The Study on Sustainable Utilization of Marine Ornamental Coral in Lampung Bay Waters, Pesawaran Regency, Lampung Province.

(1)

PEMANFAATAN KARANG HIAS BERKELANJUTAN DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG, KABUPATEN PESAWARAN,

PROVINSI LAMPUNG

MUHAMMAD SYAHRIR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Karang Hias Berkelanjutan di perairan Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

Muhammad Syahrir C452080061


(4)

(5)

ABSTRACT

MUHAMMAD SYAHRIR. The Study on Sustainable Utilization of Marine Ornamental Coral in Lampung Bay Waters, Pesawaran Regency, Lampung Province. Supervised by BUDY WIRYAWAN and BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Indonesia is the main supplier of ornamental coral reef in the world. The second biggest ornamental coral supplier in Indonesia is Lampung Bay, after South Sulawesi. According to the Convention on International in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), ornamental corals are classified in Appendix 2, which means they are species that are not necessarily threatened with extinction, but may become so unless trade in specimens of such species is subject to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with the survival of the species in the wild. Therefore, in order to ensure that management of the coral ornamental is sustainable, its abundance based on group size, its biological nature, environmental factors and its utilization should be considered. Data and information were collected and analyzed based on those above aspects. Approximately 90% of ornamental coral species usually characterized as slow growing corals. The commercial types have very high quota in the market. However, during three years of observation, the fishers were only able to deliver approximately 50% of exporter’s orders. The result of the survey taken from 16 stations showed that only 4 species of 24 species that had abundance of ≥2000 ind/ha, the rests had a very low abundance. The evidence of over-exploitation was also found. The ideal management should be based on the potential of ornamental coral in each location, in order to set the Total Allowable Collect (TAC). Based on the calculation of TAC, five species were not recommended for use because they had not only low abundance but also they did not have mature colony for reproduction. Hence the utilization of the other nineteen species should be limited in the range of 2-15% of the existing population in the area. According to value of TAC expected in the future, these species still have the opportunity to increase their population.

Keyword : Coral ornamental, Sustainability, Utilization, Total Allowable Collect(TAC)


(6)

(7)

RINGKASAN

MUHAMMAD SYAHRIR. Pemanfaatan Karang Hias Berkelanjutan di Perairan Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran. Dibawah bimbingan oleh BUDY WIRYAWAN dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR

Indonesia menjadi pemasok utama karang hias (ornamental coral) dunia, dengan suplai terbesar berasal dari Provinsi Lampung, khususnta Perairan Teluk Lampung setelah Provinsi Sulawesi Selatan. Wabnitz et al. (2003) mencatat 140 spesies karang hias yang diperdagangkan dengan volume mencapai 11 – 12 juta tiap tahun, yang dikirim ke 70 negara tujuan. Tujuan utama ekspor adalah ke negara-negara di Amerika (The United State) sebanyak 56% dan sisanya negara-negara di Uni Eropa (The European Union) serta ke beberapa negara di Asia seperti Jepang dan Hongkong. Kurang lebih 90% jenis yang diperdagangkan adalah kelompok jenis dengan pertumbuhan lambat (slow growing) seperti

Euphyllia sp, Cynarina sp, Trachyphyllia sp, Lobophyllia sp., Plerogyra sp.,

Goniopora sp., Tubastrea sp., Scolymia sp., Physogyra sp, dan Catalaphyllia sp. Menurut The Convention on International in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), karang hias dikelompokkan kedalam apendiks II yaitu biota yang akan mengalami kepunahan jika pemanfaatannya tidak diatur. Pertumbuhan dan rekruitmen karang yang lambat mendapatkan tekanan dari pemanfaatan (eksploitasi) disamping tekanan karena kematian alami. Mengelola pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable) sangat ditentukan oleh kelimpahan berdasarkan kelompok ukuran, sifat biologi, faktor lingkungan dan tingkat pemanfaatan (eksploitasi).

Tujuan dari penelitian ini adalah merekomendasikan upaya pengelolaan pemanfaatan karang hias berbasis sumberdaya di alam sebagai pendekatan pemanfaatan berbasis ekosistem. Tujuan tersebut dicapai melalui analisis :

1) Kondisi perikanan karang hias di perairan Teluk Lampung;

2) Simulasi proyeksi kecenderungan populasi dan penentuan kuota pemanfaatan yang diizinkan/Total Allowable Collect (TAC);

3) Kelembagaan terkait pengelolaan pemanfaatan perikanan karang hias berkelanjutan.


(8)

Informasi yang dikumpulkan adalah terkait potensi karang hias yaitu jenis karang hias, ukuran dan jumlah koloni serta informasi yang terkait dengan tingkat pemanfaatannya yaitu kuota yang dikeluarkan, jenis dan jumlah yang dipesan (order), jenis dan jumlah yang dikirim. Informasi kelembagaan yang dikumpulkan terkait kesiapan lembaga pengelola (pengambil kebijakan) yaitu kondisi internal lembaga (visi dan misi terkait pengelolaan, perangkat hukum dan kebijakan pengelolaan, kesiapan sumberdaya manusia dan kesiapan pendanaan) dan kondisi eksternal lembaga (sinkronisasi dengan kebijakan/peraturan dari pusat dan koordinasi serta kerjasama antar instansi terkait). Metode pengumpulan data adalah Belt Transect menggunakan underwater scuba diving, survei pendataan jenis yang diambil dan wawancara (purposive sampling). Data selanjutnya dianalisis dengan penghitungan kelimpahan (abundance), analisis proyeksi kecenderungan tingkah laku populasi (matrix population models), perhitungan kuota pemanfaatan yang diizinkan (Total Allowable Collect) dan analisis deskriptif kelembagaan (tabulasi dan grafik).

Tingkat pemanfaatan yang tidak berimbang ditandai dengan tingginya kuota yang ditetapkan dari tahun ke tahun. Sementara realisasi pengiriman selama tiga tahun pengamatan, hanya mampu memenuhi kurang lebih 50% untuk jenis-jenis berharga tinggi, sehingga pemanfaatan bergeser pada jenis-jenis harga rendah (pemenuhan order ≥50%). Informasi dari nelayan bahwa jenis harga tinggi, sulit dikumpulkan sesuai pesanan tersebut karena keberadaannya di alam yang sudah jarang. Hasil survei menunjukkan bahwa dari total 16 stasiun pengamatan, hanya 4 jenis (Goniopora, Euphyllia, Fungia dan Caulastrea) dari 24 jenis yang memiliki kelimpahan di atas 0,5 ind/m2, sisanya memiliki kelimpahan yang nihil. Fakta tersebut menunjukkan tanda - tanda terjadinya pemanfaatan lebih (over exploitation) untuk jenis-jenis tertentu, terutama jenis primadona (harga tinggi) di pasar.

Kurang lebih 90% jenis yang dimanfaatkan adalah kelompok karang pertumbuhan lambat (slow growing) sehingga proses pemulihan (recovery) populasi berjalan sangat lambat. Hasil analisis proyeksi kecenderungan tingkah laku populasi setiap jenis, menunjukkan bahwa dari 24 jenis yang dimodelkan, 8 diantaranya memiliki kecenderungan tingkah laku populasi yang menurun pada


(9)

kondisi alami, sementara 16 jenis lainnya mengalami peningkatan yang bervariasi. Hal ini terjadi karena jumlah kelompok ukuran koloni karang yang dewasa jauh lebih kecil dibanding kelompok ukuran koloni karang yang sedang optimal dalam proses pertumbuhan. Berdasarkan hasil proyeksi kecenderungan tingkah laku populasi maka kuota pemanfaatan yang diizinkan/Total Allowable Collect (TAC) masing-masing jenis dapat diketahui dan direkomendasikan. Delapan jenis direkomendasikan untuk tidak manfaatkan karena memiliki TAC 0% dan 16 jenis lainnya hanya boleh dimanfaatkan pada kisaran TAC yang bervariasi, yaitu 2 – 15% dari sumberdaya karang hias yang ada. Nilai Total Allowable Collect (TAC) sudah mempertimbangkan bahwa pada tahun-tahun yang akan datang jenis-jenis tersebut tetap memiliki kesempatan pertambahan populasi.

Berdasarkan aspek internal kelembangaan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA Provinsi Bandar Lampung) dinilai lebih siap dalam melakukan pengelolaan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan, terutama jika dilihat dari aspek visi dan misi lembaga, kesiapan instrumen pengelolaan dan sumberdaya manusia. Namun jika dilihat dari aspek pendanaan, maka Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesawaran dinilai lebih siap. Berdasarkan aspek eksternal kelembagaan, Kabupaten Pesawaran tergolong kabupaten yang baru terbentuk sehingga belum mengetahui adanya kebijakan pemanfaatan karang hias dari pusat. Demikian juga dengan aspek komunikasi, koordinasi dan kolaborasi program, umumnya mereka belum membangun komunikasi terkait pemanfaatan karang hias baik dengan BKSDA maupun dengan KKP Provinsi. Teridentifikasi permasalaan utama dalam pengelolaan yaitu kurangnya komunikasi, koordinasi dan kerjasama serta permasalahan minimnya kapasitas sumberdaya manusia dalam mendukung implementasi pengelolaan yang berkelanjutan.


(10)

(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

PEMANFAATAN KARANG HIAS BERKELANJUTAN DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG, KABUPATEN PESAWARAN,

PROVINSI LAMPUNG

MUHAMMAD SYAHRIR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(14)

(15)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pemanfaatan Karang Hias Berkelanjutan di Perairan Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Nama Mahasiswa : Muhammad Syahrir

NRP : C452080061

Mayor : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus: Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.

Ketua

Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. Anggota

Ketua Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana


(16)

(17)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala kehendaknya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penelitian yang bertema pemanfaatan karang hias berkelanjutan di perairan Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung dilaksanakan sejak Mei 2009 hingga Mei 2010. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Budy Wiryawan dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar yang telah memberi arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro atas kesediannya menjadi dosen penguji dari Mayor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap dan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma atas kesediannya menjadi dosen penguji luar komisi. Terima kasih kepada

Indonesian Coral Reef Working Group (ICRWG) dan Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) atas kesempatan yang diberikan untuk mengakses data dan informasi serta bantuan peralatan penelitian, khususnya peralatan selam dan seluruh staf Yayasan TERANGI yang telah membantu melalui diskusi, masukan dan saran, terutama selama penulis berstatus sebagai salah satu staf. Terima kasih kepada Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) yang telah mendanai semua komponen terkait pelaksanaan survei lapang pada penelitian ini. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang terdekat yang sudah saya anggap sebagai keluaga, atas dukungan, pengertian dan doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengelolaan perikanan karang hias dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Bogor, Mei 2012


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bone, Sulawesi Selatan pada 22 Mei 1979 dari ayah Muhammad Tahir (almarhum) dan ibu Bolong (almarhumah). Penulis merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara. Pendidikan sarjana penulis diselesaikan di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap sejak tahun 2008.

Penulis hingga saat ini berstatus belum menikah. Pengalaman kerja penulis adalah pernah bekerja sebagai staf di Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) selama 7 tahun. Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Teknis Divisi Lingkungan, Spesialissi Biologi Laut di Institute Nature Resources Regional


(20)

(21)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR ISTILAH ... viii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.3. Manfaat Penelitian ... 4

1.4. Perumusan Masalah ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Faktor – Faktor Pembatas Ekosistem Terumbu Karang ... 7

2.1.1. Suhu ... 7

2.1.2. Kedalaman ... 8

2.1.3. Pergerakan Air (Arus) ... 9

2.1.4. Salinitas ... 9

2.1.5. Sedimentasi ... 9

2.2. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang ... 10

2.3. Nilai Ekonomi Karang Hias ... 11

2.4. Pengelolaan Perikanan Karang Hias ... 13

2.4.1. Peraturan Internasional yang Mengatur Perdagangan Karang Hias ... 13

2.4.2. Peraturan Nasional dan Kelembagaan yang Mengatur Perdagangan Karang Hias ... 14

2.5. Perikanan Karang Hias yang Bertanggung Jawab ... 15

2.6. Alternatif Sumberdaya Karang Hias ... 19

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2. Pengumpulan Data ... 25

3.2.1. Pendataan Pemanfaatan Karang Hias ... 25

3.2.2. Pengumpulan Data Potensi Karang Hias ... 25

3.3. Analisis Data... 26

3.3.1. Kelimpahan Karang Hias ... 26

3.3.2. Total Allowable Collect (TAC) ... 26

3.4. Analisis Kelembagaan ... 29

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Kondisi Perairan Teluk Lampung ... 31


(22)

ii

4.1.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan Teluk Lampung ... 31 4.1.2. Kondisi Habitat Utama Perairan Teluk Lampung ... 32 4.2. Sumberdaya Karang Hias di Perairan Teluk Lampung ... 33 4.2.1. Distribusi dan Kelimpahan Karang Hias ... 33 4.2.2. Habitat dan Area Pemanfaatan Karang Hias... 39 4.2.3. Pengambilan/Pengumpulan Karang Hias... 41 4.2.4. Peralatan Pengumpulan Karang Hias ... 42 4.2.5. Ukuran dan Jenis Target Pemanfaatan ... 44 4.3. Pemanfaatan Karang Hias Di Teluk Lampung ... 45 4.3.1. Permintaan dan Pengiriman Karang Hias ... 45 4.3.2. Kuota Pemanfaatan Karang Hias ... 49 4.4. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi Karang Hias .. 51

4.4.1. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi

Karang Hias Kelompok High Price ... 52 4.4.2. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi

Karang Hias Kelompok Medium Price ... 53 4.4.3. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi

Karang Hias Kelompok Low Price ... 55 4.5. Kelembagaan Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias ... 57

4.5.1. Aspek Internal Lembaga Pengelola Pemanfaatan

Karang Hias... 57 4.5.2. Aspek Eksternal Kelembagaan Pengelola Pemanfaatan

Karang Hias... 60 5. PEMBAHASAN

5.1. Sumberdaya Karang Hias di Teluk Lampung ... 63 5.2. Pola Pemanfaatan Karang Hias di Perairan Teluk Lampung ... 65 5.3. Pendekatan Pemanfaatan Karang Hias Berkelanjutan ... 70 5.3.1. Pendekatan Total Allowable Collect (TAC) ... 70 5.3.2. Pendekatan Kelembagaan Pengelolaan Pemanfaatan

Karang Hias... 73 5.3.3. Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Pemanfaatan

Karang Hias... 77 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 79 6.2. Saran... 79 DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN ... 85


(23)

iii DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Form Pendataan Pemanfaatan Karang Hias ... 25 Tabel 2. Konstanta Peluang Pertumbuhan Karang (slow growing dan fast

growing)... 28 Tabel 3. Formula Perhitungan Model Trend Sumberdaya Karang Hias 28 Tabel 4. Jenis Karang Hias Menurut Kelompok Harga ... 34 Tabel 5. Jumlah Jenis, Total Koloni dan Jenis Dominan Setiap Lokasi

Pengamatan ... 35 Tabel 6. Frekuensi Kehadiran Jenis Karang Hias Terhadap Semua Lokasi

Pengamatan Pada Tahun 2010. ... 38 Tabel 7. Karakteristik Perairan Lokasi Pengambilan/Pengumpulan Karang

Hias ... 39 Tabel 8. Profil Pengepul dan Nelayan Pengumpul Karang Hias ... 41 Tabel 9. Peralatan Pengumpulan Karang Hias dan Kegunaannya ... 42 Tabel 10. Jenis dan Ukuran Permintaan Pasar Perdagangan Karang Hias

(Green & Shirley, 1999) & (AKKII, 2005) ... 44 Tabel 11. Tabel Perbandingan Kisaran Harga Karang Hias Pada Berbagai

Tingkatan Pelaku Perdagangan. ... 69 Tabel 12. Kecenderungan Tingkah Laku Populasi Karang Hias ... 71 Tabel 13. TAC (Total Allowable Collect) setiap jenis ... 72


(24)

(25)

v DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Wilayah Provinsi Di Indonesia Yang Memasok Karang Hias

(sumber : ICRWG 2004) ... 1 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6 Gambar 3. Jalur Perdagangan Karang Hias ... 12 Gambar 4. Kerangka Kebutuhan Data dan Analisis ... 23 Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian ... 24 Gambar 6. Ilustrasi Metode Belt Transek (modifikasi English, et al.

1997) ... 26 Gambar 7. Kelimpahan Jenis Karang Hias Pada Tahun 2004 dan Tahun

2010 (A : High price, B : Medium price, C : Low price) ... 37 Gambar 8. Rata-Rata Jumlah koloni Yang Diorder Dan Dikirim Selama

Tahun 2005 – 2007 (A : High price, B : Medium price, C :

Low price) ... 47 Gambar 9. Rata-Rata Jumlah Kuota Setiap Jenis Selama 10 Tahun (1999

- 2008) (A : High price, B : Medium price, C : Low price) ... 50 Gambar 10. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi Karang Hias untuk Kategori High Price ... 53 Gambar 11. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi Karang Hias untuk Kategori Medium Price ... 55 Gambar 12. Proyeksi Kecenderungan Tingkah Laku Populasi Karang Hias untuk Kategori Low Price ... 56 Gambar 13. Kondisi Sistem Hubungan Internal dan Integrasi Ekosistem

kedalam Visi dan Misi Pengelolaan ... 57 Gambar 14. Kondisi Aspek Manajemen Lembaga Terkait Dalam

Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias ... 58 Gambar 15. Tingkat Kesiapan Lembaga Pengambil Kebijakan Terkait

Aspek Sumberdaya Manusia Dalam Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias ... 59


(26)

vi

Gambar 16. Tingkat Kesiapan Lembaga Pengambil Kebijakan Terkait Aspek Pendanaan Dalam Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias ... 60 Gambar 17. Tingkat Kesiapan Lembaga Pengambil Kebijakan Terkait

Aspek Eksternal Dalam Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias ... 61 Gambar 18. Komposisi Koloni Pada Kelas Ukuran SC1, SC2, SC3 dan SC4

(A : slow growing: , B : fast growing,) ... 65 Gambar 19. Rata - Rata Kuota & Jumlah Karang Hias yang diambil (A :

High price, B : Medium price, C : Low price) ... 67 Gambar 20. Diagram Alir Hubungan dan Fungsi Kelembagaan dalam


(27)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Panduan Kuisioner Untuk Data Internal dan Eksternal

Kelembagaan...85 Lampiran 2. Dokumentasi Beberapa Jenis Karang Hias Ekonomis


(28)

(29)

ix DAFTAR ISTILAH

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) : Tata cara pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yang dapat diacu oleh negara pantai dan kepulauan untuk mengelola sumberdaya perikanannya.

Ekosistem: Komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya dan saling berinteraksi

Coral mortality: Kematian karang yang disebabkan oleh aktifitas pengambilan.

Hookah : Teknik menyelam bebas ke dasar perairan dengan menggunakan peralatan tradisional dan udara untuk bernafas melalui selang yang bersumber dari permukaan.

Indonesian Coral Reef Working Group (ICRWG) : Lembaga/badan independen yang keanggotaannya merupakan perwakilan dari pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan perorangan yang berfungsi membantu pelaksanaan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan.

The International Union for Conservation of Nature (IUCN) :

Perhimpunan lembaga/badan dunia yang khusus menangani konservasi alam.

Konservasi: Pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.

Karang : hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria, yang mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa.

Total Allowable Collect (TAC): Jumlah maksimal karang hias yang dapat dimanfaatkan masing-masing spesies berdasarkan sumberdaya stok jenis karang hias tersebut yang ada disuatu perairan.

Karang Hias : Kelompok karang dari berbagai jenis yang bernilai ekonomi dan laku di pasar perdagangan akuarium biota laut.


(30)

x

Marine Aquarium Trade Coral Reef Monitoring Protocol (MAQTRAC): Merupakan protokol teknis mengenai langkah-langkah dan tata cara memantau pemanfaataan ekosistem terumbu karang untuk tujuan perdagangan aquarium laut.

Natural mortality: Kematian karang hias yang disebabkan proses alami seperti umur, pemangsaan, penyakit dan sebagainya.

Precautionary: merupakan prinsip kehatihatian dalam memberikan pertimbangan bagi keputusan pengelolaan perikanan yang diakibatkan kurangnya atau keterbatasan pengetahuan

Reef crest: Wilayah terumbu karang mulai dari cekungan setelah pantai dimana ditemukan beberapa karang dalam formasi jarang hingga tubiran karang.

Reef slope: Wilayah terumbu karang mulai dari tubiran karang hingga ujung wilayah terumbu karang menuju ke arah lautan.

Tingkat eksploitasi: Perbandingan tingkat kematian akibat penangkapan dan tingkat kematian total yang merupakan penjumlahan tingkat kematian alami dan akibat penangkapan.

Transek sabuk/belt transect: Teknik survei karang dengan dasar transek garis dan buffer seluas 1 dan 2,5 meter di kanan dan kiri sepanjang garis.

Sumber:

FAO (1997; 2003; 2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), Nybakken (1992), Hodgson G (2003), dan ICRWG/Indonesian Coral Reef Working Group (2002).


(31)

1 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan perikanan tangkap sangat identik dengan perikanan konsumsi, sehingga yang berkembang adalah model-model pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan konsumsi. Sejak tahun 80‟an negara - negara Asia terutama Indonesia menjadi pemasok utama karang hias (ornamental coral), bahkan mencapai 20% dari total ekspor dunia. Wilayah provinsi di Indonesia yang memasok karang hias dideskripsikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Wilayah Provinsi Di Indonesia Yang Memasok Karang Hias (sumber : ICRWG 2004)

Wabnitz et al. (2003) lebih lanjut menyebutkan bahwa tercatat 140 spesies karang hias yang diperdagangkan dengan volume yang mencapai 11 – 12 juta tiap tahun yang dikirim ke 70 negara tujuan. Negara-negara tujuan utama ekspor adalah Amerika (The United State) sebanyak 56% dan sisanya negara-negara di Uni Eropa (The European Union) serta ke beberapa negara di Asia seperti Jepang dan Hongkong. Australia yang sempat ditutup sebagai tujuan ekspor, kembali dibuka sejak tahun 2008. Pemanfaatan tersebut bukannya tanpa masalah, pada


(32)

2

tahun 1999 Scientific Review Group (SRG) CITES (The Convention on International in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) melakukan suspensi pada beberapa jenis karang hias yang dianggap memiliki sebaran terbatas dan populasi yang kecil, namun tetap diekspor dalam kuota yang besar. Kemudian pada tahun 2007, untuk pertama kalinya dalam sejarah, the IUCN Red List of Threatened Species memasukkan karang kedalam laporan tahunannya sebagai satwa liar yang akan punah. 10 jenis karang yang masuk dalam daftar merah (red list), dimana dua jenis termasuk critically endangered (Tubastrea floreana dan Rhizopsammia wellingtoni) dan satu termasuk kategori vulberable (Polycyanthus isabela). Meskipun jenis – jenis tersebut tidak ditemukan di perairan Indonesia namun konsennya adalah jenis - jenis karang, khususnya karang hias menempati posisi yang sama dengan kelompok hewan penting lainnya untuk di konservasi menurut IUCN (The International Union for Conservation of Nature).

Berdasarkan hal tersebut, maka suatu kajian yang mempertimbangkan kemampuan sumberdaya karang hias dalam pemanfaatannya sangat diperlukan sebagai jawaban terhadap kebutuhan pendekatan yang formal dalam pengelolaan perikanan biota ornamental secara terpadu.

Pada dasarnya prinsip pelaksanaan pengelolaan perikanan karang hias tidak berbeda dengan prinsip pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pada umumnya. Terdapat 12 prinsip pendekatan model pengelolaan pemanfaatan karang hias (ICRWG, 2004) yaitu :

1) Lokasi pengambilan biota ornamental terletak diluar kawasan yang termasuk

negative list. Negative list yang dimaksud adalah kawasan perlindungan atau konservasi yang tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan perikanan dalam bentuk apapun ;

2) Biota ornamental, khususnya karang hias yang dimanfaatkan atau yang boleh diambil adalah sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh Scientific Authority (SA) berdasarkan laju pertumbuhan, ukuran maksimum dan kemampuan reproduksi masing-masing kelompok biota tersebut ;

3) Pengambilan dilakukan dengan cara berkelanjutan yaitu tidak merusak biota target, biota lain yang tidak menjadi target maupun habitat dimana biota tersebut hidup ;


(33)

3 4) Pengambilan karang dilakukan setelah adanya penilaian sediaan (stock

assessment) di lokasi pengambilan ;

5) Pengambilan biota ornamental hanya boleh dilakukan oleh nelayan yang telah memiliki kemampuan pengambilan secara ramah lingkungan yang dibuktikan dengan sertifikat ;

6) Volume pengambilan ditentukan berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh

Management Authority (MA). MA di Indonesia ada di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Alam dan Perlindungan Hutan (Dirjen PHKA), Departemen Kehutanan ;

7) Perizinan meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan adanya verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi ;

8) Pemantauan di lapangan perlu dilakukan di lokasi pengambilan satu tahun sekali untuk mendukung informasi dalam penentuan kuota ;

9) Pemantauan secara rutin dilakukan oleh Scientific Authority (SA) dan

Management Authority (MA) mulai dari tempat pengambilan, pengumpulan, dan pengiriman ;

10) Konservasi dan rehabilitasi menjadi proses penting untuk mencegah terjadinya kerusakan terumbu karang serta untuk memperbaiki terumbu karang yang rusak ;

11) Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia setempat untuk melakukan pemantauan dan pengawasan ;

12) Pengembangan budidaya (transplantasi karang) sebagai alternatif sumberdaya yang tidak hanya langsung bersumber dari alam.

Pemanfaatan karang hias tersebut telah berlangsung sejak tahun 80-an. Tercatat di tahun 2004 terdapat 12 provinsi di Indonesia yang dijadikan area pengambilan oleh 20 eksportir (TERANGI, 2004), dimana Provinsi Lampung adalah salah satu target utama kedua setelah Provinsi Sulawesi Selatan. Sejak Kabupaten Pesawaran terbentuk dan terpisah dengan Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2007, maka secara administrasi wilayah pemanfaatan karang hias lebih banyak di Kabupaten Pesawaran dan beberapa pulau yang termasuk wilayah Provinsi Lampung. Sekitar 25 lokasi pengambilan karang hias (collection area)


(34)

4

tersebar baik disekitar gugusan pulau, maupun di daerah-daerah gosong yang jauh dari gugusan pulau.

Saat ini terdapat tiga pengepul karang hias yang beroperasi di Teluk Lampung, yang melibatkan sekitar 40 orang nelayan kompresor, yaitu nelayan yang melakukan pengumpulan karang hias dengan menyelam bebas (hookah) atau menggunakan persediaan udara permukaan (memakai kompressor). Terdata 40 spesies karang hias yang dimanfaatkan dari jenis karang polip kecil hingga jenis karang polip besar dengan berbagai kelompok ukuran. Volume pengiriman bervariasi ±1750 pieces/minggu bagi nelayan dengan armada kecil dan ±6000

pieces/minggu bagi nelayan dengan armada besar. Beberapa jenis karang hias dengan permintaan yang tinggi adalah Euphyllia sp, Cynarina sp, Trachyphyllia sp, Lobophyllia sp., Plerogyra sp, Alveopora sp., Tubastrea sp., Scolymia sp.,

Physogyra sp, dan Catalaphyllia sp. 1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah merekomendasikan upaya pengelolaan pemanfaatan karang hias berbasis sumberdaya di alam sebagai pendekatan pemanfaatan berbasis ekosistem.

Tujuan umum tersebut dicapai melalui analisis :

1) Kondisi perikanan karang hias di perairan Teluk Lampung;

2) Simulasi proyeksi kecenderungan populasi dan penentuan kuota pemanfaatan yang diizinkan/Total Allowable Collect (TAC);

3) Kelembagaan terkait pengelolaan pemanfaatan perikanan karang hias berkelanjutan.

1.3. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah tentang pengembangan pendekatan pengelolaan perikanan karang hias di perairan Teluk Lampung. Informasi ilmiah ini dapat menjadi penelitian awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi pengelolaan perikanan, khususnya perikanan karang hias. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal dalam menyusun indikator pada pengelolaan perikanan, khususnya perikanan karang hias sesuai dengan code of conduct berkelanjutan. Indikator pengelolaan diharapkan


(35)

5 membantu pemerintah untuk memahami kebutuhan mendasar dalam pengelolaan pemanfaatan karang hias berkelanjutan dan dapat mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan pedoman internasional.

1.4. Perumusan Masalah

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting dalam ekosistem pesisir dan laut. Kemampuan karang membentuk terumbu yang berukuran besar sehingga berperan penting sebagai habitat (mencari makan, berlindung dan memijah) bagi ikan serta invertebrata lainnya. Potensi terumbu karang, selain sebagai habitat penting bagi biota laut, juga memiliki potensi ekonomi sebagai sumberdaya perdagangan aquarium laut. Permasalahan pemanfaatan muncul karena telah mengancam keberadaan jenis-jenis karang hias, baik ancaman dari aspek pengelolaan maupun ancaman dari aspek pemanfaatan. Sementara hingga saat ini belum banyak terjemahan instrumen pengelolaan perikanan karang hias yang bisa dilakukan. Deskripsi lengkap mengenai perumusan masalah tersaji pada Gambar 2.

Garis besar code of conduct pemanfaatan karang hias berkelanjutan telah diterjemahkan oleh ICRWG (Indonesian Coral Reef Working Group). Diperlukan banyak penelitian dan pembelajaran untuk mengimplementasikan pendekatan ini, sehingga instrumen teknis pengelolaan mutlak diperlukan untuk menjaga reputasi indonesia di dunia internasional. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi kerangka awal dalam menyusun panduan teknis implementasi pengelolaan perikanan karang hias berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut maka beberapa pokok permasalahan dalam implementasi pendekatan pengelolaan perikanan karang hias berkelanjutan di perairan Teluk Lampung yang sekaligus menjadi batasan dari tesis ini adalah: 1) Bagaimana status keberadaan jenis-jenis karang hias yang dimanfaatkan dan

kondisi pemanfaatan yang ada di perairan Teluk Lampung ?

2) Bagaimana kondisi sumberdaya karang hias yang ada mendukung pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan ?


(36)

6

3) Bagaimana kondisi lembaga pengelola yang terkait langsung dengan pengelolaan pemanfaatan karang hias dalam kaitannya dengan implementasi pemanfaatan karang hias berkelanjutan ?

Ancaman oleh pengelolaan yang tidak tepat

Mulai

Ancaman oleh pemanfaatan

Code of Conduct Perikanan Karang Hias Berkelanjutan (ICRWG, 2001)

PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG HIAS

Ancaman Perikanan Karang Hias

Pengambilan berdasarkan potensi di alam

Pengambilan sesuai dengan jumlah dan ukuran yang ditetapkan

Pengambilan di luar kawasan

negatif list

SDM & kelembagaan bagian penting dalam

pengelolaan

· Analisis kondisi pemanfaatan

· Analisis kelimpahan

· Analisis simulasi proyeksi

kecenderungan populasi dan penentuan

Total Allowable Collect (TAC)

· Analisis kondisi lembaga pengelola

· Analisis kondisi sumberdaya manusia

· Prioritas jenis yang dimanfaatkan

· TAC jenis setiap ukuran koloni

Kondisi kemampuan untuk mengelola


(37)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor – Faktor Pembatas Ekosistem Terumbu Karang

Karang merupakan organisme yang utama yang membentuk terumbu karang. Karang adalah salah satu contoh peninggalan purba yang masih hidup sampai saat ini. Cara hidup mereka yang berkoloni maupun sendiri (soliter) mampu membentuk ruang yang kompleks serta menciptakan berbagai tipe hunian untuk ribuan jenis ikan dan biota lainnya. Meskipun hanya menempati area yang sangat kecil di lautan dan pesisir (<1%). Terumbu karang bisa disejajarkan dengan hutan hujan tropis yang ada didaratan karena keanekaragaman hayati dan kekompleksitasan ekosistem yang dimilikinya. Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara didunia dengan kekayaan jenis karang yang melimpah, dengan 590 spesies (Wilkinson, 2004).

Suatu jenis karang dari marga yang sama dapat memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda. Tempat hidup berbeda yang mempunyai kondisi fisik yang hampir sama dapat menyebabkan bentuk pertumbuhan karang yang mirip walaupun secara taksonomi berbeda. Masing - masing jenis karang mempunyai respon yang spesifik terhadap lingkungannya (Veron, 1995) menyebutkan bahwa kekayaan spesies karang sangat berhubungan dengan habitat atau keragaman relung. Terdapat dua faktor fisik lingkungan yang dapat mengontrol keragaman spesies karang, yaitu faktor geografi (posisi lintang) yang bersifat global dan faktor lokal. Lebih lanjut Veron (1995) menjelaskan bahwa faktor geografi sangat terkait dengan suhu (temperature) sedangkan faktor lokal terkait dengan kedalaman, namun faktor lokal dapat juga berbeda-beda tergantung lokasi, misalnya faktor lokal di Great Barries Reef– Australia sangat dipergaruhi oleh faktor sedimentasi. 2.1.1. Suhu

Pertumbuhan biota karang sangat dipengaruhi oleh suhu perairan sekitarnya, biasanya biota karang dapat tumbuh pada suhu 18oC-36oC dan pertumbuhan optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 26oC-28oC (Birkeland, 1997), dibeberapa tempat masih bisa hidup dengan toleransi suhu 36oC-40oC (Nybakken, 1992). Terlalu tinggi atau rendah suhu suatu perairan


(38)

8

dapat menyebabkan terjadinya kehilangan zooxanthellae dari jaringan karang. Veron (1995) menyebutkan bahwa sangat sedikit Zooxanthellae yang dapat mentoleransi suhu di bawah 11oC dari suhu normal suatu lokasi perairan.

Zooxanthellae selain memberi warna pada biota karang juga terjadi hubungan mutualisme yang saling mempengaruhi kedua organisme tersebut. Kehilangan

zooxanthellae dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pemutihan (bleaching)

dan akhirnya terjadi kematian. Bleaching bisa terjadi karena kisaran perubahan suhu yang tinggi dari suhu yang umum dan terjadi pada waktu yang lama. Hal tersebut yang menyebabkan penurunan jumlah spesies seiring dengan menurunnya atau menaiknya suhu diluar dari batas normal yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan karang (Veron, 1995).

Perubahan karena kenaikan suhu 2-4oC dapat merusak jaringan karang dan kenaikan 4-5oC mengakibatkan kematian. Akibat lain dari kenaikan suhu adalah terhambatnya proses enzimatis dan proses kalsifikasi karang (Suharsono dan Kiswara, 1984). Dubinsky (1990) menambahkan bahwa efek perubahan suhu pada karang dapat menyebabkan turunnya respon makan, mengurangi rata-rata reproduksi, banyak mengeluarkan lendir, proses fotosintesis dan respirasi berkurang.

2.1.2. Kedalaman

Pertumbuhan karang erat kaitannya dengan kedalaman. Kedalaman membatasi intensitas cahaya yang sampai kedasar perairan, sehingga secara tidak langsung membatasi perkembangan terumbu karang. Keadaan tersebut yang menyebabkan koloni karang yang hidup di perairan dalam tidak mampu membentuk terumbu yang berukuran besar seperti di perairan dangkal (Veron, 1995). Cahaya diperlukan untuk proses fotosintensis zooxanthellae, kekurangan cahaya berarti mengurangi laju fotosintensis yang juga berpengaruh pada jumlah kalsium karbonat yang dihasilkan untuk pembentukan kerangka karang.

Pertumbuhan yang baik terjadi pada kedalaman kurang dari 25 m, pada kedalaman 50-70 m terumbu karang tidak dapat berkembang dengan baik, hal inilah yang menyebabkan terumbu karang banyak ditemukan dipinggiran pulau-pulau, khususnya didaerah slope (Nybakken, 1992).


(39)

9

2.1.3. Pergerakan Air (Arus)

Perairan yang berarus atau berombak memiliki pertumbuhan karang yang baik dibanding dengan karang yang hidup di perairan yang tidak berarus. Veron (1995) menyebutkan bahwa terumbu karang yang habitatnya berhadapan dengan ombak cenderung memiliki komunitas yang kompleks yang menempati relung yang tinggi dan spesies yang lebih beragam, berbeda dengan perairan yang lebih tenang, terumbu karang cenderung memiliki komunitas yang homogen. Perairan yang berarus memungkinkan karang memperoleh sumber air yang mengandung oksigen yang cukup, menghalangi pengendapan sedimen pada koloni, memberikan sumber nutrien dan memberikan plankton yang melimpah sebagai sumber makanan bagi koloni karang (Nybakken, 1992 ; Birkeland, 1997).

2.1.4. Salinitas

Salinitas suatu perairan mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang yang hidup didaerah tersebut. Salinitas optimum bagi pertumbuhan karang 32-35 ‰. Perairan bersalinitas rendah seperti di muara sungai, sangat jarang ditemukan karang dan pada daerah bercurah hujan tinggi akan menyebabkan terumbu karang mengalami gangguan, begitu juga pada perairan yang kadar garamnya sangat tinggi (hyperhalin). Terumbu karang yang tumbuh di reef flat mampu beradaptasi dalam waktu singkat dengan salinitas rendah saat terjadi hujan, namun hujan lebat dalam waktu yang lama dengan perubahan salinitas drastis akan merusak komunitas karang didaerah tersebut (Nybakken, 1992 ; Veron,1995).

2.1.5. Sedimentasi

Sedimentasi yang bersumber dari pemukiman, pesisir pantai dan run off dari sungai sangat mempengaruhi kelangsungan hidup, kelimpahan, penyebaran dan keanekaragaman spesies karang. Hanya sebagian kecil jenis karang yang dapat bertahan pada sedimentasi yang tinggi dengan melepaskan diri dari tutupan sedimen dengan menggunakan tentakelnya. Beberapa alasan yang menyebabkan sedimen menghambat pertumbuhan karang adalah :

· Sedimentasi mengurangi penetrasi cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis karena adanya partikel di badan perairan.


(40)

10

· Pengendapan sedimen di atas koloni karang membuat karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut.

Akibat pengendapan sedimen pada koloni karang akan menyebabkan kehilangan energi, sementara untuk mendapatkan makanan dan proses metabolisme lainnya juga membutuhkan energi sehingga sisa energi yang ada tidak lagi mendukung untuk pertumbuhan karang (Veron, 1995).

2.2. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang

Konservasi terumbu karang adalah salah satu strategi pangan dunia karena dianggap sebagai komponen utama yang sangat penting menunjang berbagai macam kebutuhan hidup manusia, seperti sumber makanan protein tinggi, sumber obat-obatan untuk kesehatan, sumber keindahan dan keunikan alam untuk pariwisata dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Dahuri, et al. (1996) membuat klasifikasi mengenai nilai dan fungsi terumbu karang sebagai berikut:

1) Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbangan kehidupan biota laut dan hubungan timbal balik antara biota laut dengan faktor abiotik

2) Nilai ekonomi, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yag mempunyai nilai ekonomi tinggi

3) Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama yang indah dikedalaman laut yang dapat dimanfaatkan untuk wisata bahari

4) Nilai biologis, terumbu karang sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur keseimbangan ekosistem perairan

5) Nilai edukasi, terumbu karang sebagai objek penelitian dan pendidikan

Mc Allister et al. (2004) secara spesifik menyebutkan beberapa fungsi ekosistem terumbu karang sebagai berikut :

1) Sebagai habitat bagi sumberdaya ikan dan biota terumbu karang lainnya (tempat memijah, bertelur, mengasuh anak, mencari makanan dan berlindung) 2) Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budidaya perikanan

3) Sebagai sumber berbagai makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna bagi dunia farmasi dan kedokteran

Sebagai pelindung pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat terhindar dari degradasi dan abrasi


(41)

11

2.3. Nilai Ekonomi Karang Hias

Karang hias yang diekspor terutama diperuntukan untuk dua tujuan, yaitu 1) Pengadaan hiasan akuarium, dan 2) Pengadaan perhiasan dan ukiran. Sementara untuk tujuan lainnya seperti sebagai bahan baku obat-obatan tradisional, operasi pencangkokan tulang manusia dan bermacam-macam tujuan pengobatan lainnya, belum banyak dilakukan.

Karang untuk perhiasan dan souvenir dikumpulkan pada waktu hidup, terutama dari perairan dangkal dengan cara snorkling dan menyelam. Pengambilan dilakukan menggunakan palu, pahat dan batangan besi, kemudian spesimen tersebut diputihkan, dibersihkan lalu dikeringkan dan beberapa mungkin mati sebelum diekspor. Karang ini dijual utuh sebagaimana karang hias yang sebenarnya atau dibuat menjadi ukiran, perhiasan, tatahan untuk furnitur dan bingkai photo atau bentuk-bentuk lainnya. Kadangkala sebagian kecil taksa disiapkan untuk pasar-pasar barang antik. Taksa-taksa tersebut termasuk

scleractinians bercabang seperti Acropora sp, Pocillipora sp, dan Stylophora sp,

scleractinians yang soliter (berdiri sendiri) yaitu Fungia sp dan dua karang

octocoralia (Heliopora sp dan Tubipora sp).

Karang hias yang diperdagangkan sebagai spesimen hidup (terutama untuk hiasan akuarium) umumnya diambil dari perairan yang cukup dalam. Spesimen hidup tersebut berasal dari beragam taksa yang terdiri dari berbagai bentuk pertumbuhan, seperti bercabang, masif, submasif, lempengan dan karang yang soliter (berdiri sendiri). Bruckner (2000) menyebutkan bahwa lima taksa yang paling umum diperdagangkan secara hidup adalah Euphyllia sp, Goniopora sp,

Trachyphyllia sp, Nemenzophyllia sp dan Acropora sp. Koloni yang diperdagangkan memiliki kisaran ukuran tertentu yaitu 10 cm - ≤ 25 cm, tetapi tergantung dari taksa yang dimaksud. Umur koloni yang dimanfaatkan juga bervariasi dari umur 6 bulan hingga lima tahun.

Karang hias sebagai komoditas eksport diawali dari kegiatan pengumpulan yang dilakukan oleh nelayan karang hias. Alur pemanfaatan dari nelayan ke importir mengikuti diagram seperti pada Gambar 3.


(42)

12

Nelayan Karang Hias

Pengepul/

Middlemen

Pengusaha/

eksportir IMPORTIR

Hobbyist luar negeri

Hobbyist luar negeri

Hobbyist luar negeri Hobbyist dalam

negeri

Hobbyist dalam negeri

Gambar 3. Jalur Perdagangan Karang Hias

Nelayan melakukan pengumpulan dengan menyelam bebas (hookah) atau menggunakan persediaan udara permukaan (memakai kompressor), sebagian kecil jenis tertentu dapat dikumpulkan di terumbu karang yang datar dengan cara

snorkling. Nelayan sering menjelajahi daerah yang luas dari kawasan terumbu karang untuk mendapatkan jenis yang diinginkan, pengambilan biasanya selektif sesuai dengan kriteria pemesanan (warna dan ukuran koloni). Koloni karang ini harus segera dipindahkan ke fasilitas penampungan (farm). Nelayan umumnya memiliki farm dilaut yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka, sedangkan pengepul umumnya memiliki farm yang dibangun didarat. Pada beberapa daerah di Indonesia, nelayan yang mampu membangun komunikasi langsung dengan ekspotir dapat saja menjual langsung karang-karang hias yang telah dikumpulkan ke eksportir tersebut, pada salah satu kelompok nelayan di Kabupaten Pesawaran yang menjual langsung karang-karangnya ke eksportir yang ada di Jakarta. Nelayan umumnya konsisten menjual karang hias kepada satu pengepul atau eksportir, sedangkan pengepul kebiasaannya menjalin hubungan dagang dan menjual karang hias kepada beberapa eksportir.

Menurut Green and Shirly (1999) perusahaan pengimpor karang hias melakukan perdagangan dengan pihak eksportir menggunakan sistem free – on – board (FOB), dimana harga yang digunakan dalam sistem FOB adalah nilai jual satuan dari spesimen karang yang dibayar menggunakan dollar.


(43)

13

2.4. Pengelolaan Perikanan Karang Hias

2.4.1. Peraturan Internasional yang Mengatur Perdagangan Karang Hias Pengaturan tata cara peredaran/perdagangan secara Internasional ke luar negeri dilaksanakan sesuai ketentuan CITES, yang dilakukan antara lain dengan memperhatikan kelangsungan potensi lestari, daya dukung dan keanekaragaman jenisnya serta pengaturan dan pengawasan sesuai dengan kuota dan perizinan yang berlaku.

The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) mengatur perdagangan spesies-spesies internasional yang bertujuan menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui pengembangan sistem pengendalian dan perdagangan jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta produk - produk secara Internasional. Pengendalian berdasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi untuk kepentingan komersial terhadap sumberdaya satwa dan tumbuhan liar merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup suatu jenis setelah kerusakan habitat. Ada 5 hal pokok yang mendasari terbentuknya konvensi tersebut, yaitu :

1) Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap satwa dan tumbuhan liar; 2) Meningkatnya nilai sumberdaya satwa dan tumbuhan liar bagi manusia; 3) Peran masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa

liar;

4) Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional;

5) Guna mencapai tujuan tersebut, maka jenis-jenis atas dasar kelangkaanya ditentukan oleh Konferensi Negara Pihak (Conference of Parties – COP) CITES digolongkan dalam 3 (tiga) kelompok atau appendiks yaitu appendiks I, appendiks II dan appendiks III.

CITES pada tahun 1985 memasukkan karang hias kedalam appendix II yang artinya walaupun perdagangan internasional jenis-jenis karang hias adalah legal, namun perdagangannya harus dikontrol secara internasional dan ketat untuk mencegah kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebihan yang dapat


(44)

14

mengakibatkan punahnya jenis-jenis karang tersebut. CITES dalam mencapai tujuannya mempunyai sekretariat yang dipimpin oleh Sekretariat Jenderal dan secara administratif di bawah UNEP (United Nations Environmental Programme of United Nations – PBB). Pada tahun 1990 semua jenis karang telah terdaftar dalam CITES. Kekuatan hukum CITES di Indonesia sebelumnya telah diratifikasi melalui Peraturan Presiden (Pepres) Republik Indonesia No. 43 tahun 1978. Semakin bertambahnya negara yang meratifikasi CITES, maka bersama-sama dengan upaya konservasi lainnya, konvensi tersebut merupakan perangkat yang makin penting dalam upaya konservasi sumberdaya alam, terutama konservasi jenis di Indonesia.

2.4.2. Peraturan Nasional dan Kelembagaan yang Mengatur Perdagangan Karang Hias

Indonesia sebagai salah satu anggota CITES mempunyai kewajiban untuk menerapkan ketentuan-ketentuan CITES di bidang pengedalian peredaran jenis, baik keluar maupun masuk ke negara Indonesia. Semua satwa liar dan tumbuhan langka yang keluar masuk wilayah Republik Indonesia harus diliput oleh dokumen yang diterbitkan oleh Otorita Pengelola/Management Authority (MA) yang ditunjuk. Aturan-aturan dalam CITES tidak menghalangi suatu negara anggota, termasuk Indonesia untuk melakukan atau membuat aturan-aturan domestik yang lebih ketat mengatur pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, salah satunya pemanfaatan karang hias. Setiap negara anggota diwajibkan memiliki peraturan yang efektif untuk menerapkan ketentuan-ketentuan CITES. Pasal IX CITES, salah satunya menyebutkan bahwa setiap negara harus menetapkan : 1) Satu atau lebih Otorita Pengelola/Management Authority (MA) yang

berkompoten untuk memberikan ijin dan sertifikat atas nama negara pihak, dan

2) Satu atau lebih Otorita Ilmiah/Scientific Authority (SA). ICRWG (2003) menyebutkan bahwa pemanfaatan karang hias yang dimanfaatkan atau yang boleh diambil adalah sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh


(45)

15

Indonesia mengatur ekspor karang hidup sebagai karang hias dalam bentuk pembatasan kuota yang dikeluarkan oleh Management Authority (MA) setiap tahun berdasarkan rekomendasi SA. Otoritas Pengelolaan (Management Authority) CITES di Indonesia di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Alam dan Perlindungan Hutan (Dirjen PHKA) - Departemen Kehutanan, sedangkan Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) ditunjuk sebagai Otoritas Ilmiah Indonesia (Scientific Authority/SA) berdasarkan Peraturan pemerintah (PP Nomor 8 Tahun 1999) tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan pemerintah tersebut juga mengatur pemanfaatan dan peredaran/perdagangan karang hias yang tidak dilindungi di dalam negeri. Sementara itu, tata cara pengambilan dan peredaran diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan (KepMenHut Nomor 447 Tahun 2003).

Pada tahun 1999, perhatian pengelolaan pemanfaatan karang hias Indonesia lebih diutamakan dengan di sahkannya LIPI sebagai SA yang bertangggung jawab merumuskan rekomendasi kuota ke MA berdasarkan 3 hal, yaitu ; potensi stok karang hias disuatu lokasi, laju pertumbuhan dan sebaran karang di Indonesia. Komitmen Pemerintah Indonesia tersebut seiring dengan kebijakan Komite Perikanan Internasional di bawah Food and Agricultural Organization (FAO) yang pada tahun 1995 menerbitkan konsep baru tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab untuk kelestarian sumberdaya perikanan. Meskipun demikian, hingga saat ini penetapan kuota masih menyisakan permasalahan yang mendasar, dikarenakan penilaian sumberdaya potensi karang hias belum berdasarkan potensi area pengambilan tertentu. Hal tersebut belum terakomodir dalam kebijakan penetapan kuota yang berdasarkan potensi karang hias suatu area dengan pendekatan provinsi.

2.5. Perikanan Karang Hias yang Bertanggung Jawab

Perikanan biota ornamental, jika pengelolaannya berkelanjutan dan terintegrasi dengan sumber daya penggunaan lain, maka berpotensi untuk menyediakan bagi banyak orang dari negara-negara, sumber pendapatan yang stabil dari suatu mata pencarian. Negara-Negara seperti Kepulauan Solomon dan Vanuatu tidak memiliki rencana pengelolaan spesifik tentang industri perikanan biota ornamental, berbeda dengan negara-negara seperti Fiji, Palau dan Australia


(46)

16

mempunyai kebijakan yang mengatur pengambilan biota terumbu karang. Namun ironisnya adalah tidak jarang rencana pengelolaan tersebut hanya di atas kertas, tidak ditegaskan dalam suatu kekuatan hukum dan jarang diterapkan berdasarkan pertimbangan ilmiah atau suatu monitoring. Dengan demikian dalam banyak kasus, tidak efektif dalam melestarikan populasi.

Yusuf, et al. (2003) menyebutkan bahwa beberapa pertimbangan ilmiah yang utama dalam mendukung pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan adalah informasi mengenai sebaran karang tiap jenis, informasi pertumbuhan dan kematian karang, serta informasi mengenai tingkat pemanfaatan (eksploitasi). Hodgson (2003) menambahkan bahwa selain pertimbangan tersebut di atas, ukuran koloni karang merupakan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan dalam menentukan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan. Selain pertimbangan ekologi seperti yang disebutkan di atas, pertimbangan pendekatan

stakeholders juga diperlukan dalam menentukan pengelolaan yang berkelanjutan.

Stakeholders seperti nelayan, pengepul, pengusaha, pemerintah, hobbyist dan peneliti diharapkan memberikan kontribusi terkait pengelolaan. The Indonesian Coral Reef Working Group/ICRWG (2004) menyebutkan bahwa nelayan dan pengepul merupakan tulang punggung dalam pengumpulan data dan informasi pemanfaatan karang hias . Pada tahun 2004, ICRWG bekerja sama dengan AKKII menerapkan sistem pendataan mandiri ditingkat nelayan dan pengepul, pendataan ditekankan pada jenis, ukuran dan volume yang diambil dari alam dan yang dikirim ke pengusaha. Harapannya data dan informasi tersebut dapat digunakan dalam menyusun rencana pengelolaan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan. Penerapan sistem tersebut sangat membantu pengambil kebijakan (pemerintah) dan para peneliti, mengingat kurangnya data pemanfaatan adalah salah satu permasalahan utama dalam menentukan pemanfaatan yang berkelanjutan. Deskrispsi di atas merupakan bagian dari pendekatan pengelolaan perikanan yang berbasiskan pada potensi ekosistem. Lebih lanjut Suharsono, (1998) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip utama pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan karang hias adalah:

1) Corals are harvested outside the protected areas and tourism areas 2) Corals are harvested below the rejenistion rate of each species


(47)

17

3) Corals are harvested with size limit in accordance with the growth rate of the species

4) Corals are harvested in harvest rotation systems in order to allow recovery 5) Corals can only harvested in the sites whose stock or population has been

assessed

6) Monitoring and evaluation of the population to ensure sustainable utilization and conservation

Salah satu turunan prinsip utama pendekatan ekosistem adalah pentingnya untuk mengedepankan kebutuhan riset lanjutan mengenai biologi karang hias, dinamika populasi, rekruitmen dan konservasi terutama jenis-jenis yang jarang ditemukan dan jenis-jenis yang menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah akibat tekanan pemanfaatan. Suatu survei menyangkut kelimpahan dan distribusi spesies target adalah sangat penting dalam perencanaan kuota atau pengembangan suatu rencana manajemen untuk sumber daya karang hias.

Beberapa alternatif pengelolaan karang hias bertanggung jawab pada prinsipnya sama dengan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yang diterbitkan oleh FAO (2003) adalah :

1) Sistem Perijinan Pemanfaatan Perikanan

Suatu sistem perijinan, seperti sistem yang berlaku di Australia, Kepulauan Cook, Palau dan sejumlah negara-negara Pulau Pasifik, dimana usaha pemanfaatan diatur melalui pembatasan-pembatasan tertentu, misalnya jumlah, area pemanfaatan dan tipe alat tangkap yang dipakai. Sistem ini biasanya diperbaharui tiap tahun, dan bisa menjadi salah satu alternatif yang baik dalam monitoring pemanfaatan karang hias. Sebagai tambahan, Australia telah memperkenalkan pengaturan ukuran mata jaring untuk pembatasan jumlah tangkapan berdasarkan surat ijin. Banyaknya surat ijin yang dikeluarkan harus didasarkan pada studi ilmiah potensi sumberdaya dan kuota yang diperbolehkan. 2) Sistem Kuota

Pembatasan banyaknya biota terumbu karang yang diekspor yang bersumber dari manapun adalah jalan lain untuk mengurangi tekanan akibat perikanan tangkap. Kuota nampaknya akan efektif jika riset ilmiah mengacu pada


(48)

18

implementasi pemanfaatan yaitu berdasarkan level spesies. Persyaratan utama dari suatu sistem kuota berbasis spesies adalah mengidentifikasi jenis yang memerlukan pengetahuan tentang kelimpahan dan distribusi, laju pertumbuhan, tingkat kematian dan rekruitmen pada suatu wilayah. Tantangan ke depan adalah bahwa sistem kuota perlu dikembangkan berdasarkan basis wilayah.

3) Sistem pembatasan ukuran

Sistem pembatasan ukuran individu adalah instrumen lain yang bermanfaat dalam mengelola perikanan akuarium. Perdagangan biota ornamental berhubungan dengan unsur keindahan yang cenderung mempertimbangkan ukuran ideal dan warna biota yang diperdagangkan. Pengaturan melalui pembatasan ukuran minimum akan memastikan bahwa yang terpenting adalah stok sumberdaya terhindar dari pemborosan. Sementara itu pembatasan ukuran maksimum sangat penting dalam memastikan bahwa angka-angka jumlah populasi dewasa yang siap memijah dapat di alam. Sebagai contoh pada Meeting 19 Komite Hewan (18 - 21 Agustus 2003) memutuskan suatu ukuran kuda laut (seahorse) yang diizinkan untuk diperdagangkan adalah minimum 10 cm, dengan tujuan memberi kesempatan pada organisme tersebut untuk berreproduksi sebelum ditangkap

Pembatasan ukuran maksimum pemanfaatan karang hias adalah penting untuk memastikan bahwa koloni dewasa tidak hilang dari ekosistem. Pembatasan seperti itu akan bermanfaat untuk jenis karang yang memberi kesempatan koloni karang dewasa untuk bereproduksi. Pemerintah Indonesia melalu MA dan SA sudah menetapkan batas ukuran maksimum 15 cm dan 25 cm untuk jenis karang yang pertumbuhannya lambat (slow-growing) seperti jenis Plerogyra sp dan

Catalaphyllia sp dan jenis karang yang pertumbuhannya cepat (fast-growing) seperti Acropora sp. Harapannya juga dengan ukuran tersebut, pemindahan spesimen mengurangi kerusakan pada koloni karang tempat koloni target menempel.

4) Kawasan Konservasi Perairan

Suatu solusi yang efektif menurunkan degradasi habitat dan dampak pengambilan biota terumbu karang yang tidak diawasi dengan baik adalah


(49)

19

menciptakan kawasan konservasi perairan, sutau kawasan dimana penangkapan ikan atau pengambilan biota dilarang atau dikendalikan. Kawasan konservasi telah sering direkomendasikan dan diusulkan. Australia, contohnya telah mengembangkan suatu strategi manajemen efektif melalui sistem zonasi habitat ekosistem terumbu karang, meliputi no-take area dan area pengambilan (collection area). Kebijakan di area pengambilan adalah maksimal 1% dari potensi karang hias yang boleh diambil pada suatu kawasan. Statistik pemerintah Australia menunjukkan bahwa pemanenan 45-50 ton karang/tahun selama 20 tahun, tidak menunjukkan dampak nyata terhadap sumber daya terumbu karang yang diamati dalam riset jangka panjang.

5) Penutupan Sementara (Sistem Buka Tutup)

Sistem buka tutup adalah sering dianggap sebagai suatu alternatif implementasi kawasan konservasi. Pendekatan ini bertujuan melindungi jenis selama tahap reproduktif untuk memastikan adanya perekrutan cukup untuk menopang suatu populasi. Sistem ini juga bisa memberikan kesempatan koloni karang muda untuk tumbuh menuju suatu ukuran ideal dan meyakinkan bahwa suatu stok karang dewasa yang sehat ada dalam suatu ekosistem yang pada waktu tertentu akan menyokong rekruitmen. Catatan penting bahwa sistem buka tutup (penutupan sementara) nampaknya akan efektif jika diterapkan di waktu dan lokasi yang tepat.

2.6. Alternatif Sumberdaya Karang Hias

Kawasan konservasi laut (marine reserve) salah satu pendekatan yang umum digunakan untuk menjamin stok sumberdaya alternatif sehingga pemanfaatan tetap bisa dilakukan. Namun apakah hal ini cukup efektif bagi stok karang hias ?, sebab pengalaman di wilayah ekosistem terumbu karang Indonesia adalah tidak ada jaminan suatu kawasan konservasi aman dari faktor anthropologi

manusia. Khusus untuk juvenil karang, merupakan masalah tersendiri karena juvenil karang bersifat sessil, tidak bermigrasi seperti ikan sehingga tidak mampu menghindari tekanan, khususnya tekanan dari manusia (anthropologi). Hal tersebut menjadi pertimbangan utama pengelolaan karang hias. Pemikiran pengelolaan karang hias yang tepat, tidak hanya membantu alam dalam


(50)

20

menyediakan stok karang hias, tapi secara langsung membantu alam untuk pemulihanhabitat.

Transplantasi karang adalah upaya fragmentasi dan propagasi koloni karang. Pengembangan transplantasi karang mulai dikembangkan berdasarkan kajian ekologi dan ekonomi. Upaya transplantasi karang akan dapat membantu upaya perlindungan karang dari habitat alaminya, karena permintaan pasar akan karang hias akan dipenuhi dari hasil transplantasi. Kebijakan pemerintah dimasa yang akan datang adalah secara bertahap mengalihkan pengambilan karang hias dari alam menjadi hasil transplantasi. Jenis-jenis yang tergolong fast-growing akan lebih cepat mengikuti kebijakan tersebut dibanding jenis-jenis yang tergolong

slow-growing. Terkait rencana kebijakan tersebut, hingga saat ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, terutama bagaimana menciptakan upaya transplantasi yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekspor tapi juga ”mengganti” jenis-jenis yang diambil dari alam.

Berdasarkan uji coba dan riset yang telah dilakukan sejak tahun 1999, aspek transplantasi karang telah menghasilkan prinsip-prinsip teknis dalam implementasinya, yaitu :

1) Karang yang akan difragmentasi adalah jenis-jenis yang layak secara ekologis dan dapat difragmentasikan

2) Induk adalah koloni yang telah mencapai ukuran diameter > 25 cm dan maksimal boleh diambil untuk indukan adalah 30 % dari keseluruhan populasi setiap jenis koloni asal di lokasi tersebut.

3) Mengacu pada bentuk pertumbuhan karang, koloni asal yang boleh dipotong adalah ;

a. Untuk karang dengan bercabang, diameter koloni alam minimal 5 – 7 cm atau jumlah cabang minimal 3 cabang

b. Untuk karang dengan pertumbuhan non-cabang minimal setinggi atau lebar 7 – 10 cm.

4) Pemilihan lokasi untuk budidaya dengan mempertimbangkan kesesuaian ekologi serta kemudahan pemeliharaan.


(51)

21

5) Beri tanda di lokasi budidaya seperti pelampung atau bentuk lain yang mudah terlihat dari jauh

6) Substrat berfungsi sebagai tempat penempelan fragmen karang, sehingga posisi karang akan stabil.

Secara legal, peraturan tentang Pedoman Penangkaran/Transplantasi Karang Hias yang Diperdagangkan telah diatur oleh Management Authority melalui Keputusan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) No.09/IV/Set-3/2008. Pada peraturan tersebut salah satu ketetapannya adalah bahwa jenis – jenis yang boleh dimanfaatkan setelah mendapatkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pedoman tersebut bersifat wajib dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan transplantasi karang hias untuk perdagangan. Disebutkan pula bahwa upaya pengontrolan dilakukan secara internal melalui Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam (UPT KSDA) dan kontrol independen dengan hadirnya Indonesian Coral Reef Working Group (ICRWG), sehingga harapannya pemanfaatan dan peredaran karang hias dapat lestari.


(52)

(53)

23

3. METODE PENELITIAN

Cakupan penelitian, baik yang terkait data dan informasi yang dikumpulkan maupun yang terkait analisis, mengikuti alur pada Gambar 4.

Mulai

Analisis :

· Kelimpahan setiap jenis

· Trend pemanfaatan

· Internal dan eksternal kelembagaan

· Model Matriks Populasi

· Total Allowable Collect (TAC)

· Kondisi internal dan eksternal kelembagaan

Data & Informasi :

· Sumberdaya karang hias

· Pola dan intensitas pemanfaatan (exploitasi)

· Kondisi lembaga pengelola

Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias

Gambar 4. Kerangka Kebutuhan Data dan Analisis

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian terdiri dari pengumpulan literatur, data lapangan, dan data pendukung lainnya. Pengumpulan literatur dan data sekunder dilakukan sejak bulan Mei hingga November 2009. Salah satu data sekunder yang digunakan adalah data potensi karang hias tahun 2004 yang bersumber dari hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan TERANGI (Yayasan Terumbu Karang Indonesia),


(54)

24

dimana penulis sebagai salah satu anggota tim survei. Sementara itu, data potensi karang hias terbaru diperoleh dari survei data secara primer yang dilakukan pada bulan Mei 2010.

Data lapangan terdiri dari data potensi karang hias dan data terkait internal dan eksternal lembaga pengelola. Keduanya dilakukan pada wilayah administrasi Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

Pengambilan contoh (lokasi penyelaman) dilakukan di 16 stasiun. Penentuan stasiun tersebut berdasarkan sebaran dan pola lokasi pengambilan/pengumpulan oleh nelayan karang hias dari tiga pengepul yang berbeda. Lokasi pengambilan tersebar secara acak mengikuti habitat keberadaan jenis karang hias namun cenderung mengelompok. Berdasarkan pengelompokan tersebut, ditetapkan lokasi pengambilan contoh yang mewakili keberadaan karang hias di perairan Teluk Lampung.


(55)

25

3.2. Pengumpulan Data

3.2.1. Pendataan Pemanfaatan Karang Hias

Monitoring hasil pengumpulan karang hias dilakukan selama tiga tahun (2005 - 2007). Selama rentang waktu tersebut, pola permintaan pasar bervariasi dari rendah hingga tinggi. Selain itu juga dipertimbangkan kondisi oseanografi perairan yang aman dan mendukung aktivitas nelayan karang hias. Form

pendataan pemanfaatan karang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Form Pendataan Pemanfaatan Karang Hias Tanggal :

Nama nelayan: Lokasi Pengambilan :

Jenis karang Jumlah (Pieces) Kelas Ukuran

3.2.2. Pengumpulan Data Potensi Karang Hias

Sensus karang meliputi pengindentifikasian, penghitungan jumlah koloni dan pengukuran diameter koloni karang yang diobservasi pada suatu area tertentu. Langkah-langkah dalam metode belt transek, yaitue :

1) Penentuan lokasi survei berdasarkan lokasi-lokasi pengambilan nelayan karang hias, kemudian dilakukan penandaan dengan menggunakan GPS. 2) Pembentangkan transek (100 m) pada kedalaman dimana nelayan umumnya

melakukan aktivitas pengambilan (15 – 25 meter). Transek 100 meter di buat 3 ulangan. Setiap ulangan panjangnya 30 meter sehingga selang antar ulangan adalah 5 meter (Gambar 6).

3) Pencatatan jenis karang, jumlah karang dan ukuran koloni (diameter terpanjang) yang ditemukan. Kelompok ukuran koloni dicatat berdasarkan kelompok ukuran SC1 (≤5cm), SC2 (5,1-15cm), SC3 (15,1-25cm) dan SC4


(56)

26

30 m 30 m

1 m

30 m

5 m 5 m

Transek Sabuk

Gambar 6. Ilustrasi Metode Belt Transek (modifikasi English, et al. 1997)

3.3. Analisis Data

3.3.1. Kelimpahan Karang Hias

Kelimpahan karang di alam ditentukan setiap jenis. Persamaan yang digunakan untuk menentukan kelimpahan setiap spesies adalah:

dimana;

Xij : Kelimpahan jenis ke-i, stasiun ke-j

nij : Jumlah total koloni jenis ke-i, stasiun ke-j

A : Luas transek pengamatan 3.3.2. Total Allowable Collect (TAC)

Perhitungan TAC berdasarkan hasil survei belt transect. Survei belt transect

menghasilkan jumlah koloni tiap spesies pada suatu area tertentu. Koloni tiap spesies diklasifikasikan menjadi 4 kelas ukuran (size class/SC). Kelas ukuran tersebut merupakan dasar pengelompokkan umur juvenil (rekruitmen) dan umur yang berkontribusi pada rekruitmen (maturity). Hal tersebut menjadi asumsi-asumsi yang digunakan dalam menentukan TAC, yaitu :

1) Koloni karang ukuran ≤ 5 cm adalah juvenil yang merupakan hasil rekruitmen dari populasi karang, sehingga tidak untuk dimanfaatkan (Chiappone dan Sullivan 1996, Edmunds 2000)

2) Koloni dengan kelas ukuran Medium (M/SC2), Large (L/SC3) dan Extra Large (XL/SC4) adalah koloni karang yang menyokong rekruitmen, sehingga


(57)

27

dapat dimanfaatkan secara konservatif (Chiappone dan Sullivan 1996, Edmunds 2000).

Langkah-langkah dalam menentukan TAC adalah :

1) Data kelimpahan spesies yang telah dikelompokkan berdasarkan kelas ukuran (size class/SC) di logaritma natural-kan (Ln). Hasil logaritma kelas ukuran yang tergolong dewasa (mature) dijumlahkan sebagai kelas ukuran yang menyokong rekruitmen (sexually mature).

2) Penentuan slope dari logaritma (natural logarithm) data kelimpahan semua

size class, yaitu nilai slope dari koloni juvenil (SC1) ke koloni mature (SC2

dan SC3) dan nilai slope dari SC2 ke SC3. Nilai slope tersebut merupakan laju

kematian (mortality rate).

3) Untuk mendapat nilai laju mortalitas yang sebenarnya maka nilai slope

tersebut harus di anti logaritma natural-kan :

dimana ;

x = nilai slope e = 2.718281828

Soegianto (1994) menyebutkan bahwa laju mortalitas pada ukuran x adalah perbandingan jumlah individu yang mati pada suatu interval ukuran x dengan jumlah individu hidup pada saat awal suatu interval ukuran x.

4) Menentukan nilai Rasio Kelangsungan Hidup (Survivorship Ratio) :

Hodgson, et al. (2003) menyebutkan bahwa nilai Survivorship rate tersebut sudah mempertimbangkan kematian alami dan kematian karena pemanfaatan (natural and fishing mortality). Nilai Survivorship rate menunjukkan kemampuan jenis karang untuk melakukan rekruitmen sehingga nilai Survivorship rate

diproyeksikan setara dengan nilai rekruitmen.

5) Menentukan peluang pertumbuhan (Growth Rate Probability) (SC1 ke SC2 ke


(58)

28

dimana ;

GR = Growth Rate Probability

SR = Survivorship Rate

K = Konstanta Peluang Pertumbuhan

Konstanta peluang pertumbuhan, menurut Gomez, et al. 1985 dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Fast Growing dan Slow Growing, sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Konstanta Peluang Pertumbuhan Karang (slow growing dan fast growing)

Konstanta peluang pertumbuhan (fast growing) dari kelas ukuran tertentu kekelas ukuran berikutnya (Gomez et al. 1985)

SC1 SC2 SC3 SC4

SC1 ***

SC2 1 ***

SC3 *** 0,66 ***

SC4 *** *** 0,66 ***

Konstanta peluang pertumbuhan (slow growing) dari kelas ukuran tertentu kekelas ukuran berikutnya (Gomez et al. 1985)

SC1 SC2 SC3 SC4

SC1 ***

SC2 0,8 ***

SC3 *** 0,3 ***

SC4 *** *** 0,3 ***

6) Menyusun model trend kondisi sumberdaya karang hias di alam selama 20 tahun kedepan berdasarkan nilai GR (peluang pertumbuhan dan keberlangsungan hidup) dari SC1 ke SC2 ke SC3 ke SC4. Perhitungan model trend disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Formula Perhitungan Model Trend Sumberdaya Karang Hias

Tahun

ke-i SC1 SC2 SC3 SC4

0 Nsc1 Nsc2 Nsc3 Nsc4

1 ∑(Nsc2+Nsc3+Nsc4)* RR Nsc1*GRSC1 ke

SC2

Nsc2*GRSC2 ke SC3 Nsc3*GRSC3 ke SC4


(59)

29

Tahun

ke-i SC1 SC2 SC3 SC4

+ SC4 thn ke-1) * RR GRSC1 ke SC2 ke SC3 GRSC3 ke SC4

… … … … …

t ∑( SC2 thn ke-t + SC3 thn ke-t + SC4 thn ke-t) * RR

SC1 thn ke-t *

GRSC1 ke SC2

SC2 thn ke-t* GRSC2 ke SC3

SC3 thn ke-t*

GRSC3 ke SC4

dimana :

Nsc1= Nsc2 = Nsc3 = Nsc4 = Kelimpahan spesies ke-i pada ke-4 size class(≤5cm/SC1, 5,1-15cm/SC2,

15,1-25cm/SC3, >25cm/SC4)

RR = Recruitmen rate spesies ke-i GR = Growth Rate Probability

Besar kecilnya nilai Total Allowable Collect (TAC) berbeda tiap spesies. TAC ditentukan berdasarkan trend sumberdaya spesies ke-i selama 20 tahun kedepan. Jika trend sumberdaya spesies ke-i cenderung menurun maka nilai TAC direkomendasikan tidak ditentukan (tidak dimanfaatkan) demikian juga sebaliknya jika nilai trend sumberdaya spesies cenderung menaik, maka direkomendasikan nilai TAC-nya. Pengaturan nilai TAC hanya berlaku pada kelas ukuran yang menyokong rekruitmen (SC2 dan SC3). Pengaturan nilai tersebut

akan menentukan kelimpahan pada SC1 yang merupakan calon koloni kelas

ukuran selanjutnya.

3.4. Analisis Kelembagaan

Kelembagaan yang dimaksud adalah yang terkait langsung dengan aspek pengelolaan pemanfaatan karang hias di perairan Teluk Lampung, khususnya di Kabupaten Pesawaran, sehingga metode yang digunakan dalam penentuan

stakeholders yang akan diwawancarai adalah metode purposive sampling. Tiga

stakeholders yang terkait langsung adalah Balai Konservasi Provinsi Lampung (BKSDA), Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung (DKP Provinsi) dan Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesawaran (DKP Kabupaten).

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 metode, yaitu:

1) Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan dan stakeholder yang dinilai signifikan dan terkait langsung dengan aspek pengelolaan pemanfaatan karang hias. Penetapan informan juga dilakukan berdasarkan peran dan posisinya di lembaga yang terkait tersebut.


(60)

30

2) Data dan informasi berupa pengumpulan dokumen yang relevan dari publikasi-publikasi yang dikeluarkan baik oleh lembaga non pemerintah, pemerintah maupun lembaga - lembaga penelitian yang tekait.

Data kualitatif dianalisis secara deskriptif dengan melihat persepsi dari

stakeholders (stakeholders analysis) pada dua aspek yaitu aspek internal dan eksternal kelembagaan yang terkait pengelolaan. Analisis kelembangaan menggunakan AWOT tidak dimungkinkan karena salah satu lembaga utama yang berwenang dalam pengelolaan, yaitu Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten yang baru terbentuk sehingga belum memiliki kebijakan terkait alternatif pengelolaan yang berkelanjutan sehingga lebih tepat jika terlebih dahulu menggali dan mengetahui persepsi masing - masing lembaga yang terkait.


(1)

Komponen

Kunci Komponen Turunan Kondisi Internal

lain

3. Dana dari pusat lebih kecil dibandingkan sumber lain

4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar dibandingkan dana dari pusat

Sumberdana untuk kegiatan penetapan dan pengaturan volume pengambilan

1. Seluruhnya berasal dari pemerintah pusat

2. Dana bersumber dari pusat dan sumber lain

3. Dana dari pusat lebih kecil dibandingkan sumber lain

4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar dibandingkan dana dari pusat

J. Kecukupan dana

Kecukupan dana untuk kegiatan konservasi

1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran

2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek

3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah

4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang

Kecukupan dana untuk pengaturan pengambilan karang hias

1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran

2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek

3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah

4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang

Kecukupan dana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem

1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran

2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek

3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah

4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang

Kecukupan dana untuk kegiatan transplantasi

1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran


(2)

Komponen

Kunci Komponen Turunan Kondisi Internal

dan proyek jangka pendek

3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah

4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang

Kecukupan dana untuk penentapan pengaturan volume pengambilan

1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran

2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek

3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah

4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang

II. Kebutuhan data dan informasi terkait eksternal 1. Komunikasi dan koordinasi

2. Kebijakan yang terkait dari pusat

3. Pengetahuan masyarakat, penerimaan dan konflik pemanfaatan Komponen

Kunci Komponen Turunan Kondisi Internal

A. Komunikasi dan Koordinasi

BKSDA 1. Tanpa komunikasi

2. Ada komunikasi 3. Ada koordinasi

4. Ada kolaborasi program

DKP 1. Tanpa komunikasi

2. Ada komunikasi 3. Ada koordinasi

4. Ada kolaborasi program B. Kebijakan

yang terkait dari pusat

Kebijakan dari pusat 1. Tidak tahu adanya kebijakan pemanfaatan karang hias dari pusat 2. Mengetahui sebagian kebijakan

pemanfaatan karang hias dari pusat 3. Menerima kebijakan pemanfaatan

karang hias dari pusat

4. Memahami kebijakan dan diadobsi sebagai bagian kebijakan daerah C. Pengetahuan Pengetahuan 1. Tidak tahu adanya pemanfaatan karang


(3)

Komponen

Kunci Komponen Turunan Kondisi Internal

masyarakat, penerimaan dan konflik

pemanfaatan

masyarakat hias

2. Mengetahui tapi tidak peduli 3. Mengetahui dan tidak setuju

pengambilan karang hias

4. Mengetahui dan menerima adanya pemanfaatan karang hias


(4)

Lampiran 2. Dokumentasi Beberapa Jenis-Jenis Karang Hias Bernilai Ekonomis

No Jenis Karakteristik (Veron, 2000)

1 Blastomussa sp  Umumnya bentuk

pertumbuhannya submasif hingga masif.

 Terdapat banyak polip (individu) dalam satu koloni dengan koloni bertipe phaceloid. Jarang ada tipe koralit yang subplocoid.

 Jaringan yang keluar berwarna merah atau hijau merupakan mantel (bukan tentakel)

 Umumnya hidup di perairan yang terlindung dari ombak besar, sehingga sering ditemukan pada tipe terumbu karang “patch reef

2 Porites sp  Umumnya bentuk pertumbuhan

bercabang, submasif hingga masif. Jenis yang dimanfaatkan untuk perdagangan dominan bercabang.

 Terdapat banyak polip dalam satu koloni. Permukaan koloni halus dan tidak terlihat tentakel secara kasat mata. Koloni umumnya berwarna krem, kuning, biru atau hijau

 Dominan di jumpai di area laguna (lagoons) pada perairan yang sedikit berombak

3 Euphyllia sp  Umumnya bentuk pertumbuhan

submasif, dan terlihat seperti masif saat tentakelnya keluar dan menutupi skeleton (rangka kapur)  Satu koloni terdiri dari beberapa

polip yang memiliki tipe phaceloid dan tubular.

 Tentakel selalu keluar dan terlihat dengan warna yang bervariasi dari kuning, hijau, orange, dan bitu keabu-abuan.

 Dominan di jumpai pada lokasi yang datar “reef flat” yang dalam.


(5)

No Jenis Karakteristik (Veron, 2000) 4 Caulastrea sp  Bentuk pertumbuhan submasif dengan koloni yang berukuran kecil hingga medium

 Satu koloni terdiri dari beberapa polip yang memiliki koralit yang kompak (tipe phaceloid) dan tentakel tidak terlihat

 Warna koloni bervariasi warna coklat, kuning kecoklatan dan hijau kecoklatan

 Dominan hidup pada substrat yang datar (flat).

5 Cynarina sp  Tipe karang soliter (1 koloni terdiri dari 1 polip/single polyp) sehingga septa pada koralit sangat jelas terlihat.

 Ukuran koloni dominan bervariasi dari small hingga medium.

 Tentakel hanya keluar pada malam hari, pada siang hari jaringan lunak yang menuutupi koloni adalah mantel

 Dominan hidup pada perairan dalam dan datar di atas subtrat pasir

6 Goniopora sp  Bentuk pertumbuhan dominan

submasif dan masif.  Dalam satu koloni terdapat

banyak polip (individu).

 Tentakel berukuran panjang dan selalu keluar sehingga di alam terkadang seperti hamparan alga jika tidak dilakukan pemeriksaan lebih rinci.

 Dominan dijumpai pada perairan dengan kecerahan yang bagus.


(6)

No Jenis Karakteristik (Veron, 2000) 7 Heliofungia sp  Tipe karang soliter (1 koloni

terdiri dari 1 polip/single polyp) sehingga septa pada koralit sangat jelas terlihat.

 Bentuk koloni bulat cenderung simetris dengan tentakel berukuran panjang dan keluar pada siang dan malam hari

 Tentakel umumnya berwarna biru gelap atau hijau gelap atau grey dengan warna putih atau pink pada ujung tentakel

 Selalu ditemukan pada perairan daerah di atas substrat pecahan karang (rubble substrates) 8 Trachyphyllia sp  Tipe koloni adalah flabello

meandroid dan merupakan soliter (free living).

 Tentakel hanya keluar pada malam hari sehingga yang terlihat pada siang hari adalah mantel yang berlendir menutupi skeleton.  Warna mantel yang terlihat pada

siang bervariasi warna kuning, coklat, biru atrau hijau

 Sangat jarang dijumpai di area terumbu, dominan hidup pada patch reef atau area antar terumbu (inter – reef areas).

9 Plerogyra sp  Satu koloni terdiri dari beberapa polip. Koloni memiliki tipe flabello – meandroid.  Tentakel selalu nampak,

berbentuk menyerupai bubble warna putih dan kekuning-kuninhgan sehingga jenis ini disebut bubble coral

 Dominan hidup pada lingkungan yang terlindung dan perairan dengan kecerahan yang baik.