Olahraga dan Pendidikan Karakter

berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup pancasila, 2 memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut serta dalam pembangunan bangsa, 3 memilih budaya bangsa sendiri, dan menyaring budaya asing yang tidak relevan Winataputra Saripudin, 2011; dalam Budimansyah Komalasari, 2011:13.

2. Olahraga dan Pendidikan Karakter

Bangkitnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan watak terkait dengan perlunya seleksi terhadap nilai budaya yang berasal dari luar terdorong oleh aneka masalah dan tantangan yang dianggap sudah mengancam eksistensi bangsa. Fungsi penyaringan, salah satu di antara tiga fungsi yang tercantum dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Bangsa UU RI, 2011, menandaskan, pembangunan karakter bangsa berfungsi untuk memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Ancaman itu sesungguhnya tidak semata-mata soal kekerasan dan penyimpangan perilaku serta perbuatan amoral yang sudah merebak di masyarakat, tetapi lebih mendalam lagi yakni munculnya perilaku kolektif yang kian merongrong ketenangan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rongrongan itu berupa “isme” baru seperti “terorisme,” yang menyebarkan ketakutan dan sikap tidak toleran dalam perbedaan; vulgarisme semacam keterbukaan, keterusterangan, yang mungkin diakibatkan oleh ekses reformasi dan perubahan drastis menuju kehidupan demokrasi yang lebih mementingkan hak individu ketimbang tanggung jawab. Segala sesuatu dianggap boleh dibuka atau dibicarakan secara “blak-blakan”, yang mestinya tidak semua perlu diketahui oleh khalayak umum. Semuanya seolah-olah sudah pantas masuk ke dalam “public shere”, ruang publik dalam makna bukan fisikal, sehingga orang tidak lagi merasa malu atau risi bila misalnya terungkap terlibat korupsi, perbuatan asusila atau masalah-masalah keluarga yang tidak senonoh. Akar masalah itu semuanya dapat dikembalikan pada isu moral, keputusan moral, yang pada gilirannya menyangkut karakter. Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, olahraga mencerminkan nilai yang juga sebagai komponen budaya. Olahraga, seperti penjelasan Shields dan Bredemeier 1995: 1 merupakan “ . . . a highly symbolic and condensed medium for cultural values, a vehicle by which many young people come to learn about the core value of their culture.” Kata kunci dalam ungkapan tersebut adalah “highly symbolic” dan “core values”. Olahraga dianggap sebagai pengejawantahan cara hidup nyata, dan wahana bagi anak muda untuk belajar nilai-nilai inti. Karena itu Riysdorp, mantan dosen Akademi Pendidikan Jasmani Bandung tahun 1950-an, sebagai ketua ICHPERSD, ketika membuka konferensi ICHPERSD di Bali tahun 1975 mengatakan bahwa konsep olahraga yang dianut oleh bangsa Indonesia sangat tepat Rusli Lutan 2001. Olahraga, kata Riysdorp, terdiri dari dua kata, “olah” dan “raga”. Olah, seperti lazim digunakan untuk menyebut proses mengolah tanah dalam pertanian, atau mengolah bahan makanan sehingga menjadi lezat, begitu dekat dengan kata “cultivization” dalam bahasa Inggris, yang maknanya dekat sekali dengan makna kata “education” yang diterjemah ke dalam bahasa Indonesia, pendidikan. Selanjutnya kata raga lebih menunjuk kepada makna luas, kesatuan jiwa dan raga, yang bersandar pada filsafat monism. Karena itu di bagian lain Risydorp menjelaskan misi pendidikan jasmani merupakan proses pembinaan dan sekaligus pembentukan yang diungkapkannya dalam istilah forming. Implikasi dari pandangan tersebut adalah sering dijumpai pengertian pendidikan sebagai proses pengalihan nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda. Dalam pembahasannya tentang landasan budaya pendidikan, Pai 1990: 4 menjelaskan, dari perspektif budaya pendidikan itu dapat ditilik sebagai “ . . . a deliberate mean by which each society attempts to transmit and perpetuate its notion of good life, which is derived from the society’s fundamental beliefs concerning the nature of the world, knowledge, and values.” Upaya sadar dan sengaja serta bertujuan itu dimaksudkan untuk mengalihkan dan sekaligus menanamkan makna hidup yang baik, yang diangkat dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang sangat mendasar tentang hakikat dunia, pengetahuan dan nilai. Kendati banyak definisi tentang pendidikan. Sesuai dengan sudut pandang masing-masing, tetapi para ahli pendidikan sering menggunakan istilah pendidikan sebagai proses akulturalisasi, seperti juga diungkap kembali oleh Somantri 2011; Budimansyah Kumalasari Edt., 2011:1: “Dalam dunia pendidikan, proses akulturalisasi dan perubahan perilaku bangsa menjadikan masyarakat memasuki complex adaptive system.” Memang ada persoalan, jika yang dimaksud dengan akulturalisasi itu semata-mata dalam pengertian hanya mengalihkan nilai, pengetahuan atau kearifan masa lalu yang dikemas dalam pengalaman belajar yang bermakna— meaningful experience meminjam istilah yang dikembangkan oleh Dewey dalam naskah klasik, John Dewey and Experience 1938, tentang filsafat pengalaman, sebab tidak semua pengalaman itu mengandung nilai pendidikan. Jika semata- mata proses akulturalisasi maka yang terjadi, menurut Dewey yakni kegiatan utama lembaga pendidikan formal, dalam hal ini persekolahan, adalah mengalihkan kepada generasi muda “ . . . the bodies of information and of skill that have been worked out in the past.” Hal-hal masa lalu digunakan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi masa yang akan datang. Untuk keluar dari kesulitan ini, terbantu oleh penjelasan padat Somantri Budimansyah Komalasari, 2011:1 yang menyatakan “ . . . menjadikan masyarakat memasuki complex adaptive system.” Dalam pernyataan ini tersirat makna pendidikan itu adalah untuk meningkatkan kapasitas peserta didik, ungkapan dalam nuansa teori konstruktivisme, yang pada intinya, menurut paparan Rovegino dan Dolly dalam naskahnya Constructivist Perspective on Learning dalam Kirk, et,al Edt, 2006 menekankan pentingnya proses ajar yang memungkinkan meningkatnya kemampuan peserta didik untuk menumbuhkembangkan sendiri pengetahuan terkait dengan pengetahuan terdahulu. Kualitas ini diperlukan karena dibutuhkannya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serba baru yang berubah-ubah cepat dan tidak menentu. Persoalan yang menarik adalah, bila pendidikan jasmani khususnya dan olahraga pada umumnya dipandang mengandung potensi pendidikan, dan merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya, sejauh mana olahraga itu dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberi arah bagi perkembangan dan perubahan sosial? Sejauh mana olahraga berpengaruh terhadap pembentukan watak atau karakter? Untuk menjawab isu itu beberapa asumsi diajukan oleh para ahli pendukung olahraga sebagai alat pembentukan karakter. Terlepas dari kekurangan yang ada yang sering ditampilkan oleh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, Shields dan Bredemeier 1995: 2 mengatakan bahwa “sport is at once a mirror and molder of social values; it reflects society’s potentials and limitations.” Dengan kata lain, olahraga merupakan cermin dan sekaligus wadah penjabaran nilai sosial; olahraga itu sekaligus mencerminkan potensi dan kelemahan masyarakat. Namun di bagian lain, Shields dan Bredemeier 1995:2 mengungkapkan bahwa “. . . sport is replete with opportunities to encounter, learn, transform, and enact moral values.” Begitu melimpah kesempatan untuk langsung mengalami, belajar dan mengalihkan nilai moral dalam olahraga. Selanjutnya dijelaskan bahwa begitu sering terjadi konflik moral dalam olahraga, seperti “the norm of fair play” dan “the desire to win”. Atas dasar alasan itulah, seperti pendapat Brickman 1977 dan Mark, Briant dan Lehman, 1983, yang dirangkum oleh Shields dan Bredemeier 1995: 2 yaitu “Sport may be an ideal setting for introducing children to conventional moral thinking. Some have ever suggested that society could benefit from emulating sport’s predominantly equity- based justice system.” Dikatakan ideal, karena dalam olahraga itu di antaranya diperagakan nilai inti yaitu sistem keadilan berlandaskan kesetaraan. Setelah dicermati paparan di atas, maka perlu menegaskan posisi. Pertama, sudah waktunya profesi pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia mengambil peranan ikut serta peduli untuk melaksanakan pendidikan karakter. Kecenderungan ini juga pernah disuarakan di AS, seperti dalam paparan Park 1983; dalam Shields Bredemeier, 1995:2: “ . . . moral development as one of the most important social issues facing contemporary physical education.” Kedua, terkait dengan ide itu, dibutuhkan landasan filosofi, berkenaan dengan psikologi moral, yakni perlu dihapus pandangan dualisme jiwa-raga. Dalam kaitan ini kita sepaham dengan teori klasik Piaget yang menegaskan bahwa “ . . . children’s physical play to be the foundation for every cognitive advance, from quantum physic to interpersonal morality.” Piaget menekankan pentingnya aktivitas jasmani bagi anak karena penting bagi perkembangan kemampuan kogntif dan moral. Karena itu implikasi penting adalah perlunya diberikan kesempatan seluas mungkin bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungannya melalui kegiatan bermain dan aktivitas jasmani yang sehat dan aman. Kemalasan dalam segala bentuknya dan hilangnya fitrah anak sebagai “mahluk bermain” merupakan bagian dari ancaman yang nyata kita hadapi karena menghambat perkembangan anak secara menyeluruh. Ketiga, perlu dihapus pandangan dikhotomi individu dan masyarakat. Dalam konteks perkembangan moral, prosesnya tidak terlepas dari lingkungan. Pada awalnya Kohlberg, dalam pengembangan teori moral terfokus pada “individual moral reasoning”, pertimbangan moral secara individual. Baru akhir- akhir ini para sarjana mulai secara seksama mencermati “ . . . how social interaction and social context affect morality” Kurtines Gewirtz, 1987, 1991 a, 1991b, 1991c; Lind, Hartmann, Wakenhut, 1985; dalam Shields Bredemeier 1995: 3. Posisi penting yang menjadi pegangan berikutnya adalah teori social- cognitive, yang menekankan model kausalitas, hubungan timbal balik antara perilaku manusia, faktor kognisi dan personal lainnya, dan kejadian di lingkungan.

3. Pendidikan Karakter Melalui Olahraga dalam Perspektif Sejarah