Pengaruh Penambahan Starter pada Fermentasi Jerami Sorgum terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia secara In Vitro

(1)

Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum

Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro

SITI MARYAM

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

“ Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami

Sorgum Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia

Secara In Vitro “

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Jurusan Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

SITI MARYAM

103095029782

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang

Ya Rabbii, wahai yang memudahkan segala yang sukar Wahai yang menyambung segala yang patah

Wahai yang menemani semua yang tersendiri Wahai pengaman segala yang takut

Wahai penguat segala yang lemah

Wahai yang berkehendak atas segala kehidupan ini Engkau Maha Tahu dan Maha Melihat

Bersihkanlah hati kami dari kesombongan dan nikmat keduniawiaan Sesungguhnya ilmu yang Engkau miliki sangat luas

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air

hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?....

( QS: As-Sajadah: 27)

Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku dan keluargaku yang sangat ku sayangi dan ku hormati

Terima kasih ya Allah Segala puji hanya Milik-MU


(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi ini berjudul “Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum Terhadap Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro” yang ditulis oleh Siti Maryam, NIM 103095029782 telah diuji dan dinyatakan lulus dalam sidang munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada tanggal 9 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui :

Penguji 1 Penguji 2

DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud Dasumiati, M.Si

NIP. 150 375 182 NIP. 150 293 237

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dra. Lydia Andini M, Si Dra. Nani Radiastuti M, Si

NIP. 330001499 NIP. 150318610

Mengetahui:

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud


(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 9 Juni 2008

Siti Maryam NIM. 103095029782


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menganugerahkan karunia dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI ini yang berjudul “ Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro “. Sholawat serta salam tercurah bagi baginda Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua dapat istiqomah dan tetap berada dijalannya hingga akhir hayat nanti.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta.

Dalam melaksanakan dan menyelesaikan skripsi ini, banyak yang telah mendukung dan memberikan bantuan baik materi maupun moril. Untuk itu dalam kesempatan kali ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan kasih sayang sepenuhnya serta dukungan, baik berupa materi serta kekuatan jiwa.

2. Ibu Dra. Lydia Andini, M.Si selaku Pembimbing I yang telah sabar dan bijak membimbing penulis mulai dari penelitian hingga berakhirnya skripsi ini.

3. Dra. Nani Radiastuti, M.Si selaku Pembimbing II yang telah sabar dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Ir. Suharyono, M. Rur. Sci., selaku Kepala Bidang Pertanian Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).


(7)

5. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 6. Ibu Dr. Lily Surayya Eka Putri. M. Env. Stud selaku ketua Program Studi Biologi. 7. Ibu Asih Kurniawati, M.Si, Ibu Titin, Bapak Teguh, Bapak Firsoni, Ibu nuni,

Bapak Gobel serta Bapak Dedi yang telah mengayomi dan membantu dalam keberlangsungan praktek penelitian. Bapak Irawan yang telah memperkenalkan BATAN ini kepada penulis mulai dari PKL hingga penelitian serta pihak-pihak BATAN yang telah membantu proses penelitian.

8. Ukhti Isti’nava solmetku, yang memberikan tausyiah dan spiritnya agar tetap sabar dan tegar menjalani proses kehidupan salah satunya PKL dan penelitian ini, semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali dalam jalinan kasih sayang- Nya.Amiin

9. Ibu Drh Bintharti H, Ibu Reno F, M.Si, Ibu Dasumiati, M.Si serta Ibu Dr. Lily Surayya Eka Putri. M. Env. Stud yang telah memberi arahan dalam perbaikan skripsi ini. Bapak Hendra, M.Si dan pak Gun yang telah membantu proses administrasi.

10. Rekan-rekan mahasiswa selama penelitian ini ; Fujiati A, M.Si, Mutia N, M.Si, Usmaul H, Feri A, M.Si, Syaiful Bahri, M.Si, A Danil, M.Si. Rekan-rekan dari UNPAD ( Lilis dkk), UNJ (Ati) dan IPB (Dimar dkk), serta teman-teman biologi angkatan 2003 yang tidak disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

11. Rekan-rekan, teman seperjuangan di Komisariat Dakwah Lembaga Dakwah Kampus UIN Syahid.


(8)

12. Murobbi tercinta beserta rekan-rekan Liqo (Jazakallah khairan katsiraa untuk do’a dan motivasinya selama ini).

13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat dituliskan satu persatu karena keterbatasan ruang, tetapi penulis akan selalu mengingat kebaikan dan doanya selama ini.

Sudah sunnatullah, tak ada gading yang tak retak. Jika masih banyak kekurangan, itu menandakan bahwa penulis adalah manusia biasa yang tak luput dari khilaf dan kekurangan. Oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan baru dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi Pembaca umumnya.

Jakarta, 9 Juni 2008

Penulis


(9)

ABSTRAK

SITI MARYAM. Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro. Program studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.

Penelitian yang berjudul pengaruh penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum terhadap tingkat kecernaan ruminansia telah dilakukan, menggunakan metode in vitro. Starter (biofad) yang digunakan berasal dari mikroba rumen serta kolon sapi, yang bersifat fermentatif. Perlakuan dibedakan berdasarkan penambahan berbagai konsentrasi starter yaitu perlakuan A0 dengan konsentrasi starter 0%, perlakuan A1 dengan konsentrasi starter 0,25 %, perlakuan A2 dengan konsentrasi starter 0,5 %, dan perlakuan A3 dengan konsentrasi starter 0,75 %. Parameter yang diuji adalah produksi gas, KcBK % (kecernaan bahan kering), KcBO % (kecernaan bahan organik), pH, VFA (volatil fatty acid), NH3 (amonia), dan PMM (Produksi massa mikroba). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum tidak berpengaruh secara nyata terhadap kecernaannya (F<0.05). Produksi gas tertinggi terdapat pada perlakuan A0 (23.29 ml/0.2 g BK), KcBK dan KcBO tertinggi pada perlakuan A1 (45.422 %) dan A3 (46.384 %), kisaran pH perlakuan adalah 7 sampai 7,11. Konsentrasi VFA tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (8.1 mg/100 ml), konsentrasi amonia (NH3) tertinggi pada perlakuan A3 (23.8 mg/100 ml) dan produksi massa mikroba tertinggi terdapat pada perlakuan A3 (0.115 g).

Kata kunci : Fermentasi jerami sorgum, In Vitro, Kecernaan, Starter (biofad)


(10)

ABSRACT

SITI MARYAM. The effect of additional starter of sorgum stover fermentation into ruminansia digestibility level by In Vitro. Bioloy Departement, Faculty of Science and Technology, State Islamic University, Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.

A research is about the effect of additional starter of sorghum stover fermentation into ruminansia digestibility level with methode by in vitro has done. The starter (biofad) was isolated from rumen microb and cow colon, with fermentatif caracteristic. The treatment different of adding with many strater concentrations is A0 treatment with 0 % starter concentration, A1 treatment with 0,25 % starter concentration, A2 treatment with 0,5 % starter concentrations and A3 treatment with 0,75 % starter concentrations. The parameter were gas production, DMD % (Dry matter digestibility), OMD % (Organic matter digestibility), pH, Volatile Fatty Acid (VFA), amonia (NH3) and PMM (Microbial biomass production). Research of the experiment indicated that additional starter of sorghum stover fermentation was not significant of digestibility (F<0,05). The highest gas production happened of A0 treatment (23.29 ml/0.2 g BK), the highest KcBK and KcBO happened of A1 and A3 treatment (45.422 % and A3 46.384 %), pH treatment range is between 7 to 7,11. The highest VFA concentration is happened of A2 treatment (8.1 mg/100 ml), the highest amonia concentration is happened of A3 treatment (23.8 mg/100 ml) and the highest microbial biomass production is happened of A3 treatment (0.115 g).

Keywords : Sorgum stover fermentation, in vitro, digestibility, Starter (biofad).


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

PENGESAHAN UJIAN

PERNYATAAN

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis... 3

1.4. Tujuan Penelitian... 4

1.5. Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pakan Ternak ... 5

2.2. Tanaman Sorgum ... 7

2.3. Jerami Sorgum ... 8

2.4. Fermentasi Jerami sorgum ... 10

2.5. Mikroba Pendegradasi Serat (biofad)... 12


(12)

Halaman

2.6. Hewan Ruminansia ... 13

2.7. Pengukuran Nilai Kecernaan dan Produksi Gas Secara In Vitro ... 15

2.8. Produksi Massa Mikroba... 18

2.9. Volatile Fatty Acid (VFA) ... 19

2.10 Amonia (NH3) ... 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ... 22

3.2. Bahan dan Alat ... 22

3.2.1. Bahan ... 22

3.2.2. Alat ... 22

3.3. Cara Kerja ... 23

3.3.1. Fermentasi Jerami sorgum ... 23

3.3.2. Penentuan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 23

3.3.2.1. Bahan Kering... 23

3.3.2.2. Bahan Organik... 24

3.3.3. Produksi Gas Secara In Vitro ... 25

3.3.3.1. Pengambilan Cairan Rumen... 25

3.3.3.2. Pengukuran Produksi Gas ... 25

3.3.4. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KcBK %) dan Kecernaan Bahan Organik (KcBO %) ... 27

3.3.5. Produksi Massa mikroba ... 29

3.3.6. Pengukuran pH, NH3 dan VFA ... 29


(13)

Halaman

3.3.6.1. Pengukuran pH sampel hasil produksi gas... 29

3.3.6.2. Pengukuaran NH3 sampel hasil produksi gas... 29

3.3.6.3. Pengukuran VFA sampel hasil produksi gas ... 30

3.4. Analisis Data ... 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Produksi Gas Secara In Vitro ... 32

4.2. Kecernaan Bahan Kering (KcBK %) dan Kecernaan bahan Organik (KcBO %) ... 35

4.3. Produksi Massa Mikroba... 39

4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai pH, NH3 dan VFA ... 41

4.4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap pH sampel hasil produksi gas... 41

4.4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap konsentrasi NH3 sampel hasil produksi gas... 43

4.4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap konsentrasi VFA sampel hasil produksi gas ... 45

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... ... 48

5.2. Saran... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 54


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan sorgum

(Hosamani dkk, 2003; Soeranto, 2005) ………... 9 Tabel 2. Nilai BK (%) dan BO (%) jerami sorgum

setelah proses fermentasi selama 21 hari.……… 37


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Sorgum bicolor L Moench (Soeranto, 2005)... 8

Gambar 2. Jerami sorgum yang telah dicacah ……… 10

Gambar 3. Fermentasi jerami sorgum setelah inkubasi 21 hari ……. …………. 11

Gambar 4. Sistem pencernaan hewan ruminansia ……….. 15

Gambar 5. Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi 24 jam secara In Vitro ………. 32

Gambar 6. Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi selama inkubasi 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 24 jam.……… 34

Gambar 7. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.……… 36

Gambar 8. Produksi massa mikroba (g)... 40

Gambar 9. Hasil pengukuran pH perlakuan... 41

Gambar 10. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi amonia (mg/100 ml)... 43

Gambar 11. Pengaruh perlakuan terhadap Produksi VFA... 45

Gambar 12. Gelas Syringe dengan skala 100 ml... 68

Gambar 13. Inkubator………. 68

Gambar 14. Pemanas serat (NDF Heater) merk Gerhardt 176600 Hy 16/19 dan penyaring Vakum... 68

Gambar 15. Labu destilat VFA dan Sentrifus merk Himac………. 68

Gambar 16. Cawan Conway dan buret titrasi……….. 69

Gambar 17. Pengambilan cairan rumen dan hewan percobaan……… 69

Gambar 18. Hasil isolasi mikroba biofad dengan 2, 3 dan 8 kali pengenceran………. 69


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Neutral Destilat Solution (NDS)... 54

Lampiran 2. Komposisi media gas tes ………... 55

Lampiran 3. Kandungan pH, Kadar Air, Bahan Kering dan Bahan Organik jerami sorgum setelah fermentasi selama 21 hari... 56

Lampiran 4. Analisis Statistik Parameter Yang Diukur Dengan Menggunakan RAK (Rancangan Acak Kelompok)... 57

Lampiran 4.1. Analisis statistik Produksi Gas ... 57

Lampiran 4.2. Analisis statistik kecernaan bahan kering ………... 58

Lampiran 4.3. Analisis statistik kecernaan bahan organik ………….. ……... 59

Lampiran 4.4. Analisis statistik VFA ………. 59

Lampiran 4.5. Analisis statistik NH3 ... 60

Lampiran 4.6. Analisis statistik pH ... 60

Lampiran 4.7. Analisis statistik Produksi Massa Mikroba ... 61

Lampiran 5. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan I ... 62

Lampiran 6. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan II... 63

Lampiran 7. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan III... 64

Lampiran 8. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan I... 65

Lampiran 9. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan II... 65

Lampiran 10. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan III... 65


(17)

Halama n

Lampiran 11. Pengukuran produksi massa mikroba perlakuan tiap ulangan... 66 Lampiran 12. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan

untuk ulangan I... 66 Lampiran 13. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan

untuk ulangan II... 66 Lampiran 14. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan

untuk ulangan III... 67 Lampiran 15. Gambar alat-alat penelitian... 68

x i i


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Limbah yang ada di Indonesia sangat banyak dan beragam. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah pertanian. Limbah pertanian merupakan kumpulan dari tanaman-tanaman yang telah mengalami panen dan sisa - sisa hasil panen. Limbah pertanian memiliki sifat yang dapat diperbaharui baik melalui perubahan secara kimia ataupun secara biokimia yang umumnya merupakan proses fermentasi biologis melalui perombakan secara mikrobiologi (Suwadji, 1999).

Limbah pertanian merupakan sumber pakan basal ternak ruminansia yang potensial untuk mendukung perkembangan sektor peternakan. Pemanfaatan limbah pertanian akan memberikan dua keuntungan yaitu terwujudnya pertanian yang bersih lingkungan serta pemanfaatan sebagai pakan ternak (Sugoro dkk, 2003). Upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan dengan mencari sumber pakan baru atau alternatif baru. Salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan adalah dari jenis tanaman sorgum

(Sorghum bicolor L Moench) yang dapat digunakan sebagai pakan ternak

ruminansia (Ardian, 2004).

Sorgum sebagai salah satu komoditi pertanian memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan pada daerah kering di Indonesia, karena tanaman sorgum memiliki sifat tahan kekeringan, tahan terhadap hama dan penyakit. Sorgum banyak ditanam di Indonesia khususnya di Jawa, NTB dan


(19)

NTT. Di beberapa negara maju sorgum digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak, dan bahan baku industri. Batang dan daun sorgum sebagai limbah pertanian dapat dijadikan sumber pakan ternak ruminansia (Soeranro, 2001).

Namun jerami sorgum (batang dan daun sorgun) yang digunakan sebagai sumber pakan ternak mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi, sehingga akan membatasi pemanfaatannya oleh ternak. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satunya dilakukan proses pembuatan silase, yaitu proses fermentasi jerami sorgum yang memanfaatkan mikroba sehingga dapat memudahkan pendegradasian serat serta meningkatkan daya cerna. Fermentasi jerami sorgum diharapkan dapat disimpan tanpa menurunkan kualitas ataupun nilai gizinya sehingga dapat digunakan pada musim kemarau (Salim dkk, 2002).

Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi jerami sorgum adalah mikroba pendegradasi bahan organik yaitu starter biofad (suatu probiotik yang diproduksi secara komersial) atau mikroba yang bisa diisolasi dari rumen. Isolat mikroba yang digunakan sebagai inokulum atau bibit untuk perlakuan silase adalah kultur campuran karena sorgum merupakan suatu bahan yang komplek. Dalam hal ini, diperlukan proses metabolisme yang cukup panjang untuk memanfaatkan kandungan jerami sorgum atau memerlukan banyak bakteri dengan hubungan sinergisme sehingga serat kasar jerami sorgum dapat berkurang dan meningkatkan kadar nitrogen (Sugoro dkk, 2003).

Untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroba baik dalam proses fermentasi maupun di dalam rumen dilakukan penambahan sumber nitrogen berupa urea, hal ini ditujukan untuk meningkatkan kadar nitrogen di dalam silase. Begitu juga dengan penambahan starter (mikroba) dapat mengoptimal proses


(20)

pendegradasi kandungan yang ada di dalam jerami sorgum sehingga mudah dicerna oleh ternak. Pengukuran tingkat kecernaan pada jerami sorgum yang difermentasi dengan penambahan starter, dapat diukur secara in vitro yaitu dengan mensimulasi sistem yang ada di dalam rumen. Metode in vitro pada umumnya digunakan untuk memprediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan memprediksi nilai nutrisi pakan (Kurniawati, 2007). Laju fermentasi pakan dalam rumen dapat digambarkan dengan pengukuran kadar produksi volatile fatty acid

(VFA), amonia (NH3), produksi gas, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, pH, dan Produksi Massa Mikroba.

Diharapkan dari perlakuan ini dapat mentransformasikan jerami sorgum menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna, sehingga menjadikan kualitas jerami sorgum sebagai pakan basal ternak ruminansia menjadi lebih baik.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh tingkat kecernaan ruminansia dengan penambahan starter pada jerami sorgum fermentasi sebagai pakan basal ternak ruminansia melalui metode in vitro.

1.3. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya kenaikan tingkat kecernaan ruminansia dengan penambahan starter pada jerami sorgum fermentasi sebagai pakan basal ternak ruminansia melalui metode in vitro.


(21)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum terhadap tingkat kecernaan ruminansia serta untuk mengetahui metode pengawetan pakan basal ternak ruminansia dengan proses fermentasi yang disimpan untuk musim kemarau.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi mengenai metode pengolahan pakan ternak ruminansia yaitu berupa penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum yang dapat digunakan oleh masyarakat terutama bagi usaha ternak.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pakan Ternak

Pakan ternak adalah bahan yang dimakan dan dicerna oleh hewan ternak yang mampu menyajikan hara dan nutrien yang penting untuk perawatan tubuh, pertumbuhan, penggemukan, reproduksi serta laktasi. Semua jenis ternak membutuhkan 6 nutrien esensial yang terdiri dari air, protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin (Srigandono, 1998).

Pakan ternak terdiri atas hijauan dan konsentrat yang dapat diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan produksinya (Reksohadiprodjo, 1988). Hijauan diartikan sebagai bahan pakan ternak yang kandungan serat kasar atau bahan yang sulit dicerna relatif tinggi. Hijauan banyak mengandung karbohidrat dalam bentuk gula sederhana, pati dan fruktosa yang sangat berperan dalam menghasilkan energi. Secara umum penggolongan hijauan pakan ternak adalah sebagai berikut :

1. Rumput–rumputan

Rumuput-rumputan merupakan hijauan segar yang sangat disukai ternak, mudah diperoleh karena memiliki kemampuan tumbuh tinggi, terutama di daerah tropis meskipun sering dipotong/disengut langsung oleh ternak. Rumput-rumputan terdiri atas : a). Rumput alam, rumput yang diperoleh dari alam; b). Rumput kultur, Rumput jenis ini memang sengaja ditanam dan pelihara dengan tambahan pupuk serta pemangkasan pada waktu–waktu tertentu.


(23)

2. Leguminosa

Leguminosa merupakan jenis kacang-kacangan yang bisa diperoleh dari alam maupun diberikan secara langsung. Jenis-jenis leguminosa terdiri atas : a). Leguminosa pohon; b). Leguminosa semak; c). Leguminosa merambat.

3. Limbah Pertanian

Bahan yang tergolong limbah pertanian antara lain jerami padi, daun jagung, daun kacang-kacangan, daun ubi jalar, daun sorgum dan pucuk tebu.

Bahan-bahan yang tergolong pakan konsentrat adalah bahan pakan yang kandungan serat kasar atau bahan yang sulit dicerna relatif rendah. Bahan pakan konsentrat diantaranya dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, tepung jagung, tepung gaplek, onggok, ampas tahu dan ampas bir (Reksohadiprodjo, 1988).

Pakan juga dapat dibedakan menjadi pakan air dan pakan kering. Pakan air didapatkan dari air minum, air yang terkandung di dalam bahan pakan, atau berasal dari air metabolik sebagai hasil oksidasi dan sintesis molekul-molekul di dalam tubuh. Pakan kering mengandung sejumlah kecil air (kurang dari 20 %), terdiri dari bahan organik yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin; serta bahan anorganik berupa mineral dan abu (Tillman dkk, 1989).

Teknologi pakan ternak ruminansia meliputi kegiatan pengolahan bahan pakan yang bertujuan meningkatkan kualitas nutrisi, meningkatkan daya cerna dan memperpanjang masa simpan. Sering juga dilakukan dengan tujuan untuk mengubah limbah pertanian yang kurang berguna menjadi produk yang berdaya guna (Ikhsan, 2004). Usaha pengembangan pakan lokal harus terus dilakukan


(24)

sebagai sumber devisa negara. Selain itu, pakan ternak merupakan faktor penentu keberhasilan dalam peningkatan produksi peternakan. Oleh karena itu perlu diupayakan perbaikan gizi pakan secara kualitas maupun kuantitas dan tersedia secara kontinu (Yuwanta, 2000).

2.2. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor L Moench)

Sorgum (Sorghum bicolor L Moench ) adalah tanaman serbaguna. Sorgum didefinisikan sebagai “gandum berbuluh” dimana merupakan tanaman serealia

yang potensial dikembangkan di Indonesia sebagai bahan pangan dan pakan ternak (Sirappa, 2003). Tanaman sorgum termasuk ke dalam famili Gramineae

yang berasal dari wilayah Timur Laut Afrika lalu menyebar ke India, Italia, Cina, Asia Barat Daya, Eropa Selatan dan Amerika. (Munasik dkk, 1998).

Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa, NTB dan NTT. Tanaman sorgum di pulau Jawa dikenal dengan nama Cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya. Produksi sorgum di Indonesia masih sangat rendah, bahkan secara umum produk sorgum belum tersedia di pasar-pasar (Soeranto, 2005).

Sebagai bahan pangan alternatif, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik. Di negara maju biji sorgum digunakan sebagai pakan ternak unggas sedang batang dan daun untuk ternak ruminansia. Biji sorgum juga merupakan bahan baku industri seperti industri etanol, bir, sirup, lem, cat, dan pati termodifikasi. Selain produktivitas tinggi, sorgum juga memiliki sifat keunggulan lain seperti adaptasi luas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, dan lebih toleran pada


(25)

kondisi kekeringan dibandingkan tanaman pangan lain. Oleh karena itu, sorgum memiliki potensi yang besar untuk dibudidayakan dan dikembangkan pada daerah–daerah kering di Indonesia (BATAN, 2005).

Sorgum memiliki asam-asam amino esensial siap pakai dan berbagai bahan yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan ruminansia. Namun, perkembangan produksi sorgum nasional belum masuk dalam statistik pertanian dan menjadi prioritas utama. Karenanya, sorgum sebagai hijauan pakan berpeluang besar untuk dikembangkan dan ditingkatkan pemanfaatannya (Sirappa, 2003).

Gambar 1. Sorghum bicolor L Moench (Soeranto, 2005)

2.3. Jerami Sorgum

Jerami sorgum adalah tanaman sorgum yang telah diambil buahnya (gabahnya), sehingga hanya tersisa batang dan daunnya yang merupakan limbah pertanian serta belum sepenuhnya dimanfaatkan karena adanya faktor teknis dan ekonomis. Oleh karenanya, jerami sorgum dimanfaatkan sebagai bahan pakan


(26)

hewan ruminansia. Jerami merupakan hijauan kering yang memiliki kandungan serat kasar tinggi, lebih dari 18 % seperti pada jerami padi, jerami gandum, jerami sorgum, rumput kering, sekam dan kulit biji polongan (Delaval, 2006). Hanya sebagian kecil petani menggunakan jerami sebagai pakan ternak alternatif pada musim kering karena sulitnya mendapatkan hijauan.

Hijauan diartikan sebagai bahan pakan yang memiliki kandungan serat yang tinggi dan sulit dicerna oleh hewan selain ruminansia. Hijauan dapat berupa hijauan basah di padang penggembalaan (pasture), hijauan kering (hay) atau hijauan yang difermentasi (silase/silage). Hijauan basah memiliki kandungan serat kasar yang rendah. Hijauan basah adalah semua tanaman yang diberikan secara segar seperti rumput alam (rumput benggala, gajah, raja, dan setaria) dan tanaman leguminosa (akasia, glirisidia, kaliandra, lamtoro dan turi) (Ranjhan, 1993 dan Siregar, 1995).

Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan sorgum (Hosamani dkk, 2003;

Soeranto, 2005)

Nutrisi Nutrisi

Bahan Kering (BK) 91.00% Ca 28 /100 mg

Bahan rganik (BO) 84.89% Fe 4.4 /100 mg

Abu 15.11% P 287 /100 mg

Serat Kasar (SK) 24.25% Kalori 332 /100 mg

Protein Kasar (PK) 11.80% Protein 11 /100 mg

Ekstrak Eter (EE) 3.62% Karbohidrat 73 /100 mg

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

(BETN) 45.22% Lemak 33 /100 mg

Neutral Detergent Fibre (NDF) 66.05% Vit B1 Acid Detergent Fibre (ADF) 40.97%

Selulosa 29.52%

Hemiselulosa 28.08%

Sumber : Hosamani dkk, 2003 Sumber : Soeranto, 2005


(27)

Hijauan kering tidak hanya memberikan rasa kenyang (bulky) tetapi juga memiliki daya cerna dan kandungan protein rendah. Semua bahan pakan yang dipotong-potong atau dicacah-cacah dan difermentasikan dikenal dengan silase. Silase memiliki banyak kandungan nitrogen bila dibandingkan dengan hijauan segar dan hijauan kering (Siregar, 1995; widati dan widalestari, 1996).

Gambar 2. Jerami sorgum yang telah dicacah

2.4. Fermentasi Jerami Sorgum

Teknologi fermentasi merupakan salah satu cara mengawetkan bahan organik antara lain limbah hijauan pertanian. Berbagai macam cara fermentasi, yang dilakukan pada limbah hijauan pertanian ini adalah fermentasi asam laktat atau yang dikenal dengan proses ensilasi menghasilkan produk silase hijauan (Erowati, 2003). Proses fermentasi yang berjalan baik akan menghasilkan silase yang baik pula. Secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Warna masih hijau atau kecoklatan

b. Rasa dan bau asam, tetapi segar dan enak c. Nilai pH rendah


(28)

d. Tekstur masih jelas, tidak menggupal, tidak berjamur dan tidak berlendir.

Gambar 3. Fermentasi jerami sorgum setelah inkubasi 21 hari

Tingkat keberhasilan pembuatan silase pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : a). Populasi bakteri asam laktat, b). Sifat fisik dan kimia hijauan, c). Lingkungan (Siregar, 1996).

Tujuan pembuatan silase yaitu berawal dari pengawetan hijauan yang berlimpah di musim hujan, untuk digunakan dimusim paceklik atau kapan saja dibutuhkan (Parakkasih, 1995). Hijauan yang melebihi kebutuhan dan melimpah di musim hujan jika dibiarkan di udara terbuka akan terjadi penurunan nilai gizi yang disebabkan mikroba aerob. Oleh karena itu, hijauan perlu diawetkan dengan pembuatan silase. Proses fermentasi dalam pembuatan silase dibantu oleh mikroba dalam kondisi anaerob yang mengubah karbohidrat atau gula tanaman menjadi asam laktat oleh Lactobacillus sp. Silase dapat menekan proses aktivitas bakteri pembusuk yang akan menurunkan mutu hijauan sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Proses fermentasi jerami sorgum diharapkan sama dengan


(29)

proses fermentasi dalam rumen (anaerob), sehingga dapat diketahui pengaruh dan perubahan degradabilitas jerami sorgum bagi ternak. (Ikhsan, 2004).

2.5. Mikroba Pendegradasi Serat (biofad)

Dewasa ini telah berkembang beberapa perlakuan biologi untuk pakan ternak ruminansia menggunakan probiotik yang diproduksi secara komersial, salah satunya biofad. Biofad merupakan starter mikroba yang berasal dari mikroba rumen dan kolon sapi, mikroba yang terkandung adalah mikroba aerob dan fakultatif anaerob yang mesophilik dan termophilik. Pada saat awal yang berkembang adalah mikroba aerobik disusul mikroba anaerobik. Pertumbuhan mikroba membutuhkan nitrogen (N) sehingga pada fermentasi perlu penambahan N (urea, misalnya), membutuhkan kadar air tertentu (40 % - 50 %), dan temperatur tertentu pada 60 – 70°C (Utomo, 2004).

Biofad ini kaya akan mikroba pencerna bahan organik, dapat meningkatkan proses dekomposisi, nilai kompos menjadi pupuk organik lebih sempurna, meningkatkan kesuburan serta meningkatkan daya dukung tanah. Selain itu biofad ini juga dapat meningkatkan efisiensi cerna serta menyebabkan kotoran ternak tidak berbau. Berdasarkan konsentrasi yang tercantum dalam label komposisi biofad, penggunaan biofad untuk sapi atau kerbau antara 0 % - 0,8 %.

Pada kondisi fermentasi yang diberikan, mikroba harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang dikehendaki secara cepat dan hasil yang besar. Sifat unggul yang ada harus dapat dipertahankan, sehingga proses fermentasi bisa terlaksana dengan baik (Hidayat, 2007).


(30)

Dari hasil penelitian sebelumnya, pemakaian biofad dapat meningkatkan PK (Protein Kasar) jerami dari 4,4 % menjadi 7,14 %. Meningkatkan kecernaan bahan kering dari 45,63 % menjadi 46,85 % serta meningkatkan bahan organik dari 36,39 % menjadi 41,61 % (Jauhari, 1998 dalam Kurniawati, 2007).

2.6. Hewan Ruminansia

Hewan ruminansia merupakan hewan poligastrik, yakni hewan yang memiliki struktur lambung kompleks berupa rumen/perut handuk, retikulum/perut jala, omasum/perut buku, dan abomasum/perut kelenjar (Cullison, 2006). Ruminansia dapat mencerna pakan kasar dan memiliki kemampuan dalam degradasi serat (Hatmono dan Hastoro, 1997). Hewan ruminansia menggunakan lidah untuk menarik dan memotong rumput (prehensi). Rumput dikunyah (mastikasi) sebentar sebelum ditelan, dicampur dengan saliva (salivasi) di dalam mulut untuk melumasinya. Pakan itu kemudian bergerak ke esofagus menuju rumen (ruang fermentasi) untuk dihaluskan (deglusisi), setelah dihaluskan pakan diruminasi yaitu mengalami regurgitasi, resalivasi dan remastikasi. Kemudian menuju retikulum (waterbag), omasum (berlapis-lapis), abomasum (perut sejati), usus halus, cecum, usus besar dan anus (Delaval, 2006).

Lambung ruminansia terdiri dari rumen, retikulum, omasum dan abomasum, dengan berat masing-masing pada ternak dewasa kurang lebih 80%, 5%, 7% dan 7% dari keseluruhan berat perut ternak (Arora, 1989). Rumen merupakan tempat dimana makanan dicerna secara fermentatif yang di dalamnya terdapat sejumlah mikroba anaerob. Jenis mikroba rumen secara garis besar adalah bakteri, protozoa dan kapang dengan jumlah populasi terdiri dari 1010


(31)

bakteri/ml cairan rumen, 106 ciliate protozoa/ml cairan rumen dan 106 fungi/ml cairan rumen (Dehority, 1998). Mikroba rumen memliki peran penting karena pakan yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi menjadi produk metabolis yang sederhana untuk dimanfaatkan oleh mikroba yaitu (NH3) sebagai sumber N

dan Volatile fatty acids (VFA) yaitu antara lain asam lemak asetat, propionat dan

butirat sebagai sumber energi yang digunakan oleh ternak ruminansia (Ørskov & Ryle, 1990).

Rumen berperan penting bagi ruminansia, berupa reservior yang selalu terisi banyak massa pakan (digesta). Rumen mampu menampung + 100-300 L (ruminansia besar) dan + 4-10 L (ruminansia kecil) (Ogimoto dan Imai,

1981dalam Nurvianty, 2006) bahan pakan halus, atau sekitar 53% dari total bahan

pakan yang ada di dalam saluran pencernaan ruminansia. Rumen mengandung + 85% cairan dan terdapat dalam dua bagian. Bagian bawah merupakan tempat pakan halus dalam suspensi dan cair, sedangkan bagian atas untuk pakan kasar dan padat (bolus) (Delaval, 2006).

Omasum merupakan tempat penyaringan partikel-partikel besar (serat kasar tidak dapat masuk ke dalamnya), penyerapan air (30-60%), asam-asam lemak mudah menguap (VFA), mineral dan nitrogen (Delaval, 2006). Abomasum merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan makanan secara kimiawi karena adanya sekresi getah lambung. Abomasum juga mengatur aliran digesta (Arora, 1989). Bahan pakan dari abomasum menuju usus halus kemudian menuju usus besar (Delaval, 2006).


(32)

Gambar 4. Sistem pencernaan hewan ruminansia (Cumming, 2003)

2.7. Pengukuran Nilai Kecernaan dan Produksi Gas secara In Vitro

Nilai kecernaan pakan adalah evaluasi dan pengukuran nilai kecernaan

(digestibility) pakan. Pada dasarnya pengukuran nilai kecernaan adalah usaha

penentuan jumlah zat-zat makanan dari pakan yang dimakan dan tidak keluar bersama feses dalam artian bahwa telah diabsorbsi di dalam saluran pencernaan (Lambourne, 1974 dalam Tangdilintin FK, 1984).

Penelitian daya cerna, khususnya pada hewan ruminansia dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Metode in vivo, in sacco dan in vitro

merupakan teknik pengukuran nilai kecernaan secara langsung. Pengukuran nilai kecernaan tidak langsung dapat menggunakan radioisotop. Teknik in vivo (koleksi total) dilakukan dengan mengukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan banyaknya feses yang dikeluarkan oleh ternak dalam satu hari. Metode in sacco merupakan


(33)

teknik pengukuran nilai kecernaan menggunakan kantung nilon (Tilley dan Terry, 1963). Metode in vitro pada prinsipnya adalah suatu teknik simulasi keadaan lingkungan rumen sebenarnya dengan menginkubasi cairan rumen pada media buffer secara anaerob pada suhu 390C dengan variasi periode inkubasi. Sekarang ini umumnya teknik in vitro yang digunakan adalah :

1. Metode kecernaan 2 fase (Tilley dan Terry, 1963)

2. Modifikasi kecernaan 2 fase (Goering dan Van Soest, 1970) 3. Produksi gas metode Hohenheim (Menke et al., 1979).

Metode in vitro dapat digunakan untuk mempelajari aktivitas mikroba rumen tanpa mempengaruhi hewan percobaan (Krishnamoorthy, 2001). Keberhasilan metode in vitro dipengaruhi oleh pencampuran sampel pakan, cairan rumen, kontrol suhu, ada tidaknya gangguan terhadap proses fermentasi khususnya pada larutan buffer, variasi waktu, dan metode analisis kimia yang digunakan (Scheneider dan Flatt, 1975).

Salah satu pengukuran yang dapat diperoleh dari metode in vitro adalah produksi gas. Produksi gas merupakan indikasi adanya aktifitas metabolisme mikroba rumen. Produksi gas secara akurat menggambarkan proses fermentasi substrat pakan menjadi produk berupa VFA dan biomassa mikroba rumen (Blummel dan rskov, 1993). Produksi gas yang tinggi menunjukkan aktivitas mikroba dalam rumen dan mencerminkan kualitas pakan. Produksi gas akan mencapai puncak pada inkubasi 24 jam pertama, selanjutnya akan mengalami penurunan hingga 96 jam dan akhirnya mencapai nol. Hal semacam ini terjadi untuk semua jenis pakan oleh karena semakin lama jenis pakan dalam rumen semakin berkurang sumber bahan organik yang dimanfaatkan oleh mikroba untuk


(34)

memproduksi gas (Ella dkk, 1997). Hasil produksi gas memang tidak memiliki manfaat bagi ternak namun pengukuran produksi gas secara in vitro menunjukkan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan. Gas yang terbentuk merupakan hasil akhir dari fermentasi bahan organik (BO) menjadi VFA selebihnya berupa CO2 dan CH4 (Menke et al., 1979).

Dua model in vitro produksi gas yang berkembang saat ini adalah dengan menggunakan syiringe glass berskala dan dengan menggunakan botol serum. Prinsip kerja in vitro produksi gas dengan menggunakan syringe glass adalah gas yang terbentuk selama inkubasi akan mendorong piston ke atas, sehingga volume gas dapat dibaca pada skala yang terdapat pada dinding syringe. Perbedaan antara metode ini dengan metode pemakaian botol serum adalah gas yang terbentuk pada metode botol serum akan mengisi ruang kosong pada bagian atas botol, volume diukur dengan menggunakan syringe 10 ml (Kurniawati, 2007).

Sumber nitrogen yang penting dipergunakan dalam sistim in vitro ini adalah sumber nitrogen seperti urea, ammonium sulfat, atau garam ammonium lain yang dapat dipergunakan oleh mikroba rumen. Larutan mineral ditambahkan sebagai pengganti saliva untuk memberikan fungsi buffer di dalam sistem in vitro. Sumber kultur campuran berbagai organisme untuk sistem in vitro diperoleh dengan menyaring cairan rumen (Arora, 1989). Cairan dari hasil pengukuran produksi gas dilarutkan dalam larutan Neutral Detergent Solutio (NDS) dan digunakan untuk mengukur nilai KcBK dan KcBO.


(35)

2.8. Produksi Massa Mikroba

Massa mikroba merupakan indikasi dari banyaknya jumlah mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen, dimana mikroba tersebut berperan dalam mendegradasi pakan. Biomassa mikroba merupakan pasokan protein untuk ternak dimana mempunyai hubungan yang erat terhadap bahan organik terfermentasi di dalam rumen dan umumnya diekspresikan sebagai g N mikroba/kg bahan organik terfermentasi di dalam rumen (ARC, 1984 dalam Kurniawan, 2005).

Van Soest (1976) mengembangkan suatu sistem analisis detergen yang membagi bahan hijauan berserat ke dalam kelompok sebagai berikut : bahan larut dalam Detergen Neutral (Neutral Detergen Solubles) terdiri dari isi sel tanaman (protein, lemak, serta karbohidrat yang mudah larut seperti gula dan pati) serta mikroba. Residu detergen neutral (NDS) atau serat terdiri dari dinding sel tanaman (selulosa dan karbohidrat) yang tidak dapat dicerna. Neutral Detergen

Solution (NDS) merupakan larutan yang berfungsi melisiskan dan mencerna

semua mikroba serta kandungan lain yang dapat dicerna serta meninggalkan residu dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna. Hasil dari ekstraksi ini dapat digunakan untruk menduga produksi massa mikroba yang terjadi karena di dapatkan residu terdegradasi asli yang tidak mengandung mikroba, sehingga melalui pengurangan residu terdegradasi semu yang masih mengandung mikroba dengan residu terdegradasi asli akan didapatkan produksi massa mikroba (Blummel dan rckov, 1993).


(36)

2.9. Volatile Fatty Acid (VFA )

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak

ruminansia yang dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Orskov dan Ryle, 1990). Karbohidrat sederhana dan kompleks (serat) dicerna oleh mikroba rumen dan dirubah menjadi Volatile Fatty Acid (VFA). Pemecahan karbohidrat menjadi VFA terdiri dari 2 tahap : 1). Hidrolisis ekstraseuler dari karbohidrat kompleks (selulosa, hemiselulosa, pektin) menjadi oligosakarida rantai pendek terutama disakarida (selobiosa, maltosa, pentosa) dan gula-gula sederhana. 2). Pemecahan oligosakarida dan gula-gula sederhana menjadi VFA oleh aktifitas enzim intraseluler (Fapet_IPB, 2005)..

Komposisi Volatile Fatty Acid (VFA) terbanyak di dalam cairan rumen adalah asam asetat, propionat dan butirat sedangkan yang dalam jumlah kecil adalah asam format, isobutirat, valerat, isovalerat dan kaproat. Pemecahan protein oleh bakteri juga menghasilkan VFA yang terdapat dalam jumlah kecil (fapet/ipb, 2005). Pada saat pakan dimakan dalam jumlah banyak, bentuk asam asetat mencapai (60% - 70%), propionat (15%- 20%) dan asam butirat (5%-15%). VFA diabsorbsi dari rumen ke dalam aliran darah dan dialirkan ke dalam tubuh. Ternak menggunakan sumber energi untuk memenuhi kebutuhan, pertumbuhan, reproduksi, dan produksi susu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi VFA di dalam rumen adalah : a. Makanan serat (sumber hijauan) akan mengahsilkan lebih banyak asetat dari

pada propionat sehingga lebih sesuai untuk ternak berproduksi air susu (kadar lemak tinggi)


(37)

b. Makanan pati (biji-bijian/ konsentrat tinggi) menghasilkan propionat tinggi, sesuai untuk ternak daging

c. Rasio antara konsentrat dan hijauan pakan d. Bentuk fisik pakan (ukuran pakan) e. Level intake (banyaknya asupan pakan) f. Frekuensi pemberian pakan

Penyerapan VFA tergantung pada perbedaan antara konsentrasinya di dalam cairan rumen dan di dalam sel-sel epitel atau darah. Laju penyerapan VFA dari rumen meningkat sejalan dengan penurunan pH cairan rumen. Sapi memperoleh 50% - 70% energi dari VFA yang diproduksi di dalam rumen. (Fapet_IPB, 2005).

2.10. Amonia (NH3)

Amonia (NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi protein menjadi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng, 1990). Sintesa protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N- NH3. Kekurangan salah satu unsur ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen. Produk hidrolisa protein sebagian besar akan mengalami katabolisme lebih lanjut (deaminasi), sehingga dihasilkan amonia (NH3). Amonia asal perombakan protein pakan tersebut sangat besar kontribusinya terhadap amonia rumen. Diperlukan kisaran konsentrasi amonia tertentu untuk memaksimumkan laju


(38)

sintesa protein mikroba. Karena itu kelarutan dan degradibilitas protein pakan sangat penting untuk diketahui (Arora, 1989).

Konsentrasi amonia di dalam rumen ikut menentukan efisiensi sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan organik pakan. Hasil fermentasi tersebut dapat dilihat sebagai konsentrasi Volatile

Fatty Acid (VFA) di dalam cairan rumen. Konsentrasi amonia tersebut antara lain

ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Haryanto, 1994 dalam

Kaunang, 2005).

Konsentrasi amonia sebesar 50 mg/100ml (setara dengan 3.57 mM/L) di dalam cairan rumen dapat dikatakan optimum untuk menunjang sintesa protein mikroba rumen (Satter & Slyter, 1974), sedangkan kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4- 12 mM (Erwanto et al., 1993 dalam Kaunang, 2005). Pengamatan secara in vivo

yang dilakukan oleh Mehrez et al., (1977) dalam Kaunang (2005), kadar amonia cairan rumen yang optimal untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 16,79 mM. Konsentrasi amonia menggambarkan kecepatan produksi dari pencernaan nitrogen.


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2007, di laboratorium Nutrisi Ternak, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jum’at Jakarta Selatan. 3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami sorgum (Sorgum hasil iradiasi 300 Gy PATIR BATAN) yang digunakan seperti batang, daun dan bagian yang lain kecuali biji sorgum, starter (BMFbiofad) dengan konsentrasi (0%, 0,25%, 0,5%, 0,75%) dan urea 0,3%. Satu ekor hewan percobaan (kerbau) untuk diambil cairan rumennya. Larutan HCO3 bufer, larutan makro mineral, larutan mikro mineral, larutan resazurin, dan larutan reduksi, akuades (H2O).

Neutral Detergent Solution (NDS) 2 kali konsentrasi (Terlampir), air panas,

aseton, H3BO3, K2CO3, HCL 0,1 N, H2SO4, NaOH 0,1 N, Akuades dan phenol ptalin (indikator).

3.2.2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong kertas, oven 60 - 700C, timbangan analitik (O’haus), pisau, plastik, tong besar untuk tempat fermentasi, pH meter (Knick model 766 kalimatik), alat semprot, tisu, blender, gelas ukur 50 ml. Cawan porselin, timbangan (Sartorius) dan eksikator. Beaker

glass, magnetik stirer dan pemanas air. Termos, termometer, kain kasa (4 lapis),


(40)

gelas ukur 500 ml, blender, pipet, gelas syiringe dengan Ø 36 mm panjang 200 mm berskala 100 ml beserta rak, waterbath, termometer, erlenmeyer (Duran) 2000 mL, pipet, vaselin, gas CO2, thermostat dengan suhu 38 – 390C. Crussible 40 – 100 milimikron, oven 1050C, eksikator, tanur 6000C, alat pemanas air untuk merefluk, pemanas serat (NDF Heater). cawan conway, mikropipet (ukuran 100 µl – 1000 µ l), pipet biuret, tabung reaksi, sentrifuse (Hitachi) 11.900 rpm selama 20 menit, mikropipet (ukuran 500 µ l –5000 µ l dan 100 µl - 1000 µl), destilator,

erlenmeyer 100 mL, dan buret untuk titrasi.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Fermentasi Jerami Sorgum

Jerami sorgum (batang dan daun) yang didapatkan dari sisa panen, dibersihkan dan di cacah kira-kira 2-3 cm. Kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan ditimbang hingga + 400 g, setelah itu ditambah starter (biofad) sesuai kombinasi perlakuan yaitu 0 %, 0,25 %, 0,5 % dan 0,75 % serta penambahan urea 0,3 %. Setelah dicampur dengan starter dan urea, ditimbang kembali untuk menentukan berat awal. Kemudian diinkubasi di dalam tong selama 3 minggu pada suhu kamar untuk proses fermentasi. Setelah inkubasi selesai jerami sorgum yang telah difermentasi dianalisis kadar air, pH, bahan kering dan bahan organik. 3.3.2. Penentuan Bahan Kering dan Bahan Organik Fermentasi Jerami

Sorgum

3.3.2.1. Bahan Kering (BK)

Jerami sorgum yang telah difermentasi, dihaluskan dengan menggunakan blender dan grender sampai berukuran + 1 mesh. Kemudian sebagai wadah cawan porselin kosong yang telah dimasukkan ke dalam oven (suhu 1050C selama 24 jam), didinginkan dalam desikator selama + 1 jam dan ditimbang hingga


(41)

mencapai berat tetap (A). Cawan porselin diisi sampel (jerami sorgum fermentasi yang telah dihaluskan) sebanyak + 2 g, ditimbang hingga mendapatkan berat tetap (B). Setelah itu dimasukkan ke dalam oven 1050C selama + 24 jam. Cawan dari oven didinginkan dalam desikator selama 60 menit, setelah itu ditimbang (C) dan di catat hasilnya.

C A

BK =

B A

100

%

Keterangan : BK = Bahan Kering (%) A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan + sampel (g)

C = Berat setelah dari oven (105 C) (g)

3.3.2.2. Bahan Organik (BO)

Setelah diperoleh bahan kering, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 6000C selama + 4 jam hingga terbentuk abu. Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator selama + 1 jam hingga mencapai berat tetap, setelah itu ditimbang (D) dan dicatat hasilnya.

BO =

C D

C A

100

%

Keterangan : BO = Bahan Organik (%) A = Berat cawan kosong (g)

C = Berat setelah dari oven (105 C) (g) D = Berat setelah dari tanur (600 C) (g)

3.3.3. Produksi Gas secara In Vitro

3.3.3.1. Pengambilan Cairan Rumen


(42)

Pengambilan cairan rumen dilakukan pada pagi hari sebelum hewan percobaan diberi makan, dengan tujuan agar mikroba yang ada di dalam rumen tidak tercampur dengan mikroba yang masuk lewat makanan. Pengambilan cairan rumen dilakukan tiap ulangan, dengan perbedaan waktu pengambilan. Tiap ulangan diambil cairan rumen sebanyak + 300 ml untuk semua perlakuan. Cairan rumen ini berperan dalam proses fermentasi pakan secara in vitro, dimana uji in

vitro dilakukan untuk melihat tingkat kecernaan jerami sorgum yang telah

difermentasi dengan penambahan starter.

Dalam pengambilan cairan rumen ini, dibantu oleh petugas dengan menggunakan alat paralon setengah lingkaran kemudian dimasukkan ke dalam perut yang sudah di vistula. Cairan rumen dimasukkan ke dalam termos yang sudah dikondisikan sebelumnya (termos diisi air panas hingga mencapai suhu + 390C kemudian air dikeluarkan dan termos dialiri CO2). Kemudian cairan rumen di blender dan disaring dengan menggunakan kain kasa 4 lapis dengan tetap menjaga kondisi anaerob yaitu pemberian CO2, setelah itu dicampur dengan media gas tes.

3.3.3.2. Pengukuran Produksi Gas

Metode produksi gas dilakukan sesuai petunjuk Menke et al., (1979). Pada hari pertama, sampel pakan perlakuan (fermentasi jerami sorgum yang sudah dihaluskan berukuran 1 mesh) ditimbang 375 + 10 mg BK, dimasukkan ke dasar

syringe dan diusahakan jangan menempel pada dinding syringe. Sebelum piston

dimasukkan ke dasar syringe terlebih dahulu di olesi dengan vaselin. Setelah itu disiapkan campuran bufer media gas tes (Lampiran 1. tanpa larutan reduksi),


(43)

distirer dan dialiri CO2 secukupnya kemudian diinkubasi di dalam water bath

pada suhu 39ºC.

Pada hari kedua, preparasi media gas tes yang telah dibuat, distirer kembali dan tetap dialiri CO2. Kemudian sebelum dicampurkan dengan cairan rumen, terlebih dahulu ditambahkan dengan larutan reduksi hingga terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi bening yang menandakan kondisi media dalam keadaan anaerob. Cairan rumen yang telah disiapkan dicampur dengan media gas tes. Sebanyak 30 ml campuran tadi dipipet dengan menggunakan dispenser dan dimasukkan ke dalam syringe yang sudah berisi sampel melalui selang yang ada di dasar syringe, kemudian selang ditutup dengan menggunakan klem plastik.

Sebelum di masukkan ke dalam water bath, syringe dibaca volumenya sebagai Vo. Blanko dibuat seperti diatas tanpa penambahan sampel, volume tiap

syringe dicatat setiap jam ke 2, 4, 6, 8, 10 dan 24. Jika posisi piston di atas 60 ml,

nilai ini dicatat kemudian klem dibuka dan posisi piston dikembalikan ke posisi 40 ml supaya sampel tidak keluar dan dicatat jumlah volume gas sebelumnya. Pembacaan dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi perubahan suhu.

Rumus perhitungan produksi gas adalah : Vol Gas = V24 – V0

Net Gas = Vgas – rata-rata Vgas blanko Net Gas 200 mg/ml = NG

B Fh

200 mg Fk PG200 = NG200 x

2

FK = 60

NG 200

konsentrat


(44)

FH = 44

NG 200

Hijauan

Keterangan : V24 = Volume akhir pada jam ke 24 (ml) V0 = Volume awal pada jam ke 0 (ml) Net Gas = Volume gas bersih (mg/ml) FK = Faktor Koreksi Konsentrat FH = Faktor Koreksi Hijauan B = Sampel (mg)

Sampel produksi gas setelah inkubasi selama 24 jam masing-masing diukur pH-nya, kemudian dilakukan metode Apparent Degraded dan Truly

Degraded. Untuk metode Apparent Degraded, sampel setelah produksi gas

disentrifus pada kecepatan 11.900 rpm selama + 20 menit. Supernatan yang diperoleh di ambil untuk pengukuran NH3 dan VFA, sedangkan endapan yang terbentuk dipakai untuk pengukuran bahan kering (BK), bahan organik (BO) dan pengukuran produksi massa mikroba dengan proses pencucian 2 kali.

3.3.4. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan

Organik (KcBO) secara In Vitro

Pengukuran kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) dilakukan dengan metode substrate truly degraded, yaitu dengan penambahan Neutral Detergen Solution (NDS). Sampel residu produksi gas setelah inkubasi selama 24 jam dipindahkan dalam beaker glass, kemudian ditambahkan larutan Neutral Detergen Solution (NDS) sebanyak 30 ml. Dipanaskan (direflux) hingga mendidih dan dibiarkan selama + 1 jam, kemudian disaring dengan menggunakan filter crussible yang telah ditimbang dan penyaring vakum. Residu yang tersaring dibersihkan dengan menggunakan air panas, kemudian dibilas dengan aceton.


(45)

Sisa residu dimasukan ke dalam oven 1050C selama 24 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator selama 60 menit kemudian ditimbang (BK residu). Kemudian sisa residu dilanjutkan dengan pengabuan yaitu dimasukkan ke dalam tanur 6000C selama 4 jam, didinginkan dalam desikator selama 60 menit dan ditimbang (BO residu).

Penentuan KcBK dan KcBO di hitung dengan rumus :

KcBK

=

BK awal (BK residu BK blanko)

BK awal

100%

Keterangan : KcBK = Kecernaan Bahan Kering (%)

BK awal = Berat sampel dikalikan % bahan kering/ 100 (g) BK residu = Berat kering setelah produksi gas (g)

BK blanko = Berat kering setelah produksi gas (Blanko) (g)

KcBO

=

BO awal (BO residu BO blanko)

BO awal

100%

Keterangan : KcBO = Kecernaan Bahan Organik (%)

BO awal = Berat sampel dikalikan % bahan organik/100 (g) BO residu = Berat organik setelah produksi gas (g)

BO blanko = Berat organik setelah produksi gas (Blanko) (g)

3.3.5. Produksi Massa Mikroba

Pengukuran produksi massa mikroba diperoleh dari pengurangan bahan kering (BK) residu terdegradasi semu (Apparent Degraded pada pengukuran sampel setelah produksi gas) dengan bahan kering (BK) residu terdegradasi asli


(46)

(47)

Penetuan pengukuran produksi biomassa mikroba dihitung dengan rumus :

PMM = BK(apparent) – BK (truly) x 100 %

Keterangan : PMM = Produksi Massa Mikroba (%)

BK (apparent) = Bakan Kering residu apparent digestibility (g) BK (truly) = Bahan Kering residu trully digestibility (g)

3.3.6. Pengukuran pH, NH3 dan VFA

3.3.6.1. Pengukuran pH sampel hasil produksi gas

Sampel hasil produksi gas di tempatkan pada tabung sentrifus, kemudian diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter (Knick, model 766 kalimatik) dan dicatat.

3.3.6.2. Pengukuran konsentrasi NH3 sampel hasil produksi gas

Pengukuran NH3 dilakukan dengan metode conway (1962). Supernatan yang diperoleh dari hasil sentrifugasi, diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan NaCl sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam lemari es untuk pengawetan. Cawan conway yang telah dibersihkan kemudian diolesi vaselin pada bagian pinggirnya. Satu ml H3BO3 (warna larutan merah muda) diambil dan diletakkan di bagian tengah cawan, 1 ml K2CO3 diletakkan di bagian kiri cawan dan supernatan yang telah diawetkan, diambil 1 ml dan diletakkan di bagian kanan cawan.

Setelah itu dicampur dan tunggu sampai 2 jam, hingga terlihat perubahan warna menjadi warna biru. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N hingga warna berubah menjadi warna awal yaitu merah muda, dicatat volume HCl yang terpakai


(48)

kemudian dihitung konsentrasi NH3 yang dihasilkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Konsentrasi NH3 =

(Volume titrasi x N HCl x BM NH3 x 100) x Pengenceran 1 ml sampel

Keterangan : N HCl = HCl yang dipakai dalam titrasi (N) BM NH3 = 17 (N : 14, H : 1)

Pengenceran = Jumlah volume supernatan dan HCl yang diawetkan per jumlah supernatan yang diambil (10/5) ml

4. Pengukuran VFA sampel hasil produksi gas

Supernatan yang diperoleh dari hasil sentrifugasi, diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan H2SO4 sebanyak 1 ml, lalu diawetkan di dalam lemari es. Supernatan yang telah diawetkan, diambil sebanyak 2 ml kemudian didestilasi di dalam destilator VFA, hingga mendapatkan uap air sebanyak 100 ml. Setelah itu ditambah 3 tetes indikator phenol pthialin

dan ditritasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi warna merah muda, dicatat volume titrasi NaOH yang digunakan kemudian perhitungan konsentrasi VFA dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Konsentrasi VFA = (Volume titrasi x N NaOH x 100) x Pengenceran 2 ml sampel

Keterangan : Pengenceran = Jumlah volume supernatan dan NaOH yang diawetkan per jumlah supernatan yang diambil (6/5) ml


(49)

3.4. Analisis Data

Data hasil pengukuran diolah secara statistik dengan menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) melalui perhitungan ANOVA. Percobaan RAK dengan 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 3 kali, sebagai kelompok yang berdasarkan perbedaan waktu pengambilan cairan rumen pada saat produksi gas secara in vitro (Yitnosumarto, 1993). Perlakuan adalah sebagai berikut :

A0 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0% A1 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0,25%

A2 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0,5% A3 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0,75%

Pengujian hipotesis dengan berdasarkan pada ketetapan Ho dan H1: Ho = Adanya pengaruh penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum

terhadap tingkat kecernaan hewan ruminansia.

H1 = Tidak ada pengaruh penabahan starter pada fermentasi jerami sorum terhadap tingkat kecernaan hewan ruminansia.

Jika F hitung < F tabel dimana a 0.05 % dan 0.01 %, Terima Ho Jika Fhitung > F tabel dimana a 0.05 % dan 0.01 %, Tolak Ho


(50)

22.32

21.95 21.89

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Produksi Gas Secara In Vitro

Produksi gas merupakan indikasi adanya aktifitas metabolisme mikroba rumen. Produksi gas secara akurat menggambarkan proses fermentasi substrat pakan menjadi produk berupa VFA dan biomassa mikroba rumen (Blummel dan

rckov, 1993). Hasil analisis rata-rata volume produksi gas secara in vitro (ml/0,2 g BK) dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 5.

23.5 23.29 23

22.5 22 21.5 21

A0 A1 A2 A3

Pe r lak uan

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%

Gambar 5. Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi 24

jam secara In Vitro.

Hasil analisis produksi gas pada tiap ulangan terlihat bervariasi. Nilai rata-rata produksi gas tertinggi terjadi pada perlakuan A0 diikuti dengan perlakuan A3, A1, dan A2 yaitu dengan nilai berturut-turut adalah 23.29 ml/0,2 g BK, 22.32 ml/0,2 g BK, 21.95 ml/0,2 g BK, dan 21.89 ml/0,2 g BK. Hasil analisis statistik produksi gas selama 24 jam inkubasi menunjukkan perbedaan pengaruh


(51)

yang tidak nyata (F<0.05), hal ini mungkin disebabkan adanya salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan metode in vitro yaitu variasi waktu pengambilan cairan rumen, kondisi cairan rumen yang berbeda dan ada tidaknya gangguan terhadap proses fermentasi khususnya pada larutan buffer. Menurut Scheneider dan Flatt (1975), keberhasilan metode in vitro dipengaruhi oleh pencampuran sampel pakan, cairan rumen, kontrol suhu, ada tidaknya gangguan terhadap proses fermentasi khususnya pada larutan buffer, variasi waktu, dan metode analisis kimia yang digunakan.

Produksi gas pada perlakuan dengan penambahan starter (A1, A2 dan A3), memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang tidak ditambah starter (A0). Hal ini mungkin disebabkan bahan organik yang terkandung pada jerami sorgum yang difermentasi telah digunakan oleh mikroba untuk mendukung pertumbuhannya, menurut Orckov & Ryle (1990) jumlah gas yang sedikit dapat disebabkan oleh terpakainya bahan organik terfermentasi untuk sintesis mikroba.

Pada perlakuan A0, memiliki produksi gas yang paling tinggi, walaupun tidak berbeda nyata (F<0,05). Hal ini mungkin disebabkan kandungan nutrisi pada pakan masih tersedia, karena sedikitnya aktifitas mikroba dalam mendegradasi pakan pada saat fermentasi atau silase jerami sorgum. Sehingga pada saat fermentasi secara in vitro dengan penambahan cairan rumen, aktifitas mikroba masih optimum dalam mendegradasi pakan yang ditandai dengan tingginya produksi gas. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Firsoni dkk (2005), bahwa aktifitas mikroba masih tinggi setelah 24 jam inkubasi yang disebabkan masih


(52)

tersedianya zat nutrisi pakan (kontrol) karena sedikitnya aktivitas bakteri pembentuk asam laktat dalam pembuatan silase.

Menurut Getachew et al., (2003) dalam Firsoni dkk (2003) ada beberapa hal yang mempengaruhi fermentasi pakan oleh mikroba yaitu keadaan anaerob, temperatur, pH dan jumlah pemakaian buffer terhadap jumlah cairan rumen yang digunakan. Pola parameter perlakuan fermentasi jerami sorgum yang berfluktuasi, tidak lepas dari pengaruh pertumbuhan mikroba yang sudah ada dalam cairan rumen. Produksi gas masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6 yang menandakan adanya pola pertumbuhan mikroba.

80

60 A0

A1

40

A2

20 A3

0

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Waktu (Ja m)

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%

Gambar 6.Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi selama inkubasi 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 24 jam.

Pada gambar di atas menunjukkan bahwa adanya aktivitas mikroba yang ditandai oleh terbentuknya gas, serta proses fermentasi di dalam perlakuan. Volume gas pada awal inkubasi yaitu kira-kira pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 mengalami sedikit kenaikan, sedangkan pada inkubasi sampai jam ke 24 menunjukkan peningkatan volume produksi gas yang tinggi, hal ini disebabkan pengaruh pertumbuhan serta aktivitas mikroba dalam proses fermentasi.


(53)

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ella dkk (1997), bahwa produksi gas yang tinggi menunjukkan aktivitas mikroba dalam rumen dan mencerminkan kualitas pakan. Berdasarkan penelitiannya, produksi gas mencapai puncak pada inkubasi 24 jam pertama, selanjutnya mengalami penurunan hingga 96 jam dan akhirnya mencapai nol.

Berdasarkan fase pertumbuhan mikroba, pada jam ke 2, 4, 6, 8, dan 10 pertumbuhan mengalami fase adaptasi (Lag Fase) itu terlihat dari gambar volume produksi gas yang tidak terlalu besar kenaikannya. Pada fase ini, mikroba mengalami penyesuaian terhadap lingkungannya dan belum maksimal dalam melakukan kolonisasi pada substrat (Orskov, Hevell dan mullet, 1980). Kemudian volume gas pada jam ke 24 menunjukkan kenaikkan yang signifikan, karena diperkirakan mikroba sedang mengalami fase logaritmik (Log Fase) yaitu fase pembelahan dimana pada fase ini kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakkan mikroba terjadi sangat cepat dan maksimal baik metabolismenya maupun pembelahan selnya. Pada fase inilah mikroba mulai mendegradasi pakan, merombak karbohidrat menjadi struktur yang lebih sederhana dan menghasilkan gas dari perombakan bahan organik. Selama pakan diinkubasi dalam cairan rumen dan buffer secara in vitro, maka zat makanan difermentasi menjadi VFA, gas terutama CO2 dan CH4 serta sel mikroba (Krishnamoorthy, 2001).

4.2. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik

(KcBO) Jerami Sorgum Fermentasi Secara In Vitro

Kecernaan pakan oleh ruminansia sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikroba di dalam rumen. Estimasi kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan


(54)

organik pada penelitian ini diperoleh dengan mengukur residu substrat yang diinkubasi selama 24 jam. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO dapat dilihat pada Gambar 7.

46.5 45

42 40.5 39

44.787

43.587

45.422

42.001

45.494

42.053

46.384

44.236

KcBK KcBO

A0 A1 A2 A3

Perlakuan

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%

Gambar 7 . Hasil pengukuran KcBK dan KcBO jerami sorgum fermentasi

setelah inkubasi selama 24 jam.

Pada Gambar 7, pengaruh perlakuan terhadap KcBK dan KcBO memiliki nilai yang bervariasi. Nilai rata-rata kecernaan bahan kering mulai yang tertinggi adalah perlakuan A1 diikuti perlakuan A3, A0, dan A2 yaitu 45,422 %, 44,236 %, 43,587 %, dan 42,053 %. Nilai rata-rata kecernaan bahan organik mulai yang tertinggi adalah perlakuan A3 diikuti dengan perlakuan A2, A0 dan A1 yaitu 46,384 %, 45,494 %, 44,787 %, dan 42,001 %.

Hasil pengukuran KcBK dan KcBO menunjukkan bahwa, antar perlakuan memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (Lampiran 4.1 dan 4.2), baik yang ditambahkan dengan starter maupun tanpa penambahan starter. Perbedaan


(55)

kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan oleh pemanfaatan BK dan BO oleh mikroba untuk hidup dan berkembang biak selama proses fermentasi.

Penambahan starter sebesar 0,75% ke dalam proses fermentasi jerami sorgum (A3) menghasilkan nilai KcBO maksimal, walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain (F<0,05). Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah penambahan starter dan sumber nutrisi seperti karbohidrat yang terkandung di dalam jerami sorgum serta penambahan urea, dapat mencukupi kebutuhan mikroba dalam proses fermentasi, sehingga mikroba dapat mencerna pakan secara optimal.

Daya cerna bahan makanan sangat dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat, jenis serat, jenis hewan, laju jalannya makanan di dalam saluran pencernaan serta mikroba yang mendegradasi (Suryadi dkk, 1998). Bahan kering dan bahan organik juga sangat mempengaruhi proses kecernaan. Adapun nilai bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) setelah fermentasi jerami sorgum ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai BK (%) dan BO (%) jerami sorgum setelah proses fermentasi selama 21 hari.

Rataan

Perlakuan BK (%) BO (%)

A0 91.27 87.85

A1 93.00 86.99

A2 90.46 87.22

A3 91.69 87.10


(56)

Kandungan bahan kering pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai yang tertinggi pada perlakuan A1 diikuti perlakuan A3, A0 dan A2, urutan ini sesuai dengan nilai KcBK (%) pada Gambar 7. Hal ini menguatkan bahwa kecernaan bahan kering sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan keringnya. Menurut Tillman dkk, (1989) bahwa daya cerna berhubungan erat dengan komposisi kimia bahan pakan dan serat kasar terutama pengaruh terhadap kecernaan. Antara 70 sampai 80 % dari total bahan kering yang dikonsumsi digunakan ternak sebagai sumber energi (Maynard, 1979 dalam Suryadi dkk, 1998).

Pada perlakuan A1 memiliki kandungan bahan organik paling rendah yaitu 86,99 %, yang diikuti dengan rendahnya kecernaan bahan organik (Gambar 7). Begitu juga dengan perlakuan A2 yang memiliki kandungan bahan kering paling rendah yaitu 90,46 %, yang diikuti dengan rendahnya kecernaan bahan kering.

Perlakuan A0, walaupun memiliki Bahan Organik (BO) tertinggi (Tabel 2) yaitu sebesar 87,85% tetapi menghasilkan nilai KcBK dan KcBO rendah diantara perlakuan lain yaitu sebesar 43,59% dan 44,79% kecuali perlakuan A2 pada KcBK dan perlakuan A1 pada KcBO. Hal ini mungkin disebabkan keberadaan mikroba yang kurang serta pemanfaatan BK dan BO oleh mikroba untuk hidup dan berkembangbiak selama proses fermentasi kurang optimal. Hasil ini juga kemungkinan disebabkan tiga hal, yaitu kurang terpenuhinya karbohidrat mudah larut, kurangnya unsur nitrogen serta keberadaan tanin pada jerami sorgum yang menghambat kerja mikroba rumen dalam mendegradasi pakan (Kusumawardhani, 2003 dalam Nurvianty, 2006).

Karbohidrat mudah larut seperti monosakarida (glukosa dan fruktosa) dapat cepat terfermentasi. Penambahan karbohidrat mudah larut dapat


(57)

meningkatkan nilai kecernaan bahan pakan, produksi biomassa mikroba, serta efisiensi penggunaan nitrogen pakan oleh mikroba rumen untuk pembentukan biomassa mikroba (Kurniawati, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan karbohidrat mudah larut dan protein secara bersamaan mampu meningkatkan degradasi bahan organik pakan dan meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yang berimplikasi terhadap peningkatan produksi ternak (Oldham dkk, 1988 dalam Kurniawati, 2007).

Tanin secara alami merupakan senyawa polyphenolic yang dapat berikatan dengan protein atau polimer lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin, serta beberapa mineral di dalam bahan pakan. Tanin umumnya terikat dengan protein pakan membentuk ikatan kompleks yang stabil. Tanin melindungi protein dari degradasi di rumen dan menghambat kerja enzim protease dan selulase, mengakibatkan laju degradasi protein menurun, sehingga protein lolos dari degradasi dan masuk ke dalam usus halus. Dengan kata lain, senyawa tanin merupakan faktor anti-nutrisi yang dapat menurunkan palabilitas dan kecernaan pakan (Makkar dkk, 1995 dalam Nurvianty, 2006). Selain dampak negatif , tanin memiliki dampak positif yaitu meningkatkan by-pass protein (Sugoro, 2004).

4.3. Produksi Massa Mikroba

Massa mikroba merupakan indikasi dari banyaknya jumlah mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen, dimana mikroba tersebut berperan dalam mendegradasi pakan. Produksi massa mikroba diperoleh dari pengurangan residu

Apparent digestibility dengan residu Trully digestibility, sehingga melalui

pengurangan residu terdegradasi semu yang masih mengandung mikroba dengan


(58)

0.1044 0.1121

0.0896 0.0829

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%

residu terdegradasi asli akan didapatkan produksi biomassa mikroba (Blummel dan rckov, 1993). Hasil analisis produksi massa mikroba dapat dilihat pada Gambar 8.

0.15 0.1 0.05 0

A0 A1 A 2 A3

Pe rlak uan

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%

Gambar 8. Produksi massa mikroba (g)

Gambar 8 menunjukkan hasil pengukuran produksi massa mikroba tiap perlakuan A0, A1, A2 dan A3 masing-masing sebesar 0,0896 g, 0,0829 g, 0,1044 g dan 0,1121 g. Penambahan starter pada perlakuan mampu meningkatkan massa mikroba, walaupun tidak berbeda nyata (F<0,05), kecuali perlakuan A1.

Produksi massa mikroba tertinggi terdapat pada perlakuan A3, peningkatan ini sejalan dengan tingginya konsentrasi amonia serta tingginya bahan organik yang tercerna, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan mikroba. Pada perlakuan lainnya yaitu A2, A1 dan A0 lebih rendah produksi massa mikrobanya dibandingkan dengan perlakuan A3, walaupun tidak berbeda nyata. Hal ini mungkin disebabkan oleh terdegradasinya karbohidrat menjadi VFA sehingga sintesis sel mikroba berkurang, yang ditandai dengan tingginya


(59)

7.1

7.08 7.08

7.03

konsentrasi VFA pada perlakuan A2, A1 dan A0. Berdasarkan penelitian Nurvianty (2006) produksi massa mikroba menurun akibat tingkat keasaman cairan rumen yang semakin meningkat akibat terdegradasinya karbohidrat membentuk VFA, sehingga sintesis sel mikroba menurun.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi massa mikroba yaitu ketersediaan sumber nutrisi serta faktor lingkungan seperti pH, temperatur dan tekanan osmotik (Tim Mikrobiologi FK UNBRAW, 2005). Efisien pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh keseimbangan jumlah protein dan karbohidrat yang terfermentasi dalam rumen (Leng, 1993).

4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai pH, NH3 dan VFA sampel hasil

produksi gas

4.4.1. Pengaruh perlakuan terhadap pH sampel hasil produksi gas

Derajat keasaman (pH) awal cairan rumen sebelum inkubasi tanpa larutan buffer yaitu 6,82 dan setelah ditambah larutan buffer menjadi lebih basa yaitu 7,1. Penambahan larutan buffer berfungsi sebagai saliva buatan dan menjadikan kondisi keasaman cairan rumen berada pada kisaran netral (sekitar 6,9-7,1) (Nurvianty, 2006).

7.15 7.1 7.05 7 6.95

A0 A1 A2 A3

Pe rlak uan

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%


(60)

Gambar 9. Hasil pengukuran pH perlakuan

Pada gambar di atas menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap pH tidak berbeda nyata (F<0.05), nilai pH setelah 24 jam inkubasi pada masing-masing perlakuan yaitu antara 7 sampai 7,17. Sedangkan pH yang optimum dalam proses perombakan atau degradasi oleh mikroba rumen berkisar antara 6,0 sampai 7,0. Mikroorganisme dalam proses fermentasi akan menghasilkan asam yang memungkinkan pH menjadi turun.

Nilai pH adalah salah satu faktor yang mendukung keberhasilan proses fermentasi, karena pH sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba yang berperan dalam proses fermentasi. Rahman (1989) dalam Muwakhid (1999), menjelaskan bahwa hampir semua mikroba tumbuh pada tingkat pH yang berbeda. Sebagian besar bakteri tumbuh pada pH mendekati netral (pH 6,5 sampai 7,5) kecuali bakteri asam asetat yang tumbuh pada pH asam atau di bawah netral. Sebaliknya khamir hidup pada pH 4 sampai 5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2,5 sampai 8,5. Untuk pertumbuhan kapang memerlukan pH optimum antara 5 sampai 7 dan dapat tumbuh pada kisaran 3 sampai 8. Oleh karena itu kondisi dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal untuk pertumbuhan mikroba.

Perlakuan A3 dengan penambahan konsentrasi 0,75 % starter, memiliki pH cairan rumen paling tinggi diantara perlakuan lain, walau tidak berbeda nyata. Naiknya pH cairan rumen diikuti dengan tingginya konsentrasi amonia (Gambar 10) pada perlakuan A3. hal ini menandakan aktifitas deaminasi mikroba rumen menjadi amonia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nguyen and Preston (1997) dalam Firsoni (2003), ada beberapa hal yang dapat menaikkan pH rumen


(61)

23.8

22.04 22.21 22.04

yaitu CO2 yang dilepaskan dalam media inkubasi atau peningkatan konsentrasi amonia (NH3) yang disebabkan oleh aktifitas deaminasi mikroba rumen.

4.4.2. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 sampel hasil produksi

gas

Amonia merupakan salah satu produk fermentasi di dalam rumen, yang berasal dari degradasi protein dan NPN (urea), yang digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Konsentrasi amonia mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba yang ada di dalam cairan rumen, karena amonia akan digunakan sebagai sumber N untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pengaruh perlakuan terhadap NH3 dapat dilihat pada Gambar 10.

24 23.5 23 22.5 22 21.5 21

A0 A1 A2 A3

Perlakuan

A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%

Gambar 10. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi amonia (mg/100

ml)

Pada Gambar 10 menunjukkan hasil pengukuran konsentrasi amonia perlakuan A0, A1, A2 dan A3 masing-masing sebesar 22,04 mg/100 ml, 22,21


(1)

Lampiran 8. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap

perlakuan pada ulangan I

Brt BK

KcBK BO BO BO KcBO

Sampel sampel BK (%) awal BK sisa (%) (%) awal sisa (%)

A0 0.3751 91.50 0.3432

0.1814

47.15 88.27 0.3311

0.172

48.0532

0.3752 91.50 0.3433

0.1766

48.56 88.27 0.3312

0.1691

48.9427

mean 47.85

mean 48.50

A1 0.375 92.40 0.3465

0.2241

35.32 89.2 0.3345

0.2237

33.1216

0.3748 92.40 0.3463

0.1924

44.44 89.2 0.3343

0.1853

44.5723

mean

39.88

mean 38.85

A2 0.3751 90.09 0.3379

0.1756

48.03 88.96 0.3337

0.1726

48.2726

0.3751 90.09 0.3379

0.1895

43.92 88.96 0.3337

0.1806

45.8751

mean

45.98

mean 47.07

A3 0.3756 89.83 0.3374

0.1656

50.92 89.04 0.3344

0.1648

50.724

0.3754 89.83 0.3372

0.1682

50.12 89.04 0.3343

0.1603

52.044

mean

50.52

mean 51.38

Lampiran 9. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap

perlakuan pada ulangan II

Brt BK

KcBK BO BO BO KcBO

Sampel sampel BK (%) awal BK sisa (%) (%) awal sisa (%)

A0

0.3754

93.78 0.3521

0.1858

47.23 86.92 0.3263

0.178

45.45

0.3751

93.78 0.3518

0.182

48.26 86.92 0.326

0.1755

46.17

mean 47.74

mean 45.81

A1

0.3754

93.93 0.3526

0.2137

39.40 86.29 0.3239

0.2044

36.90

0.3756

93.93 0.3528

0.2038

42.24 86.29 0.3241

0.1968

39.28

mean 40.82

mean 38.09

A2

0.3756

88.31 0.3317

0.2095

36.84 86.03 0.3231

0.1999

38.13

0.3753

88.31 0.3314

0.2104

36.51 86.03 0.3229

0.2043

36.72

mean 36.68

mean 37.43

A3

0.3757

92.19 0.3463

0.2006

42.08 88.02 0.3307

0.1936

41.46

0.3751

92.19 0.3458

0.1901

45.03 88.02 0.3302

0.1808

45.24

mean 43.55

mean 43.35

Lampiran 10. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap

perlakuan pada ulangan III

Brt BK

KcBK BO BO BO KcBO

Sampel sampel BK (%) awal BK sisa (%) (%) awal sisa (%)

A0

0.3747

88.52

0.3317

0.1939

41.54

88.1

0.3301

0.1923

41.75 A1

0.3757

92.67

0.3482

0.1972

43.36

85.7

0.322

0.1899

41.02 A2

0.375

92.99

0.3487

0.1627

53.34

85.7

0.3214

0.1564

51.33 A3

0.3758

93.05

0.3497

0.1761

49.64

84.9

0.3191

0.1653

48.19


(2)

Lampiran 11. Pengukuran produksi massa mikroba perlakuan tiap ulangan

Sampel Ulangan

BK

Apparent BK Trully

Massa mikroba

A0 I 0.3101 0.1852 0.1249

II 0.2309 0.1839 0.0470

III 0.2909 0.1939 0.097

Rata-rata 0.0896

A1 I 0.3122 0.2145 0.0978

II 0.2593 0.2088 0.0505

III 0.2977 0.1972 0.1005

Rata-rata 0.0829

A2 I 0.3165 0.1888 0.1277

II 0.2646 0.2100 0.0546

III 0.2935 0.1627 0.1308

Rata-rata 0.1044

A3 I 0.3113 0.1731 0.1382

II 0.2674 0.1954 0.0721

III 0.3021 0.1761 0.126

Rata-rata 0.1121

Lampiran 12. Pengukuran pH, ammonia dan VFA sample tiap perlakuan untuk

ulangan I

Sampel pH Amonia (ml/100 mg) VFA (ml/100 mg)

CR 6.87 29.92 2.4

CR + Buffer 7.05 11.56 4.2

A0 7.03 19.55 6.3

A1 7.14 21.25 6.9

A2 7.18 21.59 9.3

A3 7.17 21.76 6.0

Lampiran 13. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan untuk ulangan II

Sampel pH Amonia (ml/100 mg) VFA (ml/100 mg)

CR

6.76

25.95 11.4

CR + Buffer

7.03

40.8 3.3

A0 7 21.42 6.3

A1 7.01 22.27 6.3

A2 7.05 21.42 6.0


(3)

Lampiran 14. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan

untuk ulangan III

Sampel pH Amonia (ml/100 mg) VFA (ml/100 mg)

CR 6.96 32.98

CR + Buffer 7.135 49.64

A0

7.05

25.16

9.0

A1

7.09

23.12

9.0

A2

7

23.12

9.0

A3

7.11

24.14

9.0


(4)

Lampiran 15. Gambar Alat-alat penelitian

Gambar 12. Gelas

Syringe

dengan skala 100 ml

Gambar 13. Inkubator

Gambar 14. Pemanas serat (NDF Heater) merk Gerhardt 176600 Hy 16/19

dan penyaring Vakum


(5)

Gambar 16. Cawan

Conway

dan buret titrasi

Gambar Lampiran 17. Pengambilan cairan rumen dan hewan percobaan

Gambar 18. Hasil isolasi mikroba BMFbiofad dengan

2, 3 dan 8 kali

pengenceran


(6)