Aplikasi Penggunaan Gen Sitokrom B Dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Sebagai Pendeteksi Campuran Daging Tikus Pada Produk Bakso

APLIKASI PENGGUNAAN GEN SITOKROM B DENGAN
TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
SEBAGAI PENDETEKSI CAMPURAN DAGING
TIKUS PADA PRODUK BAKSO

SKRIPSI
CITRA DEWI

DEPARTEMEN
EN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI
TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN
PE
BOGOR
2011

RINGKASAN
Citra Dewi. D14062229. 2011. Aplikasi Penggunaan Gen Sitokrom b dengan
Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai Pendeteksi Campuran
Daging Tikus pada Produk Bakso. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si
Pembimbing Anggota : Irma Isnafia A., S.Pt., M.Si
Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap
rakyat Indonesia. Setiap orang berhak untuk memperoleh pangan yang aman, sehat,
utuh dan halal. Produsen sering kali menyiasati biaya produksi yang tinggi dengan
memberikan bahan campuran ke dalam produk atau menggantinya dengan bahan
yang lebih murah. Hal ini menjadi masalah saat sebuah produk pangan dipalsukan
atau dicampur dengan bahan yang tidak dicantumkan dalam label produk. Beberapa
metode seperti sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis dan
imunodifusi ganda telah dikembangkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, namun metode-metode ini kurang
optimal apabila digunakan untuk sampel yang telah mengalami proses pemanasan.
Primer tikus telah dikembangkan dari sequence gen sitokrom b mitokondria untuk
digunakan sebagai sebagai media pendeteksi cemaran daging tikus dalam aplikasi
teknik polymerase chain reaction (PCR). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemampuan identifikasi primer tikus dan tingkat sensitivitasnya pada
produk bakso dengan teknik PCR, serta mendeteksi keberadaan campuran daging
tikus pada beberapa bakso yang dijual di daerah Kota Bogor.
Prosedur isolasi bahan dilakukan dengan metode Sambrook et al. (1989) yang

sudah mengalami modifikasi. Pengujian DNA hasil isolasi dilakukan secara kualitatif
dengan spektrofotometer, dan secara kualitatif dengan metode elektroforesis dalam
gel agarose 1%. Pengujian batas kemampuan identifikasi campuran menggunakan
level cemaran 1, 5, 10, 15, 20 dan 25%. Pengambilan sampel di pasar dilakukan
dengan metode proportional random sampling.
Materi DNA hasil isolasi memiliki rentangan nilai konsentrasi antara 20
µg/µl hingga 1410 µg/µl dengan tingkat kemurnian 1,429 hingga 3,000. Campuran
daging tikus teridentifikasi dengan tingkat kepercayaan 100% pada level 15%.
Kemampuan identifikasi dipengaruhi oleh kehomogenan bahan dalam produk dan
komposisi nutrien dari bahan campuran. Hasil aplikasi penggunaan primer pada
bakso pasar tidak memberikan hasil positif atau dengan kata lain, bakso yang berada
di tiga pasar besar di Kota Bogor (Pasar Anyar, Pasar Bogor dan Pasar Jambu Dua)
bebas dari campuran daging tikus.

Kata-kata kunci: Rattus norvegicus, sitokrom b, polymerase chain reaction, bakso

ABSTRACT
Application of cytochrome b gene in polymerase chain reaction (PCR) technique
as the contamination detector of rat meat on meatball products
Dewi, C., Nuraini, H and Arief, I.I

Polymerase chain reaction (PCR) technique was developed as a precise and quick
method to identify meat species in both of raw meat and meat products. Rat primer
has been developed from mitochondrial cytochrome b gene sequence. The aim of this
study was to find out the ability and sensitivity level from this primer as
contamination detector in meatball, and also to indentify the contamination of rat
meats in meatball products which are sold in the Bogor City. Meatball samples were
prepared from both mixtures rat meat and beef at different levels (1, 5, 10, 15, 20 and
25%) in meatball. As the result, rat’s meat could be identified start from 5% level
and were amplified definitely at level contamination 15%. There were no rat meat
found in the market samples or in other words, meatball sold in three big markets in
Bogor City (Pasar Anyar, Pasar Bogor dan Pasar Jambu Dua) were free from rat
contamination.

Keywords: Rattus norvegicus, cytochrome b, polymerase chain reaction, meatball

APLIKASI PENGGUNAAN GEN SITOKROM B DENGAN
TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
SEBAGAI PENDETEKSI CAMPURAN DAGING
TIKUS PADA PRODUK BAKSO


CITRA DEWI
D14062229

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Srjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul Skripsi : Aplikasi Penggunaan Gen Sitokrom b dengan Teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) sebagai Pendeteksi Campuran Daging Tikus
dalam Produk Bakso
Nama
: Citra Dewi
NIM


: D14062229

Menyetujui:

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si.
NIP. 19640202 198903 2 001

Irma Isnafia A., S.Pt., M.Si.
NIP. 19750304 199903 2 001

Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan IPB

Prof.Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc.

NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal ujian: 4 Februari 2011

Tanggal lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak
Suhanda Gunadi dan Ibu Mursi. Penulis lahir pada tanggal 13 Agustus 1988 di
Bogor, Jawa Barat.
Riwayat pendidikan penulis dimulai dari pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Kesatuan pada tahun 1994 hingga 2000. Pendidikan dilanjutkan di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 2 Bogor pada tahun 2000 hingga 2003, kemudian Sekolah
Menengah Akhir Negeri 3 Bogor pada tahun 2003 hingga 2006. Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2007 diterima di Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
Sejak 2006 hingga karya tulis ini dibuat, penulis aktif di Youth of Nation
Ministry (YoNM). Penulis juga terdaftar sebagai anggota Komisi Pelayanan Siswa di
Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di

Peternakan Babi Obor Swastika pada tahun 2008. Tahun 2009, penulis
berkesempatan mengikuti kegiatan Pekan Kreatifitas Mahasiswa bidang pengabdian
masyarakat yang didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DP2M-DIKTI) dengan judul kegiatan
“Pembangunan

Perpustakaan

Penduduk di Desa Paseban”.

untuk

Mengatasi

Keterbelakangan

Pendidikan

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tiada habisnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus atas kasih dan karunia-Nya sepanjang hidup penulis. Dia tidak pernah
berubah, dari dulu, sekarang, sampai selama-lamanya. Dia Bapa sekaligus Sahabat
terdekat penulis yang senantiasa memberi hikmat dan kekuatan untuk penulis dapat
menyelesaikan studi ini dengan baik.
Tema yang dipilih dalam penelitian untuk tugas akhir ini ialah teknik
identifikasi campuran daging tikus dalam produk olahan. Penelitian ini diberi judul:
Aplikasi Penggunaan Gen Sitokrom b dengan Teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR) sebagai Pendeteksi Campuran Daging Tikus pada Produk Bakso.
Campuran daging tikus dalam makanan bukan merupakan hal umum bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebagian besar masyarakat akan mengerutkan
kening dan mengurungkan niatnya untuk makan apabila di hadapannya disajikan
makanan yang berlabelkan “Daging Tikus”. Daging tikus menjadi stigma yang
menjijikkan dan dinilai tidak layak untuk diambil dagingnya dan dimanfaatkan
sebagai bahan pangan, walaupun ada juga kalangan-kalangan tertentu yang dapat
menerimanya sebagai bahan pangan seperti masyarakat Minahasa.
Teknik PCR mulai dikenalkan oleh Kary Mullis sejak tahun 1983. Teknik
yang mampu menggandakan sepotong kecil rantai DNA menjadi jutaan copy dengan
bantuan primer dan enzim ini, memungkinkan kita untuk mengidentifikasi spesies
tanpa dibatasi oleh panas, jumlah sampel tersedia, atau pun umur hidup objek.
Teknik PCR terbukti dapat diaplikasikan pada berbagai objek seperti bakteri, fosil

maupun bahan pangan. Namun demikian, masih sangat sedikit informasi yang dapat
diperoleh mengenai aplikasinya untuk identifikasi spesies dalam produk pangan
olahan yang memiliki banyak bahan campuran seperti bakso. Penulis secara pribadi
berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan sebagaimana
mestinya ilmu pengetahuan, terutama kaitannya dengan pengembangan teknik
identifikasi cemaran dalam bahan pangan.
Bogor, Februari 2011

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ....................................................................................

i

ABSTRACT .......................................................................................

ii


LEMBAR PERNYATAAN ................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................

iv

RIWAYAT HIDUP ............................................................................

v

KATA PENGANTAR ........................................................................

vi

DAFTAR ISI ......................................................................................

vii


DAFTAR TABEL ..............................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................

x

PENDAHULUAN ..............................................................................

1

Latar Belakang ........................................................................
Tujuan ....................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

3

Tikus (Rattus norvegicus) .......................................................
Gen Sitokrom b .......................................................................
Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) .............................
Pengaruh Pemanasan terhadap Daging dan DNA ....................
Bakso ......................................................................................

3
3
4
6
7

MATERI DAN METODE ..................................................................

8

Lokasi dan Waktu ...................................................................
Materi .....................................................................................
Prosedur ..................................................................................
Pembuatan Bakso ........................................................
Pengujian Efektivitas Primer Tikus ..............................
Uji Lapang ..................................................................
Rancangan Penelitian ..............................................................

8
8
9
9
9
12
13

HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................

14

Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA ...................................
Hasil Amplifikasi DNA ..........................................................

14
18

KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................

24

Kesimpulan .............................................................................
Saran .......................................................................................

24
24

UCAPAN TERIMA KASIH ...............................................................

25

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

26

LAMPIRAN .......................................................................................

29

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Hasil Uji Homologi Sekuen Gen Sitokrom b (Cyt-b) ...............

4

2. Rentang Pemisahan Molekul DNA dalam Gel Agarose ...........

6

3. Program Analisis PCR ............................................................

12

4. Hasil Perhitungan Konsentrasi DNA Bakso dengan Campuran
Daging Tikus ..........................................................................

15

5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DNA Bakso Pasar ...................

16

6. Hasil Amplifikasi DNA Bakso dengan Campuran Daging
Tikus .......................................................................................

20

7. Hasil Amplifikasi DNA Bakso Pasar .......................................

22

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Sequence Nukleotida Primer dan Daerah Targetnya pada Gen
Cyt-b .......................................................................................

11

2. Hasil Elektroforesis DNA Bakso dalam 1% Gel Agarose ........

17

3. Hasil Amplifikasi DNA dalam 2% Gel Agarose ......................

18

4. Hasil Amplifikasi DNA Bakso dengan Campuran Daging
Tikus dalam 2% Gel Agarose ..................................................

19

5. Hasil Amplifikasi DNA Bakso Pasar dalam 2% Gel Agarose ..

23

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Rattus norvegicus cytochrome b mRNA, complete cds; mitochondrial gene for mitochondrial product .......................................

29

2. Bos taurus isolate Wuchuan Black-1 cytochrome b (cyt-b) gene,
complete cds; mitochondrial ....................................................

30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu aspek kebutuhan dasar setiap individu.
Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 dengan jelas menyatakan bahwa pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap
rakyat Indonesia. Setiap konsumen pangan berhak untuk memperoleh pangan yang
aman, utuh, sehat, dan bagi beberapa kalangan, halal. Kemurnian dan kejelasan label
menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan hak tersebut.
Salah satu pangan hasil olahan daging yang sangat populer di kalangan
masyarakat Indonesia ialah bakso. Komoditi ini dianggap menjanjikan pasar yang
cukup besar, sehingga banyak individu masyarakat yang menjadikannya sebagai
sumber mata pencaharian. Hal ini tercermin dari banyaknya jumlah pedagang bakso
di sentra-sentra daerah dan mudahnya konsumen untuk membeli produk tersebut
hingga di pelosok desa. Namun demikian, kepopuleran ini tidak lepas dari fenomena
pemalsuan. Tahun 2006, kasus pemalsuan bakso dengan daging tikus di salah satu
daerah Jawa Barat diungkap dan disebarluaskan oleh media Trans TV. Terungkapnya
kasus ini dengan segera berdampak pada turunnya omset penjualan para tukang
bakso. Masyarakat menjadi takut dan enggan mengkonsumsi produk pangan tersebut.
Hal ini juga berdampak pada menurunnya omset para penjual daging yang biasa
menjual daging untuk bakso. Fenomena ini tentunya menyebabkan kerugian yang
cukup besar bagi berbagai kalangan terkait selain juga tidak sesuai dengan undangundang pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk
menghindari terulangnya kasus seperti di atas.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI) menggunakan gas kromatografi untuk analisis asam
lemak, serta metode sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis
(SDS-PAGE) dan imunodifusi ganda untuk analisis protein daging sebagai alat uji
pemalsuan makanan. Namun demikian, metode-metode ini kurang optimal untuk
sampel yang telah dimasak atau mengalami proses pemasakan, sehingga sulit apabila
diterapkan pada produk-produk pangan olahan daging yang telah diolah dengan
pemanasan, seperti bakso.

Teknik polymerase chain reaction (PCR) telah menjadi alat penting untuk
mengidentifikasi daging dari berbagai spesies hewan dalam beberapa tahun ini.
Teknik yang memanfaatkan informasi spesifik dari DNA ini memungkinkan
identifikasi spesies daging dalam jumlah kecil dengan akurat, baik dalam keadaan
mentah ataupun telah menerima proses pemanasan. Hasil penelitian Matsunaga et al.
(1999) menunjukkan bahwa sejumlah daging (mentah ataupun telah dipanaskan pada
suhu 100 oC dan 120 oC selama 30 menit) dapat diidentifikasi secara spesifik dengan
menggunakan sebuah campuran primer yang dikembangkan dari gen sitokrom b
mitokondria. Maryatni (2000) juga telah berhasil mendeteksi daging babi pada
produk olahan daging yang mengalami proses pemanasan dalam pengolahannya,
menggunakan teknik PCR. Primer yang digunakan yaitu P408 dan P131 yang
keduanya dapat mengamplifikasi DNA pada lokus porcine repetitive element (PRE1) pada babi, tetapi tidak pada daging sapi.
Prinsip yang sama akan diterapkan untuk mengetahui dapat tidaknya teknik
ini mengidentifikasi campuran daging tikus dalam produk olahan daging yang umum
dikonsumsi

masyarakat

dan

telah

mengalami

proses

pemanasan

dalam

pengolahannya seperti bakso, dengan menggunakan satu campuran primer. Salah
satu primer yang akan digunakan ialah primer tikus yang telah disusun dari sequence
gen sitokrom b (Cyt-b) mitokondria. Primer ini diharapkan dapat mengamplifikasi
campuran daging tikus secara spesifik dalam produk bakso, seperti halnya
kespesifikan P408 dan P131 pada produk olahan daging babi.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan identifikasi primer
tikus yang dikembangkan dari gen sitokrom b sebagai pendeteksi campuran daging
tikus dan tingkat sensitivitasnya pada produk bakso dengan teknik polymerase chain
reaction (PCR), serta mendeteksi ada tidaknya campuran daging tikus pada beberapa
bakso yang dijual di daerah Kota Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA
Tikus (Rattus norvegicus)
Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum
Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies
utama yang terdapat di Pulau Jawa yaitu Bandicota indica, Mus caroli, kelompok
Mus musculus, Rattus argentiventer (tikus sawah), R. rattus (tikus rumah), R.
exulans, R. tiomanicus (tikus pohon), dan R. norvegicus (Aplin et al., 2003).
Berdasarkan ukuran dan akses, R. argentiventer, R. rattus, dan R. norvegicus ialah
spesies-spesies yang berpotensi untuk dimanfaatkan dagingnya. Tikus-tikus ini
memiliki bobot yang dapat mencapai 200 g, bahkan R. norvegicus dapat mencapai
500 g (Myers dan Armitage, 2004).
R. norvegicus dikenal sebagai tikus got, tikus coklat, tikus rumah besar, atau
tikus laboratorium. Jenis tikus ini paling banyak ditemukan di perkotaan, di antara
tempat-tempat tinggal manusia. Tikus ini juga dapat ditemukan di daerah
persawahan, terutama saat masa panen tiba (Prakash, 1988). Hasil seleksi terhadap
hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan (dikenal sebagai tikus putih)
dan sebagai hewan peliharaan dengan warna bervariasi (Baker et al., 1979).
Tubuh R. norvegicus diliputi oleh kulit dan rambut kasar berwarna kecoklatan
(terkadang disertai titik-titik hitam atau putih) yang warnanya semakin terang
mendekati tubuh bagian bawah. R. norvegicus memiliki telinga dan ekor yang tebal,
dengan ukuran panjang ekor lebih pendek dibanding panjang badan. Tikus jenis ini
sering salah dikenali sebagai tikus hitam (Rattus rattus) karena kemiripannya. Akan
tetapi bila diperiksa lebih lanjut, kedua tikus ini dapat dibedakan berdasarkan
kelenturan punggungnya. R. norvegicus memiliki punggung yang kuat dan
cenderung kaku, sementara Rattus rattus lentur (Myers dan Armitage, 2004).
Gen Sitokrom b
Sitokrom b (Cyt-b) adalah bagian dari sitokrom pada transpor elektron yang
terletak di rantai respirasi mitokondria dan dikodekan oleh DNA (Deoxyribonucleic
Acid) mitokondria. Setiap sel mitokondria memiliki ratusan salinan DNA dan
diturunkan secara penuh oleh induk betina sehingga bebas dari efek heterozigositas
(Lockley dan Bardsley, 2000; Unseld et al., 1995). DNA mitokondria berevolusi
lebih cepat dan mempunyai keragaman sekuen yang lebih tinggi dibanding DNA inti.

Gen Cyt-b telah banyak digunakan dalam studi yang terkait dengan identifikasi
spesies daging mentah maupun daging yang telah mengalami proses pemanasan
(Matsunaga et al., 1999; Martinez dan Daníelsdόttir, 2000; Dooley et al., 2004;
Schwägele et al., 2007).
Sekuen gen Cyt-b yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus
mempunyai panjang sekuen 1146 pb (NCBI, 2000). Sekuen tersebut bersifat spesifik
pada masing-masing spesies walaupun berada dalam satu genus. Hasil uji homologi
sekuen gen Cyt-b Rattus norvegicus dengan beberapa spesies tikus lain disajikan
dalam Tabel 1. Reich et al. (1984) menyatakan bahwa kemiripan sekuen merupakan
hasil pengukuran derajat munculnya basa pada sebuah sekuen, dimana pada keadaan
tertentu disebut sebagai homolog dan dinyatakan dalam skor. Tingkat homologi
digunakan untuk mengetahui proses evolusi atau melihat hubungan kekerabatan.
Tabel 1. Hasil Uji Homologi Sekuen Gen Sitokrom b (Cyt-b)
Spesies

No. Akses

Derajat Kemiripan (%)

Rattus argentiventer

AB033701.1

88

Rattus rattus

AJ005780.1

96

AB033702.1

89

AB211039.1

88

EF108342.1

95

EF108343.1

94

DQ874614.1

94

EF108345.1

95

AY675564.1

95

Mus musculus

Sumber : Program BLAST (www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blastn)

Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan prosedur efektif untuk sintesa
DNA secara in vitro dengan bantuan enzim polymerase dan oligonukleotida sebagai
primer untuk menggandakan jumlah molekul DNA secara spesifik melalui
mekanisme perubahan suhu (Muladno, 2010). Spychaj et al. (2009) menyatakan
bahwa teknik PCR yang menggunakan primer spesies spesifik memungkinkan untuk
digunakan sebagai alat identifikasi berbagai spesies hewan atau ternak, baik dalam

4

keadaan mentah maupun telah mengalami proses pemanasan. Hal ini dibuktikan oleh
Pascoal et al. (2004) yang berhasil melakukan identifikasi dari 50 daging komersial
secara spesifik. Sembilan di antara daging-daging tersebut adalah daging mentah,
sementara sisanya ialah daging yang telah mengalami berbagai proses pengolahan
antara lain pemanasan awal, pembekuan, pemasakan, pengasapan, dehidrasi dan
sterilisasi. Primer yang digunakan ialah primer universal yang mengamplifikasi DNA
mitokondria pada daerah yang mengkodekan gen sitokrom b. Teknik ini juga mampu
mengidentifikasi keberadaan daging pencemar (kuda, keledai, babi, domba) dalam
produk olahan daging terfermentasi (sucuk) pada tingkat pencemaran 0,1% (Kesmen
et al., 2010).
Teknik PCR dilakukan dengan cara menginkubasi DNA pada tiga macam
suhu yang bertujuan untuk: 1) Denaturasi potongan DNA; 2) Penempelan primer
(annealing) pada cetakan DNA; serta 3) Perpanjangan primer (extension) yang telah
tergabung dengan cetakan, yang dilakukan dalam satu siklus amplifikasi (Sambrook
et al., 1989). Untai ganda DNA akan terdenaturasi dengan memanaskan sampel
secara cepat pada suhu 95 oC. Selanjutnya primer akan menempel dengan DNA
komplemennya pada suhu 50-60 oC, kemudian enzim polimerase mulai mensintesis
molekul DNA baru pada suhu 72 oC. Suhu penempelan bergantung pada panjang
pendeknya primer, sementara waktu inkubasi bergantung pada panjang DNA yang
akan diamplifikasi. Produk DNA pada amplifikasi pertama akan menjadi cetakan
pada siklus berikutnya (Muladno, 2010).
Visualisasi produk PCR dapat dilakukan melalui elektroforesis, dengan
memanfaatkan gel agarose. Elektroforesis gel agarose menurut Sambrook et al.
(1989) merupakan metode standar untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen
DNA. Gel agarose sering digunakan dalam analisa PCR karena lebih mudah dalam
persiapan dan pemantauan selama elektroforesis. Gel ini dapat lebih cepat
memisahkan, mengidentifikasi kemurnian dan konsentrasi produk PCR disamping
harganya yang memang lebih murah (Harwood, 1996). Gel agarose memiliki rentang
pemisahan molekul yang lebar, sehingga lebih banyak senyawa dengan ukuran
bervariasi yang dapat dipisahkan (Nicholl, 1994). Rentang pemisahan molekul DNA
dalam gel agarose disajikan dalam Tabel 2.

5

Tabel 2. Rentang Pemisahan Molekul DNA dalam Gel Agarose
Konsentrasi Agarose (%)

Rentang Pemisahan (pasang basa/pb)

0,3

1000-50000

0,7

300-20000

1,4

300-6000

Sumber : Nicholl (1994)

Pergerakan DNA dalam gel agarose dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
(a) Ukuran molekul DNA. Molekul DNA dengan ukuran lebih besar akan bermigrasi
lebih lambat; (b) Konsentrasi gel agarose. Gel agarose dengan konsentrasi lebih
besar akan semakin rapat pori-porinya, sehingga pemisahan molekul menjadi lebih
selektif; (c) Besarnya tegangan listrik. Tegangan listrik yang lebih rendah akan
menyebabkan laju migrasi DNA lebih lambat; (d) Kontinuitas arus listrik. Jika
kontinuitas arus listrik lebih rendah, maka laju migrasi DNA lebih lambat; dan (e)
Komposisi larutan penyangga (buffer) elektroforesis. Buffer dan kekuatan ion yang
tinggi akan menyebabkan konduksi listrik sangat efisien sehingga DNA bermigrasi
lebih cepat (Sambrook et al., 1989).
Pengaruh Pemanasan terhadap Daging dan DNA
Proses pemanasan akan menyebabkan protein terdenaturasi, yaitu penguraian
struktur sekunder dan tertier protein tanpa memecah ikatan peptidanya. Kondisi ini
mengakibatkan bagian hidrofilik dan hidrofobik protein terpapar. Bagian hidrofilik
akan berikatan dengan molekul air sedangkan bagian hidrofobik yang tidak stabil
berasosiasi dengan bagian hidrofobik dari molekul protein lain yang berada di
dekatnya. Asosiasi ini bersifat acak sehingga pada akhirnya akan terbentuk massa
molekul besar yang memiliki molekul air terikat namun tidak larut dalam air.
Peristiwa ini bersifat irreversible atau tidak dapat balik (Raven, 2005). Perubahan ini
pula yang membuat protein terdenaturasi tidak dapat diidentifikasi dengan metode
sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan
imunodifusi ganda.
Pemanasan juga menyebabkan perubahan pada aroma daging. Hal ini
berkaitan dengan perubahan dalam jumlah dan tipe komponen volatil yang
terkandung dalam daging. Komponen-komponen volatil yang dimaksud antara lain
beberapa varian sulfur, nitrogen, hidrokarbon, aldehid, keton, alkohol, dan asam

6

(Aberle et al., 2001). Hal ini mengakibatkan teknik gas kromatografi tidak dapat
digunakan dalam identifikasi pemalsuan pada daging yang sudah dimasak.
DNA jauh lebih stabil terhadap panas dibandingkan protein. Hal ini
dikarenakan molekul DNA lebih terlindung dibandingkan protein, karena berada di
dalam sel. Arslan et al. (2006) membuktikan hal ini melalui hasil penelitiannya
mengenai ketahanan DNA dari daging sapi terhadap suhu tinggi. Molekul DNA
dapat teramplifikasi dengan baik pada sampel yang dimasak pada suhu 97,5 oC
selama 230 menit, dipanggang selama 150 menit, dimasukkan dalam autoclave
bersuhu 120 oC selama 90 menit, ataupun digoreng selama 45 menit (suhu minyak
173 oC).
Bakso
Bakso daging dalam SNI Nomor 01-3818-1995 didefinisikan sebagai produk
makanan berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran daging
(kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan
tambahan makanan yang diizinkan (DSN, 1995). Pembuatan bakso mencakup
beberapa tahap yaitu persiapan bahan, penghancuran daging, pembentukan adonan
dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah,
mencincang, atau menggiling (Koswara et al., 2000) dengan tujuan untuk memecah
serabut daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah
terdispersi. Pemasakan dapat dilakukan dalam dua tahap, agar permukaan bakso
yang dihasilkan tidak keriput akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman
bakso pada suhu 50-60oC bertujuan untuk membentuk bakso, lalu perebusan dalam
air dengan suhu 100oC untuk mematangkan (Wilson et al., 1981).
Bahan tambahan yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah
bahan pengisi dan garam. Bahan pengisi berfungsi memperbaiki stabilitas emulsi,
memperbaiki sifat irisan, mengurangi penyusutan selama proses pemasakan,
peningkatan citarasa dan mereduksi biaya produksi. Bahan pengisi yang paling
umum digunakan untuk pembuatan bakso adalah tepung tapioka. Garam yang
ditambahkan pada daging giling akan meningkatkan protein miofibril yang
terekstraksi, sekaligus berfungsi untuk meningkatkan citarasa (Aberle et al., 2001).

7

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu divisi Bioteknologi Ternak,
serta Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berlangsung selama dua bulan, sejak September hingga Oktober 2010.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan
dasar pembuatan bakso, antara lain daging sapi (gandik), tepung tapioka, garam,
bawang putih, merica, STPP dan es. Daging tikus (Rattus norvegicus strain Albino)
digunakan sebagai bahan pencemar bakso. Bakso dari hasil pengambilan sampel di
daerah Kota Bogor juga digunakan sebagai sampel pengujian.
Bahan kimia yang digunakan antara lain bufer 1x STE (10 mM NaCl; 20 mM
Tris-HCl; 0,1 mM EDTA), SDS 10%, CIAA (chloroform : isoamyl alkohol = 24 : 1),
fenol, etanol 70%, etanol absolut (EtOH), 5M NaCl, bufer TE (16 mM Tris-HCl dan
1,6 mM EDTA), aquadest, 10x Dream Taq buffer (Fermentas), dNTP’s, agarose,
ethidium bromida (EtBr), bufer 0,5x TBE (44,5 mM Tris-base; 44,5 mM asam borat;
1mM Na2EDTA; pH 8), loading dye dan DNA marker (100 pb). Enzim yang
digunakan yaitu 5 mg/ml proteinase-K dan Taq DNA polymerase (Fermentas).
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan bakso yaitu food processor,
pisau, wadah mangkok atau piring, spatula, timbangan digital, panci dan kompor.
Sementara peralatan untuk pengujian yaitu tabung eppendorf (1,5; 0,5 dan 0,2 ml),
tip pipet (100, 200 dan 1000 µl), pipet mikro, sentrifuse mikro, mortar, vorteks,
spektrofotometer (GeneQuant 1300), mesin thermal cycler (GeneAmp® PCR
System 9700), satu set alat elektroforesis gel agarose (MUPID) dan kamera polaroid
(MP 4 Polaroid camera + UV transilluminator).

Prosedur
Pembuatan Bakso
Daging tikus digunakan sebagai bahan pencampur dalam bakso sapi. Tingkat
pencampuran terdiri atas enam level, dari 1% hingga 25% dari total berat daging.
Tepung tapioka digunakan sebanyak 20%, garam 3%, sementara bumbu-bumbu lain
0,5%, masing-masing dari total berat daging.
Semua daging yang akan digunakan, ditimbang terlebih dahulu kemudian
digiling sekaligus dicampurkan antara daging sapi dan daging tikus sesuai taraf yang
telah ditetapkan. Garam dan air es ditambahkan di awal proses, disusul bumbubumbu lainnya. Setelah itu, adonan dibentuk bulat dengan bantuan sendok untuk
selanjutnya direbus dalam air panas hingga matang (10 menit).
Pengujian Efektivitas Primer Tikus
1. Isolasi DNA Bahan
Sampel

produk diisolasi untuk mendapatkan DNA. Prosedur isolasi

dilakukan menurut Sambrook et al. (1989) yang telah mengalami modifikasi.
Sampel sebanyak 75 mg diambil dari lima titik yang tersebar dari tengah ke
sekitarnya. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml. Sebanyak
340 µl 1x STE, 20 µl proteinase-K 5 mg/ml dan 40 µl SDS 10% kemudian
ditambahkan ke dalam tabung. Sampel bakso dihancurkan dengan mortar dan
dicampur sampai rata. Larutan ini diinkubasi selama dua jam pada suhu 55 oC.
Setelah waktu inkubasi, fenol ditambahkan sebanyak 400 µl, CIAA 400 µl
dan 5M NaCl sebanyak 40 µl, kemudian dikocok pelan pada suhu ruang selama satu
jam. Larutan ini lalu disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 12 000 rpm yang
menghasilkan tiga lapisan. Lapisan paling atas (supernatan) dipindah ke dalam
tabung baru yang bersih dengan menggunakan mikropipet secara hati-hati, lalu
ditambahkan 800 µl EtOH absolut dan 40 µl 5M NaCl, kemudian diinkubasi pada
suhu -20 oC dalam freezer selama enam jam atau over night.
Larutan disentrifuse selama lima menit dengan kecepatan 12 000 rpm.
Supernatan dibuang kemudian ditambahkan 800 µl EtOH 70% ke dalam tabung.
Larutan ini kemudian disentrifuse kembali selama lima menit dengan kecepatan 12
000 rpm. Supernatan yang terbentuk dibuang kembali, lalu didiamkan dalam keadaan
terbuka (dalam desikator atau ruang terbuka) sampai alkohol hilang. Endapan yang
9

dihasilkan, dilarutkan dalam bufer TE sebanyak 100 µl dan larutan yang
mengandung DNA ini disimpan pada suhu -20 oC sampai digunakan lebih lanjut.
2. Pengenceran DNA
DNA yang telah diperoleh dari hasil isolasi diukur konsentrasinya
menggunakan spektrofotometer (Gene Quant 1300) untuk dinilai secara kualitatif.
Sampel diencerkan 200 kali dengan melarutkan 3 µl sampel bersama 597 µl air
destilasi. Larutan disentrifuse selama 30 detik pada kecepatan 8 000 rpm. Hasil
larutan dimasukkan dalam kuvet untuk dihitung besarnya serapan DNA pada panjang
gelombang 260 nm, serapan protein pada panjang gelombang 280 nm, tingkat
kemurnian DNA dan konsentrasinya.
Sampel yang digunakan sebagai template saat analisa PCR diseragamkan
memiliki konsentrasi DNA 50 µg/µl. Nilai konsentrasi yang diperoleh dari
spektrofotometer berada dalam satuan mg/ml, disetarakan dalam satuan µg/µl.
Banyaknya larutan sampel yang akan digunakan kemudian dihitung melalui rasio
antara

50

(konsentrasi

yang

diinginkan)

dengan

nilai

konsentrasi

dari

spektrofotometer, dikalikan jumlah volume larutan yang diinginkan. Sampel
kemudian diencerkan dalam air destilasi hingga mencapai volume yang diinginkan
tersebut. Volume larutan sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah 100 µl.
3. Pengujian Kualitatif DNA Produk
Penilaian DNA secara kualitatif dilakukan dengan metode elektroforesis
dalam gel agarose 1% yang dibuat dengan melarutkan 0,3 g agarose di dalam 30 ml
buffer 0,5x TBE. Larutan dipanaskan dalam microwave selama lima menit,
kemudian dikocok dengan bantuan stirer. Setelah agak dingin, larutan ditambahkan
2,5 µl EtBr. Pengocokan dilanjutkan selama beberapa detik untuk memastikan EtBr
tercampur rata. Larutan dituang dalam cetakan gel, sisir dipasangkan, kemudian
ditunggu 20-30 menit hingga gel membeku. Setelah terbentuk gel bersama sumursumurnya, gel dipindahkan ke dalam tangki elektroforesis (MUPID) dan
ditambahkan 350 ml buffer 0,5x TBE sampai gel terendam dalam tangki
elektroforesis.
Sampel sebanyak 5 µl yang telah ditambah dengan 1 µl loading dye
dimasukkan dalam sumur-sumur gel. Marker sebanyak 2 µl dimasukkan dalam
sumur pertama di sebelah kiri. Setelah semua sampel dimasukkan, MUPID ditutup
10

dan dialiri listrik sebesar 50 Volt. Proses ini dibiarkan selama 25 menit atau hingga
DNA bergerak ke bawah. Setelah selesai, gel diangkat dan ditempatkan dalam UVTransilluminator dan dipotret dengan kamera palaroid.
4. Pengujian melalui Polymerase Chain Reaction (PCR)
Primer yang digunakan terdiri atas primer reverse tikus (5’-GAATGGGATTTTGTCTGCGTTGGAGTTT-3’) yang telah disusun dari sequence gen sitokrom b
(Cyt-b) mitokondria (Nuraini dan Sumantri, 2010), serta primer reverse sapi (5’CTAGAAAAGTGTAAGACCCGTAATATAAG-3’) dan primer forward SIM (5’GACCTCCCAGCTCCATCAAACATCTCATCTTGATGAAA-3’) yang telah lebih
dulu dikembangkan dari asal sequence yang sama oleh Matsunaga et al. (1999).
Posisi penempelan primer digambarkan dalam Gambar 1 sebagai daerah abu-abu.
SIM
Sapi
Tikus

GACCTCCCAGCTCCATCAAACATCTCATCTTGATGAAA
-----T-----C-----------T-----A--------TTTCGGTTCCCTCCTGGGAATCTGCCT
--------C--C-----T-----------A--------CTTCGGTTCTCTACTAGGAGTATGCCT

Sapi
Tikus

AATCCTACAAATCCTCACAGGCCTATTCCTAGCAATACACTACACATCCGACACAACAACAGCAT
CATAGTACAAATCCTCACAGGCTTATTCCTAGCAATACACTACACGTCTGATACCATAACAGCAT

Sapi
Tikus

TCTCCTCTGTTACCCATATCTGCCGAGACGTGAACTACGGCTGAATCATCCGATACATACACGCA
TTTCATCAGTCACCCACATCTGCCGAGACGTAAACTACGGCTGACTAATCCGATACCTACACGCC

Sapi
Tikus

AACGGAGCTTCAATGTTTTTTATCTGCTTATATATGCACGTAGGACGAGGCTTATATTACGGGTC
AACGGCGCCTCAATATTTTTCATCTGCCTATTCCTCCATGTGGGACGAGGAC----C--T--A--

Sapi
Tikus

TTACACTTTTCTAGAAACATGAAATATTGGAGTAATCCTTCTGCTCACAGTAATAGCCACAGCAT
C--------C----AAACCTGAAACATTGGAATCATTCTACTATTTGCAGTCATAGCAACTGCAT

Sapi
Tikus

TTATAGGATACGTCCTACCATGAGGACAAATATCATTCTGAGGAGCAACAGTCATCACCAACCTC
TCATGGGCTATGTACTCCCATGAGGACAAATATCATTCTGAGGAGCTACAGTAATTACAAACCTA

Sapi
Tikus

TTATCAGCAATCCCATACATCGGCACAAATTTAGTCGAATGAATCTGAGGCGGATTCTCAGTAGA
TTATCAGCTATCCCTTACATTGGGACTACCCTAGTCGAATGAATCTGAGGAGGCTTCTCAGTAGA

Sapi
Tikus

CAAAGCAACCCTTACCCGATTCTTCGCTTTCCATTTCATCCTTCCATTTATCATCATAGCAATTG
CAAAGCAACCCTAACACGCTTCTTCGCATTCCACTTCATCCTCCCATTCATTATCGCCGCCCTTG

Sapi
Tikus

CCATAGTCCACCTACTATTCCTCCACGAAACAGGCTCCAACAACCCAACAGGAATTTC---AG-CAATTGTACATCTTCTTTTCCTCCACGAAACAGGATCAAATAACCCCACAGGATTAAACTCCAAC

Sapi
Tikus

-T---------CCCATTC
GCAGACAAAATCCCATTC

65

130

195

260

325

390

455

520

585

603

Gambar 1. Sequence Nukleotida Primer dan Daerah Targetnya pada Gen Cyt-b
(NCBI, 2000)
Sebanyak 50 µg sampel DNA dilarutkan bersama 0,8 pM primer forward
SIM; 0,4 pM primer sapi; 0,4 pM primer tikus; 83 pM dNTP; 1 mM MgCl2; 1,25 µl
10x Dream Taq buffer (mengandung 2,1 mM MgCl2) ; dan 0,02 unit Taq DNA
polymerase dalam 12 µl volume total reaksi. Larutan disentrifuse selama 30 detik

11

dengan kecepatan 8 000 rpm. Tabung bersama isinya kemudian dimasukkan dalam
mesin thermal cycler (GeneAmp® PCR System 9700) dengan program yang
disajikan dalam Tabel 3. Setelah proses selesai, mesin dimatikan dan tabung diambil.
Sampel selanjutnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 4oC apabila tidak
langsung dianalisa lebih lanjut. Visualisasi hasil PCR dilakukan dengan metode
elektroforesis dalam gel agarose 2% (0,6 g agarose dalam 30 ml buffer TBE) selama
40 menit.
Tabel 3. Program Analisis PCR
Suhu (oC)

Waktu (menit)

Denaturasi awal

95

05.00

Denaturasi

95

00.30

Annealing

62

00.45

Elongasi

72

01.00

Elongasi akhir

72

05.00

Penyimpanan

15

-

Proses

Uji lapang
Sampel lapangan diambil dari tiga pasar besar di Kota Bogor, yaitu Pasar
Bogor, Pasar Jambu Dua dan Pasar Anyar. Penentuan sampel dari setiap pasar
dilakukan dengan metode proportional random sampling (Soekartawi, 2002),
ditujukan pada pedagang-pedagang bakso yang membuat sendiri bakso yang dijual.
Jumlah sampel yang diambil dari tiap pasar dihitung berdasarkan perbandingan
jumlah pedagang bakso di masing-masing pasar yaitu 6 : 12 : 40, berturut-turut untuk
Pasar Bogor, Pasar Jambu Dua dan Pasar Anyar. Sepuluh pedagang dari ketiga pasar
tersebut dipilih secara acak. Total sampel yang diambil sebanyak 4 butir bakso per
pedagang dengan rincian jumlah pedagang per pasar sebagai berikut: satu pedagang
dari Pasar Bogor, dua pedagang dari Pasar Jambu Dua dan tujuh pedagang dari Pasar
Anyar. Tahapan pengujian sama dengan tahapan yang diberikan pada bakso yang
dibuat dengan campuran daging tikus.

12

Rancangan Penelitian
Pengujian efektivitas primer sitokrom b tikus menggunakan enam level
pencampuran, yaitu 1, 5, 10, 15, 20 dan 25%. Setiap level diambil empat buah
sampel untuk diuji yang selanjutnya masing-masing diuji sebanyak tiga kali.
Campuran DNA sapi dan tikus yang diisolasi dari darah digunakan sebagai
pembanding bagi campuran DNA sapi dan tikus dalam produk bakso, untuk melihat
efektivitas primer terhadap sumber objek DNA yang berbeda. Bakso pasar, dicampur
setiap dua butir sampel dari setiap pedagang pada saat proses isolasi. Pencampuran
dilakukan untuk memperkecil jumlah pengujian tanpa mengurangi jumlah ulangan
bakso yang digunakan. Semua hasil pengamatan dibahas secara deskriptif.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gen sitokrom b digunakan sebagai pembawa kode genetik seperti halnya gen
yang terdapat dalam nukleus. Primer tikus yang dikembangkan dari gen sitokrom b,
terbukti dapat mengamplifikasi DNA yang berasal dari genus Rattus dan Mus
(Nuraini dan Sumantri, 2010) dikarenakan kedekatan hubungan kekerabatannya.
Kedekatan hubungan kekerabatan dapat dilihat dari tingkat homologi R. norvegicus
dengan spesies Rattus lainnya dan Mus musculus yang nilainya tidak kurang dari
88% (Tabel 1). Hasil pengujian primer dengan menggunakan DNA hasil isolasi
bakso disampaikan di bawah ini.
Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA
DNA template merupakan salah satu materi yang kritis keberadaannya dalam
aplikasi teknik PCR. Pengujian kuantitas dan kualitas DNA hasil isolasi perlu
dilakukan untuk menilai hasil isolasi DNA. Hasil pengukuran konsentrasi DNA
disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Hasil pengukuran kuantitatif menunjukkan
bahwa DNA yang berhasil diisolasi dari produk bakso sangat beragam dengan
rentangan nilai antara 20 µg/µl hingga 1410 µg/µl. Hasil isolasi DNA dari bakso
yang berasal dari pasar tidak jauh berbeda. DNA yang diisolasi dari bakso pasar
memiliki rentangan nilai konsentrasi yang lebih sempit dibandingkan bakso buatan
namun masih cukup luas, yaitu antara 50-610 µg/µl dengan rasio OD260/ OD280
sebesar 1,000 hingga 3,000. Rentangan nilai rasio yang sama dimiliki oleh DNA
hasil ekstraksi dari bakso buatan.
Keberadaan campuran bahan penyusun bakso seperti tepung tapioka, garam,
bawang putih, merica, STPP dan air menentukan nilai konsentrasi DNA hasil isolasi.
Banyaknya bahan campuran selain daging memperkecil konsentrasi daging dalam
bakso, sehingga peluang terisolasinya protein daging dalam bakso berkurang.
Semakin banyak bahan campuran, semakin kecil peluang tersebut.
Rasio OD260/ OD280 menunjukkan tingkat kemurnian DNA. Kepadatan optik
(Optical Density) pada panjang gelombang 260 nm (OD260) menunjukkan daerah
serapan DNA, sedangkan OD280 nm merupakan daerah serapan protein. Muladno
(2010) menyatakan bahwa molekul DNA dikatakan murni apabila rasio nilai OD260
dengan OD280 berkisar antara 1,800 hingga 2,000.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Konsentrasi DNA Bakso dengan Campuran Daging
Tikus
Abs 260

Abs 280

Abs 260/
Abs 280

Konsentrasi (µg/µl)

1

0,027

0,014

1,929

270

2

0,141

0,086

1,640

1410

3

0,024

0,016

1,500

240

4

0,020

0,014

1,429

200

1

0,009

0,006

1,500

90

2

0,033

0,019

1,737

330

3

0,013

0,008

1,625

130

4

0,014

0,010

1,400

140

1

0,003

0,001

3,000

30

2

0,014

0,009

1,556

140

3

0,017

0,011

1,545

170

4

0,017

0,011

1,545

170

1

0,040

0,022

1,818

400

2

0,014

0,008

1,750

140

3

0,007

0,004

1,750

70

4

0,010

0,007

1,429

100

1

0,007

0,005

1,400

70

2

0,002

0,002

1,000

20

3

0,010

1,429

1,429

70

4

0,061

0,038

1,605

610

1

0,037

0,024

1,542

370

2

0,044

0,028

1,571

440

3

0,010

0,007

1,429

100

4

0,022

0,015

1,467

220

Sampel/ Ulangan
Bakso tikus 1%

Bakso tikus 5%

Bakso tikus 10%

Bakso tikus 15%

Bakso tikus 20%

Bakso tikus 25%

15

Tabel 5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DNA Bakso Pasar
Konsentrasi (µg/µl)

0,009

Abs 260/
Abs 280
1,222

0,022

0,015

1,467

220

A2a

0,015

0,011

1,364

159

A2b

0,022

0,013

1,692

220

A3a

0,005

0,005

1,000

50

A3b

0,028

0,021

1,333

280

A4a

0,024

0,017

1,412

240

A4b

0,014

0,010

1,400

140

A5a

0,021

0,013

1,615

210

A5b

0,023

0,017

1,353

230

A6a

0,017

0,013

1,308

170

A6b

0,019

0,011

3,000

190

A7a

0,027

0,016

1,688

270

A7b

0,016

0,008

2,000

160

B1a

0,020

0,014

1,429

200

B1b

0,030

0,018

1,667

300

J1a

0,061

0,035

1,743

610

J1b

0,018

0,012

1,500

180

J2a

0,019

0,013

1,462

190

J2b

0,025

0,017

1,471

250

Sampel

Abs 260

Abs 280

A1a

0,011

A1b

110

Keterangan: A = Pasar Anyar, B = Pasar Bogor, J = Pasar Jambu Dua.
1-7 = urutan pengambilan sampel
a-b = ulangan
Hasil dari semua sampel yang diisolasi, hanya empat sampel yang memiliki nilai
perbandingan di antara rentang tersebut, yaitu bakso dengan campuran daging tikus
1% ulangan ke-1, bakso dengan campuran daging tikus 15% ulangan ke-1, serta
bakso ulangan ke-2 dari pedagang ke-6 dan ke-7 di Pasar Anyar (A6b dan A7b).
Clark dan Christopher (2000) menyebutkan bahwa rasio nilai OD260 dengan
OD280 yang kurang dari 1,800 mengindikasikan adanya kontaminasi dari protein dan
atau fenol sementara nilai OD260/ OD280 yang lebih besar dari 2,000 menandakan

16

adanya kontaminasi ribonucleic acid (RNA). Kontaminasi protein dan fenol sulit
dibedakan karena keduanya
anya dapat terabsorpsi dengan baik pada panjang gelombang
280 nm. Glasel (1995) mengungkapkan bahwa dibutuhkan jumlah kontaminasi
protein yang besar untuk mempengaruhi rasio ini secara ssignifikan.
Rentangan nilai konsentrasi DNA yang luas pada kedua jenis sampel
memungkinkan distandarkannya konsentrasi DNA sebesar 50 µg/µl,, kecuali untuk
bakso dengan campuran daging tikus 10% ulangan ke-1 dan bakso dengan campuran
daging tikus 20% ulangan ke-4 yang memiliki konsentrasi kurang dari 50 µg/µl.
Penyeragaman DNA template pada konsentrasi 50 µg/µl dilakukan untuk
mengurangi keragaman hasil identifikasi akibat keragaman konsentrasi DNA
sekaligus mengefisienkan penggunaan DNA. Sampel DNA dengan konsentrasi 50
µg/µl dielektroforesis
roforesis dalam larutan gel 1% untuk diuji secara kualitatif. Hasil
elektroforesis ditampilkan
pilkan pada Gambar 2.
M

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10
(-)

(+)
Gambar 2. Hasil Elektroforesis
lektroforesis DNA Bakso dalam 1% Gel Agarose. M: Marker 100
pb, 1: A1,
1, 2: A2, 33: A3, 4: A4, 5: A5, 6: A6,
6, 7: A7, 8: B1, 9: J1, 10: J2.
Tampilan hasil elektroforesis yang smear mengindikasikan beragamnya
panjang fragmen molekul sehingga molekul-molekul tersebar di sepanjang kolom.
Hal ini diduga terjadi
di karena DNA yang digunakan belum murni. Banyak molekulmolekul bukan DNA yang turut terdispersi dalam larutan buffer. Protein dapat
terdispersi akibat proses pengolahan bakso yang memungkinkann penghancura
penghancuran
molekul protein menjadi potongan-potongan
potongan
kecil molekul melalui penggilingan.
Proses penggilingan daging hingga lumat menyebabkan pecahnya serabut daging,
17

sehingga protein terekstrak (Sugiharti, 2009). Aberle et al. (2001) menyebutkan
bahwa garam yang ditambahkan pada daging giling akan meningkatkan protein
miofibril yang terekstraksi. Hal ini terjadi karena garam menyebabkan struktur
myofibril rusak sehingga protein bebas seperti fiber, fibril dan filamen terdispersi
(Nuraini, 2004).
Thenawijaya (1995) juga menyebutkan bahwa polisakarida yang berasal dari
tepung, mempunyai kelarutan yang sama dengan DNA sehingga sulit dipisahkan.
Keduanya dapat larut dalam pelarut polar. Protein-protein terdispersi ditambah
dengan polisakarida inilah yang menyebabkan beragamnya panjang fragmen
komponen sampel yang terperangkap dalam gel sehingga hasil yang tampak pun
smear. Namun demikian, teknik PCR sangat sensitif sehingga tetap dapat
mengidentifikasi keberadaan DNA walaupun tidak menggunakan DNA murni
sebagai template.
Hasil Amplifikasi DNA
Amplifikasi DNA dari Darah
Visualisasi hasil amplifikasi campuran DNA sapi dan tikus yang diisolasi dari
darah disajikan pada Gambar 3. Level campuran yang digunakan sama seperti level
campuran yang diaplikasikan dalam bakso, yaitu 1, 5, 10, 15, 20 dan 25%.
M

1

2

3

4

5

6
(-)

Tikus 603 pb

Sapi 274 pb

(+)
Gambar 3. Hasil Amplifikasi DNA dalam 2% Gel Agarose. M: Marker 100 pb, 1:
Tikus 1%, 2: Tikus 5%, 3: Tikus 10%, 4: Tikus 15%, 5: Tikus 20%, 6:
Tikus 25%

18

Fragmen DNA sapi teramplifikasi pada panjang DNA 274 pb sementara tikus pada
603 pb. Berdasarkan hasil elektroforesis, DNA tikus dapat teramplifikasi pada level
campuran 1%.
Intensitas pita DNA pada hasil amplifikasi DNA dari darah terlihat
mengalami perubahan seiring meningkatnya persentase campuran. Semakin besar
persentase campuran DNA tikus, pita DNA tikus semakin tebal sementara pita DNA
sapi semakin tipis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kesmen et al. (2010) yang
menyatakan bahwa intensitas DNA dari produk PCR pada gel agarose berbanding
lurus dengan konsentrasi DNA. Gambaran serupa juga diperoleh pada hasil
penelitian Matsunaga et al. (1999) dan Meyer et al. (1995) dimana intensitas produk
PCR pada gel agarose meningkat secara proporsional dengan konsentrasi DNA.
Amplifikasi DNA Bakso dengan Campuran Daging Tikus
Bakso dibuat dari daging sapi yang dicampurkan dengan daging tikus pada
level campuran 1, 5, 10, 15, 20 dan 25%. Sampel DNA dari darah masing-masing
spesies (sapi, tikus) dan campurannya (sapi : tikus = 1 : 1), digunakan sebagai
kontrol positif. Air sebagai kontrol negatif.
Gambaran hasil amplifikasi DNA dari bakso campuran tikus disajikan dalam
Gambar 4 sementara tabulasinya disajikan dalam Tabel 6.
M S T ST 1 2

3

4

5 6

7

8 9 10 11 12 13
(-)

Tikus
603 pb
Sapi
274 pb

(+)
Gambar 4. Hasil Amplifikasi DNA Bakso dengan Campuran Daging Tikus dalam
2% Gel Agarose. M: Marker 100 pb, S: Sapi, T: Tikus, ST: Sapi+tikus, 1
dan 2: Tikus 1%, 3 dan 4: Tikus 5%, 5 dan 6: Tikus 10%, 7 dan 8: Tikus
15%, 9 dan 10: Tikus 20%, 11 dan 12: Tikus 25%, 13: Air.

19

Tabel 6. Hasil Amplifikasi DNA Bakso dengan Campuran Daging Tikus
PCR keSampel/
Ulangan

1

2

Sapi Tikus
Sapi
Tikus
Sapi+Tikus
Bakso tikus
1%
1
2
3
4
Bakso tikus
5%
1
2
3
4
Bakso tikus
10%
1
2
3
4
Bakso tikus
15%
1
2
3
4
Bakso tikus
20%
1
2
3
4
Bakso tikus
25%
1
2
3
4
Air
Keterangan:

Total DNA
tikus
teramplifikasi
Sapi Tikus
3

Sapi

Tikus



















0
3
3






-






-






-

0
0
0
0















-











2
2
1
2








-







-










1
3
1
1































3
3
3
3



















-











3
3
3
2

3






3






3






3






0
√ DNA teramplifikasi; - DNA tidak teramplifikasi

Keberhasilan
identifikasi
cemaran (%)
100
100
100

0

58,3

50

100

91,67

100

20

Campuran DNA tikus mulai teridentifikasi pada tingkat campuran 5% dengan
tingkat keberhasilan amplifikasi sebesar 58,3%. Persentase sedikit menurun pada
tingkat pencampuran 10%. Tingkat keberhasilan identifikasi lebih dari 90% dicapai
saat campuran berada pada tingkat 15% hingga 25%. Perolehan hasil ini lebih rendah
bila dibandingkan hasil uji efektivitas dengan menggunakan DNA hasil isolasi dari
darah yang menunjukkan bahwa DNA tikus dapat diidentifikasi hingga tingkat
pencampuran 1% (Gambar 3). Hasil ini dapat terjadi karena pengaruh bahan
penyusun bakso, seperti yang telah dijelaskan di atas. Semaki