Analisis Karakter Finn Melalui Homologi Dunia Imajiner-Realita Pada Novel "The Adventures Of Huckleberry Finn" Karya Mark Twain (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra)

(1)

(2)

THE ANALYSIS OF FINN’S CHARACTER THROUGH HOMOLOGY IN FICTION-REALITY IN THE NOVEL “THE ADVENTURES OF

HUCKLEBERRY FINN” BY MARK TWAIN (A Study of Sociology of Literature)

SKRIPSI diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana

Pada Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Komputer Indonesia

YUNGYUNG WULAN DINI NIM 63704026

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(3)

(4)

v

Penelitian ini berjudul “Analisis karakter Finn melalui homologi dunia imajiner-realita pada novel The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain”, dilakukan berdasarkan asumsi bahwa adanya keberadaan karakter Huckleberry Finn dalam dunia imajiner dan adanya kesejajaran struktural pada karakter yang terdapat dalam dunia imajiner dengan karakter yang ada dalam dunia nyata. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi karakter Finn yang terdapat dalam struktur dunia imajiner pada novel The Adventures of Huckleberry Finn dan mengetahui homologi karakter Finn dalam struktur dunia imajiner dengan Mark Twain dalam struktur dunia realita.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Metode ini dilakukan dengan cara menggambarkan dan menganalisis data. Metode deskriptif difokuskan pada penggambaran karakter. Sementara itu, metode analitik difokuskan pada analisis struktur karakter Huck Finn dalam dunia imajiner dengan karakter Twain dalam dunia realita.

Hasil dari penelitian ini adalah karakter dapat terbentuk berdasarkan Motive yang ditandai oleh suatu dorongan untuk melakukan suatu tindakan, Habits and Patterns ditandai oleh kebiasaan yang dilakukan seseorang dengan cara dan keadaan yang sama, dan The Past ditandai oleh tindakan yang sudah dilakukan. Analisis ini membuktikan bahwa ketiga cara tersebut dapat menunjukan kepribadian yang dimiliki oleh karakter Finn. Selain itu, analisis ini juga dapat memperlihatkan kesamaan struktur dari karakter Huckleberry Finn yang berada dalam dunia imajiner dengan karakter Twain dalam dunia realita melalui pandangan dunia.


(5)

vi

Twain (A Study of Sociology of Literature) is conducted based on an assumption of resemblance of Huckleberry Finn in fiction and homology of the character in reality. Therefore, this research is purposed to identify Finn‟s character in fiction entitled The Adventures of Huckleberry Finn and to find out homology between Finn‟s character in fiction and Twain in reality.

The method used in this research is analytic descriptive method, conducted by describing and analyzing data. The descriptive method is focused on the description of character. Meanwhile, the analytic is focused on structure analysis of Finn‟s character in fiction and Twain in reality.

As the result of the research, character was constructed from Motive which is based on motivation to do something, habits and patterns which is based on habitual action and the past. The analysis proved that three ways above could be showed the identity of character. In addition, this analysis could be showed the similarity of structure by Finn‟s character in fiction and Twain in reality through world of view. Keywords: character, homology and world of view.


(6)

vii

Dengan mengucapkan alhamdulillahi robil alamin, penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Robbi bahwa dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulis meyakini bahwa sebagai manusia biasa yang terbatas kemampuan dan pengetahuannya akan memerlukan bantuan pihak lain. Demikian pula penulis dalam penyusunan skripsi ini, banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada yang terhormat:

1. Ibu Retno Purwani Sari, S.S, M,Hum sebagai Ketua Jurusan dan pembimbing utama yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.

2. Ms. Nenden Rikma Dewi, S.S. sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan pencerahan dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan bekal kepada penulis berupa

pengetahuan dan keterampilan sehingga mendapatkan ilmu yang besar manfaatnya.

4. Bapak tercinta, yang telah lama meninggalkan alam fana, semoga ruhnya ditempatkan di sisi Tuhan Yang Maha Esa.


(7)

viii

6. Rekan – rekan mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan moral maupun material.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang disusun ini masih jauh dengan yang diharapkan, baik susunan kata, cara penulisan serta materinya masih banyak kekurangan sehingga perlu disempurnakan. Oleh karenanya, dengan segala kerendahan hati atas segala tegur sapa yang dilontarkan demi perbaikan selanjutnya, akan penulis terima dengan senang hati. Di samping itu, mudah – mudahan pula ada manfaatnya.

Bandung, Agustus 2012

Yungyung Wulan Dini


(8)

ix

ABSTRAK………...………….. v

ABSTRACT……… …..…………. vi

KATA PENGANTAR………..…………. vii

DAFTAR ISI……..………..…... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Rumusan Masalah……….………. 3

1.3 Tujuan Penelitian………….……… 4

. 1.4 Kegunaan Penelitian……… 4

1.5 Kerangka Pemikiran………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakter………. 9

2.2 Sosiologi Sastra……… 12

2.3 Strukturalisme Genetik……… 14

2.3.1 Fakta Kemanusiaan………... 14

2.3.2 Subjek Kolektif……… 15

2.3.3 Pandangan Dunia (world of view)……… 16


(9)

x BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian……… 19

3.2 Sumber Penelitian………... 19

3.2.1 Sinopsis……….. 20

3.2.2 Autobiografi ………..………... 20

3.3 Metode Penelitian………. 22

3.3.1 Pengumpulan Data……….. 22

3.3.2 Analisis Data……….. 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis karakter Huck Finn………..……… 24

4.1.1 Motive……… 24

4.1.2 Habits and Patterns………. 29

4.1.3 The past……….. 33


(10)

xi

5.1 Simpulan……….. 48 5.2 Saran……… 49

SYNOPSIS REFERENSI LAMPIRAN


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis novel “The Adventures of Huckleberry Finn” karya Mark Twain. Adanya kesamaan latar belakang sejarah Finn yang terdapat pada novel “The Adventures of Huckleberry Finn” dengan kondisi dan situasi tempat pengarang tinggal, mengarahkan penelitian ini pada kajian strukturisasi yang difokuskan pada karakter dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan teori yang akan digunakan adalah strukturalisme genetik. Pada bab ini, penulis akan memaparkan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan kerangka pemikiran.

1.1Latar Belakang Penelitian

Karya sastra merupakan suatu ekspresi yang dapat menjelaskan suatu keadaan atau kondisi yang sudah ada atau sedang dialami oleh pengarang. Untuk menuangkan peristiwa serta kejadian yang dialaminya itu, pengarang menggunakan tulisan sebagai bentuk gagasan dari pemikirannya. Agar gagasan pengarang tersebut dapat diidentifikasi dalam sebuah penelitian, kajian yang dianggap tepat untuk meneliti gagasan dari pengarang tersebut adalah sosiologi sastra.

Sosiologi sastra merupakan studi untuk meneliti aktivitas manusia dalam masyarakat, lembaga-lembaga dan proses-proses sosialnya sehingga membentuk


(12)

suatu struktur sosial. Oleh karena sosiologi sastra memiliki hubungan dengan suatu struktur, penulis akan menggunakan teori strukturalisme genetik Goldmann. Goldmann (Faruk, 2010:52) menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang merupakan produk dari proses sejarah secara terus menerus dan dihayati oleh masyarakat dimana tempat karya sastra itu dihasilkan. Selanjutnya, penelitian ini akan difokuskan pada karakter yang terdapat pada novel “The Adventures of Huckleberry Finn” karya Mark Twain.

Novel “The Adventures of Huckleberry Finn” merupakan novel Amerika terbesar dan karya terpopuler yang dihasilkan oleh Mark Twain. Novel “The Adventures of Huckleberry Finn” ini dibuat pada tahun 1885. Novel ini juga menceritakan tentang perjalanan hidup masa kecilnya Huckleberry selama menyusuri sungai Mississipi untuk membebaskan diri dari ayahnya yang pemabuk. Mark Twain sendiri merupakan nama pena dari Samuel Langhorn Clemens. Dia dilahirkan di kawasan Missouri-Mississipi pada tanggal 30 November 1835 (Twain, 1885:6). Dia dikenal akan karya-karyanya yang selalu meneliti tentang kondisi sosial di sekitarnya. Dengan adanya kesamaan latar belakang antara kondisi ruang dan waktu hidup Mark Twain dengan perjalanan hidup Finn pada Novel “The Adventures of Huckleberry Finn” tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui stuktur dunia imajiner melalui karakter Finn dan homologi dari dunia imajiner tersebut dengan dunia realita. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan proses yang terjadi dalam pembentukan struktur sosial tersebut.


(13)

Pada penelitian sebelumnya terdapat penelitian yang mengkaji tentang struktur naratif dengan menggunakan strukturalisme genetik, yaitu Setiyani Wardhaningtyas (Lingua V: 2009). Dia meneliti tentang tema pada cerpen“Otsuberu to Zoo” karya Miyazawa Kenji. Sementara itu dalam penelitian ini, penulis akan meneliti tentang struktur dunia imajiner yang berdasarkan pada salah satu struktur naratif karya sastra yaitu tokoh (character) serta homologi struktur dunia imajiner dan struktur dunia realita dengan menggunakan metode strukturalisme genetik. Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka penelitian ini diberi judul “Analisis karakter Finn melalui homologi dunia imajiner-realita pada novel The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain”. Dengan demikian, penelitian ini merupakan sebuah kajian Sosiologi Sastra.

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Seperti apa karakter Finn dimunculkan pada struktur dunia imajiner dalam novel The Adventures of Huckleberry Finn?

2. Seperti apa homologi karakter Finn dalam struktur dunia imajiner dengan Mark Twain dalam struktur dunia realita?


(14)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter Finn yang terdapat pada struktur dunia imajiner dalam novel “The Adventures of Huckleberry Finn” karya Mark Twain. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui homologi karakter Finn dalam struktur dunia imajiner dengan Mark Twain dalam struktur dunia realita.

1.4Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Komputer Indonesia, agar dapat mengetahui pengkajian sosiologi sastra dan strukturalisme genetik yang digunakan sebagai salah satu cara menganalisis karakter pada sebuah novel. Penulis berharap agar kajian ini menjadi salah satu contoh kajian sosiologi sastra yang dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

Secara pribadi, penelitian ini membuat penulis mengetahui dan menyadari bahwa realita di dunia nyata dapat memiliki kesamaaan dengan realita dalam karya sastra. Terlebih lagi penulis dapat mengetahui bahwa sudut pandang seseorang di dunia nyata dapat terwakili dengan sudut pandang seorang karakter dalam suatu novel.


(15)

1.5Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran ini menjelaskan bagaimana analisis terhadap karakter Finn melalui homologi struktur dunia imajiner-realita dalam novel “The Adventures of Huckleberry Finn” karya Mark Twain dilakukan. Novel ini menceritakan tentang keadaan masyarakat Amerika bagian selatan pada tahun 1885 di wilayah Missouri, Mississippi sebelum civil war terjadi. Latar ruang dan waktu serta aktivitas Finn pada novel ini memiliki kesamaan dengan latar ruang dan waktu Mark Twain pada saat muda. Oleh karena terdapat persamaan latar belakang dari sosiologi ruang dan waktu tersebut, kajian yang tepat untuk membahas persoalan ini adalah sosiologi sastra.

Menurut Faruk, sosiologi sastra merupakan studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial (Faruk, 2010:1). Maksud dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa sosiologi itu mengkaji keberadaan manusia serta lembaga yang terdapat pada suatu masyarakat dan interaksi yang dilakukan antar makhluk sosial tersebut. Pada akhirnya hal tersebut akan mewujudkan sebuah struktur dalam masyarakat tersebut. Struktur yang ada dalam karya sastra dan struktur dalam suatu masyarakat dapat diketahui dan dianalisis dengan menggunakan teori dari Lucien Goldman mengenai strukturalisme genetik.

Strukturalisme genetik Goldmann menerangkan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terlahir dari proses sejarah secara terus menerus yang dihayati oleh masyarakat dimana tempat karya sastra itu berada. Goldmann


(16)

(Faruk, 2010:56) juga menjelaskan enam konsep dasar yang akan membentuk strukturalisme genetik di antaranya: (1) fakta kemanusiaan, (2) subjek kolektif, (3) pandangan dunia (world view): homologi, strukturasi dan struktur, (4) struktur karya sastra, (5) dialektika pemahaman dan penjelasan serta (6) hiden god: sebuah terapan.

Oleh karena penelitian ini akan mengkaji tentang suatu struktur sosial yang terdapat pada karya sastra, penulis akan menggunakan teori Goldmann mengenai strukturalisme genetik yang berdasarkan pada pandangan dunia (world view). Pandangan dunia (world view) merupakan kompleks menyeluruh dari gagasan, aspirasi dan perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain (Goldmann dalam Faruk, 2010:66). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia (world view) adalah hasil interaksi antara subjek dengan situasi dan kondisi yang berada di sekitarnya. Dengan gagasannya mengenai pandangan dunia (world view), Goldmann berpendapat akan adanya homologi antara dunia imajiner dan dunia realita dimana hubungan dunia imajiner dan dunia realita itu terletak pada kesamaan secara struktural baik dari struktur dunia imajiner maupun struktur dunia realita. Dalam hal ini, struktur dunia imajiner yang dimaksud merupakan struktur naratif karya sastra seperti: alur (plot), latar (setting), tokoh (Character), penokohan (characterization), tema (theme), serta style/ language, voice dan point of view (Bleiman, 2009:50). Struktur dunia imajiner itu mempunyai hubungan dengan struktur dunia realita dimana keterkaitan struktur dunia imajiner


(17)

tidak dihubungkan langsung dengan struktur dunia realita melainkan struktur dunia imajiner itu terlebih dahulu dihubungkan dengan pandangan dunia. Melalui pandangan dunia, struktur dunia imajiner akan dihubungkan dengan struktur dunia realita yang dapat tergambar melalui struktur naratif seperti karakter.

Orson Scord Card (1988:4) menjelaskan bahwa a character is what he does, motive, the past, reputation, stereotypes, network, habits and patterns, talents and abilities, tastes and preferences, dan body. Akan tetapi dalam penelitian ini, penulis akan meneliti karakter hanya berdasarkan pada motive, habits and patterns serta the past yang dimiliki oleh karakter Finn dengan mengaitkannya dengan homologi struktur dunia imajiner-realita.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa homologi antara struktur dunia imajiner dengan struktur dunia realita terbentuk melalui proses strukturasi yang berdasarkan pada karakter. Dibawah ini terdapat gambar yang menjelaskan kerangka pemikiran tersebut:


(18)

Bagan 1. Kerangka Pemikiran Novel Sosiologi sastra

Strukturalisme Genetik (Lucien Goldmann:

2010)

Pandangan Dunia (World of View)

Homologi

Struktur

Imajiner Realita

Karakter (Orson Scott Card:

1988)


(19)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ada beberapa kata yang sangat penting dalam penelitian ini, di antaranya: karakter, sosiologi sastra dan strukturalisme genetik. Ketiga kata tersebut akan menstimulasi masalah-masalah dalam penelitian ini yang berkaitan dengan hubungan di antara ketiga kata tersebut serta pengaruh keberadaan kata-kata tersebut terhadap satu sama lainnya.

2.1 Karakter

Seorang karakter memiliki suatu peranan penting dalam penyampaian sebuah karya sastra. Hal itu dapat terlihat dari jalan cerita yang dibawakan oleh masing-masing karakter dalam sebuah karya sastra tersebut. Keberadaan karakter itu juga dapat merefleksikan karakter-karakter yang terdapat dalam dunia realita. Seperti yang diungkapkan oleh Card:

“Every story choice you make arises out of who you are, at the deepest levels of your soul; every story you tell reveals who you are and the way you conceive the world around you—reveals more about you, in fact, than you know about yourself”(1988:4).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa setiap cerita yang dimunculkan dalam sebuah karya sastra akan mencerminkan keberadaan pengarang cerita itu sendiri dan karya tersebut akan mengungkapkan jati diri pengarang serta keadaan sekitar yang berada dalam lingkungan pengarang. Jadi, karakter yang ada dalam dunia


(20)

realita dapat terimajinasikan melalui karakter dunia imajiner yang ada dalam sebuah cerita.

Untuk menemukan karakter dunia realita dalam karakter dunia imajiner, Card mengungkapkan beberapa cara dalam menentukan karakter tersebut seperti: A Character is what he does, Motive, The Past, Reputation, Stereotypes, Network, Habits and Patterns, Talents and Abilities, Tastes and Preferences, serta Body. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini akan menganalisis karakter berdasarkan Motive, Habits and Patterns serta The Past. Oleh karena, ketiga cara tersebut dapat memunculkan kepribadian dari seorang karakter yang diperlukan dalam penelitian ini.

Dalam sebuah kehidupan baik dalam kehidupan nyata atau pun dalam kehidupan sebuah karya fiksi, seorang karakter selalu memiliki motif untuk melakukan suatu tindakan. Pada kehidupan nyata, motif tidak dapat dipahami secara sepenuhnya sedangkan pada sebuah karya fiksi, motif dari seorang karakter itu dapat dipahami dengan jelas karena motif itu dapat terlihat dari tindakan seseorang dengan cara yang dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh Card (1988: 5) bahwa “Motive is what gives moral value to a character‟s acts. What a character does, no matter how awful or how good, is never morally absolute”. Oleh karena itu, motif merupakan suatu dorongan yang melatarbelakangi suatu tindakan. Baik atau tidak nilai yang diberikan, secara moral hal itu tidak akan pernah mutlak. Motif juga dapat dinilai secara tersurat berdasarkan tindakan yang dilakukan seseorang atau dapat tergambar secara tersirat berdasarkan maksud dan tujuan dari tindakan tersebut.


(21)

Selain itu, karakter juga dapat dilihat dari habits and patterns. Card (1988: 5) menyatakan bahwa “You may not know why or how a habit began, but you come to count on the person always acting the same way in the same situation. The habit is part of who he is”. Berdasarkan kutipan tersebut habits and patterns dapat terwujud dari kebiasaan yang sering dilakukan oleh seseorang, dengan cara yang sama dan dalam keadaan yang sama juga. Kebiasaan yang ditunjukan dalam tingkah laku, akan menjadi salah satu bagian dari kepribadian yang akan menunjukan diri seseorang seutuhnya.

Cara lain yang dapat menentukan karakter seseorang yaitu dengan melihat metode “the past” yang dimiliki seseorang. Card (1988 : 5 ) mengungkapkan “Our past, however we might revise it in our memory, is who we believe that we are; and when you create a fictional character, telling something of her past will also help your readers understand who she is at the time of the story”. Metode The Past dapat digunakan untuk memahami karakter orang pada saat ini atau untuk mengetahui karakter seseorang dari tindakan yang sudah dilakukan. Tujuan dari metode the past dalam dunia nyata yaitu untuk membentuk sebuah image yang ada dalam ingatan seseorang akan cerita hidupnya yang telah terjadi pada masa lampau. Dengan demikian, orang tersebut tahu akan dirinya pada saat itu sedangkan tujuannya dalam dunia fiksi yaitu untuk memberitahukan karakter seseorang pada saat dia sedang berada dalam sebuah cerita.


(22)

Sebagai tambahan, Abrams berpendapat bahwa:

Characters are the persons presented in a dramatic or narrative work, who are interpreted by the reader as being endowed with moral, dispositional, and emotional qualities that are expressed in what they say- the dialogue- and by what they do- the action”(1985:23).

Kalimat tersebut menyatakan bahwa karakter yang terdapat dalam dunia imajiner adalah karakter yang memiliki nilai moral, watak serta tingkatan emosional yang akan disampaikan melalui perkataan serta tingkah laku. Tindakan dari sifat karakter tersebut kemudian dapat menjadi cara untuk memahami kepribadian yang dimunculkan dalam karakter yang berada dalam dunia imajiner atau karya sastra tersebut.

2.2 Sosiologi sastra

Sosiologi ditemukan dan dibangun untuk pertama kalinya oleh Auguste Comte pada pertengahan abad ke 19. Pada saat itu, ilmu ini digunakan untuk memahami gejala alam dalam kerangka kepercayaan religius yang mistis. Selain itu juga, sosiologi digunakan untuk mempelajari manusia sebagai individu yang terkait dengan individu lain, manusia yang hidup dalam lingkungan dan berada di antara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah kolektivitas yang disebut dengan komunitas maupun masyarakat.

Sastra (Faruk, 2010: 39) dapat didefinisikan sebagai tulisan, bahasa, karya fiktif-imajinatif, sastra sebagai ekspresi jiwa serta keberadaan sastra itu sendiri dengan dunia sosial. Maksud dari sastra sebagai tulisan yaitu semua isi karya tulis


(23)

berisikan tentang sastra seperti hikayat, adat istiadat, ajaran agama, ramuan obat-obatan,dll. Sastra disebut sebagai bahasa karena bentuk sastra dilihat dari segi bahasa dimana bahasa yang digunakan bisa menarik perhatian. Selain itu, sastra juga disebut sebagai karya fiktif-imajinatif karena acuan dari karya sastra penuh dengan hal- hal yang bersifat fiktif dan imajinatif dimana tokoh-tokoh yang digunakan oleh pengarang hanya merupakan rekayasa dan bersifat non logis. Kemudian, sastra sebagai ekspresi jiwa berarti sastra merupakan ungkapan perasaan atau keadaan jiwa pengarang pada saat karya itu dibuat. Cara untuk mengetahui maksud pengarang tentang karya sastra tersebut yaitu dengan mengetahui latar belakang kejiwaan pengarang yang dipelajari melalui karya sastra dari pengarang itu. Sedangkan, sastra didefinisikan sebagai karya sastra dan dunia sosial karena lingkungan, tempat dan waktu serta bahasa yang digunakan memang benar ada sehingga masyarakat dapat mengerti akan karya sastra itu sendiri ketika bahasa yang digunakan dalam karya sastra tersebut benar-benar digunakan oleh masyarakat yang mengerti dan memahami karya sastra tersebut.

Ada pun keterkaitan antara sosiologi dengan sastra yaitu karya sastra merupakan suatu bentuk hasil karya manusia yang berada dalam suatu masyarakat. Sehingga dalam mempelajari hasil karya tersebut, diperlukan ilmu yang mempelajari manusia dengan hasil interaksinya pada suatu masyarakat yang disebut sosiologi sastra.

Faruk (2010:1) berpendapat bahwa sosiologi sastra merupakan studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat dan mengenai


(24)

lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karena itu, sosiologi sastra ini dapat mengkaji keberadaan manusia serta lembaga yang terdapat pada suatu masyarakat seperti lembaga sosial, agama, ekonomi, juga politik. Selain itu, sosiologi sastra juga dapat mengkaji interaksi yang dilakukan antar makhluk sosial tersebut sehingga melalui interaksi antar sosial tersebut dapat mewujudkan suatu tatanan atau struktur sosial.

2.3 Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik ditemukan pertama kali oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori ini berfungsi untuk menganalisis asal usul sebuah karya. Dengan kata lain, teori ini juga lebih menitikberatkan pada unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah karya. Goldmann (Faruk, 2010:56) mendefinisikan bahwa strukturalisme genetik sebagai sebuah struktur yang terlahir dari proses sejarah secara terus menerus yang dihayati oleh masyarakat dimana tempat karya sastra itu berada. Jadi, untuk mengetahui sebuah karya sastra, diperlukan pemahaman tidak hanya dari unsur intrinsik tetapi dari unsur ekstrinsik juga.

Selain itu, Goldmann dalam Faruk (2010: 56-81) mengungkapkan enam konsep dasar yang akan membentuk strukturalisme genetik tersebut, di antaranya sebagai berikut:


(25)

Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik secara verbal maupun secara fisik. Goldmann menganggap semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti karena fakta kemanusiaan itu merupakan respon dari subjek kolektif atau individual yang dapat mengubah situasi yang ada dan dapat mencapai keseimbangan dengan dunia sekitarnya sehingga cocok dengan aspirasi subjek itu.

Goldmann (Faruk, 2010:58) meminjam teori psikologi dari Piaget yang menyatakan bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi sekaligus isi mengisi. Berdasarkan hal itu, Goldmann menganggap bahwa kecenderungan di atas merupakan perilaku alamiah manusia pada umumnya yang terjadi akibat proses asimilasi dan akomodasi. Di satu pihak manusia selalu berusaha mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam skema pikiran dan tindakannya. Di lain pihak, usahanya itu tidak selalu berhasil karena berhadapan dengan rintangan-rintangan. Berdasarkan pernyataan tersebut, manusia tidak selalu mengasimilasikan dirinya terhadap lingkungannya melainkan manusia tersebut mengakomodasikan dirinya ke dalam lingkungannya. Sehingga dari proses asimilasi dan akomodasi tersebut fakta kemanusiaan dapat memiliki arti sekaligus proses tersebut dapat dikatakan sebagai struktur genetik karya sastra.

2.3.2 Subjek Kolektif

Pada konsep ini ditekankan bahwa fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan hasil dari aktivitas manusia sebagai subjek.


(26)

Dalam konsep ini juga, Goldmann membedakan antara subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan ini dapat dilihat melalui perbedaan jenis fakta kemanusiaan. Subjek individual merupakan subjek fakta individual (libidinal) sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis).

Goldmann menentang anggapan Freud yang menekankan subjek sebagai subjek individual seperti pada masalah sosial, politik, agama, dan karya-karya kultural yang besar karena yang dapat menciptakan semua itu hanya subjek trans-individual.

Subjek kolektif atau subjek Trans individual dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial atau dapat dispesifikasikan sebagai kelas sosial.

2.3.3 Pandangan Dunia (world of view)

Dengan adanya fakta kemanusiaan dan subjek kolektif, Goldmann mengemukakan adanya homologi atau kesejajaran antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat. Namun, dalam prosesnya hubungan struktur karya sastra itu tidak langsung dihubungkan ke dalam struktur masyarakat melainkan hubungan tersebut dihubungkan melalui pandangan dunia.

Menurut Goldmann (Faruk, 2010:65), pandangan dunia adalah kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan , yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial lain.


(27)

Jadi, pandangan dunia dapat diartikan sebagai hasil interaksi antara subjek dengan situasi dan kondisi yang berada di sekitarnya.

2.3.4 Struktur Karya Sastra

Karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif sehingga karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Seperti yang diutarakan oleh Goldmann bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Selain itu, dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Dari ekspresi pandangan dunia dan relasi antara tokoh itu dapat menjadikan struktur karya sastra yang memiliki arti.

2.3.5 Dialektika Pemahaman-Penjelasan

Pada pembahasan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa karya sastra merupakan konsep struktur yang memiliki arti. Hal itu disebabkan karena sebagai struktur, karya sastra harus koheren selain itu karya sastra mempunyai arti karena karya sastra berkaitan dengan usaha manusia dalam memecahkan persoalan-persoalannya yang ada dalam kehidupan sosial yang nyata.

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang karya sastra tersebut, Goldmann mengembangkan sebuah metode yang disebut dengan metoda dialektik. Metoda


(28)

Dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “keseluruhan-bagian”, dan “pemahaman-penjelasan”.

Konsep “keseluruhan-bagian” mengemukakan bahwa keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dipahami tanpa keseluruhan. Konsep ini melihat pemahaman sebagai proses gerak yang melingkar secara terus menerus tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal atau ujungnya. Sementara itu, konsep “pemahaman-penjelasan” dapat didefinisikan sebagai usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari dan usaha menggabungkan struktur objek tersebut ke dalam struktur yang lebih besar.

2.3.6 Hidden God: Sebuah Terapan

Dalam bahasan ini, Goldmann memaparkan konsepnya mengenai pandangan dunia tragik yang merupakan pandangan dunia yang diekspresikan oleh tokoh karya tersebut. Selain itu juga Goldmann mengungkapakan adanya hubungan di antara pandangan dunia dengan kelompok sosial tertentu.

Pandangan dunia tragik mengandung tiga elemen, yaitu pandangan mengenai Tuhan, pandangan mengenai dunia dan pandangan mengenai manusia, yang satu sama lain saling berhubungan. Oleh karena, penelitian ini akan menganalisis tentang homologi pada karakter yang terdapat dalam karya sastra dan karakter yang ada dalam sebuah masyarakat maka konsep pandangan dunia akan digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut. Pandangan dunia yang akan digunakan yaitu pandangan dunia yang berlandaskan pada fakta kemanusiaan dan subjek kolektif yang menghasilkan suatu struktur karya sastra


(29)

yang memiliki arti, sehingga memerlukan konsep dialektika pemahaman dan penjelasan. Selain itu, konsep “sebuah terapan” akan digunakan untuk mengetahui pandangan dunia tragik berdasarkan pandangannya terhadap Tuhan dan pandangannya terhadap manusia.


(30)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini akan mendiskusikan tentang objek penelitian, sumber penelitian dan metode penelitian.

3.1 Objek Penelitian

Ada pun yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah novel terbesar di Amerika dan novel terpopuler karya Mark Twain dengan judul “The Adventures of Huckleberry Finn” yang dipublikasikan pada tahun 1885. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti proses strukturasi melalui karakter dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

3.2 Sumber Penelitian

Dalam menganalisis penelitian ini, diperlukan beberapa sumber untuk membahas masalah yang terdapat dalam penelitian tersebut. Ada pun sumber penelitian yang digunakan seperti latar belakang dan autobiografi pengarang serta karya-karya yang pernah dihasilkan oleh pengarang tersebut


(31)

3. 2. 1 Sinopsis

The Adventures of Huckleberry Finn merupakan sebuah buku karya Mark Twain yang bercerita tentang kenangan Twain selama masa kanak-kanak dan masa mudanya yang berada disekitar Hannibal, Missouri serta perjalanan yang menggembirakan selama menyusuri sungai Mississipi. Buku ini juga merupakan lanjutan dari buku yang berjudul The Adventures of Tom Sawyer.

Cerita Huckleberry Finn menggambarkan keadaan secara dramatis dan penuh dengan imajinasi. Ceritanya juga membahas tentang alam dan kondisi peradaban masyarakat di sekitar lembah Mississipi.

Dalam persembunyiannya dari seorang ayah yang pemabuk dan aturan yang diberikan Miss Watson, Huck Finn melarikan diri kepulau Jakson. Ketika itu, dia bertemu dengan Jim, seorang budak yang melarikan diri. Setelah itu, mereka bersama-sama merencanakan sebuah perjalanan untuk menyusuri sungai Mississipi. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan suatu kebebasan yang mereka inginkan.

3. 2. 2 Autobiografi1

Mark Twain (1835-1910) adalah seorang penulis dan pengarang dari Amerika. Dia dikenal dengan karya-karyanya yang selalu membahas tentang keadaan sosial di sekitarnya dan sebagai penghasil karya serial Huck Finn.

Mark Twain juga terlahir dengan nama Samuel Langhorne Clemens, lahir di Missouri pada bulan November 1835. Keluarganya tinggal di Hannibal, sebuah

1


(32)

kota kecil di daerah Mississipi pada saat Finn berusia 18 tahun. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1847, Clements meninggalkan sekolahnya dan beralih menjadi seseorang yang ahli dalam bidang percetakan, bekerja di Missouri. Pada tahun 1853, dia mengadakan perjalanannya dari daerah timur sampai barat daya. Setelah itu, pada tahun 1857 Clemens berubah haluan untuk menjadi seorang pilot setelah mengadakan perjalanannya di Mississipi dan setelah delapan bulan lamanya, dia berhasil menjadi seorang pilot yang professional, sebuah profesi yang sangat dia sukai daripada profesi-profesi sebelumnya. Dalam perjalanannya itu, Clemens banyak mendapatkan inspirasi untuk tulisannya, dia banyak bertemu dengan berbagai macam karakter yang kemudian dia tuangkan ke dalam karya fiksi, biografi maupun kedalam catatan sejarahnya. Buku pertamanya berjudul The Innocents Abroad berisikan tentang perjalanannya ketika di Eropa dan Holy lands. Buku itu terbit pada tahun 1869. Pada tahun 1870, Clemens menikahi Olivia Langdon dan menetap di Connecticut selama beberapa tahun dan selama tujuh belas tahun, Clemens berhasil menjadi seorang yang sukses dan menjadi penulis terkenal. Beberapa karyanya seperti Roughing it, The Adventures of Tom Sawyer, Life on the Mississipi dan karya terbesarnya yang berjudul The Adventures of Huckleberry Finn.

The Adventures of Huckleberry Finn (1885) ditulis sebagai lanjutan dari serial Tom Sawyer yang ditulis selama tujuh tahun. Buku itu telah banyak dikagumi sejak kemunculannya. Salah satu kritikus Amerika, Ernest Hemingway percaya bahwa semua karya sastra modern Amerika berasal dari buku karangan Mark Twain yang berjudul Huckleberry Finn.


(33)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memaparkan gambaran struktur dalam dunia imajiner pada karakter Finn dan untuk menjelaskan hubungan dunia imajiner dengan dunia realita yang terdapat pada sebuah karya sastra. Oleh Karena tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses sinkronisasi di antara dunia imajiner dengan dunia realita atau yang lebih diketahui sebagai proses strukturasi, penulis berpendapat bahwa metode yang paling tepat atau sesuai adalah dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ratna (2006:53), ”metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”.

Dengan demikian, tekanan penggunaan metode deskriptif analitik adalah untuk menentukan karakter yang terdapat dalam karya sastra tersebut agar mendapatkan pemahaman dan penjelasan yang akurat.

3. 3. 1 Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data mengenai struktur yang sedang diteliti yaitu struktur dalam dunia imajiner pada karakter Finn dan struktur dunia realita dari Twain, penulis menggunakan pengumpulan data.

Pengumpulan data dibuat oleh penulis dengan cara membaca novel yang berjudul “The Adventures of Huckleberry Finn” karya Mark Twain secara keseluruhan. Kemudian penulis mengidentifikasi data berdasarkan pada karakter dalam karya sastra maupun struktur dunia realita.


(34)

Setelah mendapatkan data tersebut, penulis akan mengklasifikasikan dan menganalisis data untuk mendapatkan pemahaman dan penjelasan yang lebih baik.

3. 3. 2 Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian diteliti benar atau tidaknya data tersebut setelah itu baru diklasifikasikan. Langkah berikutnya adalah mengolah data sehingga data tersebut dapat berbicara. Ada pun cara pengolahan data tersebut adalah sebagai berikut: mengidentifikasi data dalam novel Huckleberry Finn, mengklasifikasi kemudian menganalisis data-data tersebut melalui teori Goldmann mengenai strukturalisme genetik yang berdasarkan pada pandangan dunia (world of view). Setelah itu struktur yang kita butuhkan akan kita dapatkan. Kerangka dibawah ini akan memperjelas langkah-langkah dalam penelitian ini:

Bagan 2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Klasifikasi dan Analisis data

Strukturalisme Genetik Goldmann (pandangan dunia (world view))

Karakter Finn pada struktur dunia imajiner dan Twain pada struktur dunia realita Identifikasi data pada novel Huckleberry


(35)

24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, peneliti akan membahas hasil dan pembahasan terhadap data yang diperoleh. Pembahasan tentang karakter Huckleberry Finn (selanjutnya akan di panggil Finn) akan dibahas pada sub bab 4.1 yang akan diklasifikasikan menurut Motive, Habit and Patterns serta The Past. Sementara pembahasan mengenai homologi karakter di antara struktur dunia imajiner dengan struktur dunia nyata akan dibahas pada sub bab 4.2.

4.1 Analisis Karakter Huck Finn

Pada sub bab ini, penelitian akan digunakan untuk menganalisis karakter Huck Finn yang terdapat dalam novel The Adventures of Huckleberry Finn berdasarkan pada Motive, Habit and patterns serta the past.

4.1.1 Motive

Setiap karakter dalam sebuah cerita selalu memiliki motif. Motif yaitu suatu dorongan yang melatarbelakangi suatu tindakan. Seperti yang tergambar pada karakter Huck Finn; Huck Finn adalah seorang anak kecil dengan pemikiran yang ideal akan kebebasan layaknya orang dewasa. Hal ini disebabkan karena pengalaman


(36)

hidup yang terlalu berat yang telah dia rasakan dari perlakuan ayahnya yang kejam. Dengan keidealisan pemikirannya ini, Finn memiliki keinginan untuk masuk menjadi anggota suatu gerombolan yang dibentuk oleh Tom Sawyer. Gerombolan tersebut merupakan kumpulan anak-anak yang berasal dari keluarga terdidik tetapi menentang aturan yang mengekang kebebasan. Dengan berlatar belakang kebebasan sebagai motif, maka Finn kembali ke Widow Douglas.

But Tom Sawyer he hunted me up and said he was going to start a band of robbers, and I might join if I would go back to the widow and be respectable. So I went back (Twain, 1994:11)”.

Data di atas menjelaskan bahwa Finn memiliki suatu motif untuk dapat bergabung ke dalam gerombolan perampok yang dibentuk oleh Tom Sawyer. Oleh karena itu, Finn akan kembali terlebih dahulu kepada Miss Watson sebagai tindakannya. Hal itu disebabkan Finn ingin menjadi orang yang terhormat dengan mau menerima pelajaran yang akan diberikan oleh Miss Watson. Adapun tujuannya bergabung menjadi anggota gerombolan itu adalah untuk mencari kebebasan. Walaupun Finn tahu keinginannya masuk ke dalam gerombolan tersebut tidak akan mendapatkan nilai yang positif dari masyarakat, Finn tetap berkeinginan menjadi anggota gerombolan itu. Gerombolan ini tidak mendapatkan nilai positif disebabkan oleh perilaku bertentangan yang ditunjukan oleh gerombolan ini: kebiasaan merampas harta orang lain serta membunuhnya secara keji.

Berdasarkan analisis data tersebut, nilai positif dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara moral tidak pernah mutlak karena pasti ada nilai yang


(37)

bertentangan dengan orang lain. Hal itu tergambar ketika Finn menginginkan suatu perubahan dalam kehidupannya walaupun menurut Miss Watson perubahan yang akan dilakukan oleh Finn itu akan bertentangan dengan nilai moral yang dimiliki oleh Miss Watson.

… All I wanted was to go somewhere; all I wanted was a change, I warn‟t particular. She said it was wicked to say what I said; said she wouldn‟t say it for the whole world; she was going to live so as to go to the good place. Well, I couldn‟t see no advantage in going where she was going, so I made up my mind I wouldn‟t try for it. But I never said so, because it would only make trouble, and wouldn‟t do no good” (Twain, 1994:12)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Finn memiliki motif untuk mendapatkan suatu perubahan dalam dirinya. Perubahan itu akan dia lakukan supaya Finn dapat merasakan kebebasan untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya karena Finn sudah tidak tahan akan peraturan dari Miss Watson yang selalu membuat dirinya merasa terkekang. Berdasarkan motif tersebut maka Finn mempunyai anggapan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh Miss Watson tidak akan memberikan keuntungan bagi kehidupan Finn sehingga Finn memutuskan untuk tidak melakukan saran yang diberikan oleh Miss Watson. Akan tetapi, Finn tidak akan mengutarakan ketidaksetujuannya itu kepada Miss Watson.

Berdasarkan uraian tersebut, Finn mengetahui akan semua saran yang diberikan oleh Miss Watson sesuai dengan peraturan di masyarakat. Finn tidak ingin mendapatkan masalah dengan Miss Watson maka Finn berpura-pura untuk tidak mempertentangkan semua yang dikatakan oleh Miss Watson.


(38)

“She told me to pray every day, and whatever I asked for I would get it. But it warn‟t so. I tried it. Once I got a fish- line, but no hooks. It warn‟t any good to me without hooks. I tried for the hooks three or four times, but somehow I couldn‟t make it work. By-and-by, one day, I asked Miss Watson to try for me, but she said I was a fool. She never told me why, and I couldn‟t make it out no way” (Twain, 1994: 20).

Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa Finn memiliki motif untuk mendapatkan semua yang diinginkannya berdasarkan saran dari Miss Watson. Oleh karena itu, Finn mau melakukan tindakan seperti yang disarankan oleh Miss Watson, yakni berdoa. Sampai pada suatu hari, Finn mencoba berdoa tiga sampai empat kali untuk mendapatkan sebuah mata kail. Karena Finn merasa doanya tidak kunjung dikabulkan, ia meminta bantuan Miss Watson berdoa untuknya. Miss Watson menganggap permintaan Finn itu merupakan suatu kekonyolan. Hal itu disebabkan karena menurut Miss Watson permintaan atau doa seseorang terhadap Tuhan tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Finn tidak mengetahui hal tersebut sehingga merasa tidak yakin bahwa doa yang disarankan oleh Miss Watson akan dikabulkan.

Ketika Miss Watson menolak permintaannya, Finn menjadi ragu bahwa doa Miss Watson pun dapat terkabul. Finn kemudian berpendapat bahwa berdoa saja tidak akan membuatnya memiliki mata kail tersebut. Menurutnya, dia akan memperoleh mata kail yang diinginkannya jika dia mau berusaha. Disebabkan oleh


(39)

doanya tidak terkabul, Finn menjadi ragu akan keyakinannya terhadap Tuhan yang akan disembahnya.

I judged I could see that there was two Providences, and a poor chap would stand considerable show with the Widow‟s Providences, but if Miss Watson‟s got him there warn‟t no help for him any more. I thought it all out, and reckoned I would belong to the widow‟s, if he wanted me, though I couldn‟t make out how he was agoing to be any better off then than what he was before, seeing I was so ignorant and so kind of low-down and ornery ” (Twain, 1994: 20).

Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Finn menjadi motif yang muncul dalam data di atas. Pencariannya akan Tuhan tersebut disebabkan oleh kekecewaan Finn ketika doanya tidak dikabulkan oleh Tuhan yang disembah Miss Watson. Berdasarkan motif tersebut, Finn mengambil tindakan untuk memilih Tuhan yang disembah oleh Widow Douglas. Finn memilihnya karena berpendapat bahwa Tuhan Widow Douglas lebih memihak kepada orang-orang yang malang dan mungkin akan mengabulkan permohonannya.

Akan tetapi, tindakan Finn tersebut kemudian menimbulkan dua pemikiran yang berlainan dalam dirinya. Di satu sisi, Finn yakin akan keputusannya untuk mengikuti ajaran dari Tuhan Widow Douglas tetapi di sisi lain Finn masih memiliki ketidakpastian untuk mengikuti ajaran tersebut. Hal ini karena dia merasa kepribadiannya yang masih tolol, penuh dosa dan keras kepala belum tentu diterima oleh Tuhan Widow Douglas. Keraguannya akan keyakinan terhadap Tuhan yang akan dipilihnya membuat Finn takut.


(40)

It made me shiver. And I about made up my mind to pray; and see if I couldn‟t try to quit being the kind of boy I was, and be better. So I kneeled down. But the words wouldn‟t come. Why wouldn‟t they? It warn‟t no use to try and hide it from him” (Twain, 1994:207)

Finn merasa takut jika dia tidak bisa menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya. Rasa takut dalam data tersebut menjadi motif Finn untuk bertindak. Dia kemudian berlutut dan berdoa kepada Tuhan yang disembahnya.

Berdasarkan analisis data tersebut, pencarian Tuhan Finn berakhir pada pilihannya untuk menyembah dan meminta pertolongan dari Tuhan yang diyakini oleh Widow Douglas.

4.1.2 Habit and Patterns

Dalam kesehariannya, Finn memiliki kebiasaan yang tak lazim dilakukan anak kebanyakan. Finn memiliki kebiasaan untuk bermalas-malasan sepanjang hari.

The Widow Douglas, she took me for her son, and allowed she would civilize me; but it was rough living in the house all the time, considering how dismal regular and decent the widow was in all her ways; and so when I couldn‟t stand it no longer, I lit out. I got into my old rags and my sugar-hogshead again, and was free and satisfied… ”. (Twain, 1994:11)

Data di atas memperlihatkan betapa banyaknya aturan yang harus dipatuhi oleh Finn; berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Widow Douglas tentunya. Finn tidak lagi memiliki kebebasan untuk bermain-main seperti apa yang dia lakukan


(41)

sebelum diangkat anak. Begitu pun dengan cara berpakaiannya, Finn harus mengenakan pakaian sebagaimana orang yang dikategorikan sebagai orang yang beradab. Hal ini tentunya tidak lah menyenangkan bagi Finn yang terbiasa hidup bebas sesuai keinginannya.

Di waktu yang lalu, Finn dapat melakukan apapun yang diinginkannya tanpa ada aturan yang mengikatnya, termasuk kebiasaan merokok.

Pretty soon I wanted to smoke, and asked the widow to let me. But she wouldn‟t. She said it was a mean practice and wasn‟t clean, and I must try to not do it any more. That is just the way with some people. They get down on a thing when they don‟t know nothing about it. Here she was a-bothering about Moses, which was no kin to her, and no use to anybody, being gone, you see, yet finding a power of fault with me for doing a thing that had some good in it. And she took snuff too; of course; that was all right, because she done it herself” (Twain, 1994:12)

Dari data tersebut, Finn mengungkapkan kekesalannya karena tidak diijinkan untuk merokok, “They get down on a thing when they don‟t know nothing about it”. Orang-orang cenderung menghakimi tentang sesuatu yang mereka tidak ketahui sama sekali. Bahkan Finn mempertanyakan keyakinan Widow Douglas terhadap diri Finn. Baginya, Finn adalah seorang anak yang memiliki kebaikan dalam dirinya yang kerap kali terlihat membangkang dari aturan baku. Akan tetapi, Finn berpikir sebaliknya. Dia berpendapat bahwa apa yang dikatakan baik menurut Widow Douglas, itu tak lebih karena Widow Douglas melakukannya juga.


(42)

Di lain pihak, Miss Watson terus berupaya untuk menanamkan norma kesopanan dan disiplin terhadap diri Finn. Dia diajarkan untuk bersikap layaknya anak yang tahu sopan santun.

I couldn‟t stood it much longer. Then for an hour it was deadly dull, and I was fidgety, Miss Watson would say, „Don‟t put your feet up there, Huckleberry‟; and, don‟t scrunch up like that, Huckleberry set up straight‟; and pretty soon she would say, „Don‟t gap and stretch like that, Huckleberry why don‟t you try to behave?” (Twain, 1994:12)

Berdasarkan data di atas, sopan santun yang diajarkan adalah „Don‟t put your feet up there, Huckleberry‟; and, don‟t scrunch up like that, Huckleberry – set up straight‟. Akan tetapi, niat baik Miss Watson ditanggapi Finn dengan sikap negatif. Dia merasa kesal dan marah, ”I couldn‟t stood it much longer”. Respon Finn ini menimbulkan kemarahan Miss Watson, “why don‟t you try to behave?”

Perilaku pembangkangan Finn disebabkan oleh kebiasaannya yang sulit untuk ditinggalkan. Finn lebih memilih melanjutkan kebiasaanya itu meskipun berdampak pada penilaian orang terhadap dirinya sebagai seorang yang tidak beradab. Penilaian ketidakberadaban Finn diperburuk dengan kepercayaannya terhadap hal-hal yang berbau mistis.

I thought all this over for two or three days, and then I reckoned I would see if there was anything in it. I got an old tin lamp and an iron ring and went out in the woods and rubbed and rubbed till I sweat like an Injun, calculating to build a palace and sell it; but it warn‟t no use, none of the genies come. So then I judged that all that stuff was only just one of Tom Sawyer‟s lies. I reckoned he believed


(43)

in the A-rabs and the elephants, but as for me I think different. It had all the marks of a Sunday-school (Twain, 1994:23)

Pada awalnya, Finn percaya bahwa lampu tua dan cincin besi yang dimilikinya bertuah; “I got an old tin lamp and an iron ring and went out in the woods and rubbed and rubbed till I sweat like an Injun, calculating to build a palace and sell it”. Namun, setelah ia melakukan apa yang harus dia lakukan sebagai bentuk kepercayaannya,yakni menggosok kedua benda tersebut, ia mendapati dirinya berada dalam sebuah kebohongan. Tidak terjadi apa-apa. Kemudian, Finn mulai menyalahkan Tom Sawyer yang memberikan informasi mengenai hal tersebut; “So then I judged that all that stuff was only just one of Tom Sawyer‟s lies. I reckoned he believed in the A-rabs and the elephants, but as for me I think different. It had all the marks of a Sunday-school”.

Berdasarkan analisis data, dipahami bahwa Finn memiliki kebiasaan untuk mempercayai setiap perkataan yang keluar dari bibir Tom Sawyer. Pada awalnya, Finn mempercayai Tom karena asumsinya; yakni Tom mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah minggunya. Setelah kejadian itu, Finn merasa bahwa dirinya harus memperkaya ilmu yang dimilikinya supaya tidak lagi dibohongi. Dengan demikian, ia memutuskan untuk mengikuti pendidikan di sekolah.

Well, three or four months run along, and it was well into the winter, now. I had been to school most all the time, and could spell, and read, and write just a little, and could say the multiplication table up to six times seven is thirty-five, and I don‟t reckon I could


(44)

ever get any further than that if I was to live for ever. ” (Twain, 1994: 23)

Dari data tersebut, Finn berpikir untuk terus belajar sepanjang hidupnya. Dengan begitu, kebiasaan buruk Finn dapat diubah dengan sendirinya melalui pendidikan.

4.1.3 The Past

Setiap orang memiliki suatu peristiwa dalam kehidupannya. Peristiwa itu dapat terjadi pada saat lampau atau pun pada saat sekarang. Bagaimanapun, pribadi seseorang yang terbentuk sekarang akan selalu berhubungan dengan pribadinya pada masa lampau. Seperti yang tergambar dari diri Finn atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dirinya ketika bersama Tom Sawyer.

“You don‟t know about me, without you have read a book by the name of The Adventures of Tom sawyer, but that ain‟t no matter. That book was made by Mr. Mark Twain, and he told the truth. That is nothing”. (Twain, 1994:11)

Data di atas menggambarkan Huck Finn yang menjelaskan tentang dirinya sendiri. Dia mengatakan bahwa untuk mengenal dirinya, tidak perlu membaca terlebih dahulu tentang buku yang berjudul “The adventures of Tom Sawyer” yang di tulis oleh Mark Twain.

Selain itu, dia juga menekankan bahwa untuk mengenal dirinya, tidak harus mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam “The Adventures of Tom Sawyer


(45)

karena keberadaan masing-masing karya tersebut memiliki independensi tersendiri.

Kemudian pada kalimat “That book was made by Mr. Mark Twain , and he told the

truth. That is nothing”, secara tidak langsung Finn menjelaskan keberadaan Twain sebagai penulis dari kedua karya tersebut. Tidak hanya keluguan karakter Finn yang dimunculkan dalam cerita “The Adventures of Huckleberry Finn” tetapi persahabatan yang dilandasi kebebasan antara Huck Finn dan Jim “budak kulit hitam” juga diungkapkan. Finn yang mencintai kebebasan, tidak menyetujui adanya perbudakan yang terjadi di lingkungannya sehingga ia melanggar kebiasaan umum; yakni berteman dengan seorang budak dan mengabaikan diskriminasi ras. Bagi Finn Jim adalah seorang budak yang sangat pandai. Ia dapat menanggapi setiap cerita yang Finn sampaikan secara akurat.

I never see such a nigger. If he got a notion in his head once, there warn‟t no getting it out again. He was the most down on Solomon of any nigger I ever see. So I went to talking about other kings, and let Solomon slide. I told about Louis Sixteenth that got his head cut off in France long time ago; and about his little boy the dolphin, that would a been a king, but they took and shut him up in jail, and some say he died there ”(Twain, 1994: 83)

Data di atas menggambarkan pembicaraan antara Finn dan Jim. Begitu terkesannya Finn terhadap pengetahuan yang dimiliki Jim sebagai seorang budak kulit hitam. Berkenaan dengan diri Jim, Finn bercerita mengenai Raja Louis dan putra mahkotanya untuk memberitahukan sebuah peristiwa yang mungkin dapat menimpa diri Jim sebagai seorang budak. Finn menceritakan Raja Louis ke enam belas yang


(46)

dipenggal kepalanya di Perancis dan putra mahkota yang dipenjarakan sampai meninggal.

Raja Louis XVI. Raja Perancis, lahir pada tanggal 23 Agustus 1754 dan meninggal pada tanggal 21 Januari 17934. Ia memerintah pada tahun 1774 sampai 1792. Kekuasaannya dihentikan dan dia ditangkap pada saat Revolusi tanggal 10 Agustus 1792. Dia akhirnya dihukum pada 21 Januari 1793 dengan guillotine atau alat pemenggal kepala untuk dakwaan pengkhianatan. Pada saat itu, Raja Louis XVI diberi keyakinan oleh Benjamin Franklin, Sekretaris Luar Negeri untuk mendukung Revolusi Amerika dengan mengirimkan bantuan keuangan dan beberapa amunisi. Dukungan Raja Louis XVI itu menyebabkan kemarahan dari masyarakat sekitar yang berpikir bahwa Raja Louis XVI didukung oleh Franklin yang memperbolehkan perbudakan. Pada akhirnya masyarakat menyimbolkan bahwa Raja Louis XVI merupakan simbol tirani atau kekuasaan sewenang-wenang.

Berdasarkan penjelasan tentang Raja Louis XVI tersebut, secara tidak langsung Finn mengimajinasikan tentang keberadaan Raja Louis XVI yang ia dapatkan dari sebuah buku. Dia menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa raja seperti halnya Finn mau menceritakan suatu kondisi tentang keberadaan dirinya dan keluarganya yang pernah tinggal di Arkansas; Negara bagian yang mengijinkan adanya perbudakan.

4

Dikutip dari:http://id.wikipedia.org/wiki/Louis_XVI_dari_Perancis diakses tanggal 30 mei 2012


(47)

“…They all asked me questions, and I told them how pap and me and all the family was living on a little farm down at the bottom of Arkansas, and my sister Marry Ann run off and got married and never was heard of no more, and Bill went to hunt them and he warn‟t heard of no more….” (Twain, 1994:102)

Data tersebut menjelaskan Finn dan keluarganya pernah menempati tanah pertanian di Arkansas. Penjelasan itu terdapat pada kalimat “I told them how pap and me and all the family was living on a little farm down at the bottom of Arkansas,” Arkansas merupakan negara bagian yang hanya memiliki sungai dan tanah pertanian di sekitarnya. Lama kelamaan, tempat itu digunakan sebagai tempat untuk berbisnis sehingga praktek perbudakan menjadi lazim dilakukan untuk memperlancar bisnis yang dilakukan terutama mengerjakan pekerjaan kasar. Arkansas mengandalkan aliran sungai sebagai penyangga pusat perdagangan tetapi karena populasi penduduk dan perniagaan berkurang, akhirnya Arkansas hanya menjadi tempat yang paling dicari oleh pasangan-pasangan nikah muda. Praktek perbudakan pun hampir tidak ada.

Finn dan keluarganya yang pernah tinggal di Arkansas, dapat dikategorikan sebagai keluarga sederhana yang tinggal di sekitar masyarakat perkotaan kecil dengan lingkungan yang masih terlihat alami, jauh dari perbudakan. Sifat alami itu tidak hanya didapatkan dari lingkungan di sekitarnya saja melainkan dari diri Finn sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut, Finn digambarkan sebagai makhluk inferior yang mempunyai keinginan untuk lepas dari perbudakan dengan kegigihannya yang sangat keras dan Finn sendiri dapat digambarkan sebagai seseorang yang memiliki prinsip


(48)

untuk menyuarakan anti- rasisme. Agar prinsipnya itu dapat disuarakan dan diketahui oleh semua orang, Finn mencoba menuangkan prinsip tersebut ke dalam sebuah tulisan dalam bentuk buku.

“Tom‟s most well, now, and got his bullet around his neck on a watch- guard for a watch, and is always seeing what time it is, and so there ain‟t nothing more to write about, and Iam rotten glad of it, because if I‟d a knowed what a trouble it was to make a book I wouldn‟t a tackled it and ain‟t agoing to no more. But I reckon I got to light out for the territory ahead of the rest, because Aunt Sally she‟s going to adopt me and sivilize me, and I can‟t stand it. I been there before (Twain, 1994: 281)

Finn merasa senang karena dia sudah menyelesaikan pekerjaannya untuk

dapat membuat sebuah buku. Hal itu terungkap dalam pernyataan “and so there ain‟t

nothing more to write about, and Iam rotten glad of it”. Berdasarkan kalimat itu, Finn menggambarkan dirinya sebagai seorang penulis yang sedang gembira karena dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya untuk membuat sebuah buku. Meskipun menulis sebuah buku itu adalah pekerjaan yang sulit namun Finn tetap berusaha dan bersemangat untuk dapat menuangkan semua ide-idenya ke dalam sebuah coretan pena. Hal itu ia maksudkan supaya khalayak banyak dapat mengetahui dan mendengarkan harapan serta pemikiran yang dimiliki oleh Finn terhadap lingkungan sekitarnya.


(49)

4.2 Homologi karakter Finn dengan Twain

Dalam strukturalisme genetik, homologi disamakan dengan kualitas hubungan secara struktural. Dengan demikian, hubungan secara struktural berarti adanya kesamaan antara struktur yang terdapat pada karya sastra dengan struktur pada kehidupan nyata penulisnya. Seperti yang tergambar pada karakter Finn dalam novel “The Adventures of Huckleberry Finn” dengan karakter Twain sendiri sebagai penulisnya. Kedua karakter tersebut menjelaskan peristiwa yang sudah dialami oleh keduanya.

“You don‟t know about me, without you have read a book by the name of The Adventures of Tom sawyer, but that ain‟t no matter. That book was made by Mr. Mark Twain, and he told the truth. That is nothing”. (Twain, 1994:11)

Data tersebut menggambarkan bahwa apa yang Finn ketahui adalah apa yang Twain ketahui, “That book was made by Mr. Mark Twain, and he told the truth”. Selanjutnya, Finn menjelaskan bahwa petualangannya adalah suatu hal yang nyata.

“Our shared nightmare became for me an apt symbol for the great author‟s life. Most American remember Mark Twain as the father of Huck Finn idyllic cruise through eternal boyhood and Tom Sawyer endless summer of freedom and adventure ”(Grove, 1975:300)

Data di atas menjelaskan tentang keberadaan Mark Twain, seorang pengarang terbesar di Amerika. Semua warga Amerika mengenal Twain atas karya bukunya yang berjudul “The Adventures of Huckleberry Finn”. Melalui buku ini, Twain dikenal sebagai “ayah” dari seorang Huck Finn yang memiliki pemikiran idealis


(50)

selama masa kanak-kanaknya. Dari kedua uraian di atas menggambarkan adanya kesamaan pandangan terhadap Twain yang diungkapkan oleh karakter Finn dan Twain sendiri. Kesamaan itu terlihat dari keinginan keduanya untuk berada dalam sebuah perkumpulan.

But Tom Sawyer he hunted me up and said he was going to start a band of robbers, and I might join if I would go back to the widow and be respectable. So I went back (Twain, 1994:11)

Pada data tersebut, diperlihatkan bahwa Finn tahu keinginan untuk bergabung dengan kelompok pencopet akan bertentangan dengan aturan masyarakat pada umumnya namun Finn masih tetap memiliki pendirian yang kuat dengan tetap memiliki rasa tanggung jawab akan kewajiban yang harus dia jalankan dalam gerombolan tersebut. Pemikiran idealis itu tidak hanya dimiliki oleh Finn tetapi tergambar pula pada karakter Twain.

He was born Sam Clemens in Florida, Missouri, a community neither fully settled and urban nor actual frontier. Here the memory of pioneering days and mores was still living; those who had moved west could still freely express their dislike of traditional authority and order and a youth could live, as Mark Twain later recalled again and again, a full idyllic boyhood”(Harrison, 1956: 144)

Twain dengan nama asli Sam Clemens, lahir di sebuah kota Florida, Missouri. Ia tergabung ke dalam suatu komunitas penjaga kota; “as Mark Twain later recalled again and again, a full idyllic boyhood”. Pada masa kecilnya ini, Twain memperlihatkan kegigihannya dalam menentang kekuasaan yang berada di sekitar wilayahnya. Penentangan ini berawal dari adanya paham-paham yang berbeda


(51)

dengan pemikirannya; yakni adat istiadat yang kaku, “those who had moved west could still freely express their dislike of traditional authority and order and a youth could live.

Tidak hanya kesamaan pemikiran saja yang terdapat pada kedua karakter tersebut melainkan adanya kesamaan kehidupan yang dilalui oleh masing-masing karakter itu sepanjang mengarungi sungai.

“But when I got to shore pap wasn‟t in sight yet, and as I was running her into a little creek like a gully, all hung over with vines and willows, I struck another idea; I judged I‟d hide her good, and then, stead of taking to the woods when I run off, I‟d go down the river about fifty mile and camp in one place for good, and not have such a rough time tramping on foot” (Twain, 1994:38)

Finn mencoba menyusuri sebuah anak sungai yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan kecil seperti yang terdapat pada kalimat “I was running her into a little creek like a gully, all hung over with vines and willows”. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Finn mencoba melewati sungai itu dengan tujuan untuk melarikan diri dari ayahnya yang pemabuk dan berharap akan mendapatkan sebuah tempat yang nyaman untuk dapat bersembunyi dari perilaku keji ayahnya. Melalui sungai itu, Finn dapat merasakan adanya ketenangan dan kedamaian. Selain itu, dia juga dapat merasakan perubahan yang terjadi pada kehidupannya. Kondisi itu tidak hanya dirasakan oleh Finn tetapi Twain juga dapat merasakan kondisi yang terwujud melalui sebuah sungai seperti yang terdapat dalam cerita Huckleberry Finn.


(52)

It begins when I see tee branches stirring, as though slipping by, we‟re a drift!” I bolt upright, sensing the slate gray river gliding alongside, carrying our raft crazily down stream in the midnight gloom” (Grove, 1975:300)

Twain mencoba menjalankan sebuah rakit sambil menyusuri arus sungai yang terus mengalir. Di sekitar sungai itu, Twain melihat tumbuh-tumbuhan dengan dahan ranting yang kecil dan Twain juga merasakan tanah-tanah di sepanjang sungai tersebut. Twain terus menikmati perjalanannya dalam menyusuri arus sungai itu sehingga Twain teringat akan kehidupan yang telah dilaluinya mulai dari cerita perbudakan yang terjadi di sekitar sungai itu sampai menjadi tempat singgah untuk pusat perdagangan.

Dari uraian data di atas menjelaskan adanya kesamaan akan pengaruh dari keberadaan sebuah sungai yang berada dalam kehidupan Finn dan Twain. Melalui sungai itu, Finn atau pun Twain dapat merasakan suatu peradaban yang terjadi di sekitar sungai tersebut; Finn dapat merasakan kebebasan dari perlakuan ayahnya yang kejam dan Twain dapat mengetahui adanya perdagangan serta perbudakan yang terjadi di wilayahnya itu. Oleh karena Finn tidak menginginkan akan adanya perbudakan itu maka Finn melakukan aksi penolakan terhadap diskriminasi akan hak asasi manusia atau diskriminasi ras seperti yang terjadi pada orang kulit hitam. Penolakannya ini diwujudkan oleh data berikut ini:


(53)

Then we struck out, easy and comfortable, for the island where my raft was; and we could hear them yelling and barking at each other all up and down the bank, till we was so far away the sounds got dim and died out. And when we stepped on to the raft, I says:

„Now, old Jim, you‟re a free man again, and I bet you won‟t ever be a slave no more” (Twain, 1994:264)

Data uraian di atas menjelaskan Finn membawa lari seorang budak yang bernama Jim. Finn mencoba mencari sebuah tempat persembunyian yang dapat membuat nyaman bagi mereka berdua. Tindakan Finn membawa lari Jim itu menggambarkan bahwa dirinya tidak setuju akan perlakuan yang selalu diberikan kepada Jim. Sebagai seorang yang berkulit hitam, Jim selalu mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan seseorang yang berkulit putih dimana orang kulit hitam akan selalu menjadi seorang budak dari orang yang berkulit putih untuk dijual dan diperdagangkan. Namun pada saat itu, Jim dipertemukan dengan Finn seorang yang berkulit putih yang berasal dari kalangan marjinal. Walaupun Finn adalah seorang yang berkulit putih, Finn tidak memiliki pemikiran dan tindakan yang sama dengan kulit putih lainnya untuk memperlakukan orang kulit hitam sebagai budak. Oleh karena itu, Finn membawa Jim lari supaya Jim bisa bebas dan terlepas dari perbudakan. Penolakan Finn terhadap perbudakan tercermin pula dalam pribadi Twain.

I found another Twain as well. One who grew cynical, bitter, saddened by the profound personal tragedies life dealt him, a man who became obsessed with the frailties of human race, who saw clearly ahead a black wall of night” (Grove, 1975:300)


(54)

Kutipan tersebut menggambarkan adanya kesedihan dan kepahitan yang terjadi dalam kehidupan pribadi Twain. Twain menyaksikan sendiri adanya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada kulit hitam. Orang kulit hitam ditangkap dan dipaksa untuk dipekerjakan sebagai budak. Perbudakan yang berada di negerinya terus berkembang dan tumbuh secara alami. Selain itu, perbudakan juga memberlakukan hukuman lecut yang merupakan hal lazim bagi budak yang memiliki kesalahan. Kekejaman itu juga terwujud melalui penjualan anak-anak yang terpisah dari orang tuanya dan para suami yang terpisah dari istrinya untuk di pekerjakan dan diperlakukan secara keji. Berdasarkan peristiwa tersebut, Twain merasakan kesedihan akan ketidakadilan yang diterima oleh orang kulit hitam.

Penjelasan di atas menggambarkan tentang kesamaan pandangan dan rasa empati yang dimiliki oleh Finn dan Twain melalui rasa ibanya akan adanya sistem perbudakan dan ketidakadilan yang dilakukan pada orang yang berkulit hitam. Perasaan yang sama juga dimiliki Finn dan Twain ketika memandang tentang perbuatan yang tidak manusiawi dari lelaki dewasa yang seharusnya melindungi seorang anak.

That pleased the old man till he couldn‟t rest. He said he‟d cowhide me till I was black and blue if I didn‟t raise some money for him. I borrowed three dollars from Judge Thatcher, and pap took it and got


(55)

Saat itu Finn bertemu dengan ayahnya kemudian ayahnya berkata bahwa dia akan mengurung Finn jika Finn tidak memberikan uang kepadanya. Oleh karena itu, Finn mengambil uang yang ia titipkan pada hakim Thatcher kemudian uang itu dia serahkan kepada ayahnya. Setelah uang itu didapatkan, ayahnya segera membelikan uang itu untuk sebotol wisky dan akhirnya dia mabuk. Pernyataan Finn tentang ayahnya yang pemabuk itu dipertegas kembali dengan pernyataan Twain dalam majalah yang berjudul “National Geographic”. Dalam buku itu, Twain mengungkapkan bahwa:

“Those who return to Huck Finn in later years are surprised to find it filled with rascals, drunkards, flimflam men, feuding families, a chronicle of man‟s inhumanities to man a far deeper and more meaningful tale than their youth had perceived” (Grove, 1975:303)

Pembaca petualangan Huckleberry Finn akan menemukan cerita yang bertemakan rasisme, cerita tentang pemabuk dan serangkaian cerita tidak manusiawi yang terjadi pada seorang remaja. Dari penjelasan tersebut, secara tidak langsung Twain menggambarkan adanya karakter pemabuk dari sang ayah yang selalu memperlakukan manusia yang lain secara tidak manusiawi dan selalu memperlakukan manusia dengan keji hanya untuk mendapatkan sebotol wisky. Oleh karena itu, kedua uraian di atas menjelaskan akan adanya kesamaan pandangan dari diri Finn dan Twain terhadap lelaki dewasa yang tidak bertanggung jawab. Selain adanya ketidaksenangan Finn dan Twain akan keberadaan laki-laki dewasa yang


(56)

tidak bertanggung jawab, kedua karakter itu juga merasakan keraguan akan keyakinan yang dianutnya.

“I judged I could see that there was two Providences, and a poor chap would stand considerable show with the Widow‟s Providences, but if Miss Watson‟s got him there warn‟t no help for him any more. I thought it all out, and reckoned I would belong to the widow‟s, if he wanted me, though I couldn‟t make out how he was agoing to be any better off then than what he was before, seeing I was so ignorant and so kind of low-down and ornery ” (Twain, 1994: 20).

Data tersebut menjelaskan bahwa Finn masih merasa bingung untuk menentukan suatu keyakinan yang akan diyakininya. Menurutnya, ada dua keyakinan dalam suatu kehidupan yang dilaluinya yaitu keyakinan atas Tuhan yang disembah Widow Douglas dan keyakinan akan Tuhan yang disembah oleh Miss Watson. Oleh karena aturan-aturan yang diajarkan Widow Douglas dapat diterima oleh Finn maka Finn memutuskan untuk meyakini Tuhan yang disembah oleh Widow Douglas itu. Meskipun Finn sendiri tidak merasa yakin jika dirinya dapat diterima oleh Tuhan yang disembah Widow Douglas karena dia masih merasa belum cukup menjadi orang yang baik. Pernyataan Finn akan keraguannya atas keyakinan yang akan dipilih dalam hidupnya tergambar pula dalam pribadi Twain.

“My teaching and training enabled me to see deeper into these tragedies than an ignorant person could have done. I knew what they were for. I tried to disguise it from myself, but down in the secret deeps of my troubled heart I knew-and I knew I knew. They were inventions of Providence to beguile me to a better life. It sounds curiously innocent and conceited now, but to me there was nothing strange about it; it was quite in accordance with the thoughtful and judicious ways as I understood them. It would not have surprised me, nor even over flattered me, if Providence had killed off that whole community in trying to save an asset like me. Educated as I had


(57)

been, it would have seemed just the thing, and well worth the expense. Why Providence should take such an anxious interest in such a property” (Rascue, 1932: 425)

Berdasarkan kutipan di atas, Twain tidak dapat menyembunyikan keyakinan yang dianutnya. Oleh karena itu, Twain menyadari bahwa dirinya telah menemukan suatu keyakinan yang akan diyakininya. Selain itu, Twain juga yakin bahwa keyakinan yang telah dipilihnya itu dapat membuat dirinya menjadi lebih baik dan diterima oleh akal sehatnya walaupun dia sendiri masih merasa bingung karena Tuhan yang dia pilih selalu memihak kepada orang-orang yang selalu berada dalam kemiskinan.

Dari penjelasan tersebut, menggambarkan adanya kesamaan akan pandangan Twain dan Finn terhadap suatu keyakinan yang mereka pilih. Oleh karena Tuhan yang mereka sembah selalu berada di pihak orang yang malang dan orang-orang yang berada dalam kemiskinan. Selain kesamaan akan suatu keyakinan, Twain dan Finn juga dapat merasakan suatu keadaan tempat yang dapat membuat mereka nyaman.

“Jim, this is nice, I say, „I wouldn‟t want to be no- where else but here. Pass me along another hunk of fish and some hot corn-bread” (Twain, 1994: 55)

Finn merasa senang akan keberadaan dirinya di tepi sungai Mississipi dan dia tidak ingin berpindah tempat lagi. Di tempat itu, Finn dapat merasakan kenikmatan memakan makanan yang disukainya seperti sepotong ikan panggang dan sebuah roti


(58)

jagung yang dapat dimakan ketika masih panas. Keberadaan akan suasana tepi sungai tidak hanya dapat dirasakan oleh Finn melainkan Twain juga.

“The geographic core, in Twain‟s early years, was the great valley of the Missisipi River, main artery of transportation in the young nation‟s heart. Keelboats, Flatboat and large rafts carried the first major commerce. Lumber, corn, tobacco, wheat and furs moved downstream to the delta country” (Grove, 1975:304)

Data ini menjelaskan bahwa tempat yang menjadi tempat kediaman Twain juga dapat menghasilkan tumbuhan seperti jagung, tembakau, dan gandum. Hal itu disebabkan tempat kediaman Twain memiliki letak geografis yang subur untuk ditanami tumbuhan itu.

Dari kedua penjelasan di atas, menyatakan bahwa adanya pandangan yang sama atas letak geografis yang dirasakan oleh Finn dan Twain. Melalui letak geografis itu, Finn dan Twain dapat mengingat kembali kenangan ketika kedua karakter tersebut menempati sebuah lahan pertanian yang di sekitarnya terdapat tumbuhan-tumbuhan yang dapat mereka gunakan untuk keperluan hidup mereka seperti jagung, tembakau, gandum, dll.


(59)

48 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab yang terakhir ini, penulis akan mengemukakan hasil yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan. Pembahasan dalam bab ini akan menjelaskan simpulan dan saran tentang hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Penemuan karakter berdasarkan pada teori karakter milik Card dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis karakter Finn yang terdapat dalam novel The Adventures of Huckleberry Finn. Selain itu, teori Lucien Goldmann tentang Strukturalisme Genetik juga dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis hubungan karakter yang ada dalam struktur dunia imajiner dengan struktur dunia realita. Pada dasarnya, hubungan karakter dalam dunia imajiner dengan karakter dalam dunia nyata mengacu pada suatu indikator; pandangan dunia. Selain itu, karakter juga dapat dilihat melalui motive, habits and patterns juga the past. Berdasarkan motivenya, Finn memiliki nilai moral yang saling bertentangan dalam kehidupannya yaitu nilai kebaikan untuk selalu mentaati dan menjalankan semua kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya dan nilai buruk untuk mengikuti pendiriannya walaupun secara moral tindakan tersebut bertentangan dengan aturan pada umumnya. Berdasarkan habits and patterns, Finn selalu melakukan kebiasaan yang selalu disenanginya walaupun kebiasaannya itu tidak umum dilakukan oleh banyak orang. Secara the past, Finn menceritakan keberadaan


(1)

jagung yang dapat dimakan ketika masih panas. Keberadaan akan suasana tepi sungai tidak hanya dapat dirasakan oleh Finn melainkan Twain juga.

“The geographic core, in Twain‟s early years, was the great valley of the Missisipi River, main artery of transportation in the young nation‟s heart. Keelboats, Flatboat and large rafts carried the first major commerce. Lumber, corn, tobacco, wheat and furs moved downstream to the delta country” (Grove, 1975:304)

Data ini menjelaskan bahwa tempat yang menjadi tempat kediaman Twain juga dapat menghasilkan tumbuhan seperti jagung, tembakau, dan gandum. Hal itu disebabkan tempat kediaman Twain memiliki letak geografis yang subur untuk ditanami tumbuhan itu.

Dari kedua penjelasan di atas, menyatakan bahwa adanya pandangan yang sama atas letak geografis yang dirasakan oleh Finn dan Twain. Melalui letak geografis itu, Finn dan Twain dapat mengingat kembali kenangan ketika kedua karakter tersebut menempati sebuah lahan pertanian yang di sekitarnya terdapat tumbuhan-tumbuhan yang dapat mereka gunakan untuk keperluan hidup mereka seperti jagung, tembakau, gandum, dll.


(2)

48 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab yang terakhir ini, penulis akan mengemukakan hasil yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan. Pembahasan dalam bab ini akan menjelaskan simpulan dan saran tentang hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Penemuan karakter berdasarkan pada teori karakter milik Card dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis karakter Finn yang terdapat dalam novel The Adventures of Huckleberry Finn. Selain itu, teori Lucien Goldmann tentang Strukturalisme Genetik juga dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis hubungan karakter yang ada dalam struktur dunia imajiner dengan struktur dunia realita. Pada dasarnya, hubungan karakter dalam dunia imajiner dengan karakter dalam dunia nyata mengacu pada suatu indikator; pandangan dunia. Selain itu, karakter juga dapat dilihat melalui motive, habits and patterns juga the past. Berdasarkan motivenya, Finn memiliki nilai moral yang saling bertentangan dalam kehidupannya yaitu nilai kebaikan untuk selalu mentaati dan menjalankan semua kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya dan nilai buruk untuk mengikuti pendiriannya walaupun secara moral tindakan tersebut bertentangan dengan aturan pada umumnya. Berdasarkan habits and patterns, Finn selalu melakukan kebiasaan yang selalu disenanginya walaupun kebiasaannya itu tidak umum dilakukan oleh banyak orang. Secara the past, Finn menceritakan keberadaan


(3)

dirinya ketika sedang melalui kejadian atau pun peristiwa yang dia lalui bersama sahabatnya. Analisis ini juga menunjukan bahwa homologi melalui pandangan dunia dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara keberadaan karakter yang ada dalam dunia imajiner dengan keberadaan karakter yang ada dalam dunia nyata. Dalam hal ini, keberadaan yang tergambar pada karakter Finn dalam karya fiksi dengan karakter Twain dalam dunia realita memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut adalah pandangan pemikiran idealis dari Finn untuk mendapatkan kebebasan dan Twain untuk menjaga keutuhan wilayah disekitarnya serta kesamaan latar tempat dan kondisi yang dilalui oleh kedua karakter tersebut.

5.2 SARAN

Pada dasarnya, penelitian ini menganalisis tentang keberadaan karakter dalam dunia imajiner melalui tiga cara yaitu motive, habits and patterns, dan the past. Selain itu, penelitian ini juga mengidentifikasi kesamaan struktur pada karakter yang ada dalam dunia imajiner dengan karakter yang ada dalam dunia realita. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya, penulis menyarankan adanya penelitian untuk menganalisis karakter selain dari ketiga cara tersebut seperti What he does, Reputation, Stereotypes, Network, Talents and Abilities, Tastes and Preferences, serta Body. Berikutnya, penulis juga menyarankan agar pendekatan sosiologi sastra dapat digunakan secara luas tidak hanya terfokus pada penelitian tentang keberadaan seseorang dalam struktur masyarakat. Sementara itu, untuk penggunaan teori


(4)

50

strukturalisme genetik, penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan teori ini secara detail tidak hanya terbatas pada pandangan dunia melainkan dapat menggunakan keenam konsep dasar dari strukturalisme genetik Goldmann.


(5)

Jovanovich College.

Allit, Patrick. 1983. Founders of America. England: Wayland Publishers Ltd.

Cady, Edwin Harrison, et al. 1956. The Growth of American Literature. Volume Two. New York: American Book Company.

Card, Orson Scott. 1988. Characters and Viewpoint. America: Writer’s Digest Books.

Eagleton. Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Yogyakarta: Sumbu Yogyakarta. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post

Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Grove, Noel. 1975. “National Geographic”. Mark Twain Mirror of America,

September 1975. Connecticut: National Geographic Society. 300- 306. http://id.wikipedia.org/wiki/Louis_XVI_dari_Perancis

Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kutha Ratna. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rascue, Burton. 1932. Titans of Literature from Homer to the Present. New York city: Blue Ribbon Books, INC.

Semi, Attar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Sowell, Thomas. 1989. Mosaik Amerika Sejarah Etnis Sebuah Bangsa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Twain, Mark. 1994. The Adventures of Huckleberry Finn. Great Britain: Penguin Popular Classics.


(6)

Utami, Ayu,dkk. 1994. Michael Pearson Tempat – Tempat Imajiner Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.