PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG

ABSTRAK
PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN
SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN
DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
ANDREW CARLOS ALAMANZO

Penahanan merupakan salah satu bentuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan
seseorang tersangka pelaku tindak pidana. Agar penahanan tersangka pelaku tindak
pidana tidak termasuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia, maka
KUHAP mengatur secara ketat penahanan tersangka. Salah satu hak tersangka
dalam masa penahanan adalah mendapatkan pendidikan dan pengajaran
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung? (2) Apakah
faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di
Polresta Bandar Lampung?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber penelitian terdiri dari pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung
dan akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis
secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung dilaksanakan sebagai upaya
agar para tahanan memiliki beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara dan
kesadaran hukum serta hak dan kewajibannya dalam menjalani proses hukum
sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana. Pengajaran dan pendidikan dilakukan
dengan maksud agar tahanan yang telah menjalani hukuman dan kembali ke
dalam kehidupan masyarakat akan menjadi manusia yang lebih baik serta tidak
mengulangi lagi perbuatan tindak pidana yang melanggar hukum. (2) Faktorfaktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di
Polresta Bandar Lampung terdiri dari: a) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu
terbatasnya buku-buku khusus bagi tahanan yang berisi tentang hak dan kewajiban
mereka selama menjalani proses hukum sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana,
sehingga pihak kepolisian hanya menyediakan panduan dalam bentuk fotokopian
atau print out kepada tahanan untuk mengetahui hal tersebut. b) Faktor masyarakat,
yaitu masih adanya pemahaman masyarakat bahwa mantan pelaku kejahatan yang
harus dijauhi atau dihindari, karena berpotensi kembali melakukan kejahatan.
Padahal seharusnya mantan pelaku kejahatan yang telah bebas perlu mendapatkan
santunan dan perhatian agar mereka tidak mengulangi perbuatan melawan hukum
yang dapat merugikan diri mereka sendiri, orang lain, bangsa dan negara. c) Faktor

Andrew Carlos Alamanzo

tahanan, yaitu kesulitan dalam menyampaikan berbagai materi pengajaran dan
pendidikan kepada tahanan, hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan para
tahanan yang pada umumnya berpendidikan rendah dan kepribadian tahanan yang
tidak stabil sehingga menghambat materi pengajaran dan pendidikan yang
disampaikan petugas kepolisian
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan
terhadap tahanan pada Polresta Bandar Lampung hendaknya lebih ditingkatkan dan
sarana prasarana berupa buku-buku panduan bagi para tahanan hendaknya
disediakan secara memadai sehingga proses pembelajaran kepada para tahanan akan
menjadi lebih maksimal. (2) Tahanan Polresta Bandar Lampung hendaknya
melakukan berbagai kegiatan yang diprogramkan dengan penuh kesadaran dan
keseriusan, sebab upaya ini ditempuh untuk memudahkan proses integrasi ke
tengah-tengah masyarakat apabila tahanan telah melalui proses hukum dan keluar
dari Lembaga Pemasyarakatan untuk kembali berintegrasi dalam kehidupan sosial.
Kata Kunci: Pendidikan, Pengajaran, Tahanan

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN
SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN
DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)


Oleh
ANDREW CARLOS ALAMANZO
2011117

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI

I

II

PENDAHULUAN .................................................................................

1


A. Latar Belakang Masalah ....................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...................................................

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................

7

D. Kerangka Teori dan Konseptual........................................................

8

E. Sistematika Penulisan .......................................................................

13


TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................

15

A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan ..................................

15

B. Pengertian dan Hak-Hak Tersangka..................................................

18

C. Penegakan Hukum Pidana dan Faktor-Faktor yang

III

IV

Mempengaruhinya.............................................................................


20

D. Sistem Peradilan Pidana ....................................................................

26

METODE PENELITIAN .....................................................................

32

A. Pendekatan Masalah ..........................................................................

32

B. Sumber dan Jenis Data ......................................................................

33

C. Penenentuan Narasumber ..................................................................


34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................

34

E. Analisis Data .....................................................................................

35

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................

36

A. Karakteristik Narasumber .................................................................

36

B. Pelaksanaan Pendidikan dan Pengajaran Bagi Tahanan di Polresta
Bandar Lampung ...............................................................................


37

V

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Pelaksanaan Pendidikan dan
Pengajaran Bagi Tahanan di Polresta Bandar Lampung ...................

57

PENUTUP ...............................................................................................

60

A. Simpulan ...........................................................................................

60

B. Saran ..................................................................................................


61

DAFTAR PUSTAKA

MOTO

Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakanlah.
Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.
- Q.S. Al-Hasyr : 7
Jadikanlah shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu.
- Q.S 2 : 45
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu
tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.
- Q.S. 16 : 18

PERSEMBAHAN


Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat
hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,
Kupersembahkan Karya Kecilku ini kepada :
Kedua Orang Tua Tercinta,
Bapak (Hafriza Burhan)
Ibu (esther),
Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih
untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa
menjadi seseorang yang kuat dan konsisten kepada cita-cita
Adik (Geraldo Marcelino) dan Adik (Michael Alvaro) sepupu
(Giadi.Alesandrro,fabio , endrico,yudhistira,bob,kasih vicky, terry
(alm),Harold kevin ,arnold,Nandito fabricio)
tersayang yang selalu mendampingi dan membantuku dalam segala hal,
Tumbuh besar dalam suatu keluarga membuatku kuat dan mengerti
akan arti hidup sesungguhnya
Seluruh keluarga besar yang memotivasi dan memberikan doa untuk
keberhasilanku
Almamater tercinta Universitas Lampung
Viva Justicia Fakultas Hukum


SANWACANA

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan
skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Tetapi dengan adanya keterlibatan
berbagai pihak yang telah memberikan doa, bantuan, dorongan, bimbingan,
petunjuk, kritik dan saran, akhirnya penulis dapat melalui semuanya dengan baik.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalamdalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Hi. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Hi. Yuswanto, S.H., M.H., selaku PD 1 Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung
5. Ibu Dr, Erna Dewi S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah bersedia
membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi
ini.

6. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya membantu, mengkoreksi dan memberi
masukan agar terselesaikannya skripsi ini.
7. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H; selaku Pembahas I yang selalu membantu dan
membahas skripsi saya serta untuk selalu mengoreksi skripsi saya selama ini.
8. Ibu Dona Raisa Monica, SH., MH, selaku Pembahas II yang tiada henti
membantu saya sampai saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis yang kelak akan sangat berguna bagi
penulis, serta seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
10. Kedua orang tuaku, Bapak Hafriza Burhan Bsc. SH dan Ibu Esther yang
sangat kucintai, kusayangi dan kuhormati, terima kasih atas doa, dukungan,
motivasi serta pengorbanan luar biasa yang selama ini diberikan demi
kesuksesan dan keberhasilan anaknya. Semoga hati kita selalu dipersatukan
sebagai suatu keluarga.
11. Adik Geraldo Marcelino dan Adik Michael Alvaro terima kasih atas motivasi
tiada henti, serta memberikan tamparan semangat yang sangat berarti,
dukungan dan kasih sayang dengan penuh kesabaran selama ini.
12. Untuk Omaku tercinta Ibu Frida Jillian Kessel dan Ibu Hj Hafsah
nasution(Alm) dan Opa ku tercinta Mahidin Tjeknang (Alm) dan Hi Burhan
Haki (Alm) serta keluarga besar dari pihak Bapak dan Ibu, yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat yang luar biasa.

13. Sahabat terbaikku Erwan Andri yusta, Erwin Andri yusta ,Padli achmad,
Redick geriyanto, Iban, Okem, Boggi, Eric Rey, Erik Arnando Edwin
setiawan, Aong, Hari, Rudi, Fajar putra, Rino, Herriansyah, Muhammad Reza,
Arnansyah Novan ,Aditya Agus Pramuji, Rahmad Syahrial, Martin Pranata,
Defri nico, Onki prianto, Didi ghazali, Abdu rs, Odang, Ardi, Yoga Anggara,
Hidayat,Tyo saezar, Fitri Ndoy, Tiara Zulfa , Risda Idfira, Metacecah. yang
menjadi teman berbagi di segala keadaan.
14. Rekan-rekan seperjuangan, Ibnu Sina Fahturahman, Ghea Eliana Abrar, Junisa
Harahap, Lirta Amalia, Raysa Andayu Putri, Dahliana, Zevina Zoravianda,
Ola Meria Amalia, Sylvia Widya Chandra, Chairinta Bunga, Aisha Andiarina,
Linda Susilawati, Vega Sarlita, Rizky Putri, Diah Ayu Sartika, Windy Astria,
Rizella Ananda, Devy Citra, Lia Novira Amir, Ockta, Faiz Nadiyansyah,
Ridho Dinilhaq, M. Ade Damara kp, Herri Alvavera, Rommi Primatama,
Thomson, Rendi Rinaldi, Apriansyah Rinaldo, Agam, Mamanda, reydi, Ibnu
farhan, M Agung maulido, Moch Riski Christian Kartono, Agus Taufik,
Taufik Ardiansyah, Evryanto, Erdit Tj, Achmad Rojali (Alm), Riza Ghazali,
Oddi Yuranda, serta seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Hukum
Universitas Lampung, terima kasih atas waktu dan bantuan kalian semoga kita
semua menjadi orang yang berguna bagi Bangsa dan Negara.
15. Keluarga Kecilku “Kreasi Otak Gue “ (K O G) Lampung yang selalu berdiri
disampingku.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan, semangat serta dorongan dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga segala kebaikan dapat diterima sebagai pahala oleh Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanya
milik Allah dan kesalahan adalah milik penulis, akan tetapi sedikit harapan
semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya,
khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu
pengetahuan. Semoga skripsi ini kedepannya akan bermanfaat. Semoga Allah
SWT meridhoi segala langkah hidup kita.

Bandar Lampung, Desember 2014
Penulis

Andrew Carlos Alamanzo

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyidik

berwenang

melakukan

penahanan

kepada

seorang

tersangka.

Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan
secara efektif dan efisien kepada tersangka dan sebagai tindakan untuk memenuhi
prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara
sederhana, bebas dan biaya ringan. Ketentuan tentang penempatan tahanan
menentukan bahwa sebelum ada Rutan maka penahanan dapat dilakukan di
tempat tertentu misalnya kantor polisi, kejaksaan dan pengadilan.

Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan, “Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh undang-undang dengan maksud semata-semata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tersebut jika ditafsirkan secara negatif
mengandung arti, bahwa setiap pembatasan terhadap hak dan kebebasan
seseorang yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang dan bukan dengan

2

maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis, merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disingkat HAM).

Salah satu bentuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang adalah
penahanan tersangka pelaku tindak pidana. Agar penahanan tersangka pelaku
tindak pidana tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM, maka sejalan
dengan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) mengatur secara ketat
penahanan tersangka.

Pasal 20 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penahanan atau penahanan lanjutan
terhadap tersangka hanya untuk kepentingan penyidikan. Selanjutnya Pasal 21
Ayat (1) disebutkan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menibulkan kekhawatiran bahwa
tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.

Penjelasan KUHAP menentukan bahwa setiap oang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

3

Berdasarkan ketentuan KUHAP dan penjelasannya tersebut maka diketahui
bahwa seorang tersangka yang ditahan bukanlah orang yang bersalah melainkan
karena kepentingan penyidikan menghendakinya. Oleh karena itu terhadap
tersangka yang ditahan, pejabat yang berwenang melakukan penahanan wajib
memberikan perawatan terhadap tersangka yang ditahan tersebut.

Berkaitan dengan perawatan tahanan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan
(selanjutnya disingkat PP Nomor 58 Tahun 1999) menentukan:
(1) Wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan di
Rutan/Cabang Rutan ada pada Menteri dan dilaksanakan oleh Kepala
Rutan/Cabang Rutan.
(2) Dalam hal Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tertentu ditetapkan oleh
Menteri sebagai Rutan, maka wewenang, tugas dan tanggung jawab
perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan,
oleh Kepala Lapas/Cabang Lapas yang bersangkutan.
(3) Dalam hal tahanan yang di tempatkan di tempat tertentu yang belum
ditetapkan sebagai Cabang Rutan, maka wewenang, tugas dan tanggung
jawab perawatan tahanan ada pada Menteri dan dilaksanakan oleh
pejabat yang memerintahkan penahanan.

Berdasarkan ketentuan di atas maka diketahui bahwa penahanan tersangka di sel
Kantor Kepolisian yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan dapat
dikategorikan sebagai penempatan tahanan di tempat tertentu yang belum
ditetapkan sebagai Cabang Rutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3)
PP Nomor 58 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun
1999, terhadap tersangka yang ditahan yang di sel kantor kepolisian, maka
wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan dilaksanakan oleh
penyidik Kepolisian sebagai pejabat yang memerintahkan penahanan.

4

Salah satu institusi Kepolisian yang menempatkan tahanan di sel Kantor
Kepolisian yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun 1999 adalah Kepolisian Resor Kota
(selanjutnya disingkat Polresta) Bandar Lampung. Hal ini berarti wewenang, tugas
dan tanggung jawab perawatan tahanan yang di tempatkan di sel Polresta Bandar
Lampung dilaksanakan oleh penyidik Polresta Bandar Lampung sebagai pejabat
yang memerintahkan penahanan.

Salah satu bentuk perawatan tahanan yang diatur dalam Pasal 20 PP Nomor 58
Tahun 1999 adalah Hak Tahanan untuk mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran
sebagai berikut:
(1) Bagi tahanan dapat diberikan kesempatan mengikuti pendidikan dan
pengajaran.
(2) Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) dapat berupa:
a. Penyuluhan hukum;
b. Kesadaran berbangsa dan bernegara; dan
c. Lainnya sesuai dengan program perawatan tahanan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 20 PP Nomor 58 Tahun 1999, maka
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan yang di tempatkan di sel
Markas Polresta Bandar Lampung dilakukan oleh penyidik Polresta Bandar
Lampung.

Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan pada dasarnya adalah upaya
yang dilakukan oleh negara dalam memenuhi hak-hak tahanan. Penyidik yang
berinteraksi langsung dengan tahanan mempunyai kewajiban moral untuk
merubahnya menjadi manusia yang bisa menyadari kesalahannya sendiri dan mau
merubah dirinya sendiri menjadi lebih baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan

5

bimbingan dan pengawasan yang bersifat persuasi edukatif yaitu berusaha
merubah tingkah laku melalui keteladanan kepada tahanan sehingga menggugah
hatinya untuk melakukan hal-hal terpuji, menempatkan tahanan sebagai manusia
yang memiliki potensi dan memiliki harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya
yang sama dengan manusia lain.

Permasalahan yang terjadi dalam kaitannya dengan pendidikan dan pengajaran
bagi tahanan adalah adalah secara ideal seorang tersangka maupun narapidana
yang telah menjalani proses pendidikan dan pengajaran oleh aparat penegak
hukum dalam sistem peradilan pidana dan telah dinyatakan bebas untuk kembali
berintegrasi dengan masyarakat, maka seharusnya ia tidak akan melakukan
kejahatan atau tindak pidana lagi karena ia telah mendapatkan pembinaan
keagamaan dan kesadaran hukum. Pada kenyataannya seorang narapidana masih
berpotensi mengulangi kejahatannya kembali dan menjadi seorang residivis. Hal
ini dapat disebabkan masih buruknya stigma masyarakat terhadap mantan
narapidana, sehingga ia merasa terkucilkan dari pergaulan masyarakat dan
berpotensi kembali mengulangi kejahatannya, sebagai bentuk kekecewaannya
pada masyarakat yang tidak mau menerima kehadirannya sebagai mantan pelaku
kejahatan yang pernah ditahan atau menjalani hukuman.

Pendidikan dan pengajaran bagi tahanan dalam konteks ini mempunyai peranan
yang besar dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, karena diharapkan
dapat membimbing seseorang yang telah melakukan pelanggaran hukum dan
menjalani hukuman untuk dapat mencapai reintegrasi, yaitu pemulihan kesatuan
hubungan hidup yang terjalin antara individu dengan masyarakat.

6

Untuk mencapai tujuan di atas, harus ditunjang oleh adanya partisipasi dari
tersangka itu sendiri, berupa adanya kemauan atau tekad akan perbaikan atas
dirinya serta menyesali perbuatannya. Masyarakat di lain pihak hendaknya mau
menerima mantan pelaku kejahatan dan tidak mengasingkannya. Menerimanya
dalam arti mengarahkan agar bertingkah laku dengan baik, dan bukan selalu
mencurigainya. Sebab pembinaan narapidana akan berhasil dengan baik apabila
ada kerjasama antara aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melaksanakan penelitian dan
menuangkan ke dalam Skripsi yang berjudul: “Pelaksanaan Pendidikan dan
Pengajaran Bagi Tahanan sebagai Bagian Program Perawatan Tahanan di
Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di
Polresta Bandar Lampung?
b. Apakah -faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi
tahanan di Polresta Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada pelaksanaan pendidikan
dan pengajaran bagi para tahanan di Polresta Bandar Lampung sebagai salah satu

7

bentuk perawatan tahanan. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah di Polresta
Bandar Lampung dan waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman tentang
permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di
Polresta Bandar Lampung.
b. Untuk mengetahui faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian
Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis mempunyai
harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik maupun dunia
praktis sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam
rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum
nasional, terutama hukum acara pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan
perawatan tahanan penahanan.
b. Secara Praktis, penelitian ini berguna sebagai bahan informasi dan acuan untuk
mahasiswa dan instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung
jawab dan kehati-hatian dalam melakukan perawatan terhadap tahanan.

8

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Teori Tujuan Pemidanaan
Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu:
1) Teori Absolut atau pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu
pembalasan yang mutlak dari suatu perbuatan tindak pidana tanpa tawar
menawar. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam
pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pidana tidak pernah
dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau
kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang
yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Hal ini harus dilaksanakan
karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan perasaan
balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila
tidak demikian mereka sernua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil
bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan
umum. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa menurut
teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan
hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu keharusan
kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan.1

1

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung.
1984. Hlm.32.

9

2) Teori Relatif atau Tujuan
Tujuan pidana bukanlah sekedar rnelaksanakan pembalasan dari suatu
perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam
arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat,
melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan.
Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana
saja, sehingga dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini
adalah terletak pada tujuannya.

Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi
khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention),
prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga
pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi
tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti
telah dikenal dengan rehabilitation theory. Ada tiga bentuk pengaruh dalam
pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk
memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu
kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. 2

3) Teori Integratif atau Gabungan
Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu
tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya
tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana
diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan

2

Ibid. hlm.33.

10

masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping
sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan
baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat.

Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai
kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding
kelemahan-kelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit
untuk menentukan berat ringannya pidana diragukan adanya hak negara untuk
menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, pidana pembalasan tidak bermanfaat
bagi masyarakat. Dalam teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah
kejahatantan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan
umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan,
maka penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan
hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri. 3

b. Penahanan dan Hak-Hak Tersangka

Penahanan merupakan tindakan penghentian kemerdekaan sebagai hak asasi
manusia yang dimiliki oleh setiap orang. KUHAP sebagai hukum acara pidana
yang berlaku di Indonesia saat ini menjunjung tinggi HAM, karena itu KUHAP
memberikan pembatasan waktu penahanan. Jika waktu itu dilampaui, maka
pejabat yang melakukan penahanan wajib mengeluarkan tahanan demi hukum”.4
Menurut M. Yahya Harahap, “Landasan penahanan meliputi dasar hukum,
keadaan, serta syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan
3

Ibid. 1984. Hlm.34.
Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,
hlm.18.

4

11

penahanan antara yang satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang
kepada unsur yang lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan
penahanan kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi
sebagai tindakan yang tidak sah (ilegal).”5

Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu
perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap
penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau
Lapas/cabang lapas di tempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan
yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses
penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta pelaksanaan
putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan tersebut
dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System. Perawatan
tahanan di Rutan/Cabang Rutan atau Lapas/Cabang Lapas atau di tempat tertentu
bertujuan antara lain untuk:6
a. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun
pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan.
b. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau
c. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan
dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait
dengan tindak pidana yang dilakukan.

5

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta,
2009. hlm. 165.
6
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

12

Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan pada hak
kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang adalah
hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan harus dilakukan sesuai
dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan tingkat proses
pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib mengikuti programprogram perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak bersifat memaksa.
Kewajiban

tersebut

semata-mata

untuk

memberikan

manfaat

yang

menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga
perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik.
Darwan Prinst7, mengemukakan “hak-hak tersangka/terdakwa yang diatur dalam
KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia, akan tetapi oleh
karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil. Oleh karena itu ada
kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak memberi peluang atas
pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa. Pelaksanaan suatu undang-undang
ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya”.
2. Konseptual
Konseptual adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan satu sama lain
untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena. 8 Konseptual
sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

7
8

Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm.5.
Ronnyh Kountur, Metode Penelian Untuk Skripsi dan Tesis, PPM, Jakarta, 2007, hlm.85.

13

a. Pelaksanaan adalah proses melaksanakan atau melakukan suatu kegiatan/
program berdasarkan perencanaan guna mencapai hasil atau tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya9
b. Pendidikan dan pengajaran adalah kegiatan memberikan materi atau nilai-nilai
tertentu kepada peserta didik melalui proses pengajaran yang sistematis atau
terprogram untuk mencapai hasil10
c. Perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai
dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari Rumah Tahanan
Negara (Rutan)11
d. Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang di tempatkan dalam
Rutan/Cabang Rutan atau di tempat tertentu. 12
e. Kepolisian menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah institusi yang melaksakan tugas
mewujudkan keamanan dalam negeri, meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan para pembaca memahami skripsi ini , maka penulisan skripsi
ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

9

Solihin Abdul Wahab. Kebijakan Publik. Rajawali Press. Jakarta. 2006.hlm.43
Sanjaya Wina. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. 2007.hlm.12
11
Darwin Prinst, Op cit, hlm.7.
12
Ibid, hlm.9.
10

14

I

PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II

TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian penahanan dan permasalahan
di sekitar penahanan, pengertian dan hak-hak tersangka, sistem peradilan
pidana dan penegakan hukum pidana.

III

METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur
Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
terdiri dari pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan dan
faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran
bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung.

V

PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan

1. Pengertian Penahanan

Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang
menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentutan di atas terlihat bahwa substansi dari pengertian penahanan
ialah menempatkan sesorang di tempat tertentu. Menurut Andi Hamzah
penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan.1 Hal ini
senada dengan pendapat Lamintang yang mengatakan bahwa Penahanan pada
dasarnya adalah suatu tindakan yang membatasi kebebasan kemerdekaan
seseorang.2 Seseorang di sini bukanlah setiap orang melainkan orang-orang yang
menurut undang-undang dapat dikenakan penahanan. Orang yang menurut
undang-undang dapat dikenakan penahanan berdasarkan pasal di atas ialah
seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa.

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 19
2
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung.
1996. hlm. 16.

16

Berbeda dengan bentuk perampasan kemerdekaan yang lain yaitu penangkapan
yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik saja maka penahanan dapat dilakukan
oleh pejabat yang berwenang dalam setiap jenjang tahapan sistem peradilan
pidana. Pada tahap penyidikan penyidik dapat melakukan penahanan, dalam tahap
penuntutan penuntut umum dapat melakukan penahanan dan tahap pemeriksaan di
Pengadilan mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (Pengadilan
Banding) dan Mahkamah Agung (Pengadilan Kasasi), hakim dapat melakukan
penahanan yang lamanya telah diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 29 KUHAP.

Sebagai bentuk perampasan kemerdekaan penahanan seperti halnya penangkapan
pada prinsipnya bertentangan dengan hak kebebasan bergerak yang merupakan
hak asasi manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu demi kepentingan umum
penahanan dapat dilakukan dengan persyaratan yang ketat.

Persyaratan yang ketat tersebut dapat dilihat pada alasan untuk melakukan
penahanan. Alasan penahanan yang bersifat subjektif yaitu alasan penahanan yang
digantungkan pada pandangan/penilaian pejabat yang menahan terhadap tersangka
atau terdakwa. Alasan ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) di mana pejabat yang
berwenang menahan dapat menahan tersangka/terdakwa apabila menurut
penilaiannya si tersangka/terdakwa di kwatirkan hendak melarikan diri,
menghilangkan barang bukti serta dikuatirkan mengulangi tindak pidana lagi.

KUHP selain mengatur alasan penahanan yang bersifat subjektif, juga mengatur
alasan penahanan yang bersifat objektif dalam Pasal 21 Ayat (4). Alasan
penahanan objektif yaitu alasan penahanan yang didasarkan pada jenis tindak
pidana apa yang dapat dikenakan penahanan. Dari alasan objektif ini jelas bahwa

17

tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan terhadap tersangka atau
terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan yaitu tindak
pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 ke atas serta tindak pidana
sebagaimana disebutkan secara limitatis dalam Pasal 21 Ayat (4) sub d.

2. Permasalahan disekitar Penahanan

Pada prinsipnya penahanan merupakan pembatasan terhadap kebebasan seseorang
yaitu kebebasan bergerak di mana hal ini merupakan salah satu hak asasi manusia
yang harus dihormati. Berdasaarkan prinsip hak asasi manusia tersebut maka
perampasan kemerdekaan dapat dilakukan apabila didasarkan pada hukum yang
berlaku. Oleh karena itu pada prinsipnya pengaturan tentang kewenangan
penahanan hendaknya didasarkan pada landasan filosofis bahwa kemerdekaan
seseorang adalah merupakan hak asasi manusia yang mendasar, yang tidak dapat
dikurangi dibatasi oleh siapapun dalam bentuk apapun (non derogable rights).
Berdasarkan landasan filosofis tersebut maka tepatlah kalau KUHAP memandang
penahanan bukanlah suatu keharusa (imperatif) melainkan suatu kebolehan
(fakultatif) yaitu penahanan boleh dilakukan asal memenuhi syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. 3

Praktiknya ternyata apabila terpenuhi syarat objektif pada umumnya pejabat yang
berwenang selalu menggunakan haknya untuk menahan, seolah-olah penahanan
merupakan suatu keharusan. Melihat uraian di atas seandainya ada faktor yang
dapat menghilangkan alasan penahanan hendaknya jangan digunakan kewenangan
tersebut. Misalnya apabila ada pihak yang menjamin seorang tersangka/terdakwa
3

Andi Hamzah. Op cit. hlm. 23

18

akan kooperatif untuk dilakukan pemeriksaan, menjamin bahwa tersangka/
terdakwa tidak akan melarikan diri, menjamin tidak akan menghilangkan barang
bukti, menjamin untuk tidak mengulangi tindak pidana lagi sebaiknya
kewenangan untuk melakukan penahanan tidak perlu digunakan. KUHAP telah
memberikan instrumen kepada tersangka atau terdakwa berupa hak untuk
mengajukan penangguhan penahanan.

Penangguhan penahanan dapat dikemukan alasan untuk kooperatif terhadap
pemeriksaan yang pada pokoknya menghilangkan penilaian subjektif dari pejabat
yang menahan bahwa tersangka dikuatirkan melarikan diri, mengulangi tindak
pidana lagi, dan menghilangkan barang bukti. Terhadap jaminan berupa orang
maka orang yang menjamin harus bisa meyakinkan pejabat yang menahan bahwa
tersangka akan kooperatif.

4

Apabila pejabat yang berwenang menahan merasa

kwatir kalau tersangka/terdakwa hendak melarikan diri, menghilangkan barang
bukti dan mengulangi tindak pidana lagi serta tindak pidana yang dilakukan
merupakan tindak pidana yang dapat ditahan dan tidak ada alasan yang dapat
menegasikan

kekuatiran

maka

pejabat

tersebut

boleh

menggunakan

kewenangannya untuk melakukan penahanan.

B. Pengertian dan Hak-Hak Tersangka

Pengertian tersangka dapat di ketemukan dalam Pasal 1 butir yang menentukan
bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa dasar untuk menetapkan
4

Ibid. hlm. 24

19

seseorang menjadi tersangka adalah adanya bukti permulaan yang cukup yang
mengarah kepada perbuatan seorang tersebut ataupun suatu keadaan yang
mengarah kepada orang tersebut.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP memberikan penjelasan tentang bukti permulaan
yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Namun
KUHAP tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana. Ada dua pandangan untuk menentukan apa yang
dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Pertama, dikatakan ada bukti
permulaan yang cukup apabila telah terpenuhinya minimum dua alat bukti.
Kedua, apabila ada barang bukti dan kesaksian. Untuk pandangan yang pertama
didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menentukan seseorang dapat dipidana
dengan sekurang-kurangnya didasarkan pada dua alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim.

Pasal 184 KUHAP menentukan secara limitatif disebutkan alat bukti yang dapat
digunakan sebagai dasar pembuktian kesalahan tersangka yaitu: 1. Keterangan
Saksi, 2. Keterangan Ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, 5. Keterangan terdakwa.
Minimum dua alat bukti dapat muncul dari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.

Sebagai orang yang patut diduga maka seorang tersangka adalah seseorang yang
belum tentu bersalah, oleh karena itu seorang tersangka yang ditahan harus
diberikan hak-haknya sesuai hak yang melekat pada diri seorang manusia. Hal ini
sesuai dengan asas praduga tak bersalah (Presumption of Innosence) yaitu

20

seseorang tidak boleh dikatakan sebagai orang yang bersalah sebelum ada
keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 5

Realisasi terhadap pelaksanaan asas praduga tak bersalah maka KUHAP
merumuskan beberapa hak bagi tersangka. Hak-hak tersebut tersebar di dalam
pasal – pasal KUHAP antara lain:
a. Hak untuk mendapat bantuan hukum mulai dari tingkat penyidikan sampai
pemeriksaan di pengadilan;
b. Hak untuk mengajukan saksi yang meringankan;
c. Hak untuk mendapatkan turunan berita acara pemeriksaan;
d. Hak untuk berhubungan dengan penasihat hukumnya, keluarganya.
e. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 6

Hak-hak yang diberikan kepada tersangka di atas adalah menunjukkan bahwa
tersangka adalah orang yang belum tentu bersalah. Melalui penggunaan hak-hak
tersebut tersangka dapat mengajukan pembelaannya untuk membuktikan bahwa
dirinya adalah orang yang tidak bersalah

C. Penegakan Hukum Pidana dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan
hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila
berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan
dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di
dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai
5

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23
6
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 25

21

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan
untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana7
Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaraan penegakan hukum
pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendirisendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan
yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut
masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.
Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang
melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan
hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 8

7

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan
Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum,
Jakarta, 1994, hlm.76.
8
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 2.

22

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, namun
demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks
sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan
demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran
yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang
bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Pandangan penyelenggaraan tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai
model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang
yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan
meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan
penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak
menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan
dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime
control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakantindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 9
Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana
substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam
bentuk yang bersifat preventif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan
nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana
yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
9

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.

23

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut
Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari
proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan
penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka
atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar
penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.10

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap
batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku
kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk
mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar
pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum
dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk
disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.
Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem
peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai
dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang
menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan
perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan
ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undangundang
10

tersebut

memberikan

kekuasaan

kehakiman

yang

bebas

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 1997, hlm.62.

dan

24

bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum
dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di
dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi.
Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.
Penegakan hukum pada dasarnya bukan semata-mata pelaksanaan perundangundangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu
sebagai berikut11:
(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan
kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
(2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan
hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa
kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran
adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap
11

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta.
Jakarta 1986. hlm.8-11

25

lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa,
terlihat dan diaktualisasikan.
(3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin
menjalankan peranan semestinya.
(4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan
hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan
penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi
kesadaran hukum masyarakat ma