Kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah

(1)

KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS

KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA

DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH

(Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi)

ASKAR JAYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul:

KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH

( Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi )

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2009

Askar Jaya


(3)

ASKAR JAYA. Regional Leakage in Community Cinnamon Commodity Agribusiness System and its impact on Regional Economy: Case in Kerinci Regency of Jambi Province. Supervised by Ernan Rustiadi as the leader, Isang Gonarsyah, Deddy S. Bratakusumah, and Bambang Juanda as supervisor commission members.

Cinnamon is one of national export commodities which has placed Indonesia as the world’s biggest exporter. Its existence is a source of income in society, source of foreign exchange and the country of employment. Development problem is the low price at the level of farmer’s, affecting the farmers cut off all the trees without effort to manage the plants, and it makes the productivity decrease. In general, the purpose of this research is to analyze the regional leakage in community cinnamon commodity agribusiness system and its impact on regional economy, cases in Kerinci Regency of Jambi Province. The specific purposes are; (1) to analyze cinnamon commodity agribusiness system development (2) to analyze the integration of cinnamon price in farmers and exporter, the competitiveness of cinnamon in international market; and the cinnamon demand in international market; (3) to analyze the contribution the cinnamon to the economy of Kerinci Regency; (4) to analyze regional leakage potential and implication the cinnamon sector to regional economy. The research uses the following model: descriptive, input-output (I-O), econometrics and constant market share (CMS). The research showed that: (1) The cinnamon commodity agribusiness system had inefficiency development system; (2) The cinnamon exporter price was integrated 40% to farmers’ price. The Indonesian cinnamon competitiveness is lower than China’s. The Indonesian cinnamon demand is significantly influenced by the price, economic growth (GDP), and real exchange rate; (3) The cinnamon had an important role in regional economy of Kerinci Regency; (4) The cinnamon had regional leakage potential and its implication to regional economics. To develop cinnamon sector there are several strategies: Develop the agro industry processing, the tree structure industry, the competitiveness, marketing, the farmer’s institution, and government policy. Key words: cinnamon, regional leakage, sectoral linkages, agribusiness system,

price integration, export competitiveness and agro industry processing.


(4)

ASKAR JAYA. Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya terhadap Perekonomian Wilayah (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi), Komisi Pembimbing ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua, ISANG GONARSYAH, DEDDY S. BRATAKUSUMAH dan BAMBANG JUANDA sebagai Anggota.

Kayu manis merupakan salah satu komoditas ekspor nasional yang menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar dunia dewasa ini. Keberadaanya merupakan sumber pendapatan masyarakat dan sumber devisa negara serta penyedia lapangan kerja. Permasalahan dalam pengembangannya antara lain rendahnya harga di tingkat petani yang mendorong petani cenderung melakukan panen dengan sistem tebang habis sehingga produktivitasnya cenderung turun. Secara umum tujuan penelitian ini adalah: untuk menganalisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis perkembangan agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah; (2) Menganalisis posisi dan prospek integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir; Menganalisis posisi daya saing kayu manis Indonesia di pasar internasional; Menganalisis permintaan kayu manis ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya yang terdiri dari faktor harga, pertumbuhan ekonomi negara importit utama, dan nilai tukar rill; (3) Menganalisis peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci; (4) Menganalisis indikasi, potensi dan dampak kebocoran wilayah sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan terdiri dari pendekatan model input output, model ekonometrika dan model constant market share (CMS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Beberapa persoalan dalam pengelolaan sistem agribisnis komoditi kayu manis rakyat diantaranya: dominannya kegiatan processing dan beberapa fungsi pemasaran lainnya dilakukan diluar wilayah, dan tidak efisiennya sistem pemasaran serta lemahnya dukungan kelembagaan, sehingga mempengaruhi rendahnya harga komoditi di tingkat petani, yang akhirnya mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan petani, sehingga mendorong petani melakukan sistem panen komoditi dengan pola sistem tebang habis. Walaupun kayu manis merupakan komoditi unggulan dan andalan ekspor daerah, namun karena sistem agribisnisnya belum berlangsung secara utuh dan terintegrasi antara sektor hulu dan sektor hilir, sehingga nilai tambah dari agribisnis komoditi tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta berperan secara optimal mendorong pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Kerinci. (2) Perubahan harga di tingkat eksportir tidak terintegrasi sempurna dengan harga di tingkat petani. Perubahan harga di tingkat eksportir hanya ditransmisikan 40% ke tingkat petani. Kondisi tersebut mencirikan struktur pasar yang tidak kompetitif. Meskipun kayu manis Indonesia dominan diperdagangkan di pasar internasional, namun posisi daya saingnya


(5)

ekonomi (GDP), nilai tukar (kurs) rill, signifikan pada taraf nyata 5% mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama, seperti di pasar Amerika Serikat dan Belanda. Sedangkan di pasar negara lain atau rest of the world (ROW) permintaan kayu manis Indonesia signifikan pada taraf nyata 5% dipengaruhi oleh faktor harga dan nilai tukar (kurs) rill. Prospek permintaan kayu manis Indonesia di pasar internasional masih sangat terbuka, terutama dengan meningkatnya konsumsi kayu manis dunia akhir-akhir ini serta berlangsungnya globalisasi perdagangan. (3) Kayu manis memiliki peran penting terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Namun karena keterkaitannya dengan hilir dan sektor hulu serta keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakangnya yang masih lemah, sehingga peran sektor kayu manis belum mampu menjadi leading sector dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Pentingnya peran kayu manis di Kabupaten Kerinci karena kayu manis merupakan komoditi unggulan dan andalan ekspor daerah, serta dominan dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten Kerinci. (4) Sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci terbukti mengalami kebocoran wilayah. Dengan melakukan pengolahan hasil (processing) di dalam wilayah, maka multiplier effect sektor kayu manis akan meningkat, baik terhadap nilai tambah bruto, pendapatan maupun terhadap serapan tenaga.

Implikasi kebijakan dan rekomendasi antara lain: (1) Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah dari kegiatan agribisnis kayu manis, maka ke depan perlu meningkatkan kegiatan pengolahan hasil (processing) dan pemasaran, pengembangan sektor penunjang, meningkatkan keterkaitannya dengan sektor hilir dan sektor hulu, meningkatkan efisiensi pemasaran, serta memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah. Untuk meningkatkan pengolahan hasil (processing) komoditi, maka ke depan perlu mengembangkan pola kerjasama dan kemitraan baik antar daerah maupun antar negara serta memperluas rantai/pohon industri komoditi melalui peningkatan kerjasama riset dan meningkatkan SDM pelaku agribisnis. Selain itu pengembangan processing dapat dilakukan melalui pengembangan industri perdesaan berbentuk home industry; (2) Untuk meningkatkan peran pemasaran dalam sistem agribinsis, maka ke depan perlu melakukan kerjasama perdagangan dan meningkatkan daya saing komoditi, memperluas dan meningkatkan akses pasar, memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah, serta perlu membangun sistem informasi komoditi, guna mengetahui posisi supply dan demand komoditi serta untuk mengurangi terjadinya asimetrik informasi di daerah; (3) Untuk meningkatkan peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah, maka ke depan diperlukan peran pemerintah terutama dalam mendorong peningkatan SDM pelaku agribisnis, seperti melalui pelatihan, magang, menjembatani kerjasama dengan pihak swasta dan antar daerah terutama dalam mendorong tumbuhnya kegiatan pengolahan (processing) dan pemasaran komoditi; (4) Untuk menekan tingkat kebocoran sektor kayu manis, maka ke depan perlu pengembangan agroindustri processing dan meningkatkan dukungan infrastruktur penunjang. Karena multiplier effect sektor perkebunan kayu manis rakyat lebih besar dampaknya terhadap perekonomian wilayah dibandingkan dengan sektor teh (perkebunan perseroan), maka ke depan pengembangan sektor perkebunan rakyat perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak terutama dari pemerintah daerah. Untuk


(6)

dan lingkungan, maka ke depan perlu menata kembali tata ruang wilayah untuk kawasan-kawasan pembudidayaan komoditi kayu manis. Untuk meningkatkan peran sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci dalam upaya meningatkan sumber pendapatan masyarakat dan sumber pendapatan daerah maka ke depan perlu dilakukan peningkatan kerjasama antar daerah dan jika memungkinkan pengelolaan kayu manis di daerah dapat dikelola dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Kata Kunci: Kayu manis, kebocoran wilayah, keterkaitan sektor, sistem agribisnis, integrasi harga, daya saing ekspor, agroindustri prosessing.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.


(8)

KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS

KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA

DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH

( Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi )

ASKAR JAYA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Pada Program Studi

Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup Tanggal 19 Desember 2008

1. Dr. Ir.Nunung Kusnadi, MS ( Kepala Departemen Agribisnis IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc (Dosen PS-PWD-IPB)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka Tanggal 9 Februari 2009

1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc

Direktur Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS-RI)

2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec (Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor)


(10)

Judul Disertasi : Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya terhadap Perekonomian Wilayah (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi)

Nama : Askar Jaya Nomor Pokok : A165030051

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Anggota Anggota

Dr.Ir.Deddy S.Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya terhadap Perekonomian Wilayah (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi) dapat diselesaikan.

Sejak dari proses penelitian hingga penyelesaian disertasi, penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu atas segala dukungan yang diberikan berbagai pihak, penulis ucapkan terima kasih, terutama ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada Bapak Dr. Ir Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah, Bapak Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala curahan pemikiran serta perhatian dalam bimbingan, hingga penyelesaian disertasi dan studi penulis.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajarannya dan staf administrasi yang telah memberikan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PS-PWD) beserta para dosen dan staf administrasi, atas segala perhatian, dukungan, dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi pada Program Doktor Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor.

Kemudian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S, Ketua Departemen Agribisnis IPB dan Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tertutup, serta ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Direktur Pengembangan Wilayah pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec (Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor), selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.


(12)

Gubernur Jambi dan Bapak Bupati Kerinci H. Fauzi Siin, atas segala bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis selama mengikuti tugas belajar program doktor pada Institut Pertanian Bogor (IPB). Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Pimpinan Yayasan Dana Mandiri (Damandiri) atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian penelitian ini. Kemudian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Program Studi PWD dan Civitas Akademika IPB, serta semua pihak yang telah mendukung kelancaran studi penulis di Institut Pertanian Bogor umumnya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, kakak, adik dan segenap keluarga, atas segala dukungan, doa dan pengorbanannya serta teristimewa untuk istri dan putra-putri tercinta, terima kasih atas segala dukungan dan pengorbanannya selama penulis menempuh pendidikan S3 pada Institut Pertanian Bogor.

Sebagai penutup, penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi pribadi penulis dan juga bagi pengembangan konsep sistem agribisnis komoditi kayu manis dan pengembangan perkebunan rakyat serta pengembangan ekonomi wilayah umumnya, amin!

Bogor, Februari 2009


(13)

Penulis dilahirkan di Ujung Pasir, Kerinci, Provinsi Jambi, pada tanggal 12 Juni 1971, anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan H. Nazahari Syarif dan Hj. Juarah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

Pada tahun 1994, penulis mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Bupati Kerinci Provinsi Jambi. Kemudian pada tahun 1999, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti tugas belajar dan menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 Jurusan Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) di Bandung. Kemudian pada tahun 2001-2003 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan S2 Magister Manajemen di Universitas Negeri Padang. Pada tahun 2003 penulis kembali diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Program Doktor, penulis berstatus pegawai tugas belajar pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci.

Pada tahun 1997, penulis melangsungkan pernikahan dengan Rahmi, anak ke empat dari pasangan Kaharuddin dan Rasuna. Dari pernikahan kami tersebut dikaruniai seorang putri, Yenni Afriani, dan seorang putra, Mohammad Antoni Wijaya.


(14)

Halaman

DAFTAR ISI ………...……... xii

DAFTAR TABEL ……….……...……. xvi

DAFTAR GAMBAR ……….……..…... xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….…………..….. xxi

PENDAHULUAN ………...…...…..……….….……... 1

Latar Belakang ………..……….…...… 1

Rumusan Masalah ………..….……….….….…………... 7

Tujuan Penelitian ………..…...………. 12

Manfaat Penelitian ……….…...……… 13

Kebaruan Penelitian (Novelty) ………...………... 13

TINJAUAN PUSTAKA ... 15

Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah ……….. 15

Peran Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah... 20

Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier Perekonomian Wilayah 22 Konsep Kobocoran Wilayah ………..………... 26

Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah ……….. 26

Isu-Isu Kebocoran Wilayah ………. 28

Pengukuran Kebocoran Wilayah ………. 31

Konsep Sistem Agribisnis ………..……….. 33

Konsep Integrasi Harga………..……..………. 38

Konsep Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif ... 43

Permintaan Ekspor……….……… 53

Dampak Kesejahteraan dari kebijakan Perdagangan Internasional... 55

Konsep Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan ………..……. 58

Penelitian Terdahulu tentang Kayu Manis ... 61

Kayu Manis sebagai Komoditas ... 61

Botani Tanaman Kayu Manis ... 62


(15)

METODOLOGI PENELITIAN ... 69

Kerangka Pemikiran ………... 69

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……….... 75

Hipotesis Penelitian ……….………. 77

Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 78

Jenis dan Sumber Data …... 80

Metode Pengambilan Sampel ………... 81

Metode Analisis ... 82

Analisis Deskriptif ... 82

Analisis Integrasi Harga ………..…..……….. 83

Analisis Daya Saing Ekspor….…..………….….……… 84

Analisis Permintaan Pasar ...………... 86

Analisis Keterkaitan dan Multiplier Efect Sektor terhadap Perekonomian Wilayah …….………... 87

Analisis Kebocoran Wilayah ……….……….. 91

PENGELOLAAN SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS DI KABUPATEN KERINCI... 95

Perkembangan Komoditas Kayu Manis ………..………. 95

Pembudidayaan Tanaman ……... 95

Pemanenan (Produksi) ... 99

Pengolahan Hasil (Processing)....………..………...…... 102

Jenis Produk dan Grade Kayu Manis …………...………… 105

Struktur Pohon Industri Komoditas Kayu Manis ………... 107

Tata Niaga dan Pemasaran Kayu Manis……….……... 111

Lembaga Pemasaran ……….... 111

Margin Tata Niaga ………...… 114

Kelembagaan Usaha Tani Kayu Manis ....……….... 118

Kebijakan Pemerintah Daerah ……….. 124

Rangkuman Hasil Analisis ……….….. 125

INTEGRASI HARGA, DAYA SAING EKSPOR DAN PERMINTAAN KAYU MANIS INDONESIA……….... 128

Perkembangan Ekspor Kayu Manis Indonesia…..…………..…... 128


(16)

Integrasi Harga Kayu Manis ………..……... 132

Gambaran Umum Data ………...………. 133

Pendugaan Model Integrasi Harga ……..………. 134

Implikasi Hasil Analisis Integrasi Harga... 137

Analisis Daya Saing Ekspor Kayu Manis Indonesia ………...…. 139

Hasil Dekomposisi Ekspor Kayu Manis Indonesia……….. 139

Hasil Dekomposisi Ekspor Kayu Manis Pesaing Utama ………. 141

Efek Struktural …..….………..……… 143

Efek Kompetitif ……….……….. 145

Implikasi Hasil Analisis Daya Saing ………... 148

Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional …... 149

Pendugaan Permintaan Kayu Manis Indonesia…… ………..…. 149

Implikasi Hasil Analisis Permintaan Ekspor……….…... 156

Rangkuman Hasil Analisis ………...………..…….. 157

PERAN SEKTOR KAYU MANIS TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI ……...… 160

Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Kerinci …...………. 160

Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ... 171

Peran Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ……….………...…... 176 Peran Kayu Manis terhadap Sektor Pertanian …... 176

Peran Kayu Manis terhadap Subsektor Perkebunan …...… 178

Peran Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci …... 182

Keterkaitan Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ... 185

Multiplier Effect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ... 195

Rangkuman Hasil Analisis ... 204

KEBOCORAN WILAYAH SEKTOR KAYU MANIS DI KABUPATEN KERINCI ………...… 207

Indikasi Kebocoran Wilayah ... 207

Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis ... 207 Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Vs Sektor Teh 209


(17)

Dampak Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis terhadap

Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci …... 211

Rangkuman Hasil Analisis ... 214

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 216

Simpulan ... 216

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi ……... 218

Saran Penelitian Lanjutan... 220

DAFTAR PUSTAKA ... 221


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Dampak Kesejahteraan dari Pengenaan Tarif dalam Perdagangan

Internasional ………. 57 2. Tahapan Proses Pemanenan Kayu Manis ………. 65 3. Standar Mutu yang harus dipenuhi dalam Perdagangan Kayu Manis.. 67 4. Syarat Mutu Kayu Manis Bubuk berdasarkan Standar Nasional

Indonesia (SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10)……… 67 5. Jenis dan Sumber Data Berdasarkan Tujuan, Metode dan Parameter

Hasil Penelitian………. 79 6. Struktur Tabel Input-Output ………. 94 7. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Kayu Manis

Indonesia, Provinsi Jambi, dan Kabupaten Kerinci, Tahun 2000-2006 96 8. Laju Pertumbuhan Laus Areal dan Produksi Tanaman Kayu Manis

Kabupaten Kerinci, Tahun 2001-2006... 97 9. Perkembangan Luas Areal, Produksi, KK Petani dan Produktivitas

Kayu Manis Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006 ... 100 10. Tahapan Pemanenan Kayu Manis Petani di Kabupaten Kerinci ……. 101 11. Tahapan Pengolahan Hasil Panen Kayu Manis di Kabupaten Kerinci 102 12. Grade/Mutu Kayu Manis yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci …… 106 13. Marjin Pemasaran Komoditi Kayu Manis, Jenis Grade KA di

Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ……….. 114 14. Perkembangan Volume dan Pangsa Ekspor Kayu Manis Indonesia di

Pasar Utama Periode Tahun 1986-2006 ………... 128 15. Perkembangan Ekspor-Impor Kayu Manis Indonesia Versus

Pesaingnya di Pasar Internasional, Periode Tahun 1986-2006 ……... 131 16. Harga Rata-Rata Kayu Manis Grade KA di tingkat Petani dan di

tingkat Eksportir (harga bulanan Rp/Kg) Tahun 2006……….. 133 17. Hasil Pendugaan Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat Petani dan

di tingkat Eksportir Tahun 2001-2006 (data bulanan dalam Rp/Kg) .. 134 18. Hasil Uji Unit Root dengan test ADF Untuk Data Harga Kayu Manis

di tingkat Petani dengan Eksportir Tahun 2001-2006 (data bulanan).. 136 19. Hasil Dekomposisi Model CMS Komoditi Kayu Manis Indonesia di


(19)

20. Hasil Dekomposisi Model CMS terhadap Ekspor Kayu Manis China di Pasar Internasional Periode Tahun 1986-2006 ……….... 142 21. Hasil Analisis Dekomposisi Model CMS Perubahan Ekspor Sri

Lanka di Pasar Internasional Periode Tahun 1986-2006 ………. 143 22. Pendugaan Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar

Internasional, Tahun 1979-2006 ………. 150 23. Uji Unit Root Untuk Konstanta Tanpa Tren Pada Model

Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia pada Pasar Tujuan Periode 1979-2006 ………... 153 24. Uji Unit Root Untuk Konstanta dengan Tren Pada Model

Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia Pada Pasar Tujuan Periode 1979-2006……… 154 25. Uji Kointegrasi Untuk Persamaan Permintaan Ekspor Kayu

Manis Indonesia, Periode Tahun 1979-2006……….. 155 26. Hasil Pendugaan Model ECM Persamaan Permintaan Ekspor Kayu

Manis Indonesia di Pasar Internasional, Tahun 1979-2006 …………. 156 27. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Kerinci Atas

Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun 2002-2006 ... 161 28. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Kerinci Atas

Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah), Tahun 2006 ... 162 29. Perkembangan PDRB Empat Puluh Sektor Kabupaten Kerinci

Berdasarkan Tabel I-O Kerinci Tahun 2006 (Milyar Rupiah)... 163 30. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Berdasar PDRB

Harga Konstan 2000 (Persen) Periode 2002-2006 ... 164 31. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Atas Dasar PDRB

Harga Berlaku (Persen) Periode 2002-2006 ... 165 32. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas

Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun 2002-2006 ... 166 33. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas

Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah) Periode 2002-2006 ... 167 34. Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten Kerinci Atas Dasar

Harga Berlaku Periode Tahun 2002-2006 ……… 168 35. Perkembangan PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000,

Periode Tahun 2002-2006 ……… 169 36. Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten

Kerinci Tahun 2006 ... 170 37. Distribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci (Jiwa)


(20)

38. Komposisi Output Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci

Tahun 2006 ... 172

39. Komposisi Nilai Tambah Bruto Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Berdasarkan Harga Produsen Tahun 2006... 173

40. Distribusi Nilai Tambah Bruto Perekonomian Kabupaten Kerinci, Menurut Komponennya, Tahun 2006 ... 174

41. Struktur Permintaan Akhir Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Menurut Komponennya,Tahun 2006 ... 175

42. Output Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ... 176

43. Nilai Tambah Bruto Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci, 2006... 177

44. Distribusi Output Subsektor Perkebunan Kabupaten Kerinci, 2006... 179

45. Distribusi Nilai Tambah Bruto Subsektor Perkebunan di Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ... 180

46. Distribusi Nilai Tambah Bruto Sektor Kayu Manis Menurut Komponennya, Tahun 2006 ... 181

47. Kontribusi PDRB Perkapita Sektor Kayu Manis Versus Sektor Perkebunan Lainnya di Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ... 182

48. Kontribusi Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ... 183

49. Produktivitas Sektor Kayu Manis Versus Sektor Padi, Teh, Industri Makanan dan Minuman serta Sektor Perdagangan Tahun 2006 ... 184

50. Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke depan Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006 ... 186

51. Daya Penyebaran dan Indeks Daya Penyebaran Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ... 189

52. Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke belakang Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006 ... 191

53. Indeks Derajat Kepekaan Sektor Kayu Manis Versus Sektor Lainnya, dalam Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ... 194

54. Multiplier Effect Output Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ... 196

55. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ... 198

56. Multiplier Effect Pendapatan terhadap Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ... 200


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Perkembangan Volume Ekspor Komodoti Kayu Manis Internasional

(ton) Periode Tahun 1990-2005 ... 9

2. Mata Rantai Kegiatan Agribisnis ……….. 34

3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjang ... 35

4. Model Integrasi Vertikal Sistem Agribisnis... 39

5. Konsep Consumer Surplus (CS) dan Producer Surplus (PS) Dampak Kesejahteraan dari Pilihan Kebijakan Perdagangan Internasional….... 55

6. Dampak Kesejahteraan dari Pilihan Kebijakan Perdagangan Internasional (Suranovic, 1997)……….……….. 56

7. Kerangka Pemikiran Penelitian ………... 72

8. Kerangka dan Alur Penelitian ……….… 75

9. Perkembangan Luas Areal dan Jumlah Petani Pengembang Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006 …………... 97

10. Peta Sebaran Perkebunan Kayu Manis Rakyat Kabupaten Kerinci ... 98

11. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Kayu Manis di Kabupaten Kerinci periode Tahun 1990-2006 ………... 99

12. Struktur Pohon Industri Komoditi Kayu Manis ……….. 108

13. Struktur Kebocoran Dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis di Kabupaten Kerinci ... 110

14. Saluran Pemasaran Kayu Manis Kabupaten Kerinci ………... 112

15. Laju Pertumbuhan Ekspor Kayu Manis Indonesia Periode Tahun 1986-2006 ……… 130

16. Perkembangan Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus Pesaingnya dalam Perdagangan Internasional, Periode Tahun 1986-2006 …….... 133

17. Trend Efek Struktural Kayu Manis Indonesia Versus Pesaing Utama Periode Tahun 1986-2006. ... 144

18. Trend Hasil Dekomposisi Efek Kompetitif Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus China, Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006. ... 146

19. Posisi Daya Saing Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional Versus China dan Sri Lanka, Periode Tahun 1986-2006 147 20. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Atas Dasar PDRB Harga Berlaku ( Persen) Periode 2002-2006 ... 165


(22)

21. Laju Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar PDRB Harga Berlaku ( Persen) Periode 2003-2006 ... 167 22. Distribusi Serapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Kabupaten

Kerinci Tahun 2007 ... 171 23. Posisi Keterkaitan ke Depan Sektor Perekonomian Kabupaten

Kerinci Tahun 2006... 187 24. Posisi Keterkaitan ke Belakang Sektor Perekonomian Kabupaten

Kerinci Tahun 2006... 192 25. Distribusi Peran Sektor Kayu Manis terhadap Komponen

Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ……… 204 26. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Kabupaten

Kerinci…...……….. 208 27. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh

di Kabupaten Kerinci…...………... 210 28. Potensi Multiplier Efect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian

Wilayah Kabupaten Kerinci ...…….…….... 212 29. Potensi Dampak Kebocoran Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Tabel Input Output Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006,

atas Dasar Harga Produsen (Juta Rupiah) ……… 230 2. Tabel Koefisien Input Output Perekonomian Kabupaten Kerinci

Tahun 2006, atas Dasar Harga Produsen (Juta Rupiah) ………... 236 3. Hasil Pendugaan Model Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat Petani

dengan harga di tingkat Eksportir ………...………. 242 4. Interpretasi Tahapan Dekomposisi Model CMS Ekspor Kayu Manis.. 243 5. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar

Amerika Serikat………….……… 244 6. Hasil Pendugaan Model Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di

Pasar Belanda ……….………... 245 7. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar

Negara Lain atau Rest of The World (ROW) ………... 246 8. Peta Lokasi Penelitian ……….….. 247 9. Peta Wilayah Kabupaten Kerinci ………. 248 10. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kerinci ………. 249 11. Peta Sebaran Pengembangan Kayu Manis di Kabupaten Kerinci ... 250 12. Perkebunan dan Proses Pemanenan Kayu Manis………...…… 251 13. Produk dan Grade Kayu Manis ………... 252 14. Produk Kayu Manis Olahan Siap Ekspor...………...… 253


(24)

Latar Belakang

Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Dalam proses pembangunan, ketersedian sumberdaya merupakan prasyarat utama yang sangat diperlukan, seperti ketersediaan sumber daya alam (natural resource endowment), sumber daya manusia (human resource), sumber daya sosial dan sumber daya buatan. Ketersediaannya perlu diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan (growth), efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005; Rustiadi et al. 2005).

Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, Hayami (2001) menjelaskan bahwa pemanfaatan sumberdaya sebagai faktor produksi yang terintegrasi dengan teknologi dan nilai-nilai sosial budaya di masyarakat dapat mempengaruhi peningkatan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Karena “nilai tambah” didistribusikan ke pemilik sumberdaya untuk menjadi pendapatannya sehingga secara agregat pendapatan masyarakat tersebut dapat menjadi pendapatan wilayah. Pentingnya peran nilai tambah terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah sehingga upaya peningkatan dan mengurangi tingkat kebocorannya menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan. Sebagaimana Bendavid (1991) menjelaskan bahwa dalam pembangunan ekonomi wilayah, multiplikasi pendapatan merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu dijelaskan bahwa terjadinya kebocoran dapat berdampak pada kecilnya multiplier pendapatan yang dihasilkan oleh suatu wilayah, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran pendapatan yang terjadi maka semakin besar pula multiplier pendapatan yang hilang bagi suatu wilayah. Dengan demikian, terjadinya kebocoran wilayah berarti dapat merugikan perekonomian wilayah. Adanya pengaruh kebocoran wilayah terhadap meningkatkan pendapatan suatu wilayah, sehingga dapat dipahami mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan penting dalam pembangunan wilayah.


(25)

Berbagai literatur menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari aspek pengeluaran, yaitu adanya pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan bagi pendapatan domestik. Dengan kata lain kebocoran dapat terjadi dari sisi pengeluaran daerah karena terjadi pembelian barang-barang impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, serta pengeluaran yang digunakan untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya. Selain itu Rada et al. (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand yaitu apabila injeksi terhadap investasi, ekspor dan belanja pemerintah yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Selanjutnya Roetter et al. (2007) menjelaskan bahwa dari aspek pembangunan desa-kota, kebocoran wilayah dapat terjadi karena adanya aliran tenaga kerja ke perkotaan akibat membaiknya akses infrastruktur ke perkotaan yang akhirnya mempengaruhi kecilnya pendapatan wilayah perdesaan.

Di Indonesia tinjuan literatur tentang kebocoran wilayah masih sangat terbatas, baik dalam bentuk kajian maupun dalam bentuk penggunaan istilah dan definisinya. Selain itu di Indonesia penggunaan istilah kebocoran masih terbatas pada aspek keuangan dan perbankan (Departemen Keuangan, 1998), aspek birokrasi yaitu berkaitan dengan efisiensi layanan birokrasi (Rustiani, 2003). Terbatasnya kajian tentang kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah/pendapatan dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah, menunjukkan bahwa di Indonesia identifikasi tentang kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah belum menjadi perhatian banyak kalangan untuk dibuktikan. Dengan demikian sehingga besaran multiplikasi dan kebocoran wilayah belum menjadi pertimbangan utama dalam aspek perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah. Padahal dalam pengembangan ekonomi wilayah proses multiplikasi pendapatan/nilai tambah merupakan inti dari pengembangan ekonomi wilayah (Bendavid, 1991).

Selanjutnya Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah


(26)

dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah, mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah, sehingga dapat mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya tentu dapat menghambat pengembangan wilayah.

Karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam pertanian yang berlimpah, dimana sebagian besar wilayahnya memiliki potensi pengembangan pertanian serta masih dominannya peran sektor pertanian dalam pembentukan perekonomian wilayah di Indonesia (BPS, 2007), sehingga pengembangannya perlu mendapat perhatian. Namun dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan komoditas pertanian unggulan daerah di Indonesia seperti untuk komoditas karet di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat (Anwar, 2005), kelapa sawit di Riau dan Kalimantan Barat (Arifin et al. 2007) serta komoditas panili di Sulawesi Utara (Malian et al. 2004) menjelaskan bahwa dalam pengembangan komoditi unggulan, petani cenderung menghadapi persoalan harga yang kurang mengembirakan dan kecilnya nilai tambah/pendapatan, sehingga mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian wilayah.

Dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terlihat bahwa peran sektor pertanian masih merupakan sektor dominan terhadap pembentukan PDRB, yaitu sebesar 51,05% (BPS, 2007). Sedangkan komoditas unggulan daerah yang paling dominan dikembangkan di daerah serta yang paling dominan berkontribusi terhadap pembentukan ekspor daerah adalah komoditas kayu manis. Komoditas tersebut selain menempatkan Kabupaten Kerinci sebagai penghasil kayu manis terbesar di Indonesia, juga berkontribusi dominan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kayu manis terbesar dunia (nomor satu) dewasa ini (Ditjenbun, 2007). Dengan rata-rata pangsa ekspor Indonesia pada tahun 2002-2007 yaitu 31,06% terhadap total ekspor dunia, dengan jumlah ekspornya pada tahun 2007 yaitu sebesar 41.723 ton atau dengan nilai 27,5 juta US$ (FAOSTAT, 2007).

Di Indonesia pengembangan kayu manis dominan dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada tahun 2007 luas areal


(27)

pengembangannya yaitu 134.897 ha tersebar di 19 wilayah provinsi, dengan produksinya sebesar 103.594 ton. Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi merupakan salah satu wilayah yang terbesar dan merupakan sentra pengembangan kayu manis nasional, dengan luas areal perkebunannya yaitu 42.313 ha (31,61%) dari total luas areal perkebunan kayu manis nasional, atau 10,15% dari luas wilayah Kabupaten Kerinci. Produksinya sebesar 43.782 ton (42,26%) dari total produksi kayu manis nasional (BPS dan Ditjenbun, 2007). Selain itu pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci dikembangkan oleh 15,63% oleh Kepala Keluarga (BPS Kerinci, 2007).

Di Kabupaten Kerinci tanaman kayu manis disatu sisi merupakan tanaman budidaya, yang berperan sebagai sumber pendapatan masyarakat, dan di sisi lain tanaman kayu manis juga berperan sebagai tanaman konservasi yang mendukung fungsi wilayah Kabupaten Kerinci sebagai kawasan konservasi Tanaman Nasional Kerinci Sebelat (BPTOR, 2003). Tanaman kayu manis telah dibudidayakan oleh masyarakat Kerinci secara turun temurun dan menjadi komoditas primadona daerah. Namun akhir-akhir ini pengembangannya cenderung menghadapi persoalan yaitu terjadinya kecenderungan perubahan dalam pengelolaan seperti dari semulanya dikelola masyarakat dengan pola pemeliharaan dan pemanenan sistem tebang pilih, dan akhir-akhir ini cenderung berubah menjadi pola pemanenan dengan sistem tebang habis.

Adanya perubahan sistem pemeliharaan dan pemanenan kayu manis akhir-akhir ini, diduga terkait dengan kurangnya insentif petani untuk melakukan pengelolaan komoditas yang baik, sebagai pengaruh dari tekanan harga yang kurang mengembirakan. Oleh karena itu jika kondisi tersebut berlangsung secara terus menerus, maka dikhawatirkan pada masa yang akan datang, selain dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat juga dikhawatirkan dapat meningkatkan eksternalitas negatif bagi Daerah Kabupaten Kerinci, seperti terjadinya konversi lahan tanaman kayu manis menjadi lahan tanaman semusim serta mendorong peningkatan lahan kritis. Dengan demikian mendorong laju degradasi lahan serta turunnya produktivitas lahan, produktivitas tanaman, yang pada gilirannya dikhawatirkan dapat mengganggu keberlanjutan agribisisnis dan juga keberlanjutan (sustainability) sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.


(28)

Padahal dilihat dari sisi konsumsi dan permintaan kayu manis dunia, dari tahun ke tahun perkembangannya cenderung mengalami peningkatan, sebagaimana ditunjukkan oleh data FAOSTAT (2007) kebutuhan kayu manis dunia yaitu dari 20.496 ton pada tahun 1990, meningkat menjadi 91.540 ton pada tahun 2000, dan 107.252 ton pada tahun 2007. Terjadinya peningkatan konsumsi dan permintaan kayu manis dunia akhir-akhir ini, semestinya dapat mendorong peningkatan pengembangan kayu manis di tingkat petani, khususnya di Kabupaten Kerinci. Namun fenomena dalam pengembangannya justru terlihat mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan data BPS Kerinci (2007) penurunan luas areal tanaman kayu manis yaitu dari 50.439 ha pada tahun 2000, turun menjadi 42.313 ha pada tahun 2007.

Kurangnya insentif petani dalam pengelolaan dan pengembangan komoditas kayu manis akibat dari tekanan harga komoditas, diduga terkait dengan aspek pemasaran seperti integrasi harga di tingkat pasar yang lebih tinggi dengan harga di tingkat petani yang tidak sempurna. Selain itu diduga akibat terlalu dominannya fungsi-fungsi pemasaran dan processing berada di luar wilayah, sebagaimana ditunjukkan dominannya ekspor komoditas dalam bentuk produk gelondongan, dan dominannya kegiatan pengolahan komoditas untuk menghasilkan komoditas bernilai tambah tinggi dilakukan di luar wilayah. Dengan demikian sehingga nilai tambah komoditas yang diperoleh masyarakat dan daerah Kabupaten Kerinci dari kegiatan pembudidayaan kayu manis belum menggembirakan. Rendahnya nilai tambah komoditas yang diperoleh akibat dominannya produk yang diekspor dalam bentuk gelondongan, maka dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kondisi tersebut diduga berpotensi mendorong kebocoran wilayah bagi daerah Kabupaten Kerinci.

Dalam konteks sistem agribisnis dan kaitannya dengan perekonomian wilayah, ketika tidak optimalnya nilai tambah/pendapatan yang dapat diperoleh dari pengembangan komoditas, akibat dominannya nilai tambah dimanfaatkan oleh wilayah lainnya, tentu mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan pelaku agribisnis di daerah, sehingga pada gilirannya tentu dapat mengganggu keberlanjutan sistem agribisnis itu sendiri.


(29)

Lahirnya UU.No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan arah pembangunan daerahnya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan, terutama dalam kepentingan pemberdayaan daerah (Bratakusumah dan Riyadi, 2003). Dengan demikian dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraannya pada aspek pengembangan komoditas unggulan daerah seperti komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci, tentu pengembangannya menarik untuk didorong, baik dalam aspek pembudidayaan maupun dalam sistem pengolahan hasil dan pemasarannya.

Sebagaimana Arifin et al. (2007) menjelaskan bahwa terbukanya akses pasar sebagai konsekuensi globalisasi perdagangan, disatu sisi diyakini dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian tantangan yang dihadapi Indonesia sangat berat, karena produk-produk Indonesia cenderung kurang kompetitif di pasar dunia serta sangat sensitif terhadap perubahan harga di pasar internasional. Dengan demikian sehingga dalam pengembangan komoditas pertanian Indonesia membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai pihak.

Dari aspek pengembangan komoditas kayu manis, beberapa peneliti terdahulu menjelaskan seperti Rusli dan Abdullah (1988), kayu manis di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk mendukung pendapatan dan kegiatan penghijauan serta merehabilitasi lahan kritis, terutama pada bagian daerah aliran sungai serta di kawasan konservasi. Kemudian BPTRO (2003) menjelaskan bahwa kayu manis dapat berperan sebagai sumber pendapatan dan dapat memperbaiki lahan konservasi serta dapat berfungsi sebagai penata tata air, khusus di daerah Sumatera Barat dan Jambi. Sedangkan (MaRI) Masyarakat Rempah Indonesia (2006) menjelaskan bahwa tanaman obat-obatan dan rempah-rempah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang, terutama sejalan dengan kecenderungan perilaku masyarakat modern yang memilih back to nature dalam mengkonsumsi obat-obatan alami untuk kesehatan. Dari berbagai konsep, fenomena dan persoalan pengembangan ekonomi wilayah, kasus komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci yang merupakan komoditas yang dominan dikembangkan di daerah dan merupakan andalan ekspor


(30)

daerah, serta menjadi sumber pendapatan masyarakat pengembangannya diduga menghadapi persoalan kebocoran wilayah. Dengan demikian karena kebocoran wilayah dapat mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah, sehingga kajian kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah/pendapatan yang belum pernah dikaji oleh peneliti terdahulu kaitannya dengan sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci, menjadi kajian yang menarik untuk dilakukan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah.

Rumusan Masalah

Berlangsungnya otonomi daerah diharapkan dapat mendorong percepatan, pertumbuhan, pemerataan serta keberlanjutan pembangunan daerah. Otonomi daerah memandang pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibandingkan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, spatial (ruang) serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah (Rustiadi et al. 2005).

Karena kebocoran wilayah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sehingga adanya indikasi kebocoran wilayah dalam pengembangan komoditas dominan yang dikembangkan di suatu wilayah, seperti komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci sebagaimana ditunjukkan dominannya ekspor komoditas dalam bentuk produk gelondongan, dan dominannya kegiatan processing dilakukan di luar wilayah, sehingga nilai tambah komoditas dominan dimanfaatkan oleh wilayah lain. Kondisi tersebut tentu dapat merugikan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun karena indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta implikasinya terhadap perekonomian wilayah belum pernah dibuktikan secara empirik, sehingga fenomena kebocoran tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dalam suatu pembangunan wilayah, dan pada gilirannya penanganan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengembangannya belum dapat menggembirakan. Kondisi tersebut tentu dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem agribisnis serta keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan.


(31)

Pengembangan komoditas kayu manis berada di wilayah perdesaan dan dominan diusahakan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat, serta diduga memiliki kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian wilayah. Adanya kaitan pengembangan komoditas kayu manis dengan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci terutama dari aspek nilai tambah, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja, sehingga keterkaitan tersebut menarik untuk diketahui. Selain itu karena komoditas kayu manis merupakan salah satu komoditas dominan dan andalan Kabupaten Kerinci, sehingga mengidentifikasi posisinya dibandingkan dengan komoditas dan sektor lainnya dari kelompok komoditas subsektor tanaman pangan seperti padi, dari kelompok subsektor perkebunan seperti komoditas teh, dari kelompok sektor industri seperti industri makanan dan minuman dan kelompok jasa dan lainnya seperti sektor perdagangan menjadi menarik untuk dilakukan, guna mengetahui posisi komoditas kayu manis dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian wilayah.

Selain itu karena kayu manis merupakan komoditas ekspor yang diperdagangkan di pasar internasional, sehingga aspek pemasaran menjadi penting untuk diperhatikan terutama dalam kaitannya dengan kinerja sistem agribisnis dan perekonomian wilayah. Oleh karena itu mengidentifikasi posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis dilihat dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor dan permintaan pasar, menjadi menarik dan penting untuk dilakukan, terutama dalam upaya pengembangannya pada masa yang akan datang. Selain itu karena pengembangan komoditas kayu manis diduga masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan, karena sebagian teknologi budidaya sudah memasyarakat serta pembudidayaannya telah dilakukan secara turun temurun. Dengan demikian apabila berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengembangnnya diabaikan begitu saja, tentu dapat merugikan masyarakat Kabupaten Kerinci khususnya dan Indonesia umumnya.

Ketatnya persaingan yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan komoditas kayu manis dunia, diduga berdampak pada pengembangan kayu manis nasional dan daerah, yang pada gilirannya tentu akan mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi tersebut sehingga pemetaan posisi daya


(32)

saing ekspor komoditas menjadi sangat penting artinya, terutama untuk mengetahui posisi dan prospek pengembangannya pada masa yang akan datang.

Memperhatikan perkembangan ekspor kayu manis dunia periode tahun 1990-2006, menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun persaingan antar produsen cenderung semakin ketat. Dimana Indonesia terlihat bersaing ketat dengan pesaingnya seperti China dan Sri Lanka serta negara lainnya, sebagaimana ditunjukkan pada grafik perkembangan ekspor komoditas kayu manis dunia yang ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.

Sumber: FAOSTAT, 2007 (diolah)

Gambar 1. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Kayu Manis Dunia (ton) Periode Tahun 1990-2006.

Karena peningkatan daya saing dapat melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, dan bukan bersifat protektif semata, sehingga Gonarsyah (2005) menjelaskan upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi dapat diusahakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses terhadap kredit dan pasar serta perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar dan sebagainya. Selain itu karena dalam perspektif jangka panjang pada era globalisasi, upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi akan lebih memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraannya sehingga pengembangannya perlu mendapat perhatian.

Perkembangan Volume Ekspor Kayu Manis Dunia Periode Tahun 1990-2006 (ton)

-5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 199 0 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 Tahun V ol um e ( ton) Indonesia China Sri Lanka ROW


(33)

Persoalan utama lainnya yang diduga mempengaruhi perkembangan komoditas kayu manis yaitu berkaitan dengan aspek permintaan. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor diantaranya adalah harga, pertumbuhan ekonomi, dan nilai tukar (kurs). Karena ekspor kayu manis Indonesia dominan ditujukan ke pasar internasional seperti ditunjukkan data FAOSTAT (2007), yaitu 42,59% ekspor kayu manis Indonesia ditujukan ke pasar Amerika Serikat, Belanda 11,93%, Jerman 3,19%, India 1,67%, dan Meksiko 0,50%, serta 40,12% ditujukan ke negara lainnya. Dengan demikian mengidentifikasi posisi dan prospek permintaan pada pasar tersebut menarik untuk dilakukan terutama guna pengembangannya pada masa yang akan datang.

Selain itu, karena akhir-akhir ini masing-masing negara pengimpor kayu manis Indonesia cenderung menghadapi goncangan ekonomi serta harga dan nilai tukar yang cenderung berfluktuatif, dengan demikian sehingga untuk mengetahui prospek permintaan dalam konteks pengembangan agribisnis komoditas kayu manis nasional dan Kabupaten Kerinci khususnya, dengan melakukan pemetaan ditinjau dari faktor yang mempengaruhi ekspor seperti harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) dan nilai tukar (kurs), guna pengembangan permintaan pada masa yang akan datang menjadi menarik untuk dilakukan.

Selain itu fenomena menunjukkan bahwa berbagai persoalan dalam pengembangan komoditas kayu manis, penanganannya belum kunjung membaik. Walaupun di satu sisi pengembangannya terus didorong, namun di sisi lain petani masih dihadapkan pada berbagai pilihan yang sulit, yaitu antara pilihan tetap untuk melakukan pengembangan kayu manis, atau beralih ke pengembangan komoditas lainnya terus berlangsung, terutama akibat persaingan antar harga komoditas dan berbagai tekanan yang belum menemukan solusinya.

Dalam konteks sistem agribisnis, karena persoalan nilai tambah komoditas terkait dengan kinerja subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran hasil dan subsistem penunjang. Dengan demikian untuk mendorong peningkatan nilai tambah komoditas perlu diperhatikan keterkaitannya dengan masing-masing subsistem dalam sistem agribisnis, terutama untuk mengetahui pada subsistem apa dan kapan serta dimana dari rantai sistem agribisnis tersebut terjadi potensi


(34)

kebocoran. Dengan demikian sehingga upaya penanggulangan dan pengembangan guna peningkatan kinerjanya dapat dilakukan.

Demikian juga dalam konteks pengembangan pertanian berbasis perkebunan, karena kayu manis yang merupakan bentuk perkebunan rakyat, sehingga untuk mengetahui posisi dan prospek pengembangannya sehingga menarik untuk dibandingkan dengan sektor perkebunan lainnya seperti perkebunan estate lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini identifikasi posisi sektor kayu manis yang merupakan sektor perkebunan rakyat dibandingkan dengan sektor teh yang merupakan bentuk perkebunan lainnya (perseroan) yang dominan di daerah dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah menarik untuk dilakukan.

Dari berbagai permasalahan di atas dalam konteks pemgembangan ekonomi wilayah maka melakukan kajian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci menjadi kajian yang sangat penting dan menarik untuk dilakukan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan, kesejahteraan masyarakat, dan perekonomian wilayah, serta keberlanjutan sistem agribisnis dan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.

Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka untuk membatasi kajian ini, dibangun rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah?

2) Bagaimanakah posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis ditinjau dari aspek integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir? Bagaimanakah posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan pesaingnya? Bagaimanakah permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, dan nilai tukar (kurs) rill?

3) Bagaimanakah peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditinjau dari aspek PDRB, tenaga kerja dan ekspor, dibandingkan dengan sektor padi, teh, industri pengolahan dan perdagangan?


(35)

Bagaimanakah posisi keterkaitan sektor kayu manis dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja?

4) Bagaimanakah indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci? Bagaimanakah posisi sektor kayu manis dibandingkan dengan sektor teh dalam konteks perbandingan sistem pertanian berbasis perkebunan rakyat dan perkebunan estate lainnya?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menganalisis pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah.

2) Menganalisis posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis ditinjau dari aspek integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, menganalisis posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan pesaingnya, dan menganalisis permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, dan nilai tukar (kurs) rill.

3) Menganalisis peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditinjau dari aspek PDRB, tenaga kerja dan ekspor, dibandingkan dengan sektor padi, teh, industri pengolahan dan perdagangan. Menganalisis posisi keterkaitan sektor kayu manis dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja.

4) Menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Menganalisis posisi sektor kayu manis dibandingkan dengan sektor teh dalam konteks perbandingan sistem pertanian berbasis perkebunan rakyat dan perkebunan estate lainnya.


(36)

Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pemecahan masalah dalam pembangunan ekonomi wilayah, dan khususnya pada upaya menekan tingkat kebocoran wilayah dalam usaha pengembangan komoditas dominan suatu daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan dan pengambilan kebijakan tentang pengembangan komoditas unggulan daerah di Indonesia secara umum dan komoditas pertanian kayu manis khususnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ranah keilmuan ekonomi wilayah dan pengembangan sistem agribisnis, guna peningkatan nilai tambah, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta keberlanjutannya pada masa yang akan datang. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi perbandingan dan stimulan bagi penelitian selanjutnya.

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Analisis kebocoran ekonomi wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah merupakan suatu penelitian baru yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan baku yang dikemas dalam suatu rangkaian baru yang berkontribusi mengidentifikasi kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci.

Dalam menganalisis kebocoran wilayah sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci digunakan pendekatan analisis model Input-Output (I-O), yang menempatkan komoditas kayu manis sebagai sektor tersendiri dalam struktur perekonomian wilayah, yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam menganalisis struktur perekonomian wilayah di Kabupaten Kerinci dan bahkan satu-satunya di Indonesia. Selain itu kebaruan penelitian ini ditunjukkan oleh hasil penelusuran potensi dan implikasi kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis ditinjau dari subsistem input, produksi, pengolahan hasil (processing), dan pemasaran serta faktor penunjang.


(37)

Selanjutnya kebaruan penelitian yaitu mampu membuktikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem agribisnis komoditas kayu manis yang ditinjau dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor serta permintannya di pasar internasional yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Selain itu penelitian ini mampu membuktikan perbandingan potensi pengembangan perkebunan rakyat dengan perkebunan estate lainnya dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah. Selain itu kebaruan dari penelitian ini adalah mampu menjelaskan posisi dan prospek pengembangan komoditas kayu manis yang merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional.


(38)

Pada bab ini dijelaskan berbagai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan konsep pengembangan ekonomi wilayah, kebocoran wilayah, sistem agribisnis, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, kebijakan perdagangan internasional, pembangunan ekonomi berkelanjutan serta tinjauan terdahulu tentang komoditas kayu manis. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan parameter, indikator dan spesifikasi model serta peubah-peubah yang berkaitan dengan penelitian ini.

Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah

Penggunaan istilah pembangunan atau pengembangan oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hal yang dapat saling dipertukarkan. Sebutan tersebut sesuai dengan definisi dalam Bahasa Inggris yaitu development. Namun di Indonesia penggunaan istilah pembangunan atau pengembangan berbagai kalangan cenderung pula digunakan secara khusus (Rustiadi et al. 2005).

Secara umum pembangunan merupakan proses perubahan dalam banyak aspek kehidupan yang hakekatnya bertujuan untuk memberi perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih merata, serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan (Anwar, 2005) Selanjutnya Todaro (1998) menjelaskan bahwa pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Selanjutnya Todaro juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dari struktur sosial, sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut.

Rustiadi et al. (2005) dan Anwar (2005) mengemukakan bahwa pada hakekatnya tujuan pembangunan wilayah secara umum, adalah untuk: (i) meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth); (ii)


(39)

meningkatkan pemerataan keadilan, keberimbangan (equity), dan (iii) mendorong keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, antar spasial (ruang), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah.

Pengembangan wilayah yang baik dicirikan dengan terjadinya keterkaitan antara sektor dalam suatu wilayah dengan baik, dalam arti terjadinya transfer input dan output, barang dan jasa antar sektor secara dinamis, dimana keragaman potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial ekonomi tersebar secara merata dan terjadinya interaksi spasial yang optimal, dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah yang berlangsung secara dinamis. Dalam pembangunan wilayah, struktur keterkaitan perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah, baik dilihat dari aspek fisik lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Oleh sebab itu pembangunan suatu wilayah harus dilihat secara dinamis dan bukan dilihat sebagai konsep yang statis.

Selanjutnya memperhatikan perkembangan teori pembangunan ekonomi pasca perang dunia kedua, yang awalnya didominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-an, Roy Harrod dan Evsey Domar secara terpisah telah membangun suatu model makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel, tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang. Hal ini karena fakta menunjukkan bahwa melakukan pengembangan investasi ternyata tidak cukup untuk bagi peningkatan pembangunan ekonomi (Hayami, 2001).

Dalam perspektif perkembangan teori pembangunan ekonomi, terlihat bahwa perkembangannya telah diwarnai oleh berbagai model seperti yang dikembangkan oleh Robert Solow tahun 1956 dan Tom Swan 1956. Dengan menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow 1956 dan Swan 1956 dengan


(40)

sudut pandang yang sangat berbeda dari model Harrod-Domar kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi. Perbedaannya model tersebut terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan. Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk Y = AK, dimana A = 1/c dan bersifat konstan; dan c = K/Y. Sementara Solow-Swan model menggunakan bentuk fungsi produksi neoclassical yakni Y = f(L,K;T); dimana Y adalah output dan L adalah tenaga kerja yang berada dalam tingkat teknologi T (Hayami, 2001).

Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa jika memperhatikan pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan neoklasik yang memperhatikan dari sisi faktor supply seperti pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan stok modal dan perubahan teknis, dengan kesimpulan utama pendekatan neoklasik dalam menjelaskan disparitas pertumbuhan regional terlihat telah mengesampingkan kontribusi potensial dari faktor-faktor dari sisi permintaan (demand). Untuk menutup kelemahan tersebut, sehingga pendekatan neoklasik telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek perdagangan antar wilayah. Dengan demikian modifikasi tersebut telah membuka kemungkinan bahwa perbedaan dalam pertumbuhan regional dapat dijelaskan selain dari sisi supply juga dapat dijelaskan dari sisi demand seperti dari aspek pertumbuhan ekspor regional.

Beberapa studi historis tentang pertumbuhan dan pembangunan wilayah berbasis sumberdaya di Amerika Utara misalnya telah melahirkan model berbasis ekspor (export-base model) sebagaimana Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa riset terbaru dari model tersebut memperhatikan beberapa wilayah khususnya di Amerika Utara Bagian Barat Laut, telah terjadi pertumbuhan “tanpa” dibandingkan “modal dan tenaga kerja yang mengalir ke wilayah ini dalam mengeksploitasi sumberdaya alamnya. Meningkatnya permintaan dunia terhadap sumberdaya alam, maka hubungan transportasi dengan dunia luar sangat diperlukan, sehingga dalam kondisi tersebut integrasi wilayah ke dalam pasar dunia menjadi sangat penting dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.


(41)

Pada teorema Heckscher-Ohlin dijelaskan bahwa ekspor akan terspesialiasi pada produksi dan komoditas yang menggunakan faktornya yang relatif berlimpah. Wilayah dengan supply bahan baku yang berlimpah akan terspesialisasi pada komoditas intensif misalnya barang semi olahan atau primer (Armstrong dan Taylor 2001). Stimulus terhadap permintaan ekspor memiliki pengaruh multiplier terhadap pendapatan wilayah dan berpengaruh terhadap akselerator investasi. Di sisi lain, lebih tingginya harga faktor produksi akan menarik tenaga kerja dan modal dari wilayah lainnya. Arus masuk tenaga kerja akan meningkatkan permintaan terhadap barang yang diproduksi dan di konsumsi secara lokal, seperti transportasi, jasa personal dan layanan pemerintah. Demikian juga industri-industri subsider yang menyediakan jasa-jasa khusus, dan untuk sektor ekspor juga akan lahir dengan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi. Sehingga akan memacu aglomerasi ekonomi lokal serta setiap ekonomi skala internal yang ada pada industri ekspor, dan lebih lanjut lagi akan memicu sektor ekspor dengan menurunkan biaya produksi dan distribusi.

Dengan fleksibelnya faktor harga sehingga hukum keunggulan komparatif akan membuat wilayah dapat bertahan melalui realokasi faktor-faktor produktif ke komoditas ekspor. Artinya teori berbasis ekspor dalam bentuk yang lebih luas adalah merangsang suatu keunggulan atas pendekatan neoklasik yang penekanannya pada peran dari faktor permintaan tanpa mengesampingkan sisi penawaran dalam perekonomian wilayah. Pendekatan ini di kritisi karena bentuknya yang sederhana dan hanya menjelaskan perkembangan historis wilayah yang tergantung pada ekspor bahan baku. Namun demikian model tersebut telah mampu menjelaskan pentingnya ekspor dalam perekonomian wilayah.

Kemudian dalam tesis Kaldor tahun 1970 dijelaskan behwa pertumbuhan output per kapita dari suatu wilayah ditentukan oleh kemampuan suatu wilayah dalam eksploitasi skala ekonomi dengan memanfaatkan spesialisasi. Manfaat ini berhubungan dengan tipe aktivitas produktif dimana suatu wilayah melakukan spesialiasi. Menurut Armstrong dan Taylor (2001) pengembangan dari tesis Kaldor dilakukan oleh Dixon-Thirlwall tahun 1970 difokus pada konstruksi penjelasan Kaldor yang lebih kuat mengenai disparitas pertumbuhan wilayah, dan memberikan perhatian khusus pada proses penyebab kumulatif yang


(42)

mempengaruhi pertumbuhan wilayah. Proses penyebab kumulatif tersebut dimasukkan ke dalam model dengan memperhitungkan pengaruh umpan balik (feedback effect) dari pertumbuhan suatu wilayah terhadap kompetitivitas sektor ekspor. Kompetitivitas ini pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan output wilayah, yang lebih lanjut akan memberikan pengaruh terhadap produktivitas dan kompetitivitas pada sektor ekspor berikutnya.

Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan kunci utama dari model Dixon-Thirlwall adalah dimulai dari pertumbuhan pada produktivitas tenaga kerja. Menurut Kaldor, pertumbuhan produktivitas adalah tergantung pada dua faktor, yaitu kecepatan perubahan teknis dan pertumbuhan rasio modal/tenaga kerja. Produktivitas akan meningkat jika kemajuan teknis meningkat, atau jika rasio modal/tenaga kerja meningkat (melalui investasi pada pabrik dan alat-alat baru). Kondisi tersebut pada gilirannya akan tergantung pada pertumbuhan output, yang dengan sendirinya ditentukan oleh pertumbuhan sektor ekspor. Karena pertumbuhan pada sektor ekspor tergantung pada kompetitivitas relatif terhadap wilayah-wilayah yang memproduksi substitusinya, ini berarti bahwa harga ekspor wilayah relatif terhadap harga barang substitusi yang diproduksi di wilayah-wilayah lain, dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor ekspor suatu wilayah-wilayah. Pada poin inilah terjadinya proses sebab akibat, karena harga ekspor wilayah ditentukan sebagian oleh hasil produktivitas.

Kemudian Hayami (2001) menjelaskan bahwa model Harrod-Domar menunjukkan pentingnya peranan investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, sebagaimana ditunjukkan dengan dampak pengganda yang diperoleh, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan, dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Pada bagian pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan bagian kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi.

World Bank (2006) dengan Rural Investment Climate Survey (RICS) menjelaskan bahwa usaha Pemerintah Indonesia dalam mendorong pengembangan investasi terlihat belum optimal terutama, dalam perbaikan iklim investasi dan kewirausahaan yang berimbang. Dengan lain perkataan bahwa Bank Dunia melihat bahwa dalam kegiatan pembangunan di Indonesia dewasa ini masih


(43)

ditemui adanya kesenjangan (disparity) terutama dalam pengembangan investasi di perdesaan bila dibandingkan dengan perkotaan. Dari survei tersebut World Bank merekomendasikan perlunya pemerataan dan keberimbangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan di Indonesia terutama dalam meningkatkan keberimbangan investasi.

Dari berbagai konsep dasar pengembangan ekonomi wilayah, maka dapat diartikan bahwa pembangunan wilayah pada hakekatnya ditujukan untuk: (i) meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (ii) meningkatkan pemerataan keadilan, keberimbangan (equity); dan (iii) mendorong keberlanjutan (sustainability). Pencapaiannya membutuhkan dukungan keterkaitan antar sektor, spasial dan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, dan sumberdaya buatan, perlu dilakukan terutama melalui peningkatan investasi di daerah serta mendorong penggunaan teknologi.

Peran Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah

Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa pengembangan ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan neoklasik dalam menjelaskan disparitas pengembangan ekonomi regional terlihat telah mengabaikan kontribusi potensial faktor-faktor dari sisi permintaan (demand), karena hanya memperhatikan dari sisi supply seperti angkatan kerja, pertumbuhan stok modal dan perubahan teknis. Untuk menutupi kelemahan model tersebut Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan pengembangan ekonomi regional dapat dimodifikasi oleh Dixon dan Thirlwall dengan aspek perdagangan antar wilayah.

Dalam teori basis dijelaskan bahwa kegiatan basis merupakan kegiatan yang bersifat exogenous, artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong pertumbuhan jenis pekerjaan lainnya (Tarigan, 2005). Teori basis ekspor merupakan teori yang paling sederhana dalam model perekonomian wilayah. Teori ini menganggap bahwa adanya dua bagian dalam sistem ekonomi regional, yaitu adanya daerah bersangkutan dan daerah lainnya. Dalam teori tersebut masyarakat diasumsikan sebagai suatu sistem sosial ekonomi yang melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas


(44)

wilayahnya. Faktor penentu (determinant) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan material untuk komoditas ekspor akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan masyarakat (Rahardjo, 2005).

Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan yaitu aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis yaitu kegiatan yang melakukan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) keluar batas wilayah perekonomian tertentu. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan, dimana luas lingkup produksi dan pemasaran adalah bersifat lokal (Rahardjo, 2005).

Aktivitas basis memiliki peran sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain maka akan semakin majunya pertumbuhan wilayah tersebut, demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional. Analisis basis ekonomi yaitu berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis (Richardson, 1971). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah, maka semakin mendorong arus pendapatan ke wilayah yang bersangkutan, dan selanjutnya akan menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalam wilayah tersebut, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah dan akhirnya menyebabkan turunnya permintaan produk dari aktivitas non basis. Walaupun teori basis mengandung kelemahan karena membagi perekonomian regional hanya dalam dua sektor kegiatan, yakni basis dan non basis. Namun teori tersebut sangat bermanfaat sebagai sarana untuk menjelaskan struktur ekonomi suatu wilayah, dan bukan sebagai alat untuk membuat proyeksi jangka pendek atau jangka panjang.

Berlangsungnya globalisasi perdagangan yang ditandai dengan semakin terbukanya akses pasar komoditas suatu negara, sehingga makin mendorong


(45)

ketatnya persaingan antar negara/ wilayah dalam perdagangan komoditas (Arifin et al. 2007). Dalam konteks seperti ini perekonomian suatu wilayah akan diwarnai oleh kemampuan perdagangan (ekspor). Pentingnya ekspor dalam perspektif pengembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan diantaranya oleh kinerja ekspor. Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu model yang lazim digunakan diantaranya adalah menggunakan model Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan (leading sectors). Selain menggunakan model LQ leading sector juga dapat ditentukan dengan menggunakan analisis model Input-Output (I-O).

Dari berbagai konsep ekspor dalam pembangunan ekonomi wilayah, sehingga dapat dipahami bahwa dalam pengembangan ekonomi wilayah terutama dalam kondisi berlangsungnya globalisasi perdagangan, menunjukkan bahwa peran ekspor daerah merupakan komponen strategi yang penting dan perlu terus didorong peningkatannya. Hal ini karena ekspor dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian wilayah. Artinya ketika ekspor daerah mengalami gangguan, maka keberlanjutan ekonomi wilayah yang bersumber dari ekspor akan mengalami hambatan atau permasalahan.

Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah

Meningkatkan struktur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian dan meningkatkan keseimbangan antar sektor merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan dalam menggerakkan pembangunan ekonomi wilayah. Dalam ekonomi pasar, keterkaitan ekonomi dapat diwujudkan melalui peningkatan keterkaitan antar pelaku ekonomi, seperti dalam melakukan jual beli input produksi. Misalkan produsen rokok membutuhkan input tembakau sebagai bagian dari bahan bakunya, sehingga dalam produksi ia harus membeli tembakau dari petani tembakau. Sedangkan petani tembakau jika ingin meningkatkan output, membutuhkan input pupuk. Untuk mendapatkan pupuk ia harus membeli pupuk tersebut dari pabrik pupuk. Sementara pabrik pupuk untuk produksi ia membutuhkan mesin, tenaga kerja dan begitu seterusnya. Dari hubungan tersebut terlihat bahwa antar pelaku ekonomi saling terkait. Dengan demikian sulit bagi kita menentukan ujung dan pangkal dari keterkaitan ekonomi semacam itu. Tetapi


(46)

yang pasti, dari gambaran di atas terlihat dalam pengembangan suatu sektor ekonomi memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya.

Studi tentang keterkaitan antar sektor dalam perekonomian telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Rameezdeen et al. (2003), melakukan kajian tentang keterkaitan antara sektor konstruksi dan sektor lainnya dalam perekonomian Sri Lanka, ia menjelaskan bahwa sektor konstruksi secara signifikan memiliki keterkaitan ke depan (forward linkages) dan keterkaitan ke belakang (backward linkages) dalam perekonomian Sri Lanka. Kajian keterkaitan sektor yang dibangun dilakukan dengan menggunakan model analisis Input-Output sebagaimana yang dikembangkan oleh Wassily Leontif pada tahun 1930-an y1930-ang dapat digunak1930-an untuk menjelask1930-an, mendefinisi, d1930-an mengukur, serta menaksir keterkaitan antar sektor serta memprediksi indikasi kebocoran wilayah. Selain itu penggunaan model input-output juga telah digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan serta mengukur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian, seperti telah dilakukan oleh (Pietroforte and Gregori, 2003; dan Rameezdeen et al. 2003).

Terintegrasinya sektor-sektor dan terbentuknya keseimbangan antar sektor dalam perekonomian suatu negara dan wilayah merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi sesungguhnya. Keterkaitan antar sektor secara umum dapat diidentifikasi dalam bentuk seperti; (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect); yaitu mengukur efek dari peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect); yaitu mengukur penggunaan total tenaga kerja pada suatu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect): yaitu mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Rustiadi et al. 2005).

Nazara (1997) menjelaskan bahwa analisis input-output merupakan model yang berusaha memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empirik seperti dari sisi produksi. Selain itu Jensen (2001) menjelaskan bahwa penggunaan model leontief dapat diaplikasikan dalam model tertutup dan model


(47)

terbuka, terutama dalam menganalisis perencanaan dan analisis ekonomi nasional. Sedangkan model input-output modern yang merupakan pengembangan dari model leontief, sebagaimana dijelaskan Reis dan Rua (2006) dapat digunakan untuk mengukur keterkaitan antar sektor domestik dan keterkaitan antar perdagangan, dengan cara mendeteksi koefisien keterkaitan pada model input-output.

Model input-output (I-O) pertamakali dikembangkan oleh Leontief pada dekade tahun 1930-an. Salah satu yang sering dibicarakan dari model tersebut ketika berhubungan dengan input-output yaitu dikenal dengan istilah interindustry analysis, hal ini karena tujuan dasar dalam kerangka input-output adalah menganalisis interdependence industry dalam perekonomian. Selanjutnya Leontief mengemukakan bahwa tabel Input-Output dalam analisis perekonomian dan perencanaan pembangunan merupakan bagian dari model General Equilibrium. Model dasar input-output yang telah dikembangkan oleh Leontief tersebut menggambarkan; (1) Struktur perekonomian tersusun atas beberapa sektor yang saling berintegrasi melalui transaksi jual beli antara pemenuhan input dengan penjualan produk; (2) Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya guna memenuhi permintaan akhir; (3) Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya seperti dari rumah tangga (dalam bentuk tenaga kerja), dari pemerintah (dalam bentuk pajak), penyusutan, surplus usaha, serta impor dari wilayah lain. Sedangkan (4) hubungan antara input dan output bersyarat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisis (biasanya dilakukan selama satu tahun) dengan total input sama dengan total output (Nazara, 1997).

Berbagai kelebihan penggunaan tabel Input-Output dalam perencanaan pembangunan diantaranya adalah dapat menjelaskan dengan baik keterkaitan sektor (sectoral linkage), dampak pengganda (multiplier effect), dan tingkat kebocoran wilayah (regional leakages) berbagai sektor dalam perekonomian baik skala nasional maupun wilayah, serta dapat diketahuinya (1) besarnya output dan kebutuhan faktor produksi lain dari satu set permintaan akhir, (2) dapat di prediksi akibat yang ditimbulkan atau perubahan permintaan, baik yang disebabkan oleh sektor pemerintah maupun swasta terhadap perekonomian, (3) perubahan


(1)

Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat

Petani dengan Harga di tingkat Eksportir

Dependent Variable: LOG(PP) Method: Least Squares Date: 08/16/08 Time: 09:38 Sample(adjusted): 2001:02 2006:12

Included observations: 71 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.629486 0.798446 2.040822 0.0452

LOG(PP(-1)) 0.908883 0.050282 18.07570 0.0000

LOG(PX(-1)) 0.044384 0.061203 0.725198 0.4709

R-squared 0.868366 Mean dependent var 7.870841

Adjusted R-squared 0.862472 S.D. dependent var 0.100443 S.E. of regression 0.037249 Akaike info criterion -3.687687 Sum squared resid 0.092962 Schwarz criterion -3.560212

Log likelihood 134.9129 F-statistic 147.3295


(2)

Lampiran 4. Interpretasi Tahapan Dekomposisi Model CMS Ekspor Kayu Manis.

Unsur Dekomposisi Interpretasi

Perubahan Ekspor Perubahan volume ekspor pada seluruh pasar kayu manis dunia.

Dekomposisi Tahap Pertama

1. Efek Struktural Perubahan volume karean perubahan impor dunia. 2. Efek Kompetitif Perubahan volume karena perubahan daya saing

eksportir.

3. Efek Ordo-Kedua Perubahan ekspor karena interaksi perubahan daya saing eksportir dan perubahan impor dunia. Dekomposisi Tahap Kedua

1a. Efek Pertumbuhan Perubahan ekspor suatu negara sebagai atribut kenaikan total ekspor dunia.

1b. Efek Pasar Perubahan ekspor karena perubahan distribusi pasar. Nilai positif menunjukkan konsentrasi ekspor pada pasar dengan pertumbuhan pasar dunia yang cepat atau sebaliknya.

1c. Efek Komoditi Perubahan ekspor karena komposisi jenis mutu di pasar. Nilai positif menunjukkkan konsentrasi ekspor komoditi dengan pertumbuhan komoditi dunia yang cepat atau sebaliknya.

1d. Efek Interaksi Perubahan ekspor karena interaksi distribusi pasar dan jenis mutu spesifik.

2a. Efek Kompetitif Umum Perubahan ekspor karena perubahan daya saing umum dengan struktur ekspor yang tetap.

2b. Efek Kompetitif Spesifik Perubahan ekspor karena interaksi perubahan pangsa ekspor suatu negara dengan perubahan total ekspor dunia.

3a. Efek Ordo-Kedua Murni Perubahan ekspor karena interaksi perubahan pangsa ekspor suatu negara dengan perubahan total ekspor dunia.

3b. Sisaan Struktural Dinamik Perubahan ekspor karena interaksi perubahan struktur ekspor suatu negara dengan perubahan struktur ekspor dunia.


(3)

Lampiran 5. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar

Amerika Serikat

Dependent Variable: LOG(XIAS) Method: Least Squares

Date: 02/15/09 Time: 12:13 Sample: 1979 2006

Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.369038 0.597364 10.66190 0.0000

LOG(PI) -0.750775 0.215091 -3.490502 0.0019

LOG(GDPAS) 1.232560 0.181323 6.797598 0.0000

LOG(RER) 0.470823 0.142069 3.314045 0.0029

R-squared 0.850530 Mean dependent var 9.355073

Adjusted R-squared 0.831846 S.D. dependent var 0.230373 S.E. of regression 0.094468 Akaike info criterion -1.749548 Sum squared resid 0.214181 Schwarz criterion -1.559233

Log likelihood 28.49367 F-statistic 45.52240


(4)

Lampiran 6. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar

Belanda

Dependent Variable: LOG(XIB) Method: Least Squares Date: 02/15/09 Time: 14:42 Sample: 1979 2006

Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 3.045034 0.557595 5.461016 0.0000

LOG(PI) -0.429199 0.077734 -5.521415 0.0000

LOG(GDPBL) 0.555473 0.210490 2.638952 0.0144

LOG(RER) 0.290157 0.065201 4.450173 0.0002

R-squared 0.564203 Mean dependent var 4.417418

Adjusted R-squared 0.509728 S.D. dependent var 0.095567 S.E. of regression 0.066915 Akaike info criterion -2.439217 Sum squared resid 0.107463 Schwarz criterion -2.248903

Log likelihood 38.14904 F-statistic 10.35716


(5)

Lampiran 7. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar

Negara Lainnya atau

Rest of the World

(ROW)

Dependent Variable: LOG(XIR) Method: Least Squares Date: 02/15/09 Time: 15:02 Sample: 1979 2006

Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 8.744618 0.515316 16.96942 0.0000

LOG(PIR) -1.384224 0.331539 -4.175149 0.0003

LOG(GDPR) 0.054181 0.104285 0.519547 0.6081

LOG(RERR) 1.164643 0.344661 3.379097 0.0025

R-squared 0.807033 Mean dependent var 8.717886

Adjusted R-squared 0.782912 S.D. dependent var 0.617730 S.E. of regression 0.287817 Akaike info criterion 0.478583 Sum squared resid 1.988134 Schwarz criterion 0.668898

Log likelihood -2.700164 F-statistic 33.45778


(6)

Lampiran 8. Lokasi Penelitian

Kabupaten Kerinci

Provinsi Jambi