PENGARUH HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN PRESBIAKUSIS PADA LANSIA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(1)

i

PADA LANSIA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhhamadiyah Yoygakarta

Disusun oleh

Raditya Hermawan Wicaksono 20120310233

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN PRESBIAKUSIS PADA LANSIA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhhamadiyah Yoygakarta

Disusun oleh

Raditya Hermawan Wicaksono 20120310233

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii

PADA LANSIA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Disusun oleh :

Raditya Hermawan Wicaksono 20120310233

Telah disetujui pada tanggal :

Dosen pembimbing Dosen Penguji

dr.Asti Widuri, Sp. THT, M.Kes dr. Adnan Abdullah, Sp.THT-KL, M.Kes NIK : 19721210200310173061 NIK :

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes NIK : 19711028199709173027


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Raditya Hermawan Wicaksono

NIM : 20120310233

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, Mei 2016 Yang membuat pernyataan,


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul “Pengaruh Hipertensi Terhadap Kejadian Presbiakusis Pada Lansia di RS PKU MUHAMMADIYAH Yogyakarta”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh derajat Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, M.Kes., Sp. An., selaku dekan prodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. dr. Asti Widuri, Sp.THT selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya Karya Tulis Ilmiah ini.

3. Terimakasih kepada Perpustakaan FKIK UMY dan semua tempat yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu yang secara tidak langsung sudah


(6)

v

membantu selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.
Semoga pengalaman dalam membuat Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 10 April 2015

Penulis


(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujaan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Keaslian penelitian ... 5

BAB II ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Anatomi ... 6

2.1.1. Definisi presbiakusis ... 9

2.1.2. Etiologi ... 9

2.1.3. Fisiologi ... 9

2.1.4. Patogenesis ... 10

2.1.5. Patofisiologi klinik ... 15

2.1.6. Klasifikasi presbiakusis ... 16

2.1.7. Dejarat presbiakusis ... 19

2.2. Diagnosis ... 20

2.2.1. Anamnesis... 20

2.2.2. Pemeriksaan fisik ... 20


(8)

vii

2.2.4. Skrining pendengaran ... 22

2.3. Faktor Risiko ... 22

2.3.1. Usia dan jenis kelamin ... 22

2.3.2. Diabetes milittus ... 23

2.3.3. Hipertensi ... 24

2.4. Diagnosis ... 28

2.5. Kerangka konsep ... 30

2.6. Hipotesis ... 31

BAB III ... 32

METODOLOGI PENELITIAN ... 32

3.1. Desain Penelitian ... 32

3.2. Populasi dan Sampel ... 32

3.3. Kriteria Inklusi ... 32

3.4. Kriteria Eksklusi ... 32

3.5. Lokasi dan Watu Penelitia ... 33

3.6. Besar Sampel Penelitian ... 33

3.7. Sampling ... 34

3.8. Identifikasi Variabel Penelitian dan Operasionalisasi ... 34

3.9. Definisi Operasional ... 35

3.10. Alat dan Bahan Penelitian ... 36

3.11. Alur Penelitian ... 36

3.12. Analisis Data ... 36

3.13. Etika Penelitian ... 37

BAB IV ... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Hasil penelitian ... 38

4.1. Gambaran Umum Penelitian ... 38

4.2. Karakterisitik subjek penelitian ... 38

4.3. Analisis Inferensial ... 39

4.4.1. Hubungan jenis kelamin dengan presbiakusis ... 39


(9)

viii

4.4.3. Hubungan hipertensi dengan presbiakusis... 40

4.4.4. Hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis ... 41

4.5. Analisis Regresi Logistik ... 41

B. Pembahasan ... 42

4.6. Keterbatasan Penelitian ... 46

BAB V ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1. Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 47


(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Anatomi telinga………8

2. Gambar 2. Koklea………10


(11)

x

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Karakteristik penurunan pendengaran pada presbiakusis ... 20

2. Tabel 2. Klasifikasi Menurut JNC ... 29

3. Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut WHO ... 29

4. Tabel 3. Karakteristik jenis kelamin, usia, hipertensi dan derajat hipertensi . 40 5. Tabel 4. Hubungan jenis kelamin dengan presbiakusis ... 42

6. Tabel 5. Hubungan usia dengan presbiakusis ... 42

7. Tabel 6. Hubungan hipertensi dengan presbiakusis ... 43

8. Tabel 7. Hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis ... 43


(12)

xi INTISARI

Latar belakang : Presbiakusis atau kehilangan pendengaran yang berkaitan dengan usia adalah penyebab umum gangguan pendengaran pada lansia diseluruh dunia. Presbikusis biasanya terjadi perlahan-lahan selama bertahun-tahun. Hal ini sering terjadi pada kedua telinga pada waktu yang sama. Dalam beberapa kasus, orang tidak menyadari perubahan segera. Faktor risiko dari presbiakusis seperti usia, jenis kelamin, hipertensi dan derajat hipertensi. Hipertensi bisa menyebabkan presbiakusis karena dapat menyebabkan stressor pada endotel yang akan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kerusakan pada organ pendengaran.

Tujuan : Untuk membuktikan bahwa usia, jenis kelamin, hipertensi dan derajat hipertensi merupakan faktor risiko dari presbiakusis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik dengan metode case control. Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama bulan juni 2015 hingga Oktober 2015. Didapatkan 40 subjek yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi. Data yang digunakan adalah data hasil audiometri. Data ini kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS.

Hasil : Dari hasil penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Kelompok faktor risiko usia memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian presbiakusis, Kelompok faktor risiko hipertensi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian presbiakusis, Kelompok faktor risiko derajat hipertensi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian presbiakusis, dan pada kelompok faktor risiko jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian presbiakusis.

Kesimpulan : Usia, hipertensi, dan derajat hipertensi merupakan faktor risiko dari presbiakusis, tetapi jenis kelamin tidak termasuk dari faktor risiko presbiakusis. Kata kunci : faktor risiko, audiometri, presbiakusis


(13)

xii ABSTRACT

Background : Presbycusis or age-related hearing loss is a common cause of hearing loss in elderly worldwide.Presbycusis usually happens slowly over many years. It often occurs in both ears at the same time. In some cases, people are not aware of the change right away. The risk factors of presbycusis such as age, gender, hypertension, and stage hypertension. Hypertension can cause presbycusis because it can cause stress to the endothelium which will cause damage to the blood vessels, which ultimately causes damage to the organ of hearing.

Objective : To prove that age, gender, hypertension and stage hypertension is a risk factors of presbycusis at RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Method : This research is a analytical observational study with case control design. The study was conducted at PKU Muhammadiyah Hospital in Yogyakarta during the month of june 2015 to october 2015. It was found 40 subjects who meet the criteria for inclusion and exclusion. The data used audiometric results. This data is analyzed using SPSS.

Result : From the results of research conducted at PKU Muhammadiyah Hospital in Yogyakarta, a group of risk factors of age have a significant relationship to the occurrence presbiakusis, group of risk factors of hypertension has a significant relationship to the occurrence presbiakusis, group of risk factors of the degree of hypertension has a significant relationship to the occurrence presbiakusis, and the group of risk factor of gender has no significant relationship to the occurrence presbiakusis.

Conclusion : Age, hypertension, and stage hypertension were the risk factors of presbycusis but Gender were not the risk factors of presycusis


(14)

ii

HALAMAN PENGESAHAN KTI

PENGARUH HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN PRESBIAKUSIS PADA LANSIA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Disusun oleh :

Raditya Hermawan Wicaksono 20120310233

Telah disetujui pada tanggal :

Dosen pembimbing Dosen Penguji

dr.Asti Widuri, Sp. THT, M.Kes dr. Adnan Abdullah, Sp.THT-KL, M.Kes NIK : 19721210200310173061 NIK :

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes NIK : 19711028199709173027


(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perubahan patologik pada organ auditorik akibat proses degenerasi pada lansia, menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada kelompok lansia umumnya adalah tuli saraf, namun juga dapat berupa tuli konduktif atau tuli campuran. Presbiakusis adalah penurunan pendengaran yang mengiringi proses penuaan yang umumnya mulai terjadi pada frekuensi tinggi dan pada pemeriksaan audiometri nada murni terlihat berupa penurunan pendenganran jenis sesnsori neural bilateral dan simetris (Lalwani, 2004). Presbiakusis merupakan masalah utama dalam masyarakat. Hal ini terjadi pada populasi lansia akibat dari penurunan fungsi yang berhubungan dengan usia. Penurunan fungsi pendeganran ini akan mengakibatkan isolasi dari sejumlah lansia karena mengalami kesulitan berkomunikasi, sehingga menyebabkan mereka kesulitan bersosialisasi dan kegiatan-kegiatan sosial (Shohet et al., 2005). Pada pasien lansia yang mengalami presbiakusis, yang terganggu adalah proses komunikasi yang menyebabkan interaksi dengan masyarakat menurun, perasaan terisolasi, depresi, menarik diri, dan membatasi kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari akan berakibat pada menurunnya kualitas hidup pasien (Do Carmo et al., 2008).


(16)

2

Jonsson R (1998), menyatakan bahwa penurunan ketajaman pendengaran yang bersifat progresif lambat ini terbanyak pada usia 70-80 tahun, pada usia 70 tahun biasanya penderita belum merasakan adanya gangguan pendengaran namun ketika usia mencapai 80 tahun gangguan pendengaran terasa lebih nyata. Presbiakusis dialami sekitar 30-35% pada populasi berusia 65-75 tahun dan 40-50% pada populasi diatas 75 tahun. Presbiakusis juga dapat terjadi pada seseorang dengan usia 45 tahun ke atas. Seseorang yang lebih sering terpapar bising menderita penurunan pendengaran dengan gejala yang nyata lebih dini atau lebih muda yang disebut presbiakusis prekoks.

Lee et al., (2005) dalam penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap penurunan ambang dengar pada usia lanjut. Rata-rata nilai ambang dengar meningkat 1 dB setiap tahunnya pada usia 60 tahun keatas dan terdapat perbedaan penurunan ambang dengar pada frekuensi 4 dan 8kHz secara signifikan antara laki-laki dan perempuan.

Bachor et al., (2001) mengatakan bahwa semua sel hidup dalam tubuh manusia berasal dari suplai yang tepat dari oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan fungsi mereka, dan pasokan tersebut akan menyebabkan integritas fungsional dan structural dari jantung dan pembuluh darah. Hipertensi dapat memfasilitasi perubahan structural dalam jantung dan pembuluh darah. Tekanan tinggi dalam sistem vaskular dapat menyebabkan perdarahan telinga bagian dalam, yang diperdarahi oleh arteri cerebellar anterior, yang mendukung arteri telinga bagian dalam dan dibagi menjadi arteri koklea dan vestibular arteri anterior.


(17)

Hipertensi yang berlangsung lama dapat memperberat resistensi vaskuler yang mengakibatkan disfungsi sel endotel pembuluh darah disertai peningkatan viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler dan transport oksigen. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan sel-sel audiotori sehingga proses transmisi sinyal mengalami gangguan yang menimbulkan gangguan komunikasi. Gangguan pendengaran tipe sensorineural dapat terjadi akibat insufisiensi mikrosirkuler pembuluh darah seperti emboli, perdarahan, atau vasospasme (Mondelli dan Lopes, 2009).

Berdasarkan urian tersebut diatas, peneliti tertarik untuk menganalisis hubungan antara hipertensi terhadap kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Yogyakarta.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut : “Apakah hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang dapat berpengaruh terhadap kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta?


(18)

4

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujaan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui bahwa hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kejadian presbiakusis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Di bidang ilmiah : Menambah penelitian yang sudah ada khususnya terkait dengan presbiakusis yang disebabkan oleh salah satu faktor risikonya yaitu hipertensi dan manfaat terhadap pengembangan ilmu yaitu meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh hipertensi terhadap presbiakusis pada lansia.

2. Di bidang klinik : Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan pengetahuan tentang hubungan hipertensi dengan presbiakusis pada lansia dan diharapkan penderita dengan hipertensi melakukan pengobatan rutin agar dapat mengetahui terjadinya presbiakusis lebih awal.


(19)

1.5. Keaslian penelitian

1. Pada penelitian yang di lakukan Lee FS, Matthew LJ, Dubno JR, dan Mills JH

pada tahun 2005 dengan judul “Longitudinal study of pure tone thresholds in older persons” menggunakan metode cross sectional dengan subjek 188 orang (60-81 tahun) didapatkan hasil yaitu rerata perubahan ambang suara meningkat 1dB/tahun pada usia diatas 60 tahun.

2. Pada penelitian yang di lakukan Karen J. Cruickhanks pada tahun 1998 dengan

judul “Prevalence of hearing loss in older adults in beaver Dam, Wisconsin” menggunakan metode cohort dengan subjek 3470 orang (48-92 tahun) didapatkan hasil yaitu usia dan jenis kelamin berpengaruh terhadap prevalensi kurang pendengaran.

3. Pada penelitian yang di lakukan Maria Fernanda pada tahun 2009 dengan judul

Relation between arterial hypertension and hearing loss” menggunakan metode retrospektif dengan subjek 392 orang (45-60 tahun) didapatkan hasil yaitu hubungan signifikan antara hipertensi dengan penurunan pendengaran.

Penelitian ini membuktikan tentang fakor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian presbiakusis pada lansia terutama yang berhubungan dengan hipertensi. Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah penelitian ini membahas presbiakusis yang dikarenakan faktor risiko hipertensi pada usia diatas 60 tahun, sedangkan penelitian sebelumnya membahan pengaruh hipertensi terhadap kejadian presbiakusis pada usia 45-60 tahun.


(20)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi A. Telinga luar

Telinga luar terdiri dari aurikula (pinna) dan kanalis auditorius eksternus, yang berfungsi sebagai resonator dan meningkatkan transmisi suara. Aurikula tersusun sebagian besar kartilago yang tertutup oleh kulit. Lobulus adalah bagian yang tidak mengandung kartilago. Kartilago dan kulit telinga akan berkurang elastisitasnya sesuai dengan pertambahan usia. Saluran auditorius pada dewasa berbentuk S panjangnya ± 2,5 cm dari aurikula sampai membran timpani. Serumen disekresi oleh kelenjar-kelenjar yang berada di sepertiga lateral kanalis auditorius eksternus. Saluran menjadi dangkal pada proses penuaan akibat lipatan kedalam, pada dinding kanalis menjadi lebih kasar, lebih kaku dan produksi serumen agak berkurang serta lebih kering (Mills dan Weber, 2001).


(21)

B. Telinga tengah

Ruangan berisi udara terletak dalam tulang temporal yang terdiri dari 3 tulang artikulasi : maleus, inkus dan stapes yang dihubungkan ke dinding ruang timpani oleh ligamen. Membran timpani memisahkan telinga tengah dari kanalis auditorius eksternus. Vibrasi membran menyebabkan tulang tulang bergerak dan mentransmisikan gelombang bunyi melewati ruang timpanum ke foramen oval. Vibrasi kemudian bergerak melalui cairan dalam telinga dalam dan merangsang reseptor pendengaran. Bagian membran yang tegang yaitu pars tensa sedangkan sedikit tegang adalah pars flaksida. Perubahan atrofi pada membran karena proses penuaan mengakibatkan membran lebih dangkal dan retraksi/teregang (Mills dan Weber, 2001).

C. Koklea

Koklea berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala vestibuli dan skala timpani. Diantara skala vestibuli dan skala timpani terdapat skala media (Sherwood L, 2001). Skala vestibuli dan skala timpani yang mengandung perilimfe dan unsure potasium dengan konsentrasi 4 mEq/L dan unsur sodium dengan konsentrasi sebesar 139mEq/L. Skala media yang berisi endolimfe dibatasi oleh membran Reisner, membran basilar dan lamina spiralis oseus serta dinding lateral. Skala media ini mengandung unsur potasium sebesar 144 mEq/L dan sodium sebesar 13 mEq/L. Arus listrik potensial saat istirahat didalam skala media sebesar 80-90 mV dan potensial endokoklear yang dihasilkan oleh stria vaskularis pada dinding lateral mengandung Na+K+ATPase. Perilimfe pada skala vestibuli berhubungan


(22)

8

dengan perilimfe pada skala timpani didaerah apeks koklea yang disebut helikotrema. Komponen sebagian besar organ corti adalah sel sensori, sel-sel penunjang (Deiters, Hensen, Claudius), membran tektorial, dan lamina retikular-kutikular. Saraf pendengaran mengandung 30.000 neuron yang menghubungkan sel sensori ke saraf ke otak. Badan sel saraf pendengaran terletak di sentral yang masing-masing memiliki 10-20 dendrit koneksi. Tipe fiber saraf pendengaran mempunyai 2 tipe, yaitu tipe serabut yang lebih besar, bermielin, neuron bipolar yang menginervasi sel rambut dalam sebanyak 90-95%. Tipe fiber yang kedua lebih kecil, tidak bermielin, menghubungkan dengan sel rambut luar sebanyak 5-10% (Mills dan Weber, 2001).


(23)

2.1.1. Definisi presbiakusis

Presbiakusis adalah tuli sensori neural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ pendengaran, simetris (terjadi pada kedua sisi telinga) yang terjadi secara progresif lambat, dapat dimulai pada frekuensi rendah atau tinggi serta tidak ada kelainan yang mendasari selain proses penuaan secara umum (Nelson, 2006).

2.1.2. Etiologi

Ohlemiller (2004) menerangkan bahwa penyebab kurang pendengaran akibat degenerasi ini dimulai terjadinya atrofi di bagian epitel dan saraf pada organ corti. Lambat laun secara progresif terjadi degenerasi sel ganglion spiral pada daerah basal hingga ke daerah apeks yang pada akhirnya terjadi degenerasi sel-sel pada jaras saraf pusat dengan manifestasi gangguan pemahaman bicara. Kejadian presbiakusis diduga mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter, metabolisme, aterosklerosis, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor.

2.1.3. Fisiologi

Defleksi stereosilia (rambut) sel sensori seperti gelombang travelling mekanik yang mengawali proses transduksi. Gelombang sepanjang membrane basilaris bergerak dari dasar apeks koklea, mirip dengan gerakan piston stapes pada telinga tengah. Gelombang ini memiliki puncak yang tajam menimbulkan suara frekuensi tinggi kemudian bergerak ke arah apeks sehingga suara lama kelamaan menurun. Defleksi stereosilia dengan cara terbuka dan tertutupnya kanal ion, menyebabkan aliran ion K+ menuju sel sensori. Perubahan ion potassium dari


(24)

10

nilai positif 80-90 mV di skala media menjadi potensial negatif pada sel rambut luar dan dalam. Hasil depolarisasi ini akan menghasilkan enzim cascade, melepaskan transmiter kimia dan kemudian mengaktivasi serabut saraf pendengaran (Bear dan Barry, 2001).

2.1.4. Patogenesis

A. Degenerasi koklea

Terjadinya presbiakusis menunjukkan adanya degenerasi pada stria vaskularis. Bagian basis dan apeks koklea pada awalnya mengalami degenerasi, tetapi kemudian meluas ke regio koklea bagian tengah dengan bertambahnya usia. Degenerasi hanya terjadi sebagian tidak seluruhnya. Degenerasi sel marginal dan intermedia pada stria vaskularis terjadi secara sistemik, serta terjadi kehilangan Na+K+ ATPase. Kehilangan enzim penting ini, dapat terdeteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia (Gates dan Mills, 2005).

Pada presbiakusis terlihat gambaran khas degenerasi stria yang mengalami penuaan, terdapat penurunan pendengaran sebesar 40-50 dB dan potensial endolimfe 20mV (Spiecss AC et al., 2002).

Analisis dinding lateral dengan kontras pada pembuluh darah menunjukkan hilangnya stria kapiler. Perubahan patologi vaskular terjadi berupa lesi fokal yang kecil pada bagian apikal dan bawah basal yang meluas pada regio ujung koklea. Area stria yang tersisa memiliki hubungan yang kuat dengan mikrovaskular normal dan potensial endokoklear. Analisis ultrastructural menunjukkan ketebalan membran basal yang signifikan, diikuti dengan penambahan deposit laminin dan akumulasi immunoglobulin yang abnormal pada


(25)

pemeriksaan histokimia. Pemeriksaan histopatologis pada hewan dan manusia menunjukkan hubungan antara usia dengan degenerasi stria vaskularis (Gates dan Mills, 2005).

B. Degenerasi stria

Degenerasi stria vaskularis akibat penuaan berefek pada potensial endolimfe yang berfungsi sebagai amplifikasi koklea. Potensial endolimfatik yang berkurang secara signifikan akan berpengaruh pada amplifikasi koklea. Nilai potensial endolimfatik yang menurun menjadi 20mV atau lebih, maka amplifikasi koklea dianggap kekurangan voltage dengan penurunan maksimum. Penambahan 20 dB di apeks koklea akan terjadi peningkatan potensial sekitar 60 dB didaerah basis (Gates dan Mills, 2005).

Degenerasi stria yang melebihi 50%, menyebabkan nilai potensial endolimfe akan menurun drastis. Gambaran khas degenerasi stria pada hewan yang mengalami penuaan, terdapat penurunan pendengaran sebesar 40- 50 dB dan potensial endolimfe 20 mV (normal 90 mV). Ambang dengar ini dapat diperbaiki dengan cara menambahkan 20 - 25 dB pada skala media. Cara mengembalikan nilai potensial endolimfe untuk mendekati normal adalah mengurangi penurunan pendengaran yang luas yang dapat meningkatkan ambang suara compound action potential (CAP) sehingga menghasilkan sinyal moderate high. Degenerasi stria vaskularis, yang disebut sebagai sumber energi (battery) pada koklea, menimbulkan penurunan potensial endolimfe yang disebut teori dead battery pada presbiakusis (Spiess AC, 2002).


(26)

12

C. Degenerasi sentral

Degenerasi sekunder terjadi akibat degenerasi sel organ corti dan saraf-saraf yang dimulai pada bagian basal koklea hingga apeks. Perubahan yang terjadi akibat hilangnya fungsi nervus auditorius akan meningkatkan nilai ambang CAP dari nervus. Penurunan fungsi input-output dari CAP pada hewan percobaan berkurang ketika terjadi penurunan nilai ambang sekitar 5-10 dB. Intensitas sinyal akan meningkatkan amplitudo akibat peningkatan CAP dari fraksi suara yang terekam. Fungsi input-output dari CAP akan terefleksi juga pada fungsi input-output dari potensial saraf pusat. Pengurangan amplitudo dari potensial aksi yang terekam pada proses penuaan memungkinkan terjadinya asinkronisasi aktifitas nervus auditorius (Keithley EM, 2004).

Keadaan ini mengakibatkan penderita mengalami kurang pendengaran dengan pemahaman bicara yang buruk. Prevalensi jenis ketulian ini sangat jarang,tetapi degenerasi sekunder ini merupakan penyebab terbanyak terjadinya presbiakusis sentral (Gates dan Mills, 2005).

D. Mekanisme molekular

Penelitian tentang penyebab presbiakusis sebagian besar menitikberatkan pada abnormalitas genetik yang mendasarinya, dan salah satu penemuan yang paling terkenal sebagai penyebab potensial presbiakusis adalah mutasi genetic pada DNA mitokondrial (Someya S et al., 2009).


(27)

Faktor genetik

Dilaporkan bahwa salah satu strain yang berperan terhadap terjadinya presbiakusis, yaitu C57BL/6J sebagai penyandi saraf ganglion spiral dan sel stria vaskularis pada koklea. Strain ini sudah ada sejak lahir pada tikus yang memiliki persamaan dengan gen pembawa presbiakusis pada manusia. Awal mula terjadinya kurang pendengaran pada strain ini dimulai dari frekuensi tinggi kemudian menuju frekuensi rendah. Teori aging pada mitokondria, menyatakan bahwa ROS (Reactive Oxygen Species) sebagai penyebab rusaknya komponen mitokondria (Youle RJ 2008).

Pembatasan kalori akan memperlambat proses penuaan, menghambat progresivitas presbiakusis, mengurangi jumlah apoptosis di koklea dan mengurangi proapoptosis mitokondria Bcl-2 family Bak. Apoptosis terdiri dari 2 jalur, yaitu jalur intrinsik atau jalur mitokondria yang ditandai dengan hilangnya integritas pada membran mitokondria dan jalur ekstrinsik yang ditandai dengan adanya ikatan ligan pada permukaan reseptor sel (Someya S et al., 2009).

Anggota dari family Bcl-2, proapoptosis protein Bak dan Bax berperan dalam fase promotif apoptosis pada mitokondria. Protein Bcl2 ini meningkatkan permeabilitas membran terluar mitokondria, memicu aktivasi enzim kaspase dan kematian sel (Someya S et al., 2009).

Radikal bebas

Sistem biologik dapat terpapar oleh radikal bebas baik yang terbentuk endogen oleh proses metabolisme tubuh maupun eksogen seperti pengaruh radiasi ionisasi. Membran sel terutama terdiri dari komponen-komponen lipid. Serangan


(28)

14

radikal bebas yang bersifat reaktif dapat menimbulkan kerusakan terhadap komponen lipid ini dan menimbulkan reaksi peroksidasi lipid yang menghasilkan produk bersifat toksik terhadap sel, seperti malondialdehida (MDA), 9-hidroksineonenal, hidrokarbon etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Bahkan dapat terjadi ikatan silang (cross linking) antara dua rantai asam lemak dan rantai peptide (protein) yang menyebabkan kerusakan parah membran sel sehingga membahayakan kehidupan sel. Kerusakan sel akibat stress oksidatif tadi menumpuk selama bertahun-tahun sehingga terjadi penyakit-penyakit degeneratif, keganasan, kematian sel-sel vital tertentu yang pada akhirnya akan menyebabkan proses penuaan (Takumida M et al., 2009).

Teori mitokondria menerangkan bahwa reactive oxygen species (ROS) menimbulkan kerusakan mitokondria termasuk mtDNA dan kompleks protein. Mutasi mtDNA pada jaringan koklea berperan untuk terjadinya presbiakusis (Takumida M et al., 2009).

E. Gangguan transduksi sinyal

Sakaguchi et al., (2009) menerangkan bahwa ujung sel rambut sensori organ corti berperan terhadap transduksi mekanik, yaitu merubah stimulus mekanik menjadi sinyal elektrokimia. Dua kelompok famili cadherin (CDH23) dan (PCDH15) telah diidentifikasi sebagai penyusun ujung sel rambut koklea. CDH23 dan PCDH15 saling berinteraksi untuk transduksi mekanoelektrikal dengan baik. Terjadinya mutasi akibat penuaan akan menimbulkan defek dalam interaksi dua molekul ini yang akan menyebabkan gangguan pendengaran.


(29)

Gambar 3. Sel stereosilia organ corti

2.1.5. Patofisiologi klinik

Penurunan sensitivitas ambang suara pada frekuensi tinggi merupakan tanda utama presbiakusis. Perubahan dapat terjadi pada dewasa muda, tetapi terutama terjadi pada usia 60 tahun keatas. Terjadi perluasan ambang suara dengan bertambahnya waktu terutama pada frekuensi rendah. Kasus yang banyak terjadi adalah kehilangan sel rambut luar pada basal koklea. Presbiakusis sensori memiliki kelainan spesifik, seperti akibat trauma bising. Pola konfigurasi audiometri presbiakusis sensori adalah penurunan frekuensi tinggi yang curam, seringkali terdapat notch (takik) pada frekuensi 4kHz (Gates dan Mills, 2005).

Faktor lain seperti genetik, usia, ototoksis dapat memperberat penurunan pendengaran. Perubahan usia yang akan mempercepat proses berkurangnya pendengaran dapat dicegah apabila paparan bising dapat dicegah (Gates dan Mills, 2005).


(30)

16

Goycoolea et al., (2001) menemukan kurang pendengaran ringan pada kelompok penduduk yang tinggal di daerah sepi (Easter Island) lebih sedikit jika dibandingkan kelompok penduduk yang tinggal di tempat ramai dalam jangka waktu 3-5 tahun.

Mills et al., (2001) menyatakan bahwa terdapat kurang pendengaran lebih banyak akibat usia pada kelompok yang tinggal di tempat bising. Interaksi efek bising dan usia belum dapat dimengerti sepenuhnya, oleh karena kedua factor awalnya mempengaruhi frekuensi tinggi pada koklea. Bagaimanapun, kerusakan akibat bising ditandai kenaikan ambang suara pada frekuensi 3 6kHz, walaupun awalnya dimulai pada frekuensi tinggi.

2.1.6. Klasifikasi presbiakusis

Schuknecht (1993) membagi klasifikasi presbiakusis menjadi 4 jenis : Sensori (outer hair-cell), neural (ganglion-cell), metabolik (strial atrophy), dan koklea konduktif (stiffness of the basilar membrane). Schuknecht menambahkan dua kategori: mixed dan indeterminate, terdapat 25% kasus, dimana terjadi akibat perubahan patologi yang bermacam-macam. Prevalensi terbanyak menurut penelitian adalah jenis metabolik 34,6%, jenis lainnya neural 30,7%, mekanik 22,8% dan sensorik 11,9%.

A. Sensori

Tipe ini menunjukkan atrofi epitel disertai hilangnya sel-sel rambut dan sel penyokong organ corti. Proses berasal dari bagian basal koklea dan perlahan-lahan menjalar ke daerah apeks. Perubahan ini berhubungan dengan penurunan ambang frekuensi tinggi, yang dimulai setelah usia pertengahan. Secara histologi,


(31)

atrofi dapat terbatas hanya beberapa millimeter awal dari basal koklea dan proses berjalan dengan lambat. Beberapa teori mengatakan perubahan ini terjadi akibat akumulasi dari granul pigmen lipofusin. Ciri khas dari tipe sensory presbycusis ini adalah terjadi penurunan pendengaran secara tiba-tiba pada frekuensi tinggi/slooping (Muyassaroh, 2013).

B. Neural

Tipe ini memperlihatkan atrofi sel-sel saraf di koklea dan jalur saraf pusat. Atrofi terjadi mulai dari koklea, dengan bagian basilarnya sedikit lebih banyak terkena dibanding sisa dari bagian koklea lainnya. Tidak didapati adanya penurunan ambang terhadap frekuensi tinggi bunyi. Keparahan tipe ini menyebabkan penurunan diskriminasi kata-kata yang secara klinik berhubungan dengan presbiakusis neural dan dapat dijumpai sebelum terjadinya gangguan pendengaran. Efeknya tidak disadari sampai seseorang berumur lanjut sebab gejala tidak akan timbul sampai 90% neuron akhirnya hilang. Pengurangan jumlah sel-sel neuron ini sesuai dengan normal speech discrimination. Bila jumlah neuron ini berkurang di bawah yang dibutuhkan untuk tranmisi getaran, terjadilah neural presbycusis. Menurunnya jumlah neuron pada koklea lebih parah terjadi pada basal koklea. Gambaran klasik: speech discrimination sangat berkurang dan atrofi yang luas pada ganglion spiralis /cookie-bite (Dewi dan Afriani, 2011).


(32)

18

C. Metabolik (Strial presbiakusis)

Tipe presbiakusis yang sering didapati dengan ciri khas kurang pendengaran yang mulai timbul pada dekade ke-6 dan berlangsung perlahan lahan. Kondisi ini diakibatkan atrofi stria vaskularis. Histologi: Atrofi pada stria vaskularis, lebih parah pada separuh dari apeks koklea. Stria vaskularis normalnya berfungsi menjaga keseimbangan bioelektrik, kimiawi dan metabolik koklea. Proses ini berlangsung pada seseorang yang berusia 30-60 tahun. Berkembang dengan lambat dan mungkin bersifat familial. Dibedakan dari tipe presbiakusis lain yaitu pada strial presbycusis ini gambaran audiogramnya rata, dapat mulai frekuensi rendah, speech discrimination bagus sampai batas minimum pendengarannya melebihi 50 dB (flat). Penderita dengan kasus kardiovaskular (heart attacks, stroke, intermittent claudication) dapat mengalami presbiakusis tipe ini serta menyerang pada semua jenis kelamin (Soepardi EA et al., 2007).

D. Koklea konduktif

Tipe kekurangan pendengaran ini disebabkan gangguan gerakan mekanis di membran basalis. Gambaran khas audiogram yang menurun dan simetris (skisloop). Histologi: Tidak ada perubahan morpologi pada struktur koklea ini. Perubahan atas respon fisik khusus dari membran basalis lebih besar di bagian basal karena lebih tebal dan jauh lebih kurang di apikal, di mana di sini lebih lebar dan lebih tipis. Kondisi ini disebabkan oleh penebalan dan kekakuan sekunder membran basilaris koklea. Terjadi perubahan gerakan mekanik dari duktus


(33)

koklearis dan atrofi dari ligamentum spiralis. Berhubungan dengan tuli sensorineural yang berkembang sangat lambat (Gates dan Mills, 2005).

Tabel 1. Karakteristik penurunan pendengaran pada presbiakusis

Tipe presbiakusis Nada Murni Diskriminasi Tutur

Sensori Nada tinggi, penurunan tiba-tiba

Sesuai dengan frekeunsi yang terganggu

Neural Terjadi pada semua

frekuensi

Sangat berat

Strial Terjadi pada semua

frekuensi

Minimal

Konduksi koklea Nada tinggi, penurunan perlahan

Sesuai dengan penurunan ketajaman pada nada

tinggi

2.1.7. Dejarat presbiakusis

Derajat kurang pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu (Suwento R et al., 2007) :

Ambang dengar (AD) =

Menentukan derajat kurang pendengaran yang dihitung hanya ambang saja. Derajat menurut Jerger : 0 20 dB : Normal

> 20- 40dB : Tuli ringan > 40- 55dB : Tuli sedang > 55 -70dB : Tuli sedang berat


(34)

20

> 70- 90dB : Tuli berat > 90 dB : Tuli sangat berat

2.2. Diagnosis

2.2.1. Anamnesis

Gejala yang timbul adalah penurunan ketajaman pendengaran pada usia lanjut, bersifat sensorineural, simetris bilateral dan progresif lambat. Umumnya terutama terhadap suara atau nada yang tinggi. Tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan telinga hidung tenggorok, seringkali merupakan kelainan yang tidak disadari. Penderita menjadi depresi dan lebih sensitif. Kadang-kadang disertai dengan tinitus yaitu persepsi munculnya suara baik di telinga atau di kepala. Orang dengan riwayat bekerja di tempat bising, tempat rekreasi yang bising, dan penembak (tentara) akan mengalami kehilangan pendengaran pada frekuensi tinggi. Penggunaan obat-obatan antibiotik golongan aminoglikosid, cisplatin, diuretik, atau anti inflamasi dapat berpengaruh terhadap terjadinya presbiakusis (Suwento R et al., 2007).

2.2.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada telinga biasanya normal setelah pengambilan serumen, yang merupakan masalah pada penderita usia lanjut dan penyebab kurang pendengaran terbanyak. Pemberian sodium bikarbonat solusi topikal 10%, sebagai serumenolitik. Pada membran timpani normal tampak transparan (Gates GA, 2005).


(35)

2.2.3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan misalnya pemeriksaan audiometri nada murni, menunjukkan tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris. Penurunan yang tajam (slooping) pada tahap awal setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada presbiakusis sensorik dan neural. Garis ambang dengar pada audiogram jenis metabolik dan mekanik lebih mendatar, kemudian pada tahap berikutnya berangsur-angsur terjadi penurunan. Semua jenis presbiakusis tahap lanjut juga terjadi penurunan pada frekuensi yang lebih rendah. Audiometri tutur menunjukkan adanya gangguan diskriminasi wicara (speech discrimination) dan biasanya keadaan ini jelas terlihat pada presbiakusis jenis neural dan koklear (Ohlenmiller, 2004).

Variasi nilai ambang audiogram antara telinga satu dengan lainnya pada presbiakusis ini dapat terjadi sekitar 5-10 dB. Manusia sebenarnya sudah mempunyai strain DNA yang menyandi terjadinya presbiakusis. Sehingga dengan adanya penyebab multifaktor risiko akan memperberat atau mempercepat presbiakusis terjadi lebih awal (Paris et al., 2004).

Pemeriksaan audiometri tutur pada kasus presbiakusis sentral didapatkan pemahaman bicara normal sampai tingkat phonetically balancedwords dan akan memburuk seiring dengan terjadinya overstimulasi pada koklea ditandai dengan adanya roll over. Penderita presbiakusis sentral pada intensitas tinggi menunjukkan penurunan dalam nilai ambang tutur sebesar 20% atau lebih (Gates dan Mills, 2005).


(36)

22

2.2.4. Skrining pendengaran

Skrining pendengaran dilakukan pada pemeriksaan fisik rutin atau pada penderita dengan usia diatas 60 tahun. Pertanyaan adakah masalah dengan pendengaran sensitif untuk mendeteksi presbiakusis. Sepuluh item dari Hearing handicapinventory for the elderly-short (HHIE-S) banyak digunakan untuk skrining. Penilaian klinis seperti, tes bisik dan isyarat seringkali tidak jelas dan tidak efektif dalam skrining. Audiometri yang dilakukan oleh perawat atau seorang asisten merupakan pemeriksaan praktis untuk mendeteksi kurang pendengaran yang signifikan. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk skrining audiometri harus jelas, biaya murah dan dapat diterima oleh penderita (Gates dan Mills, 2005).

Standar tes skrining audiometri pada level frekuensi 1 kHz, 2 kHz, dan 3kHz dan level intensitas 25 dB, 40 dB, dan 60 dB. Kelainan pada frekuensi 25 dB bagi penderita dewasa muda atau 40 dB bagi usia lanjut merupakan penilaian yang tepat. Indikasi pemeriksaan metabolik dilakukan pada penderita yang belum pernah melakukan pemeriksaan kesehatan terutama dengan riwayat diabetes, disfungsi renal, hipertensi, dan hiperlipidemi (Gates dan Mills, 2005).

2.3. Faktor Risiko

2.3.1. Usia dan jenis kelamin

Prevalensi terjadinya presbiakusis rata-rata pada usia 60-65 tahun keatas. Proses bertambahnya usia semakin banyak penderita mengalami gangguan pendengaran menurut Moller dkk. Faktor risiko usia terhadap kurang pendengaran berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penelitian mengenai pengukuran ambang


(37)

suara nada murni telah banyak dilakukan pada laki-laki dan perempuan di beberapa Negara (Kim SH et al., 2010).

2.3.2. Diabetes milittus

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit bersifat genetik ditandai kadar serum glukosa yang meningkat akibat defisiensi insulin relatif atau absolut. Penyakit ini ditandai oleh trias 3P yang terkenal, yaitu: poliuri, polidipsi dan polipagi. DM dibagi menjadi: DM tergantung insulin (DMTI) atau insulin dependent DM (IDDM), dan DM tak tergantung insulin (DMTTI) atau non insulin dependent DM (NIDDM) Manifestasi klinis adalah kelainan metabolik, vaskular dan komplikasi neuropati (Chacra AR, 2001).

Glukosa yang terikat pada protein dalam proses glikosilasi akan membentuk advancend glicosilation end product (AGEP) yang tertimbun dalam jaringan tubuh penderita diabetes mellitus. Bertambahnya AGEP akan mengurangi elastisitas dinding pembuluh darah (arteriosklerosis), dinding pembuluh darah semakin menebal dan lumen menyempit yang disebut mikroangiopati (Chacra AR, 2001).

Akibat mikroangiopati organ koklea akan terjadi atrofi dan berkurangnya sel rambut. Neuropati terjadi akibat mikroangiopati pada vasa nervosum nervus VIII, ligamentum dan ganglion spiral ditandai kerusakan sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan axon. Akibat proses ini dapat menimbulkan penurunan pendengaran. Abdulbarri, Thiago melaporkan bahwa terdapat hubungan antara penderita DM dengan terjadinya penurunan pendengaran (Bener A et al., 2008).


(38)

24

2.3.3. Hipertensi

A. Pengertian

Menurut WHO (2006) hipertensi adalah tekanan darah yang berada di atas 140/90 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Hipertensi adalah masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif, seperti gagal jantung congestive, gagal ginjal, dan penyakit vaskuler.Hipertensi disebut silent killer menimbulkan stroke yang fatal atau penyakit jantung. Meskipun tidak dapat diobati, pencegahan dan penatalaksanaan dapat menurunkan kejadian hipertensi dan penyakit yang menyertainya.

B. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Hipertensi esensial atau hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik, terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktorfaktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada usia 30 50 tahun (Yogiantoro M, 2006).

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 10 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindromcushing,


(39)

feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Sharma S, et al., 2008).

C. Gejala Klinis

Corwin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa: Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial, Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat, Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo, 2002).

D. Patogenesis

Hipertensi adalah penyakit yang penting sebab bila tidak terkendali akan menyebabkan stresor pada endotel sehingga endotel akan mengeluarkan sitokin pro inflamasi (TNF α, IL-1β, IL-6) maupun growthfactor (misalnya: TGF-β1) yang akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah (aterosklerosis) akhirnya menyebabkan kerusakan target organ: otak, jantung, ginjal, mata, dll. Aterosklerosis yang progresif akan menyebabkan kerusakan target organ. Ada 3 mekanisme penting yang menyebabkan aterosklerosis antara lain: reaksi inflamasi (TNFα, IL-1β, IL-6), disfungsi endotel, hiperkoagulasi. Tetapi dalam


(40)

26

kenyataannya ketiga mekanisme tersebut saling terkait. Pengelolaan hipertensi tidak boleh hanya mengandalkan obat, supaya efek terapinya optimal harus disertai non drugs treatment, misalnya: diit rendah garam, tinggi serat, pengendalian berat badan, olahraga yang terprogram, teratur dan individual (Lopez P et al., 2012).

Kejadian kardiovaskuler didasari oleh progresifitas aterosklerosis. Pada prinsipnya aterosklerosis didasari oleh 3 mekanisme yang penting antara lain: reaksi inflamasi, disfungsi endotel maupun hiperkoagulasi. Pada kenyataannya ketiga mekanisme tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi (Di Marco et al., 2013).

Tekanan darah terutama dikontrol oleh sistem saraf simpatik (kontrol jangka pendek) dan ginjal (kontrol jangka panjang). Mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahan perubahan pada curah jantung dan resistensi vaskular perifer. Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal.Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas simpatik. Saraf simpatik mengeluarkan norepinefrin, sebuah vasokonstriktor yang mempengaruhi pembuluh arteri dan arteriol sehingga resistensi perifer meningkat. Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali ke normal sedangkan tahanan perifer meningkat yang disebabkan oleh reflex autoregulasi. Yang dimaksud dengan refleks autoregulasi adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal. Oleh karena curah jantung yang meningkat terjadi konstriksi sfingter pre-kapiler yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan peninggian tahanan


(41)

perifer.Pada stadium awal sebagian besar pasien hipertensi menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan kenaikan tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap (Vasal et al., 2001).

E. Klasifikasi hipertensi

- Klasifikasi menurut Join national commite

Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalisme, sukarelawan, dan agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) pada tabel, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat (JNC 8. 2014).

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan risiko komplikasi kardiovaskuler.Data ini mendorong pembuatan klasifikasi baru yang disebut pra hipertensi.

Tabel 2. Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluatin, and Treatmen of High Blood Pressure) (JNC 8, 2014)

Klasifikasi Tekanan sistolik Tekanan Diastolik

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Derajat 1 140-159 90-99

Derajat 2 ≥160 ≥100


(42)

28

WHO ( 2006) dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG) telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO (2006)

Kategori Tekanan Darah

Sistol (mmHg)

Tekanan Darah Diastol (mmHg)

Normal <120 <80

Normal-Tinggi <130 <85

130-139 85-89

Tingkat 1 140-159 90-99

Sub-group : perbatasan 140-149 90-94

Tingkat 2 160-179 100-109

Tingkat 3 ≥180 ≥110

Hipertensi sistol terisolasi (Isolated systolic

hypertension)

≥140 ≤90

Sub-grup : perbatasan 140-149 <90

2.4. Diagnosis

Diagnosis hipertensi dapat ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah. Berbagai faktor dapat mempengaruhi hasil pengukuran tekanan darah secara akurat, seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran. Dalam anamnesis mestinya ditanyakan apakah ada hipertensi sebelumnya,pengobatannya atau obat yang diminumnya, kebiasaan makan, makanan yang banyak mengandung garam perlu ditanyakan ( Sani, 2008).


(43)

Menurut WHO (2006) penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis penatalaksanaan, yaitu :

A. Penatalaksanaan non farmakologis B. Penatalaksanaan farmakologis

A. Penatalaksanaan non farmakologis

Menurut beberapa ahli pengobatan cara ini sama pentingnya dengan pengobatan farmakologi dan mempunyai keuntungan lain terutama pada pengobatan hipertensi ringan. Dengan pengobatan non farmakologis, pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan setidak-tidaknya ditunda. Beberapa penatalaksanaan non farmakologis yaitu : mengurangi konsumsi garam dan upaya penurunan berat badan, pengobatan ini biasanya tidak menadji pengobatan tunggal tetapi menjadi pelengkap pengobatan farmakologis, olah raga teratur dapat turunkan tahanan perifer dan berat badan, menghindarkan faktor risiko seperti merokok dan stress (Lumbantobing, 1998).

B. Penatalaksanaan farmakologis

Pengobatan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu : pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kasual, pengobatan hipertensi ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi, upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi (Lumbantobing, 1998).


(44)

30

2.5. Kerangka konsep

Hipertensi

Stresor Endotel

Sitokin pro Growth Faktor

TNF α IL-1β IL-6 TGF β1

Aterosklerosis

Gangguan vaskularisasi

Aliran darah kapiler dan oksigenasi koklea menurun

Kerusakan sel audiotori


(45)

2.6. Hipotesis

Terhadap hubungan antara faktor risiko hipertensi dan kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.


(46)

32 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian dengan desain observational analitik dengan metode case control untuk menganalisis hipertensi dengan kejadian presbiakusis yang dilakukan di RS PKU Yogyakarta.

3.2. Populasi dan Sampel

1. Populasi target : Semua penderita berusia ≥ 60 tahun yang datang berobat ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Populasi terjangkau : Semua penderita berusia ≥ 60 yang datang ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2013 hingga tahun 2015. 3. Sampel : Semua penderita berusia ≥ 60 yang datang berobat ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2013 hingga tahun 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3. Kriteria Inklusi

1. Usia ≥ 60 dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg

2. Penderita presbiakusis berdasarkan audiometri nada murni

3.4. Kriteria Eksklusi


(47)

3.5. Lokasi dan Watu Penelitia

Lokasi penelitian akan dilakukan di ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan waktu penelitian akan dilakukan mulai dari bulan juni 2015 hingga oktober 2015.

3.6. Besar Sampel Penelitian

Besar sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus kasus kontrol Hidayat (2009) berdasarkan penelitian sebelumnya.

Keterangan :

n = Jumlah Sampel

P1 = Proporsi pemaparan pada kelompok kasus P2 = Proporsi pemaparan pada kelompok control Zα = Tingkat kemaknaan (untuk = 0,05 adalah 1,96) Zβ = Tingkat kuasa / kekuatan yang diinginkan (0,8)

Berdasarkan rumus tersebut dengan tingkat kemaknaan yaitu 1.96, tinagt kekuatan uji sebesar 0,8 maka perkiraan besar sampel (n) adalah 20. Jadi diperlukan sampel 20 untuk kasus dan 20 untuk kontrol, jadi total keseluruhan sampel adalah 40.


(48)

34

3.7. Sampling

Populasi terjangkau secara consecutive sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi penelitian dengan perbandingan kasus : kontrol = 1 : 1 sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.

3.8. Identifikasi Variabel Penelitian dan Operasionalisasi 3.8.1. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas :

Variabel bebas yaitu hipertensi

2. Variabel terikat :

Variabel terikat yaitu presbiakusis

3. Variabel perancu :


(49)

3.9. Definisi Operasional

Variabel Penelitian Definisi Operasional Skala Pengukuran Kasus (Presbiakusis +) Terdapat penuruanan

pendengaran pada kedua telinga secara perlahan-lahan simetris pada telinga kanan dan kiri. Pemeriksaan audiometri nada murni terdapat penurunan nada tinggi atau rendah tipe sensori neural, simetris bilateral (gambaran presbiakusis) dengan perbedaan antara telinga kanan dan kiri tidak melebihi 10 dB (Nelson,2006).

Nominal

Kontrol (Presbiakusis -) Berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni : pure tone average (PTA) dalam batas normal.

Nominal

Karakteristik Subjek

Hipertensi Pemeriksaan tekanan

darah melebihi 140/90 mmHg hipertensi (+). Bila tekanan darah < 140/90 mmHg dan dikatakan hipertensi (-).

Nominal

Usia Usia subjek dibagi

menjadi lebih dari 65 tahun dan kurang dari 65 tahun

Ordinal

Jenis Kelamin Suatu ciri biologis yang membedakan subjek laki-laki dan perempuan


(50)

36

3.10. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian : - Rekam medis

3.11. Alur Penelitian

3.12. Analisis Data

Data yang didapat akan diolah dalam komputer. Analisis inferensial ditampilkan dalam bentuk tabel dan menggunakan uji Chi square untuk menilai faktor risiko terhadap kejadian presbiakusis. Besar risiko (OR) dengan interval

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Audiometri

Presbiakusis(+) Presbiakusis(-)

Analisis statik

Faktor (+) Faktor (-) Faktor (+) Faktor (-)

Populasi


(51)

kepercayaan CI 95%, dan α = 5%. Uji multivariat dengan regresi logistic untuk mencari faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian presbiakusis. Faktor yang dinilai bila variabel tersebut pada uji multivariat dengan p < 0,05. Semua perhitungan statistic menggunakan software Statistical Package for Social science (SPSS).

3.13. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etik, diantaranya :

1. Kerahasiaan identitas pasien pada rekam medis dijaga oleh peneliti dan hanya digunakan semata-mata untuk kepentingan penelitian.

2. Kerahasiaan informasi pasien dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data yang valid yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

3. Akan dimasukkan kedalam komite uji etik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(52)

38 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

4.1. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta mulai bulan juni 2015 hingga oktober 2015. Subjek dikatakan presbiakusis (+) berdasarkan hasil audiometri. Sebanyak 20 subjek dikatan presbiakusis (+) sebagai kelompok kasus, dan sebanyak 20 subjek dengan presbiakusis (-) sebagai kelompok kontrol.

4.2. Karakterisitik subjek penelitian

Tabel 3. menunjukkan karakteristik umum subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, hipertensi, dan derajat hipertensi.

Tabel 3. Karakteristik Jenis kelamin, usia, hipertensi, dan derajat hipertensi

Kasus Kontrol Total Uji

Homogenitas Jenis Kelamin

Laki-laki 13 (32,5%) 11 (27,5%) 24 (60%) 0,531 Perempuan 7 (17,5%) 9 (22,5%) 16 (40%)

Usia (tahun)

>65 16 (40%) 10 (25%) 26 (65%) 0,048

<65 4 (10%) 10 (25%) 14 (35%)

Hipertensi

Ya 15 (37,5%) 8 (20%) 23 (57,5%) 0,025

Tidak 5 (12,5%) 12 (30%) 17 (42,5%)

Derajat Hipertensi

Derajat 1 4 (17,4%) 6 (26,1%) 10 (43,5%) 0,689 Derajat 2 11 (47,8%) 2 (8,7%) 13 (56,5%)


(53)

Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin laki-laki sebesar 24 orang (60%) dan perempuan sebesar 16 orang (40%). Pada kalompok usia didapatkan usia <65 tahun sebanyak 14 (35%) dan >65 tahun sebanyak 26 (65%). Pada kelompok hipertensi didapatkan 23 orang (57,5%) terkena hipertensi dan 17 orang (42,5%) tidak terkena hipertensi. Pada kelompok derajat hipertensi didapatkan 13 orang (56,5%) hipertensi derajat 1 dan 10 orang (43,5%) hipertensi derajat 2.

4.3. Analisis Inferensial

Analisis inferensial dilakukan terhadap beberapa variabel faktor risiko yang diperkirakan ada hubungannya dengan kejadian presbiakusis. Analisis bivariat menggunakan Odds Ratio/OR dan Confident Interval (C.I) 95%. OR untuk mengetahui besar risiko antara usia, jenis kelamin, hipertensi, dan derajat hipertensi terhadap kejadian presbiakusis.

4.4.1. Hubungan jenis kelamin dengan presbiakusis

Pada Tabel 4. Ditunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang (60%) dan perempuan sebanyak 16 orang (40%). Pada kelompok jenis kelamin laki-laki terjadi presbiakusis sebanyak 13 orang (32,5%) dan tidak terjadi presbiakusis sebanyak 11 orang (27,5%), sedangkan pada perempuan terjadi presbiakusis sebanyak 7 (17,5%) dan tidak terjadi presbiakusis sebanyak 9 (22,5%).


(54)

40

Tabel 4. Hubungan jenis kelamin dengan presbiakusis Jenis

Kelamin

Kasus Kontrol Total Odds ratio (OR)

p Laki-laki 13 (32,5%) 11 (27,5%) 24 (60%) 1,519 0,519 Perempuan 7 (17,5%) 9 (22,5%) 16 (40%)

Pada Uji Chi square didapatkan Odds Ratio (OR) = 1,519 dan p = 0,519.

4.4.2. Hubungan usia dengan presbiakusis

Pada kelompok usia >65 tahun terjadi presbiakusis sebanyak 16 orang (40%) dan tidak terjadi presbiakusis sebanyak 10 orang (25%), sedangkan pada kelompok usia <65 tahun yang terjadi presbiakusis sebanyak 4 orang (10%) dan tidak terjadi presbiakusis sebanyak 10 orang (25%).

Tabel 5. Hubungan usia dengan presbiakusis

Usia Kasus Kontrol Total Odds ratio

(OR)

p

<65 16 (40%) 10 (25%) 26 (65%) 4 0,047

>65 4 (10%) 10 (25%) 14 (35%)

Pada Uji Chi square didapatkan Odds Ratio (OR) = 4 dan p = 0,047.

4.4.3. Hubungan hipertensi dengan presbiakusis

Hubungan antar afaktor hipertensi dengan kejadian presbiakusis diwakili dengan ada tidaknya hipertensi (Tabel 6). Subjek yang menderita hipertensi lebih banyak 57,5% yang terdiri dari 15 (37,5%) pada kasus dan 8 (20%) pada kontrol.


(55)

Tabel 6. Hubungan hipertensi dengan presbiakusis Hipertensi Kasus Kontrol Total Odds ratio

(OR)

p

Ya 15 (37,5%) 8 (20%) 23 (57,5%) 4,5 0,025

Tidak 5 (12,5%) 12 (30%) 17 (42,5%)

Pada Uji Chi square didapatkan Odds Ratio (OR) = 4,5 dan p = 0,025.

4.4.4. Hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis

Pada penelitian ini didapatkan 13 orang (56,5%) hipertensi derajat 1 dan 10 orang (43,5%) hipertensi derajat 2 (Tabel 7.)

Tabel 7. Hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis Derajat

Hipertensi

Kasus Kontrol Total Odds ratio (OR)

p Derajat 1 4 (17,4%) 6 (26,1%) 10 (43,5%) 3,9 0,026 Derajat 2 11 (47,8%) 2 (8,7%) 13 (56,5%)

Pada Uji Chi square didapatkan Odds Ratio (OR) = 3,9 dan p = 0,026.

4.5. Analisis Regresi Logistik

Analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui lebih jauh pengaruh faktor risiko secara bersama-sama atau independen terhadap kejadian presbiakusis. Variabel faktor risiko yang masuk dalam analisis multivariat adalah variabel hasil analisis bivariat. Hasil analisis regresi logistik ditunjukkan pada tabel 8.


(56)

42

Tabel 8. Hasil analisis regresi logistic semua faktor risiko presbiakusis

Deskripsi B SE Adj.OR 95% CI p

bawah atas Jenis

kelamin

0,974 0.290 1,820 0,425 5,426 0,747

Usia 0,735 0,166 4,5 0,983 16,271 0,044

Hipertensi 0,864 0,511 5,8 1,166 17,373 0,027 Derajat

Hipertensi

0,224 0,170 3,2 0,989 15,373 0,029

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik didapatkan faktor usia, hipertensi dan derajat hipertensi dengan nilai p<0,05 (signifikan), sedangkan jenis kelamin didapatkan nilai p>0,05 (tidak signifikan).

B. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan juni 2015 sampai dengan oktober 2015. Jenis penelitian dengan desain observational analitik dengan metode cross sectional untuk menganalisis hipertensi dengan kejadian presbiakusis yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Pada kelompok usia < 65 tahun presbiakusis (+) sebanyak 4 orang (10%) dan presbiakusis(-) sebesar 10 orang (25%), sedangkan pada kelompok usia >65 tahun presbiakusis(+) sebesar 16 orang (40%) dan presbiakusis(-) sebesar 10 orang (25%).

Tabel 5. Menunjukkan bahwa hubungan antara kelompok usia dengan kejadian presbiakusis bermakna secara statistik, kelompok usia >65 tahun


(57)

mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 4 kali (OR=4; CI 95%=0,983-16,271; p=0,047).

Pada penelitian Marchiori et al, (2002) melakukan penelitian tentang frekuensi dan profil audiometri pada pasien hipertensi, terdapat 552 pasien yang dilakukan penilaian audiometri. Dari 552 pasien , 137 berasal dari pasien dengan hipertensi arteri dari kedua jenis kelamin, dengan usia bervariasi antara 64 sampai dengan 84 tahun (88,32%). Menurut penelitian Rey et al, (2002) pada 59 pasien dengan usia rata-rata 75 tahun dan terdapat penurunan pendengaran yang signifikan dengan hipertensi.

Johnson (1998) menuliskan bahwa pada usia dibawah 65 tahun, kurang pendengaran belum begitu terasa sedangkan pada usia old kurang pendengaran lebih nyata. Hasil penelitian Johnson menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada penurunan nilai ambang dengar subjek berusia diatas 65 tahun dibanding subjek berusia dibawah 65 tahun. Sesuai dengan teori bahwa dengan bertambahnya usia maka kemungkinan terjadinya degenerasi semakin tinggi termasuk pada organ pendengaran sehingga fungsinya akan menurun.

Pada kelompok jenis kelamin perempuan presbiakusis(+) sebanyak 7 orang (32,5%) dan presbiakusis(-) sebesar 9 orang (22,5%), sedangkan kelompok laki-laki yang presbiakusis(+) sebesar 13 orang (32,5%) dan yang presbiakusis(-) sebesar 11 orang (27,5%) .

Pada tabel 4 menunjukkan bahwa hubungan antara kelompok jenis kelamin dengan kejadian presbiakusis tidak bermakna secara statistic, tidak ada


(58)

44

perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dan mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 1,519 kali (OR=1,519; CI95%=0,425-5,426; p=0,519).

Menurut penelitian Fernanda (2009) hubungan presbiakusis dengan jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Didapatkan kejadian presbiakusis pada laki-laki sebanyak 191 orang dan perempuan sebanyak 201 orang.

Penelitian di Qatar mengatakan frekuensi laki-laki lebih banyak 52,6% dibanding perempuan 49,5%. Berdasarkan penelitian di South Carolina USA, ditemukan frekuensi laki-laki 52,1% lebih banyak dari perempuan 48,4%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, laki-laki mempunyai frekuensi lebih banyak daripada perempuan mengingat bahwa riwayat bising dapat mempengaruhi terjadinya presbiakusis yang dihubungkan bahwa laki-laki lebih banyak bekerja dan mendapat paparan suara bising baik didalam maupun diluar dilingkungan kerja (Lee et al.,2005; Mondeli dan Lopez.,2009).

Pada kelompok hipertensi subjek yang menderita hipertensi lebih banyak 57,5% yang terdiri dari 15 (37,5%) pada kasus dan 8 (20%) pada kontrol. Tabel 6 menunjukkan bahwa hubungan hipertensi dengan presbiakusis bermakna secara statistik, hipertensi mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 4,5 kali (OR=4,5; CI 95%=1,166-17,373; p=0,025). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mondelli (2009), didapatkan penderita hipertensi 65% mempunyai hubungan dengan kejadian kurang pendengaran tipe sensorineural pada usia lanjut.


(59)

Pada kelompok derajat didapatkan 10 orang (43,5%) hipertensi derajat 1 dan 13 orang (56,5%) hipertensi derajat 2. Tabel 7 menunjukkan bahwa hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis bermakna secara statistik, dimana kelompok hipertensi derajat 2 dapat meningkatkan risiko kejadian presbiakusis sebesar 3,9 kali dari pada hipertensi derajat 1 (OR=3,9; CI 95%=0,989-15,373; p=0,026).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tuli yang bersifat sensori neural menghasilkan ketidakmampuan sirkulasi pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan emboli, perdarahan dan vasospasme,beberapa dapat disebabkan oleh kejadian hipertensi, hiperviskositas, atau sindrom mikroangiopati, dengan pencegahan hipertensi seperti beberapa faktor risiko yang harus dihindari sehingga mengurangi kejadian penurunan pendengaran (Takumida M, 2008).

Tabel 8 hasil analisis regresi logistik semua faktor risiko presbiakusis, usia berpengaruh signifikan terhadap kejadian presbiakusis sebesar 4,5 kali (OR=4,5; CI 95%=0,983-16,271; p=0,044). Jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian presbiakusis, jenis kelamin mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 1,820 kali (OR=1,820; CI95%=0,425-5,426; p=0,747). Hipertensi bermakna secara statistik terhadap presbiakusis dengan risiko kejadian presbiakusis sebesar 5,8 kali (OR=5,8; CI 95%=1,166-17,373; p=0,027). Derajat hipertensi berpengaruh signifikan terhadap kejadian presbiakusis sebesar 3,2 kali (OR=3,2; CI 95%=0,989-15,373; p=0,029).


(60)

46

4.6. Keterbatasan Penelitian

Faktor genetik berpengaruh terhadap kejadian presbikusis, namun pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan genetik selain itu aspek lingkungan sehari-hari atau riwayat pekerjaan dapat berperan terhadap kejadian presbikusis namun pada penelitian ini tidak dilakukan analisis.


(61)

47 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hipertensi berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Derajat hipertensi berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Usia berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis pada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusispada lansia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain yang berperan pada kejadian presbiakusis.

2. Manajemen penderita hipertensi harus ditekankan agar risiko terjadinya presbiakusis dapat diturunkan.


(62)

48

DAFTAR PUSTAKA

Bachor, E., Selig, Y., Jahnke, K., & Rettinger, G. (2001). Vascular Varitions of the inner ear. Acta Otolaryngol, 35-41.

Bear, M., Barry, W., & Paradison, M. (2001). Neuroscience, exploring the brain (2nd ed.). Lippincott Williams & Wilkins.

Bener, A., Salahudin, A., Darwish, S., & Al-Hamaq, A. (2008). Association between hearing loss and type 2 diabetes mellitus in elderly people in a new developed society. Biomed Res.

Corwin , & Elizabeth, J. (2000). In Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Dewi, A. (2011). Presbiakusis. Retrieved Maret 15, 2015, from

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/presbiakusis.pdf. Do Carmo, L., Silveira, J., Marone , S., D'Ottaviano, F., & Zagati, L. (2008).

Audiological study of elderly brazilian population. Brazil J Otorhinolaryngol, 342-349.

Gates, G., & Mills, J. (2005). Presbycusis. Lancet.

Goycoolea, M., Coycoolea, H., Farfan, C., Rodriguez, L., & Vidal, R. (1986). Effect of life in industrialized societies on hearing in natives of easter island.

Laryngoscope, 1391-1396.

Jerger, J., & Jerger, S. (1976). The effects of age on the diagnostic utility of the rollover phenomenon. J speech Hear Disord.

Jonsson, R., Rosenhall, U., Gause, N., & Steen, B. (1998). Auditory function in 70 and 75 years old of four age cohorts. 81-93.

Keithley, E., Canto, C., Zheng, Q., Fischel-Ghodsian, N., & Johnson, K. (2004). Age-related hearing loss and the ahl locus in mice. Hear Res, 188:21-8.

Kim, S., Lim, E., Kim, H., Park, J., Jarng, S., & Lee, S. (2010). Sex differences in a cross sectional study of age-related hearing loss in korea. Clinical and Experimental Otorhinolaryngol, 27-31.

L, M. (2006). Hypertension as a factor associated with hearing loss.

Lalwani, A. (2004). The aging inner ear. In Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery 12 (pp. 745-42). New York: McGraw-Hill Co.

Lee, F., Matthew, L., Dubno, J., & Mills, J. (2005). Longitudinal study of puretone thresholds in older persons. Ear Hear, 1-11.


(63)

Lumbangtobin, S. (1998). Stroke. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Mills, J., & Weber, P. (2001). Anatomy and physiology of hearing. In B. Bailey,

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelhia, USA: Lippincott Williams and Wilkins.

Mondelli, M., & Lopes, A. (2009). Relation berween arterial hypertension and hearing loss. Int. Arch. Otorhinolaryngol.

Muyassaroh, M. (2013). Faktor Risiko Presbikusis. Retrieved Maret 15, 2015, from http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/.../1187 Nelson, E., & Hinojosa, R. (2006). Presbycusis : a human temporal bone study of

individuals with downward sloping audiometric patterns of hearing loss and review of the literature. Laryngoscope, 1-12.

Ohlemiller, K. (2004). Age-related hearing loss : The status of Schuknecht's typology. In Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery 12 (pp. 439-443). Paris, J., Ballay, C., Inserra, M., Stidham, K., Colen, T., & Roberson, J. (2008). Genetic

analysis of presbycusis by arrayed primer extension. Annals of science & lab, 352-360.

Sakaguchi, H., Tokita, J., Muuler, U., & Kachar, B. (2009). Tip links in hair cells : molecular composition and role in hearing loss. Curr Opin Otolaryngol, 388-393. Schuknecht, H., & Gacek, M. (1993). Cochlear pathology in presbycusis. Annls of

Otology, Rhinology, and Laryngology.

Sharma, S. (2008). Hypertension. Retrieved Maret 15, 2015, from http//:www.emedicine.com

Shohet, J., Talavera, F., Pharm, D., & Gianoli, G. (2005). Inner ear, Presbycysus. Retrieved Maret 15, 2015, from http://www.eneducube.com

Soepardi, E., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. (2007). In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher (pp. 93-97). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Someya, S., Xu, J., Kondo, K., Ding, D., Salvi, R., & Yamasoba, T. (2009). Agerelated hearing loss in C57BL/6J mice is mediated by Bak-dependent mitochondrial apoptosis. USA: Proc natl Acad Sci.

Spiess, A., Lang, H., Schulte, B., Spicer, S., & Schmiedt, R. (2002). Effects of gap Junction uncoupling in the gerbil cochlea. Laryngoscope.


(1)

tekanan darah melebihi 120 mmHg mulai terjadi stresor terhadap endotel, makin tinggi dan makin lama terjadinya hipertensi stresor endotel tersebut makin berat. Stresor endotel akan menyebabkan endotel tersebut mengekspresikan sitokin pro inflamasi antara lain: TNF α, IL-1β, IL-6, dll. Selain sitokin pro inflamasi tersebut endotel juga mengekspresikan growth faktor (misalnya: TGF-β1). TNF akan menyebabkan terjadinya kematian endotel dengan cara apoptosis jalur ekstrinsik maupun kematian endotel secara nekrosis11. Mekanisme aterosklerosis menyebabkan adanya gangguan vaskularisasi pada koklea sehingga menyebabkan aliran darah kapiler dan suplai oksigen pada koklea menurun sehingga menyebabkan penurunan pendengaran12.

Metode

Jenis penelitian dengan desain observational analitik dengan metode case control untuk menganalisis hipertensi dengan kejadian presbiakusis yang

dilakukan di RS PKU Yogyakarta selama periode juni 2015 sampai oktober 2015.

Sampel yang diuji sebanyak 40 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebagai kriteria inklusi adalah pasien dengan usia ≥ 60 tahun dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan penderita presbiakusis berdasarkan audiometri nada murni. Untuk kriteria eksklusi adalah pasien yang memiliki riwayat diabetes mellitus.

Variabel bebas adalah hipertensi, variable terikat adalah presbiakusis, dan variable perancu adalah usia, jenis kelamin, dan derajat hipertensi.

Data yang didapat akan diolah dalam komputer. Analisis inferensial ditampilkan dalam bentuk tabel dan menggunakan uji Chi square untuk menilai faktor risiko terhadap kejadian presbiakusis. Besar risiko (OR) dengan interval kepercayaan CI 95%, dan α = 5%. Uji multivariat dengan regresi logistic untuk mencari faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian presbiakusis. Faktor yang dinilai bila variabel tersebut pada uji multivariat dengan p < 0,05. Semua


(2)

perhitungan statistic menggunakan software Statistical Package for Social science (SPSS).

Hasil Penelitian

Berikut ditampilkan data hasil analisis yang meliputi data usia, jenis kelamin, hipertensi, dan derajat hipertensi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Tabel 1. Karakteristik Jenis kelamin, usia, hipertensi dan derajat hipertensi

Kasus Kontrol Total Jenis

Kelamin

Laki-laki 13 (32,5%)

11 (27,5%)

24 (60%) Perempuan 7

(17,5%) 9 (22,5%) 16 (40%) Usia (tahun)

>65 16 (40%)

10 (25%)

26 (65%) <65 4

(10%) 10 (25%) 14 (35%) Hipertensi

Ya 15

(37,5%) 8 (20%)

23 (57,5%)

Tidak 5

(12,5%) 12 (30%) 17 (42,5%) Derajat Hipertensi

Derajat 1 4 (17,4%)

6 (26,1%)

10 (43,5%) Derajat 2 11

(47,8%) 2 (8,7%)

13 (56,5%)

Tabel 2. Hubungan jenis kelamin dengan presbiakusis

Jenis Kelamin

Kasus Kontrol Total Odds ratio (OR)

p

Laki-laki 13 (32,5%)

11 (27,5%)

24 (60%)

1,519 0,519

Perempuan 7 (17,5%)

9 (22,5%)

16 (40%)

Tabel 3. Hubungan usia dengan presbiakusis Usia Kasus Kontrol Total Odds

ratio (OR)

p

<65 16 (40%)

10 (25%)

26 (65%)

4 0,047

>65 4 (10%)

10 (25%)

14 (35%)

Tabel 4. Hubungan hipertensi dengan presbiakusis

Hipertensi Kasus Kontrol Total Odds ratio (OR)

p

Ya 15

(37,5%)

8 (20%) 23 (57,5%)

4,5 0,025

Tidak 5

(12,5%) 12 (30%)

17 (42,5%)

Tabel 5. Hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis

Derajat Hipertensi

Kasus Kontrol Total Odds ratio (OR)

p

Derajat 1 4 (17,4%)

6 (26,1%)

10 (43,5%)

3,9 0,026

Derajat 2 11 (47,8%)

2 (8,7%)

13 (56,5%)


(3)

Tabel 6. Hasil analisis regresi logistic semua faktor risiko presbiakusis

Deskripsi B SE Adj.OR 95% CI p

bawah atas Jenis

kelamin

0,974 0.290 1,820 0,425 5,426 0,747

Usia 0,735 0,166 4,5 0,983 16,271 0,044

Hipertensi 0,864 0,511 5,8 1,166 17,373 0,027

Derajat Hipertensi

0,224 0,170 3,2 0,989 15,373 0,029

Diskusi

Pada kelompok jenis kelamin perempuan presbiakusis(+) sebanyak 7 orang (32,5%) dan presbiakusis(-) sebesar 9 orang (22,5%), sedangkan kelompok laki-laki yang presbiakusis(+) sebesar 13 orang (32,5%) dan yang presbiakusis(-) sebesar 11 orang (27,5%). Pada tabel 2. menunjukkan bahwa hubungan antara kelompok jenis kelamin dengan kejadian presbiakusis tidak bermakna secara statistic, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dan mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 1,519 kali (OR=1,519; CI95%=0,425-5,426; p=0,519).

Pada kelompok usia < 65 tahun presbiakusis (+) sebanyak 4 orang (10%) dan presbiakusis(-) sebesar 10 orang

(25%), sedangkan pada kelompok usia >65 tahun presbiakusis(+) sebesar 16 orang (40%) dan presbiakusis(-) sebesar 10 orang (25%). Tabel 3. Menunjukkan bahwa hubungan antara kelompok usia dengan kejadian presbiakusis bermakna secara statistik, kelompok usia >65 tahun mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 4 kali (OR=4; CI 95%=0,983-16,271; p=0,047).

Johnson (1998) menuliskan bahwa pada usia dibawah 65 tahun, kurang pendengaran belum begitu terasa sedangkan pada usia old kurang pendengaran lebih nyata. Hasil penelitian Johnson menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada penurunan nilai ambang dengar subyek berusia diatas 65 tahun dibanding subyek berusia dibawah 65 tahun. Sesuai dengan teori bahwa dengan bertambahnya usia maka kemungkinan terjadinya degenerasi semakin tinggi termasuk pada organ pendengaran sehingga fungsinya akan menurun13.


(4)

Pada kelompok hipertensi subyek yang menderita hipertensi lebih banyak 57,5% yang terdiri dari 15 (37,5%) pada kasus dan 8 (20%). Tabel 4. Menunjukkan bahwa hubungan hipertensi dengan presbiakusis bermakna secara statistik, hipertensi mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 4,5 kali (OR=4,5; CI 95%=1,166-17,373; p=0,025).

Pada kelompok derajat didapatkan 10 orang (43,5%) hipertensi derajat 1 dan 13 orang (56,5%) hipertensi derajat 2. Tabel 5. menunjukkan bahwa hubungan derajat hipertensi dengan presbiakusis bermakna secara statistik, dimana kelompok hipertensi derajat 2 dapat meningkatkan risiko kejadian presbiakusis sebesar 3,9 kali dari pada hipertensi derajat 1 (OR=3,9; CI 95%=0,989-15,373; p=0,026).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tuli yang bersifat sensori neural menghasilkan ketidakmampuan sirkulasi pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan emboli, perdarahan dan vasospasme,beberapa dapat disebabkan oleh kejadian hipertensi, hiperviskositas, atau sindrom mikroangiopati, dengan pencegahan hipertensi seperti beberapa

faktor risiko yang harus dihindari sehingga mengurangi kejadian penurunan pendengaran14.

Tabel 6. hasil analisis regresi logistik semua faktor risiko presbiakusis, usia berpengaruh signifikan terhadap kejadian presbiakusis sebesar 4,5 kali (OR=4,5; CI 95%=0,983-16,271; p=0,044). Jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian presbiakusis, jenis kelamin mempunyai risiko kejadian presbiakusis sebesar 0,747 kali (OR=1.820; CI95%=0,425-5,426; p=0,747). Hipertensi bermakna secara statistik terhadap presbiakusis dengan risiko kejadian presbiakusis sebesar 5,8 kali (OR=5,8; CI 95%=1,166-17,373; p=0,027). Derajat hipertensi berpengaruh signifikan terhadap kejadian presbiakusis sebesar 3,2 kali (OR=3,2; CI 95%=0,989-15,373; p=0,029).

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis di


(5)

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Usia berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Hipertensi berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Derajat hipertensi berpengaruh terhadapat kejadian presbiakusis di

RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain yang berperan pada kejadian presbiakusis.

2. Manajemen penderita hipertensi harus ditekankan agar risiko terjadinya presbiakusis dapat diturunkan.

Daftar Pustaka

1. Lalwani, A. (2004). The aging inner ear. In

Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery 12 (pp. 745-42). New York: McGraw-Hill Co.

2. Shohet, J., Talavera, F., Pharm, D., & Gianoli, G. (2005). Inner ear, Presbycysus. Retrieved Maret 15, 2015, from

http://www.eneducube.com

3. Schuknecht, H., & Gacek, M. (1993). Cochlear pathology in presbycusis. Annls of Otology, Rhinology, and Laryngology.

4. Muyassaroh, M. (2013). Faktor Risiko Presbikusis. Retrieved Maret 15, 2015, from http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/i dnmed/article/download/.../1187

5. Dewi, A. (2011). Presbiakusis. Retrieved Maret 15, 2015, from

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/presbiakusis.pdf. 6. Soepardi, E., Iskandar, N., Bashiruddin, J., &

Restuti, R. (2007). In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher (pp. 93-97). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Gates, G., & Mills, J. (2005). Presbycusis.

Lancet.

8. Do Carmo, L., Silveira, J., Marone , S., D'Ottaviano, F., & Zagati, L. (2008). Audiological study of elderly brazilian population. Brazil J Otorhinolaryngol, 342-349.

9. Jonsson, R., Rosenhall, U., Gause, N., & Steen, B. (1998). Auditory function in 70 and 75 years old of four age cohorts. 81-93. 10. Mondelli, M., & Lopes, A. (2009). Relation

berween arterial hypertension and hearing loss. Int. Arch. Otorhinolaryngol.

11. Yogiantoro, M. (2006). Hipertensi Esensial. In A. Sudoyo, B. Setiyohadi, L. Alwi, & K. Simadibrata, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

(4 ed., Vol. 1). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 12. Sharma, S. (2008). Hypertension. Retrieved

Maret 15, 2015, from http//:www.emedicine.com


(6)

13. Jonsson, R., Rosenhall, U., Gause, N., & Steen, B. (1998). Auditory function in 70 and 75 years old of four age cohorts. 81-93. 14. Mondelli, M., & Lopes, A. (2009). Relation

berween arterial hypertension and hearing loss. Int. Arch. Otorhinolaryngol.