Financial analysis of rubber plantation conversion into oil palm plantation and its impact on income distribution in Muaro Jambi Regency
ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET
MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI KABUPATEN MUARO JAMBI
ARDHIYAN SAPUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Finansial
Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya
Terhadap Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Ardhiyan Saputra
H353100031
RINGKASAN
ARDHIYAN SAPUTRA. Analisis Finansial Konversi Tanaman Karet Menjadi
Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan di
Kabupaten Muaro Jambi. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan
M. PARULIAN HUTAGAOL.
Tanaman karet dan kelapa sawit mampu memberikan kontribusi yang besar
terhadap pengembangan perekonomian daerah di Provinsi Jambi. Ekspor
komoditas perkebunan tersebut menempatkan urutan pertama untuk ekspor
tanaman perkebunan. kegiatan konversi kebun dari tanaman karet menjadi
tanaman kelapa sawit terjadi dengan berbagai alasan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengestimasi tingkat keuntungan dari usaha tani karet dan kelapa
sawit, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan karet
menjadi kelapa sawit dan mengetahui dampak dampak konversi terhadap
distribusi pendapatan petani karet dan petani kelapa sawit. Analisis usaha tani
dilakukan untuk mengetahui struktur penerimaan dan biaya produksi, sedangkan
analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tanaman karet dan
kelapa sawit selama 25 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
dalam melakukan konversi dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logit
dan perubahan pendapatan yang terjadi terhadap petani dianalisis dengan
menggunakan analisis distribusi pendapatan.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai bulan Maret 2013 di
Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi. Penelitian menggunakan
metode survei terstruktur dengan wawancara responden menggunakan kuisioner.
Data primer dikumpulkan dari petani karet dan petani kelapa sawit yang telah
mengkonversi tanaman karetnya, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari
instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas areal
perkebunan karet dari tahun 2005 – 2010 seluas 3 429 hektar, dimana dalam
periode yang sama terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit dengan
rata-rata peningkatan sebesar 2 242.33 hektar per tahun. Analisis keuntungan dan
kelayakan finansial pada usaha tani karet lebih besar dibandingkan dengan usaha
tani kelapa sawit. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam
melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit adalah tingkat
pendidikan petani, frekuensi penyadapan dan dummy pendapatan lain pada taraf
nyata 10 persen. Kesempatan kerja bagi buruh tani harian pada usaha tani karet
lebih sedikit dibandingkan pada usaha tani kelapa sawit.
Kata kunci : usaha tani karet, usaha tani kelapa sawit, konversi lahan
SUMMARY
ARDHIYAN SAPUTRA. Financial Analysis of Rubber Plantation Conversion
into Oil Palm Plantation and Its Impact on Income Distribution in Muaro Jambi
Regency. Supervised by YUSMAN SYAUKAT
and M. PARULIAN
HUTAGAOL.
Rubber and oil palm plantations give bigger contribution to region
economics development in Jambi Province. These commodities export rank first
in that of farm estate commodity. Land conversion activities happened from
rubber plantation into oil palm plantation because of many reasons. The objectives
of this research are to estimate profit of rubber and oil palm farming, to identify
influencing factors of land conversion and to know its impact on income
distribution. Methods to determine the structure of income and production cost are
performed by farming analysis and feasibility of rubber and oil farming for 25
years are used by financial analysis. Factors influencing of farmer decision are
analyzed using logit regression analysis and the impact on farmers income are
analyzed using income distribution analysis.
The research was conducted from February to March 2013 in Jambi Luar
Kota Subdistrict, Muaro Jambi Regency. It applied a survey method using
structured questionnaires. Primary data collected from rubber farmers and oil
palm farmers who converted their rubber plantation. Secondary data also collected
from relevant agencies. The results showed that a decrease of rubber plantation
area in Muaro Jambi Regency during 2005 to 2010 about 3 429 hectares while in
the same period the area of palm oil plantation increasing with average of
2 242.33 hectares per year. Profit and financial feasibility analysis of rubber
farming is higher than oil palm farming. Influencing factors of land conversion
are farmers education, frequency of rubber tapping and dummy other income
sources at ten percent probability level. The job creation of rubber farming is less
than oil palm farming for daily worker there.
Key words : rubber farming, oil palm farming, land conversion
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET
MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI KABUPATEN MUARO JAMBI
ARDHIYAN SAPUTRA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Mety Ekayani, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
nikmat dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan topik Analisis Finansial Konversi
Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap
Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi
berhasil diselesaikan
sebagaimana mestinya. Amin.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr M Parulian Hutagaol, MS selaku
anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan sarannya. Terima
kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Ibu Dr Mety
Ekayani, MSc selaku penguji dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
arahan dan saran dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Camat Jambi Luar Kota yang memberikan rekomendasi
dan izin penelitian di Kecamatan Jambi Luar Kota, Bapak Kepala Desa Muhajirin,
Bapak Kepala Desa Maro Sebo, dan Bapak Kepala Desa Sungai Bertam beserta
staf, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada segenap keluarga, istri dan anak-anak tercinta atas doa,
kesabaran, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Ardhiyan Saputra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Komoditas Karet
Perkembangan Komoditas Kelapa Sawit
Ekonomi Komversi Lahan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Distribusi Pendapatan
3 KERANGKA PEMIKIRAN
4 METODE PENELITIAN
Penentuan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data
Asumsi Dasar yang Digunakan
Definisi Operasional
5 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Karakteristik Petani Sampel Karet dan Kelapa Sawit
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konversi Tananam Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit
Perkembangan Luas Konversi Perkebunan Karet
Kondisi Kebun Sebelum Konversi Tanaman
Proses Konversi Kebun Karet Menjadi Kelapa Sawit
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa
Sawit
Usaha Tani Karet
Usaha Tani Kelapa Sawit
Perbandingan Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa
Sawit
Dampak Konversi terhadap Penggunaan Input
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Kebun
Analisis Distribusi Pendapatan
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
xiii
xiii
1
1
4
7
7
7
8
8
10
12
14
16
17
19
19
19
19
20
26
27
28
28
31
33
33
33
34
36
40
40
48
56
57
62
70
72
72
73
73
77
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Sebaran sampel petani karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro
Jambi
Jenis, sumber data dan mentode analisis
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007 – 20011 (dalam jutaan rupiah)
Luas areal, produksi dan sentra tanaman perkebunan di Kabupaten
Muaro Jambi tahun 2011
Karakteristik sampel petani perkebunan karet dan kelapa sawit di
Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2013
Perkembangan laju konversi kebun karet di Kabupaten Muaro Jambi
tahun 2006 – 2010
Perubahan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Muaro Jambi tahun
2005 – 2010
Distribusi umur tanaman karet rakyat yang dikonversi menjadi
tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi
Sebaran dan proporsi alasan petani dalam melakukan konversi
tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi
Sebaran petani sampel berdasarkan cara mengkonversi kebun karet
di Kabupaten Muaro Jambi
Rata-rata biaya investasi usaha tani karet di lokasi penelitian per
hektar
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun
ke-1 sampai tahun ke-5 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-1 sampai
tahun ke-5 di lokasi penelitian
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun
ke-6 sampai tahun ke 25 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-6 sampai
tahun ke 25 di lokasi penelitian per hektar
Analisis keuntungan usaha tani karet per hektar per tahun
Profil usaha tani kelapa sawit pada kebun karet yang dikonversi
Rata-rata biaya investasi usaha tani kelapa sawit di lokasi penelitian
per hektar
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit
tahun ke-1 dan ke-2 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-1 dan
ke-2 di lokasi penelitian
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit
tahun ke-3 sampai tahun ke-25 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-3
sampai dengan tahun ke-25 di lokasi penelitian
Analisis keuntungan usaha tani kelapa sawit per hektar per tahun
19
20
29
31
32
33
34
36
37
38
42
45
45
47
47
48
50
51
53
53
54
55
56
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Perbandingan nilai keuntungan terdiskonto usaha tani karet dan
kelapa sawit di lokasi penelitian
Alokasi penggunaan tenaga kerja pada usaha tani karet dan kelapa
sawit tahun 2013 per hektar per tahun di lokasi penelitian
Rata-rata pengeluaran untuk upah buruh tani pada per tahap kegiatan
budidaya kelapa sawit tahun 2013 di lokasi penelitian
Rata-rata jumlah dan nilai penggunaan pupuk pada tanaman
menghasilkan karet dan kelapa sawit per hektar per tahun
Rata-rata nilai penggunaan pestisida dan alat pertanian pada tanaman
karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian per hektar per tahun
Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet menjadi
kelapa sawit di lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan umur di lokasi
penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan tingkat pendidikan
di lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan luas lahan di lokasi
penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan frekuensi sadap di
lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan resiko usaha tani di
lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan ketersediaan sarana
produksi di lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan pendapatan lain di
lokasi penelitian
Distribusi pendapatan usaha tani karet dan kelapa sawit per hektar
selama 25 tahun
57
58
60
60
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perkembangan luas areal karet di Indonesia, tahun 1968-2010
Pohon industri karet
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia, tahun
1967-2010
Kerangka pikir penelitian
Luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi
Distribusi pekerjaan sampingan petani kelapa sawit
8
9
11
18
28
59
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Analisis usaha tani karet dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-25
Analisisi usaha tani kelapa sawit dari tahun ke-0 sampai dengan
tahun ke-25
Cashflow finansial usaha tani karet per hektar
Cashflow finansial usaha tani kelapa sawit per hektar
Harga TBS kelapa sawit berdasarkan umur tanaman per Februari
tahun 2013
Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman
Hasil olahan data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi kebun
77
81
85
86
87
88
89
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya
untuk negara-negara berkembang, bahkan untuk negara maju, seperti EU,
Amerika, Australia dan Jepang tetap memberi perhatian dan perlindungan yang
sangat serius terhadap pertanian. Peran strategis tersebut digambarkan melalui
kontribusi pertanian yang nyata melalui pembentukan kapital; penyediaan bahan
pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi; penyerap tenaga kerja; sumber
devisa negara; sumber pendapatan; serta pelestarian lingkungan melalui praktek
usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud
sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu:
1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, 2) mempercepat
pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, 3) menyediakan lapangan kerja,
4) memelihara keseimbangansumberdaya alam dan lingkungan hidup (Bappenas
2010).
Perkembangan sektor pertanian tidak dapat dilepaskan dari subsektor
pendukungnya. Subsektor perkebunan memiliki kontribusi paling besar terhadap
nilai ekspor pertanian. Dalam tahun 2010 sumbangan devisa yang dihasilkan dari
subsektor perkebunan mencapai US$20 miliar yang berasal dari kelapa sawit
US$15.5 miliar, karet US$7.8 miliar dan kopi US$1.7 miliar. Penerimaan negara
dari cukai rokok Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan
bea keluar kakao Rp615 miliar. Dari peran penyerapan tenaga kerja, subsektor
perkebunan pada tingkat on farmsaja dapat menyerap sekitar 19.7 jutaorang. 1
Tanaman karet merupakan komoditas perkebunan yang merupakan tanaman
tahunan yang tumbuh subur di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup. Pola
pengusahaan perkebunan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan
karet rakyat yang mencapai lebih dari 85 persen dari luas total perkebunan karet
di Indonesia, kemudian disusul oleh perkebunan besar swasta dan perkebunan
besar negara (Ditjenbun 2011). Dalam kenyataannya pola pengusahaan karet
rakyat tersebut menyebabkan petani karet masih dihadapkan oleh keterbatasan
modal dalam usaha peremajaan dan pemeliharaan sehingga berakibat rendahnya
produktifitas tanaman karet tersebut.
Menurut Budiman (2005), ada beberapa manfaat dalam pembangunan
tanaman karet adalah : 1) Pohon karet memberikan hasil sadapan harian selama 25
tahun tanpa berhenti, 2) Selain menghasilkan elastomer yang sangat dibutuhkan
dunia, pohon karet juga menghasilkan kayu unggulan di akhir masa sadapan, 3)
pohon karet memberikan banyak manfaat pelestarian lingkungan seperti cadangan
air dan konservasi lahan. Pembangunan tanaman karet juga bermanfaat secara
ekonomi untuk pembentukan pusat pertumbuhan ekonomi.
Komoditas unggulan perkebunan yang memberikan sumbangan devisa
terbesar dalam nilai ekspor pertanian Indonesia adalah kelapa sawit. Selain
sebagai penyumbang nilai ekspor pertanian terbesar, kelapa sawit juga mampu
1
(www.ditjenbun.deptan.go.id), diakses tanggal 30 Mei 2012
2
memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan
jenis tanaman perkebunan lainnya (Syahza 2008). Pada awal perkembangannya,
kegiatan pengembangan kelapa sawit selalu dilakukan oleh perusahaan
perkebunan besar baik oleh perusahaan pemerintah maupun oleh perusahaan
swasta. Hal ini dikarenakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit
membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Pola
pengusahaan yang berbeda pada tamanan kelapa sawit menyebabkan laju
pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit lebih cepat dibandingkan dengan
perkebunan karet.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit
(CPO) adalah komoditas yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai
komoditas ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat
dilihat dari kondisi : 1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat
digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing
terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik
jenuh, 2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit, 3) kelapa sawit
merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap
ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan
lainnya. Selain itu minyak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri
seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan
sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya
permintaan akan minyak sawit.
Peningkatan konsumsi tersebut antara lain juga dipengaruhi oleh
meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan per kapita, serta permintaan minyak
sawit dunia untuk bahan baku industri di Uni Eropa, dan juga meningkatnya
permintaan impor CPO oleh negara India dan RRC. Permintaan CPO di pasar
dunia diperkirakan terus meningkat di masa depan. Hal itu antara lain disebabkan
oleh meningkatnya permintaan negara-negara di dunia yang mulai menggunakan
komoditas tersebut untuk biodiesel. Produk energi itu relatif ramah lingkungan
dan bisa menggantikan bahan bakar konvensional. Tingginya permintaan CPO itu
mengakibatkan harga di pasar dunia meningkat tajam (Purba 2012).
Penelitian yang juga dilakukan oleh Wicke et al.(2011) menyatakan bahwa
peningkatan permintaan dunia terhadap CPO, antara lain disebabkan
meningkatnya permintaan oleh industri makanan, bahan baku industri,dan sumber
energi alternatif. Selain itu tingginya harga CPO dipasaran yang pernah mencapai
US$ 780/ton pada tahun 2008 dapat memberi keuntungan besar bagi produsen
CPO tersebut. Keuntungan yang besar itu memicu produsen CPO untuk
meningkatkan kegiatan produksinya. Peningkatan produksiyang dilakukan telah
menyebabkan terjadinya pola perubahaan penggunaan lahan sehingga dapat
menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Di Malaysia perluasan areal untuk
meningkatan produksi kelapa sawit dilakukan dengan mengkonversi perkebunan
karet dan kelapa menjadi perkebunan kelapa sawit, sedangkan di Indonesia
dilakukan pada areal hutan alam dan gambut.
Konversi lahan merupakan suatu proses dari pengggunaan tertentu dari
lahan menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen
yang dilakukan oleh manusia. Konversi lahan yang bersifat permanen lebih besar
dampaknya dari pada konversi lahan sementara. Konversi lahan pertanian ke non
3
pertanian bukan hanya fenomena fisik, yaitu berkurangnya luasan lahan
melainkan suatu fenomena dinamis yang menyangkut aspek sosial-ekonomi
kehidupan masyarakat (Winoto 2005). Jadi secara umum kegiatan konversi lahan
merupakan bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan
yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi
lahan tertentu akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya.
Konversi lahan tersebut terjadi karena adanya sifat kompetitif hasil dari pilihan
manusia.
Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk
konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur
sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang dimaksud
tercermin dengan adanya pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam
akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan perkapitanya serta adanya
pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam
ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Dalam hukum
ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang
lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Land rent
dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan
persatuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi et al2009).
Menurut Munir (2008), ada dua faktor yang mendasar berhubungan dengan
konversi lahan meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan
terhadap lahan, sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor,
dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya
faktor-faktor penyebab (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan
penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy
(kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan
mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio
ekonomi) dari perubahan land use. Penyebab dari perubahan penggunaan lahan,
antara lain kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar;
intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya
kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan
dalam tingkah laku (Lambin et al 2002dalam Warlina 2007).
Kegiatan konversi lahan perkebunan dari tanaman karet ke kelapa sawit
disebabkan oleh fluktuasi harga yang tidak stabil dan cenderung menurun,serta
mutu dan produktifitas tanaman karet yang rendah. Pada awal tahun 2000, harga
karet Indonesia (FOB Belawan) hanya berkisar antara US$0.55/kg – US$0.56/kg.
Harga tersebut merupakan yang terendah dalam 40 tahun terakhir. Melemahnya
harga karet sangat tidak menguntungkan bagi negara produsen seperti Indonesia.
Kondisi ini semakin bertambah parah dengan prilaku negara-negara pengimpor
utama karet yang menahan diri untuk tidak masuk pasar. Rendahnya produktifitas
rata-rata tanaman karetnasional yang hanya mampu berproduksi antara 400 – 500
kg/ha, jauh dibawah produktifitas negara pesaing, seperti Malaysia dan Thailand
yang menghasilkan karet dengan produksi rata-rata masing-masing sebesar 1000
kg/ha dan 750 kg/ha. Selain itu, mutu karet Indonesia yang rendah menyebabkan
negara importir beralih ke negara produsen lain. Hal inilah yang menjadi
4
penyebab terjadinya kecendrungan beberapa perusahaan perkebunan melakukan
konversi tanaman karet ke tanaman perkebunan lain, seperti kelapa sawit dan
coklat, bahkan menjadi kawasan industri dan pemukiman (Herlina 2002).
Keputusan petani untuk meremajakan tananam karet atau replanting
maupun mengkonversi menjadi tanaman kelapa sawit sangat bergantung pada
besarnya modal yang dimiliki oleh petani. Hal ini dikarenakan untuk
meremajakan atau mengkonversi tanaman perkebunan memerlukan modal yang
relatif besar. Modal tersebut dapat berasal dari modal sendiri (dari petani sendiri
jika petani memiliki kemampuan finansial) dan dari skim kredit. Kurang
tersedianya skim kredit bagi petani perkebunan lebih disebabkan karena resiko
usaha perkebunan yang tinggi, waktu tanaman menghasilkan relatif lama dan
tidak adanya anggunan yang dapat menjadi jaminan pembayaran kredit membuat
petani perkebunan memiliki alternatif dalam melakukan peremajaan tanaman
maupun menggantinya dengan tanaman perkebunan lain, seperti dengan
mengganti sebagian tanaman perkebunannya dengan tanaman baru sementara
tanaman lama yang masih menghasilkan dapat digunakan untuk membiayai
kebutuhan hidup petani selama tanaman baru masih belum menghasilkan dan
setelah tanaman baru sudah menghasilkan kemudian dilakukan penggantian
tanaman selanjutnya.
Oleh karena itu kegiatan konversi yang dilakukan petani dari tanaman karet
menjadi tanaman kelapa sawit dalam jangka panjang merupakan sesuatu hal yang
penting dan strategis. Mengingat tanaman karet merupakan tanaman yang sudah
membudaya bagi petani karet di Provinsi Jambi dan sumber mata pencaharian
hampir 50 persen petani disektor perkebunan. Kegiatan konversi yang telah
dilakukan petani memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan gambaran
perbandingan biaya dan pendapatan yang diterima petani.
1.2 Perumusan Masalah
Kegiatan konversi tanaman perkebunan marak terjadi pada beberapa
wilayah di Provinsi Jambi, seperti dari tanaman karet ke kelapa sawit dan tanaman
kayu manis ke tanaman kakao. Konversi tanaman perkebunan karet mejadi kelapa
sawit dilakukan baikoleh perusahaan perkebunan dalam skala besar maupun oleh
perkebunan karet rakyat. Perusahaan perkebunan karet terbesar yang terdapat di
Provinsi Jambi adalah PTPN VI (Persero). PTPN VI merupakan perusahaan
BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan pembangunan proyek
Perkebunan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dengan tanaman yang
dibudidayakan adalah karet, kelapa hibrida, dan kakao. Dalam melaksanakan
pengembangan usaha dilakukan dengan pola perkebunan inti plasma, dimana
perkebunan inti merupakan kebun yang dimiliki dan dikelola langsung oleh
perusahaan, sedangkan perkebunan plasma merupakan pola pengembangan
perkebunan dengan melibatkan petani dalam pengelolaannya dengan sistem
kemitraan atau kerjasama tertentu, sehingga diharapkan dapat terjadi transfer
teknologi dari perusahaan kepada petani.
Konversi tanaman karet ke kelapa sawit dimulai pada tahun 1998. Konversi
yang dilakukan oleh perusahaan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
produktivitas tanaman yang berkurang karena banyaknya tanaman yang tua, harga
jual karet yang cenderung menurun dan faktor keamanan akibat lemahnya sistem
5
pengawasan oleh perusahaan terhadap kebun produksi yang berakibat sering
terjadinya tindakan pencurian hasil sadapan secara liar sehingga dapat merugikan
perusahaan.Konversi tanaman oleh perusahaandilakukan pada perkebunan inti
terjadi pada beberapa daerah di Provinsi Jambi, meliputi kebun Rimbo Satu
(Kabupaten Bungo), kebun Durian Luncuk (Kabupaten Batanghari), kebun Bahar
dan Ness (Kabupaten Muaro Jambi) dengan luas kebun keseluruhan yang
dikonversi mencapai 18 482.56 hektar (Disbun Jambi 2002).
Konversi tanaman karet ke kelapa sawit juga dilakukan oleh perkebunan
rakyat di Kabupaten Muaro Jambi. Ada dua jenis tipe pengelolaan usaha
perkebunan karet rakyat, yaitu hutan karet dan kebun karet. Hutan karet
merupakan perkebunan karet yang pengelolaanya dilakukan tanpa kegiatan
perawatan dan pemeliharaan, kondisi kebun heterogen yang terdiri dari tanaman
karet dan non karet, sedangkan kebun karet merupakan kebun yang ditanam
dengan tanaman karet yang dirawat dan dipelihara. Kecenderungan konversi
tanaman yang dilakukan oleh petani hutan karet dengan mengganti menjadi
tanaman kelapa sawit dengan sistem plasma, yaitu pola kerjasama yang telah
disepakati sebelumnya dengan perusahaan perkebunan, sedangkan konversi
tanaman pada kebun karet umumnya dilakukan secara swadaya oleh petani karet
sendiri.
Berdasarkan data statistik perkebunan luas areal kebun karet di Kabupaten
Muaro Jambi pada tahun 2006 seluas 62 136 hektar turun menjadi 55 459 hektar
pada tahun 2011. Menurut Kepala Seksi Tanaman Perkebunan Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Muaro Jambi penyusutan areal tanaman karet
sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi menjadi tanaman kelapa sawit dan
sebagian lainnya diperuntukkan sebagai daerah pemukiman dan pembangunan
sarana infrastruktur. Alih fungsi kebun karet menjadi kelapa sawit tersebut
dilakukan oleh perusahaan perkebunan swasta dan negara serta perkebunan
rakyat. Pada periode yang sama, perkembangan luas areal perkebunan kelapa
sawit mengalami peningkatan dari seluas 80 666 hektar pada tahun 2006 menjadi
seluas 90 545 hektar pada tahun 2011. Peningkatan luas areal tanam tersebut
berasal dari pembukaan lahan baru dengan perubahan pada beberapa jenis
penggunaan lahan, seperti sawah, lahan kering, tegalan dan alih fungsi dari
perkebunan karet (Dishutbun 2011).
Potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikonversi dari
perkebunan karet di Kabupaten Muaro Jambi memerlukan kajian yang
mendalam.Produktifitas yang tinggi dan tahan terhadap serangan hama penyakit
menjadikan daya tarik petani perkebunan untuk mengusahaan tanaman kelapa
sawit. Akan tetapi hasil yang tinggi tentu membutuhkan input dan pemeliharaan
yang intensif pula. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keadaan petani
perkebunan rakyat yang memiliki keterbatasan dalam akses sumber modal dan
teknologi. Sebagaimana diketahui bahwa pada awal perkembangannya, kegiatan
pengembangan perkebunan kelapa sawit selalu dilakukan oleh perusahaan
perkebunan besar baik oleh perusahaan pemerintah maupun oleh perusahaan
swasta. Hal ini dikarenakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit
membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal.
Dalam perkembangannya produktifitas perusahaan perkebunan milik swasta
lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan perkebunan besar nasional dan
perkebunan rakyat. Tingginya laju permintaan Crude Palm Oil (CPO)
6
menyebabkan industri pengolahan CPO harus meningkatkan produksi untuk
menghasilkan produk lebih banyak. Kondisi ini berdampak pada peningkatan
bahan baku tandan buah sawit yang lebih banyak pula sehingga terbuka peluang
pasar untuk menjual TBS kepada perusahaan. Pemasaran hasil yang relatif mudah
mendorong petani karet mengganti tanaman karet yang sudah tidak produktif tadi
menjadi tanaman kelapa sawit.
Berbagai upaya dari pemerintah sudah sejak lama dilakukan dalam
mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Salah satu upaya pengembangan
perkebunan kelapa sawit adalah melalui pola kemitraan. Pola kemitraan usaha
perkebunan kelapa sawit diarahkan agar petani plasma dapat mengembangkan
perkebunan kelapa sawit yang berorientasi pasar, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan keluarga petani, serta mendorong perluasan dan pemerataan
kesempatan kerja. Akan tetapi pada kenyataannya, pola kemitraan tersebut tidak
selamanya menguntungkan petani dan masyarakat sekitarnya. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Daliman (2005)dalam Yasri (2006) di daerah Ngabang
Pontianak menyimpulkan bahwa penghasilan petani plasma tidak cukup untuk
untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk
keluarganya), yakni rata-rata perbulan hanya Rp148500 per hektar. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa petani kelapa sawit rakyat yang bermitra dengan
perusahaan belum sepenuhnya mampu untukmeningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan apabila dibandingkan dengan petani swadaya.
Adanya perbedaan karakteristik produk hasil panen antara tanaman karet
dan kelapa sawit menyebabkan penanganan yang berbeda pula. Pada komoditas
karet, getah karet yang dihasilkan dapat dikumpulkan terlebih dahulu oleh petani
sebelum dijual atau petani karet dapat menunda penjualan getah karet bila harga
relatif murah, sedangkan pada komoditas kelapa sawit, pemasaran tandan buah
segar sesudah dipanen memerlukan waktu penanganan yang cepat untuk
menghindari kerugian sehingga menyebabkan posisi tawar petani rendah.Selain
itu struktur pasar kelapa sawit yang lebih cenderung kearah pasar monopsoni
dapat merugikan petani kelapa sawit. Hal ini dilakukandengan menetapkan harga
secara sepihak oleh pihak pabrik kelapa sawit dan pedagang pengumpul tandan
buah segar (tauke).Disamping itu tingginya harga pupuk dan berfluktuasinya
harga jual akan mengakibatkan rendahnya minat petani dalam meningkatkan
produktifitas kelapa sawit.
Dengan demikian perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap
usahatani karet dan kelapa sawit sehingga investasi yang telah ditanamkan
oleh petani dapat menghasilkan keuntungan atau memiliki manfaat yang
lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan sehingga usahatani tersebut
layak dan berhasil untuk dikembangkan. Konversi tanaman yang dilakukan
petani juga akan berdampak terhadap jumlah penggunaan input yang
digunakan dalam kegiatan usaha tani. Perubahan penggunaan input dapat
mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani sehingga perlu
dilihat dari distribusi pendapatan usaha tani. Dari distribusi pendapatan
dapat dilihat pembagian (proporsi) keuntungan masing-masing pelaku pada
usaha tani karet dan kelapa sawit. Selain itu, budidaya kelapa sawit
merupakan suatu hal yang baru bagi petani yang sebelumnya mengusahakan
tanaman karet. Keputusan mengkonversi tersebut dapat menimbulkan resiko
yang merugikan petani sendiri apabila dalam pengelolaan usaha taninya
7
menyebabkan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadi rendah atau
bahkan tidak berproduksi sama sekali. Berdasarkan latar belakangdiatas,
maka pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini
berkaitan dengan konversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawitdi
Kabupaten Muaro Jambi, yaitu :
1. Benarkah pengusahaan usaha tani kelapa sawit lebih menguntungkan
dari usaha tani karet di Kabupaten Muaro Jambi?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi
tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro
Jambi?
3. Bagaimana dampak konversi terhadap distribusi pendapatan petani karet
dan petani kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengestimasi nilai keuntungan dari usaha tani tanaman karet dan usaha
tani kelapa sawit.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi
tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit.
3. Mengetahui dampak konversi terhadapdistribusi pendapatan petani karet
dan petani kelapa sawit.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan suatu kegiatan
investasi. Bagi pengambil kebijakan di Provinsi Jambi dapat digunakan
untuk menentukan kebijakan yang tepat rangka meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani yang bekerja di sektor perkebunan. Bagi kalangan
akademisi dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai usaha komoditas tanaman perkebunan karet dan kelapa
sawit.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan pada salah satu
wilayah sentra usaha perkebunan karet yang mengalami konversi tanaman
menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi. Ruang lingkup penelitian
ini adalah menganalisis biaya dan manfaat usaha tani kelapa sawit dan
faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet
ke kelapa sawit serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan. Kegiatan
usaha tani kelapa sawit yang dilakukan petani secara swadaya.Periode umur
ekonomis tanaman karet dan kelapa sawitditetapkan selama 25 tahun.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Komoditas Karet
Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan
penting bagi peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Disamping itu,
ekspor karet alam memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa negara.
Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor utama karet alam yang
mempunyai luas areal tanam paling besar di dunia. Akan tetapi tingkat
produktivitasnya urutan kedua setelah Thailand. Hal ini dikarenakan lebih dari 85
persen perkebunan karet Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dan sisanya
berasal dari perkebunan besar milik negara dan swasta (Ditjenbun 2011).
Perkembangan luas areal tanam karet alam Indonesia tahun 1968-2010
ditunjukan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa peningkatan luas
areal didominasi oleh perkebunan karet rakyat. Dari total areal karet tersebut, baru
15 persen yang ditangani oleh pemerintah melalui proyek, sedangkan sebagian
besar adalah areal karet rakyat tradisional yang umumnya berupa hutan karet
dengan produktivitas dan mutu bokar yang rendah (Ditjenbun 2011). Luas areal
karet sejak tahun 1968 hingga tahun 2010 terus meningkat dengan laju
pertumbuhan rata-rata sebesar 1.06 persen per tahun. Luas areal tahun 2010
mencapai 55.98 kali lipat dari luas areal pada tahun 1968.
4.000.000
3.500.000
Luas Areal (Ha)
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
Gambar 1.
Tahun
Perkembangan Luas Areal Karetdari Tahun 1968 – 2011 di
Indonesia
Perkebunan Rakyat,
Perkebunan Besar
Swasta,Perkebunan
Besar Negara,
Jumlah
Produktivitas karet alam Indonesia yang relatif rendah disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain umur ekonomis tanaman karet alam relatif tua sehingga
kemampuan produksinya menurun. Tanaman karet yang tua memberi pengaruh
pada biaya pemeliharaan yang tinggi, sedangkan penerimaan dari tanaman
tersebut semakin menurun. Upaya peremajaan dan penanaman baru tanaman karet
9
dilakukan untuk memacu peningkatan produktivitas, peningkatan optimalisasi
pola usahatani, dan peningkatan teknologi budidaya. Keberhasilan langkah
peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan mendukung peningkatan
produksi karet alam Indonesia dan pada akhirnya berbanding lurus dengan jumlah
dan kualitas ekspor karet alam Indonesia. Komoditas karet sangat berhubungan
erat dengan kebutuhan manusia sehari-hari. Hasil olahan yang menggunakan
bahan dasar karet 73 persennya berupa ban, sedangkan sisanya dalam bentuk alat
kesehatan, mainan anak-anak, peralatan otomotif, sol sepatu sandal dan
sebagainya. Karet terdiri dari dua jenis yaitu karet sintesis dan karet alami. Karet
sintesis adalah karet yang memerlukan minyak mentah dalam proses
pembuatannya, sedangkan karet alami diperoleh langsung dari tanaman karet.
Kualitas karet alami terletak pada daya elastisitas yang sempurna sehingga
memudahkan pengolahan serta daya tahan yang tinggi terhadap panas dan
keretakan.
Potensi nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan
industri ilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu
(Gambar 2). Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan
dari lateks, utamanya non ban, sedangkan ragam produk dari kayu karet tidak
sebanyak dari lateks. Namun, sampai saat ini potensi kayu karet tua belum
dimanfaatkan secara optimal.
Lateks, sheet,
bokar
Crumb Rubber
Pohon
Karet
Kayu
Arang, kayu
gergajian, pulp
Furnitur
Alat kesehatan
dan laboratorium
Pipet, slang,
stetoskop, dll
Perlengkapan
kendaraan
Ban, pedal gas,
karet kaca, dll
Alat olah raga
Bola sepak,
volley, dll
Perlengkapan
pakaian
Sepatu dan
sandal karet, dll
Perlengkapan
teknik industri
Air house, oil
seal, rubber,dll
Perlengkapan
anak dan bayi
Dot susu, perlak,
mainan anak, dll
Perlengkapan
rumah tangga
Perlengkapan
lain, karpet
Barang lain
Kondom,
pelampung, dll
Sumber : Departemen Pertanian 2007
Gambar 2. Pohon Industri Karet
10
Menurut Anwar (2005), diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan
karet alam pada periode dua dekade ke depan. Hal ini menjadi kekuatiran pihak
konsumen, terutama pabrik-pabrik ban seperti Bridgestone, Goodyear dan
Michelin. Pada tahun 2004, IRSG membentuk Task Force Rubber Eco Project
(REP) untuk melakukan studi tentang permintaan dan penawaran karet sampai
dengan tahun 2035. Hasil studi REP meyatakan bahwa permintaan karet alam dan
sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan
non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Dari studi ini
diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3 persen per
tahun, sedangkan Thailand hanya 1 persen dan Malaysia -2 persen. Pertumbuhan
produksi Indonesia ini dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet
yang cukup luas, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton
dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton.
Jenis mutu karet alam terdiri dari TNSR (Technically Specified Natural
Rubber) atau SIR (Standart Indonesian Rubber), RSS (Ribbed Smoked Sheets),
Latex, Crepe dan lainnya. Jenis mutu yang menempati tempat teratas adalah SIR
77.99 persen, RSS 17.03 persen, lateks pekat 3.39 persen, pale crepe dan lain-lain
1.55 persen. Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia
masih terbatas, akan tetapi umumnya masih didominasi oleh produk primer (raw
material) dan produk setengah jadi.
2.2 Perkembangan Komoditas Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit memiliki usia produktif 20– 25 tahun, setelah usia
tersebut tanaman kelapa sawit sudah tidak dianggap menguntungkan secara
ekonomis. Pada tiga tahun pertama kelapa sawit disebut pohon muda karena
belum menghasilkan buah yang sempurna atau disebut buah pasir. Kelapa sawit
sudah mampu berbuah sempurna pada usia 3.5– 4 tahun, di masa ini kelapa sawit
sudah mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) dengan potensi 25– 30
ton/ha/tahun. Kelapa sawit berproduksi secara optimal pada usia 8– 14 tahun
setelah itu kelapa sawit akan mengalami penurunan jumlah produksi (PPKS
2006).
Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan perkebunan yang
memberikan sumbangan devisa yang terbesar dalam nilai ekspor pertanian bagi
Indonesia. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia secara komersial dimulai
sejak tahun 1967 yang pada mulanya hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara
(PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Baru pada tahun 1979 adanya
perkebunan rakyat yang dikembangkan dengan pola PIR-BUN (Perkebunan Inti
Rakyat Perkebunan) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Secara
konsepsional PIR-BUN adalah suatu pola pengembangan perkebunan dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing
perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam sistem kerja sama yang
saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan melalui sistem pengolahan
usaha mulai dari produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau
Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan
provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai
24 persen dari produksi nasional pada tahun 2007 sementara Jambi menyumbang
11
minyak sawit sebesar 7.70 persen dari produksi nasional dengan luas lahan
mencapai 8.82 persen dari luas lahan nasional (Ditjenbun 2011).
Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa
sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara
produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam
perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di
dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama
tahun 1969– 2007 Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa
sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun
1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca
perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun (Ditjenbun 2011).
Adapun perkembangan luas areal tanam kelapa sawit Indonesia tahun
1967– 2010 ditunjukan pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada
awal perkembangan kelapa sawit dilakukan oleh perusahaan perkebunan negara
dan swasta kemudian baru dikembangkan perkebunan rakyat pada tahun 1979.
Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari
pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit yang berdampak pada
peningkatan permintaan minyak sawit baik dari dalam maupun luar negeri.
9.000.000
8.000.000
Luas Areal (Ha)
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
1960
Tahun
Gambar 2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit dari Tahun 1968 – 2011 di
Indonesia.
Perkebunan Rakyat,
Perkebunan Besar
Swasta,
Perkebunan Besar Negara,
Jumlah.
Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui
ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan
konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun 2001–
2007 telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun
yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrikpabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini
sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus
mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari (Novindra 2011).
12
2.3 Ekonomi Konversi Lahan
Dalam pandangan ekonomi tanah atau lahan adalah salah satu faktor
produksi. Faktor produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan
barang yang langka. Kondisi tersebut dikarenakan perbandingan jumlah manusia
dengan luas lahan pertanian menjadi semakin timpang. Lahan juga merupakan
sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Lahan
digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi pada setiap kegiatan manusia, seperti
untuk pertanian, daerah industri, daerah perumahan (real estate), jalan untuk
transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya
untuk tujuan ilmiah.
Lahan merupakan faktor produksi yang mempunyai peranan sangat
penting. Hal ini dapat dilihat dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan
dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Selain itu status penguasaan
lahan juga berkaitan dengan keputusan jenis komoditas yang akan diusahakan dan
juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani
yang diusahakan.Lokasi dan akses jalan juga berdampak pada nilai ekonomi lahan
pertanian ( Mann et al 2010).
Cumbie el al (2006) melakukan pendekatan dengan analisis ekonomi
terhadap maraknya kegiatan konversi lahan pertanian menjadi tempat wisata
pemancingan yang terjadi di Alabama Amerika Serikat. Secara ekonomi,
pendapatan yang diperoleh dengan mengelola wisata pemancingan lebih besar
dibandingkan dengan pengelolaan lahan pertanian. Hal ini juga berdasarkan hasil
analisis kelayakan finansial yang dilakukan pada usaha pertanian dan wisata
pemancingan dengan tingkat discount rate sebesar 8 persen, diperoleh nilai NPV
positif, IRR lebih besar dari discount rate dan B/C ratio lebih besar dari satu,
sehingga kedua kegiatan tersebut layak untuk dikembangkan. Namun,
pengusahaan lahan sebagai tempat wisata pemancingan lebih menguntungkan
dibandingkan penggunaan lahan hanya untuk kegiatan pertanian.
Konversi tanaman kayu manis menjadi kakao dilakukan oleh petani di
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terjadi sejak tahun 2003. Ashari (2006)
melakukan analisis kelayakan finansial terhadap tanaman kayu manis dan kakao
dengan menggunakan beberapa kriteria investasi seperti Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C rasio)
menunjukkan hasil perhitungan bahwa pada tingkat diskonto sebesar 11.47
persen, kedua tanaman tersebut masih menguntungkan untuk dikembangkan.
Namun, pengusahaan tanaman kakao lebih menguntungkan dibandingkan dengan
tanaman kayu manis, sehingga dapat dinyatakan bahwa tanaman kakao layak
untuk menggantikan tanaman kayu manis.
Konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit juga marak terjadi di
Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Dalam rentang waktu 2005 – 2010, laju
konversi lahan sawah mencapai 4 022 hektar. Hasil penelitian Hamdan (2011)
menunjukkan bahwa nilai land rent rata-rata padi sawah sebesar Rp11 571
319/ha/tahun, sehingga diperoleh nilai PVNR land rent (Present Value Net
Return) sebesar Rp106 587 332/ha untuk komoditas padi sawah. Nilai land rent
komoditas kelapa sawit sebesar Rp15 553 369/ha/tahun dengan nilai PVNR land
rent sebesar Rp118 195 250/ha untuk kelapa sawit. Nilai PVNR land rent kelapa
sawit 10.89 persen lebih tinggi dibandingkan dengan dibandingkan dengan padi
13
sawah. Dengan demikian keputusan petani padi sawah melakukan konversi
menjadi tanaman kelapa sawit merupakan keputusan yang logis secara ekonomi.
Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa alih fungsi lahan atau sering
disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi
sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang
direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian
perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor
secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang
makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang
lebih baik.
Pembangunan yang berkembang pesat dan meningkatnya pertambahan
penduduk menyebabkan lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non pertanian juga
semakin meningkat. Nilai ekonomi lahan yang lebih tinggi tinggi pada kegiatan
non pertanian, seperti untuk permukiman, perdagangan, dan industri dibandingkan
pada kegiatan pertanian mengakibatkan meningkatnya perubahan fungsi lahan
dari pertanian ke non pertanian. Penelitian Pambudi (2008) di Kabupaten Bogor
menunjukkan bahwa pertumbuhan perubahan pe
MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI KABUPATEN MUARO JAMBI
ARDHIYAN SAPUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Finansial
Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya
Terhadap Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Ardhiyan Saputra
H353100031
RINGKASAN
ARDHIYAN SAPUTRA. Analisis Finansial Konversi Tanaman Karet Menjadi
Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan di
Kabupaten Muaro Jambi. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan
M. PARULIAN HUTAGAOL.
Tanaman karet dan kelapa sawit mampu memberikan kontribusi yang besar
terhadap pengembangan perekonomian daerah di Provinsi Jambi. Ekspor
komoditas perkebunan tersebut menempatkan urutan pertama untuk ekspor
tanaman perkebunan. kegiatan konversi kebun dari tanaman karet menjadi
tanaman kelapa sawit terjadi dengan berbagai alasan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengestimasi tingkat keuntungan dari usaha tani karet dan kelapa
sawit, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan karet
menjadi kelapa sawit dan mengetahui dampak dampak konversi terhadap
distribusi pendapatan petani karet dan petani kelapa sawit. Analisis usaha tani
dilakukan untuk mengetahui struktur penerimaan dan biaya produksi, sedangkan
analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tanaman karet dan
kelapa sawit selama 25 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
dalam melakukan konversi dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logit
dan perubahan pendapatan yang terjadi terhadap petani dianalisis dengan
menggunakan analisis distribusi pendapatan.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai bulan Maret 2013 di
Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi. Penelitian menggunakan
metode survei terstruktur dengan wawancara responden menggunakan kuisioner.
Data primer dikumpulkan dari petani karet dan petani kelapa sawit yang telah
mengkonversi tanaman karetnya, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari
instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas areal
perkebunan karet dari tahun 2005 – 2010 seluas 3 429 hektar, dimana dalam
periode yang sama terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit dengan
rata-rata peningkatan sebesar 2 242.33 hektar per tahun. Analisis keuntungan dan
kelayakan finansial pada usaha tani karet lebih besar dibandingkan dengan usaha
tani kelapa sawit. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam
melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit adalah tingkat
pendidikan petani, frekuensi penyadapan dan dummy pendapatan lain pada taraf
nyata 10 persen. Kesempatan kerja bagi buruh tani harian pada usaha tani karet
lebih sedikit dibandingkan pada usaha tani kelapa sawit.
Kata kunci : usaha tani karet, usaha tani kelapa sawit, konversi lahan
SUMMARY
ARDHIYAN SAPUTRA. Financial Analysis of Rubber Plantation Conversion
into Oil Palm Plantation and Its Impact on Income Distribution in Muaro Jambi
Regency. Supervised by YUSMAN SYAUKAT
and M. PARULIAN
HUTAGAOL.
Rubber and oil palm plantations give bigger contribution to region
economics development in Jambi Province. These commodities export rank first
in that of farm estate commodity. Land conversion activities happened from
rubber plantation into oil palm plantation because of many reasons. The objectives
of this research are to estimate profit of rubber and oil palm farming, to identify
influencing factors of land conversion and to know its impact on income
distribution. Methods to determine the structure of income and production cost are
performed by farming analysis and feasibility of rubber and oil farming for 25
years are used by financial analysis. Factors influencing of farmer decision are
analyzed using logit regression analysis and the impact on farmers income are
analyzed using income distribution analysis.
The research was conducted from February to March 2013 in Jambi Luar
Kota Subdistrict, Muaro Jambi Regency. It applied a survey method using
structured questionnaires. Primary data collected from rubber farmers and oil
palm farmers who converted their rubber plantation. Secondary data also collected
from relevant agencies. The results showed that a decrease of rubber plantation
area in Muaro Jambi Regency during 2005 to 2010 about 3 429 hectares while in
the same period the area of palm oil plantation increasing with average of
2 242.33 hectares per year. Profit and financial feasibility analysis of rubber
farming is higher than oil palm farming. Influencing factors of land conversion
are farmers education, frequency of rubber tapping and dummy other income
sources at ten percent probability level. The job creation of rubber farming is less
than oil palm farming for daily worker there.
Key words : rubber farming, oil palm farming, land conversion
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET
MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI KABUPATEN MUARO JAMBI
ARDHIYAN SAPUTRA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Mety Ekayani, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
nikmat dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan topik Analisis Finansial Konversi
Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap
Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi
berhasil diselesaikan
sebagaimana mestinya. Amin.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr M Parulian Hutagaol, MS selaku
anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan sarannya. Terima
kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Ibu Dr Mety
Ekayani, MSc selaku penguji dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
arahan dan saran dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Camat Jambi Luar Kota yang memberikan rekomendasi
dan izin penelitian di Kecamatan Jambi Luar Kota, Bapak Kepala Desa Muhajirin,
Bapak Kepala Desa Maro Sebo, dan Bapak Kepala Desa Sungai Bertam beserta
staf, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada segenap keluarga, istri dan anak-anak tercinta atas doa,
kesabaran, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Ardhiyan Saputra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Komoditas Karet
Perkembangan Komoditas Kelapa Sawit
Ekonomi Komversi Lahan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Distribusi Pendapatan
3 KERANGKA PEMIKIRAN
4 METODE PENELITIAN
Penentuan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data
Asumsi Dasar yang Digunakan
Definisi Operasional
5 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Karakteristik Petani Sampel Karet dan Kelapa Sawit
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konversi Tananam Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit
Perkembangan Luas Konversi Perkebunan Karet
Kondisi Kebun Sebelum Konversi Tanaman
Proses Konversi Kebun Karet Menjadi Kelapa Sawit
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa
Sawit
Usaha Tani Karet
Usaha Tani Kelapa Sawit
Perbandingan Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa
Sawit
Dampak Konversi terhadap Penggunaan Input
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Kebun
Analisis Distribusi Pendapatan
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
xiii
xiii
1
1
4
7
7
7
8
8
10
12
14
16
17
19
19
19
19
20
26
27
28
28
31
33
33
33
34
36
40
40
48
56
57
62
70
72
72
73
73
77
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Sebaran sampel petani karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro
Jambi
Jenis, sumber data dan mentode analisis
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007 – 20011 (dalam jutaan rupiah)
Luas areal, produksi dan sentra tanaman perkebunan di Kabupaten
Muaro Jambi tahun 2011
Karakteristik sampel petani perkebunan karet dan kelapa sawit di
Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2013
Perkembangan laju konversi kebun karet di Kabupaten Muaro Jambi
tahun 2006 – 2010
Perubahan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Muaro Jambi tahun
2005 – 2010
Distribusi umur tanaman karet rakyat yang dikonversi menjadi
tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi
Sebaran dan proporsi alasan petani dalam melakukan konversi
tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi
Sebaran petani sampel berdasarkan cara mengkonversi kebun karet
di Kabupaten Muaro Jambi
Rata-rata biaya investasi usaha tani karet di lokasi penelitian per
hektar
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun
ke-1 sampai tahun ke-5 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-1 sampai
tahun ke-5 di lokasi penelitian
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun
ke-6 sampai tahun ke 25 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-6 sampai
tahun ke 25 di lokasi penelitian per hektar
Analisis keuntungan usaha tani karet per hektar per tahun
Profil usaha tani kelapa sawit pada kebun karet yang dikonversi
Rata-rata biaya investasi usaha tani kelapa sawit di lokasi penelitian
per hektar
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit
tahun ke-1 dan ke-2 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-1 dan
ke-2 di lokasi penelitian
Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit
tahun ke-3 sampai tahun ke-25 di lokasi penelitian per hektar
Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-3
sampai dengan tahun ke-25 di lokasi penelitian
Analisis keuntungan usaha tani kelapa sawit per hektar per tahun
19
20
29
31
32
33
34
36
37
38
42
45
45
47
47
48
50
51
53
53
54
55
56
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Perbandingan nilai keuntungan terdiskonto usaha tani karet dan
kelapa sawit di lokasi penelitian
Alokasi penggunaan tenaga kerja pada usaha tani karet dan kelapa
sawit tahun 2013 per hektar per tahun di lokasi penelitian
Rata-rata pengeluaran untuk upah buruh tani pada per tahap kegiatan
budidaya kelapa sawit tahun 2013 di lokasi penelitian
Rata-rata jumlah dan nilai penggunaan pupuk pada tanaman
menghasilkan karet dan kelapa sawit per hektar per tahun
Rata-rata nilai penggunaan pestisida dan alat pertanian pada tanaman
karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian per hektar per tahun
Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet menjadi
kelapa sawit di lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan umur di lokasi
penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan tingkat pendidikan
di lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan luas lahan di lokasi
penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan frekuensi sadap di
lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan resiko usaha tani di
lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan ketersediaan sarana
produksi di lokasi penelitian
Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan pendapatan lain di
lokasi penelitian
Distribusi pendapatan usaha tani karet dan kelapa sawit per hektar
selama 25 tahun
57
58
60
60
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perkembangan luas areal karet di Indonesia, tahun 1968-2010
Pohon industri karet
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia, tahun
1967-2010
Kerangka pikir penelitian
Luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi
Distribusi pekerjaan sampingan petani kelapa sawit
8
9
11
18
28
59
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Analisis usaha tani karet dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-25
Analisisi usaha tani kelapa sawit dari tahun ke-0 sampai dengan
tahun ke-25
Cashflow finansial usaha tani karet per hektar
Cashflow finansial usaha tani kelapa sawit per hektar
Harga TBS kelapa sawit berdasarkan umur tanaman per Februari
tahun 2013
Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman
Hasil olahan data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi kebun
77
81
85
86
87
88
89
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya
untuk negara-negara berkembang, bahkan untuk negara maju, seperti EU,
Amerika, Australia dan Jepang tetap memberi perhatian dan perlindungan yang
sangat serius terhadap pertanian. Peran strategis tersebut digambarkan melalui
kontribusi pertanian yang nyata melalui pembentukan kapital; penyediaan bahan
pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi; penyerap tenaga kerja; sumber
devisa negara; sumber pendapatan; serta pelestarian lingkungan melalui praktek
usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud
sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu:
1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, 2) mempercepat
pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, 3) menyediakan lapangan kerja,
4) memelihara keseimbangansumberdaya alam dan lingkungan hidup (Bappenas
2010).
Perkembangan sektor pertanian tidak dapat dilepaskan dari subsektor
pendukungnya. Subsektor perkebunan memiliki kontribusi paling besar terhadap
nilai ekspor pertanian. Dalam tahun 2010 sumbangan devisa yang dihasilkan dari
subsektor perkebunan mencapai US$20 miliar yang berasal dari kelapa sawit
US$15.5 miliar, karet US$7.8 miliar dan kopi US$1.7 miliar. Penerimaan negara
dari cukai rokok Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan
bea keluar kakao Rp615 miliar. Dari peran penyerapan tenaga kerja, subsektor
perkebunan pada tingkat on farmsaja dapat menyerap sekitar 19.7 jutaorang. 1
Tanaman karet merupakan komoditas perkebunan yang merupakan tanaman
tahunan yang tumbuh subur di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup. Pola
pengusahaan perkebunan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan
karet rakyat yang mencapai lebih dari 85 persen dari luas total perkebunan karet
di Indonesia, kemudian disusul oleh perkebunan besar swasta dan perkebunan
besar negara (Ditjenbun 2011). Dalam kenyataannya pola pengusahaan karet
rakyat tersebut menyebabkan petani karet masih dihadapkan oleh keterbatasan
modal dalam usaha peremajaan dan pemeliharaan sehingga berakibat rendahnya
produktifitas tanaman karet tersebut.
Menurut Budiman (2005), ada beberapa manfaat dalam pembangunan
tanaman karet adalah : 1) Pohon karet memberikan hasil sadapan harian selama 25
tahun tanpa berhenti, 2) Selain menghasilkan elastomer yang sangat dibutuhkan
dunia, pohon karet juga menghasilkan kayu unggulan di akhir masa sadapan, 3)
pohon karet memberikan banyak manfaat pelestarian lingkungan seperti cadangan
air dan konservasi lahan. Pembangunan tanaman karet juga bermanfaat secara
ekonomi untuk pembentukan pusat pertumbuhan ekonomi.
Komoditas unggulan perkebunan yang memberikan sumbangan devisa
terbesar dalam nilai ekspor pertanian Indonesia adalah kelapa sawit. Selain
sebagai penyumbang nilai ekspor pertanian terbesar, kelapa sawit juga mampu
1
(www.ditjenbun.deptan.go.id), diakses tanggal 30 Mei 2012
2
memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan
jenis tanaman perkebunan lainnya (Syahza 2008). Pada awal perkembangannya,
kegiatan pengembangan kelapa sawit selalu dilakukan oleh perusahaan
perkebunan besar baik oleh perusahaan pemerintah maupun oleh perusahaan
swasta. Hal ini dikarenakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit
membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Pola
pengusahaan yang berbeda pada tamanan kelapa sawit menyebabkan laju
pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit lebih cepat dibandingkan dengan
perkebunan karet.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit
(CPO) adalah komoditas yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai
komoditas ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat
dilihat dari kondisi : 1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat
digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing
terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik
jenuh, 2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit, 3) kelapa sawit
merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap
ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan
lainnya. Selain itu minyak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri
seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan
sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya
permintaan akan minyak sawit.
Peningkatan konsumsi tersebut antara lain juga dipengaruhi oleh
meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan per kapita, serta permintaan minyak
sawit dunia untuk bahan baku industri di Uni Eropa, dan juga meningkatnya
permintaan impor CPO oleh negara India dan RRC. Permintaan CPO di pasar
dunia diperkirakan terus meningkat di masa depan. Hal itu antara lain disebabkan
oleh meningkatnya permintaan negara-negara di dunia yang mulai menggunakan
komoditas tersebut untuk biodiesel. Produk energi itu relatif ramah lingkungan
dan bisa menggantikan bahan bakar konvensional. Tingginya permintaan CPO itu
mengakibatkan harga di pasar dunia meningkat tajam (Purba 2012).
Penelitian yang juga dilakukan oleh Wicke et al.(2011) menyatakan bahwa
peningkatan permintaan dunia terhadap CPO, antara lain disebabkan
meningkatnya permintaan oleh industri makanan, bahan baku industri,dan sumber
energi alternatif. Selain itu tingginya harga CPO dipasaran yang pernah mencapai
US$ 780/ton pada tahun 2008 dapat memberi keuntungan besar bagi produsen
CPO tersebut. Keuntungan yang besar itu memicu produsen CPO untuk
meningkatkan kegiatan produksinya. Peningkatan produksiyang dilakukan telah
menyebabkan terjadinya pola perubahaan penggunaan lahan sehingga dapat
menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Di Malaysia perluasan areal untuk
meningkatan produksi kelapa sawit dilakukan dengan mengkonversi perkebunan
karet dan kelapa menjadi perkebunan kelapa sawit, sedangkan di Indonesia
dilakukan pada areal hutan alam dan gambut.
Konversi lahan merupakan suatu proses dari pengggunaan tertentu dari
lahan menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen
yang dilakukan oleh manusia. Konversi lahan yang bersifat permanen lebih besar
dampaknya dari pada konversi lahan sementara. Konversi lahan pertanian ke non
3
pertanian bukan hanya fenomena fisik, yaitu berkurangnya luasan lahan
melainkan suatu fenomena dinamis yang menyangkut aspek sosial-ekonomi
kehidupan masyarakat (Winoto 2005). Jadi secara umum kegiatan konversi lahan
merupakan bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan
yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi
lahan tertentu akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya.
Konversi lahan tersebut terjadi karena adanya sifat kompetitif hasil dari pilihan
manusia.
Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk
konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur
sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang dimaksud
tercermin dengan adanya pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam
akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan perkapitanya serta adanya
pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam
ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Dalam hukum
ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang
lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Land rent
dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan
persatuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi et al2009).
Menurut Munir (2008), ada dua faktor yang mendasar berhubungan dengan
konversi lahan meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan
terhadap lahan, sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor,
dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya
faktor-faktor penyebab (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan
penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy
(kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan
mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio
ekonomi) dari perubahan land use. Penyebab dari perubahan penggunaan lahan,
antara lain kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar;
intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya
kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan
dalam tingkah laku (Lambin et al 2002dalam Warlina 2007).
Kegiatan konversi lahan perkebunan dari tanaman karet ke kelapa sawit
disebabkan oleh fluktuasi harga yang tidak stabil dan cenderung menurun,serta
mutu dan produktifitas tanaman karet yang rendah. Pada awal tahun 2000, harga
karet Indonesia (FOB Belawan) hanya berkisar antara US$0.55/kg – US$0.56/kg.
Harga tersebut merupakan yang terendah dalam 40 tahun terakhir. Melemahnya
harga karet sangat tidak menguntungkan bagi negara produsen seperti Indonesia.
Kondisi ini semakin bertambah parah dengan prilaku negara-negara pengimpor
utama karet yang menahan diri untuk tidak masuk pasar. Rendahnya produktifitas
rata-rata tanaman karetnasional yang hanya mampu berproduksi antara 400 – 500
kg/ha, jauh dibawah produktifitas negara pesaing, seperti Malaysia dan Thailand
yang menghasilkan karet dengan produksi rata-rata masing-masing sebesar 1000
kg/ha dan 750 kg/ha. Selain itu, mutu karet Indonesia yang rendah menyebabkan
negara importir beralih ke negara produsen lain. Hal inilah yang menjadi
4
penyebab terjadinya kecendrungan beberapa perusahaan perkebunan melakukan
konversi tanaman karet ke tanaman perkebunan lain, seperti kelapa sawit dan
coklat, bahkan menjadi kawasan industri dan pemukiman (Herlina 2002).
Keputusan petani untuk meremajakan tananam karet atau replanting
maupun mengkonversi menjadi tanaman kelapa sawit sangat bergantung pada
besarnya modal yang dimiliki oleh petani. Hal ini dikarenakan untuk
meremajakan atau mengkonversi tanaman perkebunan memerlukan modal yang
relatif besar. Modal tersebut dapat berasal dari modal sendiri (dari petani sendiri
jika petani memiliki kemampuan finansial) dan dari skim kredit. Kurang
tersedianya skim kredit bagi petani perkebunan lebih disebabkan karena resiko
usaha perkebunan yang tinggi, waktu tanaman menghasilkan relatif lama dan
tidak adanya anggunan yang dapat menjadi jaminan pembayaran kredit membuat
petani perkebunan memiliki alternatif dalam melakukan peremajaan tanaman
maupun menggantinya dengan tanaman perkebunan lain, seperti dengan
mengganti sebagian tanaman perkebunannya dengan tanaman baru sementara
tanaman lama yang masih menghasilkan dapat digunakan untuk membiayai
kebutuhan hidup petani selama tanaman baru masih belum menghasilkan dan
setelah tanaman baru sudah menghasilkan kemudian dilakukan penggantian
tanaman selanjutnya.
Oleh karena itu kegiatan konversi yang dilakukan petani dari tanaman karet
menjadi tanaman kelapa sawit dalam jangka panjang merupakan sesuatu hal yang
penting dan strategis. Mengingat tanaman karet merupakan tanaman yang sudah
membudaya bagi petani karet di Provinsi Jambi dan sumber mata pencaharian
hampir 50 persen petani disektor perkebunan. Kegiatan konversi yang telah
dilakukan petani memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan gambaran
perbandingan biaya dan pendapatan yang diterima petani.
1.2 Perumusan Masalah
Kegiatan konversi tanaman perkebunan marak terjadi pada beberapa
wilayah di Provinsi Jambi, seperti dari tanaman karet ke kelapa sawit dan tanaman
kayu manis ke tanaman kakao. Konversi tanaman perkebunan karet mejadi kelapa
sawit dilakukan baikoleh perusahaan perkebunan dalam skala besar maupun oleh
perkebunan karet rakyat. Perusahaan perkebunan karet terbesar yang terdapat di
Provinsi Jambi adalah PTPN VI (Persero). PTPN VI merupakan perusahaan
BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan pembangunan proyek
Perkebunan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dengan tanaman yang
dibudidayakan adalah karet, kelapa hibrida, dan kakao. Dalam melaksanakan
pengembangan usaha dilakukan dengan pola perkebunan inti plasma, dimana
perkebunan inti merupakan kebun yang dimiliki dan dikelola langsung oleh
perusahaan, sedangkan perkebunan plasma merupakan pola pengembangan
perkebunan dengan melibatkan petani dalam pengelolaannya dengan sistem
kemitraan atau kerjasama tertentu, sehingga diharapkan dapat terjadi transfer
teknologi dari perusahaan kepada petani.
Konversi tanaman karet ke kelapa sawit dimulai pada tahun 1998. Konversi
yang dilakukan oleh perusahaan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
produktivitas tanaman yang berkurang karena banyaknya tanaman yang tua, harga
jual karet yang cenderung menurun dan faktor keamanan akibat lemahnya sistem
5
pengawasan oleh perusahaan terhadap kebun produksi yang berakibat sering
terjadinya tindakan pencurian hasil sadapan secara liar sehingga dapat merugikan
perusahaan.Konversi tanaman oleh perusahaandilakukan pada perkebunan inti
terjadi pada beberapa daerah di Provinsi Jambi, meliputi kebun Rimbo Satu
(Kabupaten Bungo), kebun Durian Luncuk (Kabupaten Batanghari), kebun Bahar
dan Ness (Kabupaten Muaro Jambi) dengan luas kebun keseluruhan yang
dikonversi mencapai 18 482.56 hektar (Disbun Jambi 2002).
Konversi tanaman karet ke kelapa sawit juga dilakukan oleh perkebunan
rakyat di Kabupaten Muaro Jambi. Ada dua jenis tipe pengelolaan usaha
perkebunan karet rakyat, yaitu hutan karet dan kebun karet. Hutan karet
merupakan perkebunan karet yang pengelolaanya dilakukan tanpa kegiatan
perawatan dan pemeliharaan, kondisi kebun heterogen yang terdiri dari tanaman
karet dan non karet, sedangkan kebun karet merupakan kebun yang ditanam
dengan tanaman karet yang dirawat dan dipelihara. Kecenderungan konversi
tanaman yang dilakukan oleh petani hutan karet dengan mengganti menjadi
tanaman kelapa sawit dengan sistem plasma, yaitu pola kerjasama yang telah
disepakati sebelumnya dengan perusahaan perkebunan, sedangkan konversi
tanaman pada kebun karet umumnya dilakukan secara swadaya oleh petani karet
sendiri.
Berdasarkan data statistik perkebunan luas areal kebun karet di Kabupaten
Muaro Jambi pada tahun 2006 seluas 62 136 hektar turun menjadi 55 459 hektar
pada tahun 2011. Menurut Kepala Seksi Tanaman Perkebunan Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Muaro Jambi penyusutan areal tanaman karet
sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi menjadi tanaman kelapa sawit dan
sebagian lainnya diperuntukkan sebagai daerah pemukiman dan pembangunan
sarana infrastruktur. Alih fungsi kebun karet menjadi kelapa sawit tersebut
dilakukan oleh perusahaan perkebunan swasta dan negara serta perkebunan
rakyat. Pada periode yang sama, perkembangan luas areal perkebunan kelapa
sawit mengalami peningkatan dari seluas 80 666 hektar pada tahun 2006 menjadi
seluas 90 545 hektar pada tahun 2011. Peningkatan luas areal tanam tersebut
berasal dari pembukaan lahan baru dengan perubahan pada beberapa jenis
penggunaan lahan, seperti sawah, lahan kering, tegalan dan alih fungsi dari
perkebunan karet (Dishutbun 2011).
Potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikonversi dari
perkebunan karet di Kabupaten Muaro Jambi memerlukan kajian yang
mendalam.Produktifitas yang tinggi dan tahan terhadap serangan hama penyakit
menjadikan daya tarik petani perkebunan untuk mengusahaan tanaman kelapa
sawit. Akan tetapi hasil yang tinggi tentu membutuhkan input dan pemeliharaan
yang intensif pula. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keadaan petani
perkebunan rakyat yang memiliki keterbatasan dalam akses sumber modal dan
teknologi. Sebagaimana diketahui bahwa pada awal perkembangannya, kegiatan
pengembangan perkebunan kelapa sawit selalu dilakukan oleh perusahaan
perkebunan besar baik oleh perusahaan pemerintah maupun oleh perusahaan
swasta. Hal ini dikarenakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit
membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal.
Dalam perkembangannya produktifitas perusahaan perkebunan milik swasta
lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan perkebunan besar nasional dan
perkebunan rakyat. Tingginya laju permintaan Crude Palm Oil (CPO)
6
menyebabkan industri pengolahan CPO harus meningkatkan produksi untuk
menghasilkan produk lebih banyak. Kondisi ini berdampak pada peningkatan
bahan baku tandan buah sawit yang lebih banyak pula sehingga terbuka peluang
pasar untuk menjual TBS kepada perusahaan. Pemasaran hasil yang relatif mudah
mendorong petani karet mengganti tanaman karet yang sudah tidak produktif tadi
menjadi tanaman kelapa sawit.
Berbagai upaya dari pemerintah sudah sejak lama dilakukan dalam
mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Salah satu upaya pengembangan
perkebunan kelapa sawit adalah melalui pola kemitraan. Pola kemitraan usaha
perkebunan kelapa sawit diarahkan agar petani plasma dapat mengembangkan
perkebunan kelapa sawit yang berorientasi pasar, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan keluarga petani, serta mendorong perluasan dan pemerataan
kesempatan kerja. Akan tetapi pada kenyataannya, pola kemitraan tersebut tidak
selamanya menguntungkan petani dan masyarakat sekitarnya. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Daliman (2005)dalam Yasri (2006) di daerah Ngabang
Pontianak menyimpulkan bahwa penghasilan petani plasma tidak cukup untuk
untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk
keluarganya), yakni rata-rata perbulan hanya Rp148500 per hektar. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa petani kelapa sawit rakyat yang bermitra dengan
perusahaan belum sepenuhnya mampu untukmeningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan apabila dibandingkan dengan petani swadaya.
Adanya perbedaan karakteristik produk hasil panen antara tanaman karet
dan kelapa sawit menyebabkan penanganan yang berbeda pula. Pada komoditas
karet, getah karet yang dihasilkan dapat dikumpulkan terlebih dahulu oleh petani
sebelum dijual atau petani karet dapat menunda penjualan getah karet bila harga
relatif murah, sedangkan pada komoditas kelapa sawit, pemasaran tandan buah
segar sesudah dipanen memerlukan waktu penanganan yang cepat untuk
menghindari kerugian sehingga menyebabkan posisi tawar petani rendah.Selain
itu struktur pasar kelapa sawit yang lebih cenderung kearah pasar monopsoni
dapat merugikan petani kelapa sawit. Hal ini dilakukandengan menetapkan harga
secara sepihak oleh pihak pabrik kelapa sawit dan pedagang pengumpul tandan
buah segar (tauke).Disamping itu tingginya harga pupuk dan berfluktuasinya
harga jual akan mengakibatkan rendahnya minat petani dalam meningkatkan
produktifitas kelapa sawit.
Dengan demikian perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap
usahatani karet dan kelapa sawit sehingga investasi yang telah ditanamkan
oleh petani dapat menghasilkan keuntungan atau memiliki manfaat yang
lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan sehingga usahatani tersebut
layak dan berhasil untuk dikembangkan. Konversi tanaman yang dilakukan
petani juga akan berdampak terhadap jumlah penggunaan input yang
digunakan dalam kegiatan usaha tani. Perubahan penggunaan input dapat
mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani sehingga perlu
dilihat dari distribusi pendapatan usaha tani. Dari distribusi pendapatan
dapat dilihat pembagian (proporsi) keuntungan masing-masing pelaku pada
usaha tani karet dan kelapa sawit. Selain itu, budidaya kelapa sawit
merupakan suatu hal yang baru bagi petani yang sebelumnya mengusahakan
tanaman karet. Keputusan mengkonversi tersebut dapat menimbulkan resiko
yang merugikan petani sendiri apabila dalam pengelolaan usaha taninya
7
menyebabkan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadi rendah atau
bahkan tidak berproduksi sama sekali. Berdasarkan latar belakangdiatas,
maka pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini
berkaitan dengan konversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawitdi
Kabupaten Muaro Jambi, yaitu :
1. Benarkah pengusahaan usaha tani kelapa sawit lebih menguntungkan
dari usaha tani karet di Kabupaten Muaro Jambi?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi
tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro
Jambi?
3. Bagaimana dampak konversi terhadap distribusi pendapatan petani karet
dan petani kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengestimasi nilai keuntungan dari usaha tani tanaman karet dan usaha
tani kelapa sawit.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi
tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit.
3. Mengetahui dampak konversi terhadapdistribusi pendapatan petani karet
dan petani kelapa sawit.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan suatu kegiatan
investasi. Bagi pengambil kebijakan di Provinsi Jambi dapat digunakan
untuk menentukan kebijakan yang tepat rangka meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani yang bekerja di sektor perkebunan. Bagi kalangan
akademisi dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai usaha komoditas tanaman perkebunan karet dan kelapa
sawit.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan pada salah satu
wilayah sentra usaha perkebunan karet yang mengalami konversi tanaman
menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi. Ruang lingkup penelitian
ini adalah menganalisis biaya dan manfaat usaha tani kelapa sawit dan
faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet
ke kelapa sawit serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan. Kegiatan
usaha tani kelapa sawit yang dilakukan petani secara swadaya.Periode umur
ekonomis tanaman karet dan kelapa sawitditetapkan selama 25 tahun.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Komoditas Karet
Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan
penting bagi peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Disamping itu,
ekspor karet alam memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa negara.
Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor utama karet alam yang
mempunyai luas areal tanam paling besar di dunia. Akan tetapi tingkat
produktivitasnya urutan kedua setelah Thailand. Hal ini dikarenakan lebih dari 85
persen perkebunan karet Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dan sisanya
berasal dari perkebunan besar milik negara dan swasta (Ditjenbun 2011).
Perkembangan luas areal tanam karet alam Indonesia tahun 1968-2010
ditunjukan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa peningkatan luas
areal didominasi oleh perkebunan karet rakyat. Dari total areal karet tersebut, baru
15 persen yang ditangani oleh pemerintah melalui proyek, sedangkan sebagian
besar adalah areal karet rakyat tradisional yang umumnya berupa hutan karet
dengan produktivitas dan mutu bokar yang rendah (Ditjenbun 2011). Luas areal
karet sejak tahun 1968 hingga tahun 2010 terus meningkat dengan laju
pertumbuhan rata-rata sebesar 1.06 persen per tahun. Luas areal tahun 2010
mencapai 55.98 kali lipat dari luas areal pada tahun 1968.
4.000.000
3.500.000
Luas Areal (Ha)
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
Gambar 1.
Tahun
Perkembangan Luas Areal Karetdari Tahun 1968 – 2011 di
Indonesia
Perkebunan Rakyat,
Perkebunan Besar
Swasta,Perkebunan
Besar Negara,
Jumlah
Produktivitas karet alam Indonesia yang relatif rendah disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain umur ekonomis tanaman karet alam relatif tua sehingga
kemampuan produksinya menurun. Tanaman karet yang tua memberi pengaruh
pada biaya pemeliharaan yang tinggi, sedangkan penerimaan dari tanaman
tersebut semakin menurun. Upaya peremajaan dan penanaman baru tanaman karet
9
dilakukan untuk memacu peningkatan produktivitas, peningkatan optimalisasi
pola usahatani, dan peningkatan teknologi budidaya. Keberhasilan langkah
peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan mendukung peningkatan
produksi karet alam Indonesia dan pada akhirnya berbanding lurus dengan jumlah
dan kualitas ekspor karet alam Indonesia. Komoditas karet sangat berhubungan
erat dengan kebutuhan manusia sehari-hari. Hasil olahan yang menggunakan
bahan dasar karet 73 persennya berupa ban, sedangkan sisanya dalam bentuk alat
kesehatan, mainan anak-anak, peralatan otomotif, sol sepatu sandal dan
sebagainya. Karet terdiri dari dua jenis yaitu karet sintesis dan karet alami. Karet
sintesis adalah karet yang memerlukan minyak mentah dalam proses
pembuatannya, sedangkan karet alami diperoleh langsung dari tanaman karet.
Kualitas karet alami terletak pada daya elastisitas yang sempurna sehingga
memudahkan pengolahan serta daya tahan yang tinggi terhadap panas dan
keretakan.
Potensi nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan
industri ilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu
(Gambar 2). Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan
dari lateks, utamanya non ban, sedangkan ragam produk dari kayu karet tidak
sebanyak dari lateks. Namun, sampai saat ini potensi kayu karet tua belum
dimanfaatkan secara optimal.
Lateks, sheet,
bokar
Crumb Rubber
Pohon
Karet
Kayu
Arang, kayu
gergajian, pulp
Furnitur
Alat kesehatan
dan laboratorium
Pipet, slang,
stetoskop, dll
Perlengkapan
kendaraan
Ban, pedal gas,
karet kaca, dll
Alat olah raga
Bola sepak,
volley, dll
Perlengkapan
pakaian
Sepatu dan
sandal karet, dll
Perlengkapan
teknik industri
Air house, oil
seal, rubber,dll
Perlengkapan
anak dan bayi
Dot susu, perlak,
mainan anak, dll
Perlengkapan
rumah tangga
Perlengkapan
lain, karpet
Barang lain
Kondom,
pelampung, dll
Sumber : Departemen Pertanian 2007
Gambar 2. Pohon Industri Karet
10
Menurut Anwar (2005), diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan
karet alam pada periode dua dekade ke depan. Hal ini menjadi kekuatiran pihak
konsumen, terutama pabrik-pabrik ban seperti Bridgestone, Goodyear dan
Michelin. Pada tahun 2004, IRSG membentuk Task Force Rubber Eco Project
(REP) untuk melakukan studi tentang permintaan dan penawaran karet sampai
dengan tahun 2035. Hasil studi REP meyatakan bahwa permintaan karet alam dan
sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan
non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Dari studi ini
diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3 persen per
tahun, sedangkan Thailand hanya 1 persen dan Malaysia -2 persen. Pertumbuhan
produksi Indonesia ini dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet
yang cukup luas, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton
dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton.
Jenis mutu karet alam terdiri dari TNSR (Technically Specified Natural
Rubber) atau SIR (Standart Indonesian Rubber), RSS (Ribbed Smoked Sheets),
Latex, Crepe dan lainnya. Jenis mutu yang menempati tempat teratas adalah SIR
77.99 persen, RSS 17.03 persen, lateks pekat 3.39 persen, pale crepe dan lain-lain
1.55 persen. Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia
masih terbatas, akan tetapi umumnya masih didominasi oleh produk primer (raw
material) dan produk setengah jadi.
2.2 Perkembangan Komoditas Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit memiliki usia produktif 20– 25 tahun, setelah usia
tersebut tanaman kelapa sawit sudah tidak dianggap menguntungkan secara
ekonomis. Pada tiga tahun pertama kelapa sawit disebut pohon muda karena
belum menghasilkan buah yang sempurna atau disebut buah pasir. Kelapa sawit
sudah mampu berbuah sempurna pada usia 3.5– 4 tahun, di masa ini kelapa sawit
sudah mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) dengan potensi 25– 30
ton/ha/tahun. Kelapa sawit berproduksi secara optimal pada usia 8– 14 tahun
setelah itu kelapa sawit akan mengalami penurunan jumlah produksi (PPKS
2006).
Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan perkebunan yang
memberikan sumbangan devisa yang terbesar dalam nilai ekspor pertanian bagi
Indonesia. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia secara komersial dimulai
sejak tahun 1967 yang pada mulanya hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara
(PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Baru pada tahun 1979 adanya
perkebunan rakyat yang dikembangkan dengan pola PIR-BUN (Perkebunan Inti
Rakyat Perkebunan) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Secara
konsepsional PIR-BUN adalah suatu pola pengembangan perkebunan dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing
perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam sistem kerja sama yang
saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan melalui sistem pengolahan
usaha mulai dari produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau
Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan
provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai
24 persen dari produksi nasional pada tahun 2007 sementara Jambi menyumbang
11
minyak sawit sebesar 7.70 persen dari produksi nasional dengan luas lahan
mencapai 8.82 persen dari luas lahan nasional (Ditjenbun 2011).
Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa
sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara
produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam
perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di
dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama
tahun 1969– 2007 Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa
sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun
1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca
perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun (Ditjenbun 2011).
Adapun perkembangan luas areal tanam kelapa sawit Indonesia tahun
1967– 2010 ditunjukan pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada
awal perkembangan kelapa sawit dilakukan oleh perusahaan perkebunan negara
dan swasta kemudian baru dikembangkan perkebunan rakyat pada tahun 1979.
Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari
pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit yang berdampak pada
peningkatan permintaan minyak sawit baik dari dalam maupun luar negeri.
9.000.000
8.000.000
Luas Areal (Ha)
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
1960
Tahun
Gambar 2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit dari Tahun 1968 – 2011 di
Indonesia.
Perkebunan Rakyat,
Perkebunan Besar
Swasta,
Perkebunan Besar Negara,
Jumlah.
Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui
ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan
konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun 2001–
2007 telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun
yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrikpabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini
sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus
mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari (Novindra 2011).
12
2.3 Ekonomi Konversi Lahan
Dalam pandangan ekonomi tanah atau lahan adalah salah satu faktor
produksi. Faktor produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan
barang yang langka. Kondisi tersebut dikarenakan perbandingan jumlah manusia
dengan luas lahan pertanian menjadi semakin timpang. Lahan juga merupakan
sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Lahan
digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi pada setiap kegiatan manusia, seperti
untuk pertanian, daerah industri, daerah perumahan (real estate), jalan untuk
transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya
untuk tujuan ilmiah.
Lahan merupakan faktor produksi yang mempunyai peranan sangat
penting. Hal ini dapat dilihat dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan
dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Selain itu status penguasaan
lahan juga berkaitan dengan keputusan jenis komoditas yang akan diusahakan dan
juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani
yang diusahakan.Lokasi dan akses jalan juga berdampak pada nilai ekonomi lahan
pertanian ( Mann et al 2010).
Cumbie el al (2006) melakukan pendekatan dengan analisis ekonomi
terhadap maraknya kegiatan konversi lahan pertanian menjadi tempat wisata
pemancingan yang terjadi di Alabama Amerika Serikat. Secara ekonomi,
pendapatan yang diperoleh dengan mengelola wisata pemancingan lebih besar
dibandingkan dengan pengelolaan lahan pertanian. Hal ini juga berdasarkan hasil
analisis kelayakan finansial yang dilakukan pada usaha pertanian dan wisata
pemancingan dengan tingkat discount rate sebesar 8 persen, diperoleh nilai NPV
positif, IRR lebih besar dari discount rate dan B/C ratio lebih besar dari satu,
sehingga kedua kegiatan tersebut layak untuk dikembangkan. Namun,
pengusahaan lahan sebagai tempat wisata pemancingan lebih menguntungkan
dibandingkan penggunaan lahan hanya untuk kegiatan pertanian.
Konversi tanaman kayu manis menjadi kakao dilakukan oleh petani di
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terjadi sejak tahun 2003. Ashari (2006)
melakukan analisis kelayakan finansial terhadap tanaman kayu manis dan kakao
dengan menggunakan beberapa kriteria investasi seperti Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C rasio)
menunjukkan hasil perhitungan bahwa pada tingkat diskonto sebesar 11.47
persen, kedua tanaman tersebut masih menguntungkan untuk dikembangkan.
Namun, pengusahaan tanaman kakao lebih menguntungkan dibandingkan dengan
tanaman kayu manis, sehingga dapat dinyatakan bahwa tanaman kakao layak
untuk menggantikan tanaman kayu manis.
Konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit juga marak terjadi di
Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Dalam rentang waktu 2005 – 2010, laju
konversi lahan sawah mencapai 4 022 hektar. Hasil penelitian Hamdan (2011)
menunjukkan bahwa nilai land rent rata-rata padi sawah sebesar Rp11 571
319/ha/tahun, sehingga diperoleh nilai PVNR land rent (Present Value Net
Return) sebesar Rp106 587 332/ha untuk komoditas padi sawah. Nilai land rent
komoditas kelapa sawit sebesar Rp15 553 369/ha/tahun dengan nilai PVNR land
rent sebesar Rp118 195 250/ha untuk kelapa sawit. Nilai PVNR land rent kelapa
sawit 10.89 persen lebih tinggi dibandingkan dengan dibandingkan dengan padi
13
sawah. Dengan demikian keputusan petani padi sawah melakukan konversi
menjadi tanaman kelapa sawit merupakan keputusan yang logis secara ekonomi.
Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa alih fungsi lahan atau sering
disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi
sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang
direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian
perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor
secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang
makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang
lebih baik.
Pembangunan yang berkembang pesat dan meningkatnya pertambahan
penduduk menyebabkan lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non pertanian juga
semakin meningkat. Nilai ekonomi lahan yang lebih tinggi tinggi pada kegiatan
non pertanian, seperti untuk permukiman, perdagangan, dan industri dibandingkan
pada kegiatan pertanian mengakibatkan meningkatnya perubahan fungsi lahan
dari pertanian ke non pertanian. Penelitian Pambudi (2008) di Kabupaten Bogor
menunjukkan bahwa pertumbuhan perubahan pe