The Relationship between Sedimentation and Ecosystem of Coral Reef in the Lampung Bay, Province of Lampung

KETERKAITAN SEDIMENTASI TERHADAP KONDISI
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN
TELUK LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG

BETA SUSANTO BARUS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Sedimentasi
terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung
Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Beta Susanto Barus
NIM C551110081

RINGKASAN
BETA SUSANTO BARUS. Keterkaitan Sedimentasi terhadap Kondisi Ekosistem
Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi Lampung. Dibimbing oleh
TRI PRARTONO dan DEDI SOEDARMA.
Sedimentasi merupakan salah satu faktor pembatas untuk distribusi karang
melalui sedimen tersuspensi dan sedimen diendapkan yang menyebabkan
penetrasi penetrasi cahaya dan penutupan polip terumbu karang yang dapat
menyebabkan kematian karang.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keterkaitan sedimentasi
terhadap kondisi ekosistem terumbu karang melalui pengamatan laju sedimentasi
di ekosistem terumbu karang dan komunitas terumbu karang itu sendiri.
Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode transek
kuadrat. Metode ini menggunakan transek kuadrat berukuran (1x1) m2 yang
dibagi lagi menjadi 100 bagian yang lebih kecil. Pada setiap stasiun ditarik
meteran sepanjang 50 m dan dipasang transek pada setiap jarak 10 m. Selanjutnya

pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air.
Hasil foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software CPCe (Coral Point
Count with Excel extension). Laju sedimentasi diukur dengan alat perangkap
sedimen (sediment trap). Tabung sedimen trap yang digunakan adalah pipa PVC
dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11.5 cm. Tiap stasiun di pasang 3 buah
sediment trap yang di pasang selama 20 hari. Sedimen yang terkumpul kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam.
Laju sedimentasi bervariasi antar stasiun pengamatan dengan nilai kisaran
3,09-44,29 mg/cm2/hari. Laju sedimentasi terendah ditemukan pada Stasiun 7,
sedangkan tertinggi ditemukan di Stasiun 1. Tingkat sedimentasi ini umumnya
dikelompokkan pada kondisi ringan samapi sedang, sedangkan pada beberapa
Stasiun (1, 3, dan 6) menunjukkan tingkat sedimentasi yang berat. Tingginya laju
sedimentasi pada ketiga stasiun tersebut dikarenakan letaknya yang berada pada
wilayah yang relatif dekat dengan muara sungai. Persentase penutupan karang
berkisar antara 8,75-60,85% yang umumnya tergolong dalam kategori sedang.
Kategori rusak berat terdapat di Stasiun 1, 3, dan 6 dengan bentuk pertumbuhan
dominan massive, sedangkan kategori baik ditemukan pada Stasiun 9 yang berada
di wilayah yang relatif jauh dari pengaruh sungai dan didominasi bentuk
pertumbuhan lembaran (foliose) dan bercabang (brancing). Terdapat indikasi kuat
keterkaitan sedimentasi terhadap kualitas tutupan terumbu karang pada wilayah

penelitian ini.
Kata kunci : sedimentasi, laju sedimentasi, terumbu karang, Teluk Lampung

SUMMARY
BETA SUSANTO BARUS. The Relationship between Sedimentation and
Ecosystem of Coral Reef in the Lampung Bay, Province of Lampung. Supervised
by TRI PRARTONO and DEDI SOEDARMA.
Sedimentation is one of the limiting factor for coral distribution through
both the suspended and deposited sediment causing the reduce of light penetration
and smothering the polip of coral reefs that can lead to coral death.
The purpose of this study was to analyze the relationship of sedimentation
with conditions of coral reef ecosystem through observing of the sedimentation
rate and analyze community of coral reef.
The transects were deployed at the three line series perpendicular wuth an
interval of 50 m between the line. Each transect was pleaced at every 10 m along
the line. Date within the transect were observed using the underwater camera. The
images were analyzed by using CPCe software (Coral Point Count with Excel
extensions). Sedimentation rate was measured by a sediment trap using PVC pipe
with a diameter of 5 cm and 11.5 cm in height and partition (baffles) cover at the
top. Sediment traps were mounted on a 12 mm diameter steel poles at a height of

20 cm from the bottom. Sediment traps were deployed for 20 days, then the
recovered sediment was dried in an oven at 60 0C for 24 hours.
Sedimentation rate varied between the stations with a range of values from
3.09 to 44.29 mg/cm2/day. The lowest rate of sedimentation was found in Station
7, while the highest was found at Station 1. Sedimentation rates are generally
grouped into light untill moderate condition, whereas in some Stations (1, 3, and
6) showed heavy sedimentation rates. The high rate of sedimentation at Station 3
was probably due to close to the mouth of the river. Coral cover ranged from 8.75
to 60.85%, generally showing moderate categories. Severe damages were found in
Station 1, 3, and 6 with a dominant form of massive coral, while good categories
were found at Station 9 which located in a relatively remote area of influence of
the river and dominated by foliose and brancing form. There was a strong
indication of relationship sedimentation and coral reefs cover this research area.
Keywords: sedimentation, sedimentation rate, coral reef, Lampung bay

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

5

KETERKAITAN SEDIMENTASI TERHADAP KONDISI
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN
TELUK LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG

BETA SUSANTO BARUS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

6

Penguji Luar Komisi

:Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc

7

Judul Tesis : Keterkaitan Sedimentasi terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu
Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi Lampung
Nama
: Beta Susanto Barus
NIM
: C551110081

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tri Prartono M.Sc
Ketua

Prof. Dr. Dedi Soedarma, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Ujian:

30 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

8

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Keterkaitan
Sedimentasi terhadap Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi
Lapung
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan
Bapak Prof. Dr. Dedi Soedarma, DEA selaku pembimbing, yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yayasan
Supersemar yang telah bersedia membantu dalam pembiayaan penelitian ini dan
kepada Bapak Surya dan Ibu Muawanah dari Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut Lampung yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, orang yang aku kasihi
(Chika Iberena), serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Beta Susanto Barus

9

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan dan Manfaat Penelitian

3

Hipotesis

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Terumbu Karang


4

Sedimentasi

7

Pengaruh Sedimentasi terhadap Terumbu Karang

10

Penelitian yang Pernah Dilakukan

14

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian

14

Penentuan Stasiun

15

Peralatan yang Digunakan

15

Metode Pengambilan Data

16

Hitungan dan Analisis Laboratorium

18

Analisis Data

19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Fisika Kimia Perairan Teluk Lampung

21

Sedimentasi

28

Terumbu Karang

31

Hubungan antara Laju Sedimentasi dengan Terumbu Karang

36

SIMPULAN DAN SARAN

40

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

47

10

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8

Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth
Variasi tingkat dampak sedimentasi terhadar komunitas karang
Posisi geografis pada tiap stasiun penelitian
Peralatan untuk mengukur parameter sedimen dan oseanografi
fisik kimia.
Ciri-ciri kematian karang
Sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing
masing stasiun
Laju sedimentasi pada setiap stasiun pengamatan
Kandungan Aluminium (Al), Besi (Fe), dan Kalsium (Ca)

8
12
16
16
20
29
30
31

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7

Diagram kerangka perumusan masalah.
Mekanisme penolakan sedimen
Model pemindahan sedimen pada karang yang berbentuk corong
Peta Lokasi Penelitian.
Konstruksi sediment trap
Ilustrasi di lapangan penempatan transek kuadrat
Nilai hasil pengamatan suhu (0C) dan salinitas (‰) pada setiap
stasiun pengamatan
8 Nilai hasil pengamatan pH pada setiap stasiun pengamatan
9 Nilai hasil pengamatan kecerahan (m) pada setiap stasiun
pengamatan
10 Nilai hasil pengamatan kekeruhan (NTU) dan TSS (mg/l) pada
setiap stasiun pengamatan
11 Nilai hasil pengamatan kecepatan arus (cm/dtk) pada setiap
stasiun pengamatan
12 Nilai hasil pengamatan nitrat (mg/l) dan fosfat (mg/l) pada setiap
stasiun pengamatan
13 Persentase tutupan karang berdasarkan genus
14 Persentase penutupan terumbu karang berdasarkan life form
15 Indeks mortalitas pada setiap stasiun pengamatan
16 Grafik hubungan parameter lingkungan, laju sedimentasi dan
terumbu karang
17 PCA-biplot parameter lingkungan, laju sedimentasi dan terumbu karang
18 Kematian karang akibat sedimentasi dengan ciri terumbu karang tertutupi
oleh sedimen dan jika dalam tingkat sedimentasi yang tinggi, akan
mengakibatkan kematian karang tersebut (Stasiun 1, 3, dan 6)
19 Kematian karang akibat pemboman dengan ciri terumbu karang terbongkar

3
13
13
15
17
18
22
23
24
25
26
27
32
34
35
36
37

38

11

dan banyak patahan-patahan karang (Stasiun 7)

39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persentase tutupan karang berdasarkan genus
2 Persentase penutupan terumbu karang berdasarkan life form
3 Data debit sungai yang terdapat di Teluk Lampung
4 Analisis Komponen Utama

47
48
49
49

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting dalam
menunjang kehidupan di laut. Sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut,
terumbu karang dengan beragam biota asosiatif dan nilai estetika, memiliki nilai
ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari
hempasan ombak dan arus kuat, nilai ekologis yang dimiliki terumbu karang
antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh
besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu
karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota
laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan
baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik (Cesar 2000;
Westmacott et al. 2000).
Terumbu karang saat ini telah mengalami degradasi yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan lingkungan seperti kegiatan eksploitasi berlebihan, dampak
kegiatan anthropogenik, polusi sedimen dari lahan atas dan perubahan iklim
global. Diantara faktor penyebab kerusakan tersebut, dampak kegiatan
antropogenik seperti kegiatan pembomam ikan di daerah terumbu karang,
pembukaan wisata pantai, dan pembukaan lahan daratan merupakan penyebab
kerusakan yang cepat (Yulianda 2003). COREMAP-LIPI (2001) melaporkan 70%
kondisi terumbu karang di Indonesia dalam kondisi rusak sampai sangat rusak.
Perairan Teluk Lampung mempunyai ekosistem terumbu karang yang
luas, umumnya tipe terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis karang tepi
(fringing reef). Hasil analisis citra Landsat ETM 7 menunjukkan luas total
terumbu karang di Teluk Lampung ±4823,493 Ha. Pertumbuhan karang secara
umum didominasi oleh karang hidup berbentuk merayap (encrusting), bercabang
(branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae,
Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae. Kondisi penutupan karang hidup dari 44
lokasi penyelaman di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak)
sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, status kondisi
terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan
sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang
dalam status kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak,
Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. (DKP-Lampung 2007)
Selanjutnya DKP-Lampung (2007) menunjukkan laju penurunan tutupan
terumbu karang di perairan Teluk Lampung pada beberapa lokasi tertentu yang
sama (yaitu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian,
dan Pulau Puhawang) selama kurun waktu 8 (delapan) tahun, mulai dari tahun
1998 hingga tahun 2007 adalah 3% pertahun. Pada tahun 1998, kondisi tutupan
terumbu karang di Teluk Lampung ada dalam kategori baik (65,5%), dan pada
tahun 2007 tutupan karang di beberapa lokasi ini menurun menjadi kategori
sedang (29%).
Kerusakan dan penurunan terumbu karang tersebut umumnya disebabkan
oleh kegiatan pemboman ikan karang, penambangan karang, sedimentasi dan
pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat

2
(mooring buoy) dan dermaga. Diantara penyebab kerusakan tersebut, sedimentasi
diyakini memberi pengaruh yang cukup nyata. Sedimentasi yang terjadi di sekitar
perairan Teluk Lampung berasal dari sungai yang menerima aliran permukaan
(run-off) dari aktivitas penebangan hutan untuk pembukaan lahan pembangunan dan
pembukaan pertambakan (DKP-Lampung 2007).
Penelitian tentang pengaruh sedimen pada terumbu karang ini pernah
dilakukan oleh Suhendra (2006) di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur,
Partini (2009) di wilayah Pantai Timur Kabupaten Bintan, Masduki (2008) di
Perairan Teluk Wondama Papua, dan Pratomo (2012) di perairan Pulau Abang
Kota Batam. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwalaju
sedimentasi berpengaruh negatif terhadap tutupan terumbu karang. Semakin
tinggi laju sedimentasi maka tutupan terumbu karang akan semakin rendah. Saat
ini belum dilakukan penelitian secara khusus mengkaji mengenai keterkaitan
antara sedimentasi dengan terumbu karang di Teluk Lampung ini. Di sisi lain
informasi ini sangat diperlukan sebagai dasar evaluasi terhadap pengelolaan
terumbu karang di daerah tersebut.

Perumusan Masalah
Kerusakan terumbu karang di wilayah Teluk Lampung terjadi akibat
kegiatan pemboman dan pemutasan karang, sedimentasi dan pembuangan jangkar.
Saat ini terdapat indikasi bahwa sedimentasi telah terjadi peningkatan di wilayah
Teluk Lampung yang disebabkan oleh akibat penebangan hutan untuk pembukaan
lahan pembangunan dan pembukaan pertambakan dan dibawa aliran sungai ke
perairan laut. Di daerah ini juga terjadi kegiatan seperti perikanan tangkap,
budidaya mutiara, pariwisata, pelayaran, pelabuhan,dan pertambangan batubara
yang menghasilkan sedimen akibat arus turbulensi, gelombang maupun pasang
surut yang akan menutupi terumbu karang yang terdapat di sekitar daerah
tersebut.
Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung sedimen yang terdeposit akan menutupi
permukaan polip karang sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi metabolik
untuk menghilangkannya kembali. Secara tidak langsung sedimen yang
tersuspensi dapat menghalangi masuknya penetrasi sinar matahari yang
dibutuhkan untuk fotosintesis alga simbion karang zooxanthellae. Apabila jumlah
sedimen cukup tinggi dan melebihi batas kemampuan polip karang untuk
beradaptasi, akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu karang pada
daerah tersebut. Di sisi lain sedimen mengandung sejumlah besar bahan organik
akan terjadi invasi oleh alga. Namun terdapat juga jenis karang tertentu yang
dapat beradaptasi terhadap kondisi sedimen di sekitarnya sampai pada kisaran
tertentu. Karang yang memiliki ukuran polip yang lebih besar akan lebih bertahan
pada kondisi yang keruh daripada karang dengan ukuran polip yang kecil. Bentuk
adaptasi lain dari terumbu karang terhadap sedimentasi adalah melalui adaptasi
morfologi, yaitu dengan memiliki bentuk pertumbuhan tertentu. Dari uraian di
atas dapat dikatakan bahwa sedimentasi baik yang terdeposit maupun yang
tersuspensi akan berpengaruh terhadap struktur komunitas terumbu karang.

3
Mengacu pada praduga interaksi di atas, kajian sedimentasi terhadap
struktur komunitas karang perairan Teluk Lampung menjadi sangat penting
dilakukan. Selanjutnya rumusan masalah dalam mengkaji hal ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Sungai/ Air Larian (run-off)

Faktor Oseanografi :
Arus, Gelombang,
Angin, Pasang Surut

Transport dan Distribusi Partikel Sedimen
Sedimentasi

Tersuspensi

Terdeposit

Penetrasi Cahaya dan Penutupan Polip Karang

\
Mortalitas dan Adaptasi Terumbu Karang
Gambar 1. Diagram perumusan masalah.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis keterkaitan sedimentasi terhadap
kondisi ekosistem terumbu karang melalui pengamatan laju sedimentasi di
ekosistem terumbu karang dan komunitas terumbu karang itu sendiri. Manfaat
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
masukan sedimen terhadap komunitas terumbu karang. Selanjutnya seluruh
informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk mengkaji dan
mengevaluasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di
perairan Teluk Lampung.
Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sedimentasi di
perairan Teluk Lampung menyebabkan peningkatan mortalitas terumbu karang.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang khas dan sangat
produktif yang terdapat di perairan pesisir daerah tropis, dengan beragam
tumbuhan dan hewan laut berasosiasi di dalamnya. Terumbu karang terbentuk
dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh
organisme karang pembentuk terumbu dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang
hidup bersimbiosis dengan zooxantella, dan sedikit tambahan dari algae berkapur
serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen dan Alex 2006).
Selanjunya Veron (2000) mengatakan terumbu karang merupakan endapan massif
(deposit) padat kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain
yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3). Pada dasarnya terumbu karang
terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan
oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermartipik) dari filum
Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan
sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi
kalsium karbonat (Bengen, 2002).
Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu
(Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang
pembangun terumbu (reef-building corals). Menurut Dahuri (2003) kemampuan
menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang
bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik yang dinamakan zooxanthellae.
Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut hidup di jaringan-jaringan polyp
karang, serta melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktivitas fotosintesa
tersebut adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3), yang struktur dan bentuk
bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau
spesies binatang karang. Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu
anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas
Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia)
dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan
fisiologi. Menurut Dahuri (2003) hewan karang termasuk kelas Anthozoa, yang
berarti hewan berbentuk bunga (Antho artinya bunga; zoa artinya hewan). Lebih
lanjut dikatakan bahwa Aristoteles mengklasifikasikan hewan karang sebagai
hewan-tumbuhan (animal plant). Baru pada tahun 1723, hewan karang
diklasifikasikan sebagai binatang.
Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan
hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari
satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang
terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan
spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu
yang disebut koloni (Sorokin 1993).
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut
yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien

5
(oligotrofik). Menurut Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang
melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di
dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan
senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang,
sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan
karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Menurut Dahuri (2003) bahwa tingginya produktivitas primer di perairan
terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan
(spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding
ground) dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di
daerah terumbu karang sangat tinggi. Tinggi produktivitas organik atau
produktivitas primer pada terumbu karang disebabkan oleh kemampuan terumbu
karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk
menampung segala masukan dari luar. Setiap nutrien yang dihasilkan oleh karang
sebagai hasil metabolisme dapat digunakan langsung oleh tumbuhan tanpa
mengedarkannya terlebih dahulu ke dalam perairan.
Nybakken (1993) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu :
a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c.Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di
perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1999). Penjelasan
ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai
kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau
kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus.
Diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai
pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami
kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang terletak di berbagai jarak kejauhan dari
pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam
untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri
pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang bagi
pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef
yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman
goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang
penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan.
Menurut Supriharyono (2000) dikenal beberapa macam bentuk umum
pertumbuhan karang, diantaranya bundar (globose), bercabang (branching),
lempeng digitate (digitate plate), piringan senyawa (compound plate), becabang
rapuh/tipis (fragile branching), merayap (encrusting), lempeng (plate), lembaran
(foliate) dan micro atoll. Bentuk-bentuk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
alam terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Supriharyono
(2000), ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan
karang, yaitu :

6
1. Cahaya. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas
permukaan dengan volume karang akan semakin menurun;
2. Tekanan hidrodinamis. Tekanan hidrodinamis, seperti gelombang atau arus
akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada
kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang
lebih mengarah ke bentuk merayap. Sebagai contoh, peristiwa ini dapat dilihat
dari perbandingan bentuk karang masif, Porites lutea, yang tumbuh di Pantura
Jawa, seperti Jepara dengan yang berasal dari Teluk Penyu, Cilacap. Karang
yang tumbuh di Cilacap cenderung berbentuk merayap
3. Sedimen. Seperti diutarakan sebelumnya bahwa sedimen dapat mempengaruhi
pertumbuhan karang. Namun disamping itu sedimen juga diketahui
menentukan pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang
tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk
lembaran, dan bercabang. Sedangkan di perairan jernih dengan sedimentasi
yang rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring;
4. Subareal eksposure. Subareal yang dimaksud adalah daerah-daerah yang pada
saat-saat tertentu, ketika saat surut yang rendah sekali menyebabkan banyak
karang yang mencuat ke permukaan air. Kondisi seperti ini biasanya cukup
lama sehingga dapat menyebabkan beberapa karang tidak dapat bertahan.
Berkaitan dengan hal ini ada kecenderungan bahwa semakin tinggi level
eksposure, semakin banyak jenis karang yang berbentuk bundar dan merayap.
Selain itu ciri spesifik adanya subaerial eksposure adalah banyaknya karang
yang berbentuk micro atoll.
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap
perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya termasuk gangguan yang berasal
dari kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Menurut
Burke et al. (2002) bahwa terdapat beberapa penyebab kerusakan terumbu karang
yaitu : (1) Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik; (2)
Aktivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung
dari pelemparan jangkar kapal; (3) Penebangan hutan dan perubahan tata guna
lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi; (4) Penangkapan ikan secara
berlebihan memberikan dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam
ekosistem terumbu karang; (5) Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan
bom; dan (6) Perubahan iklim global.
Veron (2000) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah
unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi
dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan
tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang
diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat
selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan
Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999)
bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan
(mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan
sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah

7
kelebihan zat hara berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui
peningkatan pertumbuhan makroalga berlebihan terhadap karang.
Tiga daerah besar penyebaran terumbu karang di dunia yaitu Laut Karibia,
Laut Hindia dan Indo-Pasifik (Veron 2000; Suharsono 1999). Di Asia Tenggara
terdapat 30% dari seluruh terumbu karang di dunia. Selanjutnya Burke et al.
(2002) memperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu karang kira-kira 5100
km2 atau 51% dari luas terumbu karang yang ada di Asia Tenggara atau setara
dengan 18% dari luas terumbu karang dunia.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi
spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan
karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan
oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 oC.
Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10
m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 oC. Kondisi ini menyebabkan terumbu karang
banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 2000).
Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar
dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat
langsung antara lain sebagai habitat ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan
lain-lain. Manfaat tidak langsung, antara lain sebagai penahan abrasi pantai dan
pemecah gelombang. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem laut yang
paling penting sebagai sumber makanan, habitat berbagai jenis biota komersial,
menyokong industri pariwisata, menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai
penghalang terjangan ombak dan erosi pantai (Westmacott et al. 2000).

Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan sedimen oleh media air, angin,
atau es pada suatu cekungan pengendapan pada kondisi tekanan dan suhu tertentu.
Dalam batuan sedimen dikenal dengan istilah tekstur dan struktur. Tekstur adalah
suatu kenampakan yang berhubungan erat dengan ukuran, bentuk butir, dan
susunan komponen mineral-mineral penyusunnya. Studi tekstur paling bagus
dilakukan pada contoh batuan yang kecil atau asahan tipis. Struktur merupakan
suatu kenampakan yang diakibatkan oleh proses pengendapan dan keadaan energi
pembentuknya. Pembentukannya dapat terjadi pada waktu yang relative singkat
atau sesaat setelah pengendapan. Struktur berhubungan dengan kenampakan
batuan yang lebih besar, paling bagus diamati di lapangan misal pada perlapisan
batuan (Widada 2002). Gross (1990) mendefinisikan sedimentasi laut sebagai
akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur
dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel
lain yang terbentuk lewat proses kimia yang terjadi di laut. Walaupun
pengertiannya agak berbeda satu dengan lainnya, satu hal penting dari pengertian
sedimen adalah sama-sama memerlukan proses pengendapan untuk membentuk
sedimen/ endapan itu sendiri.
Berdasarkan asal terbentuknya, terdapat dua macam sedimen di laut.
Pertama adalah terrigenous sediment, terbentuk dari hasil pelapukan; erosi dari
daratan yang kemudian ditransfer ke laut melalui sungai; gletser dan angin.
Umumnya sedimen jenis ini tersusun dari kerikil, pasir, lumpur dan tanah liat

8
(clay). Kedua adalah biogenous sediment, terbentuk dari hasil proses-proses
biologis organisme planktonik (dominan) yang mensekresikan skeleton dari
kalsium karbonat atau silica (Bearman 1999). Selanjutnya Tomascik et al. (1997)
mengemukakan bahwa terrigenous sediment lebih dominan terdapat di daerah
yang memiliki curah hujan yang tinggi. Pada daerah ini (misalnya: pantai utara
Jawa dan selatan Kalimantan), masukan lumpur dan pasir (yang kaya akan clay
mineral) banyak dijumpai sebagai penyusun habitat dasar. Untuk daerah yang
lebih kering serta kawasan non-vulkanik, sedimen pada perairan dangkalnya lebih
didominasi oleh biogeous sediment.
Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen dikelompokkan menjadi beberapa
jenis, yakni batu (stone), pasir (sand), lanau (silt), dan lempung (clay). Klasifikasi
ini didasarkan pada Skala Wentworth seperti yang disajikan pada Tabel 1. Skala
tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron
sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat kontinyu (Wibisono 2005).
Tabel 1. Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth
(Wibisono 2005)
Nama

Partikel

Ukuran (mm)

Batu (stone)

Bongkah (boulder)
Krakal (coble)
Kerikil (peble)
Butiran (granule)

>256
64 – 256
4 – 64
2–4

Pasir (sand)

Pasir sangat kasar (very coarse sand)
Pasir kasar (coarse sand)
Pasir sedang (medium sand)
Pasir halus (fine sand)
Pasir sangat halus (very fine sand)

1–2
½-1
¼-½
1/8 – ¼
1/16 – 1/8

Lanau (silt)

Lanau kasar (coarse silt)
Lanau sedang (medium silt)
Lanau halus (fine silt)
Lanau sangat halus (very fine silt)

1/32 – 1/16
1/64 – 1/32
1/128 – 1/64
1/256 – 1/128

Lempung (clay)

Lempung kasar (coarse clay)
Lempung sedang (medium clay)
Lempung halus (fine clay)
Lempung sangat halus (very fine clay)

1/640 – 1/256
1/1024 – 1/640
1/2360 – 1/1024
1/4096 – 1/2360

Klasifikasi sedimen berdasarkan cara pembentukannya atau asal sumber
endapan dapat digolongkan ke dalam 5 kategori yaitu sedimen terrigenous,
biogenic, authigenic, volcanogenic dan cosmogenous (Pinet 2000).
1. Sedimen terrigenous
Jenis pasir dan lumpur berupa butiran kasar hingga halus yang dihasilkan dari
proses iklim, erosi daratan dan batuan.
2. Sedimen biogenic

9
Tipe kapur dengan komposisi kalsium karbonat dan lumpur silika dari butiran
halus hingga kasar yang berasal dari potongan organisme seperti moluska dan
hancuran kerangka.
3. Sedimen authigenic
Partikel dari pengendapan kimia atau reaksi biokimia di dasar laut seperti
mangan dan fosfat.
4. Sedimen volcanogenic
Partikel yang dikeluarkan dari gunung berapi seperti abu.
5. Sedimen cosmogenous
Partikel sangat halus berasal dari angkasa dan cenderung bercampur dengan
sedimen terrigenous dan biogenic.
Menurut Rifardi (2008) ukuran butir sedimen sangat penting sekali dalam
beberapa hal sebab dapat menggambarkan: 1) daerah asal sedimen, 2) perbedaan
jenis partikel sedimen, 3) ketahanan partikel dari bermacam-macam komposisi
terhadap proses perusakan selama terjadinya proses pelapukan dan transportasi
serta 4) jenis proses yang berperan dalam transportasi dan deposisi sedimen.
Proses sedimentasi adalah pengendapan butiran sedimen dari kolam air ke
dasar perairan. Di perairan proses ini meliputi pelepasan (detachment) dalam
bentuk tersuspensi (suspension), melompat (saltasion), berputar (rolling) dan
menggelinding (sliding). Selanjutnya butiran butiran tersebut akan mengendap
bila aliran air tidak dapat mempertahankan gerakannya. Proses sedimentasi
merupakan parameter yang paling menonjol dalam hubungannya dengan
penyebaran material bahan dasar laut atau pendangkalan dan bahan tersuspensi
yang berada di dalam kolom air, selanjutnya proses ini akan merubah kedalaman
dan konfigurasi pantai sehingga merubah keadaan dasar laut, baik secara vertical
maupun horizontal (Uktoselya 1991).
Sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis partikel yang
berukuran kecil yang terdiri dari sedimen halus. Hampir semua pantai ditutupi
oleh partikel berukuran besar yang terdiri dari sedimen kasar. Keseimbangan
antara sedimen yang dibawa sungai dengan kecepatan pengangkutan sedimen di
muara sungai akan menentukan berkembangnya dataran pantai. Apabila jumlah
sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan arus laut,
maka pantai akan dalam keadaan stabil. Sebaliknya apabila jumlah sedimen
melebihi kemampuan ombak dan arus laut dalam pengangkutannya, maka dataran
pantai akan bertambah (Putinella 2002).
Komposisi dan jumlah sedimen yang masuk ke daerah pantai (termasuk
kawasan terumbu karang) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah
kondisi geologis yang meliputi litologis dan fisiografis, dimana dengan kondisi
geologis yang berbeda akan menghasilkan sedimen yang berbeda dalam hal
jumlah dan kualitas (ukuran partikel, minerologi). Faktor kedua yang tidak kalah
pentingnya adalah iklim yang dapat mempengaruhi laju pelapukan serta erosi
tanah, intensitas dan durasi curah hujan. Faktor lainnya yang mempengaruhi
masukan sedimen adalah angin yang membawa debu dan pasir, kapasitas infiltrasi
dari tanah dan batuan, serta adanya penutupan oleh tanaman vegetasi di sekitarnya
(Milliman 2001).
Sirkulasi sedimen di daerah pantai serta transport dari dan ke arah laut
lepas lebih dipengaruhi oleh angin, arus, gelombang dan pasang surut. Hasil dari
pelapukan dan erosi terbawa oleh aliran sungai dalam bentuk padatan tersuspensi,

10
kemudian melalui proses mekanik sebagian didepositkan dan terakumulasi pada
lapisan dasar, peristiwa ini disebut sedimentasi (Bates and Jackson 1980).
Selanjutnya Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa laju sedimentasi dari
padatan tersuspensi ini dipengaruhi oleh struktur fisik dari partikel itu sendiri
(contoh: volume, luas permukaan, densitas, dan porositas), sifat fisik dari air
(contoh: densitas), serta kondisi hidrologis di sekitar lokasi (contoh: velositas
arus, shear stress, pengadukan).
Sedimen dihasikan oleh proses iklim melalui proses hancuran mekanik
dan kimia dari batuan seperti granit atau dari dasar laut dalam bentuk partikel
yang dipindahkan oleh udara, air atau es. Partikel-partikel tersebut berasal dari
organik dan anorganik (Pinet 2000). Sedimen yang menutupi dasar perairan
memiliki berbagai variasi dalam bentuk partikel komposisi ukuran, sumber atau
asal sedimen. Material yang lebih besar dan lebih berat akan diendapkan lebih
cepat pada daerah yang relatif dekat dengan pantai dibandingkan material halus
yang terbawa oleh arus dan gelombang ke laut lepas (Davis 1991).
Faktor penting yang menentukan suatu endapan sedimen alami adalah
distribusi ukuran partikel dan kondisi-kondisi energi pada beberapa lokasi
pengendapan. Interaksi kedua faktor menghasilkan sifat endapan sedimen. Pada
garis pantai dipengaruhi oleh gelombang dan tingginya energi suspensi,
memindahkan semua sedimen halus dan diikuti oleh sebagian besar pasir kasar
dan sedang serta gravel yang diendapkan pada pantai dan dekat zona pantai. Pada
bagian luar pantai dari zona pantai, penurunan energi gelombang yang disebabkan
oleh bertambahnya kedalaman. Penurunan energi di dasar perairan seiring dengan
bertambahnya kedalaman dan secara sistematik penurunan ukuran butiran
menjauhi pantai (Pinet 2000).

Pengaruh Sedimen terhadap Terumbu Karang
Komunitas terumbu karang identik dengan kondisi lingkungan dengan
perairan yang jernih, oligotropik, dan substrat dasar yang keras. Sedimen yang
tersuspensi maupun yang terdeposit umumnya memberikan efek yang negatif
terhadap komunitas karang (McLaughin et al. 2003). Rogers (1990) menyebutkan
bahwa laju sedimentasi dapat menyebabkan kekayaan spesies yang rendah,
tutupan karang rendah, mereduksi laju pertumbuhan dan laju recruitment yang
rendah, serta tingginya pertumbuhan karang bercabang.
Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi
melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan
koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebih
untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan
peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke
dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesies-spesies karang
yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya (Salvat 1987).
Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi
bahan toksik dan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan
karang. Selanjutnya Hubbard (1997) menyebutkan bahwa sedimentasi juga dapat
menghalang-halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana
diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel,

11
dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan
kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak
dapat tercapai.
Sedimentasi mengakibatkan pertumbuhan terganggu karena menurunnya
ketersediaan cahaya, abrasi dan meningkatnya pengeluaran energi selama
penolakan terhadap sedimen. Gangguan penetrasi cahaya akibat kekeruhan yang
tinggi yaitu terbatasnya fotosintesis zooxanthellae dan secara tidak langsung
membatasi pertumbuhan karang. Energi yang digunakan untuk pertumbuhan dan
reproduksi berkurang karena dipindahkan untuk aktivitas-aktivitas penolakan
terhadap sedimen sehingga polip karang tidak dapat menangkap plankton secara
efektif (Connell dan Hawker 1992).
Dalam banyak kasus, adanya sedimentasi di daerah terumbu karang
menyebabkan kematian dan degradasi bagi beberapa spesies karang. Hubbard
(1997) mengemukakan bahwa pertumbuhan karang (dan mungkin penutupan) di
sepanjang terumbu karang Costa Rica mengalami penurunan secara gradual
dengan meningkatnya tekanan lingkungan, terutama sedimentasi sebagai
pengaruh dari lahan pertanian sejak 1950. Selanjutnya aktivitas pengerukan yang
terjadi di pelabuhan Castle, Bermuda sekitar 30 tahun yang lalu, telah
menyebabkan kematian karang di beberapa area karang sekitarnya yang
dipengaruhi sistem sirkulasi perairan dari daerah pengerukan tersebut (Dodge dan
Vaisnys 1977). Di Ko Phuket, Thailand pengerukan pada daerah dalam selama 8
bulan secara signifikan telah menyebabkan reduksi penutupan karang pada area
terumbu karang intertidal yang berdekatan dengan aktifitas tersebut (Brown et al.
1995). Di Indonesia, Sungai Solo di Jawa Timur memasok sekitar 1.200 ton/km2
per tahun sedimen (Hoekstra et al. 1989). Selanjutnya masukan sedimen dari
Sungai Solo ini berpengaruh terhadap degradasi dan penyebaran karang di pantai
utara Jawa dan Madura (Tomascik et al. 1997). Berdasarkan data yang tersedia,
terlihat bahwa pengaruh yang paling kuat terjadi di bagian timur, selama puncak
run off yaitu pada muson barat laut, ketika arus dari Laut Jawa mengalir ke arah
timur ( Hoekstra et al. 1989).
Sedimen di perairan terumbu karang dapat mempengaruhi komunitas
ekologi dan komposisi terumbu karang (Stafford-Smith 1993). Beberapa jenis
karang memiliki toleransi dengan adanya kekeruhan dan sedimentasi. Hasil
penelitian di perairan Tanjung Jati Jepara yang mengalami sedimentasi ditemukan
adanya dominasi dari jenis Porites dan Goniopora (Hutomo dan Mudjiono 1990).
Karang Porites astreoides dan Siderastrea siderea di Karibia merupakan jenis
yang toleran terhadap masukan sedimen. Masukan sedimen yang berlangsung
selama tiga dekade terakhir yang berasal pemukiman penduduk dan masukan
sungai telah merubah struktur komunitas karang Poerto Rico dari karang
pembentuk utama terumbu menjadi koloni sekunder yang terpencar dan areanya
menjadi tipe hardground. Pada karang Montastrea annularis terjadi penurunan
penutupan secara signifikan pada terumbu dengan materi sedimen terrigeneous
yang tinggi (Torres dan Morelock 2002). Sedimentasi yang terjadi di Thailand
pada kawasan Teluk Bang Tao bagian utara yang bersumber dari penambangan
timah dan pengerukan di kawasan teluk telah menghasilkan sejumlah tailing dan
plume sedimen yang terbawa ke kawasan terumbu karang. Kematian karang
umumnya disebabkan oleh lumpur yang menutupi permukaan karang sehingga
mengurangi penutupan karang hidup. Pada daerah tubir di jumpai penutupan

12
karang berkisar 26–34%, rataan tepi terumbu berkisar 27–34% dan rataan
terumbu berkisar 3–6% (Changsang et al. 1981). Pada Tabel 2 dapat dilihat
variasi tingkat dampak terhadap komunitas komunitas karang.
Tabel 2. Variasi tingkat dampak sedimentasi terhadap komunitas karang
Laju
Sedimentasi
(mg/cm2/hari)
1 – 10

10 – 50

>50

Tingkat Dampak

Ringan hingga sedang
Pengurangan kepadatan
Perubahan bentuk tumbuh
Penurunan laju pertumbuhan
Kemungkinan penurunan rekruitmen
Kemungkinan penurunan dalam jumlah spesies
Sedang hingga berat
Pengurangan kepadatan secara besar-besaran
Penurunan laju pertumbuhan yang sangat cepat
Penurunan rekruitmen
Penurunan jumlah spesies
Kemungkinan invasi oleh spesies oportunis
Sangat berat hingga catastrophic
Penurunan kepadatan secara drastis
Degradasi hebat dari komunitas
Beberapa spesies menghilang
Beberapa koloni karang mati
Penurunan secara hebat rekruitmen
Regenerasi karang menurun atau terhenti
Invasi oleh spesies oportunis

Sumber : Pastorok dan Bilyard (1985)
Hasil penelitian di Guam, suatu komunitas karang yang miskin mendapat
masukan sedimen rata-rata 160-200 mg/cm2/hari ditemukan kurang dari 10
spesies dengan penutupan substrat padat kurang dari 2%. Sebaliknya pada
komunitas yang kaya dengan rata-rata laju sedimentasi 5-32 mg/cm2/hari
ditemukan lebih dari 100 jenis karang dengan penutupan subtrat padat 12%.
Spesies richness, persentase penutupan dan rata-rata ukuran koloni karang
merupakan kebalikan hubungan dengan laju sedimentasi (Connell dan Hawker
1992).
Kemampuan karang terhadap pengendapan sedimen pada permukaan
koloninya melalui lima mekanisme; penolakan pasif, polip mengembang oleh
masuknya air, pergerakan tentakel dan cillia serta produksi mucus. Kemampuan
karang untuk menolak sedimen dibatasi oleh ukuran koloni karang dan besarnya
ukuran partikel sedimen. Pada koloni yang kecil proses penolakan sedimen lebih
efisien dibandingkan dengan koloni yang lebih besar. Pasir dan partikel halus (<
62 μm) adalah partikel yang terbesar yang dapat dipindahkan secara efektif oleh
beberapa spesies (Connell dan Hawker 1992). Pemindahan tersebut melalui
mekanisme polip yang mengembang atau pergerakan tentakel yang ikuti gerakan
lemah dari silia dapat dilihat pada pada Gambar 2.

13

(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Mekanisme penolakan sedimen : (a). pergeseran dari bagian atas
corallum, (b) pergerakan oleh silia dan produksi mucus (c) polip yang
mengembang (Schuhmacher 1977).
Sensitivitas spesies karang terhadap sedimentasi kebanyakan dibatasi oleh
karakteristik perangkap partikel dari koloni terhadap partikel dan kemampuan
polip individu untuk menolak endapan sedimen. Koloni-koloni karang yang
berlapis mendatar dan bentuk pertumbuhan massive mewakili permukaan besar
yang stabil untuk menahan padatan-padatan yang mengendap. Sebaliknya, koloni
berlapis tegak dan bentuk bercabang yang tegak lurus kurang mampu menahan
sedimen. Koloni-koloni yang cembung dan polip-polip yang tinggi tidak mudah
terkena akumulasi sedimen daripada bentuk pertumbuhan lain (Connell dan
Hawker 1992). Karang Acropora dan Turbinaria yang berbentuk corong, pada
pergerakan masa air yang lambat dapat menjadi perangkap yang mengakumulasi
sedimen pada pusatnya sehingga dapat mematikan jaringan di bawahnya. Di sisi
lain corong semua jaringan karang tetap terpelihara, berfotosintesis dan masih
dapat menangkap makanan. Pada pergerakan air yang cepat bentuk corong
menciptakan pusaran air dan pergantian aliran masa air sehingga dapat
melepaskan dan mengosongkan akumulasi sedimen pada karang (Gambar 3).
Koloni karang berbentuk corong ini dominan di perairan Afrika Selatan terutama
pada area dengan pergerakan air yang lambat dan cepat (Reigl et al. 1996).

Gambar 3. Model pemindahan sedimen pada karang yang berbentuk corong
(Reigl et al. 1996).
Secara umum karang tumbuh di perairan dekat pantai lebih toleran
terhadap konsentrasi tinggi sedimen tersuspensi daripada spesies yang hidup di
perairan lebih dalam pada fringing reef yang menghadap laut (Pastorok dan
Bilyard 1985; Robert dan Muray 2002). Karang batu dapat mentolerir masukan
sedimen dalam jangka waktu pendek selama beberapa hari, tetapi sedimentasi dan
kekeruhan tinggi akan mengurangi jumlah zooxanthellae, polip yang

14
mengembang, atau sekresi mukus yang abnormal. Karang lebih toleran terhadap
masukan sedimen dalam waktu pendek daripada pada kondisi kekeruhan tinggi
secara terus menerus (Connell dan Hawker 1992).

Penelitian yang Pernah Dilakukan
Penelitian mengenai pengaruh sedimentasi pada terumbu karang ini telah
ada dilakukan sebelumnya. Suhendra (2006) telah melakukan analisa mengenai
pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang pada perairan Kepulauan
Derawan, Kalimantan Timur, Masduki (2008) di Perairan Teluk Wondama Papua,
Partini (2009) di perairan Pantai Timur Kabupaten Bintan, Pratomo (2012) di
perairan Pulau Abang Kota Batam. Hasil analisis diketahui bahwa laju
sedimentasi yang terjadi di Kepulauan Derawan cukup bervariasi dengan rentan
nilai 8,67-30,50 mg/cm2/hari dengan kriteria tutupan karang sedang hingga sangat
baik. Selanjutnya di Pantai Timur Bintan dinyatakan bahwa nilai laju sedimentasi
di daerah tersebut berkisar antara 4,0-78,24 mg/cm2/hari dengan tutupan karang
hidup sedang hingga baik. Di Perairan Pulau Abang laju sedimentasi berkisar
antara 0,93–22,82 mg/cm2/hari dan tutupan karang hidupnya dalam kategori
sedang hingga baik.
Hasil analisis penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada
lokasi penelitian laju sedimentasi berpengaruh negatif terhadap tutupan terumbu
karang. Semakin tinggi laju sedimentasi maka tutupan terumbu karang akan
semakin rendah. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa laju sedimentasi
berpengaruh positif terhadap indeks mortalitas terumbu karang. Semakin tinggi
sedimentasi, semakin tingi pula tingkat kematian terumbu karang.

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Februari 2013 sampai April 2013 yang
berlokasi perairan Teluk Lampung. Perairan ini relatif dangkal, yaitu kurang dari
30 meter dan terdapat banyak yang bermuara di perairan ini. Sungai-sungai yang
melintasi Kota Bandar Lampung adalah sungai kecil dengan debit air yang kecil,
diantaranya adalah Way Simpur, Way Penengahan, Way Kunyit, dan Way
Keteguhan. Data mengenai debit sungai yang bermuara di Teluk Lampung
berdasarkan data Bappeda Lampung (2011) dapat dilihat pada Lampiran 3.
Teluk Lampung berbatasan dengan Selat Sunda di sebelah selatan, Kota
Bandar Lampung di sebelah utara, Kabupaten Lampung Selatan dan Teluk
Semangka di sebelah barat dan Kabupaten Lampung Selatan di sebelah Timur.
Teluk Lampung merupakan perairan sem