Pengaruh Konsentrasi BA dan NAA Tahap Multiplikasi secara In Vitro terhadap Keberhasilan Aklimatisasi Nenas (Ananas comosus(L)Merr) Kulitivar Smooth Cayenne [Publikasi]

Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2010
PENGARUH KONSENTRASI BA DAN NAA PADA TAHAP MULTIPLIKASI SECARA IN VITRO TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI NENAS (Ananas comosus (L) Merr) KULTIVAR SMOOTH CAYENNE
The Effect of Cytokinin and Auxin Treatment in the Multiplication Through in vitro Phase to Acclimatization of Pineapple
(Ananas comosus (L) Merr.) cv. Smooth Cayenne
Esto Bayu Suhentaka1 dan Sobir2
Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura
2
Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura
1

Abstract
The mass propagation of pineapple are hampered by low multiplication rate in natural way, therefore in vitro propagation
is an alternative to overcome mass production. To support mass propagation then we need the best acclimatization way, to
support multiplication phase to achieved the highest mass propagation rate. The objective of this research was to elucidate the
effect of Cytokinin (BA) and Auxin (NAA) that had been applied during multiplication of subculture 1 and subculture 2 through in
vitro phase to acclimatization of pineapple (Ananas comosus L. Merr). This research was conducted in greenhouse laboratory at
Center for Tropical Fruits Studies, IPB Baranangsiang, Bogor, since July until November 2006. This research used 20
combination of treatment from two factors. The first factor was 0,00μM, 4,40μM, 8,80μM, 13,32μM, and 17,76μM of BA, and the
second factor was 0,00μM, 0,50μM, 1,00μM, 2,00μM of NAA. The result showed that treatment of 17,76μM BA and 2,00μM NAA,
and its interactions have the highest score for subculture 1. The result of 2,00μM NAA showed the highest performance for

subculture 2. Overall performance showed that subculture 1 has better growth rate than subculture 2.
Key word: acclimatization, pineapple,

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan nanas di Indonesia belum dilakukan
secara serius, tercermin dari luas panen dan produksi yang
berfluktuasi (Gambar 1). Meningkatnya luas panen dari
tahun ke tahun menunjukkan nanas semakin diminati oleh
petani. Luas panen yang semakin meningkat ternyata tidak
diimbangi dengan produksi yang meningkat pula.

Gambar 1.

Grafik Produksi dan Luas Panen Nanas Tahun 2000 - 2008.
(Sumber: FAO 2009)

Meningkatnya luas panen menunjukkan bahwa nanas
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Nilai ekonomi yang
tinggi ini tidak terlepas dari manfaat nanas yang cukup

beragam. Bagi kesehatan tubuh, nanas dapat digunakan
dalam penyembuhan penyakit seperti sembelit dan gangguan
saluran kencing. Penyakit kulit seperti gatal-gatal dan kudis
pun dapat diobati dengan diolesi sari buah nanas. Selain itu
setiap 100 gram nanas dapat memenuhi 24% kebutuhan
vitamin C sehari. Vitamin A yang terkandung dalam 100
gram nanas juga cukup tinggi yaitu sekitar 10 – 39%
kebutuhan vitamin A sehari (Prahasta 2009).

Sebagai produsen nanas terbesar ketiga setelah
Thailand dan Brazil, produksi nanas nasional tentu menjadi
komoditi ekspor yang sangat menjanjikan (FAO 2009). Data
Departemen Pertanian pada tahun 2009 disebutkan bahwa
nanas menempati urutan pertama ekspor komoditas buah di
Indonesia dengan volume ekspor sebesar ±148,000 ton
dengan nilai hampir $90 juta pada 2003. Volume ekspor
meningkat menjadi ±269,000 ton pada 2008 dengan nilai
tidak kurang dari $200 juta.
Potensi ekonomi yang begitu besar membutuhkan
bibit bermutu dalam jumlah besar. Teknik perbanyakan yang

dilakukan saat ini masih banyak bersifat tradisional yaitu
dengan perbanyakan secara vegetatif. Perbanyakan dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman yang tumbuh secara
alami membutuhkan waktu lama, jumlah bibit yang
dihasilkan sedikit dan tidak seragam.
Perbanyakan vegetatif nanas menghasilkan bibit dari
mahkota bunga, tunas batang dan tunas akar. Bibit ini
apabila ditanam di lapang akan dapat dipanen pada saat
berumur 12 – 24 bulan. Bibit yang berasal dari mahkota
buah dapat dipanen setelah 24 bulan, bibit yang berasal dari
tunas batang dapat dipanen setelah 18 bulan, dan bibit yang
berasal dari tunas akar dapat dipanen setelah berumur 12
bulan (Prahasta 2009).
Kualitas bibit yang baik ditentukan dari keseragaman
tanaman, daya tumbuh yang baik, serta bebas dari hama dan
penyakit. Untuk mencapai hasil produksi yang optimal,
dibutuhkan sekitar setidaknya 40,000 bibit per hektar
(Chanda et al. 1974). Sebuah studi di India menunjukkan
bahwa penanaman 63,758 bibit dalam satu hektar yang
didukung oleh pengelolaan lahan yang baik dapat

meningkatkan produktivitas dari 15 – 20 ton per hektar
hingga 70 – 80 ton per hektar (Saxena dan Dhawan 2004).
Kebutuhan bibit nanas yang cukup tinggi
membutuhkan
upaya
perbanyakan
yang
mampu
menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu yang
relatif singkat. Keseragaman bibit juga sangat penting
karena dapat menentukan hasil produksi. Perbanyakan

melalui kultur jaringan merupakan salah satu solusi yang
dilakukan.
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik untuk
menumbuhkan atau memperbanyak sel, jaringan, dan organ
dalam media padat atau cair di bawah kondisi aseptik dan
terkontrol. Kultur jaringan yang baik ditentukan oleh tiga
tahap yaitu perkembangan dalam kondisi aseptik yang baik,
multiplikasi propagula dengan cepat, dan pemindahan

planlet ke lapang (Murashige 1974). Teknik ini dapat
digunakan untuk mendapatkan bibit yang banyak dalam
waktu yang lebih singkat.
Kondisi aseptik yang baik dapat dicapai dengan
sterilisasi alat dan media kultur yang baik. Multiplikasi
propagula dengan cepat dapat diinisiasi oleh penambahan
zat pengatur tumbuh seperti auksin dan sitokinin.
Pemindahan planlet ke lapang dapat disebut juga tahap
aklimatisasi (Hartmann dan Kester 1978).
Auksin terlibat dalam banyak proses fisiologi dalam
tumbuhan antara lain perpanjangan sel, fototropisme,
geotropisme, dominasi apikal. Perpanjangan sel merupakan
proses perkembangan perkembangan sel. Fototropisme
merupakan respon tanaman terhadap sinar, yang
menyebabkan tanaman cenderung membengkok ke arah
datangnya sinar. Geotropisme merupakan respon tanaman
terhadap gaya gravitasi, biasanya berkaitan dengan
pertumbuhan
akar.
Dominasi

apikal
merupakan
pertumbuhan tunas lateral (Abidin 1993).
Sitokinin digunakan dalam kultur jaringan untuk
mendapatkan tingkat multiplikasi yang tinggi, karena
sitokinin mempunyai peranan dalam pembelahan sel dan
perkembangbiakan tunas aksilar. Kombinasi auksin dan
sitokinin biasa digunakan karena dapat meningkatkan laju
multiplikasi (Kyte 1990).
Aklimatisasi merupakan langkah akhir dari teknik
kultur jaringan. Aklimatisasi
adalah suatu upaya
mengondisikan planlet hasil perbanyakan in vitro dengan
kelembaban tinggi dan heterotrof, untuk dapat tumbuh di
lingkungan ex vitro dengan kelembaban rendah dan autotrof
(Zulkarnain 2009).
Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam
kultur jaringan, sehingga pengaruh penggunaan zat pengatur
tumbuh pada tahap in vitro masih perlu dipelajari.
Keberhasilan proses ini dapat mendukung pengembangan

pertanian.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan BA dan NAA pada tahap multiplikasi nanas pada
sub kultur I dan sub kultur II secara in vitro terhadap
pertumbuhan planlet pada tahap aklimatisasi.
Hipotesis
Pengaruh BA, NAA, dan interaksinya pada tahap
multiplikasi secara in vitro sub kultur I dan sub kultur II
berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet nanas pada tahap
aklimatisasi.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur
Jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dimulai bulan Juli hingga November 2006.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman

nenas hasil multiplikasi secara in vitro, yang telah diberi
perlakuan ZPT. Untuk media tanam aklimatisasi digunakan
pasir dan kompos dengan perbandingan 1:3.
Peralatan yang digunakan adalah pinset, kertas label,
spidol, pensil, gunting, paku, penggaris, dan gelas aqua.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor
pertama adalah BA dengan 5 taraf yang meliputi 0.00 �M,
4,40 μM, 8,80 μM, 13,32 μM dan 17,76 μM. Faktor kedua
adalah NAA dengan 4 taraf yang meliputi 0,00 μM, 0,50
μM, 1,00 μM dan 2,00 μM. Terdapat 20 kombinasi
perlakuan dengan 6 kelompok yang diulang sebanyak 3 kali
pada aklimatisasi hasil subkultur pertama dan subkultur
kedua, sehingga keseluruhan terdapat 720 unit percobaan.
Model statistika yang digunakan dalam rancangan
tersebut adalah:
Yijk = μ + αi + βj + δk + (αβ)ij + Eijk
Keterangan:
Yijk : Nilai pengamatan karena ada pengaruh faktor α ke-i

dan faktor β ke-j pada kelompok ke-k.
μ
: Nilai tengah pengamatan.
: Pengaruh perlakuan sitokinin ke-i.
αi
: Pengaruh perlakuan auksin ke-j.
βj
: Pengaruh kelompok ke-k
δk
(αβ)ij : Pengaruh interaksi antara perlakuan sitokinin ke-i
dan auksin ke-j.
: Galat dari pengaruh perlakuan.
Eijk
i
: 1, 2, 3, 4, 5
j: 1, 2, 3, 4
k
: 1, 2, 3, 4, 5, 6
Data yang diperoleh akan dianalisa dengan uji F. Jika
berbeda nyata maka akan dilakukan uji lanjut dengan uji

DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.
Pelaksanaan
Pelaksanaan percobaan ini dimulai dengan tahap
persiapan media tanam, yaitu dengan mencampur pasir
dengan kompos dengan perbandingan komposisi pasir
dengan kompos adalah 1:3.
Selanjutnya, bahan tanaman diambil dari botol kultur
dengan menggunakan pinset. Akar tanaman dibersihkan dari
sisa agar-agar yang menempel dengan cara mencucinya
dengan air mengalir. Bahan tanaman ini kemudian
diletakkan dalam gelas aqua masih dalam keadaan basah.
Kemudian gelas-gelas aqua ini dibawa ke rumah
kaca. Di rumah kaca, bahan tanaman dikeluarkan sebentar
untuk mengisi gelas aqua dengan media tanam yang telah
dipersiapkan hingga ¾ gelas. Selanjutnya dibuat lubang
tanam dengan kedalaman hingga 2 cm dan plantlet nenas
ditanam dengan hati-hati agar tidak merusak akar maupun
daun dari plantlet nenas.
Tahap berikutnya adalah tahap pemeliharaan, yang
meliputi penyiraman yang dilakukan tiga kali seminggu.

Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi
tanaman. Pada tahap ini dilakukan pembersihan seperlunya
pada daun-daun yang mengering.
Pengamatan dilakukan seminggu sekali sejak 0
minggu setelah tanam (MST) hingga 13 MST. Peubah yang
diamati antara lain adalah tinggi tanaman serta jumlah daun.
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga ujung
terpanjang daun sempurna. Sedangkan jumlah daun dihitung
berdasarkan jumlah daun sempurna tanpa daun terkecil.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Kondisi iklim makro di awal aklimatisasi
menunjukkan suhu rata-rata 30oC dengan suhu minimum
hingga 20oC dan suhu maksimum mencapai 37oC.
Aklimatisasi dilakukan pada greenhouse dengan naungan
paranet 75% dengan bagian terbuka di sebelah timur
sehingga pada pagi hari tanaman terkena sinar matahari
langsung.
Kondisi
lingkungan
yang cukup
kondusif
menyebabkan daya tumbuh plantlet relatif besar, dari 100%
yang ditanam, hanya sekitar 10% yang mati pada sub kultur
1 dan tak lebih dari 40% pada sub kultur 2, sehingga daya
tumbuh masih di atas 60% (Grafik 1).
Tidak ditemukan adanya variasi morfologi yang
mencolok pada populasi yang diteliti baik pada subkultur 1
maupun subkultur 2.

Pengamatan terhadap konsentrasi NAA menunjukkan
bahwa respon terbaik dicapai oleh konsentrasi 2,00 μM
NAA untuk peubah jumlah daun (grafik 3). Walaupun tidak
menunjukkan respon yang terbaik pada awal pengamatan,
namun konsentrasi ini menunjukkan respon yang positif dan
stabil hingga masa pengamatan berakhir.

Gambar 4.

Gambar 2.

Grafik Persentase Daya Tumbuh Pada Aklimatisasi Nanas cv.
Smooth Cayenne Pada Sub kultur I dan Sub kultur II.

Hasil pengamatan menunjukkan kematian tanaman
lebih banyak terjadi karena fase multiplikasi yang kurang
sempurna. Kontaminasi penyakit relatif tidak ada serta
kondisi lingkungan yang optimum menyebabkan
kemungkinan kematian lebih banyak disebabkan karena
perlakuan yang diberikan.
Sub Kultur 1
Pada Gambar 3 ditunjukkan respon yang paling baik
sejak awal pengamatan, pengaruh perlakuan 17.76μM NAA
terlihat mendominasi. Bahkan pada 2 hingga 4 MST tidak
terlihat adanya penurunan. Hal ini diduga karena sudah
berkembangnya sel-sel daun sehingga mampu beradaptasi
terhadap cekaman sinar matahari dengan baik.

Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Jumlah Daun
Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I..

Pengaruh perlakuan NAA sangat nyata terhadap
jumlah daun, pengaruhnya dapat lebih jelas terlihat pada
Gambar 4. Perkembangan planlet dari awal aklimatisasi
menunjukkan pertumbuhan paling baik pada perlakuan
2.00μM NAA. Pergerakan grafik positif diduga
menunjukkan daya adaptasi yang baik dari planlet terhadap
lingkungan.
Terhadap pengaruh konsentrasi 1.00μM NAA,
walaupun respon yang ditunjukkan planlet rendah namun
hingga akhir pengamatan terlihat pergerakan yang positif.
Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa konsentrasi 1.00μM
NAA memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap
jumlah daun yang terbentuk. Respon negatif justru terjadi
karena pengaruh konsentrasi 0.50μM NAA.
Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa masih ada
keterkaitan antara masing-masing kombinasi perlakuan.
Hasil yang didapat menjadi tidak signifikan apabila setelah
uji DMRT, hasil interaksi tersebut diikuti oleh dua huruf
atau lebih. Interaksi antara 17.76μM BA dengan 2.00μM
NAA merupakan kombinasi perlakuan yang dapat diduga
menjadi kombinasi perlakuan yang terbaik.
Tabel 1.

Interaksi BA dan NAA Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth
Cayenne Sub kultur I Terhadap Jumlah Daun.

Jumlah daun (helai)

Gambar 3.

Grafik Pengaruh Konsentrasi BA Terhadap Jumlah Daun Pada
Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I.

0,00
3.289d
3.553cd
3.826a-d
4.009a-c
4.242ab

Konsentrasi NAA (µM)
0,50
1,00
2,00
3.417cd 3.892a-d 3.891a-d
3.570cd
3.338d
4.209ab
a-c
cd
4.083
3.446
3.673a-d
cd
b-d
3.395
3.632
3.856a-d
cd
a-d
3.496
3.654
4.285a

Kons BA
(µM)

0,00
4,40
8,80
13,32
17,76

Keterangan:

Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf 5%.

Pertumbuhan terhadap pengaruh perlakuan 0.00μM
terlihat cukup baikterlihat pada Gambar 5 hingga pada 8
MST, pengaruh perlakuan 2.00μM justru bisa lebih tinggi
daripara perlakuan 0.00μM. Pergerakan grafik yang selalu
positif menunjukkan bahwa perlakuan 2.00μM NAA

memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pertumbuhan
tinggi tanaman.

Gambar 7.

Gambar 5.

Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Tinggi Tanaman
Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I.

Sub Kultur 2
Pengaruh perlakuan BA berdasarkan hasil
pengamatan tidak menunjukkan hasil yang lebih baik
daripada tanpa perlakuan. Pada gambar 9 ditunjukkan bahwa
perlakuan 0.00μM BA mengalami pertumbuhan dengan
jumlah daun yang seimbang dari 1 hingga 13 MST. Dapat
diduga bahwa pada perlakuan 0.00μM BA, planlet memiliki
pertumbuhan jumlah daun yang hampir setara dengan
jumlah daun yang mengering atau mati, didasarkan pada
metode pengamatan yang dilakukan adalah dengan
menghitung jumlah daun sempurna tanpa daun terkecil.

Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Jumlah Daun
Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II.

Interaksi perlakuan BA dan NAA yang
mempengaruhi pertumbuhan jumlah daun dapat dilihat pada
Tabel 2. Melalui uji DMRT diketahui bahwa ada keterkaitan
antar perlakuan, namun perlakuan yang paling baik adalah
13.32μM BA dengan 0.00μM NAA.
Tabel 2.

Interaksi BA dan NAA Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth
Cayenne Sub kultur II Terhadap Jumlah Daun.

Jumlah daun (helai)
Kons BA
(µM)

Keterangan:

0,00
4,40
8,80
13,32
17,76

0,00
3.440a-c
2.927bc
2.648c
4.359a
2.985bc

Konsentrasi NAA (µM)
0,50
1,00
2,00
2.735bc 3.749ab 3.241bc
3.395a-c 2.799bc 3.096bc
3.254bc 3.404a-c 3.622a-c
2.831bc 3.009bc 3.518a-c
3.113bc 3.768ab 3.741ab

Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT pada
taraf 5%.

Perlakuan NAA berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman. Meskipun perlakuan 2.00μM NAA mendapat
respon yang lebih tinggi pada peubah tinggi tanaman,
namun perlakuan 2.00μM NAA dan 1.00μM NAA samasama memberikan pengaruh yang baik terhadap tinggi
tanaman pada sub kultur II.

Gambar 6.

Grafik Pengaruh Konsentrasi BA Terhadap Jumlah Daun Pada
Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II.

Perlakuan 2.00μM NAA berpengaruh terhadap
jumlah daun, dapat dilihat pada Gambar 10 bahwa perlakuan
2.00μM NAA mengalami penurunan jumlah daun yang
paling sedikit dengan jumlah daun yang paling tinggi di
antara perlakuan NAA lainnya.

Gambar 8.

Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Tinggi Tanaman
Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II.

Interaksi antar perlakuan dapat mempengaruhi tinggi
tanaman, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pengaruhnya sangat nyata. Pada Tabel 12 dapat terlihat

keterkaitan antar perlakuan. Dari Tabel 12 juga dapat dilihat
pengaruh yang paling baik adalah pengaruh dari interaksi
perlakuan 13.32μM BA dengan 0.00μM NAA.
Tabel 3.

Interaksi BA dan NAA Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth
Cayenne Sub kultur II Terhadap Tinggi Tanaman.

Tinggi
tanaman
(cm)
Kons BA 0,00
(µM)
4,40
8,80
13,32
17,76
Keterangan:

0,00
3.454a-d
2.929c-e
2.915c-e
4.151a
2.865c-e

Konsentrasi NAA (µM)
0,50
1,00
2,00
2.729de 3.402a-d 3.117b-e
3.274b-d 2.993c-e 3.042c-e
3.066b-e 3.259b-d 3.309b-d
2.431e 2.849c-e 3.524a-d
2.999c-e 3.524a-d 3.849ab

Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf 5%.

Perbandingan Antar Sub Kultur
Pengaruh konsentrasi BA terhadap jumlah daun pada
sub kultur I berpengaruh positif yaitu semakin tinggi
konsentrasi BA memberikan pengaruh yang makin baik.
Pengaruh konsentrasi BA terhadap jumlah daun pada sub
kultur II memberikan pengaruh negatif yaitu semakin tinggi
konsentrasi BA maka akan semakin menghambat
pertumbuhan planlet seperti bisa dilihat pada Gambar 12.

Gambar 9.

Gambar 10. Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi NAA Pada 13
MST Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv.
Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.

Pengaruh konsentrasi BA terhadap tinggi tanaman
pada sub kultur I terlihat lebih tinggi dari sub kultur II. Hasil
analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan BA
yang tidak berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman pada
sub kultur I, namun Gambar 14 menunjukkan bahwa respon
terbaik dicapai pada perlakuan 17,76μM BA. Pada sub
kultur II, respon terbaik dicapai pada perlakuan 0,00μM BA.
Pergerakan pengaruh konsentrasi BA pada sub kultur
I terhadap tinggi tanaman masih cenderung positif, dapat
terlihat dari respon minimal didapat karena pengaruh 0,0μM
BA, walaupun pada pengaruh 8.80μM BA memberikan
pengaruh yang sedikit lebih rendah, dan respon tertinggi
karena pengaruh 17,76μM BA.

Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi BA Pada 13
MST Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv.
Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.

Pengaruh perlakuan 2,00μM NAA pada sub kultur I
terhadap jumlah daun memberikan pengaruh tertinggi dari
semua perlakuan (Gambar 10). Pengaruh perlakuan NAA
pada sub kultur II terhadap jumlah daun berpengaruh sangat
nyata berdasarkan hasil analisis ragam, hasil pengamatan
menunjukkan bahwa konsentrasi 2,00μM NAA memberikan
pengaruh tertinggi.
Pengaruh perlakuan NAA pada sub kultur I terhadap
jumlah daun adalah sangat nyata berdasarkan hasil analisis
data. Pengaruh konsentrasi NAA pada sub kultur I tidak
menunjukan pengaruh yang positif untuk semua perlakuan,
karena titik puncak teramati karena pengaruh konsentrasi
2,00μM NAA dan diikuti oleh konsentrasi 0,00μM NAA.

Gambar 11. Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi BA Pada 13
MST Terhadap Tinggi Tanaman Pada Aklimatisasi Nanas cv.
Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.

Pengaruh perlakuan 2,00μM NAA terhadap tinggi
tanaman pada sub kultur I menunjukkan pengaruh tertinggi.
Pola respon atas pengaruh perlakuan NAA pada sub kultur I
terhadap tinggi tanaman hampir sama dengan pola yang
terjadi pada pengaruh perlakuan NAA terhadap jumlah
daun. Pengaruh paling baik didapat pada konsentrasi
2,00μM NAA dan diikuti oleh 0,00μM NAA. Pengaruh
NAA terhadap tinggi tanaman pada sub kultur II berbeda
sangat nyata berdasarkan hasil analisis data, pada Gambar
15 ditunjukkan bahwa perlakuan 2,00μM NAA memberikan
pengaruh yang paling baik pada sub kultur II (Gambar 12).

tahap aklimatisasi, respon terbaik dicapai dari pengaruh
2.0μM NAA pada tahap multiplikasi.
Pengaruh perlakuan BA dan NAA pada tahap
multiplikasi pada sub kultur II yang menunjukkan hasil
terbaik untuk peubah jumlah daun dan tinggi tanaman pada
tahap aklimatisasi adalah konsentrasi 2.0 µM NAA.
Konsentrasi 13.32μM BA pada tahap multiplikasi
memberikan pengaruh terbaik terhadap jumlah daun dan
tinggi tanaman pada tahap aklimatisasi.
Pertumbuhan planlet sub kultur I menunjukkan laju
pertumbuhan lebih baik dari sub kultur II.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 12. Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi NAA Pada 13
MST Terhadap Tinggi Tanaman Pada Aklimatisasi Nanas cv.
Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.

Pembahasan
Penambahan sitokinin pada media kultur jaringan
akan merangsang pembelahan sel, sedangkan auksin
berperan dalam pembesaran sel, sehingga interaksi
keduanya dapat meningkatkan pertumbuhan dan ukuran sel.
Sitokinin
digunakan
untuk
merangsang
pembentukan tunas dan memecah dormansi sel (Hartman
dan Kester 1983). Namun tanaman yang berbeda dapat
merespon hormon (sitokinin dan auksin) dalam berbagai
konsentrasi secara berbeda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan kandungan konsentrasi hormon endogen
tumbuhan itu sendiri. (Hartmann et al 1983).
Penambahan auksin pada media kultur jaringan
akan merangsang pertumbuhan kalus, perpanjangan tunas
dan pembentukan akar. NAA merupakan salah satu jenis
auksin yang mempunyai sifat kimia lebih stabil dibanding
IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzin (Zaer dan
Mapes 1985).
BA termasuk golongan sitokinin merupakan ZPT
yang banyak digunakan untuk memacu inisiasi dan
poliferasi tunas. Terutama dalam mendorong pembelahan
sel, menginduksi tunas adventif dan dalam konsentrasi
tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik 1987).
Interaksi BA dan NAA yang
sangat nyata
menunjukkan bahwa perlakuan sitokinin (BA) tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh auksin (NAA), sehingga dalam
penggunaan sitokinin, baik efek mendorong maupun
menghambat proses pembelahan sel tergantung dari adanya
fitohormon lainnya, terutama auksin (Wattimena 1988).
Rendahnya pertumbuhan jumlah daun dan tinggi
tanaman pada sub kultur II dapat dipicu oleh paparan auksin
yang terlalu tinggi pada plantlet, sehingga pengaruh auksin
tidak lagi mempercepat pertumbuhan justru dapat
menghambat pertumbuhan. Pada Smith (1992) dikatakan
auksin konsentrasi tinggi dapat merangsang pembentukan
kalus namun dapat menekan morfogenesis.
Hal ini menunjukkan bahwa pada sub kultur II,
konsentrasi yang terlalu rendah maupun yang terlalu tinggi
dapat diduga tidak akan memberikan hasil yang optimal,
bahkan justru dapat menghambat pertumbuhan pada tahap
aklimatisi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengaruh perlakuan BA dan NAA pada tahap
multiplikasi sub kultur I yang menghasilkan jumlah daun
terbanyak pada tahap aklimatisasi adalah konsentrasi 17.76
µM BA dan 2.0 µM NAA. Pada peubah tinggi tanaman pada

Abidin, Z. 1993. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat
Pengatur Tumbuh. Cetakan ketiga. Percetakan
Angkasa. Bandung.
Arteca, R. N. 1996. Plant Growth Substances: Principles and
Applications. Chapman & Hall. New York.
Basra, A. S. 2000. Plant Growth Regulators in Agriculture
and Horticulture: Their Role and Commercial Uses.
Haworth Press. New York.
Board, N. 2005. Tropical, Subtropical Fruits and Flowers
Cultivation. National Institute of Industrial Research.
New Delhi.
Chan, Y. K., Coppens d’Eeckenbrugge, G., and Sanewski,
G. M. 2003. Breeding and Variety Improvement. Eds
Bartholomew, D. P., Paull, R. E., and Rohrbach, K.
G. The Pineapple: Botany, Production, and Uses.
CABI Publishing. New York.
Chanda, K. L., Melanta, K. R., and Shikamany, S. D. 1974.
High Density Planting Increases Pineapple Yields.
Eds P. V. Ammiranto, Evans, Sharp and Yamada.
Handbook of Plant Cell Culture. Volume 3. Crop
Species. Macmillan Publishing Company. New York.
Collins, J. L. 1960. The Pineapple. Leonard Hill, London.
Coppens d’Eeckenbrugge, G. and F. Leal. 2003.
Morphology, Anatomy, Taxonomy. P 13-32. Eds.
Bartholomew, D. P., Paull, R. E., and Rohrbach, K.
G. The Pineapple: Botany, Production, and Uses.
CABI Publishing. New York.
Departemen Pertanian. 2009. Statistik Ekspor 2003-2008.
http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?optio
n=com_wrapper&Itmid=226 [4 Januari 2010].
Economic Research Service USDA. 2009. Pineapples: U.S.
import-eligible countries; world production and
exports. http://www.ers.usda.gov/data/fruitvegphyto/
Data/fr-pineapples.xls [6 Januari 2010].
FAO STAT. 2009. Statistic Data. http://faostat.fao.org/
site/339/default.aspx [8 Februari 2010]
Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan.
Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Harjadi, S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Cet 1. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Hartmann, H. T. and D. E. Kester. 1978. Plant Propagation,
Principles and Practice. Third Edition. Prentice Hall
of India. New Delhi.
Hartmann, H. T. and L. P. J. Kester. 1983. Plant
Propagation, Principles and Practice. Fourth Edition.
Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Hartmann, H. T., D. E. Kester, and F. T. Davies, JR. 1990.
Plant Propagation Principles and Practices. Fifth
Edition. Prentice Hall International Inc. Phillipines.

Hendaryono, D. P. D., dan Wijayani, A. 1994. Teknik
Kultur Jaringan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Kadlecek, P., I. Ticha, D. Haisel, V. Capkova, and C.
Schafer. 2001. Importance of in vitro pretreatment
for ex vitro acclimatization and growth. Plant Science
161: 695-701.
Kyte, L. and Kleyn, J. G. 1996. Plants From Test Tubes: An
Introduction To Micropropagation. Third Edition.
Timber Press. Oregon.
Mii, M., M. Buiatti, and F. Gimelli. 1990. Carnation. Eds.
P.V. Ammirati, D. A. Evans, W. R. Sharp and Y. P.
S. Bajaj. Handbook of Plant Tissue Culture. Vol 5.
Ornamental Species. McGraw-Hill. New York. P
284-318.
Murashige, T. 1974. Plant Propagation Through Tissue
Culture. Ann. Rev. Plant Physiol. 25: 135-166.
Nakasone, H. Y. and R. E. Paull.1999. Tropical Fruit. CAB
International. London. P.292-327.
Nuswamarhaeni, S. 2001. Membuat Tanaman Cepat
Berbuah. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Okihiro, G. Y. 2009. Pineapple Culture: A History of the
Tropical and Temperate Zones. University Of
California Press. California.
Pierik, R. M. L. 1987. In vitro Culture of Higher Plant.
Marthinus Mijhoff Pub. Nedherland. 344 p.
Prahasta, A. 2009. Agribisnis Nanas. Pustaka Grafika.
Bandung.
Radha, T. adn Mathew, L. 2007. Horticulture Science Series
3: Fruit Crops. New India Publishing Co. New Delhi.
Rohrbach, K. G., F. Leal, and G. Coppens d’Eeckenbrugge.
2003. History, Distribution, and World Production. P
1-13. Eds. Bartholomew, D. P., Paull, R. E.,
Rohrbach, K. G. The Pineapple: Botany, Production,
and Uses. CABI Publishing. New York.
Rukmana, R. 1996. Nanas, Budidaya dan Pasca Panen.
Kanisius, Yogyakarta.
Salvi, M. J. and Rajput, J. C. 1995. Pineapple. Eds
Salunkhe, D. K. and S. S. Kadam. Handbook of Fruit
Science and Technology: Production, Composition,
Storage, and Processing. Marcel Dekker. New York.
Saxena, S., and V. Dhawan. 2004. Changing Scenarios in
Indian Horticulture. Eds. Srivastava, S., A. Narula,
and S. S. Bhojwani. Plant Biotechnology and
Molecular Markers. Kluwer Academic Publisher.
New Delhi.
Smith, R. H. 1992. Plant Tissue Culture: Techniques and
Experiments. Academic Press. New York.
Sriyanti, D. P. dan Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur
Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan
Tanaman Secara Vegetatif Modern. Kanisius.
Yogyakarta.
Susanti, D. 2005. Pengujian Berbagai Media Aklimatisasi
untuk Planlet Tebu (Saccharum officinarum) kultuvar
PA 117 dan PA 198. Skripsi. Departemen Tanah.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 32 hal.
Verheij, E. M. W. dan R. E. Coronel. 1997. Buah-buahan
yang dapat dimakan. Prosea. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Warintek.
2000.
Nanas.
www.warintek.ristek.go.id/pertanian/ nanas.pdf [4
Januari 2010].
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman.
Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. 247p.
Wee, Y.C. and Thongtham, M.L.C., 1992. Ananas comosus
(L.) Merr. Eds. Verheij, E. W. M. and Coronel, R. E..

Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible
fruits and nuts. PROSEA Foundation, Bogor.
Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara
In vitro. Avery Publishing, Inc. New Jersey. 110hal.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan, Cara Memperbanyak
Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka.
Jakarta. 105 hal.
Zaer, J. S. and M. O. Mapes. 1985. Action of growth
regulators. P.231-255. In J. M. Bonga and P.J.
Duczan. Tissue Culture in Forestry. Martinus
Nijhoff. London.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara.
Jakarta.