denda seperti yang tertera pada beberapa pasal dalam KUHP dan Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di atas, sedangkan istilah denda merupakan prinsif dasar (konsep) dari hukuman-hukuman yang terdapat dalam hukum pidana Islam yang dikenal dengan istilah Diyat. Akan tetapi yang membedakan antara keduanya hanyalah dari segi kadar besarannya. Bagi diyat kompensasinya deserahkan kepada korban sedangakan denda diberikan kepada Negara.


(3)

1. Hendaknya para tenaga kedokteran meningkatkan ilmunya sesuai dengan kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan lebih berhati-hati lagi, serta berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan tingkat keahlian dan kemampuan yang dimilikinya.

2. Adanya pengetatan seseorang untuk menjadi seorang dokter atau tenaga kedokteran yang berkualitas, sehingga tidak timbul lagi kasus-kasus malpraktek medik di masyarakat luas.

3. Perlu dibuatnya peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hak-hak atau kepentingan bagi pasien, oleh Dewan Perawakilan Rakyat yang melibatkan pihak-pihak seperti unsur dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan, atau unsur lain yang sekiranya kompeten. Karena pada kenyataannya setiap kejahatan atau tindak pidana tidak terlepas dari adanya unsur pelaku, perbuatan dan korban dari tindak pidana tersebut.

4. Hendaknya wacana-wacana seperti tindak pidana profesi kedokteran, tindak pidana di bidang pendidikan dan lainnya dijadikan sub bahasan dalam wacana hukum pidana Islam. Misalnya, pada mata kuliah kapita selekta hukum pidana Islam

ﺔ ﻬ ا

)

ﺔ ﺎ ا

(

.

Dengan demikian hukum Islam dapat menjawab dan memecahkan segala permasalahan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga hukum Islam lebih bersifat fleksibel dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman

(

نﺎ ز

)

.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-karim.

Abu Zahrah, Imam. Al-Jarimah wal ‘Uqubah Fil Fiqh Islamy. Kairo: Daar Fikr Al-‘Araby, 1997.

Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Antara, 1988, Cet. ke 1. Abu Hasan Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Mesir: Musthofa Baby

Al-Halaby, 1975, Cet ke-III.

Abdul Qadir ‘Audah. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy. Beirut: Muassasah Risalah, 1983, Juz II.

Abu Luwis Ma’luf. Al-Munjid Fi Al-Lughahah Wa Al-‘A’lam. Beirut: Dar El-Masyriq, 1975.

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana,

Teori-teori Pemidaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, Cet ke-I.

Ahmad Dzajuli. Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.

Ahmad Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet ke-VI.

Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet ke-II. Abdul Azis Dahlan (edt). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1996, Cet. ke-I.

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter

Buku ke II- II. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, Cet ke-I.

Andi Hamzah. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, Cet ke- XII.

Bahder Johan Nasution. Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter. Jakarta: PT Renika Cipta, 2005, Cet ke-I.


(5)

Chuzaimah Tahido Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, Buku ke IV, 2002, Cet ke-III.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Cet. ke-III.

Hamidy, Mu’ammal dkk. Terjemah Nailul Authar. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001. Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Hendojono Soewono. Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Srikandi, 2006.

http: //hukumonline. com/detail.asp?id=17505&cl=Berita.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut: Dar Al-Jiil, 1989, Cet ke-I.

Ibn Hajar Al-Kanany Al-Atsqalany. Subul As-Salam. Bandung: Dahlan, t.th, Juz III. Ibn Manzur. Lisanul ‘Arabi. Cairo: Darul Hadits, 1423 H- 2003 M, Juz III.

Kanter, E.Y. dan Sianturi S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002, Cet ke-III.

Luthfi Assyaukanie. Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, Cet ke-I.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan. Jakarta: Riset Kasus Malpraktik. pada tanggal 26 September 2007.

Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2005, Vol ke-13.

Lamintang, P.AF. Dasas-dasar Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 1997, Cet ke-III.

Meoljatno, Prof. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Renika Cipta, 2002, Cet ke-VII. Mu’ammal Hamidy dkk. Terjemah Nailul Authar. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001.

Muchamad Nafi. “Artikel Dokter RS Islam Jakarta dilaporkan Malparaktek”. Diakses pada 4 Oktober 2007 dari http:// www. tempointeraktif.com/hg


(6)

Sri Praptiningsih. Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di

Rumah Sakit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Triana Ohoiwutun Y.A. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Banyu Media, 2007, Cet. ke-I.

Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, Surabaya: Kesindo Utama, 2007.

Yusuf Syaikh Muhammad Al-Baqaiy. Al-Qomush Al-Muhith. Beirut: Dar Al-Fikr, 1415 H-1995 M.

Zainudin Ali. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet ke-I.

Zainuddin Hamidy dkk. Tarjamah Hadits Shahih Bukhari, Jakarta: Wijaya, 1992, Cet. ke-XIII.