Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara
PROVINSI SUMATERA UTARA
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN
110302055
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
(2)
PROVINSI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN
110302055
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
(3)
PROVINSI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN
100302085
Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
(4)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Josephin S. S. Panjaitan
NIM : 110302055
Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi Di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian akhir skripsi ini.
Medan, Maret 2015
Josephin S. S. Panjaitan NIM. 110302055
(5)
Judul Penelitian : Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara Nama : Josephin S. S. Panjaitan
NIM : 110302055
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Zulham A. Harahap, S.Kel, M.Si Ketua Anggota
Mengetahui
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara”, yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih :
1. Ayahanda M. Panjaitan, SE dan ibunda Dra. L. Barus yang menjadi alasan untuk menggapai cita-cita. Terima kasih untuk doa, dukungan dan motivasi yang tiada henti kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Zulham Apandy Harahap, S.Kel, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah bersedia untuk memberikan saran serta meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku ketua program studi Manajemen Sumberdaya Perairan.
4. Lasmaida Tio Evalina Panjaitan, Christina Banjaria Sariana Panjaitan, Intan Ruthyana Talenta Panjaitan, Cici Natalina Panjaitan, dan Desy Natalia Saragi yang juga selalu memberikan motivasi dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Manajemen Sumberdaya Peraian USU yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis serta pegawai administrasi MSP USU kak Nur Asiah, A.Md.
(7)
6. Semua teman-teman seperjuangan yang penulis sayangi khususnya Lihardo Sinaga, Ahmad Rizki, Tri Woro Widyastuti, Brawijaya Hutabarat, Dwy Murphy Banjarnahor, Fery J. Sihotang, Mars Shella Sinurat yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir kota Medan.
Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan usulan penelitian ini.
Medan, April 2015
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR TABEL ... v
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 2
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Kota Medan ... 5
Ekosistem Mangrove ... 5
Ekosistem Pesisir ... 10
Angin ... 13
Abrasi ... 14
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 15
Alat dan Bahan ... 16
Metode Penelitian ... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 23
Pembahasan ... 27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34
Saran ... 34
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
(9)
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 4
2. Peta Letak Lokasi Penelitian di pesisir Kota Medan... 15
3. Bagan Alir Proses Data... 22
4. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2003... 23
5. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2009... 24
6. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2014... 25
7. Peta Perubahan Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2003 – 2014... 25
(10)
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Peubah, Bobot dan Skor Faktor Fisik Lingkungan Penyebab
Kerusakan Kawasan Mangrove... 18 2. Peubah, Bobot dan Skor Sosial Ekonomi Masyarakat Penyebab
Kerusakan Kawasan Mangrove... 20 3. Nilai Parameter Fisika – Kimia Perairan Sicanang pada Setiap
Titik Pengambilan Sampel... 26 4. Panjang Garis Pantai... 27 5. Nilai Skoring Hasil Pengamatan Faktor Fisik Lingkungan
Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove... 27 6. Nilai Skoring Hasil Pengamatan Faktor Sosial Ekonomi
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Medan, pada tanggal 29 Agustus 1994. Penulis merupakan anak kedua dari 5 bersaudara dari Ayah yang bernama Monang Panjaitan, SE dan Ibu Dra. Lenny Barus.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada SD SWASTA MULIA pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP NEGERI 30 MEDAN dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMA BRIGJEN KATAMSO - I MEDAN dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB - PTN pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengambil minat studi Konservasi Sumberdaya Perairan.
Selama menempuh studi di USU, penulis telah mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PIP CADIKA MEDAN – JOHOR pada tahun 2014. Untuk pengalaman organisasi, penulis pernah mengikuti organisasi Kebaktian Mahasiswa Kristen (KMK) Fakultas Pertanian USU.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara” dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Bapak Zulham Apandy, S. Kel, M.Si.
(12)
ABSTRAK
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN. Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi Di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh YUNASFI dan ZULHAM APANDY HARAHAP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mangrove dan luasan tutupan lahan mangrove terhadap laju abrasi di pesisir kota medan, untuk mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi mulai dari tahun 2003 – 2014, mengetahui perubahan garis pantai akibat pengaruh abrasi di pesisir kota medan dan mengetahui jenis mangrove apa yang dominan sebagai penahan abrasi di pesisir kota medan. Perubahan garis pantai dapat dilihat dengan metode overlay
(tumpangtindih). Selain itu juga dilakukan pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara masyarakat setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat lebih dominan mempengaruhi kerusakan kawasan hutan mangrove dibanding faktor fisik lingkungan. Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan, banyak lahan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak serta banyaknya pembalakan liar yang terjadi di sekitar lokasi penelitian.
(13)
ABSTRACT
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN. Physical Function of Mangrove As Retaining Abrasion at Coastal of Medan, North Sumatra. Advisor are YUNASFI and ZULHAM APANDY HARAHAP.
This research aims to determine the effect of mangrove and the extent of mangrove forest to the rate of erosion at the coastal of Medan, changes of shoreline has been occurred from 2003 – 2014, changes of shoreline due to the influence of erosion at coastal of Medan and the dominant species of mangrove as retaining abrasion at coastal of Medan. Changes of Shoreline can be seen with the overlay method. This research uses field observation and interview to the local community directly. The results of research shows that socio - economic of local community gives more dominant influence than physical environmental to damage the mangrove forest. Based on field observation, many mangrove forest are converted into farm and many illegal logging has been occurred in the location of research.
(14)
ABSTRAK
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN. Fungsi Fisik Mangrove Sebagai Penahan Abrasi Di Pesisir Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh YUNASFI dan ZULHAM APANDY HARAHAP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mangrove dan luasan tutupan lahan mangrove terhadap laju abrasi di pesisir kota medan, untuk mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi mulai dari tahun 2003 – 2014, mengetahui perubahan garis pantai akibat pengaruh abrasi di pesisir kota medan dan mengetahui jenis mangrove apa yang dominan sebagai penahan abrasi di pesisir kota medan. Perubahan garis pantai dapat dilihat dengan metode overlay
(tumpangtindih). Selain itu juga dilakukan pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara masyarakat setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat lebih dominan mempengaruhi kerusakan kawasan hutan mangrove dibanding faktor fisik lingkungan. Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan, banyak lahan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak serta banyaknya pembalakan liar yang terjadi di sekitar lokasi penelitian.
(15)
ABSTRACT
JOSEPHIN S. S. PANJAITAN. Physical Function of Mangrove As Retaining Abrasion at Coastal of Medan, North Sumatra. Advisor are YUNASFI and ZULHAM APANDY HARAHAP.
This research aims to determine the effect of mangrove and the extent of mangrove forest to the rate of erosion at the coastal of Medan, changes of shoreline has been occurred from 2003 – 2014, changes of shoreline due to the influence of erosion at coastal of Medan and the dominant species of mangrove as retaining abrasion at coastal of Medan. Changes of Shoreline can be seen with the overlay method. This research uses field observation and interview to the local community directly. The results of research shows that socio - economic of local community gives more dominant influence than physical environmental to damage the mangrove forest. Based on field observation, many mangrove forest are converted into farm and many illegal logging has been occurred in the location of research.
(16)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk keperluan perencanaan pengelolaan kawasan pantai, maka diperlukan penelitian tentang perubahan garis pantai sehingga pembangunan yang dilakukan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Suatu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan garis pantai di suatu lokasi adalah dengan menggunakan model numerik. Beberapa model numerik telah dibuat untuk mensimulasikan perubahan garis pantai yang meliputi model dua dimensi dan tiga dimensi. Model dua dimensi menghitung perubahan garis pantai dengan cara mengamati pergerakan posisi garis pantai dengan asumsi bahwa profil pantai tidak berubah, sedangkan model tiga dimensi mengamati variasi topografi.
Abrasi hampir terjadi di sepanjang pantai yang diperparah dengan kerusakan hutan mangrove yang diubah menjadi areal tambak atau penebangan liat oleh masyarakat sekitar, dan beberapa pantai telah mengalami peralihan fungsi lahan. Sedimentasi terjadi di beberapa muara sungai dengan ditandai adanya delta-delta sungai akibat munculnya tanah timbul di sepanjang pantai. Intrusi air laut terjadi terutama di daerah pantai yang relatif datar.
Teknologi yang mudah dan cepat untuk pemantauan perubahan garis pantai adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui perekaman citra satelit sebagai datanya. Salah satunya adalah dengan menggunakan data hasil perekaman citra Landsat (Land satellite). Satu dari beberapa sensor yang dibawa adalah Thematic Mapper (TM) yang memiliki resolusi spasial 30 m × 30 m. Sensor ini terdiri dari 7 band yang memiliki karakteristik berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan (Lillesand dan Kiefer, 1990).
(17)
Banyaknya kerusakan hutan mangrove yang terjadi di pantai disamping dikonversi menjadi tambak juga akibat pembalakan liar oleh penduduk setempat. Pembentukan delta baru berarti akan merubah garis pantai. Maka diperlukan penelitian untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dan garis pantai di kota medan dengan menggunakan hasil pemotretan penginderaan jauh berkala (times series) dan survey lapangan serta menganalisis dampak perubahan garis pantai tersebut terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Analisis perubahan penggunaan lahan dan garis pantai menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) ini diperlukan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang selanjutnya digunakan untuk kegiatan monitoring dan manajemen garis pantai dimasa mendatang. Sehingga dampak negatif yang akan timbul akibat perubahan garis pantai tersebut dapat diminimalisir.
Rumusan Masalah
Peristiwa abrasi merupakan satu dari beberapa faktor penentu perubahan garis pantai yang terjadi di ekosistem pesisir. Semakin berkurangnya luasan tutupan lahan mangrove menandai perubahan garis pantai yang signifikan. Mengingat fungsi fisik mangrove sebagai penahan gelombang dan abrasi serta mencegah intrusi air laut, maka diperlukan kajian penting untuk melihat fungsi fisik mangrove sebagai penahan abrasi di kota medan yang dapat menjadi penentu kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan mangrove di kota medan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana peranan fungsi fisik mangrove terhadap pengaruh abrasi di pesisir kota medan?
(18)
2. Bagaimana perubahan garis pantai akibat pengaruh abrasi di pesisir kota medan?
3. Jenis mangrove apa yang dominan sebagai penahan abrasi di pesisir kota medan?
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peranan fungsi fisik mangrove terhadap pengaruh abrasi di pesisir kota Medan.
2. Mengetahui perubahan garis pantai akibat pengaruh abrasi di pesisir kota Medan.
3. Mengetahui jenis mangrove apa yang dominan sebagai penahan abrasi di pesisir kota Medan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai peranan penting mangrove sebagai penahan abrasi di kota medan bagi pihak yang membutuhkan baik dalam bidang pendidikan, masyarakat, dan instansi tertentu yang memanfaatkan dan mengelola ekosistem mangrove dan pesisir di kota medan.
Kerangka Pemikiran
Ekosistem mangrove apabila ditinjau dari segi fungi fisiknya yaitu sebagai penahan abrasi, gelombang dan intrusi air laut sangat penting dalam menentukan laju perubahan garis pantai di pesisir kota Medan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan garis pantai untuk meninjau fungsi fisik mangrove di kota Medan. Selanjutnya, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
(19)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Penahan
Abrasi Fungsi
Fisik Potensi Ekosistem Mangrove
Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove Pesisir
Kota Medan
Perubahan Panjang Garis Pantai di Pesisir Kota
Medan Abrasi / Sedimentasi Fungsi
Biologi
Fungsi Ekologi
Nursery Ground, Breeding Ground, Spawning Ground
(20)
TINJAUAN PUSTAKA
Kota Medan
Medan didirikan oleh John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Pada tahun secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12
anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa (Pemko Medan, 2007).
Kota Medan memiliki luas 26.510 hektare (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut (Badan Strategis Nasional, 2008).
Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut dan air tawar sebagai sumber kehidupannya serta pada endapan debu (silt)
(21)
dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi mangrove sedangkan air sungai yang kaya mineral akan memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut. Indonesia memiliki hutan mangrove yang sangat luas, mulai dari pantai-pantai berlumpur di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya sampai pada pantai-pantai dari pulau-pulau kecil serta daerah intertidal dari gugusan karang lepas pantai. Oleh karena itu, mangrove memainkan peran yang sangat vital terhadap pembangunan ekonomi dan sosial pada masyarakat pantai disepanjang kepulauan Indonesia (Prianto dkk., 2006).
Hutan mangrove dunia sebagian besar tersebar di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Dari keseluruhan mangrove yang ada dunia ini, Indonesia memiliki area mangrove terluas (4,26 juta ha), disusul Brazil (1,34 juta ha), Australia (1,15 juta ha), dan Nigeria (1,05 juta ha). Luas mangrove di Indonesia sekitar 23% dari total mangrove dunia. Saat ini mangrove telah mengalami degradasi karena berbagai sebab dan permasalahan yang dihadapinya. Hutan mangrove yang terdegradasi akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove sehingga fungsi alaminya terganggu. Keadaan tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki berbagai fungsi dan manfaat, meliputi fungsi fisik, biologi, dan ekonomi atau produksi (Fitriana, 2006).
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar atau 3,98 % dari seluruh luas hutan Indonesia. Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan dan pesisir
(22)
Selatan Irian Jaya. Hutan mangrove di Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena ulah manusia. Tapi di Irian Jaya terdapat hutan mangrove yang sangat luas 2,94 juta ha, atau 69% dari seluruh hutan mangrove Indonesia dan masih banyak merupakan hutan asli yang belum terganggu (Nontji, 1987).
Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung di daerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangu dan bahasa Inggris yaitu grove.
Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan, dan kata mangal dipergunakan untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau rumput-rumputan yang tumbuh di kawasan pesisir maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang tumbuh yang berasosiasi dengannya (Pramudji, 2001).
Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik, mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai yaitu: sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut (Zamroni, 2008).
(23)
Hutan mangrove, merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Akibat meningkatnya kebutuhan hidup, manusia telah mengintervensi ekosistem tersebut. Hal ini dapat terlihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, areal industri dan sebagainya. Selain itu manusia juga telah melakukan penebangan hutan mangrove yang mengakibatkan kerusakan dari ekosistem mangrove tersebut. Apabila keberadaan kawasan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka abrasi pantai tidak dapat dielakkan lagi, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya (Dahuri, 2003).
Hutan mangrove yang merupakan komunitas vegetasi pantai memiliki karakteristik yang umumnya tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menetukan komposisi vegetasi hutan mangrove, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang arus besar dan arus pasang surut yang kuat (Begen, 2000).
Hutan mangrove yang biasanya juga disebut hutan bakau mempunyai kerakteristik yang khas, mengingat hidupnya berada di daerah ekotone yaitu perairan dan daratan . Kerakteristik mangrove ini terutama mampu berada pada kondisi salin dan tawar. Hutan mangrove terdapat didaerah pasang surut pantai berlumpur yang terlindungi dari gerakan gelombang dan dimana ada pasokan air
(24)
tawar dan partikel-partikel sedimen yang halus melalui air permukaan (Kusmana, 1997).
Diperlukan pemahaman masyarakat secara menyeluruh dari berbagai fungsi ekosistem mangrove ini sehingga ada upaya konservasi dan pemeliharannya. Selain peran dan fungsinya, umumnya ekosistem mangrove cukup tahan terhadap gangguan dan tekanan lingkungan, namun demikian sangat peka terhadap pengendapan dan sedimentasi, rata-rata tinggi permukaan air serta pencucian dan tumpahan minyak (Utina, 2008).
Mangrove sejati (true mangrove) memiliki sifat-sifat: sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di kawasan pasang surut di antara rata - rata ketinggian pasang perbani (pasang rata-rata) dan pasang purnama (pasang tertinggi) serta tidak tumbuh di ekosistem lain, memiliki peranan penting dalam membentuk struktur komunitas mangrove dan dapat membentuk tegakan murni, secara morfologis beradaptasi dengan lingkungan mangrove misalnya memiliki akar aerial dan embrio vivipar, secara fisiologis beradaptasi dengan kondisi salin sehingga dapat tumbuh di laut karena memiliki mekanisme untuk menyaring dan mengeluarkan garam, secara taksonomi berbeda dengan kerabatnya yang tumbuh di darat setidak-tidaknya terpisah 8 hingga tingkat genus. Tumbuhan mangrove sejati antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans,
Rhizophora, dan Sonneratia (Setyawan, 2002).
Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer. Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk
(25)
daerah di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai puluhan kilometer (Noor, 2006).
Keberadaan spesies dalam hutan mangrove tergantung berbagai faktor lingkungan seperti salinitas, ketersediaan nutrien, kadar oksigen dalam tanah dan aliran energi. Karena tumbuhan mangrove memiliki tanggapan tertentu terhadap kondisi-kondisi ini maka mereka tersebar dalam zonasi tertentu. Zonasi sering menjadi karakteristik hutan mangrove. Beberapa spesies dapat menempati bagian tertentu (niche) dalam ekosistem. Spesies mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau atau teluk yang terlindung, lainnya tumbuh jauh ke pedalaman hulu sungai pada muara yang masih dipengaruhi pasang surut (Katili 2009).
Hutan mangove di Indonesia memiliki kisaran variasi sifat fisik dan kimia yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain; di samping itu setiap jenis mangrove menduduki zona yang cocok untuk pertumbuhannya. Adanya faktor-faktor lingkungan, menyebabkan organisme dalam suatu komunitas dapat saling berinteraksi. Faktor-faktor yang ada di lingkungan pada hutan mangrove cukup kompleks, di antaranya, salinitas, tekstur tanah, kelembaban, curah hujan, pH, pasang surut (tidal), dan oksigen tanah. Syarat, kondisi dan parameter lingkungan utama yang dapat berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem mangrove, antara lain; pasokan air tawar dan salinitas, pasokan nutrient, stabilitas substrat (Utina, 2008).
Ekosistem Pesisir
Pantai merupakan kawasan peralihan antara ekosistem darat dan laut serta tempat bertemunya dua aktivitas yang saling berlawanan yaitu gelombang laut dan aliran sungai. Garis pantai adalah batas air laut pada waktu pasang tertinggi
(26)
telah sampai ke darat. Perubahan garis pantai ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan (Tarigan, 2007).
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove Indonesia memiliki keanekaragaman jenis pohon, antara lain: bakau (Rhizopora spp.), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.) dan masih banyak lagi. Selain itu, akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies ikan dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya (Begen, 2001).
Menurut (Sandy, 1975 diacu oleh Eko, 2000) pantai dengan kemiringan kurang dari 5% dikategorikan sebagai pantai datar. Pada pantai landai ini material pantai didominasi oleh lumpur dan substrat ini sangat baik untuk pertumbuhan vegetasi mangrove.
Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang sangat dinamis dan saling mempengaruhi, wilayah ini sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia seperti : pusat pemerintahan, permukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian dan pariwisata. Sebetulnya pantai mempunyai keseimbangan dinamis yaitu cenderung menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Gelombang normal yang datang akan mudah dihancurkan oleh mekanisme pantai, sedang gelombang besar/badai yang
(27)
mempunyai energi besar walaupun terjadi dalam waktu singkat akan menimbulkan erosi. Kondisi berikutnya akan terjadi dua kemungkinan yaitu pantai kembali seperti semula oleh gelombang normal atau material terangkut ketempat lain dan tidak kembali lagi sehingga disatu tempat timbul erosi dan di tempat lain akan menyebabkan sedimentasi (Pranoto, 2007).
Menurut Triatmodjo (1999), Definisi coast (pesisir) adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedangkan shore (pantai) adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruh oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Ditinjau dari profil pantai, daerah ke arah pantai dari garis gelombang pecah dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore dan backshore.
Sebagai batas antara daratan dan laut, pantai mempunyai bentuk yang bervariasi dan dapat berubah dari musim ke musim . Pengertian pantai menurut
“A Modern Dictionary of Geography” (Small and Witherick, 1986) adalah
akumulasi pasir atau bahan lain yang terletak antara titik tertinggi yang dicapai oleh ombak besar dan garis surut terendah suatu laut.
Pantai merupakan daerah datar atau bisa bergelombang dengan perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 meter, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas, dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Pantai adalah suatu daerah yang meluas dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang. Garis pantai adalah garis pertemuan antara air laut dengan daratan yang kedudukannya berubah - ubah sesuai dengan kedudukan pada saat pasang-surut, pengaruh gelombang dan arus laut (Sutikno, 1993).
(28)
Menurut Sutikno (2000) batas wilayah pantai ke arah darat adalah batas pasang surut, vegetasi suka air, intrusi air laut ke dalam air tanah dan konsentrasi ekonomi bahari; sedangkan ke arah laut dibatasi oleh garis pecahan gelombang dan pengaruh aktifitas manusia di darat. Kegiatan yang dilaksanakan di daerah aliran sungai yang mengakibatkan proses erosi dan deposisi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap lingkungan ekosistem pantai. Sekitar dua per tiga pantai Pasuruan merupakan pantai landai dengan kemiringan lereng kurang dari 3 % dan banyak sungai bermuara di daerah ini. Sungai sungai tersebut membawa sedimen dari daratan dan mengendapkannya di sekitar muara sungai menyebabkan garis pantai semakin lama semakin maju ke arah laut.
Angin
Angin adalah udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah yang bertekanan udara lebih rendah. Pergerakan udara ini disebabkan oleh rotasi bumi dan juga karena adanya perbedaan tekanan udara di sekitarnya. Jika udara dipanaskan akan memuai yang akhirnya naik karena menjadi lebih ringan. Jika udara yang dipanaskan naik, tekanan udara menjadi turun karena udara berkurang kerapatannya sehingga udara dingin di sekitarnya akan mengalir ke tempat yang bertekanan rendah tersebut. Udara lalu menyusut menjadi lebih berat dan turun ke tanah. Di atas tanah udara menjadi panas lagi dan kembali naik (Resmi dkk., 2011)
Sirkulasi yang kurang lebih sejajar dengan permukaan bumi disebut angin. Kecepatan angin diukur dengan anemometer, dan biasanya dinyatakan dengan knot. Satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang
(29)
ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jm = 0,5 m/detik lagi (Triatmodjo, 1999).
Abrasi
Abrasi hampir tejadi di sepanjang pantai yang diperparah dengan kerusakan hutan mangrove yang diubah menjadi areal tambak. Sedimentasi terjadi di beberapa muara sungai dengan adanya delta-delta sungai akibat munculnya tanah timbul di sepanjang pantai. Intrusi air laut terjadi terutama di daerah pantai yang relatif datar (Saskiartono, 2008).
Abrasi merupakan salah satu masalah yang mengancam kondisi pesisir, yang dapat mengancam garis pantai sehingga mundur kebelakang, merusak tambak maupun lokasi persawahan yang berada di pinggir pantai, dan juga mengancam bangunan bangunan yang berbatasan langsung dengan air laut, baik bangunan yang difungsikan sebagai penunjang wisata maupun rumah rumah penduduk. Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis pantai dari posisi asalnya. Abrasi atau Erosi pantai disebabkan oleh adanya angkutan sedimen menyusur pantai sehingga mengakibatkan berpindahnya sedimen dari satu tempat ke tempat lainnya. Angkutan sedimen menyusur pantai terjadi bila arah gelombang datang membentuk sudut dengan garis normal pantai. Untuk itu perlu adanya kajian analisis penyebab terjadinya abrasi secara sehingga dapat diketahui luasan abrasi, dan selanjutnya dapat diketahui dan ditetapkan penanggulangannya dengan pembangunan bangunan pantai yang paling efektif dalam mengurangi abrasi pantai (Triatmodjo, 1999).
(30)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Desember sampai dengan bulan Februari 2014 di pesisir Sicanang Belawan Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Tahap persiapan data yang meliputi pengumpulan data spasial dan data sekunder / data pendukung, pengolahan citra dan digitasi garis pantai dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan pengecekan lapangan (survei langsung) di lokasi penelitian (Gambar 2). Sampel yang dikumpulkan di lapangan dianalisis di laboratorium, demikian juga kegiatan analisis data.
(31)
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah GPS receiver, pH meter, refraktometer, termometer, kamera digital, alat tulis menulis, Laptop, perangkat lunak ER Mapper dan perangkat lunak ArcGis 9.3 untuk pengolahan data dan analisis data citra satelit. Gambar alat dan bahan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Data citra satelit Landsat-5 TM dalam format digital path/raw105/061,
multitemporal perekaman data pesisir Kota Medan tahun 2011 dan tahun 2013, kanal lengkap (full band) dengan format Geo TIFF.
2. Data Luasan Mangrove kota Medan tahun 2011 dari Balai Mangrove Wilayah II Medan.
3. Data sekunder dan data / dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian lainnya.
Prosedur Penelitian Persiapan Data
Tahap ini meliputi pengumpulan data dan pengecekan kelengkapan data, baik data spasial maupun data atribut. Tujuan pengecekan data untuk mengetahui kekurangan-kekurangan pada data yang telah terkumpul, sehingga bisa dilakukan upaya-upaya untuk melengkapi kekurangan yang ada. Bagan alir proses data dapat dilihat pada Gambar 3.
Pra Pengolahan (Pre- Processing) Data Citra satelit a. Konversi Data Citra (Import File)
(32)
Data citra satelit Landsat 5 TM yang dipergunakan dalam penelitian ini, tersimpan dalam CD-ROM dengan format data berekstensi (*.tif). format data citra ini diubah menjadi format data raster (*.mpr) melalui proses konversi (import file) data dengan perangkat lunak ArcGis 9.3.
b. Pemotongan Citra (Cropping)
Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan wilayah penelitian karena di dalam proses perekaman kondisi permukaan bumi, satelit akan merekam data pada daerah yang luas sesuai dengan resolusi spasial dari sensor yang digunakan oleh satelit tersebut. Pemotongan citra dilakukan pada citra yang memiliki perbedaan yang jelas antara tanah, hutan dan air.
Analisis Perubahan Garis Pantai
Teknik yang digunakan dalam menganalisis perubahan garis pantai yaitu metode tumpang susun (overlay). Overlay merupakan proses penyatuan data dari lapisan layer yang berbeda. Secara sederhana overlay disebut sebagai operasi visual yang membutuhkan lebih dari satu layer untuk digabungkan secara fisik.
Peta garis pantai yang dibuat dari citra tahun 2011 dan tahun 2013 ditumpangsusun untuk mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi pada kurun waktu 2011 – 2014.
Pengecekan Lapangan (Verifikasi Lapangan)
Pengamatan garis pantai dilakukan dengan menelusuri sepanjang garis pantai. Sedangkan koordinat geografis diperoleh berdasarkan pembacaan GPS. Untuk mengetahui kondisi umum pantai dan dinamika pergerakan air, maka dilakukan observasi visual dan wawancara dengan masyarakat setempat.
(33)
Zonasi / Kerapatan Mangrove
Untuk mengetahui kerapatan dan zonasi di lokasi penelitian maka dilakukan metode transek. Metode ini dilakukan untuk melihat jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian tersebut dan jenis mangrove apa yang paling dominan untuk menghambat laju terjadinya abrasi.
Faktor Fisik Lingkungan
Faktor - faktor fisik lingkungan yang sangat berpotensi sebagai penyebab kerusakan kawasan mangrove adalah pencemaran air, abrasi dan stress lingkungan (salinitas dan cat clay). Untuk lebih jelasnya, peubah, bobot dan skor faktor fisik lingkungan penyebab kerusakan kawasan mangrove dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Peubah, Bobot dan Skor Faktor Fisik Lingkungan Penyebab
Kerusakan Kawasan Mangrove
No. Peubah Bobot Skor
1. Pencemaran Air (pa)
20 1 : Air tidak atau tercemar ringan 2 : Air tercemar sedang
3 : Air tercemar berat
2. Abrasi (a) 45 1 : Tingkat abrasi 0 – 3 m/tahun 2 : Tingkat abrasi 3 – 5 m/tahun 3 : Tingkat abrasi >5 m/tahun 3. Stress lingkungan
(sl)
35 1 : Perubahan salinitas berkisar 0 – 30 % dari salinitas optimal untuk mangrove (0 – 30 0
00
� ) dan atau tidak terjadi cat clay.
2 : Perubahan salinitas berkisar 30 – 60 % dari salinitas optimal untuk mangrove (0 – 30 0
00
� ) dan atau terjadi cat clay pada kedalaman >50 cm.
3 : Perubahan salinitas lebih dari 60 % dari salinitas optimal untuk mangrove (0 – 30 0
00
� ) dan atau terjadi cat clay pada kedalaman ≤50 cm.
Sumber : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia, 2000
(34)
Tingkat peranan faktor fisik lingkungan sebagai penyebab kerusakan kawasan mangrove ditentukan berdasarkan Total Nilai Skoring (TNS) yang ditentukan dengan rumus :
TNS = (pa x 20) + (a x 45) + (sl x 35) dimana : TNS = Total Nilai Skoring
pa = Pencemaran air a = Abrasi
sl = Stress lingkungan dengan kriteria sebagai berikut :
a. Nilai 100 – 155 : faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
b. Nilai 156 – 200 : faktor fisik lingkungan berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
c. Nilai 201 – 300 : faktor fisik lingkungan sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat
Penyebab kerusakan kawasan mangrove diantaranya diduga dari perilaku masyarakat sekitar kawasan yang bertitik tolak pada kondisi sosial ekonominya. Untuk itu dilakukan survey sosial ekonomi dengan unit analisis adalah rumah tangga. Pembobotan dan skor dari peran setiap peubah tersebut terhadap kerusakan nutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 2.
Dengan menggunakan skor 1 – 3 (satu sampai dengan tiga) untuk setiap peubah dan untuk setiap peubah diberi bobot dengan total bobot 100 (seratus), maka akan diperoleh kisaran jumlah skordengan bobot antara 100 – 300 (seratus
(35)
sampai dengan tiga ratus). Penetuan besarnya bobot untuk tiap peubah didasarkan kepada peluang peubah tersebut memberikan kontribusi terhadap kerusakan hutan mangrove secara langsung.
Tabel 2. Peubah, Bobot dan Skor Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
No. Peubah Bobot Skor
1. Mata Pencaharian Utama (mp)
40 1. Nelayan 2. Petani 3. Petambak
2. Lokasi Lahan Usaha (llu) 30 1. Berjarak > 1 km (tidak memiliki)
2. Berjarak 0,5 – 1 km dari hutan mangrove
3. Berjarak < 0,5 km dari hutan mangrove
3. Pemanfaatan lahan (pl) 20 1. Hutan
2. Perkebunan / Kebun Campuran, Tambak
3. Pemukiman, Industri, Tambak, Sawah, Tanah
4. Persepsi terhadap Hutan Mangrove (phm)
10 1. Untuk menjaga kondisi
lingkungan
2. Untuk menjaga kelangsungan hewan perairan
3. Untuk dimanfaatkan kayunya Sumber : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dan
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia, 2000 Total nilai skoring (TNS) untuk komponen sosial ekonomi sebagai faktor penyebab kerusakan kawasan mangrove secara sederhana dapat disusun dalam model matematis sebagai berikut :
TNS = (mp x 40) + (llu x 30) + (pl x 20) + (phm x 10) dimana : TNS = Total nilai skoring
mp = Mata pencaharian utama llu = Lokasi lahan usaha pl = Pemanfaatan lahan
(36)
phm = Persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove dengan kriteria sebagai berikut :
a. Nilai 100 – 160 : faktor sosial ekonomi kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
b. Nilai 161 – 200 : faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
c. Nilai 201 – 300 : faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
Data Pendukung Kualitas Air a. Suhu ( 0C)
Untuk mengukur suhu dilakukan menggunakan termometer air raksa. Suhu air langsung diukur di lapangan.
b. Salinitas (‰)
Salinitas di perairan akan diukur dengan menggunakan refraktometer. Pengukuran dengan refraktometer dilakukan langsung di lapangan. Data salinitas ini sangat penting untuk menyesuaikan jenis mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian.
c. pH (Derajat Keasaman)
Derajat keasaman diukur dengan menggunakan pH meter dengan memasukkan pH meter langsung ke dalam air.
(37)
Gambar 3. Bagan Alir Proses Data Pengumpulan Data Data Primer Perubahan Garis Pantai Pesisir Kota Medan
1. Data Balai Mangrove Kota Medan
2. Data Kepadatan Penduduk Kelurahan Medan Belawan
Data Sekunder
1. Observasi Lapangan 2. Wawancara
Masyarakat Sekitar 3. Citra Satelit Landsat
(Tahun 2003, 2009 dan Tahun 2014)
Proses Pengolahan Data Citra Satelit Program Er Mapper A Fungsi Fisik Mangrove
(38)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2003
Hasil pengolahan citera satelit Landsat 7 ETM tahun 2003 dengan lokasi perekaman di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan, setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Maka hasil dari digitasi garis pantai pesisir kota Medan tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 3.
(39)
Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2009
Hasil pengolahan citera satelit Landsat 7 ETM tahun 2009 dengan lokasi perekaman landsat di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan, setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Maka hasil dari digitasi garis pantai pesisir kota Medan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2009
Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2014
Hasil pengolahan citera satelit Landsat 7 ETM tahun 2014 dengan lokasi perekaman citra landsat di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan,
(40)
setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Maka hasil dari digitasi garis pantai pesisir kota Medan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2014
Peta Perubahan Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2003 – 2014
Berdasarkan tahap pengolahan data citra landsat yang telah didigitasi sebelumnya maka tahap selanjutnya adalah menggabungkan digitasi garis pantai tersebut dalam satu layer peta. Hasil dari penggabungan yang didapat akan menunjukkan perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir kota Medan sejak Tahun 2003 sampai Tahun 2014. Penggabungan digitasi garis pantai dilakukan dengan menggunakan metode tumpang-tindih (Overlay). Setelah melalui tahap
(41)
overlay seperti pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa perubahan yang terjadi pada lokasi observasi cenderung mengalami proses abrasi.
(42)
(43)
Citra satelit yang telah diolah selanjutnya di ukur panjang garis pantainya untuk mengetahui perubahan garis pantai mulai tahun 2003 – 2014. Panjang garis pantai mulai tahun 2003, tahun 2009, dan tahun 2014 yang telah diukur menggunakan software arcGIS dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan Panjang Garis Pantai (Meter)
Tahun Panjang Garis Pantai (Meter)
2003 8.889
2009 8.989
2014 8.946
Parameter Kualitas Air Perairan pada Setiap Titik Pengambilan Sampel Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, nilai parameter fisika kimia yang diperoleh dari setiap titik pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Parameter Fisika – Kimia Perairan Sicanang pada Setiap Titik
Pengambilan Sampel
No.
Parameter Titik Pengambilan I Titik Pengambilan II Titik Pengambilan III Satuan
1 Suhu 29 29 28 °C
2 pH 6.8 6.9 6.8 -
3 Salinitas 28 29 28 ppt
Keterangan :
Titik I : Jenis mangrove yang dominan menahan abrasi adalah Nypa fruticans
Titik II : Jenis mangrove yang dominan menahan abrasi adalah Rhizophora mucronata
Titik III : Jenis mangrove yang dominan menahan abrasi adalah Bruguiera gymnorrhiza
(44)
Faktor Fisik Lingkungan Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Sicanang, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Skoring Hasil Pengamatan Faktor Fisik Lingkungan Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
No. Peubah Bobot Skor
1. Pencemaran Air (pa)
20 1 : Air tidak atau tercemar ringan 2. Abrasi (a) 45 2 : Tingkat abrasi 3 – 5 m/tahun 3. Stress lingkungan
(sl)
35 1 : Perubahan salinitas berkisar 0 – 30 % dari salinitas optimal untuk mangrove (0 – 30 0
00
� ) dan atau tidak terjadi cat clay.
Maka TNS yang diperoleh dari perhitungan yang telah dilakukan adalah sebesar 145 dapat disimpulkan bahwa faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Data hasil perhitungan faktor fisik lingkungan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Sicanang, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Skoring Hasil Pengamatan Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
No. Peubah Bobot Skor
1. Mata Pencaharian Utama (mp)
40 3. Tambak
2. Lokasi Lahan Usaha (llu) 30 1. Berjarak > 1 km (tidak memiliki)
3. Pemanfaatan lahan (pl) 20 2. Perkebunan / Kebun Campuran, Tambak
4. Persepsi terhadap Hutan Mangrove (phm)
(45)
Maka TNS yang diperoleh adalah sebesar 220 yaitu bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Hasil nilai TNS tersebut di dapat berdasarkan hasil dari wawancara yang di lakukan kepada masyarakat pesisir Sicanang Belawan, Kuisioner Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Belawan dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan dan wawancara langsung kepada masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir sicanang, maka total nilai skoring yang di dapat untuk faktor fungsi fisik adalah sebesar 145 yang dapat di lihat pada Lampiran 3. Total Nilai Skoring (TNS) ini menunjukkan bahwa faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Sedangkan Total Nilai Skoring untuk faktor sosial dan ekonomi adalah sebesar 220. Total Nilai Skoring (TNS) ini menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor sosial dan ekonomi masyarakat pesisir yang lebih dominan mempengaruhi tingkat kerusakan
mangrove dibanding dengan faktor fisik lingkungan. Dari hasil pengamatan langsung ke lapangan, dapat dilihat bahwa
terjadinya pembalakan liar atau ahli fungsi lahan mangrove yang dijadikan areal tambak. Semakin banyaknya pohon mangrove yang ditebang menyebabkan juga semakin besarnya tingkat abrasi yang terjadi. Karena pentingnya mangrove sebagai penahan abrasi, oleh karena itu peran mangrove sangat penting. Berdasarkan literatur Salam dan Rachman (1994) yang menyatakan bahwa daerah mangrove berfungsi sebagai penyangga fisik yang kuat untuk melindungi dan
(46)
mengurangi terpaan angin, gelombang dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Disamping itu hutan mangrove dapat juga mencegah meluasnya penyebaran sedimen kearah laut, sehingga dapat mempertahankan keutuhan ekosistem terumbu karang dan ekosisitem lainnya.
Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak untuk kepentingan kehidupan masyarakat yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Kerusakan hutan mangrove yang semakin luas untuk dikonversi menjadi tambak akan berdampak pada hilangnya biodiversitas dan sumberdaya – sumberdaya lainnya serta fungsi ekologi dari ekosistem. Selain itu, konversi hutan mangrove untuk pengembangan kegiatan perikanan tambak akan berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat di sekitarnya seperti penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. Noor dkk (1999) menyatakan bahwa sebagian besar kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh kegiatan manusia akibat penebangan liar dan juga pengkonversian untuk pembukaan lahan lain. Hal ini menyebabkan fungsi dari hutan mangrove berkurang. Dampak yang ditimbulkan antara lain berubahnya komposisi mangrove, erosi garis pantai, mengancam regenerasi stok sumberdaya ikan di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove, terjadinya pencemaran yang dihasilkan dari limbah masyarakat dan penyebab kerusakan lainnya. Penyebab kerusakan hutan mangrove pada umumnya ditimbulkan oleh berbagai macam faktor baik dari lingkungan, maupun oleh aktivitas manusia. Penyebab yang ditimbulkan oleh manusia seperti penebangan pohon-pohon pada hutan mangrove dapat mempercepat terjadinya abrasi.
(47)
Sumberdaya alam merupakan potensi yang dimiliki oleh alam yang dapat dimanfaaatkan oleh mahluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Namun apabila pemanfaatan sumberdaya alam tersebut tidak dilakukan sebaik mungkin maka akan menyebabkan kerusakan yang berdampak negatif bagi lingkungan. Menurut Sihombing (1995) yang menyatakan bahwa masalah - masalah yang timbul dalam konservasi alam antara lain : masalah habitat yang terdesak akibat bertambahnya penduduk yang mengakibatkan peningkatan dalam pemanfaatan sumberdaya alam karena memerlukan lahan untuk dikonversikan demi memenuhi kebutuhan. Serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang konservasi itu sendiri. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nurseryground
larva atau stadium muda ikan dan udang. Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
Dampak lain yang ditimbulkan adalah kerusakan mangrove dan terumbu karang, serta kematian sumberdaya hayati akibat tidak adanya tempat hidup atau habitat bagi mereka untu tetap bertahan hidup. Heroldson (2012) menyatakan bahwa dampak dari kerusakan hutan mangrove akan menurunkan fungsi ekologis hutan mangrove, di mana fungsi terpenting hutan mangrove adalah sebagai peredam gelombang air laut badai, pelindung pantai, penghasil sejumlah besar detritus, dan daerah mencari makanan serta daerah beraktivitasnya berbagai macam biota laut baik yang hidup perairan pantai maupun lepas pantai. Kerusakan total hutan mangrove dapat menimbulkan hilangnya sumber mata pencarian
(48)
masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove serta menyebabkan keseimbangan lingkungan menjadi terganggu.
Suhu berperan penting dalam proses fisiologi yang dapat mempengaruhi proses-proses dalam suatu ekosistem mangrove seperti fotosintesis dan respirasi. Hasil pengukuran suhu di lapangan masih menunjukkan kisaran suhu yang ideal yaitu antara 28 – 29 °C. Berdasarkan literatur Setyawan, dkk (2002) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air, banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat mangrove, keadaan cuaca, dan ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18 – 30 °C.
Dampak dari penebangan oleh masyarakat secara perlahan akan membuat biota yang berasosiasi di dalam hutan mangrove ini menjadi terganggu dan berkurang. Misalnya burung yang dulunya tinggal dan memiliki sarang di sekitar hutan menjadi rusak, sehingga burung tersebut harus pindah ke daerah bagian tengah dari kawasan hutan mangrove tersebut atau daerah yang dianggapnya aman, namun pada daerah ini pastinya terdapat persaingan dengan hewan - hewan lainnya sehingga membuat satwa-satwa ini saling bersaing untuk dapat bertahan hidup. Berdasarkan literatur (Irwanto, 2006) yang menyatakan bahwa Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground)
(49)
dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator.
Dampak terbesar yang mingkin terjadi adalah terancamnya masyarakat akibat alam misalnya badai yang dapat dilihat pada daerah pinggiran pantai yang telah mengakibatkan banyak pohon tumbang. Kerusakan ekosistem mangrove ini akan berdampak pada potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila tingkat realisasi dan sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dan masyarakat sekitar tidak mengalami perubahan. Berdasarkan literatur Utina (2008) menyatakan bahwa diperlukan pemahaman masyarakat secara menyeluruh dari berbagai fungsi ekosistem mangrove ini sehingga ada upaya konservasi dan pemeliharannya. Selain peran dan fungsinya, umumnya ekosistem mangrove cukup tahan terhadap gangguan dan tekanan lingkungan, namun demikian sangat peka terhadap pengendapan dan sedimentasi, rata-rata tinggi permukaan air serta pencucian dan tumpahan minyak.
Dari observasi langsung yang dilakukan di lapangan, terdapat beberapa oknum yang menebang pohon mangrove untuk kepentingan pribadi, dan tidak sedikit dari mereka yang menjadikan lahan mangrove menjadi lahan tambak. Menurut Pariyono (2006) bahwa pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti penebangan untuk diambil menjadi kayu bakar, penebangan / pengambilan untuk pembuatan bahan bangunan rumah, pengambilan kulit pohon mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu secara tidak bertanggung jawab untuk dijual yang dilakukan secara
(50)
berlebihan, telah berdampak pada kondisi hutang mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.
Dari hasil pengamatan langsung ke lapangan, dapat dilihat bahwa jenis mangrove yang dominan terdapat dibarisan depan mangrove adalah dari jenis
Rhizophora spp. Jenis mangrove ini sangat sesuai sebagai penahan abrasi jika ditinjau dari karakteristiknya. Sesuai dengan literatur Satriono (2007) yang menyatakan bahwa mangrove dari jenis Rhizophora spp memiliki perakaran jenis tunjang. Perakaran tunjang merupakan jenis perakaran yang berada di atas permukaan tanah, pangkal akar berasal dari pangkal batang. Ujung akar menembus tanah dan kuat. Rhizophora spp memiliki struktur akar tunjang (stilt roots) yang mampu menangkap sedimen dan kokoh sehingga banyak ditanam dalam kegiatan restorasi hutan mangrove sebagai pelindung garis pantai dari gelombang air laut.
Kisaran pH pada setiap stasiun antara 6.8 – 6.9. Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan tersebut dapat dilihat bahwa hasil pengukuran data langsung di lapangan masih sesuai dengan kisaran pH untuk hidup mangrove. Menurut Suwondo, dkk (2006) yang menyatakan bahwa kisaran pH 6,5 – 9 masih mendukung kehidupan perairan hutan mangrove. Disamping itu, jenis dan ketebalan substrat yang lempung berlumpur, dan lumpur sedikit berpasir dengan ketebalan antara 31 cm sampai dengan 55 cm.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, menurut masyarakat sekitar pesisir Sicanang Belawan tersebut perubahan garis pantai ke daratan berkisar antara 3 - 4 meter pertahun. Perubahan ini semakin besar dengan banyaknya hutan
(51)
mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak. Tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan kayu mangrove untuk kepentingan pribadi mereka. Namun disisi lain pengawasan pemerintah terhadap kawasan mangrove juga masih minim mengingat masih banyaknya pembalakan liar dan perubahan status fungsi lahan mangrove di sekitar pemukiman. Sedangkan dari citra satelit yang telah di olah dan diukur panjang garis pantainya diperoleh bahwa pada tahun 2003 panjang garis pantai pesisir belawan sepanjang 8.889 meter, pada tahun 2009 sepanjang 8.989 meter, dan pada tahun 2014 panjang garis pantainya adalah 8.946 meter.
Hasil pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM mulai dari tahun 2003 – 2014 dengan lokasi perekaman citra landsat di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan, setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Digitasi dilakukan berdasarkan tahun citra. Berdasarkan tahap pengolahan data citra landsat yang telah didigitasi sebelumnya maka tahap selanjutnya adalah menggabungkan digitasi garis pantai tersebut dalam satu layer peta. Hasil dari penggabungan yang didapat akan menunjukkan perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir kota Medan sejak Tahun 2003 sampai Tahun 2014. Penggabungan digitasi garis pantai dilakukan dengan menggunakan metode tumpang-tindih (Overlay).
Berdasarkan hasil pengukuran langsung ke lapangan, diperoleh bahwa kadar salinitas setiap titik pengambilan sampel berfluktuasi relatif kecil, pada setiap titik
(52)
pengambilan sampel I, II, dan III adalah 28 ‰, 29 ‰, dan 28 ‰. Menurut Setyawan (2002) yang menyatakan bahwa salinitas kawasan mangrove sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, dengan demikian bahwa kadar salinitas perairan Sicanang - Belawan berada dalam kondisi ideal, hal ini karena adanya masukan air laut saat pasang dan air tawar dari sungai.
(53)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Fungsi fisik mangrove sebagai penahan abrasi memberikan peranan penting bagi lingkungan terutama memperlambat laju abrasi dan perubahan garis pantai di pesisir. Semakin tingginya kerapatan suatu kawasan mangrove, maka laju abrasi akan semakin kecil dan sebaliknya jika kerusakan mangrove tinggi akan menurunkan kerapatannya yang akan berdampak pada semakin cepatnya tingkat abrasi di pesisir Sicanang Belawan tersebut.
2. Perubahan garis pantai akibat abrasi yang terjadi di pesisir kota medan di Sicanang Belawan tidak begitu berpengaruh terhadap kerusakan mangrove. Namun disisi lain, faktor sosial ekonomi masyarakat justru yang lebih dominan mempengaruhi kerusakan kawasan hutan mangrove.
3. Jenis mangrove yang dominan dan sesuai untuk menahan abrasi adalah jenis Rhizophora spp. Di karenakan bahwa Rhizophora spp memiliki struktur akar tunjang (stilt roots) yang mampu menangkap sedimen dan kokoh sehingga banyak ditanam dalam kegiatan restorasi hutan mangrove sebagai pelindung garis pantai dari gelombang air laut.
Saran
Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan software sebaiknya lebih memperhatikan kualitas software yang digunakan, agar tidak terjadi kerusakan data saat pengerjaan pembuatan data hasil penelitian. Sehingga tingkat galat pada hasil penelitian dapat di minimalisir.
(54)
DAFTAR PUSTAKA
Begen, D. G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Begen, D. G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 2000. Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove 7 (Tujuh) Propinsi (Sumatera Barat, Bengkulu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas ISSN: 1412-033 X. Volume VII, Nomor I. Halaman: 67-72. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung (UNILA). Bandar Lampung.
Heroldson, F. N. 2012. Komposisi Dan Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Didesa Kumu Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasasa.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta
Katili, A. S. 2009. Penurunan Jasa (Servis) Ekosistem Sebagai Pemicu Meningkatnya Perubahan Iklim Global. Jurnal Pelangi Ilmu. Vol. I : 1 – 11. Surabaya.
Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove, Makalah Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I PKSPL.Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1990. Remote sensing and image interpretation. (Alih Bahasa Dulbahri et al.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mayudin, A. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove Menjadi
Lahan Tambak Di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.
(55)
Nontji , A. 1987. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Kondisi Kritis Hutan Mangrove di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Kelautan Volume II No.II Oktober 2009. Bogor.
Noor, Y., R. Khazali, M. Suryadiputra, I. N. N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands Intermational-Indonesia Programme. Bogor.
Noor, Y. R. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor.
Pariyono, 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Wilayah Pantai di Desa Panggung Bulakbaru , Tanggultlare, Kabupaten Jepara. [Tesis]. Magister Manajemen Sumber Daya Pantai Universitas Diponegoro. Semarang.
Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove Dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai Fauna Aquatik. Jurnal ISSN 0216-1877. Oseana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001:13 – 23. Balai Litbang Biologi Laut, Puslit Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Pranoto, S. 2007. Prediksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Model Genesis dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13, No.3 – Juli 2007, ISSN 0854-4549.
Prianto, E., R. Jhomson, R. Fahmi, T. Hamdi, dan Miswadi. 2006. Keanekaragaman Hayati dan Struktur Ekologi Mangrove Dewasa di Kawasan Pesisir Kota Dumai - Propinsi Riau. Biodiversitas ISSN: 1412-033X. Volume 7, Nomor 4 Oktober 2006 Halaman: 327-332. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekan Baru.
Resmi, C., Sarwono, R. Hantoro. 2011. Studi Eksperimental Sistem Pembangkit Listrik pada Vertical Axis Wind Turbine (vawt) Skala Kecil. Teknik Fisika FTI ITS. Surabaya
Salam, A. dan Rachman, A. 1994. Peran Biologi Umum dalam Bidang Ilmu Kelautan Untuk Perguruan Tinggi Negeri Kawasan Timur Indonesia. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Saskiartono, O. 2008. Penataan Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. J. Perencanaan IPTEK, 6(2) : 28 – 35. Surabaya.
Satriono, A. 2007. Praktikum Biologi Laut Profil Mangrove Taman Nasional Baluran. Biodiversitas ISSN: 1412-033 X. Volume 8, Nomor 2. Halaman: 61 – 67. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mataram (UNRAM), Mataram.
Setyawan, A. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies, dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Surakarta : Kelompok Kerja Biodiversitas Jurusan Biologi Fakultas
(56)
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sihombing, B. 1995. Analisa Degradasi Tegakan pada Kawasan Hutan Lindung Wosi Rendani Manokwari. FAPERTA UNCEN. Manokwari.
Small, J. dan M. Witherick. 1986. A Modern Dictionary of Geography . Edward Arnold Publishers Ltd. London.
Sutikno. 1993. Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil Dalam Perspektif Geografis. Proc. Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil Dalam Konteks Negara Kepulauan. Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Sutikno. 2003. Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil Dalam Perspektif Geografis. Proc. Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil Dalam Konteks Negara Kepulauan. Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Suwondo, dkk. 2005. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatra Barat. Laboratorium Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru. Jurnal Biogenesis, Vol. 2. hal. 25-29.
Tarigan, M. S. 2007. Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane. Makara Sains. Banten.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.
Utina, R. 2008. Pendidikan Lingkungan Hidup dan Konservasi Sumberdaya Alam Pesisir. UNG-Press. Gorontalo.
Zamroni, Y. dan S. R. Immy. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas ISSN: 1412-033 X. Volume 9, Nomor 4. Halaman: 284-287. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mataram (UNRAM). Mataram.
(57)
Lampiran 1. Gambar Alat dan Bahan
Refraktometer Termometer
‘
pHmeter Software ER Mapper
(58)
Lampiran 2. Gambar Lokasi Penelitian
1. Konversi lahan mangrove menjadi areal tambak
(59)
Lampiran 2. Lanjutan
(60)
Lampiran 3. Lanjutan
(61)
Lampiran 3. Data Perhitungan Total Nilai Skoring
Faktor Fisik Lingkungan
TNS = (pa x 20) + (a x 45) + (sl x 35) dimana :
TNS = Total Nilai Skoring pa = Pencemaran air a = Abrasi
sl = Stress lingkungan
TNS = (1 x 20) + (2 x 45) + (1 x 35) TNS = 20 + 90 + 35 = 145
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Nilai 100 – 155 : faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
2. Nilai 156 – 200 : faktor fisik lingkungan berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
3. Nilai 201 – 300 : faktor fisik lingkungan sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
Maka dapat disimpulkan bahwa faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove.
Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat
TNS = (mp x 40) + (llu x 30) + (pl x 20) + (phm x 10) dimana :
TNS = Total nilai skoring mp = Mata pencaharian utama llu = Lokasi lahan usaha pl = Pemanfaatan lahan
(62)
Lampiran 3. Lanjutan
TNS = (3 x 40) + (1 x 30) + (2 x 20) + (3 x 10) TNS = 120 + 30 + 40 + 30 = 220
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Nilai 100 – 160 : faktor sosial ekonomi kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
2. Nilai 161 – 200 : faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
3. Nilai 201 – 300 : faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
Maka dapat disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
(63)
Lampiran 4. Kuisioner Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Belawan
Nama Responden : Agama :
Umur :
Jenis kelamin: Suku :
Pendidikan Akhir : Pekerjaan :
Pertanyaan
1. Sudah berapa lama Bapak/Ibu tinggal di Kampung ini?
2. Bagaimana pemanfaatan hutan Mangrove oleh bapak / ibu? Dijual atau dikonsumsi sendiri?
3. Pekerjaan yang paling dominan atau paling banyak di tekuni masyarakat di wilayah sekitar pesisir?
4. Jenis kayu (jenis mangrove) apa yang sering diambil?
5. Apakah ada pembukaan areal di sini? Bila ada industri atau areal usaha apa yang dibuka?
6. Apakah ada usaha yang dilakukan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan? Misalnya menanam pohon atau menebang pohon atau membudidayakan hasil laut pada kawasan hutan mangrove?
7. Sejak bapak / ibu tinggal pertama kali disini, kira kira sudah sejauh mana perubahan garis pantai ke daratan? Atau apakah ada perubahan semakin dekatnya air laut ke pemukiman?
(64)
Lampiran 5. Kepadatan penduduk berdasarkan kelurahan di kecamatan Medan Belawan (Badan Pusat Statistik kota Medan, 2013)
Kelurahan Banyaknya Rata – Rata
Anggota Rumah Tangga Rumah Tangga Penduduk
(jiwa)
Belawan Pulau Sicanang 3299 14816 4
Belawan Bahagia 2661 11985 5
Belawan Bahari 2676 12092 5
Belawan II 4828 21072 4
Bagan Deli 3356 15987 5
Belawan I 4469 20328 5
(1)
(2)
Lampiran 3. Lanjutan
(3)
Faktor Fisik Lingkungan
TNS = (pa x 20) + (a x 45) + (sl x 35) dimana :
TNS = Total Nilai Skoring pa = Pencemaran air a = Abrasi
sl = Stress lingkungan
TNS = (1 x 20) + (2 x 45) + (1 x 35) TNS = 20 + 90 + 35 = 145
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Nilai 100 – 155 : faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
2. Nilai 156 – 200 : faktor fisik lingkungan berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
3. Nilai 201 – 300 : faktor fisik lingkungan sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
Maka dapat disimpulkan bahwa faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove.
Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat
TNS = (mp x 40) + (llu x 30) + (pl x 20) + (phm x 10) dimana :
TNS = Total nilai skoring mp = Mata pencaharian utama llu = Lokasi lahan usaha pl = Pemanfaatan lahan
(4)
Lampiran 3. Lanjutan
TNS = (3 x 40) + (1 x 30) + (2 x 20) + (3 x 10) TNS = 120 + 30 + 40 + 30 = 220
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Nilai 100 – 160 : faktor sosial ekonomi kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
2. Nilai 161 – 200 : faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
3. Nilai 201 – 300 : faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
Maka dapat disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove
(5)
Nama Responden : Agama :
Umur :
Jenis kelamin: Suku :
Pendidikan Akhir : Pekerjaan :
Pertanyaan
1. Sudah berapa lama Bapak/Ibu tinggal di Kampung ini?
2. Bagaimana pemanfaatan hutan Mangrove oleh bapak / ibu? Dijual atau dikonsumsi sendiri?
3. Pekerjaan yang paling dominan atau paling banyak di tekuni masyarakat di wilayah sekitar pesisir?
4. Jenis kayu (jenis mangrove) apa yang sering diambil?
5. Apakah ada pembukaan areal di sini? Bila ada industri atau areal usaha apa yang dibuka?
6. Apakah ada usaha yang dilakukan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan? Misalnya menanam pohon atau menebang pohon atau membudidayakan hasil laut pada kawasan hutan mangrove?
7. Sejak bapak / ibu tinggal pertama kali disini, kira kira sudah sejauh mana perubahan garis pantai ke daratan? Atau apakah ada perubahan semakin dekatnya air laut ke pemukiman?
(6)
Lampiran 5. Kepadatan penduduk berdasarkan kelurahan di kecamatan Medan Belawan (Badan Pusat Statistik kota Medan, 2013)
Kelurahan Banyaknya Rata – Rata
Anggota Rumah Tangga Rumah Tangga Penduduk
(jiwa)
Belawan Pulau Sicanang 3299 14816 4
Belawan Bahagia 2661 11985 5
Belawan Bahari 2676 12092 5
Belawan II 4828 21072 4
Bagan Deli 3356 15987 5
Belawan I 4469 20328 5