Bahan ppt edisi

Pemilik Usaha/redaktur:

Alamsyah Cahayusuf
Alamat:Jl. Palmerah Selatan
No. 22 Jakarta Pusat, 10270
NPWP:71.302.653.2-077.000

Infokontak:
HP: 0812 1238 2169
Email:kabarsenayan@yahoo.com

Kontributor Daerah:
1. Ansarullah, Wilayah Sulawesi Selatan
2. Nurlaili Ramdhani, Wilayah Nusa Tenggara,
3. H. Ahmad S, Wilayah Kalimantan

Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan
Potensi Masyarakat
Akta Notaris: No. 33/13 Pebruari 2008
SKT No: 220/93/IV/KESBANG/2008
NPWP No: 02.872.333.6-808.000

Catatan: Isi Majallah ini adalah otentifikasi dari media online
kabarsenayan.com, kontributor serta sumber terpercaya lainnya.

TEORI DAN PRAKTEK PERMODELAN BIO-EKONOMI DALAM
PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP
Oleh: Prof. Dr. Mangara Tambunan
Saya mengucapkan Selamat kepada Saudari DR. Nimmi Zulbainarni yang telah
menerbitkan buku Teori dan Praktik dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap edisi
Revisi diterbitkan oleh IPB Press pada tahun 2012.
Buku ini terdiri dari 9 chapter yang pada dasarnya berisikan Pemodelan Bio
Ekonomi Perikanan, Kebijakan Perikanan dan Implementasi Model Bio Ekonomi
yang tadinya dikembangan dari single species (dari Master Thesis) kemudian
dikembangkan menjadi Multi Species pada Disertasi PhD. Buku ini pada dasarnya
adalah pengembangan Thesis dan Disertasi Saudara DR. Nimmi Zulbainarni. Pada
dasarnya buku ini sangat berguna bagi akademisi dan juga pada pengambil
kebijakan Ekonomi Perikanan. Permasa-lahan Perikanan yang utama adalah adanya
masalah overfishing yang bersifat tidak sustainable di
Perairan Laut Indonesia akibatnya sangat mungkin
sudah melebihi Maximum Sustainable Yield (MSY)
sehingga mendorong Penulis mencoba memahami

permasalahan perikanan Indonesia apakah sudah
overfishing secara bio-logi atau masih under
exploitation (hal 4-6). Ti-dak berhenti pada uji empiris
juga mempelajari implikasi kebijakan eksploitasi
perikanan di Indonesia.
Di dalam masyarakat Perikanan banyak laporan yang
mengatakan bahwa kondisi Perairan Indo-nesia telah
habis dikuras oleh nelayan asing dan juga nelayan
dalam negeri sehingga kemung-kinan besar bahwa
memang Perairan Indonesia telah mengalami
overfishing. Apa yang dilaku-kan oleh Pemerintah
selama ini adalah mem-batasi jumlah perijinan dan
jumlah dan lokasi kapal dst, tetapi kita tidak
mengetahui secara persis apakah perairan Indonesia
sudah under-fishing atau over exploitation.
Dalam hal ini kita tidak mengetahui sebenarnya titik
MSY didalam Kurva Yield Effort dan isi buku ini
adalah sebuah exercise Bio Modelling yang telah
dikembangkan dan diterapkan di Indonesia.
Ada 2 jenis model yang dipakai:1.Model Statis dan

2.Model Dinamis ini dengan mengin-troduksi dimensi
Waktu (T) pada Model yang diuraikan di hal 30-33.
Buku ini mengembangkan Model Logistik Dinamis
pada Kurva Logistik Ikan Tangkap dengan menggunakan prinsip Maksimisasi man-faat dan eksploitasi
sumber daya Perikanan menurut satuan waktu.
Model Bio Ekonomi Species terbagi menjadi 2:
Tunggal dan Multi Species. Model Single Species
umumnya berorientasi pada satu jenis ikan (stok) saja
sehingga hasil model bisa bersifat bias terhadap ikan
jenis lain. Kelemahan utama yaitu kurang realistisnya -

Model Tunggal karena kondisi Single Species yang
mewakili Sektor Perikanan keseluruhan. Kelemahan
lain adalah sukarnya kita memberikan saran rencana
penangkapan jangka panjang tentang sumber daya
Perikanan. Mengingat kelemahan ini maka dibangun
Model Multi Species untuk menjawab masalah ini dan
model ini lebih realistis karena memasukkan faktor
jenis ikan yang lebih banyak. Sedangkan salah satu
kelemahan model Multi Species adanya kemungkinan

hubungan predator sesama ikan. Walaupun demikian
mo-del Multi Species jauh lebih realistis sehingga kita
dapat lebih memperoleh hasil titik optimum (EkonomiBiologi) atas penangkapan atau pe-nangkapan masih di
titik dibawah MSY dan su-dah barang tentu hasil
estimasi lebih dipercayai.
Dalam buku ini terlihat hasilnya menunjukkan bahwa
dengan menggunakan Model Multi Species perikanan
kita masih dibawah titik MSY sedangkan jadi
disimpulkan belum dalam kondisi Over Fishing.
Hasil dari buku ini merupakan rintisan bagus yang
dapat dikembangkan kearah penggunanan Bio Ekonomi
dengan Pengelolaan Multi Species didalam Multi
Region sehingga sifat Ekologi Perikanan yang sangat
mungkin heterogen di tiap Wilayah semakin realistis
dimasukkan di dalam Model.
Sentral Tesis dari Model Biologi Perikanan adalah
bagaimana pengukuran yang lebih akurat tentang stok
ikan yang tersedia. DR Nimmi da-lam versi revisi
membuat stok perikanan ini se-bagai suatu Natural
Capital dimana stok ikan itu terutama induknya harus

dipertahankan sede-mikian rupa supaya terus menerus
dapat mem-produksi ikan dengan tingkatan eksploitas
di bawah atau persis di titik MSY dalam me-menuhi
kebutuhan konsumsi penduduk.
Pengukuran stok ikan ini sangatlah penting di ketahui -

oleh pengambil kebijakan perikanan tangkap di
Indonesia sehingga dapat dihin-darkan over eksploitasi
perikanan yang meng-habiskan stok ikan.
Beruntung hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan
Plagis seperti Lemuru di Selat Bali kelihatannya belum
mengalami over fishing se-cara biology dan ekonomi.
Artinya stok ikan dapat dieksploitasi lebih besar lagi.
Dalam dimensi kebijakan dalam “Open Access” agar
“Tragedy of the Common” tidak terjadi ada baiknya
Indonesia menggunakan model Biologi Ekonomi
perikanan agar bisa mem-perkirakan kapan kita over
Exploited dan Under Exploited. Masalah ini tidak
cukup hanya mem-batasi kapal kapal tangkap perikanan


di Indonesia akan tetapi kita harus dilengkapi dengan
kerangka kerja didukung data data dasar sifat
perpindahan/perjalanan ikan.
Petunjuk utama soal overfishing di berbagai daerah
selama ini kita mengandalkan data ne-layan dengan
tingkat tangkapan menu-run/meningkat sebagai
indicator utama menun-jukkan kelangkaan ikan di
lautan. Sehingga kita harus tahu perikanan per region
dengan pola perjalanan ikan dari waktu ke waktu baik
jenis dan jumlahnya.
Kita berharap research untuk meningkatkan penangkapan ikan yang sustainable di bidang Per-ikanan
masih perlu ditingkatkan.

Profil penulis buku
Dr. Nimmi Zulbainarni lahir di Kuok, Kampar, Riau, 25 Juni 1974. Sarjana Perikanan Jurusan Sosial Ekonomi
Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1997. Program Master Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), IPB
tahun 2002. Penulis mengikuti Program Beasiswa Non-Gelar Pertukaran Mahasiswa Jangka Pendek tahun 2003 di
Universitas Kagoshima, Jepang. Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), IPB tahun 2011. Penulis
menjadi dosen IPB sejak tahun 1999 sebagai staf pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan (SEI), Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor sampai dengan tahun 2005. Saat ini penulis sebagai

staf pengajar Bagian Teknologi Penangkapan Ikan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP),
FPIK-IPB.
Penulis juga menjadi pengajar mata kuliah ekonomi sumberdaya perikanan di Pascasarjana Sekolah Tinggi
Perikanan (STP), Jakarta sejak tahun 2012 dan pernah mengajar dengan mata kuliah yang sama di Universitas
Indonesia (UI), Depok. Penulis aktif di kegiatan, kelembagaan, dan forum nasional. Saat ini penulis menjabat
sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI), Ketua Focus Group
Pengembangan Ekonomi Maritim Dewan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Wakil Ketua
Komisi Tetap Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Departemen Industri Budidaya Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia, Dewan Pakar Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), serta Kepala Sub Direktorat (Kasubdit)
Rekrutment, Evaluasi, dan Pengembangan Sumberdaya Manusia di IPB.
Selain itu, penulis juga aktif sebagai tenaga ahli di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan, terlibat di berbagai forum sebagai narasumber dan moderator. Penulis aktif sebagai
narasumber di media cetak maupun media elektronik. Penulis juga aktif di forum dan kelembagaan regional
maupun internasional sebagai anggota Asian Fisheries Society (AFS), menghadiri The 2013 Annual BESTTuna
Meeting, di Wageningen, Belanda. Sebagai Delegasi Republik Indonesia pada The 10th Regular Session of the
Commission, Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), 2013 di Cairns, Australia membahas
tentang tingkat kepatuhan Indonesia pada pelaksanaan Conservation and Management Measures WCPFC serta
pengelolaan perikanan tuna di Samudra Pasifik Bagian Barat dan Tengah.

Organisasi Terkemuka Penggunaan

Lahan Berkelanjutan dan Konservasi Berkolaborasi untuk Memperjelas Peran Kritis yang Dapat Di
mainkan oleh Pengelolaan Lanskap
Terpadu dalam Memajukan Pembangunan Berkelanjutan
World Wide Fund for Nature, Eco
Agriculture Partners, The Nature
Conservancy, IDH – The Suistainable Trade Initi-ative dan Global
Canopy Programme mempublikasikan Buku Kecil Lanskap Berkelanjutan.
Lanskap berkelanjutan harus menjadi komponen penting supaya
rezim iklim dan pembangunan internasional baru dapat menjadi
efektif. Sebuah ‘Buku Kecil’ baru
diterbitkan oleh Global Canopy
Prog-ramme dan pakar terkemuka
lainnya termasuk World Wide Fund
for Nature (WWF), EcoAgriculture
Partners, The Nature Conservancy
(TNC) dan IDH – The Sustainable
Trade Initiative mengidentifikasi
isu-isu kritis yang harus para
pemangku kepentingan (pemerintah, perusahaan, sektor keuangan
dan masyarakat sipil) tangani untuk

memas-tikan pelaksanaan ‘pengelolaan lanskap terpadu’ yang efektif.
Pendekatan ini mem-berikan suatu
cara yang terorganisasi bagi beragam peng-guna sumber daya alam
bersama di suatu wilayah yang
besar demi mengejar tujuan mereka
sendiri tanpa merusak nilai sumber
daya tersebut bagi orang lain.
Dengan menggabungkan bukti dari
25 studi kasus dan survei dari
ratusan inisiatif lanskap terpadu
percontohan, Buku Kecil Lanskap
Berkelanjutan (Little Sustainable
Landscapes Book) menyoroti secara
detail bagaimana pengelolaan lanskap terpadu dapat membantu masyarakat, wilayah dan negara membuat kemajuan signifikan dalam -

mencapai
tujuan
iklim
dan
pembangunan berkelanjutan mereka. Publikasi ini adalah yang

terbaru dalam seri Buku Kecil
Global Cano-py Programme dan
dapat diunduh di sini situs:
http://globalcanopy.org/sustainablel
andscapes.
Andrew Mitchell, Direktur Eksekutif Global Canopy Programme,
menyambut peluncur-an buku baru
ini,
menyatakan
‘Pertanian,
kehutanan, dan bentuk lainnya dari
tata guna lahan berkontribusi
sebesar 10-15% dari emisi gas
rumah kaca tahunan. Mengingat
kebutuhan kritis untuk menstabilkan
emi-si gas rumah kaca, pelaksanaan pengelolaan lanskap terpadu
sebagai bagian dari pengajuan
Kontribusi
Nasional
Terhadap

Penurunan Emisi Global (INDCs)
suatu negara dapat memberikan
manfaat mi-tigasi dan adaptasi yang
nifikan.’
Ia melanjutkan dengan menyatakan

‘Kecuali negara-negara menangani
penggunaan lahan, pertanian, dan
kehutanan se-cara holistik, mereka
berisiko
kritis
mengancam
ketahanan air, pangan, energi,
kesehatan dan tujuan pembangunan
ber-kelanjutan lainnya.’
Buku ini memperjelas apa arti
pengelolaan lanskap terpadu, dan
menyediakan suatu peta jalan
pelaksanaan.
Para
penyusun
berpendapat bahwa mena-ngani
tarik-ulur dan sinergi di antara para
pemangku kepen-tingan kunci dan
mengadopsi sebuah pendekatan
kolaboratif dapat mewujudkan
lanskap
berkelanjutan
jangka
panjang.
“Kita melihat dalam kasus-kasus di
seluruh dunia bahwa ketika orangorang yang ber-gantung pada
sumber
daya
alam
umum
berkumpul
ber-sama
untuk
merencanakan ke-giatan tata guna
lahan, mereka dapat melihat secara
lebih jelas bagaimana berbagai

bagian dari lanskap bergantung
pada satu sama lain, dan bagaimana
jasa ekosistem mengalir di se-luruh
lanskap,” kata Sara Scherr, Presiden
EcoAgriculture Partners dan salah
satu pe-nyusun dari buku ini.
“Ketika hal itu terjadi, akan jauh
lebih mudah untuk merancang solusi yang menguntungkan semua
orang, dan untuk memilih opsi
pembangunan yang menopang sumber daya alam yang kita andalkan
untuk nilai-nilai produksi pangan,
energi, kesehatan, kecantikan dan
rohani.”
Rekomendasi buku ini berfokus
pada cara menerapkan pengelolaan
lanskap terpadu ke tiap lanskap di
seluruh du-nia. Secara khusus, para
pe-nyusun menawarkan lima rekomendasi luas, dengan lang-kahlangkah aksi spesifik yang terdapat
di dalamnya:
1.Mengadopsi pengelolaan lanskap
terpadu sebagai sarana kunci demi
mewujudkan ke-majuan menuju
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
di skala pusat dan daerah.

2.Memberdayakan para pemangku
kepentingan lokal untuk merancang
solusi lanskap berkelanjutan yang
memenuhi prioritas dan konteks
unik mereka.
3.Mengembangkan strategi lanskap
yang berkontribusi pada ekonomi
hijau yang inklusif.
4.Memanfaatkan berbagai sumber
keuangan demi men-capai tujuan
lanskap.
5.Meningkatkan kapasitas dan
memfasilitasi
pembelajaran
di
antara para pemangku kepen-tingan
kunci untuk hasil yang lebih baik
dalam pengelolaan lanskap terpadu.
"Di dalam kerangka kerja na-sional
yang koheren adalah penting bagi
kita untuk menerapkan perencanaan
kita di tingkat yurisdiksi dan
lanskap,” kata Marco Lambertini,
Direk-tur Jenderal WWF International. “Ini adalah tingkat di
mana ekonomi bertemu lingkungan. Di mana orang-orang
menjalani kehidupan mereka dan
mengupayakan mata pen-caharian
mereka. Di mana hutan dibakar atau

dibiarkan berdiri. Ini adalah apa
yang luput dari kita saat ini dan
sangat kita butuhkan. Ini adalah
yang semestinya menjadi fokus dari
upaya bersama kita. Pelaksanaan
perencanaan tata guna la-han
terpadu yang bersifat holistik di
tingkat lanskap yang saat ini menjadi kendala utama bagi keberhasilan dan merupakan pendekatan
yang akan membantu menutup
kesenja-ngan yang masih terlalu
lebar antara komitmen dan konservasi hutan yang nyata.”
Buku Kecil ini bertujuan untuk
menyajikan informasi yang je-las,
ringkas dan meyakinkan tentang
isu-isu kunci di dalam negosiasi
kebijakan interna-sional. Global
Canopy Prog-ramme telah merilis
enam pub-likasi di mana proyek
andalan ini; Buku Kecil Lanskap
Ber-kelanjutan (Little Sustainable
Landscapes Book) akan men-jadi
yang ketujuh.
Untuk informasi lebih lanjut tentang
Seri Buku Kecil kun-jungi situs:
http://globalcanopy.org/publications

Judul:
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN dan Ekonomi Politik Indonesia
Jumlah Halaman: 159 + v; III
Bagian; 12 Bab
Penulis: Prof. Dr. Edy Suandi
Hamid, M.Ec
Penerbit:
EKONISIA,
UII
Yogyakara
PEMBAHAS: FX. SUGIYANTO
•Apresiasi dan penghargaan untuk
Prof Edy; saya sangat tahu sungguh
tidak mudah bagi seorang yang
sangat sibuk, telah berhasil menerbitkan buku yang bukan hanya ditulis dengan gaya yang mudah dipahami melainkan ju-ga karena
isu-isu dan dituangkan dalam buku

tersebut aktual, relevan dan substansial dalam kontek perkembangan
ekonomi Indonesia terkini.
Buku ini dimulai dari pembahasan isu pokok yang sangat actual dan
relevan: Masyarakat Ekonomi ASEAN, dibagian I yang terdiri dari 6 bab.
Dalam bagian ini, penulis mampu mengerucutkan isu ekonomi pada era
MEA; dari tantangan, problem yang dihadapi, strategi yang perlu ditempuh

hingga peluang yang mungkin diraih oleh masyarakat
Indonesia pada era tersebut.
Daya saing menjadi kata kunci untuk dapat memenangkan persaingan sebagai konsekuensi liberaslisasi
pada tingkat ASEAN pada forum MEA tersebut. Sayang memang; sebagaimana diungkapkan oleh penulis,
kita agak terlambat merespons MEA tersebut. Maka, diingatkan ja-ngan terlalu terlambat untuk merespon agar
kita tidak kehilangan kepercayaan diri. Ini garis inti dari pembahasan dalam Bab-1.
“The Most Powerful Weapon is Education”. Itulah kirakira inti tulisan pada bab-2. Pe-ningkatan produktivitas
merupakan unsure terpenting dalam meningkatkan daya
saing tersebut dan pendidikan menjadi senjata terpenting untuk mendorong tumbuh dan meningkatnya
produktivitas SDM. Poin penting dikemukakan penulis
pada bab ini; bukan hanya jenjang pendidikan formal
saja melainkan soft-skill adalah motor penggerak produktivitas tersebut. Dunia industry mempunyai penilaian yang sangat me-narik terkait kebutuhan akan
soft-skill tersebut. Dari sisi dunia pendidikan, tentu
elemen - elemen soft-skill ini akan sangat membantu
dunia pendidikan untuk merancang arah dan arsitektur
pendidikan di era persaingan bebas kedepan.
Peluang Indonesia sangat terbuka untuk memenangkan
era persaingan pada forum MEA ini, mengingat saat ini
Indonesia ditengarai sedang memasuki periode “Bonus
Demografi” yang oleh penulis disebut sebagai generasi
emas. Namun sekali lagi, penulis mengingatkan, bonus
demografi hanyalah potensi yang hanya akan menjadi
riil jika ia dimanfaatkan atau mampu mengelola secara
optimal. Ini inti pembahasan pada Bab-3.
Isu pasar jasa; yang memang menjadi salah satu isu
penting pada era MEA dikupas penulis pada bab-4;

khususnya terkait dengan eksistensi perguruan tinggi.
PT mempunyai peran yang sangat strategi dalam era
MEA ini, selain ber-peran menyosialisasi MEA; PT
bertang-gungjawab menyiapan SDM yang berstandar
sesuai kesepatan dalam MEA.
Bab 5 dan Bab 6 membahas peluang Indonesia pada era
MEA dari sudaut pandang sektor UMKM dan Ekonomi
Islam. Khusus dari sudut pandang Ekonomi Islam;
dengan mempertimbangkan jumlah penduduk ASEAN
yang dalam jumlah penduduk islamnya cukup besar;
baik dalam industry produk-produk yang harus halal,
juga pasar keuangan yang potensial.
Bagian II yang memuat 3 bab penulis memfokuskan
pemabhasan mengenai ekonomi etik.
Dimulai dengan pokok bahasan tentang prinsip-prinsip
ekonomi kerakyatan, bab ini mena-warkan topic diskusi
tentang pengertian, ciri-ciri dan indicator ekonomi
kerakyatan; yang sebenarnya telah terjadi diskurs cukup panjang.
Tawaran ini tentu merupakan sudut pandang penulis
terkait dengan perspektif etis ekonomi dalam praktik
maupun prinsip-prinsipnya yang akan dapat memperkaya pandangan pembaca mengenai aspek filosofis,
idelogis dan etis prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi.
Telaah etis atas ekonomi Indonesia dengan focus persoalan kemiskinan dibahas pada bab 8. Penulis tentu
dengan sadar memilih topic ke-miskinan ini karena kemiskinan merupakan isu aktual dan esensial dalam
perekonomian Indonesia. Catatan penting dikemukakan
oleh penulis, bahwa kemiskinan harus juga dipandang
dari perspektif self-helf.
Bagian III yang memuat dua bab memfokuskan
pembahasan darisudut pandang ekonomi politik.

Senator Dr. H. Ajiep Padindang, SE. MM. anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – MPR RI dari Propinsi
Sulawesi Selatan, mengisi kegiatan reses dengan mengadakan dialog di akhir 2015 dan mengadakan kunjungan
kerja di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan.

Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM. Berdiskusi
dengan Aktifis Lingkungan Hidup di Kabupaten
Luwu Timur

Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM. Berdiskusi
Aparat pemerintah Desa dan tokoh masyarakat
di Kabupaten Soppeng

Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM. Berdialog
dengan Kalangan Buidayawan dan Tokoh Politik
di Kabupaten Maros.

Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM. Berdialog
dengan Kalangan Buidayawan dan Mahasiswa
di Kabupaten Wajo.

DISKUSI BUDAYA DI KAMPUS SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM KABUPATEN MAROS DENGAN UNSUR
PESERTA MAHASISWA DAN KELOMPOK SENI DAN
BUDAYA SE KABUPATEN MAROS

RESES DI KABUPATEN ENREKANG BERSAMA JAJARAN
PEMERINTAH KABUPATEN ENREKANG

DI KABUPATEN BONE KECAMATAN PATIMPENG
DALAM ACARA MAULID NABI MUHAMMAD SAW

RESES DI KOTA PAREPARE YANG DIKEMAS DALAM
BENTUK DISKUSI BERSAMA AKTIFI PEMUDA

RESES DI KABUPATEN TANA TORAJA BERSAMA
ANGGOTA DPRD KABUPATEN DAN PIMPINAN SKPD
TERKAIT

RESES DI KABUPATEN TORAJA UTARA DENGAN
MENGUNJUNGI PUSAT-PUSAT KEGIATAN ADAT DAN
BUDAYA DAN BERDIALOG DENGAN PEMUKA ADAT

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan
fatwa terhadap ajaran kelompok gafatar (gerakan fajar
nusantara) sebagai ajaran sesat dan menyesatkan.
Merujuk pada ajaran mereka yang disebutkan sebagai
penggabungan dari Islam, Nasrani dan Yahudi. Seiring
dengan itu, para pengikut kelompok ini telah
dikembalikan ke daerah asal mereka yang telah berada
di Kalimantan Barat selama beberapa waktu.
Keberadaan kelompok ini menjadi bahan pemberitaan,
terutama dengan pengakuan adanya nabi dan hilangnya
beberapa warga dari beberapa daerah.
Senator Antung Fatmawati, anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) – MPR RI dari Propinsi
Kalimantan Selatan, turut memberikan pandangannya:
“Kalau mereka mengaku agama baru, harus tunjukkan
kitab sucinya. Harus jelaskan wahyu yang diterima.
Kalau tidak, mungkin itu aliran kepercayaan. Tetapi,
harus diketahui bahwa aliran kepercayaan itupun
memiliki pedoman dalam melaksanakan ajarannya”.
“ Dan kalau mereka di wilayah Republik Indonesia,
maka pemerintahan yang diakui adalah berdasarkan
Pancasila dan UUD yang telah diamandemen. Jadi
apapun kelompoknya, harus mematuhi dasar negara
dan UUD kita”.
Senator Antung Fatmawati adalah anggota Komite I
DPD RI yang membidangi: Pemerintah daerah;
Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;
Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;

Pemukiman dan kependudukan; Pertanahan dan tata
ruang; Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan
Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara.
Senator Antung Fatmawati sangat peduli dengan
pemerataan pembangunan dalam wadah NKRI. Dalam
beberapa kali rapat Komite I tentang pemerataan
pembangunan dan pemerintahan, Senator Antung
Fatmawati selalu menyerukan perbaikan tata kelola
pembangunan yang merata dan berkeadilan untuk
seluruh wilayah dan rakyat Indonesia. Bahkan dalam
rapat tentang otonomi khusus Papua, Senator Antung
Fatmawati menyerukan agar tidak ada lagi kelompok
yang mengganggu jalannya pemerintahan dan
mengharapkan agar otonomi khusus Papua dilanjutkan
dan Propinsi lain juga diberikan anggaran yang
memadai untuk mempercepat laju pembangunan.
Akan halnya kejadian pembakaran tempat tinggal
pengikut
gafatar,
Senator
Antung
Fatmawati
memandang dengan bijak: “Sebenarnya itu tidak boleh
dilakukan, karena merugikan mereka. Apalagi mungkin
mereka hanya ikut-ikutan. Dan tindakan seperti ini, bisa
luput dari aparat kita sehingga tidak bisa dicegah. Tapi
kita syukuri karena tidak menimbulkan korban jiwa”.
Untuk itu, Senator Antung Fatmawati mewanti-wanti
warga masyarakat terhadap ajakan terhadap kelompok
tertentu.
“ Warga masyarakat jangan mudah terbujuk untuk suatu
kelompok tertentu. Harus tahu pengesahan pemerintah
(dasar hukum), jangan pula terpancing dengan janji
fasilitas yang diberikan. Misalnya, diberikan lahan
garapan untuk bertani atau berkebun. Seperti di wilayah
Kalimantan Selatan, ada lokasi yang kosong, tapi itu ada
pemiliknya, dari pihak swasta. Harus ada bukti bahwa
lahan itu dari pemerintah. Misalnya program
transmigrasi. Program ini dikelola oleh kementerian.
Jadi ada petunjuk dan persetujuan dari pemerintah.”
Senator Antung Fatmawati kemudian mencontohkan
peran serta anggota DPD-MPR RI dalam memberikan
pembinaan kebangsaan pada warga masyarakat,
Pembinaan itu dilakukan dalam kegiatan Sosialisasi 4
Pilar. Dalam agenda kegiatan yang telah dilakukan oleh

Senator Antung fatmawati di Propinsi Kalimantan
Selatan, kegiatan ini menghadirkan berbagai kelompok
masyarakat dan berbagai kalangan.
“ Dalam pelaksanaan Sosialisasi 4 Pilar, selain
pembinaan kebangsaan, disertakan pula pemuka agama,
atau da’i yang juga memberikan pemahaman keagamaan
sehingga masyarakat mendapat pencerahan rohani.”
tambah Senator Antung Fatmawati.
Di akhir perbincangan, Senator Antung Fatmawati
mengharapkan penegakan hukum yang adil bagi
kelompok dimaksud.
“ Terhadap pengikutnya yang menyimpang, disamping
hukuman penjara, mereka juga harus diberi pembinaan
untuk kembali ke agama yang sebenarnya dan diberikan
pemahaman kebangsaan. Sedangkan mereka yang ikutikutan, tidak semestinya diberi hukuman seperti koruptor
atau pencuri. Tetapi mereka diberikan pembinaan
keagamaan, akhlak dan pembinaan mental untuk
kelangsungan hidupnya.”

Sosialisasi 4 pilar MPR RI
oleh Senator SHALEH MUHAMAD ALDJUFRI, Lc., M.A,
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – MPR RI dari
Propinsi Sulawesi Tengah
Anggota MPR-DPD RI dari Sulawesi Tengah
melaksanakan tugas pengabdiannya dengan menggelar
kegiatan Sosialisasi 4 Pilar sebagai manifestasi
tanggung jawab Anggota MPR untuk membangun
daerah agar seluruh penyelenggaraan Pemerintah dan
pembangunan di daerah dilaksanakan dengan
mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana
terdapat pada Pancasila, UUD Negara Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Adalah SHALEH
MUHAMAD AL DJUFRI, Lc., M.A, anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) – MPR RI yang baru
dilantik
mengadakan
kegiatan
ini
dengan
menggandeng Himpunan Pemuda Alkhairaat di Kota
Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.
Bertempat di Madrasah Alkhairaat Bayoge Palu, tanggal 21 November 2015, Senator SHALEH
MUHAMAD ALDJUFRI, Lc., M.A, menjelaskan tentang tugas dan kewajiban anggota MPR RI, meng-

uraikan pokok pikiran dalam 4 Pilar, yaitu: Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat
terhadap Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR; serta
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
se-luruh penyelenggaraan Pemerintah dan masyarakat
me-mahami serta menerapkan nilai-nilai luhur Bangsa
da-lam kehidupan sehari-hari.
Sosialisasi 4 Pilar MPR tersebut, juga menghadirkan
narasumber, yaitu Alwi M. Aldjufri.
Pada sesi tanya jawab, peserta yang berjumlah sekitar
150 orang antusias mengajukan pertanyaan, mengenai:
pelaksanaan kelima sila dalam Pancasila, perbandingan
ideology dan kehidupan gotong royong dalam masyarakat Pancasila. Dan peran aktif pemuda dan mahasiswa dalam pembangunan.

Senator Marhany Victor Poli Pua,
anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) –MPR RI dari Propinsi
Sulawesi Utara memberikan komentar tentang kenaikan harga daging sapi dan ayam yang mengalami kenaikan harga.
“Kenaikannya sampai Rp150 ribu.
Ini perlu dikaji, kenaikan ini memberatkan rakyat dan tidak menguntungkan petani peternak. Kalau
kenaikan harga daging sapi membawa imbas pada kenaikan kesejahteraan peternak, ini agak baik,
meskipun disisi lain perlu dikaji
kenaikan itu membawa resiko kenaikan harga makanan di restoran.
Kalau harga daging naik, maka daya beli masyarakat untuk mengkonsumsi daging jadi berkurang.
Maka yang terjadi, beban ekonomi
masyarakat lebih tinggi. DPD sudah
rapat dengan dirjen peternakan
kementerian pertanian dan Komite
II telah memberikan rekomendasi”,
Lalu Senator Marhani melanjutkan:
“Sebenarnya tidak ada alasan kenaikan harga, karena sudah ada
subsidi angkutan untuk pengangkutan ternak dari NTT ke Pulau
Jawa. Hanya saja, ternyata kapal
ternak itu efektif hanya waktu pertama. Tahap berikutnya kosong. Peternak tidak mau mengangkut sapi
karena alasan rugi. Harga di NTT
dan harga di Jawa sama, padahal
peternak masih menanggung sebagian biaya angkut”.
“Di Indonesia ini, mestinya dibuat
sentra produksi sapi. Misalnya di
Sulawesi Utara, ada wilayah yang
bisa menjadi Tapos-nya Sulawesi.

Itu bisa dikembangkan menjadi
daerah penghasil. Khususnya kawasan timur. Di Sumatra juga demikian, jadi kapal ternak tidak
diperlukan lagi. Ini bisa meminimalisir pemenuhan kebutuhan angkutan daging di Seluruh Indonesia”.
Berikut uraian keprihatinan Senator
Marhani yang disampaikan dalam
wawancara di ruang tamu DPD
Sulawesi Utara beberapa waktu
lalu: “DPD prihatin terhadap kenaikan harga daging yang sebenarnya
bisa dikendalikan. Ini masih ditelusuri, apakah ada unsur “mafia”
dalam kegiatan ini. Apakah itu belum bisa diatasi oleh pemerintah.”
“Kemudian, kita masih ada kuota
impor sapi. Impor sapi itu masih
besar. Ini harus dikaji lebih jauh,
agar kita bisa swasembada sapi.
Akan halnya harga daging sapi yang
murah di Malaysia, diperkirakan itu
daging kerbau, karena impornya

dari India. Hewan sapi di India tidak disembelih untuk dimakan, tetapi hewan ini dihargai dan dihormati sesuai ajaran di sana.
Mestinya kenaikan harga itu tidak
terjadi, karena harga BBM turun,
jadi aneh. Pemerintah harus menelusuri kejadian ini.
Kalau ada “mafia” yang menyebabkan kenaikan harga. Negara tidak boleh kalah oleh permainan seperti itu. Jadi ada yang harus diperbaiki dalam manajemen pemasaran pangan kita. “Mafia” pangan
itu tidak kelihatan seperti kartel
lain.
Pemerintah harus membuat sistem
supaya peternak bisa memenuhi kebutuhan daging sapi secara nasional, data produksi sapi untuk nasional, data produksi sapi untuk dipasarkan dan kebutuhan daging regional dan nasional serta penentuan
rantai produksi yang baik untuk
menjaga stabilitas pasokan dan
harga.
Sistem kita harus didorong untuk
adanya sentra produksi sapi. Semua
wilayah Indonesia, sapi bisa hidup.
Kita punya sapi lokal. Kita bisa
belajar teknologi untuk melipatgandakan produksi sapi. Kalau impor sapi lebih besar, maka kita rugi.
Kalau manajemen kita bagus, itu
disertai dengan penindakan tegas
dari aparat apabila terjadi penyimpangan dalam pengadaan pangan”.
Senator Marhani Victor Poly Pua
adalah wakil dari Propinsi Sulawesi
Utara periode lalu dan masuk menjadi anggota pada pergantian antar
waktu beberapa waktu lalu.

Seusai mengikuti rapat kerja Komite III Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan Menteri
Kesehatan, di Kompleks Parlemen, Rabu 27 Januari
2016 Senator dr. Delis Julkarson Hehi, MARS, anggota
DPD-MPR RI dari Propinsi Sulawesi Tengah terlibat
perbincangan yang serius dengan beberapa pejabat dari
Kemeterian Kesehatan.
Sehari kemudian, Senator dr. Delis JH, MARS,
berkenan memberikan uraian tentang penolakannya
terhadap “program layanan dokter primer” yang
dicanangkan pemerintah.
” Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan dokter lainnya
menolak program layanan dokter primer, yaitu program
pemerintah dalam pendidikan kesehatan yang dianggap
setara dokter spresialis. Program ini bertentangan
dengan UU Kedokteran, karena dalam profesi dokter
hanya dikenal 2 profesi, yaitu dokter umum dan dokter
spesialis. Dan pengangkatan dokter spesialis dilakukan
oleh kologium lewat muktamar IDI”. kata Senator dr.
Delis JH, MARS.
” Jadi bukan pemerintah atau menteri kesehatan yang
menentukan dokter spesialis. Penolakan terhadap
program ini menjadi salah satu rekomendasi dari
Muktamar IDI yang ke 29 yang lalu: “Bahwasanya
Muktamar IDI Ke-29 yang dihadiri oleh perwakilan
dokter seluruh Indonesia secara mufakat menolak
konsep pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP),”
Lebih jauh, Senator dr. Delis JH, MARS menjelaskan:
“Alasan pemerintah tidak jelas. Kalau dikatakan untuk
peningkayan kompetensi dokter, itu sudah ada. Dokter
umum itu mendapat serfikat dari kologium, sehingga
berhak melakukan layanan kedokteran secara primer.
Jadi tidak perlu menempuh pendidikan lain. apalagi uji
kompetensi dengan biaya mahal. Argumentasi
kemenkes bahwa ini untuk peningkatan kemampuan
dokter, padahal selama ini kalangan dokter telah
menempuh pendidikan itu. Program ini lebih banyak
menyangkut pelayanan kesehatan masyarakat, bukan
hal klinis. Sementara spesialis itu sifatnya klinis.”
Selama ini, pemerintah menuntut tanggung jawab dan
profesi tenaga dokter dan paramedis yang lain, tanpa
peningkatan
kesejahetraan.
Padahal,
dalam
melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat,
tenaga dokter dan paramedia lainnya melakukan hal

yang berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia,
yaitu:
⦁ Profesi medis bertanggung jawab untuk kemanusiaan,
menyangkut kesehatan masyarakat di semua tingkatan.
⦁ Waktu kerja paramedis 24 jam, apalagi yang di
pedesaan dan pelosok tanah air, seperti bidan desa,
doktrr PTT. Mereka memberikan pelayanan kapanpun
dibutuhkan oleh warga tanpa mengenal hari libur.
⦁ Beban kerja paramedis menyangkut fisik dan psikis.
Ini menyangkut nyawa manusia beserta keluarga pasien
dan harapan masyarakat.
⦁ Resiko pekerjaan yang bisa terjadi menyangkut
nyawa pasien, ketularan penyakit darr pasien dan akibat
hukum yang bisa timbul, dengan sebutan malpraktek.
Jumlah tenaga medis sekitar 300 rb harusnya bisa di
cover dgn political will pemerintah.
“Saya menolak program itu. Sepanjang tujuannnya
tidak jelas, program ini tidak pantas diterapkan. Jadi
harus ada tujuan yang jelas, apa manfaatnya bagi
kalangan medis, apa benefitnya bagi masyarakat dan
tenaga profesional kedokteran.” tegas Senator dr. Delis
Julkarson Hehi, MARS.
Dan kalangan dokter sudah menolak program ini. Kalau
kemenkes memaksakan program tersebut, kalangan
dokter akan melakukan aksi nasional, sebagai bentuk
penolakan.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) Senator dr. Delis
Julkarson Hehi MARS, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) - MPR RI diadakan pada hari Sabtu, 14 November 2015. Kegiatan ini
dilaksanakan bertempat di Gedung Serbaguna
Kabupaten Morowali, yang dimulai pukul 18.00
– 20.00 wita.
Rapat Dengar Pendapat ini, dihadiri 150 orang
dari berbagai perwakilan kelompok masyarakat
seperti PNS, tenaga pendidik, tenaga kesehatan,
pemuda, tokoh masyarakat, serta tokoh agama
atau rohaniwan.
Senator dr Delis J. Hehi, MARS dalam pemaparan pengantarnya mengemukakan bahwa sebagai seorang anggota DPD RI perwakilan dari
Propinsi Sulawesi Tengah, dirinya
berkewajiban untuk menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat di Sulawesi
Tengah, secara khusus yang ada di Kabupaten

Morowali ini. Apalagi hal itu untuk kepentingan
masyarakat dan kemajuan daerah yang
diwakilinya.
Memang diakui bahwa kewenangan DPD RI
sebagai sebuah lembaga negara belum maksimal seperti yang dimiliki saudaranya yakni
DPR RI. Namun hal itu bukan menjadi alasan
dan penghalang bagi dirinya selaku Senator asal
Sulawesi Tengah untuk berjuang dan berusaha
bagi kemajuan daerahnya.
Sebagai Anggota DPD RI di bidang tugas
Komite III, Senator dr. Delis Julkarson Hehi
MARS sangat konseren dengan permasalahan
tentang pendidikan, kesehatan, agama, budaya,
dan kesejahteraan sosial. Dengan fungsi-fungsi
yang melekat sebagai seorang Senator seperti
fungsi legislasi, pengawasan, penganggaran dan
representasi, diupayakan untuk seoptimal
mungkin melakukan keempat fungsi itu secara -

maksimal.
Sumbang saran yang berkembang dalam RDP
kali ini, disampaikan oleh tokoh masyarakat
seputar infrastruktur dan sarana dan prasarana
jalan. Bahwa Kabupaten Morowali yang berdiri
tahun 1999, harus mengejar ketertingggalannya
dengan membangun infrastruktur jalan yang
memamdai agar maju atau setara dengan daerah
lain yang telah maju dan berkembang.
Masukan dari tenaga kesehatan dan tenaga
pendidikan lebih banyak seputar kesejahteraan
bagi mereka yang bekerja dengan status honorer dan sukarela. Agar pemerintah pusat dan
daerah memperhatikan kesejahteraan mereka
dengan kebijakan prioritas pengangkatan sebagai CPNS mengingat lama pengabdian dan
daerah pelayanannya yang jauh di pedalaman -

dan pelosok.
Pada kesempatan lain tokoh agama menyampaikan agar suasana kerukunan dan perdamaian
tetap dijaga bahkan ditingkatkan kualitasnya.
Agar proses pembangunan di Kabupaten Morowali bisa berlangsung, harus diciptakan suasana
hidup kerukunan antar umat beragama yang
harmonis. Demikian pula dengan perhatian pemerintah pada bantuan pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah.
Sedangkan para pemuda memberikan saran dan
masukan agar DPD RI dapat memperjuangkan
nasib pemuda lokal dengan masuknya industri
sawit dan tambang agar lebih memprioritaskan
putra daerah atau minimal memberikan kuota
lowongan kerja sebagai imbal balik tanah yang
terpakai oleh perusahaan tersebut.

Demonstrasi tenaga honorer K2 ini hari ini (10
Pebruari 2016) mendapat perhatian serius dari Senator
dr. Delis Julkarson Hehi, MARS, anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) – MPR RI dari Propinsi
Sulawesi Tengah. Sebagai anggota Komite III DPD RI
yang membidangi masalah kesejahteraan rakyat,
seperti pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, Senator dr.
Delis JH, MARS turut mengawal aksi ribuan tenaga
honorer yang memadati kawasan Monas, Jakarta.
“ Pemerintah harus menuntaskan persoalan tenaga
honorer.” Kata Senator dr. Delis JH, MARS dengan
tegas.
“ Pemerintah harus mengangkat mereka sebagai PNS.”
Terkait masalah di hulu menyangkut pendataan,
Senator dr. Delis JH, MARS, memberikan tanggapan:
“ Soal pendataan, pemerintah bisa melakukan verifikasi
dan validasi data secara akurat dan kemudian
memproses pengangkatan sebagai PNS secara bertahap
berdasarkan prioritas kebutuhan, usia tenaga honorer
dan lama bertugas. Selama ini proses belajar mengajar
di daerah terpencil bisa berjalan karena tenaga honorer,
pelayanan di Rumah Sakit dan Puskesmas bisa berjalan
lancar karena ada tenaga honorer. Demikian juga di
kantor-kantor lain, seperti tenaga polisi pamong praja.
Dan mereka bersedia melakukan itu dengan honor 150
ribu sampai 400 ribu.”
“ Sangat tidak manusiawi, karena itu, pemerintah harus
menghargai komitmen dan dedikasi para tenaga
honorer tersebut.”
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menimpa
semua tenaga honorer.
“ Kasihan, begitu banyak tenaga honorer yang sudah
mengabdi belasan bahkan puluhan tahun dengan
bayaran yang sangat tidak manusiawi, tapi akhirnya
nasib mereka tidak jelas. Kata Senator dr. Delis JH,
MARS dengan penuh keprihatinan.
“Kalau masalah payung hukumnya, maka pemerintah
atau Presiden bisa mengeluarkan peraturan atau
keputusan sebagai dasar hukum. Kalau masalah dana,
dalam rapat dengan MenPan dan menkeu dgn komisi 2,
sudah disepakati untuk mengalokasikan anggaran pada
rapat tahun lalu. Jadi ini tinggal political will
pemerintah.”

“Jujur, saya sangat menyesalkan perkataan ahok kepada
warga dengan menyebut “maling”, Demikian jawaban
Senator Fahira Idris pesan singkat, menyangkut kondisi
anak seorang warga yang di bully oleh teman-temannya
akibat perkataan Ahok, Basuki Tahaja Purnama,
Gubernur DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. “Apalagi,
ucapan itu ditujukan kepada warga yang mencari
kejelasan tentang KJP”.
Senator Fahira Idris adalah anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD)-MPR RI dari DKI Jakarta. Saat ini,
Senator Fahira Idris adalah Wakil Ketua Komite III
DPD RI. Komite ini adalah mitra beberapa bidang kerja
pemerintah, antara lain, Bidang Pendidikan,
Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan. Senator
Fahira Idris termasuk pencetus “Jakarta Layak Anak”

dan Ketua Umum Gerakan Umum Nasional Anti Miras
(Genam).
“Memimpin itu merupakan seni berkomunikasi, seni
mendengar. Jadi seorang Gubernur yang memmimpin
satu propinsi haruslah banyak mendengar. Apalagi di
DKI Jakarta, jangan merasa diri paling benar, dan yang
lain salah.”
“Jadi pemimpin di Jakarta tidaklah cukup hanya berani
dan tegas, tetapi juga siap pasang badan terhadap
berbagai persoalan yang dihadapai warganya.
Bukannya menyalahkan pihak lain, apalagi warga yang
ingin mengadu”.
Kasus ini sekarang sudah diadukan ke Polda Metro
Jaya, dan mendapat perhatian dari Komnas
Perlindungan Anak.

Menjelang masa sidang II tahun
2016, anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) – MPR RI dari
Propinsi Kalimantan Timur (dan
Kalimantan Utara), H. Muhammad
Idris S, melakukan kegiatan reses di
Kalimantan Timur. Senator H.
Muhammad Idris S membuka agenda awal tahunnya dengan melaksanakan perjalanan reses selama 4
hari di Daerah Otonomi Baru
(DOB) Kutai Utara. Turut bersama
dalam kunjungan ini adalah anggota
Komis II DPR RI daerah pemilihan
Kalimantan Timur, Hadi Mulyadi
dan Hetifah. Rombongan ini mendapat dukungan dari Bupati Kutai
Utara untuk meninjau langsung
DOB Kutai Utara.
Senator H. Muhammad Idris S
adalah Anggota komite I Dewan
Perwakilan Daerah, dengan lingkup
tugas di bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah serta antar

daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pemukiman dan kependudukan, pertananah
dan tata ruang, serta politik hukum
dan hak azasi manusia.
Diawali dengan melakukan pertemuan bersama Bupati Kutai Timur
Ardiansyah Sulaiman, Senator H.
Muhammad Idris S bersama Tim
Komite Pembentukan Kutai Utara,
melanjutkan perjalanan menuju kecamatan Kongbeng dengan waktu
tempuh selama hampir empat jam.
Kecamatan Kongbeng merupakan
pemekaran dari kecamatan Muara
Wahau.
Di hari kedua, beserta tim pembentukan Kutai Utara, Senator H.
Muhammad Idris S ikut menengok
kecamatan Telen, disambut dengan
tarian dayak Nyifan Nyura’ Haqai
atau tari penyambut tamu. Di
hadapan sekitar 500-an warga suku

Dayak pedalaman dan suku lainnya.
Camat Telen, Thamrin mengatakan
sedikitnya lahan seluas 200 hektar
di Telen akan dihibahkan untuk
daerah perkantoran kabupaten Kutai
Utara.
Perjalanan dari satu kecamatan ke
kecamatan lainnya harus melintasi
perkebunan kelapa sawit. Bahkan
harus melintasi jalan berlumpur.
Beruntung cuaca hari itu sangat
terik.
Berdasarkan
data
statistik
Kalimantantan Timur Dalam Angka
2015, Kabupaten Kutai Timur
memproduksi kelapa sawit paling
banyak diantara 10 kabupaten/ kota
lainnya di kalimantan Timur. Pada
tahun 2014, separuh hasil produsi
kelapa sawit Kalimanatan Timur
dihasilkan dari Kutai Timur. Total
produksi kelapa sawit Kalimantan
Timur pada 2014 sebanyak 9-juta

Di Kecamatan Muara Bengkal DOB Kutai Utara

Di Kecamatan Batu ampar

Di Kecamatan Long Mesangat

Di Kecamatan Muara Wahau
ton lebih. Ironisnya, ketika berada di kecamatan Batu
Ampar setelah tiga jam menempuh perjalanan,
diketahui bahwa hanya ada satu sekolah menengah
pertama dan menengah atas. Beberapa siswa mengaku,
untuk bisa mencapai sekolah, mereka berangkat ketika
hari masih gelap, dan tiba disekolah setelah menempuh
waktu perjalan hampir satu setengah jam lamanya
dengan berjalan kaki.
Di Kecamatan Batu Ampar, rombongan Senator H.
Muhammad Idris S Idris disambut sekitar lima ratusan
warga sekitar, termasuk pelajar. Mereka berkumpul di
bekas area perkebunan kayu untuk bahan dasar kertas,
milik PT Kiani Lestari. Sebagai bagian dari persiapan
pembentukan DOB Kutai Utara, tim pemekaran telah
mempersiapkan lokasi perkantoraan sebagai salah satu
calon Ibu Kota Kabupaten. Sedangkan Bupati Kutai
Utara nantinya akan menempati rumah dan kantor
bekas pimpinan PT Kiani Lestari.
Perjalanan di hari ketiga, Senator H. Muhammad Idris
S menyinggahi kecamatan berusia satu abad lebih di
Kutai Timur, yaitu kecamatan Muara Ancalong dengan
luas sekitar 3.500 km persegi. Mata pencaharian warga
yang berpenduduk sekitar 14-ribu lebih ini adalah .

Di Kecamatan Telen

Di Kecamatan Kongben
petani kelapa sawit dan nelayan ikan sungai
Didampingi oleh staf ahlinya, Laila hajarul Aswadina,
Senator H. Muhammad Idris S bersama rombongan
pembentukan DOB Kutai Utara mengkahiri perjalanan
dinasnya di kecamatan Muara Bengkal. Pada acara
puncak, rombongan kembali disambut oleh puluhan
pelajar yang menampilkan tarian dan kesenian
daerahnya. Kecamatan Muara Bengkal adalah salah
satu calon ibukota DOB Kutai Utara. Dengan diselingi
tepuk tangan dan teriakan yel-yel penuh semangat,
disetiap kesempatan rombongan juga ikut meneriakkan
yel-yel “ Kutai Utara harga mati!”
Bersama dengan anggota Komisi II DPR RI, Senator H.
Muhammad Idris S menyatakan dukungan penuh atas
pembentukan DOB Kutai utara sebagai upaya untuk
menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat adat Kutai dan Dayak pedalaman
menegaskan
belum
merasakan
pembangunan
diaerahnya, padahal sudah 70 tahun Indonesia
Merdeka, salah satunya karen begitu luasnya provinsi
Kalimantan Timur jika dibandingkan provinsi lain di
Indonesia.

Agenda pembangunan yang menghadirkan Negara
dalam mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari
sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019 tidaklah nyata. Ambisi prioritas sasaran pembangunan nasional di bidang infrastruktur terbukti secara telanjang
dipertontonkan di depan mata. Faktanya, arah kebijakan
yang digulirkan dalam menjalankan program pembangunan tersebut menyimpang dari yang direncanakan
dalam RPJMN 2015 – 2019. Hal ini terbukti pada
proyek sarana dan prasarana kereta berkecepatan tinggi
( High Speed Train ) dari Jakarta ke Bandung.
Proyek sarana dan prasarana kereta berkecepatan tinggi
ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah China. Ditindaklanjuti dengan
membentuk perusahaan konsorsium antara beberapa
perusahaan ke dua negara, yaitu PT. Kereta Cepat
Indonesia China ( PT.KCIC). Sedangkan sumber dana
pembanguan proyek berasal dari pinjaman ke China
Development Bank (CDB).
Secara teknis sarana jalur kereta ini ini akan
membentang sejauh 140, 9 KM.Jalur trasenya bermula
di Kota Jakarta Timur kemudian melalui Kota Bekasi,

Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi,
Kota Bandung, dan berakhir di Kabupaten Bandung.
Secara keseluruhan proyek ini akan berada di 4 Kota
dan 5 Kabupaten.
Merujuk pada lintas wilayah dari proyek tersebut sudah dipastikan berdampak besar pada menurunnya
kualitas lingkungan hidup dan layanan alam . WALHI
Jawa Barat memastikan proyek tersebut akan mengancam hilangnya ruang kelola masyarakat, seperti
sawah, kebun, dan permukiman. Selain itu kondisi
sungai-sungai yang akan dilalui jalur kereta juga
sangat rentan tercemar dan rusak.
Lebih dari itu, apa yang terjadi ke depan adalah alih
fungsi lahan yang semakin membabi buta sebagai
dampak turunan dari proyek tersebut. Sarana properti,
permukiman elit, apartemen mewah, kawasan pertumbuhan industri akan tumbuh subur. Hal ini dipastikan akan merubah rona lingkungan bentang alam.
Beban daya dukung dan daya tampung lingkungan di
sepanjang dan sekitar perlintasan kereta berkecepatan
tinggi ini akan semakin bertambah.
Laju kerusakan lingkungan dan hilangnya ruang kelola
rakyat semakin yakin dengan dikeluarkannya Perpres
No.107 Tahun 2016 tentang Percepatan Penyelenggaraan Sarana dan Prasarana Kereta Cepat Antara
Jakarta dan Bandung. Tindak lanjutnya proses kajian
AMDAL yang dipercepat dan berpaling dari UU PPLH
32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan.
WALHI Jawa Barat mengkaji banyak kekurangan yang
ada dalam dokumen AMDAL proyek tersebut. Beberapa data tidak konsisten bahkan tidak valid. Tidak
ada kepastian lokasi akhir jalur trase. Sebagai contoh
terungkap saat Kepala Desa Tegalluar Kab.Bandung
menyampaikan keluhan di sidang AMDAL , Selasa
(19/01/2016) yang menyatakan dirinya tidak me-

ngetahui daerahnya akan menjadi stasiun akhir .
Selain itu data panjang lintasan jalur trase yang
berubah-ubah. Sosialisasi yang kurang dan terbukti
pada saat sidang AMDAL beberapa perwakilan warga
yang diundang menyatakan tidak tahu akan proyek
tersebut. Belum lagi kebutuhan energi listrik yang
sangat besar untuk menggerakan kereta berkecepatan
tinggi ini, yaitu sebesar 9 MW – 10MW dan tentunya
akan memicu peningkatan emisi karbon. Karena
konsumsi energi Indonesia masih mengandalkan pada
energi fosil, diantaranya yaitu batu bara.
Lebih dari itu yang fatal adalah WALHI Jawa Barat
menemukan dokumen AMDAL tersebut tidak mencantumkan kesesuaian dengan RTRW Kabupaten dan
Kota yang terkena proyek. Selain izin-izin yang belum
terlampir pada dokumen tersebut, beberapa di
antaranya Izin Lokasi, Izin Pemanfatan Sungai, serta
kesepakatan kesanggupan pengadaan listrik oleh PLN.
Berdasarkan fakta dan hasil paparan singkat tersebut
sudah jelas bahwa :
1.Pemerintah pusat secara angkuh telah dengan sengaja
mengesampingkan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, serta abai terhadap penegakkan hukum
lingkungan hidup.
2.Pemerintah pusat mengabaikan mandat UU No.32
Tahun 2009 tentang PPLH.
3.Pemerintah pusat mengabaikan mandat PP No.27
Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
4.Presiden lagi-lagi menunjukkan keangkuhannya
dengan menerbitkan Perpres No.107 tahun 2015.
5.Perpres No.107 Tahun 2015 tidak konsisten dan
dibuat dengan terburu-buru.

6.Pemerintah pusat mengabaikan dan tidak konsisten
terhadap RPJMN yang telah dirancangnya sendiri.
7.Pemerintah pusat tidak konsisten terhadap komitmen
pengurangan emisi karbon.
8.Ada indikasi kepentingan investor dan negara asing
dalam proyek kereta berkecepatan tinggi ini.
Oleh karena itu WALHI Jawa Barat dengan ini
menyatakan sikap agar pemerintah pusat menghentikan
dan membatalkan proyek kereta berkecepatan tinggi
karena tidak ada kepentingannya terhadap publik dan
hanya mengancam lingkungan hidup. WALHI Jawa
Barat juga mendesak Perpres No. 107 Tahun 2015 agar
dicabut karena hanya mempercepat laju kerusakan
lingkungan hidup dan layanan alam.
Direktur Walhi Jawa Barat
Dadan Ramdan

Sedikitnya 200 juta anak perempuan dan wanita yang hidup di 30
negara saat ini telah menjalani praktik mutilasi kelamin perempuan
(Female Genital Mutilation/FGM),
yang di Indonesia dikenal dengan
istilah sunat perempuan, berdasarkan laporan statistik yang dirilis
menjelang Hari Internasional Toleransi Nol terhadap Mutilasi Kelamin Perempuan atau FGM/C.
Female Genital Mutilation/Cutting:
A Global Concern mencatat bahwa
separuh anak perempuan dan wanita
mengalami praktik ini di tiga negara
– Mesir, Ethiopia dan Indonesia –
dan mengacu kepada studi-studi lebih kecil serta observasi yang memberikan bukti bahwa FGM adalah
se-buah isu hak asasi manusia global yang berdampak kepada anak
perempuan dan wanita di setiap bagian dunia.
Mutilasi kelamin perempuan merujuk kepada sejumlah prosedur. Terlepas dari apa pun bentuk yang dipraktikkan, FGM adalah pelanggaran terhadap hak anak.
“Mutilasi kelamin perempuan ber -

beda di berbagai wilayah dan budaya, dan beberapa bentuk melibatkan risiko yang membahayakan
hidup. Dalam setiap kasus, FGM
melanggar hak anak perempuan dan
wanita. Kita semua –pemerintah,
profesional kesehatan, pemuka masyarakat, orang tua dan keluarga- harus mempercepat upaya untuk mengakhiri praktik ini,” kata Deputi
Direktur Eksekutif UNICEF Geeta
Rao Gupta.
Berdasarkan
data,
anak-anak
perempuan berusia 14 tahun dan
lebih muda mewakili 44 juta orang
yang telah mengalami satu bentuk
FGM, dengan prevalensi FGM terberbeda di berbagai wilayah dan
budaya, dan beberapa bentuk
melibatkan risiko yang membahayakan hidup. Dalam setiap kasus,
FGM
melanggar
hak
anak
perempuan dan wanita. Kita semua
–pemerintah, profesional kesehatan,
pemuka masyarakat, orang tua dan
keluarga- harus mempercepat upaya
untuk mengakhiri praktik ini,” kata
Deputi Direktur Eksekutif UNICEF
Geeta Rao Gupta.

Berdasarkan
data,
anak-anak
perempuan berusia 14 tahun dan
lebih muda mewakili 44 juta orang
yang telah mengalami satu bentuk
FGM, dengan prevalensi FGM tertinggi di kelompok umur ini berada
di Gambia dengan 56