Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke Dan Hutan Lindung Angke Kapuk Dengan Burung Air

HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA
MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK
DENGAN BURUNG AIR

OLEH :
ARIES INDRA SUPARTHA

-PROGRAMPASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGQR
2002

ABSTRAK
ARIES INDRA SUPARTHA. Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa
Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air. Dibimbing
oleh HAD1S. ALIKODRA dan JARWADI B. HERNOWO.
Keberadaan burung air dalam suatu kawasan memiliki hubungan dengan
Dalam penelitian ini dipelajari
komponen-kornponen pembentuk habitat.
hubungan beserta sebaran burung air di Suaka Margasatwa Muara Angke dan
Hutan Lindung Angke Kapuk pada bagian tambak. Komponen-komponen habitat
yang diukur pada setiap titik pengamatan adalah, banyaknya jenis tumbuhan,

banyaknya jenis dan individu pohon dengan tinggi diatas dan dibawah 3 m,
Gosentase penutupan tajuk pohon, prosentase penutupan tumbuhan bawah dan
prosentase perairan terbuka, dan profil vertikal dari plot contoh yaitu banyaknya
lapisan tajuk, pohon tertinggi, terendah dan rata-rata tinggi pohon berdiameter
diatas dan dibawah 12 cm, rata-rata tinggi tumbuhan bawah dan tinggi
bertenggernya burung air, yang mempengaruhinya.
Banyaknya patches (sub habitat) temyata tidak mempengaruhi banyaknya
jenis burung air yang menggunakan habitat tersebut. SM Muara Angke yang
memiliki 16 patches dihuni oleh 27 jenis burung air dengan nilai
keanekaragaman (H') sebesar 2.85, lebih besar dibandingkan HL Angke Kapuk
yang hanya memiliki dua patches dan dihuni oleh 22 jenis burung air dengan nilai
H' sebesar 2,76, tetapi perbedaan keduanya tidak nyata jika diuji melalui uji t.
Dengan menggunakan Analisis Komponen Utama atau Principal Component
Analisis (PCA) dalarn program SAS, diketahui bahwa keberadaan pohon yang
tinggi sebagai tempat beristirahat, dan pohonan sedang dengan turnbuhan
bawah sebagai tempat bersembunyi dan mengintai mangsanya merupakan
komponen habitat utama bagi SM Muara Angke. Sedangkan pepohonan tinggi
yang menjorok ke perairan terbuka dengan luasnya perairan terbuka sebagai
tempat mencari makan dan berjemur, serta keberadaan tumbuhan bawah dekat
SM Muara Angke sebagai tempat bersembunyi dan mencari makan merupakan

komponen utama bagi HL Angke Kapuk.
Melalui dendrogram dengan menggunakan program SAS dapat dilihat
hubungan antar jenis burung dari kedua kawasan, dimana hubungan tersebut
didapatkan berdasarkan sebaran jenis b ~ N n gair dalam PCA. Dengan
perpotongan pada 0,70, lima kelompok bIJNng air dapat dipisahkan pada SM.
Dan pada HL dengan perpotongan 0,45, delapan kelompok burung air
dihasilkan.
Dua puluh sembilan (29) jenis burung air ddumpai pada kedua kawasan,
selain itu 41 jenis burung non air dan burung air yang tidak menetap juga
menggunakan kedua kawasan sebagai tempat bersarang, beristirahat, mencari
makan, tempat persinggahan saat migrasi.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :

"HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA
MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK DENGAN
BURUNG AIR"


'6(

adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Senlua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.

Bogor, 24 Maret 2002

Aries Indra Supartha
Nrp. 9970108

71-

HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA
MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK
DENGAN BURUNG AIR

OLEH :
ARIES INDRA SUPARTHA
IPK 9970108


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan

PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

: HUBUNGAN KOMPONEN HABITAT SUAKA MARGASATWA
MUARA ANGKE DAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK
DENGAN BURUNG AIR
Nama
: Aries lndra Supartha
NRP
: 9970108
Program Studi: llmu Pengetahuan Kehutanan

Judul Tesis


Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

MScF
~ r ~ a6.dHemowo
i
Anggota

Prof. Dr. Ir. ~adi$, Alikodra MS
~etual

*

2. Ketua Program Studi IPK

-

dDodi Nandika MS

Tanggal Lulus: 4 Maret 2002

Mengetahui,
Program Pascasarjana

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 April 1967 dari ayah Dadang
Surya dan ibu Resmining Lotty Akil. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara.
Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bogor dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Sistim Penerimaan Murid Baru. Pada
tahun 1986 penulis memilih Fakultas Kehutanan dan tahun 1988 memilih jurusan
K o n s e ~ a sSumberdaya
i
Hutan. Tahun 1998 penulis diterima di Program Studi
llmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dengan
beasiswa diperoleh dari PT Perhutani.
Penulis bekerja di Unit II Jawa Timur KPH Banyuwangi Barat dan ditempatkan
di Rogojampi Banyuwangi sebagai Asisten Perhutani.

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SVVT atas segala
anugrah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2001 adalah
Konsewasi Sumberdaya Hayati dengan judul Hubungan Komponen Habitat
Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan
Burung Air.
Ucapan terirna kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S.
Alikodra dan Bapak Ir. Janvadi B. Hernowo selaku pembimbing. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Ivan Y. Noor, Yuri Yuriana, Ronald G.
Suitela serta Bapak Naman penjaga kawasan Suaka Margasatwa dan Hutan
Lindung dan masyarakat nelayan sekitar kawasan yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada lbu,
saudara serta lstri tercinta yang rnenemani penulis selama ini beserta segala doa
dan kasih sayang yang diberikan.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 24 Maret 2002
Aries lndra Supartha

DAFTAR IS1
Halarnan

DAFTAR TABEL .......................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................
............................................................................
Perurnusan Masalah
..
Tujuan Penellt~an..................................................................................
Hipotesa .............................................................................................
. . .........................................................;......................

Manfaat penel~t~an

1
3
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove ................................................................................... 5
Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung.................................
8
Burung Air .............................................................................................
13
Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung ................................................
14
15
Keanekaragaman ..................................................................................
METODOLOGI PENELlTlAN
Pernbatasan Masalah ...........................................................................

WaMu dan Lokasi Penelitian ................................................................
Bahan dan Alat .....................................................................................
Pengurnpulan Data ...............................................................................
Analisis Data .......................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luas ....................................................................................................
Kornposisi Habitat Mikro di Kedua Kawasan .......................................
KeanekaragarnanJenis Burung Air ......................................................
Fungsi Habitat Mangrove bagi Burung Air ...........................................
Analisis Hubungan antar Jenis Burung Air dalarn Komunitas ..............
Penggunaan Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung oleh Berbagai
Jenis Burung .......................................................................................

18

18
18
19
21
24

24
30
38
52
57

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...........................................................................................
1......................
Saran .............................................................................

70
72

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

74

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Pernbagian patches yang dijurnpai di SM. Muara Angke .......................

25

2. Hasil pengukuran vegetasi pada patches pidada di Suaka Margasatwa

26

3. Hasil pengukuran vegetasi pada HL. Muara Angke

................................ 27

4. Nilai keanekaragaman jenis burung air di kedua kawasan .....................

30

5. PCA berdasarkan komponen habitat SM. Muara Angke .........................

39

6. PCA berdasarkan komponen habitat HL. Angke Kapuk .......................... 46

7. Pengelompokan burung air dalam menggunakan ruang berdasarkan
PCA Suaka Margasatwa Muara Angke ................................................

52

8. Pengelompokan burung air dalam menggunakan ruang berdasarkan
PCA Hutan Lindung Angke Kapuk .........................................................

53

9. Berbagai jenis burung yang berhubungan dengan mangrove diternukan di
SM. Muara Angke dan HL. Angke Kapuk ............................................... 64

10. Berbagai jenis burung yang dapatmenggunakan tempat selain mangrove
diternukan di SM. Muara Angke dan HL. Angke Kapuk .......................... 65

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Contoh zonasi mangrove di Cilacap

....................................................

7

2 . Sebaran vegetasi dan patches di SM. Muara Angke ..............................

28

3 . Sebaran vegetasi dan patches di HL. Angke Kapuk ...............................

29

4 . Perbandingan jumlah individu dari masing-masing jenis burung air di Suaka
Margasatwa Muara Angke ..................................................................... 31
5 . Perbandingan jumlah individu dari masing-masing jenis burung air di Hutan
Lindung Angke Kapuk ............................................................................ 32
6. Sebaran burung air yang teramati di SM. Muara Angke .........................

33

7 . Sebaran burung air yang teramati di HL. Angke Kapuk ..........................

34

8 . Sebaran burung air dalam PC1 dan PC2 dari Suaka Margasatwa ......... 41
9 . Sebaran burung air dalam PC1 dan PC2 dari Hutan Lindung ................. 48
10. Dendrogmm hubungan antarjenis burung air pada habitat Suaka
Margasatwa Muara Angke .....................................................................

54

11. Dendrogram hubungan antar jenis burung air pada habitat Hutan
Lindung Angke Kapuk .................................................. ;.....................

56

Timur (nipah ke arah belokan
12. Profil vegetasi Suaka Margasatwa Barat .
sungai mati) dan penggunaan ruang oleh burung air ............................ 58
Selatan (menara ke arah sungai
13. Profil vegetasi Suaka Margasatwa Utara .
mati) dan penggunaanruang oleh burung air ........................................ 59
Timur (Utara Suaka Margasatwa) dan
14. Profil vegetasi Hutan Lindung Barat .
penggunaan ruang oleh burung air ......................................................
59
15.Cangak abu dan cangak merah sedang mencari makan di tepian
sungai ...................................................................................................

60

16. Salah satu tempat belibis kembang dan burung air lainnya mencari
makan di Suaka Margasatwa (pandangan dari menara pengamat) .......

61

17. Pecuk padi sedang berjemur pada tunggak pohon di tambak ................ 61
18. Kukuk seloputu. sejenis burung hantu yang ditemukan sedang
bertengger pada pohon pidada di siang hari .......................................... 63
19. Mandar batu. kareo padi dan tikusan alis putih di bawah tegakan waru Suaka
66
Margasatwa ............................................................................................

20. Hamparan lumpur di perumahan PIK yang digunakan berbagai jenis burung
66
air besar ...............................................................................................
21. Kuntul kerbau pada eceng gondok di mulut S. Pandan

......................

67

22. Perairan.terbuka
. pada bekas belokan S.Angke saat eceng keluar setelah
pasang t ~ n g g.......................................................................................
~
67
23 . Profil vegetasi di sekitar menara pengamat Suaka Margasatwa ........

68

24. Perairan terbuka pada tambak Hutan Lindung ...................................

68

25 . Pandangan Suaka Margasatwa Barat .
Timur dari atas menara pengamat
..............................................................................................................
69

DAFTAR LAMPIRAN
Halarnan
1. Pengukuran turnbuhan bawah dengan Line intercept pada Suaka
Margasatwa Muara Angke .....................................................................

80

2 . Pengarnatan vegetasi pada patches pidada di Suaka Margasatwa
Muara Angke ..........................................................................................

81

3 . Pengarnatan vegetasi pada Hutan Lindung Angke Kapuk .....................

82

4 . Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di Suaka Margasatwa Muara
Angke .....................................................................................................

83

5. Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Lindung Angke Kapuk ....

84

6 . Pengamatan burung air di SM. Muara Angke dan HL. Angke Kapuk

.... 85

7. Pengamatan burung di Suaka Margasatwa Muara Angke .....................

86

8 . Pengamatan burung di Hutan Lindung Angke Kapuk .............................

93

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat
perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau
mendapat tekanan yang besar dari masyarakat sekitamya berupa penebangan
secara liar untuk diambil kayunya atau daunnya (Noor, Khazali dan Suryadiputra
1999). Luas hutan mangove yang tersisa sekarang diperkirakan 2,49 - 4,25 juta
hektar (Departemen Kehutanan 1997), sedangkan menurut perhitungan Giesen
(dalam Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999) luas sekarang diperkirakan 2,49
juta hektar dan perkiraan luas pada lima sampai sembilan tahun lalu sebesar
4,13 juta hektar.
Sebagai hutan mangrove yang tersisa di Pantai Jakarta, Suaka Margasatwa
Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk merupakan suatu daerah yang
menyatu, tetapi berada di bawah pengawasan dua departemen yang berbeda
yaitu Departemen Kehutanan untuk SM Muara Angke, dan Pemerintah Daerah
tingkat Satu DKI Jakarta untuk HL Angke Kapuk. Kedua kawasan sekarang ini
dikelilingi oleh perumahan yaitu Perumahan Pantai lndah Kapuk.
Departemen Kehutanan menetapkan SM Muara Angke, sesuai dengan
namanya, sebagai kawasan suaka bagi berbagai jenis burung terutama burung
air dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 7551Kpts-1111998 dengan
luas 25,02 hektar. Sedangkan Pemda DKI Jakarta menjadikan HL Angke Kapuk
sebagai kawasan perlindungan pantai yaitu suatu kawasan yang dikhususkan
sebagai pelindung pantai dari abrasi air laut, intrusi air laut dan sebagainya,
berdasarkan SK Dirjen lnventarisasi dan Tata Guna Hutan No. 08IKptsNII-4/94
dengan luas 44,76 hektar

Hutan mangrove merupakan tempat wisata yang sedang berkembang. Di
negara seperti Thailand dan Australia, hutan mangrove dibangun dengan
mernbuat jalan setapak atau dengan menggunakan perahu, sehingga para
wisatawan dapat rnasuk jauh ke dalam hutan tersebut, kebanyakan wisatawan
yang berkunjung adalah pelajar dan pengarnat burung terutama burung air yang
juga rnerupakan burung migran (Macintosh and Zisrnan 1995).
Pengelolaan hutan mangrove untuk tujuan wisata didasarkan pada hubungan
antara hutan mangrove sebagai habitat dan burung air sebagai target bagi
pengamat burung (bird watcher). Wisatawan jenis ini dapat mencapai 20 - 40%
dari pariwisata internasional, bahkan di negara-negara tertentu seperti Thailand,
India dan Afrika Selatan wisatawan jenis ini dapat mencapai 90% dari total
wisatawan yang berkunjung, sedangkan di Australia dapat mencapai 32%, di
Afrika (selain Afrika Selatan) mencapai 80%, di Arnerika Utara berkisar antara 30

- 64%. dan di Amerika Selatan berkisar antara 9 - 60% (Roe et a1 1997).

Dari

sekian banyak wisatawan ini pengamat burung (bird watcher) menduduki ternpat
tertinggi (Filion et al 1992).
Pentingnya hutan mangrove bagi berbagai jenis burung air, seperti kuntul,
bangau, pecuk dan raja udang adalah karena mangrove merupakan tempat
untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi berbagai jenis
burung air migran (terutarna dari suku Charadriidae dan Scolopacidae), hutan
mangrove sangat penting artinya dalarn perjalanan sebagai tempat beristirahat
dan mencari makan sebelum mencapai tempat untuk berkembangbiak (Noor,
Khazali dan Suryadipura 1999). Avenzora (1988) mendapatkan 61 jenis burung
dengan 22 jenis diantaranya adalah burung air dalarn penelitiannya di Cagar
Alam (sekarang Suaka Margasatwa) Muara Angke

Burung air di hutan mangrove, seperii juga pada lahan basah lainnya,
menggunakan berbagai sub habitat yang ada, yaitu berupa sub habitat
pepohonan, tanah tirnbul, tanah rawang (turnbuhan bawah) dan perairan terbuka
(Alikodra 1997; Alikodra 1990; Mustari 1990).

Perumusan Masalah

Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk
mengalami tekanan yang berasal dari daerah sekitarnya, seperti perumahan,
kampung nelayan rnaupun berbagai bahan beracun berbahaya yang masuk
melalui Sungai Angke. Dengan tekanan yang sedemikian besar kedua kawasan
masih memiliki keanekaragaman burung air yang cukup tinggi, ha1 ini
diperkirakan ada hubungannya dengan kondisi habitat di kedua kawasan
sehingga perlu untuk mengidentifikasi komponen habitat yang berupa komposisi
dan jenis vegetasi baik vertikal maupun horizontal, dan hubungannya dengan
berbagai jenis burung air.
Pengetahuan mengenai hubungan kornponen habitat dengan burung air akan
mempermudah pengelolaan habitat dengan tujuan menarik lebih banyak burung
air yang merupakan satwa target pengamatan di hutan mangrove, dan
mempermudah pengamatan bagi wisatawan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Hubungan Komponen Habitat Suaka Margasatwa
Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air adalah
untuk rnengetahui :

1. Habitat mikro (patches) yang ada baik di Suaka Margasatwa Muara Angke
maupun Hutan Lindung Angke Kapuk,
2. Keanekaragaman jenis burung air yang bukan jenis burung air migran dari

Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk,
3. Hubungan berbagai jenis burung air dengan habitatnya, dengan melihat

penggunaan berbagai kornponen habitat pembentuk habitat di kedua
kawasan.

Hipotesa

Semua jenis burung air menggunakan paling tidak dua sub habitat yang ada di
Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan pertirnbangan bagi pengelola, terutama jika hutan mangrove
tersebut akan direhabilitasi, dimana dari data hasil penelitian ini dapat
diketahui kondisi habitat yang bagaimana yang disukai burung air sebagai
satwa target,

2. Menyediakan data bagi perencana pengembangan tapak dalam ekowisata,
sehingga jalur-jalur yang dibuat dapat melalui tempat-tempat yang disukai
oleh burung target, disamping mengatur pengunjung untuk rnenghindarkan
tekanan yang dapat mengganggu satwa tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan hutan di tepi pantai berlurnpur yang sangat
penting dan hanya ada pada kedudukan antara 32' lintang Utara dan 38" lintang
Selatan, yaitu antara Bermuda (32'20' lintang Utara) dan Selandia Baru (3B003'
lintang Selatan), rnenyebar dari pantai Barat dan Timur Afrika hingga pantai
Barat Amerika, kecuali pada berbagai pulau di laut Pasifik (Spalding eta/ 1997).
Mangrove dalam konvensi lahan basah Rarnsar merupakan bagian dari lahan
basah, dimana definisi lahan basah dalarn apendik A dari konvensi lahan basah
Ramsar (Ramsar 1999) adalah daerah rawa-rawa, kerangas, rawa-rawa berair
asin atau payau (terrnasuk mangrove), baik terjadi secara alami rnaupun buatan,
perrnanen rnaupun temperer, dengan air yang diam atau rnengalir, berair tawar,
payau rnaupun asin dan daerah tepi pantai dengan pasang surut kurang dari
enam meter, termasuk daerah tepi sungai, pantai berkarang, dan laut dengan
kedalaman lebih dari enam meter yang berada diantara lahan basah lainnya.
Hutan mangrove sangat penting bagi keberadaan ekosistem pantai. Serasah
dari berbagai daun clan ranting yang jatuh dari berbagai jenis tumbuhan di hutan
mangrove rnenyediakan makanan bagi lingkungan laut, merupakan sumber
energi bagi berbagai jenis kehidupan di laut dan merupakan penunjang bagi
rantai makanan di pantai dan laut (Quarto 2000).
Menurut Tomlinson (Quarto 2000), hutan mangrove tersusun dari 16-24 famili
dan 54-75 jenis tumbuhan.

Menurut Ellison (Macintosh and Zisman 1995)

mangrove asii berupa pohon dan tumbuhan bawah rneliputi 80 jenis, dengan 5060 jenis merupakan penyusun struktur hutan, dengan jenis terbanyak berada di
Asia Tenggara (kira-kira mencapai dua per tiga dari jenis-jenis yang ada).

Menurut Spalding et a1 (1997) luas hutan mangrove di dunia adalah 181.077
krnz atau 18.107.700 ha dengan luas hutan di lndonesia mencapai 4.542.100 ha,
dan rnenurut Aksormkoae (2000), luasnya rnencapai 18.148.000 ha dengan luas
hutan di lndonesia hanya 2.500.000 ha, sedangkan menurut Departemen
Kehutanan (1997) luas hutan mangrove di lndonesia mencapai 3.533.000 ha.
Menurut Departernen Kehutanan (1997), 1.099.400 ha dari luasan hutan
mangrove di lndonesia rnerupakan kawasan konservasi. Sebagian kawasan
konservasi hutan mangrove telah mengalami kerusakan maupun penurunan
mutu akibat dari berbagai gangguan.

Kondisi hutan mangiove yang paling

mernprihatinkan berada di Pulau Jawa, dirnana luas hutan mangrove di pulau
Jawa tinggal 18.077 ha.
Mangrove asii menempati daerah yang dibatasi oleh pasang surut air laut, dan
dalam kondisi yang optimal biasanya dapat diternukan pada muara sungai dan
teluk yang terlindung di daerah tropis dengan tinggi pohon dapat mencapai 45 m
(Watson dalam Macintosh and Zisman 1995).
Menurut Sukardjo (1997), struktur komunitas mangrove yang berupa zonasi,
bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Secara urnum struktur kornunitas
mangrove digambarkan dalarn zonasi suksesi kearah darat sebagai berikut:

.

Avicennia/Sonneratia

-

Rhizophora

-

BruguieralCeriops - Oncospenna

(Sukardjo 1999). Sedangkan rnenurut Chapman (Sukardjo 1992), di lndo-Pacific
zonasi tersebut rnengikuti susunan Avicennia albaYSonneratia alba (dorninan
yang berhadapan langsung dengan laut) - Rhizophora, Bruguiem dan
Xylocarpus (pada rawa di belakang bagian dorninan) - Lumnitzera dan Avicennia
(pada bagian darat yang lebih kering)

-

Nypa Fruticans dan Sonneratia

caseolaris (pada zona transisi yang dipengaruhi air tawar).

Gambar 1. Contoh zonasi mangrove di Cilacap (sumber : Noor, Khazali & Suryadiputra 1999
setelah White dkk 1989)
Hubungan antara zonasi dan suksesi telah diperdebatkan sejak lama oleh para
ahli, dimana banyak ahli rnenyangsikan bahwa zonasi dibentuk berdasarkan
suksesi jenis.

Perkernbangan terakhir rnernperkirakan, bahwa zonasi suksesi

pada mangrove adalah respon ekologis mangrove dari berbagai faktor ekternal
vegetasi tersebut yang kompleks terhadap berbagai faktor lingkungan, daripada
perkembangan berdasarkan waktu (van Steenis dalarn Sukardjo 1992;
Tornlinson 1986; FA0 1994).
Karena zonasi sering tidak dapat diketahui dengan pasti, Sukardjo (1992), dari
hasil penelitiannya di berbagai ternpat rnenyirnpulkan, bahwa mangrove daerah
Indo-Pacifik Barat dapat dibedakan rnenjadi 1) Hutan di sepanjang sungai, 2)
Hutan pada delta sungai, biasanya terdapat pada areal rnuara yang kornpleks,

3) Hutan yang berhadapan langsung dengan laut pada pantai yang terlindung, 4)
Hutan rendah, biasanya berupa tegakan yang rnasih rnuda pada harnparan
lurnpur, hamparan koral dan lain-lain yang berbatasan langsung dengan laut, dan
5) Mangrove kate pada pantai yang sangat kering.

Di berbagai ternpat, mangrove yang berbatasan dengan daratan (landwanl)
dan tepian sungai sering dipenuhi oleh rurnput dan turnbuhan bawah. Sukardjo

(1987; 1990), dalarn penelitiannya di Delta Cirnanuk dan berbagai ternpat di
Pulau Jawa rnendapatkan bahwa bagian ini dipenuhi oleh prurnpung (Cyperus

rnalaccensis dan Scirpus littoralis), Panicurn repens, Paspalurn cornmersonii dan
P. vaginaturn, dengan tegakan berbagai jenis pepohonan mangrove tersebar
tidak rnerata.

Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung

Morrison et a1 (1992) rnenjelaskan bahwa penelitian tentang hubungan
satwaliar dengan habitatnya dimulai dari keingintahuan rnanusia akan interaksi
satwaliar dengan lingkungannya.

Penelitian-penelitian tersebut selanjutnya

rnendapatkan apa yang dikenal sebagai hubungan secara ekologis (ecological

relationships). Pada awalnya hubungan tersebut digambarkan sebagai sebaran
satwaliar dalarn berbagai tingkatan lingkungan atau tingkatan kornunitas
vegetasi, baik berupa perbedaan ketinggian rnaupun tingkatan suksesi.
Penelitian Hernowo dan Prasetyo (1989), rnendapatkan bahwa kornposisi dan
struktur vegetasi rnernpengaruhi jenis dan jurnlah burung yang terdapat pada
suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung rnernpunyai relung
yang berbeda dan kornposisi jenis vegetasi yang beragarn cenderung
rnernpunyai kernarnpuan untuk rnenarik lebih banyak jenis burung.
Menurut Orians (1969), banyaknya jenis burung dapat berbeda-beda
tergantung pada karakteristik lingkungannya, selain itu struktur dari vegetasi
yang ada, terutarna distribusi vertikal, rnerupakan ha1 yang penting bagi
penyebaran keanekaragarnan jenis burung.

Tornoff (1974) pada penelitiannya mengenai keanekaragaman jenis burung di
berbagai semak gurun rnenunjukkan, bahwa rnakin kompleks suatu habitat dapat
rnenyebabkan rneningkatnya jenis dan banyaknya burung. Menurut James dan
Warner (1982), pada daerah temperate jenis dan banyaknya burung akan rnakin
rneningkat seiring dengan meningkatnya keanekaragarnan jenis dan lapisan tajuk
vegetasi hutannya, juga dengan rnenurunnya jenis daun jarum.
Menurut Orians (1969), pada vegetasi temperate di Utara, struktur vegetasi
yang teibaik dapat dibagi ke dalarn tiga lapisan yaitu 0 - 0,6 rn, 0,6 - 7,6 rn dan
diatas 7,6 rn, sedangkan di Panama yang merniliki keanekaragaman jenis burung
yang lebih tinggi, struktur vegetasinya dapat dibagi atas ernpat lapisan yaitu 0

-

-

0,6 rn, 0,6 3,O rn, 3,O - 15,2 rn dan diatas 15,2 rn. Pernbagian struktur vegetasi
secara vertikai tersebut didasarkan pada kegiatanlperilaku rnencari rnakan.
kawin, bersarang dan berbagai kegiatan lainnya.
Penelitian lanjutan rnengenai hubungan satwaliar dan habitatnya rnernbuat
para peneliti sadar bahwa distribusi berbagai jenis satwaliar ternyata tidak dapat
dijelaskan hanya dengan dasar perbedaan iklim dan surnberdaya penting saja
(Morrison et a1 1992). Dari berbagai penelitian rnengenai burung, David Lack
(dalarn Morrison eta1 1992) rnenemukan bahwa burung rnemerlukan kornbinasi
lingkungan yang tepat untuk dapat rnernpertahankan hidupnya, konsep ini
selanjutnya disebut sebagai seleksi habitat (habitat selection). Penelitian terus
beilanjut sarnpai diternukannya konsep relung (niche), dimana seleksi habitat
tidak hanya dipengaruhi lingkungan tempat hidupnya tetapi dipengaruhi juga oleh
persaingan dalarn jenis, persaingan antar jenis dan keberadaan predator
Menu,rut Morrison, et a1 (1992) lebih lanjut, salah satu aspek dari penyebaran
habitat yang sangat rnernpengaruhi populasi dan kernarnpuan berkernbang biak
satwa liar, adalah karena terjadinya fragrnentasi habitat yang rnenyebabkan

meningkatnya isolasi terhadap suatu habitat satwa liar, dan menurunnya ukuran
habitat yang menjadi tempat berkembang biak dan mencari makan satwa liar
(resources patches). Fragmentasi habitat menyebabkan akibat yang berbedabeda untuk setiap jenis satwa liar, terhadap jenis satwa yang menyukai kondisi
"intenof, yaitu suatu tempat yang berada di dalam suatu habitat yang jauh dari
batas pertemuan habitat (edge), akan menyebabkan menurunnya populasi, tetapi
pada jenis satwa yang menyukai kondisi edge, ha1 tersebut dapat meningkatkan
populasinya.
Penelitian Hawrot dan Niemi (1996) memperlihatkan hubungan antara
banyaknya edge, yaitu sentuhan antara habitat tersebut dengan habitat lainnya,
luasnya habitat (Patch size) dan bentuk dari habitat (Patch shape) sangat
mempengaruhi banyaknya jenis burung yang menggunakannya. Banyaknya
edge mempengaruhi banyaknya komponen habitat yang membentuk habitat
tersebut, ha1 ini menjadikan habitat tersebut makin kompleks sehingga makin
banyak jenis burung yang menyukai kondisi edge menggunakan habitat tersebut.
Luasnya habitat mempengaruhi besarnya daya dukung habitat tersebut sehingga
makin luas habitat tersebut, makin banyak jenis
menggunakannya.

burung yang dapat

Sedangkan bentuk habitat dipengaruhi oleh habitat

sekitamya, biasanya bentuk habitat makin kompleks jika makin banyak habitat
lain disekitarnya, ha1 ini mempengaruhi banyaknya edge sehingga membentuk
habitat yang makin kompleks.
Berbagai penelitian yang dilakukan di Afrika, Amerika Tengah d a n ' ~ s i aTropis
menunjukkan bahwa berbagai jenis burung yang menggunakan hutan mangrove
berasal dari zona temperate baik dari Selatan maupun Utara daerah tersebut
(Lefebvre et a1 1994).

Menurut Saenger et a1 dalarn F A 0 (1994) sebanyak 150 - 250 jenis burung
rnenggunakan mangrove sebagai habitatnya, 65 jenis dari burung tersebut
rnerupakan jenis langka atau terkikis. Ford dalarn Hutchings and Saenger (1987)
rnenyebutkan bahwa di beberapa daerah banyak jenis burung hanya
menggunakan hutan mangrove sebagai ternpat hidupnya, sernentara pada
daerah geografis lainnya jenis-jenis tersebut rnalah tidak terdapat pada hutan
mangrove.
Di Australia lebih dari dua ratus jenis burung diternukan pada hutan mangrove,
14 jenis diantaranya rnerupakan jenis yang hanya dapat dilihat di hutan
mangrove, 12 jenis rnenggunakan mangrove sebagai habitat utamanya, dan 60
jenis menggunakan hutan mangrove pada rnusirn-musirn tertentu saja (Hutchings
and Saenger 1987).
Berbagai penelitian di hutan mangrove di Indonesia rnemperlihatkan
pentingnya hutan mangrove bagi berbagai jenis burung air. Alikodra (1990) pada
penelitiannya tahun 198911990 mencatat 28 jenis burung air terdapat di Muara
Cirnanuk dan 30 jenis burung air tercatat di Segara Anak. Sedangkan Mustari
(1990), dalarn penelitiannya di hutan mangrove Delta Cirnanuk menernukan 59
jenis burung, 28 jenis diantaranya merupakan burung air, dan dari 28 jenis
burung air tersebut 12 jenis diantaranya rnerupakan jenis burung wader rnigran.
Burung air rnenggunakan habitat pada tanah tirnbul dan rawang sebagai tempat
mencari rnakan, sedangkan habitat bervegetasi hutan rnanggrove digunakan
sebagai ternpat istirahat dan berlindung.
Menurut Hutchings and Saenger (1987), keberadaan berbagai jenis satwa,
terutarna burung air, di mangrove tarnpaknya dipengaruhi oleh keberadaan dua
tipe habitat, yaitu: 1) habitat rawa asin pasang surut yang teriindung, dan 2)
tegakan hutan mangrove. Kornpieksnya habitat mangrove dan letaknya diantara

daratan dan lautan (berupa koridor), rnenarik berbagai jenis burung air. Menurut
Sukardjo (1992), berbagai jenis burung air yang rnenggunakan mangrove erat
hubungannya dengan adanya pepohonan dan turnbuhan bawah sebagai
pelindung, ternpat beristirahat dan bersarang, dan perairan terbuka dengan
hamparan lurnpur sebagai teypat rnencari rnakan.
Menurut Alikodra (1997) dalarn usaha rnernpertahankan burung air di habitat
rawa, dimana hutan mangrove terrnasuk di dalamnya, ditentukan tiga zona
pengelolaan, yaitu zona bervegetasi pohon,, turnbuhan bawah dan perairan
terbuka.

Masing-masing zona berperan dalarn mernpertahankan keberadaan

burung air. Zona bervegetasi pohon digunakan sebagai ternpat bersembunyi,
tidur dan beristirahat, zona turnbuhan bawah digunakan oleh berbagai janis
burung air sebagai ternpat bersarang dan bersernbunyi, sedangkan zona
perairan terbuka digunakan sebagai ternpat rnencari rnakan, bermain dan
rnengasuh atau rnembesarkan anak bagi berbagai jenis itik liar.
Hutan mangrove yang rnerupakan daerah pasang-sunrt rnerupakan ternpat
yang cocok bagi perlindungan berbagai jenis burung dimana beberapa jenis
burung tersebut rnerupakan jenis burung migrant (FA0 1994).
Konvensi Rarnsar di Iran tahun 1971 (Rarnsar 1999) rnenetapkan bahwa lahan
basah (terrnasuk di dalamnya hutan mangrove) dapat diakui penting secara
lnternasional jika di dalarnnya rnendukung kehidupan jenis-jenis terkikis, harnpir
punah atau berada dalam keadaan kritis atau komunitas yang secara ekologis
terancarn, atau yang mendukung jenis tanarnan dan atau satwa penting untuk
rnernelihara keanekaragarnan jenis biologis dari daerah biogeografili tertentu,
dan atau rnendukung kehidupan jenis-jenis tanarnan dan satwa yang dalam
kehidupannya memerlukan ternpat tersebut, rnisalnya burung-burung rnigra~~t

yang memerlukan hutan mangrove sebagai tempat

benstirahat dalam

perjalanannya menghindari musim dingin atau sebagai tempat bersarang.
Burung Air
Burung merupakan satwa yang telah berkembang selama seratus lima puluh
juta tahun yang lalu. Dimulai sejak reptil terbang Archaeopteryx lithografica,
yang fosilnya ditemukan pada lapisan Pleitosen, hingga tercipta 28 Ordo, 155
famili dengan lebih dari 8.000 jenis burung yang dikenal dewasa ini (Scott 1989).
Penyebaran burung meliputi seluruh Dunia, kecuali di pusat Benua Antartik,
rnulai dari Gurun Gobi yang selalu panas dan kering hingga ke Pegunungan
Himalaya dan Andes yang selalu tertutup salju, dari Katulistiwa hingga Kutub
Utara dan Selatan (Peterson 1983).
Di Pulau Jawa dan Bali terdapat sebanyak 494 jenis burung dengan 368 jenis
merupakan jenis yang menetap dan sisanya sebanyak 126 jenis merupakan jenis
burung migrant, yang kebanyakan merupakan jenis burung air (MacKinnon
1990). Jenis-jenis burung tersebut merupakan sebagian dari 234 jenis burung
migrant di Asia-Pasifik, dari total 404 jenis burung air yang merupakan
pengunjung dari, paling tidak, 57 negara di Asia Pasifik region (Asia-Pasific
Migratory Waterbird Conservation Committee).
Definisi burung air dari konvensi Ramsar (Mundkur and Matsui 1997; Rose and
Scott 1994) adalah, jenis-jenis burung yang secara ekologis hidupnya sangat
tergantung pada lahan basah, baik dalam mencari makan, minum, istirahat dan
berlindung, serta berbagai aktifitas yang berhubungan dengan air. .lenis-jenis
burung air di Indonesia berasal dari suku Podicididae, Phalacrocoracidae,
Anhingidae, Pelacanidae, Ardeidae, Ciconiidae, Threskiomithidae, Anatidae.
Gruidae, Rallidae, Heliomithidae, Jacanidae, Rostrulatidae, Haernatopodidae,

Recurvirostridae, Burhinidae dan berbagai jenis burung migrant jenis wader dari
suku Charadriidae dan Scalopacidae, juga sebagian dari suku Alcedinidae.
Cangak abu (Ardea cinerea), cangak rnerah (A. purpurea), kowak rnaling
(~ycticoraxnycticorax), kuntul besar (Egrefta alba), kuntul perak (E. intermedia),
kuntul kecil (E. garretfa), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kokokan laut (Butorides
striatus), blekok sawah (Ardeola speciosa), pecuk padi (Phalacrocorax
sulcirostris), pecuk hitarn (P. niger), pecuk ular asia (Anhinga melanogasfer),
bangau

bluwok

(Mycteria

cinerea),

ibis

cucuk

besi

(Threskiornis

melanocephalus), barnbangan kuning (lxobrychus sinensis), itik benjut (Anas
gibberifrons), kareo padi (Amauromis phoenicurus) dan tikusan rnerah (Porzana
fusca), rnerupakan jenis-jenis burung air yang diternukan bersarang, berlindung
atau rnencari rnakan di hutan mangrove (Pakpahan 1993; Mustari 1990) .
Barnbangan, rnandar, kareo dan tikusan rnencari rnakan berupa pucuk muda
berbagai turnbuhan bawah, biji-bijian, cacing, serangga air, ulat dan keong.
Pecuk, kuntul dan cangak bersarang di berbagai pepohonan dan rnencari rnakan
di harnparan lurnpur dan perairan terbuka berupa ikan, serangga air, vertebrata
kecil dan keong.

Bebek dan belibis rnenggunakan perairan terbuka dan

harnparan lurnpur berturnbuhan bawah untuk rnencari rnakan dan berlindung,
rnakanan jenis ini berupa biji-bijian, pucuk rnuda tanarnan air, serangga, cacing
dan berbagai jenis invertebrata (Pakpahan 1993; MacKinnon 1990; MacKinnon
dkk 2000).
Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung
International Union for Conservation o f Nature and Natural Resources (IUCN)
(1994) rnendefinisikan kawasan konservasi sebagai suatu areal daratan danlatau
lautan yang secara khusus dirnaksudkan untuk rnelindungi dan rnernelihara

keanekaragarnan hayati, surnber daya alarn lainnya dan kebudayaan seternpat.
Sedangkan Indonesia sendiri, dalarn definisi yang dibuat oleh Departernen
Kehutanan dan Perkebunan rnenyatakan bahwa kawasan konservasi adalah
suatu kawasan hutan yang karena keadaannya perlu dikonservasi (dilindungi,
diawetkan dan dirnanfaatkan secara lestari) sehingga keberadaan kawasan
tersebut dapat rnendukung terselenggaranya proses-proses ekologis yang
penting bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.
Dalarn Undang-undang (UU) no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Surnber
Daya Alarn Hayati dan Ekosisternnya; Suaka Margasatwa rnerupakan bagian dari
kawasan konservasi, dirnana definisi Suaka Margasatwa rnenurut UU no 5 tahun
1990 adalah kawasan suaka alarn yang rnernpunyai ciri khas berupa
keanekaragarnan danlatau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pernbinaan terhadap habitatnya. Sedangkan Hutan
Lindung tidak terrnasuk dalarn UU no 5 Tahun 1990 tetapi diuraikan dalarn
KEPRES no 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dirnana
definisi yang diberikan adalah kawasan hutan yang rnerniliki sifat khas yang
marnpu rnernberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya
sebagai pengatur tata air, pecegah erosi serta rnernelihara kesuburan tanah
(Direktorat Jenderal PHPA 1996).
Keanekaragaman
Menurut Odurn (1971), keanekaragaman rnerupakan ha1 yang paling penting
dalarn rnernpelajari suatu kornunitas baik turnbuhan rnaupun hewan. Seorang
peneliti akan rnengalarni kesulitan dalam rnenganalisa struktur kornunitas secara
global karena rnengidentifikasi sernua organisrne dalam kornunitas rnerupakan
ha1 yang'tidak rnungkin dilakukan (Odurn 1971; Morrison et a1 1992). Sebaiknya
seorang peneliti rnengelornpokkan kornunitas yang ada dalarn taxa, ordo atau

klas yaitu penggolongan dari hewan dan turnbuhan, rnisalnya dari hewan,
pernbagiannya berupa rnarnalia, reptil atau burung.
Menurut Mac Arthur (1984) keanekaragarnan jenis ditentukan oleh luas
kawasan yang rnerupakan hubungan antara kawasan dengan keanekaragarnan
habitat dan keanekaragarnan habitat dengan keanekaragarnan jenis di
dalarnnya. Keanekaragarnan jenis akan berubah-ubah rnenurut waktu, dimana
berbagai jenis datang dan pergi hingga rnencapai titik keseirnbangan.
Pada dasarnya konsep keanekaragarnan secara urnurn dapat dibagi kedalarn
dua kornponen yaitu banyaknya jenis (species richness) atau dapat juga disebut
kekayaan jenis dan distribusi individu dalarn tiap jenisnya (evenness), yang
seringkali disebut equitability atau gabungan keduanya atau disebut juga
keanekaragaman (diversity) (Morrison et a1 1992; Krebs 1978). Pengukuran
distribusi individu dalarn tiap jenis rnenjadi penting, karena dapat terjadi pada dua
ternpat yang sarna keanekaragarn jenisnya tetapi sebaran individu dalarn tiap
jenisnya berbeda maka kedua ternpat tersebut dapat sangat berbeda.
Menurut Perrins dan Birkhead (1983). rnakin. sedikit jenis akan rnakin
rnernpertinggi jurnlah individu per jenis yang rnenggunakan suatu kawasan, jika
ha1 tersebut terjadi rnaka kornpetisi antar jenis akan berkurang tetapi kornpetisi
antar individu dalarn setiap jenisnya akan bertarnbah.
Berbagai

prinsip

ekologi

yang

penting

tercakup

dalarn

konsep

keanekaragarnan ini. Tarnpaknya konsep keanekaragarnan digunakan oleh pa'ra
ahli ekologi sebagai cara untuk melihat kernungkinan system feedback, karena
rnakin tinggi keanekaragarnan akan rnakin rnernperpanjang rantai makanan dan
rnernpertinggi kernungkinan simbiosis

baik

rnutualisrna,

kornensalisrna,

parasitisma dan lain-lain dan rnernpertinggi kernungkinan rnengendalikan hal-ha1

yang negatif (Odurn 1971; Magurran 1983). Konsekuensi dari ha1 ini adalah
bahwa suatu kornunitas yang stabil rnisalnya yang rnerniliki cuaca yang relative
lebih teratur akan rnerniliki keanekaragarnan yang lebih tinggi, dibandingkan
dengan yang yang rnerniliki cuaca yang lebih beragarn atau terganggu oleh
berbagai kegiatan rnanusia (Odurn 1971; Krebs 1978).
Alikodra (1990) dalarn penelitiannya di hutan mangrove Muara Cirnanuk
rnendapatkan 23 jenis burung air, dengan indeks keanekargarnan tertinggi
terdapat pada hutan rawang (H'= 2,5296), habitat tanah tirnbul (H'= 2,4246) dan
yang terendah adalah hutan mangrove (H'= 2,1810). Sedangkan Mustari (1990)
dalarn penelitian di Delta Cirnanuk rnendapatkan indeks keanekaragarnan burung
air tertinggi terdapat di hutan mangrove (H'= 2,9873), tanah rawang di ernpang
parit (H'= 2,7558) dan tanah tirnbul (H'= 2,5226). Avenzora (1988) rnendapatkan
61 jenis burung dengan 22 jenis diantaranya adalah burung air dalarn
penelitiannya di Cagar Alarn (sekarang Suaka Margasatwa) Muara Angke,
dengan indeks keanekaragarnan (H'= 3,353).
~eanekaragarnan yang rnakin tinggi rnerupakan cerrninan dari stabilnya
kornunitas, artinya setiap jenis atau bahkan individu telah rnerniliki ternpat
tersendiri dalarn habitatnya tersebut'(niche), sehingga jika terdapat gangguan
sekecil apapun akan rnengganggu stabilitas tersebut. Rentannya hutan tropis
yang rnerniliki keanekargarnan tinggi rnisalnya, disebabkan oleh sebaran individu
per jenisnya relatif lebih rnerata tetapi kebanyakan dari jenis-jenis tersebut
rnerniliki individu per jenis yang sedikit sehingga jika gangguan tersebut terjadi
pada niche jenis-jenis tersebut maka jenis tersebut dapat punah, sedangkan jenis
yang dorninan yaitu yang rnerniliki individu perjenis yang lebih banyak akan lebih
bertahan (Odurn 1971; Krebs 1978; Kreb 1989).

METODOLOGI PENELITIAN
Pembatasan Masalah

Penelitian Hubungan Kornponen Habitat Suaka Margasatwa Muara Angke
dan Hutan Lindung Angke Kapuk dengan Burung Air selarna enarn bulan adalah
untuk rnengetahui :
1. Habitat rnikro (patches) yang ada di S. M. Muara Angke dan H. L. Angke
Kapuk,
2. Keanekaragarnan jenis burung air pada S. M. Muara Angke dan H. L. Angke
Kapuk,
3. Hubungan berbagai jenis burung air dengan habitatnya, dengan rnelihat

penggunaan berbagai kornponen habitat pernbentuk habitat di kedua
kawasan.
Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selarna 6 bulan di lapangan, pada bulan Juni sarnpai
Desernber 2001, dengan lokasi di Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan
Lindung Angke Kapuk terutarna pada bagian tarnbak yang rnasih digunakan.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalarn penelitian ini rneliputi:
a. Peta dan potret udara S. M. Muara Angke dan H. L. Angke Kapuk,
b. Binokuler (teropong) 7x50 rnrn

c. Karnera SLR, lensa tele 200 rnrn beserta film-nya
d. Alat pengukur waktu

e. Sunto

f. Meteran berukuran 50 m
g. Alat perekam suara burung beserta kasetnya
h. Kompas
i. GPS (Global Positioning System)
j. Buku pengenal jenis burung (MacKinnon, Phillipps dan van Balen 2000)
Pengumpulan Data

Jenis data dan inforrnasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:

Data Primer
a. Jenis-jenis burung air dan kelimpahannya di S. M. Muara Angke dan H. L.
Angke Kapuk. Pengamatan burung dilakukan dengan menggunakan jalur
yaitu pengamatan yang dilakukan dengan berjalan dari satu titik ketitik lainnya
(Buckland et a1 1992), setiap individu burung air yang dapat diamati secara
langsung maupun suaranya, dicatat baik frekuensinya maupun kegiatan yang
dilakukan dan diplotkan kedalam peta beserta ketinggian burung tersebut
menggunakan titik tersebut. Aktiiitas penggunaan habitat yang dicatat antara
fain aktiiitas rnakan, beristirahat, berlindung dan lain-lain (Rotenberry and
Wiens 1981). Pengamatan dilakukan 2 kali setiap minggu dalam cuaca yang
baik.
b. Pengukuran habitat dilakukan adalah:
Pengukuran lansekap
Pengukuran lansekap dilakukan dengan mengukur batas masing-masing
tipe-tipe vegetasi, yang ditentukan berdasarkan penampakannya dan jenis
vegetasi yang terbanyak, dan memplotkan-nya ke dalam peta.

Pengukuran vegetasi
Pengukuran vegetasi dilakukan pada tiap-tiap jenis lansekap dengan
*

rnenggunakan plot berukuran 20 x 20 rn untuk pohon, 10 x 10 m untuk
tiang, 5 x 5 rn untuk pancang dan 1 x I rn untuk sernai, dan untuk
turnbuhan bawah digunakan metode line intercept dengan panjang garis
tergantung pada luas patches (purposife sampling) (Mueller-Dornbois
1974).

Penggunaan habitat baik secara horizontal dan vertikal dari

vegetasi pada tiap-tiap titik pengarnatan, yang berupa titik pertemuan
dengan burung air, diambil dengan jari-jail 11,4 rn (0,04 ha) (Raphael 1980;
Noon 1980). Profil horizontal yang diukur adalah banyaknya jenis vegetasi
yang ada dengan rnenganalisanya secara langsung rnaupun rnelalui
contoh herbarium yang diidentifikasikan di Herbarium Bogoriense,
banyaknya jenis dan individu pohon yang tingginya diatas dan dibawah 3 rn
dan prosentase rata-rata penutupan tajuk dari pohon, prosentase
penutupan tumbuhan bawah dan prosentase perairan terbuka.
Sedangkan profil vertikal yang di ambil adalah banyaknya lapisan tajuk,
pohon tertinggi, terendah dan rata-rata tinggi pohon yang berdiarneter
diatas dan dibawah 12 cm dan rata-rata tinggi pohon turnbuhan bawah,
serta tingginya bertengger burung yang diternukan

Data Sekunder
a. Peta dan potret udara S. M. Muara Angke dan H. L. Angke Kapuk,
b. Data vegetasi,
c. Data lain yang dianggap perlu dan rnenunjang penelitian ini, rnisalnya data
penelitian terdahulu.

Analisis Data

Perhitungan jumlah dari tiap jenis burung dalam masing-masing plot
rnenggunakan nilai kelirnpahan tiap jenis (pi)(van Balen 1984), yaitu:

Keterangan:
ZSpi = banyaknya burung jenis i
ZSp = banyaknya burung dari sernua jenis
Nilai pi ini juga menunjukkan dominansi, jika nilainya > 0,05 merupakan jenis
dominan, nilai diantara 0,02 - 0,05 rnerupakan jenis sub-dorninan dan nilai <
0,02 merupakan jenis yang jarang (van Helvort dalam van Ballen 1984).

Nilai keanekaragaman kedua kawasan dihitung dengan menggunakan indeks
keanekaragaman (H') (Odum 1971; Legendre and Legendre 1983), yaitu:

Untuk membandingkan indeks keanekaragaman kedua kawasan dilakukan uji

t (Magurran 1983), dengan t ~ didapat
,
dari

f=

H;- H;

(VarH;+ Var H;)"~

nilai Var H'didapat dari

CPi(hpi)2-&~i~~i)2
S-1
+2N2
N

Var H'=

dirnana N adalah banyaknya individu diternukan dan S adalah banyaknya jenis
yang diternukan, selanjutnya nilai t tersebut dibandingkan dengan nilai tkkl
dengan derajat bebas ditentukan dengan rnenggunakan rumus

Jika thitu, 2 ttabel rnaka keanekaragaman kedua kawasan berbeda secara
nyata, tetapi bila thitung< tkbel rnaka keanekaragaman kedua kawasan tidak nyata
(tidak signifikan).
Untuk mengetahui struktur komunitas burung dalam setiap tipe vegetasi
dihitung nilai keseragarnan antar jenis burung (e) (Pielou 1969; Odurn 1971;
Ludwig and Reynolds 1988; Krebs 1989, ), sebagai berikut:

Keterangan:
e = lndeks keseragaman atau J' dalam Pielou (1969)
S = banyaknya jenis burung dalam satu tipe vegetasi
Sebaran penggunaan komponen habitat dan sebaran burung air dianalisa
dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component
AnalysislPCA) (Carey 1980; Rotenberry and Wiens 1980) dengan bantuan
program pengolahan statistik SAS (Statistical Analysis System) (Maurer e l a/
1980; Afifi and Clark 1996; Susetyo dan Aunuddin 1992; SAS Institute lnc 1987).
Untuk rnengetahui hubungan antara komponen habitat dengan berbagai jenis
burung air yang menggunakan kedua kawasan, dilakukan analisa juga dengan
dengan penekanan
PCA, dan hanya PC dengan nilai vector ciri (eigenvecfod 2 I,

pada dua PC pertama yang rnemiliki nilai total penggunaan kornponen habitat
yang terbesar yang akan ditampilkan, dan dibandingkan dengan peta sebaran
individu burung air (Rotenberry and Wiens 1980; Morrison et al 1992; Ludwig and
Reynolds 1988).
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antar jenis burung air dalam
rnenggunakan kedua kawasan, dilakukan dengan menggunakan dendrogram
dari pengelompokan hasil dari PCA dengan menggunakan cluster metoda
average dalam SAS (Maurer et a1 1980; Afifi and Clark 1996; Susetyo dan
Aunuddin 1992; SAS Institute lnc 1987).

HASlL DAN PEMBAHASAN
Luas

Surat Keputusan Menteri .Kehutanan dan Perkebunan Nomor 755lKpts-1111998
tentang Perubahan Fungsi Kelompok Hutan Hutan Angke Kapuk dari Cagar Alam
Muara Angke Menjadi Suaka Margasatwa dengan luas 25,02 ha, dan Surat
Keputusan Dirjen lnventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor 08IKptsNll-4/94
rnenetapkan luas kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk adalah 44,76 ha.
Hasil pengamatan baik dari foto udara yang dirniliki Pantai lndah Kapuk (PIK)
dan pengarnatan langsung di lapangan didapat, luas dari Suaka Margasatwa tanpa
tarnbak adalah sekitar 28,96 ha, sedangkan luas tambak Hutan Lindung ditambah
tambak dari Suaka Margasatwa yang diteliti adalah sekitar 15,80 ha yang terdiri dari
13,29 ha tambak Hutan Lindung dan 2,51 ha tarnbak Suaka Margasatwa.
Perbedaan yang terjadi pada Suaka Margasatwa tersebut dirnungkinkan karena
pengukuran lapangan yang dilakukan dengan menggunakan batas penutupan
vegetasi bukan pada batas kawasan sebenarnya, sedangkan pada Hutan Lindung
yang diarnbil hanyalah bagian yang berupa tambak yang dikelola secara intensif.

Komposisi Habitat Mikro d i Kedua Kawasan

Kehidupan burun