Pendidikan Karakter Melalui Olahraga dalam Perspektif Sejarah

1995: 3. Posisi penting yang menjadi pegangan berikutnya adalah teori social- cognitive, yang menekankan model kausalitas, hubungan timbal balik antara perilaku manusia, faktor kognisi dan personal lainnya, dan kejadian di lingkungan.

3. Pendidikan Karakter Melalui Olahraga dalam Perspektif Sejarah

Ungkapan tentang olahraga sebagai wahana pembentukan karakter pada masa kini dapat dirunut ke latar belakang sejarah. Perkembangan olahraga modern sebagai entitas global memiliki kaitan yang kompleks dengan pendidikan, ungkap Rees dan Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:277 dalam pembukaan artikelnya yang berjudul Education and Sports. Terdapat kesepahaman di kalangan sarjana olahraga misalnya, Dunning, 1971; Gutmann, 1994; Mangan, 1981 bahwa pemanfaatan olahraga sebagai alat pembentukan watak bermula di sekolah “pemerintah” sebenarnya di asrama sekolah swasta di Inggris, tepatnya pada pertengahan abad ke-19. Di situlah olahraga beregu pertama dibina sebagai alat pendidikan untuk membina kebajikan Mangan, 1981; Shields Bredemeier, 1995: 176; Rees Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:277. Olahraga seperti kriket dan rugby dibina dengan maksud untuk “ . . . to teach “manly” characteristic such as group loyality, physical toughness and self reliance.” Rees Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:277. Istilah “manly” di sini menunjuk kepada sifat kelaki- lakian, dan menurut Mangan 1981 yang dikutip Rees dan Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:278 kegiatan itu dilakukan setiap hari, tetapi biasanya tiga kali seminggu. Praktik pembinaan itu sangat popular pada tahun 1880-an, dimaksudkan sebagai bagian dari kehidupan Spartan di asrama, membina anak laki-laki untuk memikirkan dirinya sebagai orang-orang elit di masyarakat dan menyiapkan mereka menerima kepemimpinan di dalam dan di luar negeri. Menurut catatan Mangan 1981; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:278, program pembinaan tersebut menjadi bagian dari gerakan “Muscular Christianity yang intinya menegaskan bahwa menjadi kewajiban kaum gentleman Inggris “ . .. to help civilize what they perceive to be “less” fortunate” races which become part of the expanding British Empire.” Orang Inggris berkewajiban untuk memberadabkan ras yang “tidak beruntung” agar menjadi bagian Inggris Raya. Istilah “tidak beruntung” di sini sekadar penghalusan ungkapan “tidak beradab.” Program pembinaan olahraga sebagai alat pembentukan watak itu selanjutnya mengandung motif politik untuk mendukung kepentingan Inggris di negara-negara jajahannya, yakni membekali pemuda Inggris dengan sifat-sifat tangguh seperti “percaya diri, determinisme, kekuatan fisik dan mental, dan keberanian guna memberdayakan mereka menjadi tentara, administrator dan misionaris di negara-negara koloni” Shields Bredemeier, 1995: 176. Gerakan Muscular Christianity jadi popular dalam novel Charles Kingsley, dan khususnya dalam Tom Crown’s Schoolday, karangan Thomas Hughes, yang memperkuat mitos tentang ide bahwa “olahraga membentuk karakter ” Rees Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:278. Penelusuran benang merah dalam literatur, bagaimana kaitan antara olahraga dan pendidikan watak, dalam konteks kemasyarakatan Indonesia cukup sulit karena terbatasnya sumber-sumber yang ditulis secara cermat dan sungguh- sungguh oleh sarjana olahraga Indonesia. Namun dalam dokumen terpisah-pisah dapat dijumpai informasi. Pertama, dikembangkannya olahraga modern dengan mengadopsi olahraga Barat yang diperkenalkan oleh para penjajah dalam hal ini Inggris dan Belanda tiada lain merupakan “alat” perjuangan untuk menuju masyarakat modern. Dalam kaitan ini Collin Brown 2006:433 menjelaskan partisipasi dalam olahraga Barat itu merupakan “ . . . symbolic of the breaking of ties with traditional society, and adopting the individualistic, egalitarian norms of the modernizing world; it was in many respects a quasy-revolutionary act.” Status dalam olahraga benar-benar pada perorangan, bukan karena hubungan kerabat, sebab prestasi secara transparan dicapai oleh jerih payah pribadi, bukan karena keberpihakan siapa-siapa. Berdasarkan ciri ini De Wachter 2001 yang disitir kembali oleh Brown 2006: 432 menyebutkan olahraga modern adalah “a mirror of modernity”—cermin dari modernitas. Dengan mengadopsi olahraga Barat yang terjadi adalah semacam revolusi dalam perbuatan, karena secara simbolik seseorang melepaskan dirinya dari ikatan tradisional, mengadopsi nilai individualistik, dan norma egaliter yang dicirikan oleh dunia modern. Kedua, praktik pembinaan olahraga di Indonesia pada awal revolusi ditandai oleh motif, olahraga sebagai bagian dari kebangkitan bangsa. Sangat kentara motif ini setelah pasca revolusi, ketika mulai digulirkan Pekan Olahraga Nasional. Tokoh sentral Bung Karno, tidak diragukan, memposisi olahraga dalam visi “character and nation building dan gerakan olahraga merupakan bagian revolusi nasional Rusli Lutan, 2005:414. Di bagian lain Rusli Lutan menuturkan bahwa perkembangan olahraga ketika mencapai puncaknya dalam era Soekarno awal tahun 1960-an didorong oleh motif politik, pengungkapan nasionalisme, dan lebih tegas lagi dalam rangka membangun Indonesia baru melalui tesisnya yang terkenal: menjebol dan membangun. Sasaran utama Soekarno, melalui olahraga adalah untuk membentuk self-esteem bangsa, yang dikonsepsikannya sebagai “Indonesia Baru” dalam pengertian ras dan anthropologi, yang berdiri tegak secara fisik dan mental. Soekarno menegaskan: “Kita ingin menjadi Indonesia baru yang berani melihat dunia dengan jiwa terbuka, percaya diri dan kuat jasmani dan rokhani.” Rusli Lutan, 2005: 416 Ungkapan politis seperti itu sebenarnya bukanlah baru, karena sejak PON diselenggarakan misalnya, dalam setiap sambutannya di depan publik Bung Karno selalu memfokuskan perhatian pada kemerdekaan, Indonesia memerintah dirinya sendiri dan juga tentang hormat diri bangsa. Tujuan nasional Indonesia, kata Soekarno adalah untuk membentuk kehidupan bangsa sesuai dengan prinsip Pancasila. Senafas dengan tujuan ini dalam pidatonya yang ditulis tangan Djakarta 1 Djanuari 1954 antara lain beliau mengomentari keikutsertaan para atlet dalam PON yang meningkat dari PON ke PON: “Apakah ini berarti kenaikan minat-sport sadja? Ja. Tetapi djuga lebih dari itu. Ini berarti pula bahwa di kalangan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi kita tidak pernah luntur trisumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu. Bahkan dengan sport dapatlah kesetiaan kepada trisumpah itu dipupuk-dihidupkan” Dikutip di sini sesuai dengan ejaan aslinya. Jarang kita mendengar fikiran tokoh lainnya tentang olahraga. Hatta sebagai wakil presiden mengutarakan buah pendapatnya dengan gaya yang berbeda. Bila Soekarno singkat, lugas, sederhana tetapi membakar semangat. Hatta menulis dalam paparan lebih akademis dalam ungkapan campur-campur bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Tetapi benang merah yang paling menarik, yang didokumentasikan dalam Laporan resmi 1954 beliau menegaskan pentingnya “sporting spirit” , penyempurnaan “karakter olahraga” Atmosantoso, 1951; dalam Collin Brown 2006: 435. Hatta menekankan bahwa spirit keolahragaan itu penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Menurut versi bahasa Inggris aslinya bahasa Indonesia, yang disajikan kembali oleh Collin Brown, motif berolahraga yang bernuansa politis sebagai berikut. This sporting spirit must give life to our developing democracy and to the achievement of social justice in the Indonesian community. Through sport we can teach our people that they should be prepared to accept constructive criticism and opinions [of others] which are better than their own; teach them to value opinions which differ from their own. Only through competition of ideas and the testing of opinions, and through hard work, can our nation speed up the achievement of national development. Pemikiran Hatta tersebut di atas menekankan peranan olahraga sebagai alat pendidikan dan pembinaan watak; pemikiran Hatta bersifat didaktik.

B. Masalah Penelitian.