Cacing parasitik dan gambaran darah pada ikan maskoki (Carassius auratus)

(1)

ABSTRACT

BANJAR ARSI PURBO SEJATI (B04070090). Parasitic Worm and Leukocyte Profile of Goldfish (Carassius auratus). Under direction Dr. drh. Risa Tiuria, Ms. And Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, Ms.

This research was conducted to observe the parasitic worms on the goldfish and see the relationship between the infestation of worms with the hematology of goldfish. The organs which examined were the gills and the intestines. This research used 30 samples. Ten samples were taken from the Pasar Anyar Bogor Tengah, ten samples from Batu Tulis Bogor Selatan and ten samples from Baranang Siang Bogor Timur. The results showed that the gills of goldfish were 100% infected with parasitic worms. The intestines were not infected with parasitic worms. Parasites that identificated in goldfish’s gills were Monopisthocotylea and Dactylogyrus sp.. Leukocyte profile of the goldfish showed an increase in the neutrophils and the eosinophils.


(2)

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT PADA

IKAN MASKOKI (Carassius auratus)

BANJAR ARSI PURBO SEJATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(3)

ABSTRACT

BANJAR ARSI PURBO SEJATI (B04070090). Parasitic Worm and Leukocyte Profile of Goldfish (Carassius auratus). Under direction Dr. drh. Risa Tiuria, Ms. And Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, Ms.

This research was conducted to observe the parasitic worms on the goldfish and see the relationship between the infestation of worms with the hematology of goldfish. The organs which examined were the gills and the intestines. This research used 30 samples. Ten samples were taken from the Pasar Anyar Bogor Tengah, ten samples from Batu Tulis Bogor Selatan and ten samples from Baranang Siang Bogor Timur. The results showed that the gills of goldfish were 100% infected with parasitic worms. The intestines were not infected with parasitic worms. Parasites that identificated in goldfish’s gills were Monopisthocotylea and Dactylogyrus sp.. Leukocyte profile of the goldfish showed an increase in the neutrophils and the eosinophils.


(4)

RINGKASAN

BANJAR ARSI PURBO SEJATI (B04070090). Cacing Parasitik dan Gambaran Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus). Dibawah Bimbingan Dr. drh. Risa Tiuria, Ms. Sebagai Pembimbing I dan Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, Ms. Sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati cacing parasitik yang berada pada ikan maskoki serta melihat pengaruh kecacingan terhadap gambaran leukosit ikan. Organ yang diperiksa berupa insang dan usus. Penelitian ini menggunakan 30 sampel ikan. Sepuluh sampel ikan diambil dari Pasar Anyar Bogor Tengah, sepuluh sampel Batu Tulis Bogor Selatan dan sepuluh sampel Baranang Siang Bogor Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa insang ikan maskoki 100% terinfeksi cacing parasitik. Usus ikan tidak terinfeksi cacing parasitik. Parasit yang menyerang insang ikan maskoki teridentifikasi berupa cacing dari sunkelas Monopisthocotylea dan Dactylogyrus sp.. Gambaran leukosit ikan maskoki menunjukkan adanya peningkatan sel neutrofil dan sel eosinofil.


(5)

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT PADA

IKAN MASKOKI (Carassius auratus)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut PertanianBogor

Oleh:

BANJAR ARSI PURBO SEJATI

B04070090

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT IKAN MASKOKI (Carassius auratus)

Adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini.

Bogor, November 2011

Banjar Arsi Purbo Sejati NIM : B04070090


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang Mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Cacing parasitik dan gambaran darah pada ikan maskoki (Carassius auratus)

Nama : Banjar Arsi Purbo Sejati

NIM : B04070090

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.drh. Risa Tiuria, M.S. Dr.drh. Damiana Rita Ekastuti,M.S. NIP: 196304301987032001 NIP: 1962021219862001

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP: 196212051987032001


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini mampu terselesaikan dengan baik.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaiksn penghargaan dan ucapan terimakasih setinggi-tingginya kepada orang-orang yang telah berperan dalam penyusunan tugas akhir ini. Ucapan terimakasih tersebut disampaikan kepada: 1. Dr. Drh. Risa Tiuria, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh.

Damiana Rita Ekastuti, MS selaku dosen pembimbing kedua atas kesempatan, bimbingan, petunjuk, masukan dan dorongan yang sangat membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Drh. H Muchidin Noordin selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini.

3. My Beloved Family: Papa, Mama, kak Putri Indonesia Sejati, Kak Gati, adek Anjar dan seluruh keluarga besar serta eyang atas dukungan yang diberikan selama ini.

4. Rekan satu penelitian, Amalia Mukhlis Rahman dan David Kusmawan atas kerjasama dan dukungan selama penelitian.

5. Pak Eman (staf bagian Helminthologi), Bu Wiwik dan Pak Engkos atas bantuannya.

6. Adi N, Wulan, Ati, Sheila, Mega, dan Tami atas bantuan, koreksian, dukungan, dan saran berharga yang diberikan.

7. Teman-teman Gianuzi 44 atas kebersamaannya selama ini.

8. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak mungkin disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih.

Terlepas dari kekurangan yang ada penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.

Bogor, November 2011


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Abepura pada tanggal 19 Juni 1989 sebagai anak Kedua dari empat bersaudara, dari Pasangan Sudarmo Di Suryo dan Wahtu Kustiarini.

Pendidikan dasar ditempuh di SDN Perumnas 1 Waena, kemudian dilanjutkan pada SMP Negeri 11 Jayapura, lalu dilanjutkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Abepura. Penulis diterima sebagai mahasiswi IPB pada Fakultas Kedokteran Hewan tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengenyam pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi salah satu pengurus HIMPRO HKSA. Penulis pernah menjadi anggota STERIL dan pengurus VISI II.


(11)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………... DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR TABEL ………... PENDAHULUAN ……….………

Latar Belakang ………..………... Tujuan Penelitian ….………..………..….…... Manfaat Penelitian ………..………..…...… TINJAUAN PUSTAKA ………..……… Ikan Maskoki (Carassius auratus) ………..…… Darah Ikan Maskoki ………...…..………..….… Cacing Parasitik Pada insang dan Usus ……….……… BAHAN DAN METODE ………. Waktu dan Tempat Penelitian ………..…....….. Alat dan Bahan ………..……….. Metode Penelitian .………...…...………. Analisis Data Tingkat Infeksi ………..………....…… HASIL DAN PEMBAHASAN ……….... Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) ……... Prevalensi Kecacingan Pada Ikan Maskoki ………... Identifikasi Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius

auratus) ……….... Jumlah Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus) .. Sel Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus) ………. SIMPULAN DAN SARAN ……….. Simpulan ………

ii iv v 1 1 1 2 3 3 6 8 14 14 14 14 16 17 17 17 18 20 22 25 25


(12)

ii Saran ………..

DAFTAR PUSTAKA ………..…….… 25 26


(13)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Oranda Fancy Goldfish ………...…. 4

2 Saluran Pencernaan Ikan Maskoki ………. 5

3 Gambaran Sel Darah Putih Ikan ……… 7

4 Gyrodactylus sp. ………...………… 10

5 Dactylogyrus ………...……….. 10

6 Diplectanum Collinsi ……… 12


(14)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Gambaran Leukosit Normal Ikan Maskoki ………. 6 Tabel 2 Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki .………. 17 Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor ………..….. 17 Tabel 4 Jumlah cacing pada ikan di Bogor ……… 21 Tabel 5 Diferensial Leukosit ikan maskoki ………. 22


(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan hias air tawar merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang mempunyai peluang besar untuk menghasilkan devisa negara di sektor non migas. Ikan hias air tawar memiliki keindahan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penghobi maupun untuk pembudidaya ikan hias. Salah satu jenis ikan hias air tawar yang populer adalah ikan maskoki (Carassius auratus). Ikan ini memiliki kemampuan yang cukup adaptif terhadap kondisi lingkungan. Namun di dalam pemeliharaannya, ikan maskoki tetap tidak lepas dari masalah kesehatan seperti terserang penyakit.

Penyakit dapat disebabkan oleh berbagai agen. Menurut Gusrina (2008), ada dua jenis agen yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit yaitu agen patogen dan agen non patogen. Kehadiran agen patogen dapat mempengaruhi pemilik ikan dan individu ikan itu sendiri. Penyakit pada ikan menyebabkan penurunan kualitas ikan, kematian ikan, kerugian materiil, kegagalan budidaya, dan dapat berujung pada bangkrutnya usaha (Prayitno 2002). Kehadiran agen patogen tertentu dalam tubuh inang dapat menyebabkan timbulnya kerusakan, stres bahkan kematian. Menurut Gusrina (2008), contoh agen non patogen berupa keracunan dan kekurangan gizi, sedangkan contoh agen patogen berupa virus, bakteri, dan cacing parasit.

Ikan maskoki merupakan anggota dari famili Cyprinidae. Menurut Anshary (2008), ikan dari famili tersebut termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai infeksi parasit. Kehadiran cacing parasit menyebabkan adanya respon pada tubuh, salah satunya berupa perubahan gambaran leukosit ikan.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi cacing parasitik pada ikan maskoki dan untuk melihat pengaruh kecacingan terhadap gambaran leukosit pada ikan maskoki.


(16)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai jenis cacing parasitik yang menyerang insang dan saluran pencernaan ikan maskoki (Carassius auratus)serta gambaran leukosit darah dari ikan tersebut.


(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Ikan Maskoki (Carassius auratus) pertama kali dibudidayakan oleh masyarakat Cina pada tahun 960-1729. Awalnya bentuk ikan maskoki seperti ikan Mas (Cyprinus carpio L), bedanya ikan maskoki tidak memiliki sepasang sungut di mulutnya popularitas ikan maskoki mulai menanjak. Di sinilah bermunculan ikan maskoki dengan bentuk tubuh yang bervariasi dan unik. Perkembangan ikan maskoki kemudian merambah hingga ke negeri Jepang.

Di negeri matahari terbit ikan maskoki terus mengalami perkembangan pesat sehingga menghasilkan bentuk yang lebih bervariatif seperti saat ini. Dari negeri Sakura, ikan maskoki mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia besar agak menonjol ke luar dan warna sisik yang menarik. Ikan maskoki tergolong mudah dipelihara karena sifatnya cukup adaptif terhadap lingkungan yang baru. Tak mengherankan jika ikan maskoki dengan berbagai varietasnya tersebar di seluruh dunia

Ikan maskoki masuk ke dalam Kingdom Animalia, Subkingdom Eumetazoa, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Infrafilum Gnathostomata, Kelas Actinopterygii, Subkelas Neopterygii, Superordo Teleostei, Ordo Clupeiformes, Family Cyprinidae, Genus Carassius dan Spesiesnya berupa Carassius auratus

(Freyhof 2004).

Salah satu jenis ikan maskoki yang populer adalah Ikan maskoki varietas Oranda (Spencer). Ikan ini memiliki keunikan yang terletak pada kepalanya yang berjambul dan memiliki sirip punggung (Iskandar dan Sitanggang 2003), hal tersebut dapat diamati pada Gambar 1.

Ikan maskoki merupakan ikan hias air tawar yang hidup di perairan dengan air yang mengalir tenang serta berudara sejuk hewan omnivora (Watson et al 2004) dan bukan hewan kanibal sehingga dapat dipelihara secara koloni dalam satu lingkungan pemeliharaan (Iskandar dan Sitanggang 2003).


(18)

4 Suhu optimal air untuk hidup ikan maskoki adalah 18-24ºC. Mempertahankan suhu untuk terus berada dalam kisaran suhu optimal perlu dilakukan. Karena pemeliharaan di luar suhu optimal dapat menekan sistem kekebalan tubuh ikan dan akan menyebabkan penurunan nafsu makan serta gangguan pada pertumbuhan ikan. Ikan maskoki dapat hidup dalam air yang memiliki kandungan oksigen minimal 5 mg/L, pH 7-7.8, tingkat amoniak terlarut maksimal 0,05 mg/L dan tingkat nitrit terlarut maksimal 0,05 mg/L (Watson et al

2004).

Ikan maskoki dianggap sebagai ikan yang tangguh karena dapat bertahan hidup di air berkualitas buruk. Walaupun demikian, kualitas air penting di perhatikan agar pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal (Watson et al 2004). Ikan maskoki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches (58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg .

Ikan maskoki memiliki organ interna dan eksterna yang keseluruhan organ tersebut memiliki ciri dan fungsi tertentu untuk mendukung kelangsungan hidup ikan (Yanong 2003). Insang merupakan salah satu organ interna ikan maskoki yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup ikan. Peranan penting tersebut adalah sebagai media pertukaran gas (Campbell et al 2004). Insang terdiri dari lamela insang primer, lamela insang sekunder dan tulang rawan insang. Lamela primer adalah lamela yang bersentuhan langsung dengan tulang rawan insang dan lamela sekunder merupakan percabangan dari lamela primer (Yanong 2003).

Insang akan mengoptimalkan ekstraksi oksigen dari air dan merupakan tempat untuk melepaskan karbon dioksida. Ikan memompa air melalui mulut dan


(19)

5 keluar diantara celah insang lewat gerakan terkoordinasi dari rahang dan

operculum (penutup insang), agar terjadi ventilasi. Ventilasi yang dimaksudkan berupa aktivitas inhalasi dan ekshalasi atau proses mengambil oksigen dan melepaskan karbon dioksida lewat pernafasan. Ketika ventilasi terjadi, darah mengalir dengan arah yang berlawanan dengan aliran air yang mengalir, oksigen akan masuk ke dalam aliran darah dan CO2 akan dibuang ke air (Campbell et al 2004).

Usus merupakan salah satu organ interna ikan yang mengambil peranan dalam sistem pencernaan. Usus berbentuk seperti tabung memanjang yang melingkar-lingkar dan mengisi sebagian besar rongga abdomen. Makanan yang ditangkap oleh mulut akan masuk ke dalam rongga mulut, melewati faring, esofagus, bola usus (intestinal bulb), usus kemudian sisa makanan yang tidak diserap akan dikeluarkan lewat anus (Sarbahi 1951).


(20)

6 Bola usus merupakan kantung hasil pembengkakan anterior usus yang berfungsi untuk menyimpan makanan. Bola usus tidak memiliki kelenjar lambung dan memiliki mukosa yang mirip dengan mukosa usus (Khanna dan Yadav 2004). Usus ikan maskoki sendiri terbagi atas usus depan, usus belakang dan rektum. Perbedaan antara usus depan, usus belakang, dan rektum terletak pada pola lipatan dari membran mukosa. Usus depan memiliki pola lipatan berupa garis dan sudut sedangkan usus belakang memiliki pola lipatan berupa garis yang berbelit-belit. Pola lipatan rektum ikan maskoki berupa pola miring melintang (Sarbahi 1951).

Darah Ikan Maskoki

Seperti pada mamalia, ikan memiliki komponen darah berupa sel darah merah atau eritrosit dan sel darah putih atau leukosit. Setiap spesies pada hewan, baik itu mamalia, reptil maupun ikan memiliki kisaran nilai parameter hematologi yang berbeda. Gambaran leukosit normal pada ikan maskoki dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Gambaran leukosit normal ikan maskoki

No Diferensial leukosit (%)

Leukosit Normal Ikan Maskoki

Watson (1963) Loventhal (1930) Lewbart (2006)

1. Limfosit 92 73 70

2. Eosinofil 2 8

3. Neutrofil 5 10.5 29

4. Monosit 8.6 1

5. Basofil 0.2 0.5

Dari Stoskopf MK. 1993. Fish Medicinal. Philadelphia:W.B. Saunders Company.

Limfosit merupakan sel leukosit berbentuk bulat, tidak teratur dengan inti yang besar (Gao et al. 2007). Limfosit merupakan sel leukosit yang paling umum ada dalam darah ikan, berupa 85% dari seluruh total populasi sel leukosit (V´azquez dan Guererro 2007). Limfosit berfungsi memediasi respon imun humoral dan respon imun seluler. Ketika sel limfosit berkontak dengan bahan asing (antigen), akan terjadi proliferasi sel limfosit yang kemudian akan menyebabkan dikeluarkannya antibodi imunoglobulin oleh sistem imun. Respon imun humoral merupakan respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh antibodi dalam sirkulasi (Aqualex Multimedia Consortium [AMC] 2008).


(21)

7 Monosit merupakan sel-sel besar dengan nukleus besar dan sitoplasmanya berisi granul-granul kecil yang tersebar. Monosit berfungsi dengan menanggapi infeksi dan merupakan prekursor dari makrofag. Hal ini menyebabkan sel monosit memainkan peran penting dalam imunitas non spesifik dan respon inflamasi (AMC 2008).

Eosinofil, neutrofil dan basofil pada ikan termasuk dalam granulosit leukosit atau sel leukosit yang memiliki granul-granul (V´azquez dan Guererro 2007). Granulosit terlibat dalam mekanisme pertahanan non-spesifik, yaitu mereka menanggapi adanya bahan asing dalam tubuh tetapi tidak mengenali antigen tertentu. Sel-sel ini bermigrasi ke bagian tubuh di mana invasi terjadi dan menghancurkan partikel asing dengan fagositosis atau dengan membunuh langsung yang dikenal sebagai respon sitotoksik (AMC 2008).

.

Gambar 3. Gambaran sel darah Putih ikan: A) l adalah Limfosit; B) m adalah Monosit; C) eo adalah Eosinofil; D) Neutrofil; E) eosinofil (V´azquez dan Guererro 2007); F) Monosit; G) Limfosit (Gao et al. 2007).

Pada ikan sehat, yang paling umum ditemukan diantara ketiga granulosit tersebut adalah sel neutrofil dan granulosit leukosit yang sangat jarang ditemukan adalah sel basofil (V´azquez dan Guererro 2007). Neutrofil umumnya memiliki ukuran yang lebih besar dari eritrosit, dapat berbentuk bulat, seperti buah pir,


(22)

8 berbentuk elips tidak teratur. Memiliki inti yang dapat diamati seperti berbentuk pita, bentuk tapal kuda, membentuk segmen terhadap sumbu dan tidak simetris.

Eosinofil merupakan sel darah putih khusus (leukosit PMN) yang dapat diwarnai dengan pewarna asam seperti eosin, namun sel eosinofil dapat pula di identifikasi dengan pewarnaan sederhana seperti pewarnaan giemsa (AMC 2008). Eosinofil memiliki sitoplasma yang besar berbentuk bola dengan granul-granul yang hampir menutupi. Inti sel eosinofil biasanya berbentuk bulat, kadang berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda tetapi lebih teratur (Gao et al. 2007). Sel-sel ini terlibat dalam penghancuran parasit internal dan dalam modulasi inflamasi reaksi alergi (AMC 2008).

Cacing Parasitik Pada Insang dan Usus

Ikan Cyprinidae termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai infeksi parasitik (Anshary 2008). Menurut FAO (1991), Metazoa yang bersifat parasit seperti cacing parasit pada kelas tertentu (monogenea, cestoda dan digenea) merupakan agen-agen yang memegang peranan pada penyakit ikan.

Monogenea merupakan salah satu kelas dari hewan yang tak bertulang belakang yang termasuk dalam phylum Platyhelminthes. Monogenea memiliki arti sebagai dilahirkan sekali, hal ini mengacu pada siklus hidupnya yang sederhana (Williams dan Williams 1994) dan tanpa inang perantara (Lasee 2004). Pada infeksi yang berat, cacing dari kelas monogenea dapat membunuh ikan yang menjadi inangnya. Umumnya monogenea memiliki bentuk tubuh panjang dan transparan (Williams dan Williams 1994).

Monogenea memiliki organ lampiran berbeda pada bagian belakang tubuh mereka (haptor) yang dilengkapi dengan kait atau klem khusus. Kait atau klem khusus ini dapat dipakai untuk menusuk epitel dan berpegangan pada inang. Sebagian besar monogenea berkembang biak dengan meletakkan telur yang menetaskan larva bersilia (onchomiracidia) dan cepat menjadi dewasa dan melekat pada inang (William dan William 1994).

Ikan air tawar yang terserang monogenea akan terlihat lesu, berenang di dekat permukaan, mencari sisi kolam dan nafsu makan menjadi menurun. Insang terlihat bengkak dan pucat, laju respirasi meningkat dan ikan menjadi tidak


(23)

9 toleran terhadap oksigen yang rendah. Infeksi monogenea yang parah pada kulit dan insang dapat menyebabkan kerusakan hebat bahkan kematian. Investasi monogenea yang besar juga akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur (Klinger dan Floyd 2009). Monogenea memiliki dua sub kelas yaitu Monopisthocotylea dan Polyopisthocotylea.

Monopisthocotylea merupakan salah satu subkelas dari monogenea. Cacing dari subkelas Monopisthocotylea memiliki organ tubuh sederhana dan biasanya satu haptor dengan 1-2 jangkar dengan lingkaran yang interkoneksi. Umumnya parasit cacing dari subkelas ini memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada cacing dari subkelas Polyopisthocotylea. Parasit ini dapat ditemukan di kerokan permukaan kulit atau di insang yang diamati dengan menggunakan mikroskop (Wiliams dan Wiliams 1994).

Pada infeksi cacing yang berat, kait cacing dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan insang serta meningkatkan produksi lendir. Kulit mungkin memiliki bercak putih terutama di belakang sirip. Ikan akan menunjukkan kebiasaan berupa menggosokkan tubuh mereka pada sisi kolam dan berenang dengan terlalu liar atau dengan lesu (Wiliams dan Wiliams 1994). Monopisthocotylea memiliki tiga ordo yaitu Capsalidea, Dactylogridea dan Gyrodactylidea (David 2010a), namun Monopisthocotylea yang menyerang insang ikan air tawar biasanya berasal dari ordo Dactylogridea dan Gyrodactylidea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasitik pada Gambar 4 masuk ke dalam genus Gyrodactylus,

Famili Gyrodactylidae, Ordo Gyrodactylidea, Sub Kelas Kelas Monogenea, Subphylum

Subkingdom Gyrodactylus

merupakan salah satu genus cacing parasit yang menginfeksi insang dari ikan air tawar. Cacing ini memiliki embrio yang sedang berkembang yang dapat terlihat di dalam saluran reproduksi cacing dewasa (parasit vivipar).


(24)

10 Gambar 4. Gyrodactylus sp. memiliki kait yang terletak pada embrio (E). The episthaptor (O) mengandung banyak kait dan jangkar. Perbesaran -- 100/xm (Yanong 2003).

Strategi reproduksi ini memungkinkan populasi Gyrodactylus dapat menjadi banyak dengan cepat, terutama pemeliharaan di dalam sistem tertutup. (Klinger dan Floyd 2009). Gyrodactylus dewasa memiliki Ophisthaptor yang tidak mengandung batil isap, tetapi memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah di sepanjang tepinya dan sepanjang kait besar di tengah-tengah (Gusrina 2008).

Dactylogyrus (Gambar 5) masuk dalam genus Dactylogyrus, Famili Dactylogyridae, Subordo Dactylogyrinea, Ordo Dactylogyridea, Subkelas Monopisthocotylea, Kelas Monogenea, Subphylum Neodermata, Phylum Platyhelminthes, Subkingdom Eumetazoa dan Kingdom Animalia (David 2010a).

Gambar 5. Dactylogyrus (Jarkovskỳet al. 2004 dalam Abdullah 2009)

Dactylogyrus dewasa memiliki ukuran 0.3-2 mm. Dactylogyrus sering menyerang insang ikan air tawar, payau dan laut. Tubuh Dactylogyrus memiliki posterior haptor, 1-2 pasang kait besar dan 14 kait marginal (jangkar) yang


(25)

11 terdapat pada bagian posterior. Kepala Dactylogyrus memiliki 4 lobe dengan dua pasang mata yang terletak di daerah pharynx (Gusrina 2008).

Cacing dari subkelas Polyopisthocotylea memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih besar daripada cacing parasit Monopisthocotylea dan biasanya dapat dengan mudah dilihat dengan mata telanjang. Cacing dari subkelas ini memiliki haptor sederhana dengan organ perlekatan atau pengisap yang kompleks dan umumnya cacing ini memakan darah. Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea menghasilkan telur yang lebih sedikit dari pada cacing dari subkelas Monopisthocotylea. Namun cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea lebih patogen dibandingkan cacing parasit dari subkelas Monopisthocotylea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea cenderung lebih umum hidup di lingkungan laut. Beberapa spesies dari subkelas Polyopisthocotylea yang berada di air tawar biasanya memiliki inang alami yang berasal dari laut. Peningkatan jumlah cacing yang menginfeksi inang yang sama tidak cepat namun kebiasaan memakan darah menyebabkan kerusakan serius pada inang (Wiliams dan Wiliams 1994).

Diplectanum collinsi (Gambar 6) merupakan salah satu spesies yang berasal dari ordo Diplectanum collinsi berasal dari genus

Fa

filum Cacing parasit ini ditemukan di air tawar. Inang asli cacing parasit ini berasal dari laut, namun ia dapat hidup dengan menjadi parasit di beberapa ikan air tawar. Cacing ini memiliki Squamodisks yang menempati sebagian besar haptor. Lingkaran haptor berbentuk seperti bumerang dan memiliki dua pasang jangkar. Cacing ini memiliki ukuran panjang sekitar 635-675 mm (Wiliams dan Wiliams 1994).

Secara garis besar, Ikan dapat terjangkit dan tertular penyakit melalui air yang tercemar oleh penyakit, melalui gesekan atau kontak badan (mekanik) dengan ikan yang sakit, melalui peralatan yang digunakan dalam menangani ikan, terbawa oleh pakan hidup atau tumbuhan ke kolam baru (Afrianto dan Liviawati 1992).


(26)

12 Gambar 6. Diplectanum Collinsi (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cestoda atau cacing pita memiliki bentuk tubuh pipih seperti pita dan bersifat parasit pada saluran pencernaan vertebrata (Natadisastra dan Agoes 2005). Cestoda memiliki scolex yang dilengkapi dengan kait-kait, organ penghisap, atau keduanya. Skolex tersebut terdiri atas proglotida dengan tingkat kematangan yang berbeda pada tiap segmen. Semakin jauh proglotida dari leher maka proglotida itu semakin matang atau dewasa (Levine 1990).

Cestoda merupakan cacing hemafrodit yaitu memiliki kelamin jantan juga kelamin betina. Cestoda memiliki siklus hidup yang kompleks sebab membutuhkan inang antara dalam siklus hidupnya. Ikan dapat menjadi inang perantara kedua atau dapat pula menjadi inang definitif tergantung pada jenis cestoda yang menyerang.

Jika ikan adalah inang perantara, larva akan menembus keluar dari sistem pencernaan untuk pengembangan lebih lanjut dan menunggu sampai inang tersebut (ikan) dimakan oleh inang berikutnya (inang definitif). Jika ikan adalah inang definitif, cacing dewasa akan hidup dalam sistem pencernaan inang akhir tanpa melakukannya banyak kerugian (Aquafarmer 2004). Kehadiran cacing dewasa pada saluran cerna dapat menyebabkan penurunan berat badan dan perut menjadi kurus (Afrianto dan Liviawaty 1992). Sebab cacing akan menyerap nutrisi yang berada di usus ikan.

Menurut Noble dan Noble (1989) digenea merupakan cacing parasit yang memiliki batil hisap berbentuk mangkuk dan lubang ekskretoris posterior. Batil hisap digenea ada dua yaitu batil hisap anterior atau batil hisap mulut dan asetabulum yang terletak di tengah tubuh cacing. Telur digenea yang menetas menjadi larva bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh inang perantara pertama (biasanya siput). Mirasidium tersebut akan berubah menjadi sebuah sporosist.


(27)

13 Setiap sporosist parasit aseksual menghasilkan banyak larva (rediae) yang pada gilirannya menghasilkan larva infektif (serkaria) yang akan berenang meninggalkan siput. Serkaria ini akan menginfeksi inang perantara kedua, encyst, dan menjadi metaserkaria. Jika menemukan inang yang tepat (inang definitif), metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa.

Digenea merupakan parasit permanen pada banyak ikan laut, ikan air tawar, amfibi, reptil, mamalia dan burung. Tahap larva terjadi pada berbagai invertebrata dan vertebrata. Digenea dapat berada di dalam usus, perut, atau mulut, atau kadang-kadang paru-paru dan organ lainnya. Bentuk larva terjadi di hampir semua jaringan (Williams dan Williams 1996).


(28)

14

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan maskoki, akuades, NaCl fisiologis, Giemsa 10%, gliserol, etanol, xylol, dan pewarna

Acetocarmine. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquarium, timbangan, alas bedah berupa gabus yang dilapisi plastik berwarna hitam, penggaris, tissue, gelas objek, gelas penutup, kertas label, botol plastik, alat bedah (gunting, pinset, dan skalpel), cawan petri, lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C, pipet, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, video mikrometer, dan jarum.

Metode Penelitian 1. Isolasi Cacing

Penelitian ini diawali dengan melakukan pemilihan lokasi pengambilan sampel ikan (di Pasar Anyar Bogor Tengah, di Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur) yang dilakukan secara acak dengan jumlah 10 ekor dari tiap lokasi. Ikan-ikan yang telah dipilih secara acak dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi air dan oksigen secukupnya lalu dibawa ke laboratorium.

Sesampainya di laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, ikan dimasukkan ke dalam aquarium dan dibiarkan semalaman dengan tujuan mengurangi stres. Keesokan harinya, satu demi satu ikan sampel ditimbang berat badannya menggunakan timbangan digital dan diukur panjang tubuhnya. Setelah diukur, ekor ikan digunting lalu dibuat ulas darah. Kemudian dibunuh dengan cara digunting bagian medulla oblogatanya. Setelah hewan mati, organ


(29)

15 insang dan saluran pencernaan dipisahkan dari tubuh lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diisi NaCl Fisiologis. Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C minimal selama 10 jam dengan tujuan agar cacing tersebut dapat berelaksasi dan mengeluarkan kaitnya agar dapat terlepas dari organ insang dan saluran pencernaan. Cacing yang telah diisolasi dari sampel organ, dimasukkan ke dalam botol plastik berisi alkohol 70% dan ditambahkan 2 tetes gliserin dengan tujuan untuk mengurangi penguapan di dalam botol. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan proses pewarnaan terhadap cacing parasitik.

2. Pewarnaan darah

Pewarnaan darah ikan maskoki diawali dengan pembuatan preparat ulas darah lalu dilanjutkan dengan pewarnaan Giemsa. Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan cara meneteskan darah pada gelas objek. Gelas objek kedua diletakkan dengan sudut 45º di atas gelas objek pertama, kemudian digeser ke belakang menyentuh darah sehingga darah menyebar. Gelas objek kedua kemudian digeser ke arah yang berlawanan sehingga membentuk suatu lapisan tipis darah. Preparat ulas darah dibiarkan kering. Setelah itu dilanjutkan dengan proses fiksasi dengan cara merendam preparat di dalam larutan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringkan. Preparat kemudian dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit setelah itu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (dengan minyak imersi), dan dilakukan penghitungan masing-masing jenis leukosit hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit (AMC 2008).

3. Pewarnaan Cacing

Spesimen cacing direndam dengan pewarnaan Acetocarmine selama 30 menit sampai 3 jam hingga spesimen berwarna merah cerah. Setelah perendaman, spesimen dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7 menit. Kemudian spesimen tersebut direndam dengan etanol secara bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95%, dan absolute selama 5 menit untuk tujuan dehidratasi. Kemudian dilanjutkan dengan clearing yang terdiri dari lactophenol dan xylol untuk membuat spesimen transparan dan di mounthing dengan entelan.


(30)

16 Larutan Acetocarmine diperoleh dari 100 ml aquades dicampur dengan 100 ml asam asetat glasial. Kemudian ditambahkan bubuk lithium carmine ke dalam larutan tersebut hingga menjadi jenuh. Selanjutnya larutan tersebut dipanaskan pada suhu 900C selama 15 menit dan ditambahkan etanol 70% sebanyak 200 ml ke dalam larutan tersebut (Yamaguti 1958).

Spesimen cacing dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7 menit hingga menjadi warna merah. Kemudian spesimen tersebut direndam dengan etanol secara bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95%, dan absolute selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk dehidratasi. Kemudian dilanjutkan dengan

clearing yang terdiri dari lactophenol dan xylol untuk membuat spesimen transparan dan di’mounting’ dengan Entellan. (Yamaguti 1958).

Analisis Data Tingkat Infeksi

Analisis data kecacingan dilakukan dengan penghitungan prevalensi (pendugaan proporsi) dari cacing parasit di sampel dan menggunakan rumus penghitungan statistik berupa jumlah ikan yang terinfeksi cacing parasitik dibagi dengan jumlah ikan yang diperiksa lalu hasil pembagian tersebut dikalikan dengan 100%.


(31)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur. Dari ketiga lokasi pengambilan sampel ikan maskoki tersebut diketahui bahwa ikan maskoki dipelihara pada kondisi yang tidak berbeda jauh (Tabel 2). Namun ikan maskoki di Bogor Tengah ditempatkan di satu akuarium tanpa diberi tanaman hias, sedangkan ikan maskoki di Bogor Timur dan Bogor Selatan ditempatkan pada satu akuarium bersama ikan hias jenis lain.

Tabel 2 Kondisi pemeliharaan ikan maskoki

No Parameter Bogor Tengah Bogor Selatan Bogor Timur 1. 2. 3. 4. 5. Tempat pemeliharaan Aerator Hiasan aquarium Asal air Makanan Akuarium Ada Tidak ada Sumur Pelet Ikan Akuarium Ada Tanaman Hias Sumur Pelet Ikan Akuarium Ada Tanaman Hias Sumur Pelet Ikan

Prevalensi Kecacingan Pada Ikan Maskoki

Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki di Bogor disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

No. Lokasi Pengambilan Jumlah Ikan yang diperiksa

Prevalensi cacing di insang

(%)

Prevalensi cacing di usus

(%) 1. 2. Bogor Tengah Bogor Selatan 10 10 100 100 0 0

3. Bogor Timur 10 100 0

Ikan maskoki di Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur memiliki nilai prevalensi kecacingan sebesar 100% di insang dan 0% di usus. Berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh Williams dan Williams (1996), tingkat prevalensi kecacingan pada insang ikan maskoki tersebut masuk ke dalam kategori infeksi always (99-100%). Sedangkan


(32)

18 tingkat prevalensi kecacingan pada usus ikan maskoki masuk kedalam kategori infeksi almost never (<0.01).

Tingkat prevalensi kecacingan yang tinggi di insang mungkin dikarenakan insang ikan bersentuhan langsung dengan lingkungan luar (air), sehingga kemungkinan cacing parasit insang yang ada di lingkungan dapat menempel pada insang. Nilai prevalensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor eksterinsik. Faktor intrinsik berupa kekebalan individu, jenis kelamin, dan ukuran tubuh ikan. Sementara itu, faktor eksterinsik berupa kualitas air, kualitas sanitasi kolam, dan populasi ikan yang terlalu padat (Noble & Noble 1989).

Identifikasi Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Hasil dari identifikasi cacing Parasitik Pada Ikan Maskoki adalah insang ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor Tengah terinfeksi oleh cacing parasitik dari kelas Monogenea yaitu Dactylogyrus sp. (gambar 1A, 1B, 1C) dan cacing dari subkelas Monophytochotylea (1D). Sedangkan insang ikan maskoki dari Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur terinfeksi oleh

Dacytylogyrus sp. (gambar 2A dan 2B untuk Batu Tulis Bogor Selatan, Gambar 3A dan 3B untuk Baranang Siang Bogor Timur).

Cacing cacing parasit (Cacing gambar 1A, 1B,1C, 2A, 3A, 3B) teridentifikasi sebagai Dacytylogyrus sp. karena memiliki seperti kepala kelenjar, 2 pasang spot mata, garis haptor, 1-2 pasang kait utama dan beberapa pasang jangkar (kait marginal) di bagian opishaptor seperti Dacytylogyrus sp. pada umumnya. Cacing parasitik (Gambar 2B) awalnya sulit teridentifikasi dikarenakan bagian anterior cacing tersebut terlipat. Namun, adanya dua pasang kait, dua pasang spot mata, dan bagian anterior yang diperkirakan memiliki kepala kelenjar menyebabkan cacing ini teridentifikasi sebagai Dactylogyrus sp.. Cacing-cacing yang ditemukan memiliki bentuk anterior dan posterior yang mirip satu sama lain yang membedakan adalah bentuk kait, ukuran panjang dan lebar tubuh. Hal tersebut mungkin dikarenakan cacing-cacing yang ditemukan merupakan spesies yang berbeda. Identifikasi cacing parasit belum dapat dilakukan hingga tingkat spesies dikarenakan organ dalam preparat yang tidak begitu jelas.


(33)

19 Gambar 7 Cacing-cacing parasitik yang berada di insang ikan maskoki 1A)

Dactylogyrus sp.; 1B) Dactylogyrus sp.; 1C) Dactylogyrus sp.; 1D) Monopisthocotylea; 2A) Dactylogyrus sp.; 2B) Dactylogyrus sp.; 3A) Dactylogyrus sp.; 3B) Dactylogyrus sp..

1C

2A

Kait Utama 1B

2B

3A


(34)

20 Cacing pada gambar 1D memiliki haptor serta kait pada bagian ujung posterior tubuh seperti pada cacing-cacing pada kelas monogenea. Cacing tersebut juga memiliki satu pasang kait dan 2 pasang spot mata seperti cacing dari genus

Dactylogyrus namun karena bentuk mulut penghisap yang berbeda menyebabkan cacing ini tidak dapat digolongkan ke dalam genus Dactylogyrus. Walaupun begitu, cacing parasitik ini (Gambar 1D) masih masuk ke dalam subkelas Monopisthocotylea karena memiliki posisi mulut di ventral.

Infeksi yang berat dari Monogenea baik itu Dactylogyrus sp. maupun cacing dari subkelas Monophytochotylea dapat menyebabkan hiperplasia epitel, hancurnya epitel insang dan hipersekresi lendir yang menyebabkan terganggunya pertukaran oksigen sehingga menyebabkan terjadinya kematian karena sesak nafas. Selain itu, keberadaan parasit Monogenea juga dapat meyebabkan terjadinya lesi sekunder oleh jamur, bakteri, dan mikroorganisme lain. Infestasi yang berat biasanya disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kualitas air yang buruk, atau aliran air yang tidak memadai. Walaupun demikian, cacing parasit Monogenea trematoda tidak bersifat zoonosis (Kent dan Fournie 2007).

Dactylogyrus sp. merupakan cacing parasit yang melekat pada insang ikan air tawar. Cacing parasit tersebut dapat menyerang insang dari ikan maskoki, ikan mas, Fundulus grandis, dan spesies lainnya. Ikan yang terinfeksi dalam jumlah besar dapat menunjukkan tanda-tanda klinis berupa gerakan pernapasan yang cepat, menjadi lesu, berenang di dekat permukaan, dan menolak makanan. Infeksi oleh Dactylogyrus sp. dengan jumlah cacing parasit yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan ikan dan dapat menyebabkan kematian (Kent dan Fournie 2007). Keadaan tersebut menyebabkan gangguan contohnya kerugian pada budidaya ikan.

Jumlah Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Jumlah cacing parasitik pada ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur dapat diamati pada Tabel 4.


(35)

21 Tabel 4 Jumlah cacing pada ikan di Bogor

No Lokasi Berat Badan ikan (gr)

Panjang tubuh ikan (cm) Ʃ

Cacing di

insang (ekor) Ʃ

Cacing di usus (ekor) 1. Bogor Tengah 20.28±4.57 7.81±0.43 34.75±16.55 0 2. 3. Bogor Selatan Bogor Timur 9.32±1.56 9.16±1.34 7.53±0.50 6.9±0.51 23.10±17.33 10.10±05.70 0 0

Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan maskoki yang berasal dari Bogor Tengah memiliki ukuran tubuh yang paling besar dan memiliki rata-rata jumlah cacing paling banyak jika dibandingkan dengan ikan sampel dari Bogor Selatan dan Bogor Timur. Menurut Ozer dan Ozturk (2005), ikan berukuran besar memiliki jumlah parasit yang lebih banyak. Ukuran tubuh yang besar akan memberikan area permukaan insang yang lebih luas untuk parasit, peningkatan aliran air yang lebih tinggi dan ketersediaan makanan yang lebih banyak.

Keberadaan cacing parasit di ikan juga bergantung pada tingkat stres dan imunitas dari tiap individu ikan. Timbulnya stres akan mempengaruhi kemampuan ikan untuk secara efektif melindungi diri terhadap infeksi parasit. Imunitas ikan yang rendah akan menyebabkan ikan dapat terinfeksi parasit dalam jumlah banyak. Selain stres dan imunitas, faktor intrinsik seperti umur ikan juga akan mempengaruhi kecacingan. Menurut Noble dan Noble (1989), semakin tua inang akan semakin resisten. Inang yang lebih tua dapat mengandung jumlah parasit yang lebih besar. Ikan muda memiliki respon antibodi yang lebih lambat karena imunitas bawaan pada hewan muda belum cukup untuk menghadapi ektoparasit yang ada di lingkungan karena belum cukup berkembang (Abdulghani et al 2009). Menurut Reed et al. (2009) salah satu pencegahan yang efektif untuk menghilangkan parasit patogen pada ekspor dan impor ikan hidup adalah dengan dilakukannya karantina. Saat karantina, perlu dilakukan biopsi pada ikan hidup tersebut untuk mengidentifikasi cacing parasit. Untuk mengurangi atau meminimalkan jumlah cacing parasitik monogenea pada ikan air tawar, ikan dapat dimasukkan ke dalam air garam selama 30 menit. Perlakuan tersebut akan menyebabkan pengurangan jumlah parasit bahkan kematian parasit karena ketidakmampuan parasit dalam mentoleransi salinitas. Dengan adanya adaptasi lingkungan maka inang menjadi saling toleran terhadap parasitnya.


(36)

22

Sel Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Leukosit pada ikan maskoki terdiri dari sel limfosit, sel neutrofil, sel eosinofil, sel monosit, dan sel basofil. Pengamatan terhadap diferensial sel leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi dari leukosit.

Tabel 5 Diferensial Leukosit ikan maskoki

No Diferensial leukosit Bogor Tengah Bogor Selatan Bogor Timur

Leukosit Normal Ikan Maskoki

(%) Watson

(1963)

Loewenthal (1930)

Lewbart (2006) 1. Limfosit 31.7±8.1

(21.5-52)

49.5±13.3 (22.5-67.5)

34.9±8.5 (21.5-48.5)

92 73 70

2. Neutrofil 32.5±10.5 ( 21.5-56.5)

23.1±6.8 (10.5-40.5

36.5±8.1 (18.5-46.5)

5 10.5 29

3. Eosinofil 24.9±9.4 (9.5-42)

20.2±8.5 (10.5-42.5)

23.6±8.9 (16.5-39.5)

2 8

4. Monosit 10.9±3.1 (10.5-4.5)

4.4±2.1 (1.5-10)

5±5.2 (0.5-18)

8.6 1

5. Basofil 0 0 0 0.2 0.5

Menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993), persentase leukosit normal ikan maskoki berupa 10.5% neutrofil, 0.5% basofil, 73% Limfosit, 8.6% monosit dan 8% eosinofil. Menurut Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993), ikan maskoki memiliki kisaran leukosit normal berupa 5% neutrofil, 0.2% basofil, 92% limfosit dan 2% eosinofil. Sedangkan menurut Lewbart (2006) ikan maskoki memiliki 29% neutrofil, nilai limfosit sebesar 70% dan nilai monosit sebesar 1%.

Jumlah sel limfosit sampel ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 31.7%, 49.5% untuk sampel ikan dari Bogor Selatan, dan 34.9% untuk sampel ikan dari Bogor Timur. Persentase tersebut dinilai jauh lebih rendah dari persetase sel limfosit ikan maskoki normal baik menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 73%, Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 92%, dan menurut Lewbart (2006) yaitu 70%. Ikan maskoki dari Bogor Tengah memiliki jumlah sel eosinofil sebesar 24.9%, ikan dari Bogor Selatan memiliki jumlah sel eosinofil 20.2%, dan ikan dari Bogor Timur memiliki jumlah sel eosinofil sebesar 23.6%. Jumlah sel eosinofil tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah sel eosinofil normal.


(37)

23 Jumlah sel neutrofil ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 32.5%, 23.1% untuk ikan dari Bogor Selatan, dan 36.5% untuk ikan dari Bogor Timur. Persentase tersebut dinilai lebih tinggi dari persetase sel neutrofil ikan maskoki normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 10.5% dan menurut Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 5%.

Ikan maskoki dari Bogor Tengah memiliki 10% sel monosit, ikan dari Bogor Selatan memiliki jumlah sel monosit 4.4%, dan ikan dari Bogor Timur memiliki jumlah sel monosit sebesar 5%. Dari hasil penelitian didapatkan 0% untuk semua sel basofil baik dari ikan maskoki Bogor Tegah, Bogor Selatan maupun Bogor Timur. Menurut Hrubec dan Smith (2010). Kehadiran sel basofil jarang dilaporkan. Hal ini dikarenakan jumlah sel basofil yang rendah atau dikarenakan morfologi sel basofil yang tidak terawetkan dengan baik pada preparat yang difiksasi dengan alkohol. Identifikasi sel basofil paling baik dengan menggunakan acid toluidine blue stain.

Jika dibandingkan antara hasil penelitian dengan diferensial sel leukosit normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) serta Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) dan Lewbart (2006) ditemukan bahwa diferensial sel leukosit sampel ikan mengalami peningkatan sel eosinofil dan peningkatan sel neutrofil. Hal tersebut dapat dikarenakan ikan maskoki terinfestasi cacing parasit (Tabel 3).

Kecacingan dapat memberikan pengaruh pada leukosit berupa peningkatan persentase sel eosinofil. Kecacingan juga dapat menyebabkan stres yang akan meningkatkan persentase sel neutrofil serta akan menurunkan persentase sel limfosit dari kisaran normal. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Martins et al. (2004) bahwa infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi.

Kehadiran cacing parasit dapat menyebabkan kerusakan pada lamela insang dan menimbulkan stres. Menurut Menurut Hrubec dan Smith (2010), stres dan inflamasi dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel neutrofil. Hal ini mungkin didukung oleh fungsi sel neutrofil sebagai pertahanan pertama tubuh terhadap banyak infeksi (Brooker 2005). Fagosit akan menyerang cacing dan melepaskan


(38)

24 bahan mikrobisidal untuk membunuh parasit yang terlalu besar untuk dimakan. Banyak juga cacing yang memiliki lapisan permukaan yang tebal sehinga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006). Hal tersebut diantisipasi tubuh dengan memunculkan sel eosinofil sebagai pertahanan tubuh spesifik terhadap kecacingan.

Cacing dapat merangsang produksi antibodi nonspesifik. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresikan granul enzim yang menghancurkan parasit. sel Eosinofil lebih efektif dibandingkan leukosit lain karena sel eosinofil memiliki granul yang lebih toksik jika dibandingkan dengan enzim proteoilitik dan ROI (Reactive Oxygen Intermediates) yang diproduksi neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006).


(39)

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sampel ikan maskoki yang diperiksa positif mengalami kecacingan pada insang dengan nilai prevalensi kecacingan yaitu 100%. Tingkat infestasi parasit cacing di usus ikan maskoki adalah 0%. Jenis cacing parasitik yang menyerang insang berasal dari subkelas monogenea berupa Dactylogyrus sp. dan cacing dari subkelas Monopisthocotylea. Hasil perhitungan leukosit menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah sel eosinofil dan sel neutrofil yang disebabkan oleh adanya infeksi cacing parasit.

Saran

1. Pembudidayaan ikan maskoki perlu dilakukan dalam lingkungan yang terjaga kebersihan lingkungan pemeliharaannya. Hal tersebut dilakukan agar terhindar dari cacing parasit yang dapat mengganggu kesehatan dari ikan maskoki.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan kepadatan populasi ikan maskoki terhadap infeksi cacing parasitik.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh lingkungan pemeliharaan seperti kualitas air, jenis makanan terhadap kecacingan pada ikan maskoki.


(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

Abdulghani N, Nurhayati APD, Nugraha MA. 2009. Derajat infeksi Argulus sp.

Pada ikan maskoki (Carassius auratus) di desa Bangoan kecamatan Kedungwaru kabupaten Tulungagung. BSS 1:1-8.

Abdullah SMA. 2009. Additional Records of Dactylogyrus (Monogenea) from Some Cyprinid Fishes From Darbandikhan Lake Iraq. Jordan Journal of Biological Sciences 2:145-150.

Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[AMC] Aqualex Multimedia Consortium. 2008. Basic Techniques in Fish Haematology. [terhubung berkala]

Anshary H. 2008. Tingkat infeksi parasit pada ikan mas koi (Cyprinus carpio) pada beberapa lokasi budidaya ikan hias di Makassar dan Gowa (Parasitic Infections Of Koi Carp Cultured In Makassar And Gowa). K. Sains & Teknologi 8:139-147.

Aquafarmer. 2004. Tapeworms (Cestoda). [Terhubung berkala] http://www.holar. is/ ~aquafarmer/node1. html [13 Oktober 2011]

Bachtiar Y, Tim Lentera. 2002. Mencegah Maskoki Mudah Mati. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Baratawidjaja KG. 2006. Imonologi Dasar Edisi Ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Brooker C. 2005. Churchill Livingstone’s Mini Encyclopaedia Of Nursing 1st

edition. Elsevier Ltd: Singapura.

Campbell NAReece JB, MitchellLG. 2004. Biologi Jilid 3 EdisiKelima. Jakarta: Erlangga.

David G. 2010a. Dactylogyrus. Fauna europaea versi 2.4 . [terhubung berkala]

David G. 2010b. Gyrodactilus. Fauna europaea versi 2.4. [terhubung berkala]

FAO. 1991. Diagnostics, Prevention And Therapy Of Fish Diseases And Intoxications. [Terhubung berkala]. http://www.fao.org/docrep/field/

003/AC160E/AC160E03.htm [14 Mei 2011].

Freyhof, Jorg. 2004. Carassius auratus. Fauna Europaea version 2.4, http://www.faunaeur.org [14 Mei 2011].


(41)

27 Gao Z et al. 2007. Haematological characterization of loach Misgurnus

anguillicaudatus: Comparison among diploid, triploid and tetraploid specimens. Elsevier 147:1001–1008.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 3. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of Fishes. Di dalam: Weiss DJ dan Wardrop KJ, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition: Hematology of fishes. Singapure: Wiley-Blackwell. Hlm 994-1003.

Iskandar, SitanggangM. 2003. Memilih dan merawat Maskoki Impor Berkualitas. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Kent ML, Fournie JW. 2007. Parasites of fishes. Di dalam Baker ED, editor:

Flynn’s Parasites Of Laboratory Animals. Ed ke-2. State avenue: Blackwell publishing.

Khanna DR, Yadav PR. 2004. Biology of Fishes. New delhi: Discovery Publishing House.

Klinger RE, Floyd RF. 2009. Introduction to Freshwater Fish Parasites 1.

University of Florida IFAS Extension; CIR716.

Lasee B. 2004. Parasitology Capter 8 on Laboratory NWFHS Procedures Manual. Ediki ke-2. [terhubung berkala] Levine ND. 1990. Buku Ajar Protozoologi Verteriner. Ashadi G, Penerjemah.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology.

[Marine Biological Laboratory]. 2003. Universal Biological Indexer and Organizer. [terhubung berkala] Mei 2011].

Martins ML, Dias MT, Fujimoto RY, Onaka EM, Nomura DT. 2004. Hematological alteration of Leporinus macrocephalus (Osteichtyes: Anostomidae) naturally infected by Goezia leporini (Nematoda: Anisakidae) in fish pond. Arq. Bras Med Vet Zootec 56(5):640-646.

Natadisastra D, Agoes R. 2005. Parasitologi kedokteran. EGC: Jakarta

Noble ER, Noble GA.1989. Parasitology. Di dalam: Soeripto N, editor. The Biology of animal parasites. Edisi ke-5. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


(42)

28 Ozer A, Ozturk T. 2005. Dactylogyrus cornu Linstow, 1878 (Monogenea)

infestations on Vimba (Vimba vimba tenella (Nordmann, 1840)) caught in the sinop region of Turkey in relation to the host factors. Turk J Vet Anim Sci 29:1119-1123.

Prayitno BI. 2002. Peran Budidaya Perairan Khususnya Penanganan Penyakit Ikan dalam Pengelolaan Sumber Perikanan.[terhubung berkala]. http//www.eprints.undip.ac.id/287/1/S._Budi_Prayitno.pdf. [9 Feb 2011]. Reed P, Floyd RF, Klinger R. 2009. Monogenean Parasites of Fish. University of

Florida IFAS Extension; FA28.

Sarbahi DS. 1951. Studies Of The Digestive Tracts And The Digestive Enzymes Of The Goldfish, Carassius Auratus (Linnaeus) And The Largemouth Black Bass, Micropterus Salmoides (Lacepede). Biological Bulletin 100:224-257 Sarkar S. 2010. Oranda Fancy Goldfish. [terhubung berkala]

Stoskopf MK. 1993. Fish Medicinal. Philadelphia:W.B. Saunders Company.

Street, R. 2002. Carassius auratus, Animal Diversity Web. [terhubung berkala]

V´azquez GR, Guerrero GA. 2007. Characterization of blood cells and hematological parameters in Cichlasoma dimerus (Teleostei, Perciformes).

Elsevier 39:151–160.

Watson A, Craig H, Pouder EJ, Debora B. 2004. Species Profile: Koi and Goldfish. SRAC Publication; 7201.

Wiliams LB, Wiliams EH. 1994. Parasites of Puerto Rican Freswater Sport Fishes. Antillean College Press: Mayaguez.

Williams EH, Williams LB. 1996. Parasites Of Offshore Big Game Fishes Of Puerto Rico And The Western Atlantic. Mayaguez: Antillean College Press. Yamaguti S. 1958. Systema Helminthum. Volume ke-1: Protozoa and Metazoan

Infections Second Edition. Canada.

Yanong RPE. 2003. Necropsy Technique for Fish. Seminars in Avian and Exotic Pet Medicine. Elsevier Inc; 12: 89-105.


(43)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan hias air tawar merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang mempunyai peluang besar untuk menghasilkan devisa negara di sektor non migas. Ikan hias air tawar memiliki keindahan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penghobi maupun untuk pembudidaya ikan hias. Salah satu jenis ikan hias air tawar yang populer adalah ikan maskoki (Carassius auratus). Ikan ini memiliki kemampuan yang cukup adaptif terhadap kondisi lingkungan. Namun di dalam pemeliharaannya, ikan maskoki tetap tidak lepas dari masalah kesehatan seperti terserang penyakit.

Penyakit dapat disebabkan oleh berbagai agen. Menurut Gusrina (2008), ada dua jenis agen yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit yaitu agen patogen dan agen non patogen. Kehadiran agen patogen dapat mempengaruhi pemilik ikan dan individu ikan itu sendiri. Penyakit pada ikan menyebabkan penurunan kualitas ikan, kematian ikan, kerugian materiil, kegagalan budidaya, dan dapat berujung pada bangkrutnya usaha (Prayitno 2002). Kehadiran agen patogen tertentu dalam tubuh inang dapat menyebabkan timbulnya kerusakan, stres bahkan kematian. Menurut Gusrina (2008), contoh agen non patogen berupa keracunan dan kekurangan gizi, sedangkan contoh agen patogen berupa virus, bakteri, dan cacing parasit.

Ikan maskoki merupakan anggota dari famili Cyprinidae. Menurut Anshary (2008), ikan dari famili tersebut termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai infeksi parasit. Kehadiran cacing parasit menyebabkan adanya respon pada tubuh, salah satunya berupa perubahan gambaran leukosit ikan.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi cacing parasitik pada ikan maskoki dan untuk melihat pengaruh kecacingan terhadap gambaran leukosit pada ikan maskoki.


(44)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai jenis cacing parasitik yang menyerang insang dan saluran pencernaan ikan maskoki (Carassius auratus)serta gambaran leukosit darah dari ikan tersebut.


(45)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Ikan Maskoki (Carassius auratus) pertama kali dibudidayakan oleh masyarakat Cina pada tahun 960-1729. Awalnya bentuk ikan maskoki seperti ikan Mas (Cyprinus carpio L), bedanya ikan maskoki tidak memiliki sepasang sungut di mulutnya popularitas ikan maskoki mulai menanjak. Di sinilah bermunculan ikan maskoki dengan bentuk tubuh yang bervariasi dan unik. Perkembangan ikan maskoki kemudian merambah hingga ke negeri Jepang.

Di negeri matahari terbit ikan maskoki terus mengalami perkembangan pesat sehingga menghasilkan bentuk yang lebih bervariatif seperti saat ini. Dari negeri Sakura, ikan maskoki mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia besar agak menonjol ke luar dan warna sisik yang menarik. Ikan maskoki tergolong mudah dipelihara karena sifatnya cukup adaptif terhadap lingkungan yang baru. Tak mengherankan jika ikan maskoki dengan berbagai varietasnya tersebar di seluruh dunia

Ikan maskoki masuk ke dalam Kingdom Animalia, Subkingdom Eumetazoa, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Infrafilum Gnathostomata, Kelas Actinopterygii, Subkelas Neopterygii, Superordo Teleostei, Ordo Clupeiformes, Family Cyprinidae, Genus Carassius dan Spesiesnya berupa Carassius auratus

(Freyhof 2004).

Salah satu jenis ikan maskoki yang populer adalah Ikan maskoki varietas Oranda (Spencer). Ikan ini memiliki keunikan yang terletak pada kepalanya yang berjambul dan memiliki sirip punggung (Iskandar dan Sitanggang 2003), hal tersebut dapat diamati pada Gambar 1.

Ikan maskoki merupakan ikan hias air tawar yang hidup di perairan dengan air yang mengalir tenang serta berudara sejuk hewan omnivora (Watson et al 2004) dan bukan hewan kanibal sehingga dapat dipelihara secara koloni dalam satu lingkungan pemeliharaan (Iskandar dan Sitanggang 2003).


(46)

4 Suhu optimal air untuk hidup ikan maskoki adalah 18-24ºC. Mempertahankan suhu untuk terus berada dalam kisaran suhu optimal perlu dilakukan. Karena pemeliharaan di luar suhu optimal dapat menekan sistem kekebalan tubuh ikan dan akan menyebabkan penurunan nafsu makan serta gangguan pada pertumbuhan ikan. Ikan maskoki dapat hidup dalam air yang memiliki kandungan oksigen minimal 5 mg/L, pH 7-7.8, tingkat amoniak terlarut maksimal 0,05 mg/L dan tingkat nitrit terlarut maksimal 0,05 mg/L (Watson et al

2004).

Ikan maskoki dianggap sebagai ikan yang tangguh karena dapat bertahan hidup di air berkualitas buruk. Walaupun demikian, kualitas air penting di perhatikan agar pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal (Watson et al 2004). Ikan maskoki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches (58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg .

Ikan maskoki memiliki organ interna dan eksterna yang keseluruhan organ tersebut memiliki ciri dan fungsi tertentu untuk mendukung kelangsungan hidup ikan (Yanong 2003). Insang merupakan salah satu organ interna ikan maskoki yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup ikan. Peranan penting tersebut adalah sebagai media pertukaran gas (Campbell et al 2004). Insang terdiri dari lamela insang primer, lamela insang sekunder dan tulang rawan insang. Lamela primer adalah lamela yang bersentuhan langsung dengan tulang rawan insang dan lamela sekunder merupakan percabangan dari lamela primer (Yanong 2003).

Insang akan mengoptimalkan ekstraksi oksigen dari air dan merupakan tempat untuk melepaskan karbon dioksida. Ikan memompa air melalui mulut dan


(47)

5 keluar diantara celah insang lewat gerakan terkoordinasi dari rahang dan

operculum (penutup insang), agar terjadi ventilasi. Ventilasi yang dimaksudkan berupa aktivitas inhalasi dan ekshalasi atau proses mengambil oksigen dan melepaskan karbon dioksida lewat pernafasan. Ketika ventilasi terjadi, darah mengalir dengan arah yang berlawanan dengan aliran air yang mengalir, oksigen akan masuk ke dalam aliran darah dan CO2 akan dibuang ke air (Campbell et al 2004).

Usus merupakan salah satu organ interna ikan yang mengambil peranan dalam sistem pencernaan. Usus berbentuk seperti tabung memanjang yang melingkar-lingkar dan mengisi sebagian besar rongga abdomen. Makanan yang ditangkap oleh mulut akan masuk ke dalam rongga mulut, melewati faring, esofagus, bola usus (intestinal bulb), usus kemudian sisa makanan yang tidak diserap akan dikeluarkan lewat anus (Sarbahi 1951).


(48)

6 Bola usus merupakan kantung hasil pembengkakan anterior usus yang berfungsi untuk menyimpan makanan. Bola usus tidak memiliki kelenjar lambung dan memiliki mukosa yang mirip dengan mukosa usus (Khanna dan Yadav 2004). Usus ikan maskoki sendiri terbagi atas usus depan, usus belakang dan rektum. Perbedaan antara usus depan, usus belakang, dan rektum terletak pada pola lipatan dari membran mukosa. Usus depan memiliki pola lipatan berupa garis dan sudut sedangkan usus belakang memiliki pola lipatan berupa garis yang berbelit-belit. Pola lipatan rektum ikan maskoki berupa pola miring melintang (Sarbahi 1951).

Darah Ikan Maskoki

Seperti pada mamalia, ikan memiliki komponen darah berupa sel darah merah atau eritrosit dan sel darah putih atau leukosit. Setiap spesies pada hewan, baik itu mamalia, reptil maupun ikan memiliki kisaran nilai parameter hematologi yang berbeda. Gambaran leukosit normal pada ikan maskoki dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Gambaran leukosit normal ikan maskoki

No Diferensial leukosit (%)

Leukosit Normal Ikan Maskoki

Watson (1963) Loventhal (1930) Lewbart (2006)

1. Limfosit 92 73 70

2. Eosinofil 2 8

3. Neutrofil 5 10.5 29

4. Monosit 8.6 1

5. Basofil 0.2 0.5

Dari Stoskopf MK. 1993. Fish Medicinal. Philadelphia:W.B. Saunders Company.

Limfosit merupakan sel leukosit berbentuk bulat, tidak teratur dengan inti yang besar (Gao et al. 2007). Limfosit merupakan sel leukosit yang paling umum ada dalam darah ikan, berupa 85% dari seluruh total populasi sel leukosit (V´azquez dan Guererro 2007). Limfosit berfungsi memediasi respon imun humoral dan respon imun seluler. Ketika sel limfosit berkontak dengan bahan asing (antigen), akan terjadi proliferasi sel limfosit yang kemudian akan menyebabkan dikeluarkannya antibodi imunoglobulin oleh sistem imun. Respon imun humoral merupakan respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh antibodi dalam sirkulasi (Aqualex Multimedia Consortium [AMC] 2008).


(49)

7 Monosit merupakan sel-sel besar dengan nukleus besar dan sitoplasmanya berisi granul-granul kecil yang tersebar. Monosit berfungsi dengan menanggapi infeksi dan merupakan prekursor dari makrofag. Hal ini menyebabkan sel monosit memainkan peran penting dalam imunitas non spesifik dan respon inflamasi (AMC 2008).

Eosinofil, neutrofil dan basofil pada ikan termasuk dalam granulosit leukosit atau sel leukosit yang memiliki granul-granul (V´azquez dan Guererro 2007). Granulosit terlibat dalam mekanisme pertahanan non-spesifik, yaitu mereka menanggapi adanya bahan asing dalam tubuh tetapi tidak mengenali antigen tertentu. Sel-sel ini bermigrasi ke bagian tubuh di mana invasi terjadi dan menghancurkan partikel asing dengan fagositosis atau dengan membunuh langsung yang dikenal sebagai respon sitotoksik (AMC 2008).

.

Gambar 3. Gambaran sel darah Putih ikan: A) l adalah Limfosit; B) m adalah Monosit; C) eo adalah Eosinofil; D) Neutrofil; E) eosinofil (V´azquez dan Guererro 2007); F) Monosit; G) Limfosit (Gao et al. 2007).

Pada ikan sehat, yang paling umum ditemukan diantara ketiga granulosit tersebut adalah sel neutrofil dan granulosit leukosit yang sangat jarang ditemukan adalah sel basofil (V´azquez dan Guererro 2007). Neutrofil umumnya memiliki ukuran yang lebih besar dari eritrosit, dapat berbentuk bulat, seperti buah pir,


(50)

8 berbentuk elips tidak teratur. Memiliki inti yang dapat diamati seperti berbentuk pita, bentuk tapal kuda, membentuk segmen terhadap sumbu dan tidak simetris.

Eosinofil merupakan sel darah putih khusus (leukosit PMN) yang dapat diwarnai dengan pewarna asam seperti eosin, namun sel eosinofil dapat pula di identifikasi dengan pewarnaan sederhana seperti pewarnaan giemsa (AMC 2008). Eosinofil memiliki sitoplasma yang besar berbentuk bola dengan granul-granul yang hampir menutupi. Inti sel eosinofil biasanya berbentuk bulat, kadang berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda tetapi lebih teratur (Gao et al. 2007). Sel-sel ini terlibat dalam penghancuran parasit internal dan dalam modulasi inflamasi reaksi alergi (AMC 2008).

Cacing Parasitik Pada Insang dan Usus

Ikan Cyprinidae termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai infeksi parasitik (Anshary 2008). Menurut FAO (1991), Metazoa yang bersifat parasit seperti cacing parasit pada kelas tertentu (monogenea, cestoda dan digenea) merupakan agen-agen yang memegang peranan pada penyakit ikan.

Monogenea merupakan salah satu kelas dari hewan yang tak bertulang belakang yang termasuk dalam phylum Platyhelminthes. Monogenea memiliki arti sebagai dilahirkan sekali, hal ini mengacu pada siklus hidupnya yang sederhana (Williams dan Williams 1994) dan tanpa inang perantara (Lasee 2004). Pada infeksi yang berat, cacing dari kelas monogenea dapat membunuh ikan yang menjadi inangnya. Umumnya monogenea memiliki bentuk tubuh panjang dan transparan (Williams dan Williams 1994).

Monogenea memiliki organ lampiran berbeda pada bagian belakang tubuh mereka (haptor) yang dilengkapi dengan kait atau klem khusus. Kait atau klem khusus ini dapat dipakai untuk menusuk epitel dan berpegangan pada inang. Sebagian besar monogenea berkembang biak dengan meletakkan telur yang menetaskan larva bersilia (onchomiracidia) dan cepat menjadi dewasa dan melekat pada inang (William dan William 1994).

Ikan air tawar yang terserang monogenea akan terlihat lesu, berenang di dekat permukaan, mencari sisi kolam dan nafsu makan menjadi menurun. Insang terlihat bengkak dan pucat, laju respirasi meningkat dan ikan menjadi tidak


(51)

9 toleran terhadap oksigen yang rendah. Infeksi monogenea yang parah pada kulit dan insang dapat menyebabkan kerusakan hebat bahkan kematian. Investasi monogenea yang besar juga akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur (Klinger dan Floyd 2009). Monogenea memiliki dua sub kelas yaitu Monopisthocotylea dan Polyopisthocotylea.

Monopisthocotylea merupakan salah satu subkelas dari monogenea. Cacing dari subkelas Monopisthocotylea memiliki organ tubuh sederhana dan biasanya satu haptor dengan 1-2 jangkar dengan lingkaran yang interkoneksi. Umumnya parasit cacing dari subkelas ini memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada cacing dari subkelas Polyopisthocotylea. Parasit ini dapat ditemukan di kerokan permukaan kulit atau di insang yang diamati dengan menggunakan mikroskop (Wiliams dan Wiliams 1994).

Pada infeksi cacing yang berat, kait cacing dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan insang serta meningkatkan produksi lendir. Kulit mungkin memiliki bercak putih terutama di belakang sirip. Ikan akan menunjukkan kebiasaan berupa menggosokkan tubuh mereka pada sisi kolam dan berenang dengan terlalu liar atau dengan lesu (Wiliams dan Wiliams 1994). Monopisthocotylea memiliki tiga ordo yaitu Capsalidea, Dactylogridea dan Gyrodactylidea (David 2010a), namun Monopisthocotylea yang menyerang insang ikan air tawar biasanya berasal dari ordo Dactylogridea dan Gyrodactylidea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasitik pada Gambar 4 masuk ke dalam genus Gyrodactylus,

Famili Gyrodactylidae, Ordo Gyrodactylidea, Sub Kelas Kelas Monogenea, Subphylum

Subkingdom Gyrodactylus

merupakan salah satu genus cacing parasit yang menginfeksi insang dari ikan air tawar. Cacing ini memiliki embrio yang sedang berkembang yang dapat terlihat di dalam saluran reproduksi cacing dewasa (parasit vivipar).


(52)

10 Gambar 4. Gyrodactylus sp. memiliki kait yang terletak pada embrio (E). The episthaptor (O) mengandung banyak kait dan jangkar. Perbesaran -- 100/xm (Yanong 2003).

Strategi reproduksi ini memungkinkan populasi Gyrodactylus dapat menjadi banyak dengan cepat, terutama pemeliharaan di dalam sistem tertutup. (Klinger dan Floyd 2009). Gyrodactylus dewasa memiliki Ophisthaptor yang tidak mengandung batil isap, tetapi memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah di sepanjang tepinya dan sepanjang kait besar di tengah-tengah (Gusrina 2008).

Dactylogyrus (Gambar 5) masuk dalam genus Dactylogyrus, Famili Dactylogyridae, Subordo Dactylogyrinea, Ordo Dactylogyridea, Subkelas Monopisthocotylea, Kelas Monogenea, Subphylum Neodermata, Phylum Platyhelminthes, Subkingdom Eumetazoa dan Kingdom Animalia (David 2010a).

Gambar 5. Dactylogyrus (Jarkovskỳet al. 2004 dalam Abdullah 2009)

Dactylogyrus dewasa memiliki ukuran 0.3-2 mm. Dactylogyrus sering menyerang insang ikan air tawar, payau dan laut. Tubuh Dactylogyrus memiliki posterior haptor, 1-2 pasang kait besar dan 14 kait marginal (jangkar) yang


(53)

11 terdapat pada bagian posterior. Kepala Dactylogyrus memiliki 4 lobe dengan dua pasang mata yang terletak di daerah pharynx (Gusrina 2008).

Cacing dari subkelas Polyopisthocotylea memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih besar daripada cacing parasit Monopisthocotylea dan biasanya dapat dengan mudah dilihat dengan mata telanjang. Cacing dari subkelas ini memiliki haptor sederhana dengan organ perlekatan atau pengisap yang kompleks dan umumnya cacing ini memakan darah. Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea menghasilkan telur yang lebih sedikit dari pada cacing dari subkelas Monopisthocotylea. Namun cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea lebih patogen dibandingkan cacing parasit dari subkelas Monopisthocotylea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea cenderung lebih umum hidup di lingkungan laut. Beberapa spesies dari subkelas Polyopisthocotylea yang berada di air tawar biasanya memiliki inang alami yang berasal dari laut. Peningkatan jumlah cacing yang menginfeksi inang yang sama tidak cepat namun kebiasaan memakan darah menyebabkan kerusakan serius pada inang (Wiliams dan Wiliams 1994).

Diplectanum collinsi (Gambar 6) merupakan salah satu spesies yang berasal dari ordo Diplectanum collinsi berasal dari genus

Fa

filum Cacing parasit ini ditemukan di air tawar. Inang asli cacing parasit ini berasal dari laut, namun ia dapat hidup dengan menjadi parasit di beberapa ikan air tawar. Cacing ini memiliki Squamodisks yang menempati sebagian besar haptor. Lingkaran haptor berbentuk seperti bumerang dan memiliki dua pasang jangkar. Cacing ini memiliki ukuran panjang sekitar 635-675 mm (Wiliams dan Wiliams 1994).

Secara garis besar, Ikan dapat terjangkit dan tertular penyakit melalui air yang tercemar oleh penyakit, melalui gesekan atau kontak badan (mekanik) dengan ikan yang sakit, melalui peralatan yang digunakan dalam menangani ikan, terbawa oleh pakan hidup atau tumbuhan ke kolam baru (Afrianto dan Liviawati 1992).


(54)

12 Gambar 6. Diplectanum Collinsi (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cestoda atau cacing pita memiliki bentuk tubuh pipih seperti pita dan bersifat parasit pada saluran pencernaan vertebrata (Natadisastra dan Agoes 2005). Cestoda memiliki scolex yang dilengkapi dengan kait-kait, organ penghisap, atau keduanya. Skolex tersebut terdiri atas proglotida dengan tingkat kematangan yang berbeda pada tiap segmen. Semakin jauh proglotida dari leher maka proglotida itu semakin matang atau dewasa (Levine 1990).

Cestoda merupakan cacing hemafrodit yaitu memiliki kelamin jantan juga kelamin betina. Cestoda memiliki siklus hidup yang kompleks sebab membutuhkan inang antara dalam siklus hidupnya. Ikan dapat menjadi inang perantara kedua atau dapat pula menjadi inang definitif tergantung pada jenis cestoda yang menyerang.

Jika ikan adalah inang perantara, larva akan menembus keluar dari sistem pencernaan untuk pengembangan lebih lanjut dan menunggu sampai inang tersebut (ikan) dimakan oleh inang berikutnya (inang definitif). Jika ikan adalah inang definitif, cacing dewasa akan hidup dalam sistem pencernaan inang akhir tanpa melakukannya banyak kerugian (Aquafarmer 2004). Kehadiran cacing dewasa pada saluran cerna dapat menyebabkan penurunan berat badan dan perut menjadi kurus (Afrianto dan Liviawaty 1992). Sebab cacing akan menyerap nutrisi yang berada di usus ikan.

Menurut Noble dan Noble (1989) digenea merupakan cacing parasit yang memiliki batil hisap berbentuk mangkuk dan lubang ekskretoris posterior. Batil hisap digenea ada dua yaitu batil hisap anterior atau batil hisap mulut dan asetabulum yang terletak di tengah tubuh cacing. Telur digenea yang menetas menjadi larva bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh inang perantara pertama (biasanya siput). Mirasidium tersebut akan berubah menjadi sebuah sporosist.


(55)

13 Setiap sporosist parasit aseksual menghasilkan banyak larva (rediae) yang pada gilirannya menghasilkan larva infektif (serkaria) yang akan berenang meninggalkan siput. Serkaria ini akan menginfeksi inang perantara kedua, encyst, dan menjadi metaserkaria. Jika menemukan inang yang tepat (inang definitif), metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa.

Digenea merupakan parasit permanen pada banyak ikan laut, ikan air tawar, amfibi, reptil, mamalia dan burung. Tahap larva terjadi pada berbagai invertebrata dan vertebrata. Digenea dapat berada di dalam usus, perut, atau mulut, atau kadang-kadang paru-paru dan organ lainnya. Bentuk larva terjadi di hampir semua jaringan (Williams dan Williams 1996).


(56)

14

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan maskoki, akuades, NaCl fisiologis, Giemsa 10%, gliserol, etanol, xylol, dan pewarna

Acetocarmine. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquarium, timbangan, alas bedah berupa gabus yang dilapisi plastik berwarna hitam, penggaris, tissue, gelas objek, gelas penutup, kertas label, botol plastik, alat bedah (gunting, pinset, dan skalpel), cawan petri, lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C, pipet, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, video mikrometer, dan jarum.

Metode Penelitian 1. Isolasi Cacing

Penelitian ini diawali dengan melakukan pemilihan lokasi pengambilan sampel ikan (di Pasar Anyar Bogor Tengah, di Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur) yang dilakukan secara acak dengan jumlah 10 ekor dari tiap lokasi. Ikan-ikan yang telah dipilih secara acak dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi air dan oksigen secukupnya lalu dibawa ke laboratorium.

Sesampainya di laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, ikan dimasukkan ke dalam aquarium dan dibiarkan semalaman dengan tujuan mengurangi stres. Keesokan harinya, satu demi satu ikan sampel ditimbang berat badannya menggunakan timbangan digital dan diukur panjang tubuhnya. Setelah diukur, ekor ikan digunting lalu dibuat ulas darah. Kemudian dibunuh dengan cara digunting bagian medulla oblogatanya. Setelah hewan mati, organ


(57)

15 insang dan saluran pencernaan dipisahkan dari tubuh lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diisi NaCl Fisiologis. Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C minimal selama 10 jam dengan tujuan agar cacing tersebut dapat berelaksasi dan mengeluarkan kaitnya agar dapat terlepas dari organ insang dan saluran pencernaan. Cacing yang telah diisolasi dari sampel organ, dimasukkan ke dalam botol plastik berisi alkohol 70% dan ditambahkan 2 tetes gliserin dengan tujuan untuk mengurangi penguapan di dalam botol. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan proses pewarnaan terhadap cacing parasitik.

2. Pewarnaan darah

Pewarnaan darah ikan maskoki diawali dengan pembuatan preparat ulas darah lalu dilanjutkan dengan pewarnaan Giemsa. Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan cara meneteskan darah pada gelas objek. Gelas objek kedua diletakkan dengan sudut 45º di atas gelas objek pertama, kemudian digeser ke belakang menyentuh darah sehingga darah menyebar. Gelas objek kedua kemudian digeser ke arah yang berlawanan sehingga membentuk suatu lapisan tipis darah. Preparat ulas darah dibiarkan kering. Setelah itu dilanjutkan dengan proses fiksasi dengan cara merendam preparat di dalam larutan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringkan. Preparat kemudian dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit setelah itu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (dengan minyak imersi), dan dilakukan penghitungan masing-masing jenis leukosit hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit (AMC 2008).

3. Pewarnaan Cacing

Spesimen cacing direndam dengan pewarnaan Acetocarmine selama 30 menit sampai 3 jam hingga spesimen berwarna merah cerah. Setelah perendaman, spesimen dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7 menit. Kemudian spesimen tersebut direndam dengan etanol secara bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95%, dan absolute selama 5 menit untuk tujuan dehidratasi. Kemudian dilanjutkan dengan clearing yang terdiri dari lactophenol dan xylol untuk membuat spesimen transparan dan di mounthing dengan entelan.


(1)

24 bahan mikrobisidal untuk membunuh parasit yang terlalu besar untuk dimakan. Banyak juga cacing yang memiliki lapisan permukaan yang tebal sehinga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006). Hal tersebut diantisipasi tubuh dengan memunculkan sel eosinofil sebagai pertahanan tubuh spesifik terhadap kecacingan.

Cacing dapat merangsang produksi antibodi nonspesifik. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresikan granul enzim yang menghancurkan parasit. sel Eosinofil lebih efektif dibandingkan leukosit lain karena sel eosinofil memiliki granul yang lebih toksik jika dibandingkan dengan enzim proteoilitik dan ROI (Reactive Oxygen Intermediates) yang diproduksi neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006).


(2)

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sampel ikan maskoki yang diperiksa positif mengalami kecacingan pada insang dengan nilai prevalensi kecacingan yaitu 100%. Tingkat infestasi parasit cacing di usus ikan maskoki adalah 0%. Jenis cacing parasitik yang menyerang insang berasal dari subkelas monogenea berupa Dactylogyrus sp. dan cacing dari subkelas Monopisthocotylea. Hasil perhitungan leukosit menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah sel eosinofil dan sel neutrofil yang disebabkan oleh adanya infeksi cacing parasit.

Saran

1. Pembudidayaan ikan maskoki perlu dilakukan dalam lingkungan yang terjaga kebersihan lingkungan pemeliharaannya. Hal tersebut dilakukan agar terhindar dari cacing parasit yang dapat mengganggu kesehatan dari ikan maskoki.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan kepadatan populasi ikan maskoki terhadap infeksi cacing parasitik.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh lingkungan pemeliharaan seperti kualitas air, jenis makanan terhadap kecacingan pada ikan maskoki.


(3)

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT PADA

IKAN MASKOKI (

Carassius auratus)

BANJAR ARSI PURBO SEJATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(4)

26

DAFTAR PUSTAKA

Abdulghani N, Nurhayati APD, Nugraha MA. 2009. Derajat infeksi Argulus sp. Pada ikan maskoki (Carassius auratus) di desa Bangoan kecamatan Kedungwaru kabupaten Tulungagung. BSS 1:1-8.

Abdullah SMA. 2009. Additional Records of Dactylogyrus (Monogenea) from Some Cyprinid Fishes From Darbandikhan Lake Iraq. Jordan Journal of Biological Sciences 2:145-150.

Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[AMC] Aqualex Multimedia Consortium. 2008. Basic Techniques in Fish

Haematology. [terhubung berkala]

Anshary H. 2008. Tingkat infeksi parasit pada ikan mas koi (Cyprinus carpio) pada beberapa lokasi budidaya ikan hias di Makassar dan Gowa (Parasitic Infections Of Koi Carp Cultured In Makassar And Gowa). K. Sains & Teknologi 8:139-147.

Aquafarmer. 2004. Tapeworms (Cestoda). [Terhubung berkala] http://www.holar. is/ ~aquafarmer/node1. html [13 Oktober 2011]

Bachtiar Y, Tim Lentera. 2002. Mencegah Maskoki Mudah Mati. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Baratawidjaja KG. 2006. Imonologi Dasar Edisi Ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Brooker C. 2005. Churchill Livingstone’s Mini Encyclopaedia Of Nursing 1st edition. Elsevier Ltd: Singapura.

Campbell NA Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

David G. 2010a. Dactylogyrus. Fauna europaea versi 2.4 . [terhubung berkala]

David G. 2010b. Gyrodactilus. Fauna europaea versi 2.4. [terhubung berkala]

FAO. 1991. Diagnostics, Prevention And Therapy Of Fish Diseases And Intoxications. [Terhubung berkala]. http://www.fao.org/docrep/field/

003/AC160E/AC160E03.htm [14 Mei 2011].

Freyhof, Jorg. 2004. Carassius auratus. Fauna Europaea version 2.4, http://www.faunaeur.org [14 Mei 2011].


(5)

27 Gao Z et al. 2007. Haematological characterization of loach Misgurnus

anguillicaudatus: Comparison among diploid, triploid and tetraploid specimens. Elsevier 147:1001–1008.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 3. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of Fishes. Di dalam: Weiss DJ dan Wardrop KJ, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition: Hematology of fishes. Singapure: Wiley-Blackwell. Hlm 994-1003.

Iskandar, Sitanggang M. 2003. Memilih dan merawat Maskoki Impor Berkualitas. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Kent ML, Fournie JW. 2007. Parasites of fishes. Di dalam Baker ED, editor: Flynn’s Parasites Of Laboratory Animals. Ed ke-2. State avenue: Blackwell publishing.

Khanna DR, Yadav PR. 2004. Biology of Fishes. New delhi: Discovery Publishing House.

Klinger RE, Floyd RF. 2009. Introduction to Freshwater Fish Parasites 1. University of Florida IFAS Extension; CIR716.

Lasee B. 2004. Parasitology Capter 8 on Laboratory NWFHS Procedures Manual. Ediki ke-2. [terhubung berkala] Levine ND. 1990. Buku Ajar Protozoologi Verteriner. Ashadi G, Penerjemah.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology.

[Marine Biological Laboratory]. 2003. Universal Biological Indexer and Organizer. [terhubung berkala] Mei 2011].

Martins ML, Dias MT, Fujimoto RY, Onaka EM, Nomura DT. 2004. Hematological alteration of Leporinus macrocephalus (Osteichtyes: Anostomidae) naturally infected by Goezia leporini (Nematoda: Anisakidae) in fish pond. Arq. Bras Med Vet Zootec 56(5):640-646.

Natadisastra D, Agoes R. 2005. Parasitologi kedokteran. EGC: Jakarta

Noble ER, Noble GA.1989. Parasitology. Di dalam: Soeripto N, editor. The Biology of animal parasites. Edisi ke-5. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


(6)

28 Ozer A, Ozturk T. 2005. Dactylogyrus cornu Linstow, 1878 (Monogenea)

infestations on Vimba (Vimba vimba tenella (Nordmann, 1840)) caught in the sinop region of Turkey in relation to the host factors. Turk J Vet Anim Sci 29:1119-1123.

Prayitno BI. 2002. Peran Budidaya Perairan Khususnya Penanganan Penyakit Ikan dalam Pengelolaan Sumber Perikanan.[terhubung berkala]. http//www.eprints.undip.ac.id/287/1/S._Budi_Prayitno.pdf. [9 Feb 2011]. Reed P, Floyd RF, Klinger R. 2009. Monogenean Parasites of Fish. University of

Florida IFAS Extension; FA28.

Sarbahi DS. 1951. Studies Of The Digestive Tracts And The Digestive Enzymes Of The Goldfish, Carassius Auratus (Linnaeus) And The Largemouth Black Bass, Micropterus Salmoides (Lacepede). Biological Bulletin 100:224-257 Sarkar S. 2010. Oranda Fancy Goldfish. [terhubung berkala]

Stoskopf MK. 1993. Fish Medicinal. Philadelphia:W.B. Saunders Company. Street, R. 2002. Carassius auratus, Animal Diversity Web. [terhubung berkala]

V´azquez GR, Guerrero GA. 2007. Characterization of blood cells and hematological parameters in Cichlasoma dimerus (Teleostei, Perciformes). Elsevier 39:151–160.

Watson A, Craig H, Pouder EJ, Debora B. 2004. Species Profile: Koi and Goldfish. SRAC Publication; 7201.

Wiliams LB, Wiliams EH. 1994. Parasites of Puerto Rican Freswater Sport Fishes. Antillean College Press: Mayaguez.

Williams EH, Williams LB. 1996. Parasites Of Offshore Big Game Fishes Of Puerto Rico And The Western Atlantic. Mayaguez: Antillean College Press. Yamaguti S. 1958. Systema Helminthum. Volume ke-1: Protozoa and Metazoan

Infections Second Edition. Canada.

Yanong RPE. 2003. Necropsy Technique for Fish. Seminars in Avian and Exotic Pet Medicine. Elsevier Inc; 12: 89-105.