Tantang Rhoma
Tantangan Rhoma
Oleh: Iding Rosyidin
(Koran Sindo, Rabu 22 Juli 2015)
Tiba-tiba Raja dangdut, Rhoma Irama, mengejutkan jagat politik Indonesia di
penghujung bulan Ramadhan. Ia mendeklarasikan partai politik baru, Partai Idaman (Islam,
Damai, dan Aman).
Sontak banyak kalangan terheran-heran dengan langkah Rhoma yang pernah
digadang-gadang sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada Pemilu 2014 yang lalu.Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak orang.
Apakah pendirian partai baru tersebut benar-benar merupakan ijtihad politik dari
pelantun lagu-lagu dangdut bergenre religi tersebut atau sebenarnya tidak lebih dari sekadar
ekspresi kekecewaan politiknya atas kegagalannya melaju sebagai capres? Dan bagaimana
tantangan partai ini di Pemilu 2019 yang akan datang?
Menjual Rhoma
Setiap partai politik pendatang pasti akan dihadapkan dengan bagaimana cara
memeroleh ceruk pasar di tengah persaingan partai-partai politik lainnya yang sudah lebih
dulu mendapatkan ceruk pasarnya. Kalau sudah mendapatkan ceruk pasarnya, langkah
berikutnya adalah bagaimana ia mampu merebut ceruk-ceruk pasar lain sehingga ceruk
pasarnya semakin membesar.
Dalam perspektif marketing politik, khususnya elemen produk politik, untuk
mendapatkan ceruk pasar sebuah partai politik, apalagi yang merupakan pendatang, harus
memiliki produk politik yang layak jual. Produk dalam konteks ini adalah person atau
individu atau bisa juga program atau partai politik itu sendiri.
Dalam konteks person atau individu, Partai Idaman tampaknya akan menjadi Rhoma
Irama sebagai jualan utamanya. Harus diakui bahwa Rhoma memiliki magnet politik yang
cukup besar. Popularitasnya sebagai penyanyi dangdut di kalangan publik Indonesia tidak
dapat terbantahkan. Hampir semua kalangan, dari muda sampai tua, laki-laki dan perempuan,
umumnya mengenal sosok yang kerap juga disebut Bang Haji itu.
Atas dasar popularitasnya itu Rhoma dan para pendiri Partai Idaman tampaknya
mempunyai optimisme yang cukup besar untuk membawa kesuksesan partai ini. Namun
agaknya yang tidak cukup disadari oleh mereka adalah bahwa tingkat popularitas tidak
berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas. Dengan kata lain, popularitas Rhoma sebagai
penyanyi dangdut tidak berarti sama dengan tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden.
Orang mungkin tahu siapa sosok Rhoma sebagai penyanyi dangdut, tetapi belum tentu
akan memilihnya sebagai capres. Kenyataannya tingkat elektabilitas Rhoma di pemilu tidak
segegap gempita popularitasnya. Partai berlambang Kakbah, PPP, misalnya, pernah berniat
mencapreskan Rhoma, tetapi karena tingkat elektabilitasnya berada di bawah Ketua Umum
ketika itu, Suryadharma Ali, niat itu pun urung dilakukan.
PKB sendiri yang sebelumnya telah menyatakan siap mencapreskan Rhoma pada
akhirnya juga membatalkannya, boleh jadi karena pertimbangan elektabilitasnya itu. Dalam
konteks ini, Rhoma mungkin dapat dibandingkan dengan KH Zainuddin MZ yang pernah
mendirikan partai baru ketika keluar dari PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Meski
popularitasnya sangat tinggi dengan julukan da’i sejuta umat karena massa yang selalu
berjubel saat menghadiri ceramah-ceramahnya, tetapi ternyata tidak sebanding dengan tingkat
elektabilitasnya. Partai yang didirikannya pun pada akhirnya tidak dapat bertahan lama.
Faktor Diferensiasi
Salah satu faktor penting bagi sebuah partai pendatang untuk dapat bersaing dengan
partai-partai pendahulunya adalah masalah diferensiasi. Hal ini kian menjadi penting dalam
sistem multipartai seperti yang berlangsung di Indonesia. Apakah partai pendatang tersebut
mampu melakukan positioning di tengah-tengah partai lainnya dengan karakterisktik
pembedanya yang jelas.
Inilah tantangan pertama yang mesti ditaklukkan sehingga bisa meraih pasar yang
ditargetkan. Masalahnya faktor diferensiasi inilah yang justeru menjadi salah satu problem
besar dalam kehidupan partai di republik ini. Ada banyak partai yang didirikan, entah yang
sudah kawakan maupun yang masih baru, tetapi antar satu dengan yang lain tidak terdapat
diferensiasi yang signifikan.
Sejauh ini yang dapat dibedakan baru sebatas nama, logo, dan warnanya saja. Di
antara partai-partai yang disebut sebagai partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, Demokrat,
misalnya, kita sulit menemukan faktor pembeda selain pada nama, logo, dan warnanya.
Dalam konteks ini, partai pendatang bentukan Rhoma Irama, Idaman, jelas tidak akan dapat
lepas dari problem tersebut.
Partai ini akan kesulitan untuk memosisikan dirinya dari partai-partai pendahulunya.
Tentang identitas kepartaian yang menegaskan sebagai partai Islam, misalnya, Partai Idaman
akan berhadapan vis-à-vis dengan partai Islam semisal PKS, PPP, dan PBB yang telah
memiliki basisnya masing-masing.
Dari sudut pandang ini, tampaknya Partai Idaman akan mengalami kesulitan untuk
mendapatkan basis massa (umat Islam) yang telah terbagi kepada ketiga partai pendahulunya
tersebut. Kecuali Partai Idaman mampu menawarkan model keislaman yang berbeda dengan
yang ditawarkan partai rivalnya itu dan sekaligus memberikan daya tarik tersendiri di
kalangan umat Islam Indonesia.
Tentu ini merupakan pekerjaan yang sangat tidak mudah dilakukan. Demikian pula
tentang klaim partai pendatang ini yang meskipun berasaskan Islam tetapi bersifat terbuka
untuk semua pihak, termasuk kalangan non-Muslim. Penegasan seperti ini telah dilakukan
oleh pendahulunya, PKS, tetapi agaknya tidak cukup berhasil, bahkan dalam derajat tertentu
memicu konflik internal di antara para kader.
Karena itu, meskipu secara teoretis mudah diucapkan, tetapi dalam praktiknya sulit
dilakukan. Rhoma juga akan mengalami hal yang tidak akan jauh berbeda jika melakukan itu.
Lagi pula di luar PKS, ada partai lain, yang sekalipun tidak secara tegas menyatakan
berasaskan Islam, melainkan nasionalis, tetapi tetap tidak dapat dilepaskan dari umat Islam,
seperti PKB dan PAN.
Kedua partai ini jelas berbasis massa Islam, di mana yang pertama terkait dengan
ormas Islam terbesar, NU, dan yang kedua dengan Muhammadiyah. Meski tidak diakui
secara terang-terangan, tetapi sulit disangkal kebenarannya. Dari penjelasan tersebut, jelas
tantangan Partai Idaman sebagai partai pendatang di Indonesia akan sulit untuk mendapatkan
ceruk pasarnya.
Kemungkinan besar partai ini akan kerepotan untuk melakukan apa yang dalam
marketing politik disebut dengan segmentasi mengingat pasar politiknya yang sempit. Kita
tidak tahu apakah Rhoma dan para koleganya di Partai Idaman telah memikirkan masalah
tersebut ataukah tidak. Sebagai publik, tentu kita hanya bisa wait and see bagaimana langkah
partai pendatang ini ke depan.
Jika ternyata pendirian partai ini tidak dipersiapkan melalui pertimbangan yang
matang, maka boleh jadi sikap skeptis publik yang menduga langkah ini hanya sekadar
ekspresi kekecewaan sulit dibantah.
Penulis, Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Oleh: Iding Rosyidin
(Koran Sindo, Rabu 22 Juli 2015)
Tiba-tiba Raja dangdut, Rhoma Irama, mengejutkan jagat politik Indonesia di
penghujung bulan Ramadhan. Ia mendeklarasikan partai politik baru, Partai Idaman (Islam,
Damai, dan Aman).
Sontak banyak kalangan terheran-heran dengan langkah Rhoma yang pernah
digadang-gadang sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada Pemilu 2014 yang lalu.Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak orang.
Apakah pendirian partai baru tersebut benar-benar merupakan ijtihad politik dari
pelantun lagu-lagu dangdut bergenre religi tersebut atau sebenarnya tidak lebih dari sekadar
ekspresi kekecewaan politiknya atas kegagalannya melaju sebagai capres? Dan bagaimana
tantangan partai ini di Pemilu 2019 yang akan datang?
Menjual Rhoma
Setiap partai politik pendatang pasti akan dihadapkan dengan bagaimana cara
memeroleh ceruk pasar di tengah persaingan partai-partai politik lainnya yang sudah lebih
dulu mendapatkan ceruk pasarnya. Kalau sudah mendapatkan ceruk pasarnya, langkah
berikutnya adalah bagaimana ia mampu merebut ceruk-ceruk pasar lain sehingga ceruk
pasarnya semakin membesar.
Dalam perspektif marketing politik, khususnya elemen produk politik, untuk
mendapatkan ceruk pasar sebuah partai politik, apalagi yang merupakan pendatang, harus
memiliki produk politik yang layak jual. Produk dalam konteks ini adalah person atau
individu atau bisa juga program atau partai politik itu sendiri.
Dalam konteks person atau individu, Partai Idaman tampaknya akan menjadi Rhoma
Irama sebagai jualan utamanya. Harus diakui bahwa Rhoma memiliki magnet politik yang
cukup besar. Popularitasnya sebagai penyanyi dangdut di kalangan publik Indonesia tidak
dapat terbantahkan. Hampir semua kalangan, dari muda sampai tua, laki-laki dan perempuan,
umumnya mengenal sosok yang kerap juga disebut Bang Haji itu.
Atas dasar popularitasnya itu Rhoma dan para pendiri Partai Idaman tampaknya
mempunyai optimisme yang cukup besar untuk membawa kesuksesan partai ini. Namun
agaknya yang tidak cukup disadari oleh mereka adalah bahwa tingkat popularitas tidak
berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas. Dengan kata lain, popularitas Rhoma sebagai
penyanyi dangdut tidak berarti sama dengan tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden.
Orang mungkin tahu siapa sosok Rhoma sebagai penyanyi dangdut, tetapi belum tentu
akan memilihnya sebagai capres. Kenyataannya tingkat elektabilitas Rhoma di pemilu tidak
segegap gempita popularitasnya. Partai berlambang Kakbah, PPP, misalnya, pernah berniat
mencapreskan Rhoma, tetapi karena tingkat elektabilitasnya berada di bawah Ketua Umum
ketika itu, Suryadharma Ali, niat itu pun urung dilakukan.
PKB sendiri yang sebelumnya telah menyatakan siap mencapreskan Rhoma pada
akhirnya juga membatalkannya, boleh jadi karena pertimbangan elektabilitasnya itu. Dalam
konteks ini, Rhoma mungkin dapat dibandingkan dengan KH Zainuddin MZ yang pernah
mendirikan partai baru ketika keluar dari PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Meski
popularitasnya sangat tinggi dengan julukan da’i sejuta umat karena massa yang selalu
berjubel saat menghadiri ceramah-ceramahnya, tetapi ternyata tidak sebanding dengan tingkat
elektabilitasnya. Partai yang didirikannya pun pada akhirnya tidak dapat bertahan lama.
Faktor Diferensiasi
Salah satu faktor penting bagi sebuah partai pendatang untuk dapat bersaing dengan
partai-partai pendahulunya adalah masalah diferensiasi. Hal ini kian menjadi penting dalam
sistem multipartai seperti yang berlangsung di Indonesia. Apakah partai pendatang tersebut
mampu melakukan positioning di tengah-tengah partai lainnya dengan karakterisktik
pembedanya yang jelas.
Inilah tantangan pertama yang mesti ditaklukkan sehingga bisa meraih pasar yang
ditargetkan. Masalahnya faktor diferensiasi inilah yang justeru menjadi salah satu problem
besar dalam kehidupan partai di republik ini. Ada banyak partai yang didirikan, entah yang
sudah kawakan maupun yang masih baru, tetapi antar satu dengan yang lain tidak terdapat
diferensiasi yang signifikan.
Sejauh ini yang dapat dibedakan baru sebatas nama, logo, dan warnanya saja. Di
antara partai-partai yang disebut sebagai partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, Demokrat,
misalnya, kita sulit menemukan faktor pembeda selain pada nama, logo, dan warnanya.
Dalam konteks ini, partai pendatang bentukan Rhoma Irama, Idaman, jelas tidak akan dapat
lepas dari problem tersebut.
Partai ini akan kesulitan untuk memosisikan dirinya dari partai-partai pendahulunya.
Tentang identitas kepartaian yang menegaskan sebagai partai Islam, misalnya, Partai Idaman
akan berhadapan vis-à-vis dengan partai Islam semisal PKS, PPP, dan PBB yang telah
memiliki basisnya masing-masing.
Dari sudut pandang ini, tampaknya Partai Idaman akan mengalami kesulitan untuk
mendapatkan basis massa (umat Islam) yang telah terbagi kepada ketiga partai pendahulunya
tersebut. Kecuali Partai Idaman mampu menawarkan model keislaman yang berbeda dengan
yang ditawarkan partai rivalnya itu dan sekaligus memberikan daya tarik tersendiri di
kalangan umat Islam Indonesia.
Tentu ini merupakan pekerjaan yang sangat tidak mudah dilakukan. Demikian pula
tentang klaim partai pendatang ini yang meskipun berasaskan Islam tetapi bersifat terbuka
untuk semua pihak, termasuk kalangan non-Muslim. Penegasan seperti ini telah dilakukan
oleh pendahulunya, PKS, tetapi agaknya tidak cukup berhasil, bahkan dalam derajat tertentu
memicu konflik internal di antara para kader.
Karena itu, meskipu secara teoretis mudah diucapkan, tetapi dalam praktiknya sulit
dilakukan. Rhoma juga akan mengalami hal yang tidak akan jauh berbeda jika melakukan itu.
Lagi pula di luar PKS, ada partai lain, yang sekalipun tidak secara tegas menyatakan
berasaskan Islam, melainkan nasionalis, tetapi tetap tidak dapat dilepaskan dari umat Islam,
seperti PKB dan PAN.
Kedua partai ini jelas berbasis massa Islam, di mana yang pertama terkait dengan
ormas Islam terbesar, NU, dan yang kedua dengan Muhammadiyah. Meski tidak diakui
secara terang-terangan, tetapi sulit disangkal kebenarannya. Dari penjelasan tersebut, jelas
tantangan Partai Idaman sebagai partai pendatang di Indonesia akan sulit untuk mendapatkan
ceruk pasarnya.
Kemungkinan besar partai ini akan kerepotan untuk melakukan apa yang dalam
marketing politik disebut dengan segmentasi mengingat pasar politiknya yang sempit. Kita
tidak tahu apakah Rhoma dan para koleganya di Partai Idaman telah memikirkan masalah
tersebut ataukah tidak. Sebagai publik, tentu kita hanya bisa wait and see bagaimana langkah
partai pendatang ini ke depan.
Jika ternyata pendirian partai ini tidak dipersiapkan melalui pertimbangan yang
matang, maka boleh jadi sikap skeptis publik yang menduga langkah ini hanya sekadar
ekspresi kekecewaan sulit dibantah.
Penulis, Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta