The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu

EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN
KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN
KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU

HAMDAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Ekonomi Konversi Lahan

Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan
Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012
Hamdan
NRP H351090151

Abstract
HAMDAN, 2012. The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm
Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu. Under
Supervision of YUSMAN SYAUKAT (chair) and AHYAR ISMAIL (member).
Food security is one of the biggest challenges confronted by Indonesia. High
population growth and per capita food consumption increase resulted in increase
in demand for national rice production. One of the greatest threats to rice
production increase is conversion of irrigated lowland area into oil palm
plantations as occurs in Seluma District, Province of Bengkulu. Objective of this
study is to identify the factors determining land conversion from rice field into oil
palm plantation and to determine the present value of benefit resulted from both
land uses. The results of study showed a decrease of irrigated lowland areas in
district of Seluma during 2005 to 2010 about 3.934 hectares, the largest decline

in rice field area in 2005 to 2007 covering an area of 3.861 hectares in nonirrigated land, while in irrigated land the average increase of 997.20 hectare per
year. One of the drivers of land conversion is the value of present of land rent in
oil palm farm is greater than rice farming, each amount to Rp 118, 20 million per
hectare and Rp 106,59 million per hectare. In addition to economic benefits, oil
palm farmers also get easier access to sources of capital and production input
markets. The results of logistic regression analysis shows that the push and pull
factors of wetland conversion into oil palm plantations are irrigated constraints,
The risk of rice paddies plantation, the amount of family labor and the level of
price of oil palm.
Key words: land conversion,rent, paddy, oil palm, push and pull

RINGKASAN
HAMDAN, Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di
Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Dibimbing
oleh Yusman Syaukat sebagai ketua dan Ahyar Ismail sebagai anggota komisi
pembimbing.
Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi
Bengkulu, secara keseluruhan daerah ini memiliki luas areal persawahan 23.748
ha atau 22,59% dari luas sawah Provinsi Bengkulu. Lahan sawah yang dapat
ditanami dua kali dalam satu tahun seluas 4.851 ha (20%), dan yang ditanami

satu kali dalam satu tahun seluas 13.290 ha (56%) Produktivitas padi didaerah ini
mencapai 3,95 merupakan yang tertinggi ketiga setelah Kota Bengkulu dan
Kabupaten Kepahiang. Berbagai kendala dalam usahatani padi, pelandaian
produksi padi yang terus terjadi akibat degradasi lahan, sarana produksi yang
tidak tersedia, hama dan penyakit, irigasi menyebabkan biaya usahatani semakin
tinggi yang berarti land rent yang diperoleh semakin menurun. Kondisi ini
mendorong petani untuk mencari solusi pengelolaan lahan sawah yang dimiliki
untuk memperoleh manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraannya, salah
satunya adalah konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.
Meskipun fenomena konversi lahan ini belum menjadi ancaman yang
serius terhadap keamanan pangan regional Bengkulu, perhatian terhadap
perkembangan konversi lahan harus tetap dilakukan untuk mengantisipasi
semakin maraknya konversi lahan. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan
tiga tujuan penelitian mengenai keragaan konversi lahan sawah di Kabupaten
Seluma, yaitu: (1) Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah
menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma, (2) Mengestimasi nilai land
rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata
komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai
land rent dalam Present Value Net Return land rent, dan (3) Mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa

sawit.
Untuk tujuan pertama dilakukan estimasi perkembangan konversi lahan
sawah berdasarkan data luas lahan sawah tahun 2005 sampai dengan tahun
2010, data yang digunakan adalah data sekunder dari BPS Provinsi Bengkulu,
BPS Kabupaten Seluma dan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma. Perubahan
luasan ini dihitung berdasarkan data luas lahan sawah tahun awal ditambah luas
pencetakan sawah baru tahun berikutnya dan dikurangi luas lahan yang
dikonversi. Tujuan kedua dilakukan analisis nilai land rent dimulai dengan
mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi nilainya, seperti
produktivitas lahan, harga output, biaya faktor produksi (variable cost), biaya
peralatan, dan biaya pengelolaan. Nilai land rent yang diperoleh dari usahatani
pada lahan sawah dan kebun kelapa sawit dihitung sebagai present value net
return (PVNR) land rent dengan periode analisis selama 25 tahun dan discount
rate sebesar 10%. Untuk tujuan ketiga dilakukan identifikasi terhadap variabel
yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit melalui
wawancara dengan responden petani, tokoh masyarakat dan petugas lapang.
Hasil identifikasi ini kemudian dikelompokkan ke dalam push factor dan pull
factor konversi lahan. Analisis yang digunakan adalah secara kualitatif dan
kuantitatif dalam sistem tabulasi, kemudian dilakukan analisis regresi logistik
biner.


Laju konversi lahan sawah terluas di Kabupaten Seluma yang terjadi pada
tahun 2005 sampai 2010 mencapai 4.022 hektar, tertinggi tahun 2006 seluas
seluas 2.934 hektar kemudian tahun 2007 seluas 927 hektar dan tahun 2009
seluas 161 hektar. Tahun 2005 luas lahan sawah mencapai 23.936 hektar,
tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar dan tahun 2007 kembali mengalami
penurunan menjadi 20.075 hektar. Pencetakan sawah baru tahun 2008 seluas
3.870 hektar yang dilakukan secara swadaya oleh petani setelah adanya
kegiatan perbaikan drainase dan pengeringan pada lahan baku sawah oleh
Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, sehingga meningkatkan luas lahan sawah
menjadi 23.784 hektar pada tahun 2008. Konversi lahan sawah yang terjadi
belum menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan Kabupaten Seluma, namun
kondisi ini perlu dicermati lebih jauh karena ada gejala penurunan produksi padi
dan produktivitas dalam tiga tahun terakhir dimana pada tahun 2008 produksi
padi mencapai 84.631 ton kemudian turun menjadi 62.629 pada tahun 2010.
Produktivitas lahan juga mengalami penurunan, yaitu dari 4,15 ton/ha pada
tahun 2007 menjadi 3,94 ton/ha pada tahun 2010.
Hasil analisis ekonomi terhadap usahatani komoditas padi sawah diperoleh
nilai land rent rata-rata sebesar Rp 11.742.521/hektar/tahun. Nilai land rent ratarata komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun. Nilai PVNRland rent dari usahatani padi sawah sebesar Rp 106,587,332/hektar, sedangkan
dari usahatani kelapa sawit sebesar 118.195.250/hektar. PVNR-land rent dari

kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dari sawah atau 1 berbanding 1,11. Artinya land
rent yang lebih tinggi dari kelapa sawit merupakan salah satu pendorong
konversi lahan, meskipun perubahan ini belum mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Nilai Tukar Rumah Tangga Petani sebagai indikator
kesejahteraan memberikan nilai 0,58 untuk padi sawah dan 0,78 untuk kelapa
sawit, dapat dikatakan pengelolaan salah satu komoditas saja dengan luasan 1
hektar belum mampu mensejahterakan petani. Diversifikasi usahatani seperti
padi dan kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi peningkatan
kesejahteraan petani, tentunya dengan pengaturan dan pengelolaan yang lebih
baik.
Push factor konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah
kendala irigasi (X1), Resiko usahatani padi sawah (X3), dan jumlah tenaga kerja
keluarga (X5). Faktor kendala irigasi dan resiko usahatani padi berpengaruh
positif terhadap kecenderungan konversi lahan dengan koefisen 3,790 dan 2,835
serta odds ratio 44,267 dan 17,029, artinya peluang untuk mengkonversi lahan
lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan resiko
usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga
berpengaruh negatif dengan koefisien -2,000 dan odds ratio 0,135, artinya
peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki
tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull factor konversi lahan

adalah harga tandan buah segar kelapa sawit (X8), variabel ini berpengaruh
positif pada selang kepercayaan 10% dengan koefisien 2,619 dan odds ratio
13,723,
artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan peningkatan
kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah 13,723 kali lebih besar
dibanding tidak melakukan konversi.
Kata kunci: konversi lahan, rente, padi, kelapa sawit, pendorong dan penarik

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB

EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN
KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN

KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU

HAMDAN

Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Eka Intan Kumala Putri, MS Ir. Ahyar
Ismail,
MS

Judul Tesis
Nama

NRP

: Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit
di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi
Bengkulu
: Hamdan
: H351090151

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec
Ketua

Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr

Tanggal Ujian: 23 Desember 2011

Tanggal Lulus: 18 Januari 2012
Desember 2011

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi sumberdaya lahan,
dengan judul Ekonomi Konversi Lahan Sawah menjadi Kebun Kelapa Sawit di
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Tulisan ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program

Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada:
1.

Dr. Ir. Yusman Syaukat. M. Ec, ketua Komisi Pembimbing yang penulis
hormati atas segala arahan, ilmu dan kesabaran yang telah diberikan
kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.

2.

Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr, anggota komisi pembimbing atas segala ilmu
dan arahan yang telah diberikan kepada penlis.

3.

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, Ketua

Program Studi Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama
penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.
4.

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, dosen Program Studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama
penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

5.

Dosen dan staf Departemen ESL atas bantuan dan kerjasamanya selama
penulis menempuh pendidikan pascasarjana.

6.

Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Kepala Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bengkulu, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan.

7.

Ayahanda tercinta Ariyus KH. Sampono Endah beserta Ibunda Baiyinah dan
Papa Drs. Djamal Sasta beserta

Mama Koen Paryati atas segala doa,

nasehat, motivasi dan kasih sayangnya.
8.

Kakak M. Taufiq dan adik-adik tercinta Busyra, Ruhamak, Baihaqi, Raudhah
serta Isyatirrhadiyah atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

9.

Istri tercinta Shannora Yuliasari yang setia mendampingi dan memberikan
semangat serta membantu penulis selama pendidikan dan penyelesaian
tulisan ini.

10. Anak-anakku tersayang Firaas Althaf dan Mahira Lutfiyah yang selalu
memberikan semangat dan keceriaan.
11. Mamak Ir. Yardha beserta keluarga atas segala bantuan dan motivasinya
sehingga penulis dapat menjalani masa pendidikan dan penyelesaiaan
tulisan ini.
12. Rekan-rekan ESL dan ESK 2009, Pak Bambang ESL 2007, ESL 2008 atas
segala bantuan dan kebersamaan yang dibangun selama ini.
13. Bapak M. Rais dan keluarga yang telah menyediakan akomodasi dan
bantuan bagi penulis selama melaksanakan penelitian serta masyarakat
Kecamatan Seluma Selatan yang terlibat dalam penelitian ini.
14. Teman-teman dan sahabat penulis Yadi, Said, Kadek, Asti, Ria, Novan,
Ongen, Roghib, Eka, Rio, Fadli dan Ririn atas segala bantuan dan
kebersamaan selama ini.
15. Bapak/Ibu petugas belajar Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian
atas segala informasi dan bantuannya.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi stake holder terkait untuk pengelolaan sumberdaya lahan yang lebih baik
guna manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan semoga
tulisan ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.

Bogor, Januari 2012
Hamdan

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Tiga Suku Padang Panjang pada tanggal 21
Juni 1977 dari ayah Ariyus KH. Sampono Endah dan ibu Baiyinah. Penulis
merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari
SMA Negeri Padang Panjang dan pada tahun 1997 diterima di Universitas Syiah
Kuala pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2002.
Tahun 2002 penulis bekerja sebagai staf peneliti di Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian sampai sekarang. Tahun
2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................

xvii

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................

1
5
10
10

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekonomi Konversi Lahan ............................................................
2.2. Rente Lahan (Land Rent).............................................................
2.3. Biaya ..........................................................................................
2.4. Harga ..........................................................................................
2.5. Produktivitas ...............................................................................
2.6. Penerimaan ................................................................................
2.7. Perubahan Penggunaan Lahan ..................................................

11
14
18
20
21
22
23

I.

II.

III.

KERANGKA PENELITIAN

IV.

METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................
4.2. Jenis dan Sumber Data ..............................................................
4.3. Metode Pengambilan Sampel .....................................................
4.4. Metode Analisis Data ..................................................................
4.4.1. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah ..............................
4.4.2. Analisis Land Rent .........................................................
4.4.3. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan .....
4.5. Batasan Penelitian .....................................................................

V.

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
5.5.
5.6.
5.7.

VI.

31
31
32
33
33
34
37
40

Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma .............................
Kependudukan ..........................................................................
Tingkat Pendidikan ....................................................................
Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Seluma ..........................
Penggunaan Lahan ...................................................................
Sub-sektor Tanaman Pangan ....................................................
Sub-sektor Perkebunan .............................................................

41
42
44
44
45
46
47

HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
6.2.
6.3.
6.4.

Keragaan Petani Responden ....................................................
Analisis Laju Konversi Lahan Sawah .........................................
Dampak Konversi Lahan terhadap Ketahanan Pangan .............
Analisis Land rent ......................................................................
6.4.1. Usahatani Padi Sawah ...................................................
6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit .................................................
6.4.3. Nilai land rent Usahatani Padi dan Kelapa Sawit ............
6.4.4. Analisis Faktor Konversi Lahan ......................................

49
50
55
56
57
68
77
80

xii

VII.

KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan ................................................................................
7.2. Saran .........................................................................................

91
92

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

93

xiii

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Luas maksimum kepemilikan lahan berdasarkan kepadatan
penduduk ...............................................................................................

25

2.

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian .....................

31

3.

Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Seluma tahun 2011 .................

40

4.

Data Monografi Kabupaten Seluma dirinci menurut kecamatan ............

42

5.

Tingkat Pendidikan penduduk Kabupaten Seluma ................................

43

6.

Distribusi PDRB Kabupaten Seluma atas dasar harga berlaku
menurut lapangan usaha ......................................................................

44

7.

Luas lahan yang sudah diusahakan di Kabupaten Seluma tahun 2010 .

45

8.

Luas sawah Provinsi Bengkulu Dirinci Menurut Kabupaten ...................

45

9.

Luas lahan sawah di kabupaten seluma berdasarkan irigasi .................

46

10. luas tanam komoditi perkebunan rakyat Kabupaten Seluma .................

47

11. Luas areal perkebunan besar swasta/negara di Kabupaten Seluma ....

47

12. Keragaan karakteristik petani responden ..............................................

48

13. Perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Seluma ......................

50

14. Laju konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 – 2010 ...

51

15. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Seluma tahun 2005 2010 ......................................................................................................

52

16. Kondisi ketahanan pangan Kabupaten Seluma tahun 2005-2009 .........

55

17. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam I ......

58

18. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam I ................................

59

19. Penerimaan, biaya, dan land rent usahatani pada Pola Tanam I ..........

61

20. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam II .....

62

21. Penggunaan sarana produksi usahatani palawija pada Pola Tanam II ..

63

22. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam II ..............................

64

23. Analisis land rent tanaman palawija jagung, kacang tanah, dan ubi
jalar .......................................................................................................

65

24. Rata-rata penerimaan, biaya, dan land rent usahatani per musim
pada Pola Tanam II................................................................................

66

25. Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang konversi ...........

67

26. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun
pertama ................................................................................................

69

27. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama .....

70

28. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun
kedua ....................................................................................................

71

xiv

29. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua ........

71

30. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun
ketiga ....................................................................................................

72

31. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke tiga .......

73

32. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-4
sampai tahun ke-25 ..............................................................................

73

33. Penggunaan input usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit .........

74

34. Analisis usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit ........................

75

35. Analisis land rent usahatani kelapa sawit .............................................

76

36. Perbandingan nilai land rent usahatani padi dan kelapa sawit ..............

76

37. Hasil olah data faktor yang mempengaruhi konversi lahan ...................

80

xv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai
surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi ..........................

16

2.

Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent ..............................

18

3.

Diagram model operasional ekonomi konversi lahan sawah menjadi
kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan ................................

28

4.

Peta wilayah Kabupaten Seluma ..........................................................

41

5.

Proses konversi lahan (A) Sporadis, (B) Progresif ................................

54

6.

Struktur biaya rata-rata usahatani pola tanam Padi-padi .......................

60

7.

Distribusi biaya usahatani kelapa sawit tahun pertama .........................

70

8.

Grafik land rent usahatani kelapa sawit tahun 1 – 25 ............................

76

9.

Kondisi saluran irigasi tersier dan bangunan penjaga pintu air ..............

82

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan
Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ....................................

102

Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan
Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ...................................

103

Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah pola
tanam Padi – Padi - Palawija ( t = 25 tahun, r = 10%) ..........................

104

Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman
pada kelas kesesuaian lahan S2 ...........................................................

105

Biaya rata-rata usahatani tanaman belum menghasilkan (TBM) dan
tanaman menghasilkan (TM) kelapa sawit ............................................

106

Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r =
10% dan t = 25 tahun) ...........................................................................

107

Hasil olah data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit ...............................

108

xvii

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005 mencanangkan strategi Revitalisasi
Pertanian,

Perikanan,

dan

Kehutanan

(RPPK),

yang

bertujuan

untuk

meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi
pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan, dan
melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Harapan dari kebijakan pemerintah ini
adalah menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009),
menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan
swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga
untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung
(2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010).
RPPK ini perlu mendapat perhatian semua pihak, mengingat sumbangan
sektor pertanian yang cukup besar terhadap pendapatan nasional, menurut data
BPS peranan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
tahun 2009 sebesar 15,30%. Sektor pertanian berada pada ranking kedua yang
memiliki kontribusi terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu
sebesar 26,40%. Di tingkat regional Provinsi Bengkulu kontribusi sektor pertanian
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih tinggi dibanding
nasional, yaitu sebesar 19,44% (BPS 2009). Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah 88,83% kabupaten/kota berbasis pertanian dan 83% tenaga kerja sektor
pertanian. Namun jumlah yang besar ini tidak diikuti tingkat kesejahteraan yang
memadai karena angka kemiskinan di perdesaan masih sangat tinggi, jumlah
penduduk miskin mencapai 24,6 juta (68,14%) (Pasaribu 2007).
Ketahanan pangan merupakan tantangan utama yang akan dihadapi
Bangsa Indonesia, selain itu juga inflasi akibat kenaikan harga pangan dan
energi,

untuk

mengantisipasinya

pemerintah

menargetkan

peningkatan

cadangan beras. Hal ini disampaikan Presiden Republik Indonesia pada Rapat
Kerja

tentang

Pelaksanaan

Program

Pembangunan

Tahun

2011.

Misi

pemerintah pada tahun 2011 yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang
berkeadilan, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,4%, inflasi 5,3%, penurunan angka pengangguran menjadi
7%, dan penurunan angka kemiskinan menjadi 11,5-12,5%1.
1

Pangan, Tantangan Utama 2011. Harian Republika Edisi Selasa, 11 Januari 2011

Permasalahan utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah a)
semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif terutama lahan sawah
karena dikonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan non pertanian, b)
penurunan kualitas sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan
c) kompetisi penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetisi penggunaan lahan
terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarana, serta bahan
bakar sedangkan fragmentasi lahan terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani,
kemiskinan akan memaksa petani melepas sebagian kepemilikan lahannya dan
adanya sistem pewarisan yang berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah
yang semakin kecil (Hidayat 2009).
Perubahan kepemilikan dan fragmentasi lahan menyebabkan peningkatan
rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai
lahan kurang dari 0,5 ha. Berdasarkan data statistik jumlah rumah tangga petani
gurem meningkat 2,6% tiap tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun
1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah
tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga
meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%. Rumah tangga petani gurem di Jawa
tahun 1993 adalah 69,80%, tahu 2003 meningkat menjadi 74,90%. Di luar Jawa,
persentase perani gurem meningkat dari 30,60% menjadi 33,9%. Banyaknya
rumah tangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta
pada tahun 2003, yang berarti meningkat sebesar 2,20%/tahun. Komposisi
banyaknya rumah tangga pertanian di Jawa menurut Sensus Pertanian 1993
sebanyak 56,10% rumah tangga pertanian dan sisanya sebesar 43,90% berada
di luar Jawa, tahun 2003 komposisinya menjadi 54,90% di Jawa dan 45,10% di
luar Jawa2.
Beban sektor pertanian makin bertambah, seiring dengan meningkatnya
jumlah rumah tangga di Indonesia, banyaknya rumah tangga pertanian juga
mengalami peningkatan dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada
tahun 2003, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Demikian
juga halnya dengan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, meningkat
1,7% pertahun, dari 20,5 juta pada tahun 1993 menjadi 24,4 juta rumah
tangga pada tahun 20033. Peningkatan rumah tangga pertanian dan rumah
tangga pengguna lahan berdampak pada peningkatan tenaga kerja peningkatan
2
3

2

Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian di Indonesia. Berita Resmi Statistik No.06/VII/2 Januari 2004
Sebaran Rumah Tangga Pertanian dan Rumah Tangga Petani Gurem menurut Propinsi di Indonesia. Berita
Resmi Statistik No. 14/VII/16 Februari 2004

tenaga kerja pertanian, tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 25,65%, dari
66,52 juta orang pada tahun 1993 menjadi 83,58 juta orang pada tahun 2003.
Akibatnya kesejahteraan rata-rata petani menjadi terkendala untuk ditingkatkan.
Disamping itu, telah terjadi ketimpangan distribusi penguasaan lahan, yaitu 70%
petani menguasai 13% lahan yang ada, sementara yang 30% petani lainnya
justru menguasai 87% lahan yang ada. Ketimpangan dalam penguasaan lahan
akan semakin memiskinkan petani, memarjinalisasikan petani dan pertanian, dan
mengancaman ketahanan pangan yang memerlukan keseriusan berbagai pihak
untuk menanganinya (Suhartanto 2008).
Berkaitan dengan aspek ketersediaan bahan pangan, kelangsungan
proses produksi pangan dengan pelaku utama petani, memerlukan ketersediaan
lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Lahan
pertanian selain sebagai faktor kunci dalam sistem produksi pangan, juga
memiliki sifat yang unik karena fungsinya yang tidak dapat tergantikan oleh
sumberdaya. Oleh karenanya ketersediaan lahan pertanian yang berkelanjutan
merupakan hal yang sangat mendasar untuk menciptakan ketahanan pangan
nasional yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
umum.
Konversi lahan sawah yang terjadi pada periode tahun 1981-1999 seluas
90.417 hektar/tahun dan pencetakan sawah baru seluas 178.954 hektar/tahun
sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 hektar/tahun. Kemudian pada
tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada
periode tahun 1999 - 2002 lahan sawah berkurang atau menyusut seluas
141.286 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai
187.720 hektar/tahun (alih fungsi ke non pertanian seluas 110.164 hektar/tahun
dan alih fungsi ke pertanian lainnya seluas 77.556 hektar/tahun), sedangkan
pencetakan sawah baru hanya 46.434 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada
periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa
dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Secara keseluruhan pada periode 19812002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta hektar, tetapi kemudian
dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta hektar atau 65% (Irawan 2007).
Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi
konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan
karena: (a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan
yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat

3

himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan
keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab
atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2007)
Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan
berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah
yang langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih
rendah pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan,
dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular.
Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada
(Ilham et.al. (2005), lebih lanjut

Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006),

menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor
pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent
yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih

rendah dibanding nilai

land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur
jalan), b) kesejahteraan petani

yang

masih

tertinggal, c) kepentingan

pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya

terkait penerimaan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak
memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol dan
pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
Konversi lahan pertanian harus dicegah karena sifatnya yang irreversible
dan permanen, artinya ketika lahan pertanian telah berubah fungsi kapanpun
sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi pertanian. Alih fungsi lahan
pertanian, terutama lahan sawah berdampak sangat buruk bagi bangsa dan
rakyat Indonesia, antara lain (1) berpotensi mengancam ketahanan pangan
nasional, (2) proses pemiskinan petani karena kehilangan aset pokok untuk
sumber mata pencahariannya, (3) pengangguran karena lenyapnya lahan
pertanian yang mampu menyerap angkatan kerja sampai 46%, (4) pemubaziran
investasi yang telah ditanam pemerintah (terutama irigasi), (5) degradasi budaya
masyarakat di perdesaan, dan (6) menurunnya fungsi lingkungan hidup.
Proses konversi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar
penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain
yang menghasilkan surplus ekonomi lahan (land rent) lebih tinggi. Sebaliknya
akan berlangsung lambat jika motivasi terkait dengan degradasi fungsi lahan
sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak

4

dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Teori ekonomi dapat menjelaskan
fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, yakni melalui analisis
rasio persewaan lahan (land rent ratio).
Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian land rent lahan untuk
sawah adalah 1/500 dibanding pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi 1990),
1/622 untuk perumahan (Riyani 1992), 1/14 untuk pariwisata (Kartika 1991), dan
1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991), 1/7 untuk bawang merah (Sitorus et.al.
2007). Selanjutnya, menurut Asni (2005) dalam penelitiannya tentang produksi,
pendapatan dan alih fungsi lahan diperoleh pendapatan dari usahatani padi Rp
1.387.577/hektar dan kelapa sawir Rp 5.735.203/hektar, artinya pendapatan dari
usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar daripada padi sawah. Berdasarkan
kasus-kasus konversi lahan yang ada dapat dikatakan bahwa faktor penarik
konversi lahan sawah adalah nilai manfaat yang lebih besar jika lahan diubah
fungsinya menjadi penggunaan lain.
Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke
penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada
mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan
konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang
sudah

berkembang.

Ketersediaan

infrastruktur

ekonomi

yang

memadai

merupakan faktor positif dominan yang ikut mempengaruhi keputusan pemilik
lahan untuk merubah fungsi lahannya, seperti perkebunan kelapa sawit yang
sangat membutuhkan infrastruktur jalan untuk pengangkutan bibit, pupuk dan
sarana produksi lainnya pada tanaman belum menghasilkan serta pengangkutan
hasil panen dan sarana produksi pada tanaman menghasilkan.
1.2. Perumusan Masalah
Pola pemanfaatan lahan petani sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal,
tenaga kerja keluarga dan adanya kemudahan dalam perawatan dan
pemasarannya. Misalnya, petani akan rela mengganti seluruh tanaman yang
sudah lama diusahakan (padi) dengan tanaman lain asal menguntungkan
(kelapa sawit). Dari keadaan tersebut ada kecenderungan pilihan komoditas
yang diusahakan petani yaitu: (a) petani akan berusaha untuk memperoleh uang
dan bahan pangan guna keperluan sehari-hari, (b) jika struktur tenaga kerja
dalam keluarga tidak mendukung/mencukupi, petani akan berusaha untuk
menanam komoditas yang tidak banyak menyita waktu, c) petani akan
mengusahakan komoditas prospektif (harga tinggi dan pemasaran mudah) serta
5

perawatannya mudah dengan kecenderungan pilihan komoditas yaitu kelapa
sawit.
Keterbatasan sumberdaya lahan yang dimiliki dan produktivitas lahan
sawah yang cenderung melandai (levelling off) mendorong petani untuk merubah
fungsi lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Disamping faktor internal dari
permintaan crude palm oil (CPO) dan karet dunia yang cenderung tinggi
ditambah dengan melambungnya harga komoditas sawit dan karet sejak tahun
2007 membuat sektor perkebunan menjadi semakin menggiurkan4. Pasar hasil
perkebunan rakyat yang melibatkan banyak petani dan terpencar berhadapan
dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk
perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri
pengolahan.
Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak
bersaing (oligopsoni). Pengembangan perkebunan rakyat, seperti di daerah
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru
terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan
langsung dengan industri pengolahan. Kondisi ini yang kemudian menjadi
penghambat berkembangnya sektor perkebunan kelapa sawit rakyat, namun
permintaan CPO yang tinggi mendorong perusahaan untuk menghasilkan produk
lebih banyak. Untuk berproduksi lebih banyak, tentunya dibutuhkan bahan baku
tandan buah segar kelapa sawit lebih banyak pula, kondisi ini yang kemudian
menjadi peluang pasar bagi produksi TBS kelapa sawit dari perkebunan rakyat.
Peluang pasar ini dioptimalkan oleh petani yang bekerja pada perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang ada di Kecamatan Seluma Selatan dengan
membuka perkebunan sendiri. Pada awalnya lahan yang digunakan adalah
lahan-lahan sawah yang dianggap kurang subur untuk tanaman padi karena
kondisi drainase yang kurang baik. Dalam perkembangnya, melihat pertumbuhan
tanaman kelapa sawit yang cukup baik, pengelolaan tanaman yang lebih mudah,
proses panen dan pemasaran yang mudah, serta periode produksi yang relatif
cepat menjadi penarik bagi petani sekitar untuk ikut merubah fungsi lahan
sawahnya dari tanaman padi menjadi tanaman kelapa sawit.
Selain faktor harga komoditas dan peluang pasar yang cukup terbuka,
akumulasi berbagai kendala terkait sarana dan prasarana untuk usahatani padi

4

6

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/1D905F41-E66E-4D39-850A-3A848B12F08B/16547/
Boks2HasilLiaisonSektorPertanian.pdf. Diakses tanggal 26 November 2011

seperti ketersediaan air irigasi, ketersediaan pupuk dan keuntungan usahatani
yang sebanding dengan biaya dan tenaga yang dicurahkan ikut mendorong
petani untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit dengan merubah fungsi
lahan sawah yang dimiliki. Ketersediaan air irigasi merupakan kunci awal
keberhasilan usahatani karena berhubungan dengan tahap persiapan lahan,
pengolahan lahan, tanam dan pertanaman. Tanaman padi membutuhan kondisi
lahan yang jenuh air (tergenang) dalam periode pertumbuhannya untuk
memperoleh produksi yang tinggi, namun perubahan tata kelola irigasi yang
terjadi menyebabkan distribusi air irigasi tidak merata sehingga banyak lahan
sawah yang tidak bisa ditanami padi. Lahan-lahan ini kemudian diindikasikan
sebagai lahan terlantar dan dijadikan kebun kelapa sawit.
Faktor lain yang ikut berperan dalam konversi lahan adalah ketersediaan
pupuk bersubsidi pemerintah. Dalam pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk
secara tertutup sekarang ini, Pemerintah telah mengeluarkan Permentan,
Permendag yang bertujuan untuk mengatur pendistribusian pupuk bersubsidi
secara tertutup yang akan diberlakukan pada tahun 2009, yaitu: Peraturan
Presiden RI No. 72 Tahun 2008, tentang Penetapan Pupuk bersubsidi Sebagai
Barang Dalam Pengawasan; Permendag No. 21/M-DAG/Per 16/2008 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian;
Permentan No. 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi
(HET) Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 20095. Kenyataannya,
pupuk bersubsidi sering tidak diterima petani karena kelompok tani tidak memiliki
dana untuk menebus nilai pupuk yang diajukan. Kondisi ini kemudian
dimanfaatkan oknum pedagang pengecer untuk membantu menebus pengajuan
pupuk kelompok tani tersebut, disini pupuk bersubsidi berubah menjadi barang
publik sehingga bisa didapatkan oleh siapa saja yang membutuhkan. Akibatnya
distribusi pupuk menjadi menjadi terganggu, terutama dari aspek jumlah, waktu
dan jenis pupuk.
Pemupukan secara berimbang utamanya keseimbangan antara unsur
Nitrogen (Pupuk Urea) Phospor (SP-36) dan Kalium (KCI) yang harus diberikan
tergantung pada keadaan tanah. Ketiga unsur ini mempunyai peran yang sangat
penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur ini
saling berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan tanaman.

5

Pemberdayaan Gapoktan dalam Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Secara Tertutup
http://www.sinartani.com/opini/agriwacana/704.html

7

Seperti halnya air irigasi, ketersediaan pupuk tidak hanya mempengaruhi
produksi secara langsung tetapi juga berpengaruh pada musim tanam.
Perubahan musim tanam akan memperbesar resiko usahatani yang dihadapi,
terutama disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman. Kebutuhan yang tinggi
dan kurang tersedianya pupuk ditingkat petani pada saat musim tanam menjadi
salah satu pembenaran bagi petani untuk konversi lahan sawah menjadi kebun
kelapa sawit.
Sektor pemerintahan juga ikut berperan dalam konversi lahan sawah ke
penggunaan lain, terutama pada daerah-daerah pemekaran. Pemekaran wilayah
akan membentuk sistem pemerintahan baru, seterusnya juga membutuhkan
pembangunan infrastruktur baru, dalam beberapa kasus pembangunan dilakukan
pada lahan-lahan pertanian yang produktif. Kondisi ini diperburuk oleh pola
pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi untuk peningkatan
pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Hal
seperti ini tentunya sangat menghawatirkan, disaat pemerintah sedang
mengkampanyekan pentingnya ketahanan pangan, namun proses konversi lahan
pangan menjadi perkebunan terus terjadi.
Peningkatan harga komoditas perkebunan, kemudahan dalam pengelolaan
dan pemasaran produk perkebunan, masalah irigasi, pupuk, dan kebijakan
pemerintah merupakan pemicu penyusutan luas lahan sawah di Provinsi
Bengkulu sebesar 12,74 % dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan data
statistik luas lahan sawah tahun 2006 sebesar 121.470 hektar turun menjadi 106
ribu hektar pada

tahun 2011. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan

Provinsi (BKPP) Bengkulu (H. Muslih) penyusutan tersebut disebabkan penciutan
atau alih fungsi menjadi perkebunan sebesar 50% serta infrastruktur dan 50%
lainnya disebabkan bencana alam seperti longsor dan abrasi untuk kawasan
pesisir. penyusutan sawah juga diakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan
skala besar beroperasi akibat pemberian izin yang mudah dilakukan. Lebih lanjut
Kepala BKPP menegaskan, bahwa tidak mungkin ketahanan pangan tercapai
bila lahan untuk pertanian tanaman pangan beralih fungsi menjadi kebun karet
dan sawit atau pemukiman baru, seperti yang terjadi di Kabupaten Mukomuko,
Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Seluma6.

6

8

http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/09/14/64766/Sawah-Bengkulu-Susut-20-Persen-Tiap-tahun-.
diakses tanggal 6 desember 2011

Luas lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 mencapai 23.936 ha,
selanjutnya pada tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar atau terjadi penurunan
seluas 2.934 hektar. Pada tahun 2007 kembali terjadi penurunan seluas 927
hektar, perubahan luas lahan sawah ini sebagian besar akibat dikonversi menjadi
lahan perkebunan karet dan kelapa sawit serta penggunaan non pertanian.
Kondisi ini terlihat dari perkembangan luas tanam komoditas kelapa sawit, dalam
kurun waktu lima tahun (2005 – 2010) luas tanam kelapa sawit meningkat sekitar
89,41%, tahun 2005 tercatat luas tanam mencapai 15.312 hektar dan tahun 2010
bertambah menjadi 29.002 hektar atau rata-rata meningkat sebesar 3.422,50
hektar/ tahun. Demikian juga dengan komoditas karet, luas tanam meningkat
sebesar 5,42% dari luas tanam 25.199 hektar menjadi 26.482 hektar pada tahun
2010 (BPS 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010).
Keputusan

menanam

kelapa

sawit

yang

ditempuh

dengan

jalan

mengkonversi lahan sawah merupakan suatu keputusan revolusioner yang
ditempuh petani. Usahatani ini bukannya tanpa resiko, sebagai bidang usaha
baru kesalahan dalam pengelolaan seperti pemilihan bibit, teknologi budidaya
bukannya memberikan keuntungan lebih tinggi tapi tidak menghasilkan apa-apa
karena tanaman kelapa sawit mereka produktivitasnya rendah bahkan tidak
berproduksi sama sekali. Namun dengan pengalaman yang cukup lama dalam
usahatani padi dengan berbagai kendala yang dihadapi, mungkin resiko yang
dihadapi lebih rendah pada usahatani kelapa sawit.
Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian
menjadi permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, berkaitan dengan
usaha-usaha untuk pengendalian konversi lahan sawah irigasi menjadi kebun
kelapa sawit, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa
sawit di Kabupaten Seluma?
2. Benarkah land rent dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi dari usahatani
padi sawah?
3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan
sawah menjadi kebun kelapa sawit?.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisa fenomena konversi lahan sawah
menjadi kebun kelapa sawit yang terjadi di Kecamatan Seluma Selatan
Kabupaten Seluma secara ekonomi, sehingga diperoleh nilai manfaat (land rent)
9

yang optimal dari pengelolaan komoditas pada lahan tersebut. Secara lebih rinci
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun
kelapa sawit di Kabupaten Seluma.
2. Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun
dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu
tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return
land rent.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahan
sawah menjadi kebun kelapa sawit.
1.4. Manfaat Penelitian
Informasi dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengelolaan dan perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah,
sebagai tempat diproduksinya bahan pangan. Ketersediaan lahan pertanian yang
memadai dan menjaga stabilitas ketahanan pangan Provinsi Bengkulu dalam
rangka mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai. Hasil penelitian
ini dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan untuk mengendalikan konversi
lahan sawah serta upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian
dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Seluma terutama yang bekerja disektor pertanian.

10

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekonomi Konversi Lahan
Sumberdaya lahan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia
karena sumberdaya lahan merupakan masukan yang diperlukan untuk setiap
bentuk aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti untuk pertanian,
daerah industri, daerah pemukiman, jalan dan juga tempat rekreasi. Secara
umum dapat dikatakan bahwa sumberdaya lahan berkontribusi besar bagi
kesejahteraan suatu bangsa (Suparmoko 1997).
Sebagai salah satu komoditas ekonomi lahan mengalami peningkatan nilai
sejalan dengan waktu karena sifat keterbatasannya, apalagi tanah mempunyai
manfaat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lahan mempunyai nilai keindahan,
nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, dan nilai spiritual. Nilai-nilai ini dimiliki
sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan
pendapatan dan kepuasan dimana jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada
permintaannya serta ia mudah untuk ditransfer (Cahyono 1983).
Lahan dapat diartikan sebagai suatu hamparan milik/dikuasai seseorang
dan dibatasi oleh penguasaan lahan orang lain ataupun batas-batas alam lainnya
seperti sungai, jalan umum, hutan, selokan dan semacamnya. Sedangkan lahan
sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang
(galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami
padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya atau status tanah
tersebut.
Lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang
bangunan penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai dinas
pengairan Pekerjaan Umum (PU) maupun dikelola sendiri oleh masyarakat,
terdiri dari 1) lahan sawah irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai
jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar
penyediaan dan pembagian air ke dalam lahan sawah tersebut dapat
sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah, 2) lahan sawah irigasi setengah
teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari irigasi setengah teknis.
Sama halnya dengan pengairan teknis, namun dalam hal ini PU hanya
menguasai bangunan penyadap

untuk

dapat

mengatur

dan mengukur

pemasukan air, sedangkan pada jaringan selanjutny