Bahasa (Melayu) Indonesia, Bahasa Persatuan

Bahasa (Melayu) Indonesia, Bahasa Persatuan
83 tahun lalu, di Jalan Kramat 106 Jakarta, telah terjadi peristiwa Sumpah Pemuda. Sebuah
momen sarat makna bagi persatuan Indonesia. Dan untuk mengenang kejadian tersebut, pada
kesempatan kali ini penulis akan mengangkat satu pokok yang cukup penting, yakni
terbentuknya Bahasa Indonesia. Nama Bahasa Indonesia itu sendiri secara resmi disampaikan
pada acara Kongres Pemuda II, atau yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda. Dari tiga pokok
isi sumpah tersebut, yakni berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, penentuan
bahasa persatuan-lah yang paling sulit.
Namun akhirnya diputuskanlah Bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di Kepulauan
Nusantara, sebagai bahasa persatuan Indonesia. Mohammad Yamin, sang pencetus utama
digunakannya Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dalam pidatonya mengungkapkan :
“Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya,
hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu Bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, Bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan.” Ada kejadian yang sangat menarik dan cukup mengharukan
dalam pengambilan keputusan itu. Yakni sikap kedewasaan dan tenggang rasa yang ditunjukkan
oleh anggota perkumpulan Jong Java. Mereka — yang mayoritasnya menggunakan Bahasa Jawa
dalam percakapan sehari-hari — tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan Bahasa Jawa
sebagai bahasa persatuan. Padahal jika mengacu kepada hasil Volkstelling (Sensus Penduduk)
tahun 1930, etnis Jawa berjumlah sekitar 47% dari seluruh penduduk Indonesia. Jauh di atas
pengguna Bahasa Melayu, yang tak lebih dari 25% penduduk Indonesia.

Ada beberapa alasan mengapa akhirnya Mohammad Yamin dan kawan-kawan memilih
Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia. Yang pertama dan paling utama adalah
luasnya penggunaan bahasa ini. Sejak abad ke-7 Masehi, Bahasa Melayu telah menjadi bahasa
pengantar perdagangan di seluruh Nusantara, bahkan hingga mencapai Sri Lanka dan
Madagaskar. Sedangkan Bahasa Jawa, saat itu hanya terbatas dipergunakan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, serta daerah perkebunan Sumatera Timur. Kedua, kesusastraan Melayu jauh lebih
berkembang dan memiliki sejarah yang cukup mengakar di banyak penduduk Nusantara. Ketiga,
Bahasa Melayu telah dipergunakan sebagai bahasa keilmuan sejak abad pertengahan. Dan yang
keempat, bahasa ini tidak bertingkat-tingkat, sehingga mudah untuk dipelajari dan praktis untuk
dipergunakan. Bahasa Melayu tidak seperti halnya Bahasa Jawa yang berkasta-kasta; ada yang
halus (kromo) dan ada yang kasar (ngoko).
Asal-mula Bahasa Melayu dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Hingga saat ini belum ada seorang peneliti-pun yang bisa memastikan kapan dan dimana
munculnya Bahasa Melayu. Mereka hanya bisa memastikan, bahwa pada abad ke-7 bahasa ini
telah digunakan di pedalaman Sumatera. Hal ini berdasarkan pada Prasasti Kedukan Bukit yang
ditemukan di sekitar daerah Palembang, Sumatera Selatan. Selain di Palembang, prasasti
berbahasa Melayu juga banyak ditemukan di wilayah aliran Sungai Batanghari, Batang Kampar,
dan Batang Kuantan. Luasnya penggunaan Bahasa Melayu di Sumatra pada masa itu,
mengindikasikan bahwa bahasa ini berasal dari pulau tersebut. Adalah Kerajaan Sriwijaya yang
berkuasa sejak abad ke-7 hingga ke-13 yang menyebarkan Bahasa Melayu ke seantero


Nusantara. Melalui kerajaan-kerajaan vassal-nya, Sriwijaya memaksakan penggunaan Bahasa
Melayu dalam dunia perdagangan. Jadilah Bahasa Melayu sebagai lingua franca di Kepulauan
Nusantara, menggantikan Bahasa Sanskerta.
Penemuan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah pada abad ke-14, mengkonfirmasi
penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa hukum negara. Menurut perhitungan para ahli,
naskah tertua peradaban Melayu ini ditulis pada masa kejayaan Kerajaan Pagaruyung. Pada
periode Kesultanan Malaka di abad ke-15, Bahasa Melayu mulai dipergunakan sebagai
pengantar ilmu pengetahuan. Buku-buku karya ilmuwan Arab dan Persia, banyak yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Serangan Portugis pada tahun 1511, menjadi awal
masuknya bahasa-bahasa Eropa, terutama Portugis dan Inggris, ke dalam kosa kata Melayu.
Namun diantara keduanya (Melayu dan Eropa), terjalin hubungan resiprokal yang saling
mempengaruhi. Pada masa itu, kosa kata Melayu-pun banyak yang diserap ke dalam bahasabahasa Eropa. Walau jumlah yang diserap bahasa-bahasa Eropa tidaklah sebanyak yang diambil
oleh bangsa Melayu dari bahasa mereka.
Setelah Malaka jatuh ke tangan bangsa asing, estafet peradaban Melayu diambil alih oleh
Kesultanan Aceh. Pada masa ini, untuk pertama kalinya berkembang kesusastraan Melayu.
Beberapa karya sastrawan besar yang dilahirkan pada masa Kesultanan Aceh antara lain Taj alSalatin oleh Bukhari al-Jauhari, Bustan al-Salatin oleh Nuruddin al-Raniri, Hikayat Aceh oleh
Syamsuddin Pasai, serta Syair Dagang oleh Hamzah al-Fansuri. Bangsa Aceh membina
perkembangan Bahasa Melayu sampai abad ke-19, hingga akhirnya peran ini dimainkan oleh
para sastrawan Kepulauan Riau. Adalah Raja Ali Haji, seorang sastrawan Riau-Lingga keturunan

Bugis, yang banyak menulis karya-karya sastra. Dan diantara yang paling terkenal adalah
Gurindam Dua Belas. Pada tahun 1858, dia menyusun secara sistematis kamus monolingual
Bahasa Melayu. Dari buku inilah kemudian, pemerintah kolonial Belanda dan Inggris menyerap
konsep tata bahasa Melayu baku, yang kemudian dikenal dengan Bahasa Melayu Tinggi. Konsep
baru ini, sekaligus mengesampingkan Bahasa Melayu Pasar yang banyak dipakai masyarakat
Kepulauan Nusantara.
Pada tahun 1896, Charles van Ophuijsen bersama dua ahli bahasa asal Minangkabau,
Nawawi Sutan Makmur dan Muhammad Taib Sutan Ibrahim menyusun ejaan baru yang kelak
berlaku luas di kalangan warga Indonesia. Sedangkan di Malaysia, berlaku ejaan baru yang
disusun oleh Wilkinson. Keduanya terpisah dari embrio semula : Bahasa Melayu Tinggi yang
telah distandardisasi oleh para sastrawan Riau-Lingga. Pada awal abad ke-20, kaum
Minangkabau mengambil alih pembinaan Bahasa Melayu. Di kalangan masyarakat Minang,
Bahasa Melayu bukanlah suatu kebiasaan yang baru. Meski berbicara dalam bahasa yang
berbeda, namun para intelektual Minang sudah sejak dulu menulis dengan cara Melayu.
Kemunculan sastrawan Minang — yang kemudian diikuti oleh para jurnalis Minang, semakin
memperderas Minangisasi ke dalam tubuh Bahasa Melayu. Mereka banyak mengisi
perbendaharaan kata, sintaksis, dan morfologi Bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa
persatuan Indonesia. Sejak permulaan abad lalu, mungkin telah ratusan kata Minangkabau yang
diserap dan dibakukan menjadi Bahasa Melayu Tinggi (kemudian Bahasa Indonesia baku).
Intervensi pemerintah melalui pembentukan Commissie voor de Volkslectuur (kelak menjadi

Balai Pustaka) pada tahun 1908, menjadi sarana bagi mereka untuk mewarnai kesusastraan
Indonesia awal. Melalui komisi tersebut, para penulis Minang banyak mencetak roman, novel,
serta buku-buku cerita, yang sebagian besar berlatarkan Minangkabau. Jadilah Minangkabau
menjadi kiblat sastra Indonesia selama paruh pertama abad ke-20.

Selain masyarakat Minangkabau, kaum peranakan Tionghoa juga memainkan peranan yang
tak dapat diabaikan. Diantara sastrawan Tionghoa yang paling terkenal adalah : Njoo Cheong
Seng, seorang penulis novel, cerita pendek, dan sutradara; serta Kwee Tek Hoay, penulis novel
dan drama. Namun besarnya pengaruh Minangkabau ke dalam pembentukan sastra Indonesia
awal, telah menenggelamkan karya-karya Tionghoa yang banyak ditulis dalam Bahasa Melayu
Pasar. Di samping itu, tindakan represif Balai Pustaka yang hanya menerima karya-karya sastra
Melayu Tinggi, juga mengancam kelangsungan perkembangan Sastra Jawa dan Sunda. Meski
kedua etnis tersebut tergolong ke dalam masyarakat yang aktif menulis, namun hingga saat ini
perkembangan Sastra Jawa dan Sunda boleh dibilang jalan di tempat, jika tidak bisa dikatakan
terjadi kemunduran.
Walau sastra lokal mereka telah jauh tertinggal, namun dewasa ini peran para sastrawan
Jawa — termasuk Sunda di dalamnya, pelan-pelan mulai menyalip eksistensi kaum
Minangkabau. Mereka mencoba mengisi perbendaharaan kosa kata Bahasa Indonesia, dengan
ciri khas bahasa ibu mereka. Kata-kata seperti : gembleng, lakon, sarapan, jewer, dan
ngabuburit, kini telah menjadi bagian dari Bahasa Indonesia yang baku. Pramoedya Ananta Toer

(lahir di Blora pada tahun 1925), W.S Rendra (lahir di Solo, 1935), dan N.H Dini (lahir di
Semarang, 1936), merupakan tiga dari sekian banyak sastrawan Jawa yang terkemuka. Agaknya
Bahasa Indonesia kita haruslah bersifat lentur. Memberikan kesempatan kepada semua bahasabahasa daerah di Nusantara untuk diserap dan dimasukkan ke dalam bahasa nasional. Agar kita
bisa mengejar ketertinggalan jumlah kosa kata, dibanding dengan bahasa-bahasa internasional
lainnya.