Poligami menurut Muhammad Syahrur dalam pandangan hukum Islam

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

oleh:

Maria Ulfah

107043102102

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan dari karya orang lain maka saa bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 September 2011


(5)

i

Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam

semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutamanya

dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kepada junjungan besar

kita Nabi Muhammad SAW serta keluarga, para sahabat baginda yang telah banyak

berkorban dan menyebarkan dakwah Islam selama ini., menyelamatkan umat dari

alam kegelapan hingga yang terang benderang.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh

gelar strata satu (S. 1), dalam Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum, Jurusan

Perbandingan Madzhab Fiqih,, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul : Poligami Menurut Muhammad

Syahrur Dalam Pandangan Islam

Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dan

bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung dan tidak langsung yang terlibat

dan ikut berpartisipasi dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Karenanya

penulis ucapakan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H, M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

ii

Drs. Ahmad Yani, MA Dosen Pembimbing Skripsi, serta Hotnida

Nasution, MA penguji ujian skripsi Terimakasih atas bantuan, perhatian,

serta arahan yang selama ini diberikan.

3. Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.

4. Teristimewa buat Ayahanda (Alm) H. Madin Mahmudin dan Ibunda

Ma’muroh tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang, beserta kakak dan adik yang selalu menjadi

motifator dalam pembuatan skripsi ini, yang tiada lelah selalu memberikan

do’a.

5. Kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak membantu

dalam penulisan skripsi ini.

Atas segala bantuannya penulis ucapkan jazakumullah khoiron

katsiron. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Jakarta, 12 September 2011


(7)

iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8

C. Telaah Pustaka 9

D. Tujuan dan Kegunaan Penilitian 10 E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 12

F. Sistematika Penulisan 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI 15 A. Pengertian Poligami dan Landasan Hukum 15

B. Faktor-faktor Pendorong Poligami 17

C. Poligami dalam Lintas Sejarah 20


(8)

iv

A.Riwayat Hidup Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya 40

B. Poligami dalam Pandangan Muhammad Syahrur 43

BAB IV PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG

POLIGAMI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A.Metodologi Muhammad Syahrur dalam Menganalisa Ayat

Poligami 49

B. Analisis Terhadap Kerangka Berfikir Muhammad Syahrur

Tentang Poligami dalam Kajian Usul Fiqih 55

BAB V PENUTUP 61

A. Kesimpulan 61

B. Saran 62


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makhluk bumi yang bernama manusia diciptakan Sang Pencipta

dengan pasangannya. Karena itu kapan dan dimana pun, pada saatnya mereka

saling mencari dan menemukan pasangannya masing-masing. Begitu pula

kalau hukum alam untuk menurunkan generasi sudah berfungsi tak satu

manusia yang dapat menghambat.1 Salah satu ciri yang tidak dapat

dipisahkan dari manusia adalah bahwa manusia makhluk yang bermasyarakat.

Ibnu Khaldun pernah juga mengatakan bahwa manusia pasti dilahirkan di

tengah-tengah masyarakat dan tidak mungkin hidup kecuali bersama-sama

masyartakat itu.2

Islam sebuah agama dan pedoman hidup mengatur pola masyarakat

terkecil itu dalam aturan melalui lembaga pernikahan, yang bertujuan

membangun keluarga yang tentram dan penuh cinta kasih antara orang yang

ada di dalamnya. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah dalam surat

ar-Ruum(30): 21

1

Hasan Aedy, Antara Poligami Syari‟ah dan Perjuangan kaum perempuan, (Bandung:

Alfabeta 2007), Cet. 1,h. 82.

2

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim, (Jakarta: Raja Grafindo


(10)













Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Tema poligami telah banyak dibahas oleh ulama sejak dahulu dan

perdebatannya sampai sekarang. Hal ini dapat dikemukakan terutama dalam

kitab-kitab fiqih dan tafsir. Hanya saja, pandangan yang berkembang selama

ini cenderung memperkuat pendapat yang membolehkan konsep poligami

(ta‟addud al-zawjat)3 dengan menggunakan dalil al-Qur‟an, yakni surat

an-Nisa‟(4):3





















Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau

3

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2010), Cet. 1,


(11)

budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Perhatian penuh Islam terhadap poligami sebagaimana ayat di atas ini

tidak semata-semata tanpa syarat. Islam menetapkannya dengan syarat, yaitu

keadilan dan pembatasan jumlah. Keadilan menjadi syarat karena istri

mempunyai hak untuk hidup dan bahagia. Adapun pembatasan jumlah

menjadi syarat karena jika tidak dibatasi, maka keadilan akan sulit ditegakkan.

Jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka tentu saja Islam melarangnya,

dengan dua persyaratan itu berarti Islam telah memerhatikan hak-hak

perempuan, khususnya dalam masalah perkawinan.4

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan

surat AN-Nisa ayat 3, “Maksudnya, jika ada perempuan yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang

memadai, maka beralihlah kepada wanita selainnya, sebab wanita lain juga

masih banyak, dan Allah tidak mempersulitnya.5

Al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa Urwah

bertanya kepada Aisyah ihwal firman Allah

,

... 

4

Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, ( Ponorogo: STAIN

Ponorogo Press, 2009), cet. 1, h. 19.

5

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) , Cet. K-1, h. 645.


(12)

Maka Aisyah berkata, „Wahai putra saudaraku, wanita yatim ini berada dalam perlindungan wali. Wanita yatim menggabungkan hartanya

dengan harta walinya. Lalu si wali terpesona dengan kecantikan dan hartanya.

Kemudian hendak menikahinya tanpa mau berlaku dalam masalah mahar;

tidak memberi mahar seperti yang lazim diberikan kepada wanita lain. Para

wali dilarang menikahi wanita yatim kecuali berlaku adil terhadapnya dan

memberi mereka mahar yang lazim pada saat dewasa. Para wali disuruh

menikahi wanita-wanita lain saja.”6

Firman Allah Ta‟ala, ع ب ث ث ثمDua, tiga, atau empat.” Yakni, nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jika kamu mau,

nikahilah dua wanita, tiga, atau empat. Sunnah Rasulullah saw. yang

menerangkan informasi dari Allah menunjukkan bahwa seorang pun tidak

boleh, selain Rasulullah., menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang

demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah saw.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya

م ف ، عم ّ م س ف ، سن شع م سا م س نب ّ ايغ ّا ع ها يض يبا نع م س نع م س ي ع ها ص ا ,,

م ت ا محا ا ،، ًعب ا ن م ي تي ّا ,

ّ ا ّ ح نبا ّّص

مت ح با ع با ا عا ،مك .

“Dari Salim, dari ayahnya r.a., bahwasanya Ghilan bin Salamah masuk Islam, sedangkan dia memiliki 10 orang istri. Dan semua istrinya masuk Islam pula

6


(13)

bersamanya, Maka Nabi Muhammad s. a. w menyuruh memilih dari

istrinya-istrinya sebanyak empat orang.7

Firman Allah Ta‟ala surat An-Nisa (4): 3

  



Artinya : “Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahi seorang saja atau budak yang kamu miliki.” Yakni, jika banyaknya istri itu mengkhawatirkanmu untuk tidak dapat berlaku adil diantara mereka,

sebagaimana firman Allah Ta‟ala, “Sekali-kali kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat menginginkan berbuat adil.” Jika kamu khawatir berbuat zalim, maka kawinlah dengan seorang wanita saja

atau dengan beberapa budak perempuan yang ada dalam kuasaanmu sebab

pemberian giliran di antara budak-budak bukan suatu kewajiban, namun

merupakan anjuran. Jika dilakukan, maka hal itu baik dan jika ditinggalkan

maka tidak apa-apa. Firman Allah Ta‟ala, “Hal itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya,” yakni zalim. Dikatakan, „aalin filhukmi, jika seseorang menyimpang, zalim, dan aniaya. Dalam hadits yang disandarkan kepada

Aisyah dikatakan bahwa firman Allah, “Hal itu lebih dekat untuk tidak

7

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatul Ahkam, hadits no. 1037, h.

526.


(14)

berbuat aniaya” berarti kamu tidak berbuat aniaya. Demikian menurut riwayat Ibnu Abi Hatim.8

Dimensi kontroversial poligami sangat tajam dan hampir sulit

dipertemukan. Satu kelompok memandang bahwa poligami merupakan

fasilitas yang diberikan Allah kepada para suami dan menganggapnya bukan

saja termasuk sesuatu yang dihalalkan, tetapi juga menjadikan tindakan yang

tidak adil terhadap relasi suami dan isteri. Hal inilah yang membawa

persoalan poligami menjadi sulit untuk dikompromikan. Karena setiap

kelompok juga menggunakan metodologi yang berbeda-beda, sehingga

menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda pula, bahkan bertentangan

satu sama lain.

Upaya untuk tetap menjawab tantangan modernitas dengan

mensinergikan ajaran Islam (dalam al-Qur‟an dan Sunnah) juga dilakukan oleh Muhammad Syahrur, yang menggunakan analisa linguistik dan saintifik

dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an.9

Muhammad Syahrur adalah pemikir Islam yang mempunyai solusi

menarik untuk persolan poligami dan anak yatim. Syahrur dilahirkan di

Damaskus, Syiria, pada 11 Maret 1938. Ia adalah insinyur teknik sipil dengan

spesialisasi mekanik dan bangunan tanah, namun ia juga mempunyai minat

8

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 650.

9


(15)

besar terhadap filsafat dan fiqh al-lighah (filologi, ilmu bahasa).

Bidang-bidang keilmuan tersebut kemudian banyak mendasari

pemikiran-pemikirannya. Ia telah menulis banyak buku pemikiran keagamaan,

diantaranya: al-kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah (1990), al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), Dirasat Islamiyyah Mu‟ashirah fi al-Dawalah wa al-Mujtama‟ (1994), dan Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy (2000). 10

Menurut Syahrur, poligami harus dikaitkan dengan persoalan

perlindungan anak yatim sebagaimana yang diamanatkan al-Qur‟an. Poligami menurutnya sah-sah saja, asalkan anak yatim terpenuhi kebutuhannya untuk

mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya.

Poligami tidak hanya diperbolehkan tapi dianjurkan oleh Islam.

Namun pula, poligami hanya boleh dilakukan dengan dua syarat yang harus

terpenuhi, yaitu: isteri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang

memiliki anak; dan syarat kedua, berbuat adil kepada anak-anak yatim.

Sudut pandang ini yang membedakan Syahrur dengan beberapa ahli

tafsir terdahulu yang menginterprestasikan al-Qur‟an dengan beberapa metode penafsiran yang sudah mapan di dunia Islam. Syahrur menjadi tokoh

10

Pengantar Penerbit dalam Muhammad syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeunetika Al-Qur‟an


(16)

controversial pada awal tahun 1990-an, ketika ia menerbitkan buku

pertamanya (al-kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah).11

Metode yang dilakukan secara radikal oleh Syahrur menghasilkan

produk-produk hukum baru dalam bidang fiqih yang di anggap olehnya cukup

mapan untuk menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, termasuk

masalah poligami yang selalu menjadi perdebatan hangat. Dengan landasan

metode ijtihad barunya, ia berusaha menangkap kembali pesan AL-Qur‟an sebagaimana yang telah dipraktikan oleh Rasul dan para sahabatnya.

Berdasarkan latar belakang ini, penulis bermaksud menganalisa dan

menggali pendapat Muhammad Syahrur tentang poligami, dalam sebuah

karya tulis yang berjudul Poligami Menurut Muhammad Syahrur Dalam Pandangan Hukum Islam

B. Pembatasan dan Perumumsan Masalah

Bila ditinjau dari segi topik atau judul skripsi ini, merupakan kajian

disiplin ilmu tafsir al-Qur‟an yang berhubungan dengan hukum (tafsir ahkam). Seseorang dapat meragukan tentang penolakan Syahrur terhadap

tradisi fiqih sebagai karya tunggal (monotik) yang tidak akan bertahan lama.

Bertitik tolak dari persoalan tersebut di atas, penulis mencoba

menganalisis pendapat Syahrur tentang poligami dengan memfokuskan karya

11

Pengantar Penerbit dalam Muhammad syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeunetika Al-Qur‟an


(17)

ilmiah ini hanya terfokus pada masalah poligami dalam Islam menurut

pandangan Muhammad Syahrur.

Istilah poligami adalah untuk menyebut perkawinan lebih dari satu,

baik laki-laki dan perempuan, dan poligini istilah khusus untuk

menggambarkan perkawinan laki-laki yang beristeri lebih dari satu orang,

dalam karya ilmiah ini penulis tidak menggunakan kata poligini, tapi lebih

memilih kata poligami, mengingat keumuman kata tersebut dalam

literatur-literatur di masyarakat.

Untuk mengarahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis

merumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan Muhammad Syahrur tentang poligami ?

2. Bagaimana kerangka berfikir Muhammad Syahrur tentang poligami dalam

pandangan hukum Islam?

Hal-hal yang tersebut diatas merupakan pokok bahasan yang akan

dikupas secara mendalam dan yang akan dicari jawaban dalam karya tulisan

ilmiah ini.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini ;


(18)

2. Untuk menjelaskan bagaimana kerangka berfikir Muhammad Syahrur

tentang poligami dalam pandangan hukum Islam.

Sedangkan kegunaan penulisan skripsi ini adalah :

1. kajian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

pengembangan kajian-kajian hukum Islam di dunia akademis dan dapat

pula menjadi kontribusi bagi khazanah kepustakaan Islam yang berguna

bagi masyarakat umum.

2. untuk memenuhi sebagian syarat-syarat menyelesaikan studi strata satu (S

1) dan untuk memperoleh gelar S.Sy.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan perpustakaan

sebagai tempat memperoleh data, dengan demikian, penelitian ini

termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), dengan

mengumpulkan, memilih dan mengkaji secara kritis bahan-bahan bacaan

dan referensi yang berkaitan dengan pemikiran Muhammad Syahrur dan

poligami .

2. Sumber Data


(19)

a. Sumber data primer, yaitu karya-karya Muhammad Syahrur, terutama

dalam buku Al-kitab wa AL-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah yang banyak menjelaskan tentang metodologi fikih dan poligami.

b. Sumber data sekunder, yaitu diperoleh dari AL-Qur‟an Sunnah, buku -buku Islam dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan

judul skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi

naskah atau pusaka, yakni sarana mengumpulkan data yang dilakukan

dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang

berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen

maupun buku-buku, koran, majalah, internet, dan lainnya.

Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisis data dimulai

dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah

dipelajari, dibaca dan ditelaah, dilakukan reduksi data dengan cara

membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang

perlu dijaga, untuk tetap pada di dalamnya. Setelah data diabstraksikan,


(20)

3. Tekhnik Penulisan

Teknik dalam penulisan ini berpedoman pada buku pedoman

penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, UIN, Syarif Hidayatullah Jakarta

2007. Dengan beberapa pengecualian sebagai berikut :

1. Dalam bibliografi, AL-Qur‟an ditulis pada urutan pertama sebagai penghormatan.

2. Terjemah dari ayat-ayat AL-Qur‟an berpedoman kepada “AL-Qur‟an dan terjemahnya diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia.

3. Pedoman transliterasi sesuai dengan ketentuan penulis.

F. Review Studi Terdahulu

Dalam penulusuran penulis, ada beberapa karya ilmiyah yang

dikategorikan sebagai karya yang mendekati pembahasan ini, diantaranya

adalah:

1. Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, yang

diterbitkan oleh STAIN Ponorogo Press pada Juni 2009. Buku ini banyak

membahas konsep poligami menurut Muhammad Syahrur dan

Relevansinya Terhadap Upaya Perlindungan Anak di Indonesia.

Perbedaannya dengan skripsi ini, penulis mengkaitkan poligami menurut

Muhammad Syahrur dengan kajian ushul fiqih.

2. Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah. Dalam Bab nikah salah satu sub bab


(21)

kemudian sejarah dan pembatasan yang dilakukan oleh Islam terhadap

poligami.

G. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan analisis yang dibahas, keseluruhan karya ilmiah ini

terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub dengan rincian sebagai

berikut :

BAB 1, Merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum

kepada isi tulisan dalam bab ini dikemukakan, latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan,

tinjauan (review) kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.

BAB II, Berisikan tinjauan umum mengenai poligami, dalam bab ini

dibagi menjadi empat sub bab yakni : sub bab pertama

menguraikan pengertian poligami , sub bab kedua mengenai

lintas historis poligami, sub ketiga menguraikan faktor-faktor

pendorong poligami, dan sub bab keempat menjelaskan

poligami dalam pandangan hukum Islam.

BAB III, Menjelaskan biografi dan pandangan Muhammad Syahrur

tentang poligami, dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab


(22)

Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya, dan sub bab kedua

menjelaskan poligami menurut Muhammad Syahrur.

BAB IV, Menguraikan pemikiran Muhammad Syahrur tentang poligami

dalam hukum Islam, dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab

yakni : sub bab pertama menjelaskan metodologi Muhammad

syahrur, dan sub bab kedua tentang analisis terhadap kerangka

berfikir Muhammad Syahrur dalam pandangan hukum Islam.

BAB V, Bab terakhir yang diberi judul penutup dalam bab kelima ini


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami dan Landasan Hukum

Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini

merupakan penggalan dari dua kata yaitu poli atau polus yang artinya

“banyak” dan kata gamein atau gomos yang berarti “perkawinan”. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang

banyak. Kalau dipahami dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa poligami

adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.12

Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu

poligini (yunani), kata ini berasal dari poli atau polus yang artinya “banyak” dan gini atau gene artinya istri, jadi poligini artinya beristri banyak.13 Dalam

Ensiklopedi Nasional, poligami diartikan suatu pranata perkawinan yang

memungkinkan terwujudnya keluarga yang suaminya memiliki lebih dari

seorang istri atau istirnya memiliki lebih dari seorang suami.14

12

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, ( Jakarta: Balai

Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008). Cet. K-1, h. 15.

13

Badriyah Fahyimi, dkk., Isu-Isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif

Hidayatullah, 2002), Cet. K-1, h. 40.

14


(24)

Istilah yang lebih tepat sesungguhnya ialah “poligini”, yaitu seorang suami mempunyai dua atau lebih istri dalam waktu yang sama, sedangkan

“poligami” adalah untuk menyebut perkawinan lebih dari satu, baik laki-laki

dan perempuan. Poligami bisa juga berarti “poliandri” yaitu seorang wanita mempunyai suami dua atau lebih dalam waktu yang sama.15 Istilah poligami

sering dipakai untuk mengacu kepada poligini saja karena praktek ini lebih

sering di amalkan dari pada poliandri. Selanjutnya, dalam pembahasan ini

penyusun menggunakan istilah poligami untuk menyebut seorang suami yang

memiliki lebih dari seorang istri.

Pengertian poligami mengalami pergeseran dan penyempitan makna,

dan kemudian sering digunakan untuk menyebut suatu pranata perkawinan

antara seorang suami dengan beberapa istri. Hal demikian terjadi karena

sistem patriarki yang selama ini dijalani oleh masyarakat, yang seakan-akan

telah dibakukan dan diterima oleh hampir seluruh umat manusia. Hal itu juga

karena pada masa sekarang, praktek perkawinan yang masih dan banyak

diterapkan oleh masyarakat adalah perkawinan monogami dan poligami.

Sementara poliandri, sangat jarang ditemukan dalam praktek perkawinan di

masyarakat. Bahkan, dalam Islam tidak dibenarkan perempuan untuk

memiliki suami lebih dari seorang dengan alasan apapun. Istilah ini pula yang

15

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet.


(25)

digunakan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia untuk menyebut

perkawinan antara seorang suami dengan beberapa istri.

B. Faktor-Faktor Pendorong Poligami

Pada dasarnya seseorang menginginkan perkawinan yang langgeng,

penuh dengan kasih sayang dan keharmonisan. Setiap wanita pada dasarnya

menginginkan perkawinan yang bersifat monogami, namun pada

kenyataannya, sering terjadi kendala yang tidak di duga sehingga

menyebabkan suami melakukan poligami.

Faktor- faktor yang mendorong poligami diantaranya:16

1. Memecahkan Problema dalam Keluarga

a. Istri mandul, padahal mempunyai anak itu merupakan tuntutan dan

sesuatu yang sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara‟. Diriwayatkan dari Ma‟qil bin Yasir dari Rasulullah saw., beliau

bersabda,

16

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. K-


(26)

“Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah s.a.w menyuruh kita nikah dan melarang sangat untuk memutuskan tidak nikah. Beliau bersabda: Nikahilah wanita yang penyayang dan peranak (banyak anak), sebab dengan kamulah ummatku menjadi lebih banyak daripada ummat para Nabi yang lain di hari kiamat”.17

b. Terdapat cacat fisik atau kekurangan pada kepribadian si istri sehingga

tidak menyenangkan dan menenangkan perasaan suami.

c. Si istri menderita sakit yang berkepanjangan (sakit fisik ataupun

psikis) yang menjadikan kehidupan kusut.

2. Memenuhi Kebutuhan yang Mendesak bagi Suami

Seperti seringnya berpergian dalam waktu yang lama dan sulit disertai

oleh istrinya karena si istri sibuk merawat anak-anak atau karena sebab

lain. Oleh karena itu, ia membutuhkan istri yang dapat menemaninya dan

merawatnya dalam berpergian yang lama.18

3. Hendak Melakukan Perbuatan yang Baik terhadap Wanita Saleh yang

Tidak Ada yang Memeliharanya. Hal ini mungkin dikarenakan wanita itu

sudah tua, atau karena ia memelihara anak-anak yatim, atau karena

sebab-sebab lain.

17

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatul Ahkam, hadits no. 955, h.

506.

18


(27)

Di dalam Islam terdapat beberapa patokan yang mengatur poligini,

antara lain sebagai berikut.19

a. Tidak Lebih dari Empat Orang

Allah berfirman, “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” (an-Nisa‟: 3)

b. Disyaratkan Adil terhadap Para Istri

Allah berfirman, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

adil, maka (kawinilah) seorang saja.”(an-Nisa‟: 3)

c. Tidak Memadukan Seorang Wanita dengan Saudaranya atau Bibinya

(dari Pihak Ayah ataupun Ibu).20

Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi alasan-alasan yang

membolehkan seseorang boleh melakukan poligami adalah sebagai berikut:

1. Karena si istri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat

mengharapkan keturunan.

2. Apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara istrinya

tidak mampu melayani suami sesuai dengan keinginannya.

19

Abdul Halim, Kebebasan Wanita, h. 392.

20


(28)

3. Si suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala

kepentingan istri, sampai anak-anaknya.

4. Jumlah wanita lebih banyak dari jumlah dari laki-laki, yang bisa jadi

dikarenakan perang.21

Dalam Undang-Undang RI no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada

pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa pengadilan memberikan izin kepada

seseorang suami yang akan beristri lebih dari satu apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri menderita suatu penyakit.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.22

C. Poligami dalam Lintas Sejarah

Praktek poligami telah ada jauh sebelum Islam dan menjadi sebuah

kebiasaan yang dibolehkan. Pada saat itu, poligami biasanya banyak

dilakukan para raja yang notabene merupakan lambang ketuhanan, sehingga

perbuatan tersebut dianggap suci. Hal seperti ini terjadi dikalangan orang

Hindu, Media, Babyloia, Assyria, Yunani, Mesir, Persi dan Israil.23 Di

21

Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 326-327.

22

UU RI. No. 1 Thn 1974 Tentang Perkawinan Pasal 4 ayat 2. Lihat Sumiyati, Hukum

Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 47.

23

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, ( Jakarta: Balai


(29)

wilayah lain seperti Cina, seorang laki-laki bahkan bisa saja mempunyai istri

3.000 orang.24 Dengan demikian, Islam bukan agama yang pertama kali

membolehkan ta‟addud al-zawjat. Dalam perkembangannya, Islam justru berusaha memberikan pembatasan gerak terhadap kebolehan perkawinan

poligami. Inilah yang membedakan poligami dalam Islam dengan agama lain,

di mana Islam hanya memperbolehkan maksimal empat orasng istri.

Larangan poligami dalam agama Kristen muncul setelah renaisans.25

Ketika itu hukum-hukum Greja banyak menyerap hukum-hukum Romawi,

dari Romawi, hukum-hukum tersebut menyebar keberbagai pelosok dunia di

bawah dan dikembangkan oleh penjajah, seperti Napoleon yang terkenal

dengan code civil-nya, yang di dalamnya menganut asas monogami.26

Pada masa Mesir kuno, seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih

dari satu orang. Bahkan diyakini bahwa Tuhan pun melakukan perkawinan

24

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi ILmu Semesta, 2010), Cet.

K-1, h. 94.

25

Renaisans adalah masa peralihan dari abad pertengahan kea bad modern di Eropa (abad ke-14 sampai ke-17) yang di tandai oleh perahatian kembali pada kesusastraan klasik. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia.

26

NasaruddinUmar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi ILmu Semesta, 2010), Cet.


(30)

dengan istri lebih dari satu. Kepercayaan ini semakin dikukuhkan oleh para

pemuka agama dan raja karena mereka merasa sebagai anak Tuhan.27

Dalam agama Hindu, poligami dilakukan sejak zaman bahari.

Poligami yang berlaku dalam agama Hindu tidak mengenal batasan tertentu

mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Bahkan seorang Brahma

yang berkasta tinggi sampai sekarang boleh mengawini siapapun yang

disukainya tanpa adanya pembatasan. Kebiasaan poligami tersebut kemudian

diupayakan oleh Talmud di Yerussalem untuk dihapuskan. Seorang suami

hanya boleh mengawini perempuan sebatas kemampuannya dalam menjaga

dan merawatnya dengan baik. Namun, usaha tersebut tampaknya gagal karena

kaum Kairat tidak mengakui adanya pembatasan tersebut. Sementara dalam

tradisi lain, seorang yang memiliki lebih dari satu istri akan diberi hadiah.

Kebiasaan tersebut terjadi pada orang Persi.28

Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab khususnya yang hidup di

jazirah Arab telah mempraktekkan poligami yang dilakukan tanpa ada

batasan. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku

ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang

mempunyai sampai ratusan istri.

27

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, ( Jakarta: Balai

Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008). Cet. K-1, h. 7.

28


(31)

Selain poligami dan poliandri, pada masa itu dikenal ada beberapa

perkawinan menyimpang di antaranya:29

1. Kawin Istibdha‟ yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi istrinya diperintahkan untuk berhubungan badan

dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat, dengan harapan

mendapat anak yang memiliki sifat-sifat kebangsawanannya. Si suami

tidak menyetubuhi istrinya sampai si istri benar-benar hamil dan

melahirkan dari hubungan kelamin dengan pria bangsawan.

2. Kawin maqthu‟ yaitu seorang laki-laki mengawaini ibu tirinya (bekas istri bapaknya) ketika bapaknya telah meninggal supaya harta warisannya

tidak lari keperempuan itu.30

3. Kawin badal yaitu, tukar menukar istri sesaat, saling mencicipi istri

temannya tanpa adanya perceraian.

4. Kawin shighar yaitu, seorang laki-laki mengawinkan anak perempuan

atau saudara perempuan kepada seorang laki-laki tanpa adanya mahar

dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau

saudara perempuan kepada bapak atau saudara laki-laki istrinya itu.

5. Kawin khadan yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa adanya akad nikah.31

29

Badriyah Fayumi, dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif

Hidayatullah, 2002), Cet. K-1, h. 43.

30


(32)

6. Perkawinan Rahthun (Poliandri), yaitu membolehkan beberapa laki-laki

untuk menggauli seorang perempuan yang mereka kehendaki. Setelah

perempuan itu hamil kemudian melahirkan anak laki-laki, dia memanggil

seluruh laki-laki yang menggaulinya. Kemudian memilih salah seorang

dari mereka untuk menjadi ayah bagi bayi yang dilahirkannya.

7. Perkawinan Baghaya (Perempuan Tuna Susila). Di dalam perkawinan

baghaya, sekelompok laki-laki hidung belang bergantian menggauli

seorang perempuan yang perkerjaannya melacur secara terang-terangan.

Jika dia hamil dan melahirkan anak, pelacur tersebut menentukan ayah

anaknya itu dengan memilih orang yang dianggap paling mirip wajahnya

dengan anaknya.32

Ketika Islam datang, kaum pria memiliki istri sampai sepuluh atau

lebih, tanpa batasan. Islam lalu memberitahu mereka, bahwa ada batasan yang

tidak boleh dilanggar, yakni empat saja. Karena poligami hanya boleh

dilakukan sebagai solusi dalam keadaan darurat. Poligami dalam Islam sama

sekali bukan sarana untuk mengumbar hawa nafsu tanpa batas.33

31

Badriyah Fayimi, dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah,

2002), Cet. K-1, h. 43.

32

Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: STAIN

Ponorogo Press, 2009), Cet. K-1, h. 34.

33


(33)

Jika melihat poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW,

sesungguhnya perlu disadari, bahwasanya beliau baru poligami setelah

pernikahan pertamanya berlalu sekian lama, setelah wafatnya istri beliau

Khadijah r.a. pada saat itu Nabi Muhammad SAW telah bermonogami selama

25 tahun. Lalu tiga atau empat tahun setelah kematian Khadijah r.a barulah

beliau menikahi Aisyah r.a. disusul setelah itu pernikahan poligami beliau

dengan Saudah binti Zam‟ah janda tua yang suaminya meninggal di

perantauan, Hindun atau Ummu Salamah janda yang suami gugur

dipeperangan, Ramlah janda yang dicerai suaminya karena suaminya murtad,

Huriyah binti Al Haris seorang tawanan perang pasukan Islam, Hafsah

seorang janda putri dari Umar bin Khathab, Shafiyah binti Huyay salah

seorang tawanan perang yang dimerdekakan Rasul, Zainab binti Jahesy

seorang janda yang dulunya dinikahkan dengan seorang budak, dan yang

terakhir Zainab binti Khuzaimah yang suaminya gugur dalam perang uhud.34

Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang beliau nikahi kecuali

Aisyah r.a, adalah janda-janda yang sebagian di antaranya berusia senja, atau

tidak lagi memiliki daya tarik yang memikat. Istri-istri yang disebut di atas

34

Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligmi itu Sunnah?, (Depok: Pustaka ImaN, 2007), Cet. k- 1,


(34)

inilah yang seringkali disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan

memahami latar belakang pernikahan itu.35

Menurut Ahmad Syalabi, Islamlah yang pertama kali mengatur sistem

poligami dengan syarat dan jumlah isteri.36 Tatkala wanita diperlakukan

sebagai bagian dari budak, hubungan suami isteri tidak didasarkan pada

kemanusiaan, laki-laki menikahi sepuluh atau lebih wanita hanya untuk

mendapatkan keturunan, Islam menyesuaikan dengan kondisi, sebagaimana

halnya tidak akan bijaksana jika Islam harus melakukan lompatan untuk

menghapus poligami.37

D. Poligami dalam Pandangan Hukum Islam

Dalil yang paling banyak diperdebatkan tentang eksistensi poligami

adalah surat AN-Nisa‟/4 ayat 3, sebagaimana disebutkan dibawah ini:





















35

M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut‟ah Sampai Nikah

Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 159-160.

36

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 190, Rahasia Perkawinan Rasulullah, h. 48.

37

Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari‟ah. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin,


(35)

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah

lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S An-Nisa‟/4:3)

Ayat di atas diturunkan, ketika saat itu ada seorang laki-laki menguasai

(memelihara) anak yatim yang kemudian dikawini tanpa mahar atau dengan

yang lebih kecil dibanding dengan mahar yang lazim diberkian kepada wanita

lain. Sehubungan dengan itu Allah kemudian menurunkan ayat ini.38

Laki-laki yang diceritakan di atas bernama Urwah bin Zubair. Ia

mempunyai seorang anak yatim yang hidup dalam pengawasannya. Anak

yatim itu mempunyai paras yang cantik dan mempunyai harta warisan yang

banyak dari peninggalan orang tuanya. Urwah berkehendak untuk menikahi

anak yatim ini, di samping untuk mendapatkan kecantikan dan harta anak ini.

Maka turunlah ayat ini.39

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari juga dalam

tafsir Ibn Katsir jilid I.40 “AL-Bukhari meriwayatkan dari „Urwah bin Zubair,

38

Mu‟ammal Hamidy, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, (surabaya: Bina Ilmu, 2003), Cet. K-IV, h. 355.

39

Mu‟ammal Hamidy, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, h. 355.

40

Badriyah Fahyimi, dkk., Isu-Isu Gender dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif


(36)

sesungguhnya Urwah pernah bertanya kepada Aisyah, tentang firman Allah:

“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, “maka Aisyah berkata, „Wahai putra saudaraku, wanita yatim ini berada dalam

perlindungan wali. Wanita yatim menggabungkan hartanya dengan harta

walinya. Lalu si wali terpesona oleh kecantikan dan hartanya. Kemudian dia

hendak menikahinya tanpa mau berlaku dalam masalah mahar; tidak

menerima mahar seperti yang lazim diberikan kepada wanita lain. Para wali

dilarang menikahi wanita yatim kecuali berlaku adil terhadapnya dan memberi

mereka mahar yang lazim pada saat usia dewasa. Para wali disuruh menikahi

wanita-wanita lain saja.”41

Urwah berkata, “kemudian Aisyah melanjutkan, „Sesungguhnya

orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Setelah ayat itu

diturunkan. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, „Dan mereka meminta fatwa kepadamu ihwal wanita, „Aisyah melanjutkan, „Dalam ayat lain Allah berfirman, „Dan kamu enggan menikahi mereka, „yakni salah seorang di

antara kamu enggan kawin dengan wanita yatim yang tidak cantik dan

hartanya sedikit. Mereka dilarang menikahi wanita lantaran melihat harta dan

kecantikannya kecuali dengan cara yang adil, sebab mereka enggan menikahi

wanita, jika wanita itu tidak cantik dan sedikit hartanya”.

41

Mu‟ammal Hamidy, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, (surabaya: Bina Ilmu, 2003),

Cet. K-IV, h. 355. Lihat pula, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Jakarta: Gema


(37)

Perlu juga diungkapakan di sini bahwa ayat poligami di atas, tidak

boleh lepas dari ayat ini adalah setting sebab-sebab turunya (asbab al-nuzul)

yakni turun ketika terjadi perang Uhud, di mana pasukan Islam mengalami

kekalahan yang besar. Dalam peperangan, yang maju ke medan laga adalah

kaum laki-laki, otomatis yang banyak menjadi korban perang adalah laki-laki,

dan laki-laki pada waktu itu menjadi barang yang langka karena populasinya

berkurang. Sebaliknya, banyak wanita yang tadinya bersuami menjadi janda.

Demikian juga dengan anak-anak, banyak yang menjadi anak yatim karena

bapaknya gugur di medan perang. Sangatlah wajar jika poligami pada masa

itu diperbolehkan dan dijadikan sebagai solusi yang tepat dalam

menyelesaikan masalah ummat.42

Kemudian ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran para ulama

ketika membahas poligami, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam

Malik yang berbunyi:

ق نا ش نب نع ك م يّي ي ث ح

:

ي ع ها ص ها س ّإ ي غ ب

عب أ ن م كسمأ ي قث ا م سأ نيح سن شع ع م سأ فيقث نم ج ق م س

ئ س ف

Diberitahukan dari Yahya dari Malik bin Syihab, ia berkata: bahwa

telah sampai kepadanya, bahwa Rasulullah saw. berkata kepada seseorang

42


(38)

dari bani Tsaqif yang masuk Islam dan bersama sepuluh orang perempuan

(isteri). Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk mengambil empat dari

mereka dan menceraikan lebihnya.43

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan

surat An-Nisa ayat 3, “Maksudnya, jika ada perempuan yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang

memadai, maka beralihlah kepada wanita selainnya, sebab wanita lain juga

masih banyak, dan Allah tidak mempersulitnya.44

Al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa Urwah

bertanya kepada Aisyah ihwal firman Allah, “Dan jika kamu khawatir tidak

dapat berlaku adil terhadap anak yatim,” maka Aisyah berkata, „Wahai putra saudaraku, wanita yatim ini berada dalam perlindungan wali. Wanita yatim

menggabungkan hartanya dengan harta walinya. Lalu si wali terpesona

dengan kecantikan dan hartanya. Kemudian hendak menikahinya tanpa mau

berlaku dalam masalah mahar; tidak memberi mahar seperti yang lazim

diberikan kepada wanita lain. Para wali dilarang menikahi wanita yatim

43

Abu Zahra, Zakrotu al-Tafsir, (Dar al Fikr, Beirut, tth), juz, 1, h. 1580.

44

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) , Cet. k-1, h. 645.


(39)

kecuali berlaku adil terhadapnya dan memberi mereka mahar yang lazim pada

saat dewasa. Para wali disuruh menikahi wanita-wanita lain saja.”45

Firman Allah Ta‟ala, ع ب ث ث ثمDua, tiga, atau empat.” Yakni, nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jjika kamu mau,

nikahilah dua wanita, tiga, atau empat. Sunnah Rasulullah saw. yang

menerangkan informasi dari Allah menunjukkan bahwa seorang pun tidak

boleh, selain Rasulullah., menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang

demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah saw.46

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya (637), “Bahwa

Ghilan bin Salamah ats-Tsaqif masuk Islam sedang dia memiliki 10 orang

istri. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Pilihlah empat dari 10 orang wanita

itu.” 47

Firman Allah Ta‟ala, “Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahi seorang saja atau budak yang kamu miliki.” Yakni, jika banyaknya istri itu mengkhawatirkanmu untuk tidak dapat berlaku adil

diantara mereka, sebagaimana firman Allah Ta‟ala, “Sekali-kali kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat

menginginkan berbuat adil.” Jika kamu khawatir berbuat zalim, maka

45

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, h. 645.

46

Lihat Pula, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (

Jakarta: Lentera Hati, 2002 ), h. 324.

47

Fahmie Ustad Anshori, siapa Bilang Poligami itu Sunnah, ( Jakarta: Pustaka Iman, 2007),


(40)

kawinlah dengan seorang wanita saja atau dengan beberapa budak perempuan

yang ada dalam kuasaanmu sebab pemberian giliran di antara budak-budak

bukan suatu kewajiban, namun merupakan anjuran. Jika dilakukan, maka hal

itu baik dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Firman Allah Ta‟ala, “Hal itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya,” yakni zalim. Dikatakan, „aalin filhukmi, jika seseorang menyimpang, zalim, dan aniaya. Dalam hadits yang

disandarkan kepada Aisyah dikatakan bahwa firman Allah, “Hal itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya” berarti kamu tidak berbuat aniaya. Demikian menurut riwayat Ibnu Abi Hatim.48

Menurut al-Marghi, ayat ini dapat diartikan menolak poligami, atau

paling tidak lebih memperketat pelaksanaan poligami. Karena ayat ini

menegaskan ketidakmampuan seseorang berlaku adil di antara istri-istrinya.

Kata ( bagian ayat tersebut seolah-olah ditujukan kepada mereka yang tidak

mampu berlaku adil, sedangkan mereka yang mampu berlaku adil dengan

sendirinya potongan ayat ini tidak berlaku).49

Muhammad „Abduh juga mengatakan bahwa boleh saja seorang laki -laki kawin lebih dari satu, tetapi harus memenuhi syarat adil sebagaimana

ditegaskan dalam an-Nisa‟[4]: 3. Namun, ia mengatakan bahwa syarat adil ini

48

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) , Cet. K-1, h. 651.

49

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet.


(41)

sesungguhnya teramat susah (untuk tidak menyebut mustahil) dicapai seorang

laki-laki. Apalagi „Abduh menganut pendapat Abu Hanifah bahwa keadilan dalam ayat tersebut meliputi tempat tinggal, pakaian, makanan, dan hubungan

suami istri. Oleh karena itu, bagi Muhammad „Abduh, seharusnya poligami

dilarang.50

Abu Zahrah memperhadapkan ayat ini dengan ayat terdahulu dan

seolah-olah ingin mengatakan ayat ini menasakh ayat terdahulu. Bahkan ia

mengartikan an-Nisa [4]: 3, bahwa bilangan dua, tiga, dan empat dalam ayat

tersebut bukanlah menyatakan bilangan yang dapat direalisasikan tetapi pada

hakikatnya melarang, seperti sindirian orang Arab: if‟al ma syi‟ta (kerjakanlah sekehendak hatimu). Artinya jangan lakukan perbuatan itu.51

M. Quraish Shihab berpendapat hampir sama dengan Ahmad

Musthafa Al-Maraghi, bahwa beliau mengatakan poligami itu bukanlah

merupakan suatu anjuran kewajiban, melainkan merupakan suatu kebolehan

yang diibaratkan dengan pintu darurat kecil, yang hanya bisa lalui disaat amat

diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dan menurutnya bahwa yang

dimaksud dengan adil dalam surat an-Nisa‟ ayat 129 adalah keadilan dibidang

50

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta:

Al-Kautsar, 2007), Cet. K-1, h. 119.

51

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet.


(42)

immaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang

memperturutkan hatinya demi berkelebihan dalam kecenderungan kepada

yang dicintai. Dengan demikian tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai

dalih menutup pintu poligami serapat-rapatnya.52

Wahbah al-Zuhaili, yang banyak mengutip pendapat Imam Malik yang

cenderung memberikan persyaratan ketat pada praktik poligami dengan

menonjolkan beberapa larangan dalam praktik poligami, antara lain:

mengumpulkan sesama anggota keluarga dekat seperti mengawini dua orang

bersaudara, baik saudara kandung, saudara seibu, saudara sebapak ataupun

saudara sesusuan, dan mengumpulkan seseorang perempuan dengan

tante-tantenya. Demikian pula larangan karena perbudakan, seperti seorang

perempuan merdeka menurut jumhur ulama tidak dibenarkan kawin (dimadu)

oleh seorang hamba, larangan karena persoalan keyakinan agama, seperti

larangan kawin dengan perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah),

tidak boleh mengawini perempuan muhrim, mengawini perempuan yang

berpenyakit tertentu, tidak boleh mengawini perempuan yang belum lepas

iddah atau yang masih bersangkut-paut dengan suami lamanya, atau

52

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (CIputat:


(43)

perempuan yang sudah di-li‟an, perempuan yang sudah ditalak tiga sebelum ia kawin dengan laki-laki lain.53

Perbedaan ini muncul berawal dari perbedaan penafsiran kalimat

“matsna wa tsulatsa wa ruba‟” dalam ayat di atas. Menurut mazhab Syi‟ah,

kalimat matsna wa tsulatsa wa ruba‟ menunjukkan penjumlahan (al-Jam‟), sehingga jika ditambahkan, maka hasilnya adalah Sembilan. Sedangkan bagi

kelompok Zhahiri, delapan belas orang, karena kata waw dalam kalimat

tersebut berarti “dikali”, sehingga dua kali dua, kali tiga, dan kali empat.

Menganggapi hal tersebut, Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa pendapat

seperti ini adalah pendapat orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak

tahu dengan Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.54

Lalu apakah kata “fankihu” yang terbentuk fi‟l al-amr dalam ayat ini mengisyaratkan kewajiban (lil wujub) atau hanya boleh (lil ibahah)?

Menurut Jumhur Ulama, demikian diuraikan oleh Ali Ash-Shabuni,

ayat tersebut mengisyaratkan untuk kebolehan (ibahah), bukan wajib, hal

serupa juga ditemui dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum,

seperti “Kulu wasyrabu”. Sementara Ahlu Zhahir menyebutkan, bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban menikah bagi seorang muslim, karena al-amru lil

53

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz, VII, Beirut: Dar al-Fikr. t.th., h.

175-176

54


(44)

wujub. Sedangkan Fakhru al-Razi menyatakan, dalam ayat ini Allah

menetapkan, bahwa meninggalkan perkawinan daam bentuk seperti ini

(poligami) adalah lebih baik dari pada mengerjakannya. Hal ini menunjukkan

bahwa ayat ini bukan menunjukkan kesunahan menikah lebih dari satu,

apalagi menunjukkan wajib.55

Dengan mengutip pendapat para ulama, Abu Zahrah menyebutkan

bahwa dalam ayat ini jelas sekali terdapat pembatasan dan syarat yang harus

di pegang dalam poligami:56

1. Berlaku adil kepada para istri. Para mufassir menyebutkan bahwa

kebolehan poligami terikat dengan syarat harus berlaku adil

kepada istri. Hal ini dikatakan oleh Abu Bakar, al-Rizi, al-Jassah,

dalam kitab Ahkam al-Qur‟an. Dan keharusan untuk membatasi pada satu perempuan juka khawatir berlaku tidak adil.

2. Harus ada kemampuan untuk menfkahi para istri dan

melaksanakan kewajiban-kewajiban. Kewajiban tersebut diambil

dari (zalika adna alla taulu).57

55

Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur‟an, (Beirut: maktabah al-Ghazali, 1981),

juz 1, h. 192

56

Muhammad Abu Zahra, Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), h. -91.

57


(45)

Terkait dengan batasan ini, hampir semua Ulama‟ klasik juga sepakat bahwa pembatasan tersebut untuk menetapkan azas keadilan. Seperti yang

dinyatakan oleh al-Thabari, bila seorang laki-laki takut tidak berlaku adil,

maka hendaklah ia menikahi empat saja.

Namun bila empat juga merasa takut, maka cukup satu. Dan bila satu

juga merasa takut, maka janganlah menikah dan bertahanlah dengan

budak-budak. Namun, kedua syarat (berlaku adil dan melaksanakan kewajiban)

tersebut bukan termasuk syarat sahnya suatu perkawinan, sehingga jika tidak

dipenuhi dan lelaki tetap melakukan perkawinan, maka seorang muslim

tersebut hanya akan mendapat dosa dari Allah SWT dan tidak cakap hukum

untuk melakukan poligami.58

Penafsiran ayat–ayat Al-Qur‟an mengenai poligami ,melahirkan tafsir yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat

diasumsikan ke dalam tiga kelompok uatama. Kelompok pertama

berpendapat, bahwa orang yang yang berpoligami mengikuti Sunah Nabi

Muhammad, maka secara otomatis mendapatkan pahala. Menurut kelompok

ini, poligami dianjurkan bagi laki-laki yang mampu melaksanakannya.59

58

Muhammad Abu Zahra, Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), h. -91.

59

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, Dan Praktek, (Jakarta: Balai


(46)

Kelompok kedua berpendapat, poligami tidak dianjurkan dalam

agama, melainkan diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Kelompok ketiga

percaya, bahwa poligami itu seharusnya tidak dijalankan pada masa kini.

Menurut kelompok ini, poligami dilakukan oleh Nabi Muhammad karena

kondisi tertentu yang ada pada zaman itu, yaitu masa perang yang

menimbulkan banyak janda dan anak yatim yang perlu dilindungi.60

Dalam Al-Qur‟an maupun dalam keseharian beliau, memelihara anak yatim dan anak yang terlantar selalu mendapat perhatian besar dan dianggap

sangat penting. Izin poligami dalam Al-Qur‟an sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah tersebut. Oleh sebab itu, sebenarnya pesan moral AL-Qur‟an tentang masalah ini: 1) agar anak yatim dipelihara dan disantuni; 2) ayat ini

berbicara tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami

sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu.

Keadilan ditetapkan sebagai syarat dalam poligami. Itu berarti

menuntut manusia mencapai kekuatan moral paling tinggi. Melaksanakan

keadilan dan berpantang dari tindakan deskriminasi terhadap istri-istri

merupakan tugas paling sulit bagi suami. Hal inilah yang dimaksud dengan

tidak akan sanggup berlaku adil.61

60

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, Dan Praktek, h. 25.

61


(47)

Dalam Al-Qur‟an Allah menegaskan QS An-Nisa‟ (4) : 129 :













Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S An-Nisa‟/4 : 129)

Secara historis, ayat ini mempunyai kaitan erat dengan ayat 2-3, dan

20 dalam surat yang sama. Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang

Uhud. Bahwasanya dalam perang tersebut umat Islam mengalami kekalahan

yang cukup fatal, salah satunya yaitu banyaknya pejuang laki-laki yang gugur

di medan laga. Menurut catatan sejarah tidak kurang 70 syuhada (lai-laki

dewasa dan berkeluarga) gugur. Wafatnya mereka meninggalkan banyak

janda dan anak-anaka yang menjadi yatim. Jumlah mereka sangat banyak,

mulai dari yang tua dan yang muda, serta yang kaya dan yang miskin. Begitu

pula dengan anak yatim.62

62 Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: STAIN


(48)

BAB III

BIOGRAFI DAN POLIGAMI MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR

A. Riwayat Hidup Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya

Muhammad Syuhrur Daib dilahirkan di Damaskus, Syiria, pada 11

Maret 1938. Daib adalah nama ayahnya dan Ibunya bernama Siddiqah binti

Salih Filyun. Istrinya bernama Azizah, dan Syahrur memililiki lima orang

anak dan dua orang cucu.63 Menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di

lembaga pendidikan „Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus, dan tamat tahun 1957. Kemudian mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik

sipil (handasah madaniyah) di Moskow, Uni Sovyet, pada Maret 1957.

Berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964.64

Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen Fakultas

Teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya, dia dikirim oleh pihak Universitas

ke Irlandia – Ireland National University – untuk memperoleh gelar Master

63

Empat orang anak laki-laki dan satu anak perempuan. Tariq, Lays, dan Rima, Basil dan Mas‟un. Dan cucunya, Muhammad dan Kinan. Dikutip dari http./www.shahrour.org; lihat pula Nugroho Dewanta, “Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur”. Artikel diakses pada 18 Mei 2011 dari http://groups.yahoo.com/group/ppiindia.

64

Dalam studinya di Moskow ini, Syahrur mulai merasakan “benturan peradaban” antara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena social-intelektul di Moskow yang komunis. Di Negara inilah, ia mulai berkenalan pemikiran marxisme. Walaupun ia tak mngklaim

sebagai penganut aliran tersebut, namun diakuinya banyak berhutang pada sososk Hegel – terutama


(49)

dan Doktornya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Teknik Pondasi,

sehingga memperoleh gelar Master of Science-nya pada 1969 dan gelar

Doktor pada 1972. Sampai sekarang, Dr. Ir. Muhammad Syahrur masih

mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang

Mekanika Pertanahan dan Geologi.

Pada 1982-1983, Dr. Ir. Muhammad Syahrur dikirim kembali oleh

pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-Saud Consult, Arab

Saudi. Dia juga, bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro

Konsultasi Teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus. Selain

bahasa arab Syahrur menguasai bahasa Inggris dan bahasa Rusia. Di samping

itu, dia juga menekuni bidang filsafat humanisme dan pendalaman makna

bahasa Arab.65 Tulisannya banyak tersebar di Damaskus.

Terbitnya buku al-Kitab wa al-Qur‟an : Qira‟ah Mu‟ashirah diakui oleh Jamal al-Banna, seorang intelektual Mesir, tokoh gerakan buruh dan adik

kandung Hasan al-Banna, sebagai metode baru dalam interpretasi teks Kitab

Suci al-Qur‟an. Buku tersebut telah memancing kontroversi yang sangat keras, yang kemudian bermunculannya beberapa buku, yang dari pihak yang

pro maupun yang kontra. Diantara yang bisa disebut di sini antara lain ;

Tahafut Qirâ‟ah Mu‟ashirah oleh Dr. Munir Muhammad Thahir al-Syawwaf

65

Muhammad Syahrur, prinsip dan dasar Hermeunetika Hukum Islam Kontemporer.


(50)

dan buku al-Furqan wa al-Qur‟an oleh Syekh Khalid Abd ar-Rahim al-„Akk. Nadhariyah Hududiyah dalam Tafsir al-Qur‟an Syahrur.

Adapun karya-karyanya dapat dikategorikan dalam dua bidang

keilmuan, tehnik fondasi yang merupakan spesialisasinya dan dalam

pemikiran Islam. Dalam tehnik ia menulis Handasat al-Asasat dan Handasat

al-Turbat. Sedangkan dalam bidang keislaman, ia menulis antara lain: Al-Kitab wa al-Qur‟an Qira‟ah Mu‟ashirah (1990);66 Dirasat Islamiyyah

Mu‟ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama‟ (1994); Al-Islam wa al-Iman : Manzhamah al-Qiyam (1996); Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Mar‟ah (2000); Masyru Mitsaq al-„Amal al-Islami (1999); Al-Harakah al-Libaraliyyah Rafadhat al-Fiqh wa al-Tasyri‟atiha wa lakinnaha La Tarfudh al-Islam ka-Tawhid wa Risalah Samawiyyah (2000); Al-Harakh al-Islamyyah Lan Tafuz bi al-Syar‟iyyah illa idza Tharahat Nazhariyyah Islamiyyah

Mu‟ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama‟ (2000),67 dan karya terbarunya adalah Tajfif Manabi al-Irhab yang diterbitkan pada tahun 2008.68

66

Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dalam dua edisi, Prinsip dan Dasar Hermeunetika

Al-Qur‟an Kontemporer dan Prinsip dan Hermeunetika Hukum Islam Kontemporer, keduanya

diterbitkan oleh Elsaq, Yogyakarta, masing-masing tahun 2004 dan 2007.

67

Muhammad Syahrur, prinsip dan dasar Hermeunetika Hukum Islam Kontemporer.

Penerjemah Shahiron Syamsuddin, ( Yogyakarta: Elsaq, 2007), h. 313.

68

Anjar Nugroho, Teori Batas Muhammad Syahrur, diakses pada 02 Juni 2011 Dikutip dari


(51)

B. Poligami dalam Pandangan Muhammad Syahrur

Poligami (ta‟addud al-zawjat) dianggap permasalahan yang penting untuk dibahas dan salah satu permasalahan yang rumit dalam kehidupan

perempuan Islam di negara arab. Dengan permasalahan yang khusus (ayat ini

turun untuk menanggapi satu kasus Urwah bin Zubair)) akan tetapi hal

tersebut merupakan pembahasan yang perlu diketahui oleh orang banyak.

Maka ayat ta‟addud al-zawjat merupakan ayat hudud (batasan) yang meliputi dari segi sejarah yakni batas sejarah yang terdahulu dengan masa

modern ini. Di masa modrn ini manusia dituntut untuk melakukan interpretasi

al-Qur‟an tanpa mengikuti ijtihad yang sudah ada dari ulama terdahulu.

Ayat hudud yang membahas ta‟addud al-zawjat adalah surat surat an-Nisa ayat 3





















Penafsiran Syahrur dalam surat an-Nisa ayat 3

1. Syahrur membedakan antara dua kata yang berbeda dalam ayat poligami,

( ع طسق (.69 Kata qasatha dalam lisan al-Arab mempunyai dua

69

Menurutnya, kata qasatha adalah sebuah term dasar yang memiliki satu bentuk, tapi memiliki


(52)

Al-pengertian berlawanan; makna yang pertama adalah al-„adlu, seperti firman Allah ta‟ala surat al-Ma‟idah ayat 42.” Innallaha yuhibbul

muhsinin”

.

Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jŭr. Seperti firman Allah ta‟ala surat al-jin ayat 14. Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, yakni; al-istiwa‟ (penyamaan) dan

al-a‟waj (bengkok). Ada perbedaan antara qasatho dan „adl. Al-qasth bisa dari satu sisi saja (yakni hanya adil kepada istri-istrinya saja), sedang

al-‟adl harus dari dua sisi (adil kepada istri-istrinya dan adil kepada anak dari istri pertama dan kedua, keiga, keempat).70

2. Dalam menganalisis surat an-Nisa ayat tiga menurut Syahrur ayat tersebut

adalah kalimat ma‟thufah (berantai) dari ayat sebelumNya “wa in …” dimana ayat sebelumnya menjelaskan haqq al-yatâmâ, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik

dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama

hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu

adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa‟(4):2)

3. Menurut syahrur yatim disini adalah seseorang yang ditinggal mati

bapaknya, anak tersebut (baik laki- laki atau perempuan) yang masih

Maidah/5:42, al-Hujurat/ 49:9, al-Muntahanah/60: 8); kedua adalah “kezaliman dan penindasan” (QS. Al-Jinn/72: 14). Sementara „adala juga memiliki dua arti yang saling berlawanan: kelurusan/kesejajaran (straightness/istiwa‟) dan arti keduanya adalah kebengkokan (curvature/l‟wijaj).

70


(53)

berusia muda (belum baligh), dan usia ibunya yang janda masih muda

juga. Jadi yang dapat menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat, adalah

janda yang membawa anak-anaknya yang masih belia.71

4. Dalam menganalisis ayat ta‟addud al-zawjat , maka akan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd al-adna (batas rendah) dan hadd al-a‟la (batas tertinggi) pada al-kamm, dan hadd al-adna dan hadd al-a‟la pada al-kayf.

1.

م ا ح

- Kalimat “ fankihu”

- Ma‟na “dua, tiga, atau empat”, seperti yang telah di jelaskan di atas, batas tertinggi seorang laki-laki menikahi sampai empat

istri. kalimat wa tersebut bukan di artikan dan melainkan atau

sehingga dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat bukan Sembilan.

Jika seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia

tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh

Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia

71

Syahrur, al-kitab wal al-Qur‟an,h. 598.

ىن د أا دح

( batasan rendah)

• seorang laki-laki tidak mungkin menikahi wanita setengah, maka maksud al-haddna dsini adalah jumlah istri minimal satu

لعأا دح

(batasan tertinggi)

• seorang laki-laki maksimal mempunyai istri 4, tidak boleh lebih dari 4


(54)

telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam.

2.

في ا ح

Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut perawan

(bikr) janda?, apabila janda, janda yang di cerai mati suaminya atau

cerai hidup?

- Pada ayat ini memakai shighah syarth, jadi menurut Syahrur,

kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ‟

matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ‟ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”.72 Sehingga untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka

diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua,

ketiga dan keempat dipersyaratkan janda yang mempunyi anak

yatim.

- Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu akan

menanggung biaya kehidupan istri dan anak-anak yang yatim.

firman Allah surat an-Nisa (4):6

72


(1)

BAB V PENUTUP A. Simpulan

Dari penjelasan panjang di atas, penulis memberikan beberapa kesimpulan di bawah ini:

1. Dalam menganalisa ayat poligami, Syahrur menggunakan teori batas (nadhariyah hududiyah), yakni batasan-batasan yang berupa batasan terendah atau tertinggi dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan suatu hukum. Dalam kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar batasan ini meski didasarkan pada ijtihad, karena ijtihad hanya boleh melampaui batasan maksimum, tidak minimum.

2. Syahrur melihat poligami sangat terkait dengan kepentingan anak-anak yatim dan para janda. Ia menganalisa ayat poligami (QS. an-Nisa‟/4: 3) dengan teori hudud (batasan hukum), secara kuantitas dan kualitas. Batasan kuantitas dalam poligami, istri yang dinikahi minimal satu orang dan maksimal empat orang. Dan batas kualitasnya, bahwa yang dinikahi adalah Janda yang mempunyai anak (yatim). Sementara syarat berpoligami ada dua, yaitu isteri kedua harus berstatus janda (yang di tinggal mati oleh suaminya) dan berlaku adil kepada anak-anak yatim tersebut.


(2)

3. Dalam pandangan Islam, para ulama berbeda pendapat dalam memandang poligami. Pertama, kalangan yang berpendirian bahwa poligami merupakan salah satu sunnah Nabi. Kedua, ulama yang berpandangan bahwa poligami diperbolehkan dalam batas maksimal 4 orang perempuan. Ketiga, ulama yang melarang praktekn poligami. Syahrur, salah satu cendekiawan Muslim terkemuka, menerapkan teori batas (nadhariyah hududiyah) dalam memahami beberapa ayat al-Qur‟an termasuk ayat tentang poligami. Pada prinsipnya, Syahrur pun mengakui poligami menjadi bagian dari syari‟at Islam, akan tetapi penerapannya dalam praktek harus memperhatikan beberapa persyaratan, agar poligami itu membawa hikmah. Persyaratan esensial dalam praktek poligami adalah, pertama pelibatan janda yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim para janda yang dinikahi berikutnya. Jika ini yang dipraktekkan oleh kalangan Muslim, maka esensi hukum (hikmah al-tasyri) adanya praktek poligami dalam perkawinan Islam menjadi menonjol ketimbang sebagai sarana untuk memuaskan nafsu para laki-laki yang tidak cukup dengan satu orang istri.

B. Saran-Saran

Dari studi yang telah dilakukan ini, ada beberapa saran yakni sebagai berikut:


(3)

Bagi para suami yang akan melakukan poligami hendaknya mempertimbangkan apa yang telah diungkapkan oleh Syahrur, yaitu melibatkan anak sebagai alasan untuk melakukan poligami. Sebab upaya pengayoman terhadap anak yatim lebih diutamakan dalam permasalahan poligami.

2. Bagi masyarakat

Hendaknya masyarakat lebih mengerti dan bijaksana dalam menanggapi permasalahan poligami. Sebab memang poligami adalah hal yang tersurat kebolehannya dalam al-Qur‟an meskipun dengan syarat yang tidak ringan. Masyarakat bisa mengambil apa yang sudah disampaikan oleh Syahrur mengenai upaya perlindungan anak yatim melalui poligami. 3. Bagi Negara

Negara, dalam hal ini pemerintah, hendaknya meninjau kembali undang-undang tentang perlindungan anak dan undang-undang-undang-undang perkawinan serta kebijakan lain mengenai perlindungan hak asasi perempuan dan anak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1993.

Al-Asqalani, Al-Hafidh Ibnu Hajar, Bulughul Maram Min Adillatul Ahkam.

Aedy , Hasan, Antara Poligami Syari‟ah dan Perjuangan kaum perempuan, Bandung: Alfabeta, 2007, Cet. Ke- 1.

Anjar Nugroho, “Teori Batas Muhammad Syahrur,” artikel diakses pada 02 Juni 2011 Dikutip dari http:/ /opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam soal-poligami/

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.

Farida, Anik, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, Dan Praktek, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008, Cet. Ke- 1.

Fahyimi, Badriyah, dkk., Isu-Isu Gender Dalam Islam, Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2002, Cet. Ke- 1.

Faiz, Ahmad, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.

Fahmie, Anshori, Siapa Bilang Poligmi itu Sunnah?, Depok: Pustaka Iman, 2007, Cet. Ke- 1.

Halim, Abdul, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, Cet. Ke- 1. Hamidy, Mu‟ammal, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, surabaya: Bina Ilmu,

2003, Cet. Ke- IV.

Jaiz, Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta: Al-Kautsar, 2007, Cet. Ke- I.


(5)

Makmun,Rodli, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009.

Muhammad Thaha. Mahmud, Arus Balik Syari‟ah. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin, Yogyakarta: Ellkis, 2003, Cet. Ke- I.

Pengantar Penerbit dalam Muhammad syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeunetika

Al-Qur‟an Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: Elsaq,

2004.

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. Ke- I.

Syahrur, Muhammad, al-kitab wal al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah, Damaskus: Ahali, 1990, Cet. Ke- II.

---, Iman dan Islam; Aturan-Aturan pokok, terjemahan dari al-Islam wa al-Iman; Manzumah al-Qiyam, Jendela: Yogyakarta, 2002.

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Shihab, M. Quraish, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut‟ah Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2005.

--- Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Ciputat: Lentera Hati, 2000.


(6)

Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Shabuni, Ali Ash, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur‟an, Beirut: maktabah al-Ghazali, 1981, juz 1.

Thabathaba‟i, Allamah M.H., Mengungkap Rahasia Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 1994.

Umar, Nasaruddin, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, Cet. Ke- 1.

Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Kulliyat al-Da‟wah al-Islamiyah, 1990. Zahra, Abu, Zakrotu al-Tafsir, Dar al Fikr, Beirut, juz, 1, tth.